BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA KONSEPTUAL, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Motivasi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia motivasi diartikan sebagai suatu dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu dan usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.
Winardi (2002:1) menjelaskan istilah motivasi (motivation) berasal dari perkataan bahasa latin, yakni movere yang berarti menggerakkan, kemudian diserap dalam bahasa inggris menjadi motivation berarti pemberian motif, penimbulan motif atau hal yang menimbulkan dorongan atau keadaan yang menimbulkan dorongan. Gibson et.al (1997) mengemukakan bahwa motivasi merupakan sebuah konsep yang menguraikan mengenai kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh individu untuk memulai serta mengarahkan perilakunya terhadap pekerjaan tertentu. Motivasi juga dapat dianggap sebagai rencana atau keinginan untuk sukses untuk mencapai suatu tujuan atau keinginan. Berdasarkan pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi merupakan suatu
dorongan yang akan timbul dari dalam diri seseorang untuk dapat mencapai semua rencana maupun keinginan yang dikehendakinya.
Saat ini banyak teori motivasi yang berkembang, namun yang banyak dianut sampai sekarang adalah teori kebutuhan (Hadiprasetyo dan Sagoro, 2014). Dasar dari teori ini menyatakan bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk memenuhi segala kebutuhannya.
1) Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow
Abraham Maslow mengemukakan suatu teori yang dikenal dengan teori kebutuhan pada tahun 1943 (Lubis, 2014: 85). Teori tersebut menjelaskan bahwa setiap individu mempunyai beraneka ragam kebutuhan yang dapat mempengaruhi perilaku mereka. Abraham Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan ini ke dalam beberapa kelompok yang pengaruhnya berbeda-beda. Secara psikologis, kebutuhan merupakan syarat dasar untuk memenuhi kebutuhan fisik, seperti makan, minum, perlindungan, dan sebagainya yang disebut kebutuhan dasar utama (primary basic need). Penjabaran kelima hierarki kebutuhan tersebut antara lain:
a. Kebutuhan fisiologis (physiological needs), yaitu kebutuhan fisik, seperti kebutuhan untuk memuaskan rasa lapar dan haus, kebutuhan akan perumahan, pakaian, dan sebagainya.
b. Kebutuhan akan keamanan (safety needs), yaitu kebutuhan akan keselamatan dan perlindungan dari bahaya, ancaman, perampasan, atau pemecatan.
c. Kebutuhan social (social needs), yaitu kebutuhan akan rasa cinta dan kepuasan dalam menjalin hubungan dengan orang lain, kebutuhan akan kepuasan dan perasaan memiliki serta diterima dalam suatu kelompok, rasa kekeluargaan, persahabatan, dan kasih sayang.
d. Kebutuhan akan penghargaan (esteem needs), yaitu kebutuhan akan status atau kedudukan, kehormatan diri, reputasi, dan prestasi.
e. Kebutuhan akan aktualisasi diri (self actualization needs), yaitu kebutuhan pemenuhan diri untuk menggunakan potensi ekspresi diri dan melakukan apa yang paling sesuai dengan dirinya.
2) Teori Kebutuhan MCClelland
McClelland mengembangkan suatu teori pada awal tahun 1990-an (Robbins dan Judge, 2015:131). Terdapat tiga faktor yang memotivasi perilaku menurut McClelland, yaitu:
a. Kebutuhan akan pencapaian (Need of Achievement), yaitu dorongan untuk berprestasi, untuk pencapaian yang berhubungan dengan serangkaian standar, dan berusaha untuk berhasil. Ciri- ciri individu yang menunjukkan orientasi tinggi antara lain: bersedia menerima resiko yang relatif tinggi, keinginan untuk mendapatkan umpan balik tentang hasil kerja mereka, keinginan mendapatkan tanggung jawab pemecahan masalah.
b. Kebutuhan akan kekuasaan (Need of Power), yaitu kebutuhan untuk membuat orang lain berprilaku dalam suatu cara dimana orang-orang itu tanpa dipaksa tidak akan berperilaku demikian atau suatu bentuk ekspresi dari individu untuk mengendalikan dan memengaruhi orang lain.
