• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Kedudukan Hukum Panitia Tender Dalam Persekongkolan Tender Secara Vertikal (Studi Kasus Ptusan KPPU Nomor 04/KPPU-L/2013)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisa Kedudukan Hukum Panitia Tender Dalam Persekongkolan Tender Secara Vertikal (Studi Kasus Ptusan KPPU Nomor 04/KPPU-L/2013)"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Analisa Kedudukan Hukum Panitia Tender Dalam Persekongkolan Tender

Secara Vertikal (Studi Kasus Ptusan KPPU Nomor 04/KPPU-L/2013)

Adifyan Rahmat Asga, Ditha Wiradiputra

Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia Email: adifyanasga@gmail.com

Abstrak

KPPU didirikan sebagai lembaga dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sampai saat ini KPPU telah banyak sekali menangani kasus persekongkolan tender secara vertikal yang melibatkan panitia tender sebagai terlapor. Sudah jelas dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menjelaskan bahwa tugas dan wewenang KPPU adalah untuk mengawasi pelaku usaha agar tidak melanggar Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Akan tetapi, panitia tender bukanlah pelaku usaha dan seharusnya bukan wilayah atau yurisdiksi KPPU. Skripsi ini akan membahas kedudukan hukum dari panita tender yang bukan merupakan pelaku usaha menyebabkan panitia tender tidak dapat dihukum layaknya pelaku usaha pada persekongkolan tender secara vertikal di Indonesia.

Analysis on the Legal Position of Tender Committee in Vertically Collusive Tender (Case Study of Verdict No. 04/KPPU-L/2013)

Abstract

The Business Competition Supervisory Commission (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) or as known as KPPU was established as an institution by the issuance of President Decision No. 75 Year 1999 concerning the Business Competition Supervisory Commission. Until now, KPPU had handled a large number of cases concerning vertically collusive tenders which involved tender’s committee as the reported. It is clear that Law No. 5 Year 1999 concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Business Competition elucidated that the duties and authorities of KPPU is to supervise the undertaking in order to not violate Law No. 5 Year 1999. However, the tender committee is not a undertaking and should not be in the scope of authority or jurisdiction of KPPU. This research will be discussing the legal position of the tender committee which is not a business operator that causes the tender committee to be failed to be punished like a business operator should have been on a vertically collusive tender in Indonesia.

Keywords : KPPU, Business Competition and Collusive Tender, Tender Committee.

Pendahuluan

Sudah lebih dari 80 negara di dunia yang telah memiliki Undang-Undang Persaingan Usaha dan Anti Monopoli dan lebih dari 20 negara lainnya sedang berupaya menyusun aturan perundangan yang sama. Langkah Negara-negara tersebut, sementara mengarah pada satu tujuan, yaitu meletakkan dasar bagi suatu aturan hukum untuk melakukan regulasi guna

(2)

menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat. Persaingan usaha yang sehat merupakan salah satu sifat Negara yang mengelola perekonomian yang berorientasi pasar.1

Di Indonesia, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dibentuk guna mengawasi dan membatasi para pelaku usaha yang melakukan penyimpangan sehingga menyebabkan iklim persaingan usaha yang tidak sehat. Lahirnya Undang-Undang. No. 5 Tahun 1999 juga merupakan konsekwensi atas diratifikasinya perjanjian Marrakesh oleh DPR dengan UU No. 7 Tahun 1974 yang mengharuskan Indonesia membuka diri dan tidak boleh memberikan perlakuan diskriminatif, antara lain berupa pemberian proteksi terhadap entrie barrier suatu perusahaan dan adanya tekanan IMF yang telah menjadi kreditur bagi Indonesia dalam rangka membatasi krisis moneter yang telah dasyat melanda dan menjadikan terpuruknya ekonomi Indonesia secara luas, atas desakan kondisi tersebut UU. No. 5 Tahun 1999 harus dikeluarkan dan diberlakukan.2 Amanat dari undang-undang ini yang paling penting adalah membentuk suatu komisi pengawas yang gunanya untuk mengawasi jalannya persaingan usaha di Indonesia.

Salah satu larangan tindakan persaingan usaha tidak sehat yang diawasi dan ditangani oleh KPPU adalah larangan persekongkolan tender. Larangan persekokongkolan tender diatur dalam pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan tender menjadi permasalahan yang serius di Indonesia karena banyak yang dirugikan. Banyak yang dirugikan karena pada hakikatnya persekongkolan tender tidak memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh pelaku usaha yang melakukan penawaran untuk mendapatkan obyek barang dan/ jasa yang ditawarkan oleh penyelenggara tender.

Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender yang diterbitkan oleh KPPU juga membagi jenis persekongkolan dalam tender. Pedoman tersebut membaginya dalam 3 jenis, yaitu persekongkolan tender secara horizontal, persekongkolan tender secara vertikal dan persekolan tender secara horizontal dan vertikal. Jadi, berdasarkan Pasal 22 UU

1 Johnny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia,

(Bayumedia, Malang: 2007), hal. 1.

2 Sjahdeni, “Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha tidak Sehat,” Jurnal Hukum Bisnis, Vol

(3)

No. 5 Tahun 1999 dan Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan Tender menegaskan bahwa larangan persekongkolan tender tidak hanya berlaku bagi persekongkolan tender yang melibatkan para pelaku usaha selaku peserta tender, tetapi juga berlaku bagi persekongkolan tender yang melibatkan pelaku usaha peserta tender dan pihak lain yang bukan pelaku usaha. Pihak lain yang bukan pelaku usaha dapat dikategorikan sebagai pengguna barang dan/atau jasa ataupun penjual barang, atau sebagai perantara bagi peserta tender dan pengguna barang dan/atau jasa ataupun penjual barang.3

Sejak tahun 2000 KPPU berdiri, KPPU telah menyelesaikan banyak kasus persekongkolan tender. Melihat kepada putusan-putusan KPPU dalam persekongkolan tender, banyak terjadi persekongkolan tender secara vertikal. Persekongkolan ini sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender. Sepanjang Tahun 2013 sendiri, kasus persekongkolan tender pun masih mendominasi perkara di KPPU.

Salah satu kasus persekongkolan tender secara vertikal yang sudah diputus pada tahun 2014 ini adalah kasus dalam perkara 04/KPPU-L/2013 (Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Tender Pengadaan Alat Berat/Alat Bantu di Balai Pelaksanaan Nasional VIII Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Tahun Anggaran 2011).4 KPPU melalui Majelis Komisi menyatakan para terlapor yaitu Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan/ Panitia Pengadaan Barang/ Jasa Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum Tahun Anggaran 2011 (“Pokja ULP/ Panitia Pengadaan”) sebagai Terlapor I, PT Ifani Dewi sebagai Terlapor II, PT Antar Mitra Sejati sebagai Terlapor III terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999.

