• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil

5.1.1 Pemilihan Bahan Spool Track

Hasil pemilihan bahan untuk memperoleh bobot alat yang sesuai dengan bobot tubuh R. margaritifer menunjukkan bahwa selongsong plastik (bahan 1) masih terlalu berat untuk digunakan pada R. margaritifer dibandingkan bahan 2 dan 3 (Tabel 3). Oleh karena itu, pada penelitian selanjutnya digunakan alat yang terbuat dari bahan 2 dan 3.

Tabel 3 Pemilihan bahan untuk pembuatan spool

Alat Penempatan

Gulungan Benang Bahan Bobot Alat Dampak Katak pada

Spool

bahan 1 Selongsong dari plastik (alat untuk meyimpan benang pada mesin jahit) Tinggi alat 1,3 cm Benang katun (±15 m), tutup botol parfum 10 ml, dan selotip paralon sebagai pengikatnya

1,2 gram Katak bergerak dengan bebas, diuji pada katak jantan

Spool

bahan 2 Selongsong dari sedotan dan penahan bagian tepi dari mika

Tinggi alat 0,9-1 cm

Benang katun (±4 m), plastik mika, dan selotip paralon sebagai pengikatnya

0,3-0,5 gram Katak bergerak dengan bebas Di terapkan untuk katak jantan Spool bahan 3 Selongsong dari plastik (alat untuk meyimpan benang pada mesin jahit) Tinggi alat 1,5 cm

Benang katun (±10 m), plastik mika, dan selotip paralon sebagai pengikatnya

0,9-1,1 gram Katak bergerak dengan bebas dan diterapkan untuk katak betina

Dampak pemakaian spool terlihat dari penurunan bobot tubuh katak (Tabel 4). Penurunan bobot tubuh lebih besar terjadi pada pemakaian alat dengan bahan 1, sementara bahan 2 dan 3 hanya menurunkan bobot tubuh kurang dari 20%. Dampak negatif dari alat selain penurunan bobot tubuh adalah iritasi kulit. Setiap katak yang dipasang oleh spool mengalami iritasi kulit di daerah pinggang (Gambar 7).

(2)

Tabel 4 Perubahan bobot tubuh R. margaritifer setelah pemakaian spool

Lokasi Alat Jenis

kelamin Berat alat (g) Bobot tubuh sebelum memakai spool track (g) Bobot tubuh setelah memakai spool track (g) Persentase berat alat terhadap bobot tubuh (%) Persent-se penurun-an berat tubuh (%)

Cibereum Bahan 1 Jantan* 1,2 6,5 5 18,4 23

Bahan 1 Jantan** 1,2 7,5 5 16 33,3

Bahan 1 Jantan*** 1,2 4,5 - 26,7

Ciwalen Bahan 2 Jantan 1 0,5 5,5 5,5 9,1 0

Cibereum Bahan 2 Jantan 2 0,3 7 6 4,3 14,2

Bahan 2 Jantan 3 0,3 3,6 3,1 8,3 13,9 Bahan 2 Jantan 4 0,3 5 4 6 20 Bahan 2 Betina 1 1,1 22 20,6 5 6,4 Bahan 3 Betina 2 0,9 15,5 13,5 5,8 12,9 Bahan 3 Betina 3 0,9 15,5 14,9 5,8 3,9 Bahan 3 Betina 4 0,9 23 21,5 3.9 6,5 Keterangan : jantan* (pengamatan 72 jam); jantan**(pengamatan 27 jam); jantan*** (pengamatan 24 jam).

Katak yang tidak bertanda menggunakan alat diamati selama 72 jam. Lama pemakaian alat pada masing-masing katak ditambah dengan 12 jam aklimatisasi alat.