Kebutuhan akan kekuasaan sangat berhubungan dengan kebutuhan untuk mencapai suatu posisi kepemimpinan.
c. Kebutuhan akan afiliasi (Need of Affiliation), yaitu keinginan untuk hubungan yang penuh persahabatan dan interpersonal yang dekat. Individu yang mempunyai kebutuhan afiliasi yang tinggi umumnya berhasil dalam pekerjaan yang memerlukan interaksi sosial yang tinggi.
Riset yang dilakukan oleh McClelland juga menemukan bahwa uang tidak begitu penting peranannya dalam meningkatkan prestasi kerja bagi mereka yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi. Orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang rendah tidak akan berprestasi baik dengan maupun tanpa insentif keuangan (Lubis, 2014:87).
2.1.2 Pengertian Persepsi
Persepsi adalah bagaimana seseorang melihat atau menginterpretasikan peristiwa, objek, serta manusia. Arfan (2011:93) menjelaskan bahwa persepsi merupakan proses dimana seseorang memilih, berusaha, dan menginterpretasikan rangsangan ke dalam suatu gambaran yang terpadu dan penuh arti. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi merupakan tanggapan atau penerimaan langsung dari sesuatu dan proses seseorang mengetahui beberapa hal mengenai panca indranya. Persepsi didefinisikan sebagai bagian dari proses kehidupan yang dimiliki oleh setiap orang, dari pandangan orang pada titik tertentu, lalu orang tersebut mengkreasikan hal yang dipandangnya untuk dunianya sendiri, kemudian orang tersebut mencoba mengambil keuntungan untuk kepuasannya (Lang, 1987: 89).
Dalam lingkup yang lebih luas, persepsi merupakan suatu proses yang melibatkan pengetahuan-pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan menginterpretasikan stimulus yang ditunjukkan oleh panca indra (Arfan, 2011:93). Dengan kata lain, persepsi merupakan kombinasi antara faktor utama dunia luar (stimulus visual) dan diri manusia itu sendiri (pengetahuan-pengetahuan sebelumnya).
Menurut Ayuningtyas (2012) terdapat beberapa faktor khusus yang menyebabkan perbedaan individual dalam perilaku yaitu persepsi, sikap, kepribadian, dan belajar. Melalui pemahaman persepsi individual, seseorang dapat meramalkan bagaimana perilaku ini didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realita itu, bukan mengenai realita itu sendiri.
Andersen (2012) menyatakan bahwa persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafirkan pesan yang ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah:
1) Faktor Internal
Aspek yang terkait dalam faktor internal yaitu fisiologis dan psikologis. Fisiologis merupakan proses penginderaan, yang terdiri dari reseptor yang merupakan alat untuk menerima stimulus, syaraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan syaraf (otak) dan syaraf motoris sebagai alat untuk
mengadakan respon. Sedangkan psikologis berupa perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, pengalaman dan motivasi.
2) Faktor Eksternal
Adanya stimulus dan faktor yang melatarbelakangi terjadinya persepsi. Stimulus dapat datang dari luar individu yang mempersepsi, tetapi juga datang dari dalam individu yang bersangkutan.
3) Perhatian
Langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam rangka mengadakan persepsi adalah perhatian. Perhatian merupakan pemusatan atau konsentrasi dari seluruh aktivitas individu yang ditujukan kepada sesuatu atau sekumpulan objek.
Persepsi adalah “proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu”. Dengan persepsi individu dapat menyadari tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya dan juga tentang keadaan diri individu yang bersangkutan (Andersen, 2012)
Apabila seseorang mempunyai persepsi yang positif akan sesuatu hal, maka cenderung akan mendukung hal tersebut. Begitu pula sebaliknya apabila seseorang mempunyai persepsi yang negatif akan sesuatu hal maka cenderung untuk menghindari hal tersebut. Mahasiswa akuntansi dalam mempersepsikan mengenai profesi akuntan publik bermacam-macam. Ada yang mempersepsikan mengenai akuntan publik itu positif maupun negatif sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi keinginannya untuk berprofesi sebagai akuntan
publik. Hasil penelitian Diana (2015) menyatakan bahwa persepsi berpengaruh terhadap pemilihan karir sebagai akuntan.