Dari hasil pemeriksaan perkara oleh Tim Pemeriksa, Majelis Komisi menilai bahwa telah terbukti terjadi Persekongkolan Horizontal yang dilakukan oleh Terlapor II dan Terlapor III dengan cara bekerja sama dalam penyiapan dokumen penawaran, mendapatkan dukungan dari

3 Yakub Adi Kristanto, “Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Dan Karakteristik Putusan KPPU

Tentang Persekongkolan Tender,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24 No. 2 (2005) hal 45.

4“Ada Persekongkolan Tender di Ditjen Bina Marga Kementrian PU,”

http://www.kppu.go.id/id/2014/01/ada-persekongkolan-tender-di-ditjen-bina-marga-kementerian-pu/, diakses pada 2-3-2014.

(4)

distributor dan pemalsuan surat dukungan dari distributor menunjukkan adanya kerjasama baik secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen, sehingga menciptakan persaingan semu. Majelis Komisi juga menilai bahwa telah terbukti terjadi Persekongkolan Vertikal yang dilakukan oleh Terlapor I dengan Terlapor II dan Terlapor III dengan cara sengaja merubah jenis alat Asphalt Patch Mixer menjadi Truck Maintenance Road, yang izin rancang bangunnya hanya dimiliki oleh PT Berkat Anugerah Raya. Persyaratan ini hanya dapat dipenuhi oleh Terlapor II dan Terlapor III karena PT Berkat Anugerah Raya hanya memberikan surat dukungan kepada Terlapor II dan Terlapor III dalam perkara a quo merupakan bentuk fasilitasi pemenang tertentu.

Selain putusan tersebut, Majelis Komisi juga memberikan rekomendasi kepada atasan Terlapor I untuk memberikan sanksi kepada Terlapor I sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku. Majelis Komisi juga meminta kepada Ketua Komisi untuk merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum c.q. Dirjen Bina Marga untuk melaksanakan tender sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Disini dapat dilihat beberapa perbedaan yang berdasar pada penerapan sanksi yang diberikan oleh KPPU kepada para terlapor, Terlapor I adalah panitia tender yang diberikan rekomendasi, Terlapor II dan Terlapor III adalah peserta tender yang diberikan sanksi administratif.

Kita harus melihat bahwa ini adalah persekongkolan tender secara vertikal maka memang Terlapor I sebagai panitia tender diputus bersalah karena melakukan persekongkolan dengan para pelaku usaha. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, persekongkolan tender secara vertikal dalam Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender, diartikan sebagai persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender. Dalam hal ini yang menjadi pertanyaan adalah bagaimna KPPU menetukan kedudukan hukum panitia tender yang tidak diatur secara jelas dalam UU No. 5 Tahun 1999.

Oleh karena itu berdasarkan pemaparan diatas, persekongkolan tender secara vertikal ini perlu dikaji secara mendalam karena ada berbagai faktor yang menarik dalam persekongkolan ini. Pertama, bagaimana pengaturan persekongkolan tender secara vertikal diatur dalam

(5)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan penerapannya oleh KPPU sebagai lembaga yang berwenang pada putusan 04/KPPU-L/2013. Sebagaimana yang kita tahu memang tender dalam kasus ini adalah tender yang dilakukan oleh pemerintah dan timbul pertanyaan bahwa apakah bila terjadi suatu persekongkolan maka hal ini dapat dikategorikan sebagai korupsi sehingga bila terjadi korupsi dengan demikian Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidaklah lagi berlaku dan seharusnya digunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001) Dengan demikian, sudah benarkah Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengatur permasalahan tender secara vertikal sebagai bentuk suatu persaingan usaha tidak sehat dan sudah benarkah KPPU menerapkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini sebagai lembaga yang berwenang dalam undang-undang tersebut.

Kedua, juga timbul permasalahan lain, yaitu apakah panitia tender merupakan pelaku usaha sesuai dengan apa yang dimaksud oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 sehubungan dengan kewenangan KPPU yang hanya bisa memberikan sanksi kepada pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pada putusan 04/KPPP-L/2013 yang disini jelas KPPU menyatakan Terlapor I bersalah melakukan persekongkolan tender secara vertikal dan memberikan rekomendasi dalam putusannya. Bahkan, KPPU memberikan rekomendasi dan bukan menghukum panitia tender yang secara jelas terbukti melakukan persekongkolan teder secara vertikal oleh majelis.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan, maka terdapat beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian, yaitu:

1. Bagaimanakah persekongkolan tender secara vertikal diatur berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999?

2. Bagaimana pengaturan mengenai panitia tender dalam persekongkolan tender secara vertikal di Negara lain?

3. Bagaimana KPPU menentukan kedudukan hukum panitia tender pada putusan perkara 04/KPPU-L/2013 sehubungan dengan kewenangan KPPU yang hanya bisa memberikan sanksi kepada pelaku usaha berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999?

Berdasarkan latar belakang serta pokok permasalahan di atas, maka tujuan dari pembahasan dalam peneltian ini adalah sebagai berikut:

(6)

1. Mengetahui gambaran mengenai persekongkolan tender yang melanggar hukum persaingan usaha yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Juga untuk mengatahui bagaimana pentingnya persaingan usaha yang sehat dalam pengadaan barang dan jasa khususnya di Pemerintahan.

2. Mengetahui bagaimana pengaturan dan penerapan persekongkolan tender secara vertikal tender oleh KPPU sebagai lembaga yang berwenang berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Mengetahui bagaimana pengaturan persekongkolan tender secara vertikal di Negara-negara lain. Mengetahui apakah kedudukan panitia tender yaitu Ditjen Bina sebagai pihak terlapor terkait dengan pemberian sanksi oleh KPPU sebagai lembaga yang berwenang berdasarkan UU No. 5 tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Metode Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah penelitian kepustakaan berbentuk yuridis-normatif,5 dimana penelitian ini mengacu dan bersumber pada hukum positif tertulis di Indonesia khususnya UU No. 5 Tahun 1999 serta peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengadaan barang dan jasa.