5.1.2 Pola Pergerakan R. margaritifer

Terdapat delapan individu R. margaritifer yang dapat diamati pergerakannya selama 72 jam dan menggunakan alat dengan bobot alat dibawah 10% bobot tubuh katak. Delapan individu tersebut terdiri dari empat individu jantan dan empat individu betina. Tujuh individu diantaranya diamati di Cibereum, sedangkan satu individu lainnya diamati di Ciwalen. Hasil pengamatan pendahuluan menunjukkan bahwa jumlah R. margaritifer lebih banyak di Cibereum sehingga diputuskan untuk melakukan penelitian lebih intensif di Cibereum. Selain delapan individu yang berhasil diamati, terdapat tiga betina lain yang diamati tetapi mengalami kegagalan ketika habituasi yaitu, katak bergerak

Gambar 7 Kondisi kulit katak; (a) Sebelum pemakaian spool track; (b) Setelah pemakaian spool track.

(3)

sampai ketinggian empat meter, sehingga tidak dapat dijangkau dan hilang dari pengamatan. Selain itu terdapat tiga katak jantan lain yang diamati menggunakan spool track dengan bobot alat masing-masing 1,2 gram. Satu katak jantan berhasil diamati 72 jam sedangkan katak lainnya hanya 24 dan 27 jam. Pengamatan dilakukan hanya 24 jam karena katak lepas. Walaupun demikian data tetap dimasukkan dalam analisis pergerakan.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata pergerakan katak secara horizontal dan vertikal dari badan air lebih jauh pada malam hari dari pada siang hari, baik untuk katak jantan maupun katak betina (Gambar 8). Pada siang dan malam hari jarak terdekat dari badan air pada katak jantan dan katak betina adalah sama, sedangkan adanya perbedaan jarak terjauh dari badan air menunjukkan katak betina bergerak lebih jauh (Tabel 5). Baik pada malam maupun siang hari, posisi vertikal terdekat dan terjauh terjadi pada katak jantan (Tabel 5).

Hasil penelitian juga menunjukkan rata-rata pergerakan selama tiga jam yang dilakukan katak betina lebih jauh dibandingkan dengan katak jantan pada malam maupun siang hari (Tabel 5). Pada malam dan siang hari pergerakan maksimum tiga jam lebih besar terjadi pada katak jantan (Tabel 5).

Gambar 8 Rata-rata pergerakan katak dari badan air; (a) Jarak horizontal; (b) Jarak vertikal.

(4)

Jenis kelamin betina jantan Jar ak antar a dua titik (c m) 500 400 300 200 100 0 239 230 229 55 29 4 130 63 54 12 163 156 140 138 243 226 218 99 85 84 83 74 60 34 19 3 186 184 177 169 167 161 152 134 115 malam siang Waktu

Tabel 5 Pergerakan katak antara tiga jam pengamatan

Waktu Pergerakan Betina (cm) Jantan (cm)

Malam Pergerakan minimum antara 3 jam 0 0

Pergerakan maksimum 3 jam 429 440

Pergerakan rata-rata selama 3 jam 54,58 38,75

Jarak terdekat dari badan air 0 0

Jarak terjauh dari badan air 464 350

Posisi vertikal terdekat 35 10

Posisi vertikal terjauh 490 520

Siang Pergerakan minimum antara 3 jam 0 0

Pergerakan maksimum 3 jam 157 285

Pergerakan rata-rata selama 3 jam 18,14 18

Jarak terdekat dari badan air 0 0

Jarak terjauh dari badan air 464 350

Posisi vertikal terdekat 35 0

Posisi vertikal terjauh 490 520

Uji Kruskal Wallis terhadap pergerakan katak menunjukkan adanya perbedaan nyata dari pergerakan katak untuk siang dan malam hari baik pada katak jantan maupun katak betina dengan nilai P < 0,05. Pergerakan rata-rata setiap tiga jam pada katak betina dan jantan lebih jauh pada malam hari jika dibandingkan dengan siang hari (H = 0,026 dan H = 0,03). Pergerakan pada katak jantan dan katak betina tidak berbeda nyata pada siang dan malam hari berdasarkan uji Kruskal Wallis dengan nilai P > 0,05 yaitu H = 0,888 dan H = 0,685.