Menurut Kreitner dan Kinicki (2001) terdapat empat tahap pembentukan persepsi, yaitu:
1) Tahap perhatian selektif (selective attention), yang merupakan proses timbulnya kesadaran akan sesuatu atau seseorang.
2) Tahap interpretasi dan penyederhanaan (encoding and simplification), yaitu proses interpretasi atau translasi informasi menjadi representasi mental.
3) Tahap penyimpanan dan pengulangan (storage and retention), yaitu tahap penyimpanan informasi dalam memori jangka panjang.
4) Tahap penarikan informasi dan pemberian respon (retrieval and response), yang dilakukan pada saat seseorang membuat pertimbangan dan mengambil keputusan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan cara pandang seseorang mengenai objek atau peristiwa tertentu yang distimulasikan melalui panca indranya.
2.1.3 Motivasi Diri
Sardiman (2005) menyatakan bahwa motivasi diri adalah suatu motif-motif (daya penggerak) yang menjadi aktif dan berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dari diri individu sudah terdapat dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi diri juga juga dapat disebut motivasi internal. Dalam kehidupan sehari-hari motivasi diri dibutuhkan karena dapat menyemangati diri seseorang untuk
mencapai apa yang diinginkannya. Seseorang yang mempunyai motivasi diri yang kuat akan sesuatu hal pasti cenderung akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hal tersebut. Sehingga ia akan melakukan apapun untuk mencapai hal yang diinginkannya. Motivasi diri dapat digambarkan dengan kemauan untuk maju, kemampuan dalam mengambil inisiatif dan bersikap efektif, serta kemampuan dalam menghadapi kegagalan. Mahasiswa akuntansi yang memiliki motivasi diri yang kuat untuk menjadi akuntan publik, pasti akan selalu berusaha sebaik mungkin agar dapat mencapai keinginannya tersebut.
2.1.4 Kecerdasan Adversity
Kecerdasan Adversity (Adversity Intelligence) adalah suatu konsep mengenai kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang dalam hidupnya (Paul G Stolz, 2000: 9). Dalam kamus bahasa Inggris, kata “Adversity” diartikan dengan kesengsaraan dan kemalangan, sedangkan “intelligence” diartikan dengan kecerdasan. Stoltz (2000: 9) menekankan pada unsur kesulitan (adversity) sebagai faktor penentu terhadap kesuksesan seseorang. Adversity Intelligence menginformasikan pada individu mengenai kemampuannya dalam menghadapi sebuah keadaan atau situasi yang sulit dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampauin harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan.
Stoltz (2000: 9) secara ringkas menjelaskan kecerdasan adversitas sebagai kapasitas manusia dalam bentuk pola-pola respon yang dimiliki seseorang dalam mengendalikan dan mengarahkan situasi yang sulit, mengakui dan memperbaiki situasi yang sulit, mempersiapkan jangkauan situasi yang sulit dan mempersepsikan jangkan waktu terjadinya kesulitan di berbagai aspek dalam hidupnya. Konsep ini merupakan satu kerangka kerja yang dapat diukur karena memiliki alat yang dikembangkan dengan dasar ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui kecenderungan dan memahami aspek-aspek dari kesuksesan seseorang dalam merespon keadaan sulit. Definisi kesuksesan yang dikemukakan oleh Stoltz (2000: 38) adalah tingkat dimana seseorang bergerak maju untuk mencapai misinya, meskipun banyak hambatan atau kesulitan yang dihadapi. Faktor tersebut adalah kecerdasan adversitas.
Menurut Stoltz (2000: 140-148) Adversity Intelligence atau Adversity Quotient (AQ) dari seseorang terdiri dari empat dimensi yang dikenal dengan istilah CO2RE (Control, Origin Ownership, Reach, Endurance).