Berdasarkan bentuk penelitian yang berbentuk yuridis-normatif maka penelitian ini menggunakan data sekunder, yaitu data yang telah dalam keadaan siap pakai dan dapat diperoleh tanpa terikat waktu dan tempat.6 Data sekunder dalam penelitian ini berkaitan dengan hukum persaingan usaha, pengadaan barang/jasa juga persekongkolan tender berupa buku, artikel, dan peraturan terkait serta Putusan Nomor 04/KPPU-L/2013. Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumen. Dimana studi dokumen ini dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, yang terdiri dari:

5 Sri Mamudji, et.al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet.1, (Depok: Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-10.

6 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:

(7)

1. Bahan hukum primer, bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan di Indonesia. Didalam penelitian ini meliputi UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer meliputi buku, hasil penelitian, jurnal, makalah, penulusuran internet, surat kabar dan artikel yang berhubungan dengan permasalahan.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, misalnya ensiklopedia atau kamus.

Sedangkan tipe penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif-analitis.7 Penelitian ini digunakan untuk menggambarkan dari segi aspek hukum persaingan usaha dalam hal terjadinya kedudukan hukum dari panitia tender dalam suatu tender pengadaan barang/jasa dana bagaimana penerapan Hukum Persaingan Usaha dalam persekongkolan tender secara vertikal. Kemudian menjelaskan kasus persaingan usaha yang terjadi pada perkara 04/KPPU-L/2013 dimana para Terlapor diputus melakukan persekongkolan tender dan diberi sanksi oleh KPPU. Penelitian ini juga menjelaskan kedudukan pihak terlapor yaitu panitia tender pada putusan perkara 04/KPPU-L/2013 sehubungan dengan kewenangan KPPU yang hanya/ bisa memberikan sanksi kepada pelaku usaha.

Tinjauan Teoritis

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan, bahwa persekongkolan (conspiracy) adalah: “A combination or confederacy between two or more persons formed for the pupose of committing, by their joint efforts, some unlawful or criminal act, or some act which is lawful in itself, but becomes unlawful when done by the concerted action of the conspirators, or for

(8)

the purpose of using criminal or lawful means to the commission of an act not itself unlawful.”8

Istilah persekongkolan (conspiracy) sebetulnya berasal dari Antitrust Law di Amerika Serikat yang didapat melalui Yurispudensi Mahkamah Tertinggi Amerika Serikat, berkaitan dengan ketentuan pasal 1 The Sherman Act 18909 menyatakan bahwa,”...persekongkolan untuk

menghambat perdagangan… (…conspiracy in restraint of trade…).” Mahkamah Tertinggi USA menciptakan istilah “concerted action,” untuk mendefinisikan istilah persekongkolan dalam hal menghambat perdagangan, serta merumuskan prinsip, bahwa terhadap pelaku usaha harus dibuktikan, terdapat kegiatan saling menyesuaikan yang berlandaskan pada persekokongkolan guna menghambat perdagangan serta pembuktiannya dapat disimpulkan dari kondisi yang ada. Berdasarkan perumusan istilah di Amerika Serikat tersebut maka persekongkolan adalah kesepakatan dalam bentuk kerja sama yang konsekuensinya adalah perilaku yang saling menyesuaikan (conspiracy is on agreement which has consequence of concerted action).10

Di Indonesia ketentuan mengenai larangan persekongkolan tender diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Adapun unsur – unsur persekongkolan tender yang terdapat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah:

1. Unsur pelaku usaha (Pasal 1 angka (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).

Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama – sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.11

8 Henty Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 5th ed., (Minnesota: West Publishing, 1998), hal 382. 9 Persekongkolan di Amerika Serikat dikenal dengan istilah collusion atau conspiracy, diatur dalam Pasal

1 The Sherman Act 189077 yang menyatakan bahwa “Every Contract, combination in the form of trust or otherwise, or conspiracy, in restraint of trade or commerce among several States, or with foreign nations, is hereby declared to be illegal. Every person who shall make any contract or engage in any combination or conspiracy hereby declared to be illegal shall be deemed guilty of a felony, and, on exceeding $10,000,000 if a corporation, or, if any other person, $350,000, or by imprisonment not exceeding three years, or by both said punishments, in the discretion of the court.”

10 Knud Hansen, Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Bussiness

Competition, (Katalist, Jakarta, 2002), hal 323-324.

11 Lihat Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan

(9)

2. Unsur bersekongkol12

Yang dimaksud dengan bersekongkol adalah “kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.” Unsur “pihak lain”13

“Para pihak baik vertikal maupun horizontal yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan dalam kegiatan tender baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau subjek hukum lain yang terkait dengan kegiatan tender tersebut.” Unsur pihak lain menunjukkan bahwa persekongkolan selalu melibatkan lebih dari satu pelaku usaha. Pengertian pihak lain dalam hal ini meliputi para pihak yang terlibat, baik secara horizontal maupun secara vertikal dalam proses penawaran tender yang melakukan persekongkolan tender, baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau subyek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut.

3. Unsur mengatur dan atau menentukan pemenang tender

Unsur bid rigging (persekongkolan tender) lainnya adalah “mengatur dan atau menentukan pemenang tender”. Unsur ini diartikan sebagai suatu perbuatan para pihak yang terlibat dalam proses tender secara bersekongkol, yang bertujuan untuk menyingkirkan pelaku usaha lain sebagai pesaingnya dan atau untuk memenangkan peserta tender tertentu dengan berbagai cara. Pengaturan dan penentuan pemenang tender dapat dilakukan secara horizontal maupun vertikal, artinya baik dilakukan oleh para pelaku usaha atau panitia pelaksana.14

4. Unsur persaingan usaha tidak sehat

Unsur yang terakhir dari ketentuan tentang persekongkolan adalah terjadinya “persaingan usaha tidak sehat.”15 Unsur ini menunjukkan, bahwa persekongkolan menggunakan pendekatan rule of reason, karena dapat dilihat dari kalimat “....sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.” Pendekatan rule of reason merupakan pendekatan hukum yang digunakan lembaga

12 Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI, Pedoman Larangan Persekongkolan Tender Berdasarkan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, Jakarta, 23 November 2004, hal. 13.