(5)

Nilai alur kelurusan dihitung untuk menunjukkan pergerakan katak menjauhi atau tidak menjauhi titik awal pengamatan. Berdasarkan nilai alur kelurusan dan yang kemudian dihitung menggunakan chi kuadrat tampak bahwa pola pergerakan katak jantan dan betina tidak menjauhi titik awal pengamatan. Hal tersebut dapat dilihat dari perhitungan chi kuadrat yang menunjukkan χ2

hitung < χ2 tabel dengan nilai 2,68 < 3.84. Meskipun uji chi kuadrat menunjukkan bahwa katak betina dan katak jantan bergerak tidak menjauhi titik awal pengamatan, tetapi terlihat bahwa katak betina memiliki nilai alur kelurusan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan katak jantan (Tabel 6).

Tabel 6 Hasil perhitungan alur kelurusan R. maragritifer

Lokasi Jenis Kelamin

Jarak tempuh (m)

Jarak dari Posisi Awal-Akhir (m)

Nilai Alur Kelurusan Selama 72 Jam Ciwalen Jantan 1 13,37 3,42 0,26 Cibereum Jantan 2 7,60 2,55 0,34 Jantan 3 8,52 1,70 0,20 Jantan 4 5,20 9,6 0,19 Betina 1 6,28 4,20 0,67 Betina2 11,58 9,76 0,63 Betina 3 22,87 10,20 0,45 Betina 4 11,70 4,64 0,40

Aktivitas katak yang terlihat pada penelitian ini yaitu tidur dan duduk, sedangkan aktivitas katak bersuara tidak ditemukan. Sebagian besar aktivitas yang dilakukan katak jantan dan katak betina pada siang hari adalah tidur, sedangkan pada malam hari duduk (Gambar 10). Biasanya katak jantan dan betina keluar dari persembunyian pada pukul 18.00 WIB dan pada waktu tersebut katak mulai aktif, tetapi belum mulai melakukan pergerakan. Katak mulai melakukan pergerakan sekitar pukul 19.00 WIB.

Gambar 10 Aktivitas katak saat ditemukan; (a) Jantan pada malam hari; (b) Jantan pada siang hari; (c) Betina pada malam hari; (d) Betina pada siang hari.

(6)

5.1.3 Penggunaan Habitat Mikro R. margaritifer

Sebagian besar waktu yang digunakan katak jantan pada siang hari adalah berada di batang yang terlindung sedangkan pada malam hari di atas daun. Pada malam hari katak jantan banyak berada di atas daun dengan jumlah 40%, sedangkan katak betina berada di atas daun sebanyak 69% (Gambar 11a & 11c). Pada siang hari katak jantan berada pada batang yang terlindung sebesar 35%, sedangkan katak betina banyak berada di sela daun (48%) (Gambar 11b & 11d).

Suhu merupakan faktor lingkungan yang juga mempengaruhi habitat R. margaritifer. Berdasarkan hasil pengamatan 72 jam diperoleh data mengenai suhu tubuh katak yang dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Gambar 12 dan Gambar 13).

Gambar 12 Fluktuasi suhu tubuh katak jantan terhadap suhu lingkungan. Gambar 11 Posisi Katak pada Substrat; (a) Jantan pada malam hari; (b) Jantan pada

siang hari; (c) Betina pada malam hari; (d) Betina pada siang hari.

(7)

Berdasarkan pengamatan terhadap suhu tubuh katak, terlihat bahwa fluktuasi suhu tubuh katak betina dan jantan seirama dengan suhu lingkungan. Faktor lingkungan lain yang dilihat adalah pH air. pH air di sekitar lokasi pengamatan menunjukkan nilai yang sama yaitu 6.

Selama pengamatan juga terjadi kontak antara katak yang diamati dengan katak sejenis, sedangkan dengan katak yang berbeda jenis tidak terlihat. Kontak tersebut diantaranya terjadi pada salah satu katak jantan yang menempel dengan tiga katak R. margaritifer jantan lainnya pada pukul 15.00 WIB. Pada waktu tersebut katak terlihat sedang tidur (Gambar 14a). Kontak lain terjadi pada katak betina 4 ketika habituasi. Katak jantan terlihat menempel pada katak betina mulai pukul 23.00-06.00 WIB (Gambar 14b). Jenis satwa lain yang ditemukan disekitar katak yang diamati adalah semut, belalang, dan satwa dari kelas gastropoda yaitu jenis binatang lunak yang tidak memiliki cangkang. Satwa-satwa tersebut ditemukan pada malam hari.