1) Kendali (control)
Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya.
2) Asal Usul dan Pengakuan (Origin & Ownership)
Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya.
3) Jangkauan (Reach)
Dimensi ini merupakan bagian dari AQ yang mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya. Kemampuan individu dalam menjangkau dan membatasi masalah agar tidak menjangkau bidang-bidang yang lain dari kehidupan individu, dimensi ini melihat sejauh mana individu membiarkan kesulitan menjangkau bidang lain pekerjaan dan kehidupan individu. 4) Daya Tahan (Endurance)
Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan individu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya. Stoltz (2007) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan adversity antara lain:
1) Daya saing menemukan bahwa orang-orang yang merespon kesulitan secara lebih optimis, bisa diramalkan akan bisa bersikap lebih agresif dan mengambil lebih banyak resiko, sedangkan reaksi yang lebih pesimis terhadap kesulitan menimbulkan lebih banyak sikap pasif dan berhati-hati. 2) Kreativitas, Inovasi merupakan tindakan berdasarkan suatu harapan.
Inovasi membutuhkan keyakinan bahwa sesuatu yang sebelumnya tidak ada dapat menjadi ada. Menurut Joel Barker, kreativitas juga muncul dari keputusasaan. Oleh karena itu, kreatifitas menuntut kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tidak pasti. Orang-orang yang tidak mampu menghadapi kesulitan menjadi tidak mampu bertindak kreatif.
3) Mengambil resiko, orang-orang yang merespon kesulitan secara lebih konstruktif bersedia mengambil lebih banyak resiko. Resiko merupakan aspek esensial dalam mengambil sebuah tantangan.
4) Perbaikan, perbaikan sangat diperlukan dalam upaya memperthankan hidup. Diperlukan perbaikan untuk mencegah supaya tidak ketinggalan zaman dalam karir dan hubungannya dengan orang lain.
5) Ketekukan, ketekunan adalah inti dari kecerdasan adversity yaitu sebuah kemampuan untuk terus-menerus berusaha, bahkan ketika dihadapkan pada kegagalan.
6) Belajar, menurut penelitian yang dilakukan oleh Carol Dweck membuktikaan bahwa anak-anak dengan respon pesimistis terhadap
kesulitan tidak akan banyak belajar dan berprestasi jika dibandingkan dengan anak anak yang memiliki pola-pola yang lebih optimis.
2.1.5 Minat
Menurut Djaali (2007:124) minat adalah suatu kondisi yang terjadi apabila seseorang melihat ciri-ciri atau arti sementara situasi yang dihubungkan dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia minat dapat diartikan sebagai kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Minat juga diartikan sebagai sikap positif terhadap aspek-aspek lingkungan. Menurut Widyastuti dkk (2004) menyatakan bahwa minat diharapkan dapat merefleksikan mahasiswa di masa yang akan datang karena minat dianggap sebagai perantara faktor-faktor motivasional yang mempunyai dampak pada suatu perilaku, minat menunjukkan seberapa keras seseorang berani mencoba serta minat menunjukkan seberapa banyak upaya yang direncanakan seseorang untuk dilakukan.
Menurut Witherington (1999) minat dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : 1) Minat Primitif
Minat Primitif yang disebut pula dengan minat biologis, yaitu minat yang berkisar soal makanan dan kebebasan aktivitas.
2) Minat Kultural
Minat Kultural yang disebut pula dengan minat social, yaitu minat yang berasal dari perbuatan yang lebih tinggi tarafnya.
Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa minat merupakan suatu semangat yang berasal dari dalam diri seseorang dalam menunjukkan kesukaannya atau ketertarikannya terhadap sesuatu dan menimbulkan dorongan untuk mencapai tujuannya tersebut. Dan minat adalah suatu dorongan yang timbul berdasarkan ketertarikan seseorang untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.