13 Ibid., hal 13.

14 L. Budi Kagramanto, Op. Cit., hal. 110.

15 Lihat Pasal 1 butir 6 Undang–Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat yang menyatakan bahwa “Persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”

(10)

pengawas persaingan usaha untuk mempertimbangkan faktor–faktor kompetitif dan menetapkan ada tidaknya suatu hambatan perdagangan. Artinya apakah hambatan tersebut bersifat mencampuri, atau bahkan mengganggu persaingan.16

Persekongkolan tender di Indonesia dapat dibedakan pada 3 jenis, yaitu persekongkolan horizontal, persekongkolan vertikal, dan gabungan persekongkolan vertikan dan horizontal. Pertama, persekongkolan horizontal merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesame pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya. Persekongkolan ini dapat dikategorikan sebagai persekongkolan dengan mencipkan persaingan semu di antara peserta tender.17 Kedua, persekongkolan vertikal merupakan persekongkolan yang terjadi antara salah satu atau beberapa pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan. Persekongkolan ini dapat terjadi dalam bentuk dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bekerjasama dengan salah satu atau beberapa peserta tender.18 persekongkolan horizontal dan vertikal merupakan persekongkolan antara panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Persekongkolan ini dapat melibatkan dua atau tiga pihak yang terkait dalam proses tender. Salah satu bentuk persekongkolan ini adalah tender fiktif, dimana baik panitia tender, pemberi pekerjaan, maupun para pelaku usaha melakukan suatu proses tender hanya secara administratif dan tertutup.

Apabila dibandingkan dengan Negara lain, Amerika Serikat mengatur pengawasan terhadap persekongkolan tender dalam Pasal 1 Sherman Act 1870. Mahkamah Tertinggi Amerika Serikat merumuskan bahwa terhadap pelaku usaha harus dibuktikan terjadinya persekongkolan berlandaskan perjanjian sebagai unsur utamanya. Di dalam pengertian yang lazim diterima di Amerika Serikat, persekongkolan adalah penyatuan pendapat dan pandangan yang dihasilkan oleh satu pertemuan untuk melakukan tindakan bersama-sama. Selain itu, Mahkamah Tertinggi Amerika Serikat juga merumuskan bahwa terhadap pelaku

16 E. Thomas Sullivan dan Jeffrey L. Harrison, Understanding Antitrust and Its Economic Implications

(New York: Matthew Bender &Co., 1994), hal. 85.

17 Komisi Pengawas Persaingan Usaha RI, Pedoman Larangan Persekongkolan dalam Tender

berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999, Op. Cit., hal 16.

(11)

usaha harus dibuktikan terjadinya persekongkolan berlandaskan perjanjian sebagai unsur utamanya. Pembagian bentuk persekongkolan di Amerika Serikat berbeda dengan di Indonesia dimana persekongkolan atau conspiracy atau collusion dibagi menjadi tiga bentuk, yaitu Price Fixing, Market Division or allocation, dan Bid Rigging.

Perbedaan Amerika Serikat dengan Indonesia adalah pada bagian penegakan hukum persaingan usahanya. Pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat dilakukan oleh dua instansi, yaitu Federal Trade Commision (FTC) yang dibentuk berdasarkan FTC act 191. Antitrust Division of Departement of Justice (Doj-AD). Federal Trade Commision memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan investigasi, dengar pendapat serta mengeluarkan perintah dan menindak pelaku pelanggaran terhadap anti trust law secara keperdataan. Dalam FTC tidak terdapat ancaman hukuman pidana, sehingga FTC act tidak memiliki kewenangan untuk menangani pelanggaran terhadap anti trust law secara pidana, tetapi berwenang menangani pelanggaran ketentuan persaingan usaha dari sisi perdata, sehingga kemungkinan tumpang tindih kewenangan penegakan hukum persaingan usaha secara pidana tidak perlu terjadi. Dan disebutkan juga dalam Persekongkolan (collusion) di Amerika Serikat lebih bernuansa pidana berdasarkan penjelasan dari Anti Trust Division of Departement of Justice. Tetapi perlu diketahui bahwa pengaturan mengenai kedudukan panitia tender dan sanksi yang diberikan ketika panitia tender terlibat dalam persekongkolan vertikal penulis tidak menemukannya dalam hukum persaingan usaha di Amerika Serikat.

Selain Amerika Serikat, di Jepang persekongkolan tender diatur dalam Undang-undang yang mengatur persaingan usaha di Jepang, yaitu Act No. 54 of April 14 1947 Antimonopoly Act Concerning Prohibition Of Private Monopoly And Maintenance Of Fair Trade (selanjutnya disebut Act 54) dan mengenai persekongkolan tender secara khusus terdapat dalam Article 2.(6) Act 54. Terjemahan bebanya dalam Bahasa Indonesia di dalam Article 2.(6) Act 54 adalah “hambatan perdagangan yang tidak beralasan” sebagaimana digunakan dalam Act ini berarti suatu kegiatan bisnis, dimana pengusaha, dengan kontrak, perjanjian atau segala macam tindakan bersama, tidak mempedulikan namanya, dengan pengusaha lain, bersama-sama menghambat atau melakukan kegiatan bisnis sedemikian rupa untuk menetapkan, mempertahankan, atau menaikkan harga, atau untuk membatasi produksi, teknologi, produk, fasilitas, atau konsumen atau supplier, dimana mengakibatkan, berlawanan dengan kepentingan publik, hambatan persaingan yang besar di dalam setiap bidang perdagangan

(12)

tertentu.” Di Jepang terdapat pengaturan lain mengenai persekongkolan tender yaitu dalam Article 96.(3) dari Criminal Code Act 45. Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam Act 45 mengintrepretasikan persekongkolan tender. Disini persekongkolan tender diartikan dengan sempit sehingga hanya persekongkolan tender yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar dari dana publik saja yang dapat dihukum dengan Act 45.

Sebagai Negara yang menjujung tinggi persaingan usaha yang sehat, Jepang telah mengembangkan sendiri suatu bentuk tender yang kompetitif agar mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Jepang mengembangkan sistem tender yang unik dikenal dengan sebutan “designated bidding system” (sistem penawaran ditunjuk).” Disini, hanya perusahaan-perusahaan yang telah ditunjung diantara pengusaha yang terdaftar saja yang diundang untuk melakukan tender oleh badan pengadaan. Berdasarkan pada pengaturan di Jepang dan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa suatu persekongkolan tender di Jepang adalah suatu jenis pelanggaran terhadap persaingan usaha karena dengan adanya praktek persekongkolan tender ini akan berdampak buruk bagi tatanan ekonomi nasional dan masyarakat luas. Mengenai kedudukan panitia tender tidak diatur dalam hal pengaturan secara khusus dalam praktek persekongkolan tender ini. Panitia tender yang biasanya adalah pejabat-pejabat dilingkungan sauatu kementerian akan lebih dikenakan pada suatu lingkup hukum pidana yang berupa korupsi. Persekongkolan tender secara vertikal di Jepang tidak termasuk dalam persekongkolan yang diatur dalam hukum persaingan usaha Jepang. Namun, yang diatur adalah mengenai persekongkolan tender yang melibatkan politikus atau pejabat masuk kedalam ranah hukum pidana yang berupa tindak pidana korupsi.