(8)

5.2 Pembahasan

5.2.1 Pemilihan Bahan Spool Track untuk Penelitian Pola Peregerakan

Pengujian bahan spool track yang dilakukan pada P. leucomystax menunjukkan bahwa bahan 1 berfungsi baik dan ini dapat dilihat dari benang yang tidak terhenti ketika katak bergerak. Pengujian spool track kemudian dilakukan pada R. margaritifer jantan di lokasi penelitian dengan menggunakan spool track bahan 1. Tidak terlihat perbedaan penggunaan spool track antara P. leucomystax dan R. margaritifer, spool track bahan 1 yang dicobakan pada R. margaritifer juga menunjukkan fungsi yang baik, dapat dilihat dengan lancarnya benang yang keluar.

Bahan 1 memiliki bobot 1,2 gram tapi bobot tersebut merupakan bobot tanpa air. Pada saat pengamatan pergerakan katak, jika terjadi hujan diduga bobot alat bertambah saat tali basah. Untuk bahan 2 dan bahan 3, penambahan bobot tersebut tidak begitu berpengaruh, tetapi untuk bahan 1 akan menyebabkan alat sedikit lebih berat karena benang yang digunakan lebih panjang sehingga pada pengamatan bahan 1 tidak digunakan untuk katak jantan. Spool dari bahan 1 dicobakan kepada katak betina. Beban sebesar 1,2 g ini tampaknya tidak mempengaruhi pergerakan katak betina, karena betina ini mampu bergerak hingga ketinggian empat meter (Gambar 15). Dua katak betina bergerak ke atas pohon hingga ketinggian empat meter setelah enam jam pengamatan, sedangkan satu katak betina lain yang diamati bergerak ke atas pohon yang berada di daerah bertebing dan licin hingga ketinggian tiga meter. Sulitnya mengamati pergerakan

(a) (b)

Gambar 14 Kontak dengan katak sejenis; (a) Saat katak istirahat tidur; (b) Amplexsus.

(9)

katak-katak betina tersebut menyebabkan pengamatan yang dilakukan dibatalkan. Alat yang digunakan pada katak tidak dapat dilepas, karena katak tidak bisa diambil, dan untuk mengatasinya, hanya dengan memutus benang yang terlihat habis di spool.

Menurut Richard et al. (1994) dalam Heyer et al. (1994) bobot alat yang digunakan untuk mengetahui pergerakan katak sebaiknya tidak lebih dari 10% bobot tubuh katak. Hal tersebut telah diperhatikan dalam penelitian pergerakan R. margaritifer kali ini. Alat yang digunakan memiliki bobot kurang dari 10% bobot tubuh katak sehingga cukup ringan. Namun demikian terdapat kelemahan yaitu benang yang tersimpan dalam spool pendek, sehingga intensitas untuk pengamatan pergerakan katak dilakukan lebih singkat dari tiga jam karena perlu adanya pengecekan terhadap spool untuk melihat benang yang digunakan masih tersisa atau telah habis. Selama 72 jam pengamatan katak penggantian alat dilakukan tiga sampai empat kali. Penggantian alat dilakukan jika benang yang tersimpan dalam spool terlihat sedikit dan biasanya penggantian benang dilakukan pada malam hari karena intensitas pergerakan katak lebih banyak jika dibandingkan pada siang hari.

Kegagalan pemakaian alat terjadi pada pemakaian bahan 2. Pemakaian spool menyebabkan kematian pada satu katak jantan yang sedang diamati. Katak mati karena terlilit benang dari spool yang disebabkan oleh membukanya tempat

(10)

penyimpan selongsong spool (Gambar 16). Membukanya tempat penyimpan selongsong ini terjadi karena dugaan pengeleman yang tidak maksimal.