2.1.6 Akuntan Publik
Ketentuan mengenai akuntan publik di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.01/2008 tentang jasa Akuntan Publik. Setiap akuntan publik wajib menjadi anggota Institut Akuntan Publik Indonesia, asosiasi profesi yang diakui oleh Pemerintah. Akuntan Publik merupakan profesi yang sangat dibutuhkan di Indonesia dan juga dipandang menjanjikan prospek dunia kerja yang cerah akan profesi ini memberikan tantangan intelektual dan pengalaman belajar yang tidak ternilai (Wheeler, 1983). Akuntan Publik adalah akuntan yang berpraktik dalam kantor akuntan publik, yang menyediakan berbagai jenis jasa yang diatur dalam standar Profesional Akuntan Publik yang meliputi auditing, atestasi, akuntansi, review dan jasa konsultasi (Mulyadi, 2011). Akuntan Publik merupakan akuntan yang bergerak dalam bidang akuntansi publik, yaitu menyerahkan berbagai macam jenis jasa akuntansi untuk perusahaan-perusahaan bisnis (Merdekawati, 2011).
Akuntan Publik sebagai bagian dari profesi akuntansi memiliki peran yang sangat strategis dalam dunia bisnis. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa hanya akuntan publik yang memiliki kewenangan untuk menyatakan opini atas laporan keuangan klien. Menurut Boynton et al. (2003:53) kebutuhan akan opini auditor atas laporan keuangan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Conflict of interest antara pengguna laporan keuangan dan manajemen. 2) Consequences, dimana laporan keuangan dianggap sebagai sumber utama. 3) Complexity bahwa laporan keuangan merupakan sesuatu yang kompleks. 4) Remoteness, yakni adanya keterbatasan jarak, waktu, dan biaya yang tidak
praktis jika pemakai informasi tidak mendasarkan pada hasil laporan auditan.
Minat Menjadi Akuntan Publik (Y) H1 + H2 + H3 + Persepsi Mahasiswa (X1) Motivasi Diri (X2) Kecerdasan Adversity (X3) 2.2 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan hubungan logis dari landasan teori dan kajian empiris. Kerangka konseptual menunjukkan pengaruh antar variabel dalam penelitian. Penelitian ini membahas mengenai minat menjadi akuntan publik yang akan diteliti melalui pengaruh persepsi mengenai profesi akuntan publik. motivasi diri dan kecerdasan adversity.
Secara sistematis, kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.1
2.3 Hipotesis Penelitian
2.3.1 Pengaruh Persepsi Mahasiswa Pada Minat Menjadi Akuntan Publik Robbins dan Judge (2009:173) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses yang ditempuh individu untuk mengorganisasikan dan menfsirkan kesan -kesan indera mereka agar memberi makna bagi lingkungan mereka. Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja, tetapi ada berbagai macam faktor yang mempengaruhinya. Faktor itulah yang menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin memberi interpretasi yang berbeda tentang yang dilihatnya tersebut. Teori motivasi yang diungkapkan oleh Robbins (2011) menyatakan bahwa sikap seseorang terbentuk dari tiga komponen salah satunya cognitive component yaitu merupakan keyakinan dari informasi yang dimiliki oleh seseorang yang akan mempengaruhi minat seseorang terhadap terhadap profesi yang akan dijalani. Apabila seseorang mempunyai persepsi yang positif akan sesuatu hal, maka cenderung akan mendukung hal tersebut . Begitu pula sebaliknya apabila seseorang mempunyai persepsi yang negatif akan sesuatu hal maka cenderung untuk menghindari hal tersebut. Setiap individu dalam mempersepsikan mengenai profesi akuntan publik bermacam-macam. Ada yang mempersepsikan mengenai akuntan publik itu positif maupun negatif sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi keinginannya untuk berprofesi sebagai akuntan publik.