Pembahasan

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“Sekretariat Komisi”) telah menerima laporan dari masyarakat tentang dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Tender Pengadaan Alat Berat/Alat Bantu di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Tahun Anggaran 2011. Identitas Terlapor dalam kasus ini antara lain: Terlapor I, Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan/ Panitia Pengadaan Barang/ Jasa Balai Pelaksanaan Jalan Nasional VIII Direktorat Jenderal Bina Marga,Kementerian Pekerjaan Umum Tahun Anggaran 2011 (“Pokja ULP/ Panitia Pengadaan”); Terlapor II, PT Ifani Dewi; Terlapor III, PT Antar Mitra Sejati.

(13)

Dari hasil pemeriksaan perkara oleh Tim Pemeriksa, Majelis Komisi menilai bahwa telah terbukti terjadi Persekongkolan Horizontal yang dilakukan oleh Terlapor II dan Terlapor III dengan cara bekerja sama dalam penyiapan dokumen penawaran, mendapatkan dukungan dari distributor dan pemalsuan surat dukungan dari distributor menunjukkan adanya kerjasama baik secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen, sehingga menciptakan persaingan semu. Majelis Komisi juga menilai bahwa telah terbukti terjadi Persekongkolan Vertikal yang dilakukan oleh Terlapor I dengan Terlapor II dan Terlapor III dengan cara sengaja merubah jenis alat Asphalt Patch Mixer menjadi Truck Maintenance Road, yang izin rancang bangunnya hanya dimiliki oleh PT Berkat Anugerah Raya. Persyaratan ini hanya dapat dipenuhi oleh Terlapor II dan Terlapor III karena PT Berkat Anugerah Raya hanya memberikan surat dukungan kepada Terlapor II dan Terlapor III dalam perkara a quo merupakan bentuk fasilitasi pemenang tertentu.

Yang menarik disini adalah untuk Terlapor I yang dianggap telah terbukti melakukan persekongkolan vertikal dan Majelis Komisi memberikan Rekomendasi atas terbuktinya pelanggarannya tersebut. Majelis Komisi merekomendasikan kepada Atasan Terlapor I untuk memberikan sanksi kepada Terlapor I sesuai dengan peraturan-perundangan yang berlaku. Majelis Komisi meminta kepada Ketua Komisi untuk merekomendasikan kepada Menteri Pekerjaan Umum c.q. Dirjen Bina Marga untuk melaksanakan tender sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat.

Dalam hal ini memang KPPU sebagai lembaga penegak hukum persaingan, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi berupa tindakan administrasi untuk mencegah dan/atau mengembalikan kesejahteraan yang hilang tersebut. Tindakan administratif dalam Ilmu hukum merupakan salah satu bentuk sanksi administrasi. Sanksi administrasi dapat diartikan sebagai perwujudan overheidshandeling tentang keputusan, ketetapan dan penetapan.19 Berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, KPPU berwenang melakukan tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

(14)

Pasal 47 juncto Penjelasan Umum Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menetapkan bahwa KPPU berwenang untuk mejatuhkan sanksi administratif kepada para pelaku usaha yang melanggar Undang-Undang No 5 Tahun 1999, khususnya yang terlibat dalam persekongkolan tender. Yang perlu kita lihat dalam Pasal 47 ayat (1) dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini adalah ketika menyebutkan bahwa KPPU hanya berwenang menjatuhkan sanksi administrasi ini hanya kepada pelaku usaha,20 bukan kepada pihak lain yang terlibat dalam suatu pelanggaran undang-undang tersebut.

Dalam persekongkolan tender juga disebutkan dalam pasal 22 bahwa “Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.”21 Disini memang terdapat kejanggalan karena Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini menyebutkan ada pihak lain yang bersekongkol dengan pelaku usaha. Namun tetap pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 ini tidak sama sekali menyebutkan bahwa KPPU berwenang untuk memberikan sanksi administrasi kepada pihak lain tersebut. Oleh karena itu sesuai dengan Undang-Undang ini, seharusnya KPPU dalam hal ini Majelis Komisi pada putusan Perkara Nomor 04/KPPU-L/2013 tidak bisa menghukum pihak lain yang terlibat dalam persekongkolan tender dengan beralaskan pasal 47 ayat (1) Undang-Undang No. 5 tahun 1999 berupa sanksi administratif.22 Melihat penjelasan ini dapat disimpulkan dengan jelas bahwa panitia tender yang merupakan pihak lain dan bukan pelaku usaha tidak dapat dikenakan Pasal 47 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999.

20 Lihat Pasal 1 angka 5 Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha tidak Sehat yang menyebutkan bahwa “Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.”

21Indonesia, Undang-undang Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat, Nomor 5 Tahun 1999, Op. Cit., Pasal 22.

22 Lihat Pasal 47 ayat (1) Undang – Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha tidak Sehat yang menyebutkan bahwa “Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

(15)

Selain itu, jika dilihat dari kewenangan KPPU dalam Memberikan Sanksi Pidana Pokok dan Pidana Tambahan yaitu berpedoman pada bunyi pasal 44 ayat (4) dan (5), pelanggaran ini sifatnya keperdataan, sepanjang pelaku usaha menerima putusan dan menjalankan tindakan administratif yang dijatuhkan oleh komisi kepadanya. Namun, jika pelaku usaha tidak menjalankan putusan tersebut atau tidak kooperatif, berarti sifat pelanggaran tersebut beralih menjadi dugaan terjadinya tindak pidana.23 Terhadap sikap pelaku yang tidak menjalankan putusan komisi ini, komisi berwenang mengajukan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan. Dengan demikian, maka Lex Specialis yang diberlakukan dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 berubah menjadi Lex Generalis, yaitu penyidikan itu telah masuk dalam wilayah hukum acara pidana KUHAP, dimana putusan komisi yang tidak dilaksanakan itu menjadi bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.24 Dapat ditarik kesimpulan bahwa wewenang komisi dalam penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran ketentuan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 hanyalah sebatas sanksi administratif saja sebagaimana telah diatur sanksinya dalam Pasal 47 ayat (2). Sedangkan untuk menjatuhkan sanksi pidana, prosedurnya adalah sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP) dan itu merupakan kewenangan dari Pengadilan Negeri.25

Perlu diketahui dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak diatur sama sekali tentang kedudukan hukum Panitia Tender dan juga tidak diatur tentang bagaimana sanksi yang diberikan ketika panitia tender terbukti bersalah. Jika melihat pada Perkom No. 2 Tahun 2010 Pasal 1 angka 13 disebutkan bahwa Terlapor adalah pelaku usaha dan/atau pihak lain yang diduga melakukan pelanggaran dan dikaitkan pihak lain yang diberikan oleh Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Praktek Persekongkolan Tender adalah para pihak (horizontal dan vertikal) yang terlibat dalam proses tender yang melakukan persekongkolan tender baik pelaku usaha sebagai peserta tender dan atau subjek hukum lainnya yang terkait dengan tender tersebut maka panitia tender menjadi mempunyai kedudukan hukum karena panitia tender adalah pihak lain. Tetapi tetap saja KPPU tidak bisa menjatuhkan hukuman apapun kepada Panitia Tender karena tidak diatur sama sekali dalam Undang-Undang dan juga peraturan lainnya.