Untuk alat tempat menyimpan selongsong yang terbuat dari plastik mika dirangkai menggunakan lem, pengamatan menunjukkan bahwa lem akan terlepas setelah 2 hari pemasangan, sehingga harus diganti dengan alat yang baru. Terlepasnya rekatan lem pada rangkaian tempat menyimpan selongsong menyebabkan gangguan pergerakan pada katak karena benang pada selongsong akan keluar dan kusut.

Permasalahan alat yang mungkin terjadi adalah bergesernya spool track dari punggung atau pinggang mengarah kebawah badan tubuh seperti yang terjadi pada kasus P. leucomystax (Sholihat 2007) yang menggunakan alat dari bahan 1 yaitu tempat menyimpan selongsong dari tutup botol parfum. Berdasarkan penelitian ini, hal tersebut dapat diatasi jika tempat menyimpan selongsong diganti dengan plastik mika dan lubang penempatan alat pengikat selotip paralon dibuat lebih kecil.

Permasalahan lain yang terjadi berasal dari pemasangan alat pada katak dengan menggunakan selotip paralon. Pengikatan alat pada katak dapat menyebabkan kulit pada katak berubah warna dan juga luka setelah 72 jam pemasangan. Untuk R. margaritifer, pemasangan alat tersebut menyebabkan warna kulit lebih gelap pada bagian atas pinggang dan berwarna lebih pucat pada bagian samping pinggang dibandingkan dengan warna kulit disekitarnya yang berwarna coklat muda sampai coklat tua. Selain itu, pemasangan alat dengan cara pengikatan yang lebih ketat dapat menyebabkan luka. Pengikatan alat dilakukan di Gambar 16 Kematian katak; (a) Akibat terlilit benang; (b) Tutup selongsong

terbuka.

(11)

bagian pinggang katak, karena pengikatan alat pada bagian dada menyebabkan alat akan turun ke bawah pada bagian pinggang sehingga pengikat akan longgar dan akan lepas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alat yang terbuat dari bahan 2 lebih baik daripada alat yang terbuat dari bahan 1 dari segi bobot.

5.2.2 Pergerakan R. margaritifer

Dari hasil pola pergerakan terlihat bahwa baik katak jantan maupun betina bergerak lebih jauh pada malam hari dibandingkan pada siang hari. Amfibi merupakan satwa yang biasa aktif pada malam hari (Duellman dan Trueb 1986). Pada malam hari aktivitas amfibi meningkat dan biasanya katak bergerak ke posisi yang terbuka di daerah perairan dan hutan (Hodgkison & Hero 2001). Jarak yang ditempuh pada siang dan malam hari antara katak jantan dan betina tidak berbeda nyata. Menurut analisis pergerakan yang dilakukan Lemckert & Brassil (2002) pada katak raksasa Myophyxses iterates dari Australia, sedikitnya perbedaan pergerakan antara katak jantan dan katak betina diduga karena katak jantan jenis ini bersuara sporadik (jarang) dan tidak memiliki lokasi memanggil sehingga katak jantan bergerak bebas. Pada pengamatan pergerakan R. margaritifer tidak terlihat adanya katak jantan yang bersuara, tetapi untuk katak R. margaritifer jantan yang tidak diamati pergerakannya terdengar ada yang bersuara. Tidak bersuaranya katak yang diamati pergerakannya diduga karena adanya pemakaian spool. Satu katak betina yang menggunakan spool terlihat akan melakukan amplexus tetapi pada akhirnya katak tersebut tidak kawin diduga karena alat yang mengganggu ketika akan amplexus.