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Diana (2015) menyatakan bahwa persepsi berpengaruh terhadap pemilihan karir sebagai akuntan publik oleh mahasiswa akuntansi. Dimana mahasiswa selama belajar di perguruan tinggi menerima informasi yang berhubungan dengan akuntan baik secara formal maupun informal. Informasi tersebut dapat memberikan persepsi yang berbeda dari kenyataan yang obyektif. Cara individu dalam pengambilan dan kualitas dari pilihan terakhir mereka sebagian besar dipengaruhi oleh persepsi mereka (Robbis dan Judge, 2009:173). Dalam hal ini, Mahasiswa akuntansi akan memilih profesi tertentu karena dia mempunyai persepsi yang baik terhafap profesi tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan hipotesis sebagai berikut:
H1: Semakin tinggi persepsi mahasiswa mengenai profesi akuntan publik maka semakin tinggi minat mahasiswa akuntansi menjadi akuntan publik.
2.3.2 Pengaruh Motivasi Diri Pada Minat Menjadi Akuntan Publik
Menurut Sardiman (2005), motivasi diri adalah suatu motif-motif (daya penggerak) yang menjadi aktif dan berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar karena dari diri individu sudah terdapat dorongan untuk melakukan sesuatu. Motivasi diri juga juga dapat disebut motivasi internal. Dalam kehidupan sehari-hari motivasi diri dibutuhkan karena dapat menyemangati diri seseorang untuk mencapai apa yang diinginkannya. Seseorang yang mempunyai motivasi diri yang kuat akan sesuatu hal pasti cenderung akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan hal tersebut. Sehingga ia akan melakukan apapun untuk mencapai
hal yang diinginkannya. Motivasi diri dapat digambarkan dengan kemauan untuk maju, kemampuan dalam mengambil inisiatif dan bersikap efektif, serta kemampuan dalam menghadapi kegagalan. Mahasiswa akuntansi yang memiliki motivasi diri yang kuat untuk menjadi akuntan publik, pasti akan selalu berusaha sebaik mungkin agar dapat mencapai keinginannya tersebut.
Motivasi diri dapat digambarkan dengan suatu kemauan untuk maju, bertindak efektif, serta kemampuan dalam menghadapi suatu kegagalan yang dialami. Mahasiswa akuntansi yang mempunyai motivasi yang kuat untuk menjadi akuntan publik pasti akan selalu berusaha sebaik mungkin agar dapat mencapai keinginannya tersebut. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Arifianto (2014) menyatakan bahwa motivasi diri berpengaruh positif terhadap minat menjadi akuntan publik pada mahasiswa prodi akuntansi fakultas ekonomi universitas negeri yogyakarta.
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis kedua yang diajukan adalah sebagai berikut:
H2: Semakin tinggi motivasi diri mahasiswa maka semakin tinggi minat
mahasiswa akuntansi menjadi akuntan publik.
2.3.3 Pengaruh Kecerdasan Adversity pada Minat menjadi Akuntan Publik
Kecerdasan Adversity juga mempengaruhi minat mahasiswa untuk menjadi akuntan publik. (Adversity Intelligence) adalah suatu konsep mengenai kualitas pribadi yang dimiliki seseorang untuk menghadapi berbagai kesulitan dan dalam usaha mencapai kesuksesan di berbagai bidang dalam hidupnya (Paul G Stolz, 2000: 9). Adversity Intelligence menginformasikan pada individu mengenai
kemampuannya dalam menghadapi sebuah keadaan atau situasi yang sulit dan kemampuan untuk mengatasinya, meramalkan individu yang mampu dan tidak mampu menghadapi kesulitan, meramalkan mereka yang akan melampaui dan mereka yang akan gagal melampauin harapan-harapan atas kinerja dan potensi yang dimiliki, dan meramalkan individu yang akan menyerah dan yang akan bertahan dalam menghadapi kesulitan. dengan kata lain, kecerdasan adversity mempengaruhi minat mahasiswa secara positif. Mahasiswa yang memiliki kecerdasan adversity yang tinggi, maka ia akan memiliki semangat yang tinggi serta mampu menghadapi setiap kesulitan dan tantangan yang muncul dalam persyaratan untuk menjadi seorang akuntan publik.
Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis ketiga yang diajukan adalah sebagai berikut:
H3: Semakin tinggi kecerdasan adversity mahasiswa maka semakin tinggi minat mahasiswa akuntansi menjadi akuntan publik.