23 Elyta Ras Ginting, Hukum Anti Monopili (Analisis dan Perbandingan Undang – Undang Nomor 5

Tahun 1999), Cet. 1, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001). hal 116.

24 Ibid. 25 Ibid.

(16)

Jika kita kembali melihat seluruh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, terdapat beberapa hal yang menjadi poin penting. Pertama, penjelasan Undang-Undang No. 5 Tahun 199926 dijelaskan secara pasti bahwa suatu persaingan usaha tidak sehat hanya dapat ditimbulkan oleh pelaku usaha. Bagian umum ini juga menegaskan bahwa hanya pelaku usaha saja yang mungkin dikenakan sanksi oleh hukum persaingan usaha. Tidak mungkin mereka yang bukan pelaku usaha mempunyai tanggung jawab berdasarkan hukum persaingan usaha karena mereka tidak menimbulkan praktek-praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat dan tidak pula melakukan kegiatan usaha.

Kedua, dalam Pasal 1 angka 18 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 menegaskan bahwa KPPU adalah komisi yang dibentuk untuk mengawasi Pelaku Usaha dalam menjalankan kegiatan usahanya agar tidak melakukan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Dari definisi yang diberikan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 terhadap KPPU, telah terlihat secara jelas bahwa hanya pelaku usaha-lah yang merupakan domain KPPU. Bila KPPU dalam perkara ini menghukum mereka yang bukan merupakan pelaku usaha atau bahkan menjadikan mereka yang bukan pelaku usaha sebagai terlapor, maka KPPU telah bertindak diluar yurisdiksinya sendiri sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh KPPU adalah cacat hukum dan juga bertentangan dengan hukum.

Selain itu, Pasal 3 huruf c Undang-Undang No. 5 tersebut kembali disebutkan bahwa tujuan dari hukum persaingan usaha adalah mencegah praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha. Dengan demikian, jelas sudah bahwa Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 hanya untuk pelaku usaha saja. Apabila status atau kedudukan suatu subjek hukum tidak dapat dikatagorikan sebagai pelaku usaha, maka Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tidak dapat menghukum mereka atau bahkan membuat mereka sebagai terlapor. Oleh karena itu dijelaskan sekali lagi bahwa subjek hukum yang bukan pelaku usaha tidak mempunyai kedudukan hukum dalam konteks hukum persaingan usaha.

26 Indonesia, Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan

Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817.

(17)

OECD report, bagian Indonesia, dijelaskan bahwa hubungan antara hukum persaingan dan kegiatan korupsi di Indonesia terdapat dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengenai larangan persekongkolan tender. Persekongkolan secara vertikal antara pelaku usaha dan panitia tender tidak dapat dipisahkan dari usaha korupsi. Sulit untuk dibayangkan jika ada fasilitas dari panitia tender (pemerintah) untuk pelaku usaha tanpa melibatkan korupsi. Dalam menanggapi korupsi pada pengadaan barang/jasa publik melalui penegakan hukum persaingan, KPPU menempuh beberapa cara. Pertama melalui kerjasama dengam KPK. Hukum di Indonesia mandat KPK, polisi, jaksa untuk bekerjasama untuk mencegah dan mengambil tindakan akan kegiatan korupsi. Sejak korupsi mungkin terlibat dengan Penegakan Pasal 22, KPPU telah menginisiasikan kerjasama formal antara institusi-institusi tersebut. Kerjasama ini berfokus pada pertukaran informasi, data, sosialisasi bersama terkait dengan pencegahan persekongkolan dalam tender, dan delegasi kasus yang melibatkan korupsi.27

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang sudah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya, diperoleh kesimpulan seperti yang diuraikan di bawah ini.

1. Hukum persaingan usaha melarang setiap persekongkolan oleh pelaku usaha dengan pihak lain dengan tujuan untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang suatu tender. Hal tersebut jelas merupakan perbuatan anti persaingan dan tidak fair terutama bagi peserta tender lainnya. Tender pun dalam pengertian hukum persaingan usaha diartikan sebagai penawaran pengajuan harga untuk memborong suatu pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Tender ditawarkan oleh pengguna barang dan jasa kepada pelaku usaha yang mempunyai kredibilitas dan kapabilitas berdasarkan alasan efektifitas dan efisiensi, jadi memang pemenangnya tidak dapat diatur sedemikian rupa agar memenangkan satu atau lebih pelaku usaha dengan cara-cara curang dalam hal ini adalah persekongkolan. Oleh karena itu segala bentuk persengkongkolan untuk mengatur atau menentukan pemenang tender dapat mengakibatkan terjadinya suatu persaingan usaha yang tidak sehat. Dalam hukum

27 OECD – Indonesia report, Collution and Corruption in Public Procurement,

(18)

persaingan usaha di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terdapat tiga bentuk Persekongkolan tender, yaitu persekongkolan tender secara vertikal, persekongkolan tender secara horizontal dan persekongkolan tender secara vertikal dan horizontal (gabungan). Persekongkolan vertikal adalah persekongkolan dimana satu atau beberapa pelaku usaha dengan panitia/penyelenggara tender berkolaborasi untuk memenangkan satu atau beberapa pelaku usaha. Kedua, persekongkolan horizontal merupakan persekongkolan yang terjadi antara pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa dengan sesama pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa pesaingnya. Ketiga, persekongkolan tender secara horizontal dan vertikal (gabungan) dimana panitia tender atau panitia lelang atau pengguna barang dan jasa atau pemilik atau pemberi pekerjaan bersekongkol dengan pelaku usaha atau penyedia barang dan jasa. Sebagaimana yang sudah diamanatkan oleh undang-undang, KPPU sendiri mempunyai tugas dan wewenangan untuk mengawasi pelaksanaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tersebut, salah satunya adalah untuk menangani kasus-kasus hukum persaingan usaha. Dalam kasus persekongkolan tender sesuai dengan Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 pendekatan yang diambil KPPU adalah pendekatan rule of reason yang berarti dalam menentukan suatu perjanjian telah menghambat atau mendukung persaingan siperlukan suatu evaluasi mengenai akibat dari perjanjian tersebut segala sesuatu harus ada alasan dan buktinya terlebih dahulu.