Nilai minimum pergerakan setiap tiga jam untuk katak jantan dan katak betina pada siang hari sama, tetapi katak jantan yang bergerak melebihi nilai minimum pergerakan setiap tiga jam lebih banyak jika dibandingkan dengan katak betina. Hal ini diduga karena adanya gangguan dari pengunjung maupun gangguan dari peneliti ketika melakukan pengamatan yang menyebabkan katak bergerak baik pada katak jantan maupun pada katak betina. Gangguan pengunjung tersebut biasa terjadi di akhir pekan, karena pada waktu tersebut jumlah pengunjung meningkat dan ini terjadi pada katak jantan yang lokasi penelitiannya terletak dekat air terjun yang banyak dikunjungi. Secara umum pergerakan katak

(12)

lebih kecil jaraknya jika dibandingkan dengan tetrapoda lainnya (Sinch 1990 dalam Blaustein et al. 1994)

Pengamatan yang dilakukan selama 72 jam terhadap masing-masing katak tidak menunjukkan katak kembali pada posisi awal pengamatan. Meskipun katak bergerak tidak kembali pada posisi awal pengamatan, hasil hitung chi kuadrat berdasarkan nilai alur kelurusan menunjukkan bahwa katak jantan dan betina bergerak tidak menjauhi posisi awal pengamatan. Terlihat pula bahwa nilai alur kelurusan katak betina lebih besar dari katak jantan, yang berarti pergerakan katak betina lebih menjauhi titik awal pengamatan. Schwarzkopt dan Alford (2002) menyebutkan bahwa kemungkinan tingginya pergerakan dan besarnya alur kelurusan katak ditentukan oleh habitatnya atau lokasi katak bergerak.

Pergerakan yang tidak menjauhi posisi titik awal pengamatan diduga karena penemuan katak sebagai obyek pengamatan tidak jauh dari sumber air (Gambar 17). Selain itu juga diduga karena terdapat jenis betina yang akan kawin sehingga pergerakan yang dilakukan tidak jauh dari sumber air. Matthews dan Pope (1999) dalam Lemkert dan Brassil (2000) menyebutkan bahwa pergerakan amfibi berkisar antara 10 sampai 100 meter dari tempat berkembangbiaknya. Belthoff (1990) dan Small et al. (1993), juga menyebutkan strategi pergerakan yang ditunjukkan vertebrata berubah-ubah dari sekali perubahan (pergerakan dispersal) atau sebelum satwa mengalami kematangan seksual dan selanjutnya satwa akan bergerak di antara daerah teritori atau wilayah jelajah.

Selama pengamatan, katak biasanya mulai aktif yaitu sekitar pukul 18.00 WIB. Pada waktu tersebut katak tidak langsung bergerak, katak mulai membuka mata dan dalam posisi yang sama ketika katak istirahat. Katak mulai bergerak sekitar pukul 19.00 WIB dan ketika pengamatan pukul 20.00 WIB posisi katak mulai berubah, sedangkan waktu katak mulai berhenti bergerak sekitar pukul 06.00 WIB.

(13)

                           

Gambar 17 Denah lokasi dan pergerakan katak yang diamati di Cibereum 

(14)

5.2.3 Penggunaan Habitat Mikro R. margaritifer

Aktivitas harian amfibi dipengaruhi oleh kebutuhan untuk memperoleh pakan, kawin, tempat berlindung, menghindari pemangsa dan mempertahankan kondisi fisiologis (Dole 1965). Selama pengamatan terlihat bahwa katak R. margaritifer banyak menghabiskan kegiatannya di tumbuh-tumbuhan dan berada tidak jauh dari sumber air. Setiap katak jantan dan betina memiliki kegiatan yang sama yaitu istirahat tidur pada siang hari dan mulai aktif pada malam hari. Siang hari biasanya katak istirahat pada lokasi-lokasi yang terlindung. Lokasi yang terlindung tersebut seperti di sela daun, batang yang terlindung, dan terdapat satu katak jantan yang beristirahat masuk kedalam lubang diatas serasah (serasah terlindung). Kebiasaan ini sama seperti yang dilakukan oleh amfibi terestrial. Menurut Duellman dan Trueb (1986) amfibi terestrial mempunyai daya adaptasi untuk mengatasi kehilangan cairan dalam tubuh dengan menjadi nokturnal dan berlindung pada siang hari. Tempat istirahat katak yang diamati pada waktu tertentu juga dapat menunjukkan R. margaritifer yang sedang beristirahat. Hal ini terjadi pada katak betina 2, ketika melakukan pengamatan siang hari, ditemukan R. margaritifer jantan yang sedang beristirahat. Jarak ditemukan katak jantan tersebut yaitu ± 1.5 meter.

Pengamatan juga dilakukan terhadap suhu tubuh katak. Selama pengamatan, suhu tubuh katak berubah-ubah bergantung pada suhu lingkungan. Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa suhu tubuh katak akan menurun jika suhu udara menurun dan juga sebaliknya. Hal ini terjadi karena katak termasuk satwa ektoterm dan memiliki suhu tubuh dekat dengan lingkungannya terutama pada substrat (Duellman & Trueb 1986). Terdapat perbedaan fluktuasi pada katak jantan 1 dan katak jantan 3. Katak jantan 1 menunjukkan suhu tubuh naik tetapi suhu lingkungan tetap yang terjadi pada siang hari sekitar pukul 11.00-17.00 WIB, sedangkan pada katak jantan 3 menunjukkan fluktuasi yaitu suhu tubuh yang lebih rendah daripada suhu lingkungan dan terjadi pada pukul 13.00 WIB. Menurut Hall dan Root (1930) dalam Mellanby (1940) rendahnya suhu tubuh dibandingkan dengan suhu lingkungan disebabkan oleh adanya proses metabolisme yang menyebabkan evaporasi tinggi.

(15)

Perbedaan nilai antara suhu tubuh katak dan suhu udara bervariasi. Kisaran perbedaan tersebut adalah 0.1 – 4 0C. Biasanya suhu tubuh katak rendah pada pagi hari sekitar pukul 03.00 – 05.00 WIB. Pada suhu rendah tersebut R. margaritifer cenderung tidak mengalami perpindahan posisi, tetapi terlihat aktif. Begitu juga ketika suhu udara tinggi katak tidak bergerak dan biasa terjadi pada siang hari. Angka pH air di sekitar lokasi pengamatan, menunjukkan katak berada pada daerah dengan derajat keasaman air yang normal.

Beberapa jenis tumbuhan yang terdapat di lokasi pengamatan diantaranya adalah kecubung (Brugmansia suaveolens), markisa (Passiflora edulis), pacar tere (Impatiens balsamina), babakoan (Eupatorium sordidum), kirinyuh (Austroeupatorium pallescens), harendong buluh (Clidemia hirta), dan Nephrolepis biserrata. Dari berbagai macam jenis tumbuhan tersebut menunjukkan bahwa kecubung merupakan jenis tumbuhan yang sering didiami R. margaritifer dan tempat untuk meletakkan telur R. margaritifer. Hal tersebut diduga karena kecubung banyak tumbuh di daerah sumber air dan katak yang bertelur akan meletakkan telurnya di daerah yang dekat dengan sumber air. Selain itu struktur daun kecubung yang lebar juga memudahkan katak untuk meletakkan telurnya di atas daun. Daun yang lebar tersebut menunjukkan telur yang diletakkan di atas daun kecubung akan dilipat untuk melindungi telur.

Setiap melakukan pergerakan atau perpindahan posisi, katak melakukan kontak dengan lingkungannya. Kontak yang dilakukan diantaranya adalah kontak dengan jenis katak yang sama jenisnya. Kontak ini terjadi sekali pada katak jantan** yang pengamatannya hanya 27 jam. Pengamatan menunjukkan adanya kontak dengan tiga individu katak lain pada pukul 09.00 WIB. Pada waktu tersebut belum terjadi kontak kulit pada katak yang diamati, tetapi kontak kulit terjadi pada tiga individu lain. Kemudian pengamatan pada pukul 15.00 WIB menunjukkan kontak kulit terjadi pada katak yang diamati dengan tiga individu katak lain. Jika tidak diamati secara teliti, posisi katak tersebut tidak diketahui karena posisinya berada di sela daun dan menutupi katak. Pada pengamatan ini, suhu tubuh katak tidak memiliki perbedaan yang terlalu jauh. Suhu tubuh yang diukur berkisar 20-20,20C. Kontak ini terjadi pada siang hari yaitu ketika katak istirahat.

(16)

Kontak dengan individu sejenis juga terjadi pada katak betina 4. Ketika ditemukan, katak tersebut jauh dari katak jantan dengan jarak antara katak jantan dan katak betina 4 yaitu sekitar lima meter. Kontak ini terjadi pada pengamatan habituasi katak terhadap alat. Kontak terjadi dengan menempelnya katak jantan pada katak betina pada pukul 23.00 - 06.00 WIB dan tidak terjadi amplexus. Sepanjang malam katak bergerak di daerah rerumputan yang berada di air, sehingga jarak dengan badan air nol meter. Pergerakan katak betina dan jantan di daerah sumber air diduga karena katak betina akan amplexus. Menurut Grzimek (1974) pada saat akan melakukan perkawinan, individu betina Rachophoridae bertugas mencari tempat yang paling cocok untuk meletakkan telur, biasanya berada di permukaan daun di atas permukaan aliran sungai sehingga pada saat telur menetas berudu akan langsung jatuh ke air. Tetapi hal tersebut tidak terjadi diduga karena ada pemasangan spool yang mengganggu katak betina.

Jika dilihat dari kontak R. margaritifer dengan lingkungannya, maka kontak yang paling banyak adalah kontak dengan tumbuhan, sedangkan kontak dengan sesama katak sedikit sehingga adanya kemungkinan penularan penyakit parasit melalui kontak sesama katak sedikit. Menurut Ezenwa (2004) meningkatnya pembentukan formasi populasi host (inang) disebabkan oleh meningkatnya kontak antara individu, dan banyaknya sistem host-patogen berkorelasi positif antara keduanya dan peningkatan kontak parasit.

Setiap satwa memiliki wilayah jelajah, tetapi pada pengamatan pergerakan R. margaritifer selama 72 jam tidak mengukur wilayah jelalah, sehingga wilayah jelajah tidak dapat ditunjukkan. Pada pengamatan tersebut tidak semua aktivitas dapat ditemukan. Hanya beberapa aktivitas yang dapat dilihat secara jelas diantaranya adalah tempat berlindung, tempat tidur, dan daerah sumber air.

Gambar

Tabel 3  Pemilihan bahan untuk pembuatan spool   Alat Penempatan
Tabel 4  Perubahan bobot tubuh R. margaritifer setelah pemakaian spool   Lokasi Alat Jenis
Gambar 8  Rata-rata pergerakan katak dari badan air; (a) Jarak horizontal;
Tabel  5  Pergerakan katak antara tiga jam pengamatan
+6

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui kombinasi jenis dan konsentrasi filler (dekstrin dan tepung beras) terbaik sehingga dapat menghasilkan puree jambu

Masalah yang dibahas dalam penulisan ini adalah cara memberikan warna kepada semua simpul-simpul yang ada, sedemikian rupa sehingga 2 simpul yang berdampingan

Kegiatan siswa pada tahap ini sekaligus melatih keterampilan berpikir kreatif terutama pada indikator keterampilan berpikir lancar, dimana siswa dilatih untuk

Sistem Informasi Ujian Secara Online Pada Perguruan Tinggi AMIK Dian Cipta Cendikia dapat diakses dengan web browser dan berdasarkan pengujian terhadap aplikasi

 Warga Negara atau Penduduk atau Institusi Amerika Serikat Pengendali tidak akan mengajukan tuntutan hukum berupa apapun juga (termasuk tuntutan ganti rugi) kepada BPAM dan BPAM

Sedangkan pada perancangan Tugas Akhir ini, menggunakan metode markov process dimana data yang diolah menggunakan nilai IRI dalam 2 tahun terakhir, Dengan menggunakan metode ini

setiap jenis tepung umbi, dapat dilihat bahwa kadar protein tepung ubi jalar lebih tinggi daripada tepung ubi kayu, hal ini karena pada ubi jalar kandungan protein

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Pondok Indah Jakarta di bagian perawatan Lantai VA, Lantai VC, Lantai IVA, Lantai IVC dan Emergency dilakukan pada bulan