2. Amerika Serikat mengatur pengawasan terhadap persekongkolan tender dalam Pasal 1 Sherman Act 1870. Mahkamah Tertinggi Amerika Serikat merumuskan bahwa terhadap pelaku usaha harus dibuktikan terjadinya persekongkolan berlandaskan perjanjian sebagai unsur utamanya. Di dalam pengertian yang lazim diterima di Amerika Serikat, persekongkolan adalah penyatuan pendapat dan pandangan yang dihasilkan oleh satu pertemuan untuk melakukan tindakan bersama-sama. Yang paling membedakan dengan Indonesia dengan Amerika Serikat adalah pada bagian penegakan hukum persaingan usahanya. Pelaksanaan penegakan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat dilakukan oleh dua instansi, yaitu Federal Trade Commision (FTC) yang dibentuk berdasarkan FTC act 191. Antitrust Division of Departement of Justice (Doj-AD). Federal Trade Commision memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan investigasi, dengar pendapat serta mengeluarkan perintah dan menindak pelaku pelanggaran terhadap anti trust law secara keperdataan. Dalam FTC tidak terdapat ancaman hukuman pidana, sehingga FTC act tidak memiliki kewenangan untuk menangani pelanggaran terhadap

(19)

anti trust law secara pidana, tetapi berwenang menangani pelanggaran ketentuan persaingan usaha dari sisi perdata, sehingga kemungkinan tumpang tindih kewenangan penegakan hukum persaingan usaha secara pidana tidak perlu terjadi. Dan disebutkan juga dalam Persekongkolan (collusion) di Amerika Serikat lebih bernuansa pidana berdasarkan penjelasan dari Anti Trust Division of Departement of Justice. Jadi dapat disimpulkan bahwa, Amerika Serikat dalam peraturan Hukum Persaingan Usaha di Negara mereka mengakui bahwa persekongkolan atau conspiracy merupakan suatu bentuk persaingan usaha tidak sehat yang akan merugikan tatanan masyarakat luas. Namun perlu diketahui bahwa pengaturan mengenai kedudukan panitia tender dan sanksi yang diberikan ketika panitia tender terlibat dalam persekongkolan vertikal penulis tidak menemukannya dalam hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Selain Amerika Serikat, di Jepang persekongkolan tender diatur dalam Undang-undang yang mengatur persaingan usaha di Jepang, yaitu Act No. 54 of April 14 1947 Antimonopoly Act Concerning Prohibition Of Private Monopoly And Maintenance Of Fair Trade (selanjutnya disebut Act 54) dan mengenai persekongkolan tender secara khusus terdapat dalam Article 2.(6) Act 54. Terjemahan bebanya dalam Bahasa Indonesia di dalam Article 2.(6) Act 54 adalah “hambatan perdagangan yang tidak beralasan” sebagaimana digunakan dalam Act ini berarti suatu kegiatan bisnis, dimana pengusaha, dengan kontrak, perjanjian atau segala macam tindakan bersama, tidak mempedulikan namanya, dengan pengusaha lain, bersama-sama menghambat atau melakukan kegiatan bisnis sedemikian rupa untuk menetapkan, mempertahankan, atau menaikkan harga, atau untuk membatasi produksi, teknologi, produk, fasilitas, atau konsumen atau supplier, dimana mengakibatkan, berlawanan dengan kepentingan publik, hambatan persaingan yang besar di dalam setiap bidang perdagangan tertentu.” Di Jepang terdapat pengaturan lain mengenai persekongkolan tender yaitu dalam Article 96.(3) dari Criminal Code Act 45. Akan tetapi, terdapat perbedaan dalam Act 45 mengintrepretasikan persekongkolan tender. Disini persekongkolan tender diartikan dengan sempit sehingga hanya persekongkolan tender yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar dari dana publik saja yang dapat dihukum dengan Act 45. Sebagai Negara yang menjujung tinggi persaingan usaha yang sehat, Jepang telah mengembangkan sendiri suatu bentuk tender yang kompetitif agar mencegah terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat. Jepang mengembangkan sistem tender yang unik dikenal dengan sebutan “designated bidding system” (sistem penawaran ditunjuk).” Disini, hanya perusahaan-perusahaan yang telah ditunjung diantara pengusaha yang terdaftar saja yang diundang untuk melakukan tender

(20)

oleh badan pengadaan. Berdasarkan pada pengaturan di Jepang dan penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa suatu persekongkolan tender di Jepang adalah suatu jenis pelanggaran terhadap persaingan usaha karena dengan adanya praktek persekongkolan tender ini akan berdampak buruk bagi tatanan ekonomi nasional dan masyarakat luas. Mengenai kedudukan panitia tender tidak diatur dalam hal pengaturan secara khusus dalam praktek persekongkolan tender ini. Panitia tender yang biasanya adalah pejabat-pejabat dilingkungan sauatu kementerian akan lebih dikenakan pada suatu lingkup hukum pidana yang berupa korupsi. Persekongkolan tender secara vertikal di Jepang tidak termasuk dalam persekongkolan yang diatur dalam hukum persaingan usaha Jepang. Namun, yang diatur adalah mengenai persekongkolan tender yang melibatkan politikus atau pejabat masuk kedalam ranah hukum pidana yang berupa tindak pidana korupsi. 3. Berdasarkan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak satupun dalam

Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyebutkan bahwa KPPU dalam hal ini berwenang memberikan sanksi apapun kepada pihak lain yang terlibat persekongkolan tender khususnya panitia tender. Rekomendasi Majelis pada Perkara Nomor 04/KPPU-L/2013 juga tidak beralaskan hukum karena dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat tidak ada yang mengatur tentang KPPU berwenang memberikan rekomendasi kepada pihak lain yang terlibat dalam persekongkolan tender secara vertikal. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh KPPU kali ini tidak beralaskan hukum. Kemudian, kedudukan hukum panitia tender atau pihak lain memang belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 dan yang paling penting adalah panitia tender bukanlah pelaku usaha dan tidak bisa dihukum oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Dan terakhir, sudah jelas bahwa inti dari hukum persaingan usaha di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 adalah untuk menghilangkan sifat anti persaingan yang ditimbulkan oleh pelaku usaha dan bukan untuk mereka yang tidak termasuk sebagai pelaku usaha.

Saran

1. KPPU sebagai lembaga yang berwenang dalam hal ini adalah Majelis Komisi tidak lagi dibolehkan untuk menghukum panitia tender karena memang tidak ada dasar hukum yang jelas untuk menghukum panitia tender. KPPU juga tidak bisa

(21)

memberikan rekomendasi karena sudah jelas dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tidak diatur. Disini penulis menyadari bahwa KPPU harus mengatur lebih jelas mengenai bagaimana kedudukan hukum para pihak juga penerapan dan sanksi dalam persekongkolan tender, terutama untuk bukan pelaku usaha dalam bentuk pedoman agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.

2. KPPU juga bisa bekerja sama atau berkoordinasi dengan instansi pemerintah, POLRI, Kejaksaan, juga KPK dalam hal menangani tindak pidana persekongkolan tender terutama dalam menindak panitia tender yang melakukan kecurangan-kecurangan dalam proses tender. Hal ini dilakukan agar tidak ada tumpang tindih dalam menangani tidak pidana yang dilakukan oleh panitia tender dalam persekongkolan tender. Hal ini sesuai dengan penegakan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat maupun Jepang yang menyerahkan langsung kepada pihak yang lebih berwenang dalam hal pelanggaran yang dilakukan panitia tender karena menurut kedua Negara tersebut, hal ini merupakan bagian dari ranah tindak pidana korupsi. Dalam OECD report, bagian Indonesia, pun dijelaskan bahwa hubungan antara hukum persaingan dan kegiatan korupsi di Indonesia terdapat dalam Pasal 22 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 mengenai larangan persekongkolan tender dan Persekongkolan secara vertikal antara pelaku usaha dan panitia tender tidak dapat dipisahkan dari usaha korupsi. Sulit untuk dibayangkan jika ada fasilitas dari panitia tender (pemerintah) untuk pelaku usaha tanpa melibatkan korupsi.

3. Pelaku Usaha yang juga merasa dirugikan dalam mengikuti proses pengadaan barang dan jasa atau tender harus segera melaporkan panitia tender yang melakukan persekongkolan tender ke lembaga yang berwenang, misalnya POLRI, kejaksaan, atau KPK jika terdapat panita tender yang melakukan kecurangan, modus atau terdapat indikasi persekongkolan tender dengan salah satu atau beberapa pelaku usaha lain. 4. Pemerintah sebagai pihak yang menjadi kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa

melalui penunjukan panita tender harus melakukan pengawasan ketat terhadap panitia tender yang merupakan pegawai negeri karena pengawasan ketat penting dilakukan agar proses pengadaan barang dan jasa berjalan dengan lancar dan tidak menimbulkan kecurangan-kecurangan dalam pelaksananaanya khusunya persekongkolan tender secara vertikal.

(22)

Daftar Referensi Buku

Black, Henty Campbell (1998). Black’s Law Dictionary, 5th ed. Minnesota: West Publishing.

Hansen, Knud (2002). Law Concerning Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Bussiness Competition. Jakarta: Katalist.

Ibrahim, Johnny. (2007). Hukum Persaingan Usaha: Filosofi, Teori, dan Implikasi Penerapannya di Indonesia. Malang: Banyumedia.

Kagramanto, L. Budi. (2008). Larangan Persekongkolan Tender (Perspektif Hukum Persaingan Usaha). Cet. 1 Surabaya: Srikandi.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha. (2007). Pedoman Pasal 22 tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta: Cetakan ke-IV.

Mamudji, Sri. Et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. (1994) Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo.

Sullivan, E. Thomas dan Jeffrey L. Harrison. (1994). Understanding Antitrust and Its Economic Implications. New York: Matthew Bender &Co.

Artikel dan Jurnal

Yakub Adi (2005). “Analisis Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Dan Karakteristik Putusan KPPU Tentang Persekongkolan Tender.” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 24 No. 2.

Toshiaki Tokigawa (2002). “The Prospect of Antitrust Law and Policy in the Twenty-First Century: in Reference to the Japanese Antimonopoly Law and Japan Fair Trade Commission.” Washington University Global Studies Law Review.

(23)

Indonesia. Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU No.5 Tahun 1999, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817.

Komis Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penanganan Perkara.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 5 2 Tahun 2010 Tentang Peoman Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Persekongkolan Dalam Tender Pasal 22 Tentang Larangan Prsekongkolan Dalam Tender.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Peraaturan Komisi Pengawas Persaingan usaha No. 4 Tahun 1999 Tentang pedoman Administratif Pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Paktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Kasus

Putusan Perkara KPPU Nomor 04/2013-L/KPPU (Dugaan Pelanggaran Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pada Tender Pengadaan Alat Berat/Alat Bantu di Balai Pelaksanaan Nasional VIII Direktorat Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum Tahun Anggaran 2011)

Internet

OECD – Indonesia report, Collution and Corruption in Public Procurement, http://www.oecd.org/dataoecd/19/48/44558296.pdf, diakses pada tanggal 17-6-2014.

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan Pelelangan Paket Pekerjaan Pembuatan Tanggul dan Normalisasi Sungai Lawe Alas Desa Ketambe pada Dinas Pengairan Kabupaten Aceh Tenggara Sumber Dana APBK Aceh

Pada hari ini SENIN Tanggal DUA PULUH Bulan JUNI Tahun DUA RIBU ENAM BELAS , Pokja II Unit Layanan Pengadaan (ULP) Kabupaten Barito Timur yang ditetapkan dengan Surat Keputusan

Berdasarkan Hasil Penetapan Pemenang Nomor : 279 /Pokja ULP/APBK/BMCK/AGR/2016 tanggal 02 Mei 2016, Pokja ULP Kabupaten Aceh Tenggara Dinas Bina Marga dan Cipta Karya berdasarkan

Mengharap kehadiran saudara dalam acara Seminar Mahasiswa, sebagai syarat Ujian Pendadaran bagi Mahasiswa. Nama

Begitu juga penelitian Nurhayatin, Inggriyani & Ahmad (2018, h. Kesalahan penggunaan kalimat efektif yang paling banyak terdapat pada penggunaan struktur kalimat,

DISERTASI PENGARUH BUDAYA ORGANISASI TERHADAP..... ADLN Perpustakaan

Spektra serapan ekstrak porfirin kulit telur puyuh dari kota Ambarawa Hasil pemindaian ekstrak porfirin dalam kulit telur puyuh dari Ambarawa menunjukkan bahwa spektra

Atau dapat juga dirumuskan dengan cara lain : narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa