BAB II
URAIAN TEORITIS
II.1. Komunikasi
Istilah komunikasi atau dalam bahasa Inggris communication berasal dari kata Latin communicatio, dan bersumber dari kata communis yang berarti sama. Sama disini maksudnya adalah sama makna.
Jadi kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama kesamaan makna mengenai apa yg dipercakapkan. Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan komunikatif apabila kedua-duanya, selain mengerti bahasa yang dipergunakan, juga mengerti makna dari bahan yang dipercakapkan.
Akan tetapi, pengertian komunikasi yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah, dalam arti kata bahwa komunikasi itu minimal harus mengandung kesamaan makna antara dua pihak yang terlibat. Dikatakan minimal karena kegiatan komunikasi tidak hanya informatif, yakni agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi juga persuasif, yaitu agar orang lain bersedia menerima suatu paham atau keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau kegiatan, dan lain-lain.
Pentingnya komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya, pendidikan, dan politik sudah didasari oleh para cendikiawan sejak Aristoteles yang hidup ratusan tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, studi Aristoteles hanya berkisar pada retorika dalam lingkungan kecil. Baru pada pertengahan abad ke-20 ketika dunia dirasakan semakin kecil akibat revolusi industri dan revolusi teknologi elektronik, setelah ditemukan kapal api, pesawat terbang, listrik, telepon, surat kabar, film, radio, televisi, dan sebagainya maka para cendekiawan pada abad sekarang menyadari pentingnya komunikasi ditingkatkan dari pengetahuan (knowledge) menjadi ilmu (science).
II.2. Komunikasi Kelompok Kecil
Komunikasi kelompok berarti komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang (Effendy, 2003:75). Apabila jumlah orang dalam kelompok itu sedikit, kurang dari dua puluh orang berarti komunikasi tersebut disebut komunikasi kelompok kecil (small group communication).
Komunikasi kelompok kecil adalah suatu kumpulan individu yang dapat mempengaruhi satu sama lain, memperoleh beberapa kepuasan satu sama lain, berinteraksi untuk beberapa tujuan, mengambil peranan, terikat satu sama lain dan berkomunikasi tatap muka (Arni, 2002:182).
Kelompok kecil adalah sekumpulan perorangan yang relatif kecil yang masing-masing dihubungkan oleh beberapa tujuan yang sama dan mempunyai
derajat organisasi tertentu di antara mereka. Karakteristik kelompok kecil adalah sebagai berikut :
Pertama, kelompok kecil adalah sekumpulan perorangan, jumahnya cukup kecil sehingga semua anggota bisa berkomunikasi dengan mudah sebagai pengirim maupun penerima. Hal penting untuk diingat adalah bahwa setiap anggota harus berfungsi sebagai sumber maupun penerima dengan relatif mudah. Kedua, para anggota kelompok harus dihubungkan satu sama lain dengan beberapa cara. Orang-orang di dalam gedung bioskop bukan merupakan kelompok, karena di antara mereka tidak ada hubungan satu sama lain. Ketiga, di antara anggota kelompok harus ada beberapa tujuan yang sama. Hal ini tidak berarti bahwa semua anggota harus mempunyai tujuan yang persis sama untuk menjadi anggota kelompok. Keempat, para anggota kelompok harus dihubungkan oleh beberapa aturan dan struktur yang terorganisasi. Pada strukturnya ketat maka kelompok akan berfungsi menurut prosedur tertentu di mana setiap komentar harus mengikuti aturan yang tertulis. Seiring dengan perkembangan usia dan intelektual kita maka kehidupan sosial kita semakin kompleks, kita mulai masuk menjadi anggota kelompok sekunder; sekolah, lembaga keagamaan, tempat pekerjaan dan kelompok-kelompok sekunder yang sesuai dengan minat dan keterikatan kita. Komunikasi kelompok digunakan untuk saling bertukar informasi, menambah pengetahuan, memperteguh atau mengubah sikap dan perilaku. Kelompok menjadi kerangka rujukan (frame of reference) kita dalam berkomunikasi. Agar dapat disebut kelompok ketika anggota-anggotanya memiliki kesadaran akan ikatan yang sama yang mempersatukan mereka. Jadi ada sense of belonging yang tidak dimiliki orang yang bukan anggota. Nasib
anggota-anggota kelompok juga saling bergantung satu sama lain dan komunikasi dalam kelompok mempengaruhi cara pengambilan keputusan.
II.2.1 Kelompok Rujukan (reference group)
Newcomb mendifinisikan kelompok rujukan sebagai kelompok yang digunakan sebagai alat ukur (standard) untuk menilai diri sendiri atau untuk membentuk sikap. Jika anda menggunakan kelompok tersebut sebagai teladan bagaimana harus bersikap, kelompok itu akan menjadi kelompok rujukan positif ; dan jika anda menggunakannya sebagai teladan bagaimana seharusnya tidak bersikap, kelompok itu menjadi kelompok rujukan negatif. Kelompok yang terikat kepada kita secara nominal adalah kelompok rujukan kita ; sedangkan yang memberkan kepada kita identifikasi psikologis adalah kelompok rujukan.
Menurut teori kelompok rujukan (Hyman, 1942 ; diperluas oleh Kelley, 1952 ; dan Merton, 1957), kelompok rujukan mempunyai dua fungsi : fungsi komparatif dan fungsi normatif. Tamotsu Shibutani (1967 : 74-83) menambahkan satu fungsi lagi yaitu fungsi perspektif.
II.3. Komunikasi Antar Pribadi
Komunikasi antarpribadi sebenarnya merupakan satu proses sosial dimana orang-orang yang terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sedangkan menurut Joseph A. Devito ialah proses pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek umpan balik seketika (Liliweri, 1991:1)
Pentingnya situasi komunikasi antarpribadi adalah karena prosesnya berlangsung secara dialogis yang didalamnya ada upaya dari para pelakunya untuk dapat terjadi saling pengertian. Proses ini menunjukkan adanya interaksi dimana mereka yang terlibat dapat berfungsi sebagai komunikator mapan komunikan secara bergantian.
Ciri-ciri komunikasi antarpribadi yang berkualitas menurut Devito dalam komunikasi antarmanusia (1997:259) ialah:
1. Keterbukaan (opennes)
2. Positif (positiveness)
3. Kesamaan (equality)
4. Empati (empathy)
5. Dukungan (supportiviness)
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Psikologi Komunikasi meyakini bahwa komunikasi antarpribadi dipengaruhi oleh persepsi interpersonal, konsep diri, atraksi interpersonal, dan hubungan interpersonal. Persepsi interpersonal adalah memberikan makna terhadap stimuli indrawi yang berawal dari komunikan yang berupa pesan baik verbal maupun non-verbal. Konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita. Konsep diri yang positif ditandai dengan : keyakinan akan kemampuan mengatasi masalah, merasa setara dengan orang lain, menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari bahwa setiap orang memiliki berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh
masyarakat dan mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Keefektifan hubungan antarpribadi adalah seberapa jauh akibat dari tingkah laku kita sesuai dengan yang diharapkan. Keefektifan dalam hubungan antarpribadi dapat ditingkatkan dengan melatih mengungkapkan maksud atau keinginan kita, menerima umpan balik tingkah laku dan memodifikasi tingkah laku kita sampai orang lain mempersepsikan sebagaimana kita maksudkan.
Komunikasi antarpribadi dimulai dari diri individu. Tampilan komunikasi yang muncul dalam setiap kita berkomunikasi mencerminkan kepribadian dari setiap individu yang berkomunikasi. Pemahaman terhadap proses pembentukan keperibadian setiap pihak yang terlibat dalam komunikasi menjadi penting dan mempengaruhi keberhasilan komunikasi. Terdapat beberapa factor yang mendukung keefektifan komunikasi antarpribadi, yaitu:
1. Interactant, yaitu orang yang terlibat dalam interaksi komunikasi seperti pembicara, penulis, pendengar, pembaca dengan berbagai situasi yang berbeda.
2. Symbol. Terdiri dari symbols (huruf, angka, kata-kata, tindakan) dan symbolic language (bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dll)
3. Media, saluran yang digunakan dalam setiap situasi komunikasi.
Sedangkan bagian bawah gunung es yang menjadi penyangga gunung es itu tidak tampak atau tidak teramati. Inilah yang disebut sebagai invisible/unobservable aspect. Justru bagian inilah yang penting. Walaupun tak tampak karena tertutup air, dia menyangga tampilan gunung es yang muncul
menyembul kepermukaan air. Tanpa itu gunung es tidak akan ada. Demikian halnya dengan komunikasi, di mana tampilan komunikasi yang teramati/tampak dipengaruhi oleh berbagai faktor yang tidak terlihat, tapi terasa pengaruhnya, yaitu:
1. Meaning (makna), ketika simbol ada, maka makna itu ada dan bagaimana cara menanggapinya. Intonasi suara, mimik muka, kata-kata, gambar dsb. Merupakan simbol yang mewakili suatu makna. Misalnya intonasi yang tinggi dimaknai dengan kemarahan, kata pohon mewakili tumbuhan dan sebagainya.
2. Learning, interpretasi makna terhadap simbol muncul berdasarkan pola-pola komunikasi yang diasosiasikan pengalaman, interpretasi muncul dari belajar yang diperoleh dari pengalaman. Interpretasi muncul disegala tindakan mengikuti aturan yang diperoleh melalui pengalaman. Pengalaman merupakan rangkaian proses memahami pesan berdasarkan yang kita pelajari. Jadi makna yang kita berikan merupakan hasil belajar. Pola-pola atau perilaku komunikasi kita tidak tergantung pada turunan/genetik, tapi makna dan informasi merupakan hasil belajar terhadap simbol-simbol yang ada di lingkungannya. Membaca, menulis, menghitung adalah proses belajar dari lingkungan formal. Jadi, kemampuan kita berkomunikasi merupakan hasil learning (belajar) dari lingkungan.
3. Subjectivity, pengalaman setiap individu tidak akan pernah benar-benar sama, sehingga individu dalam meng-encode (menyusun atau merancang) dan men-decode (menerima dan mengartikan) pesan tidak ada yang benar-benar sama. Interpretasi dari dua orang yang berbeda akan berbeda terhadap objek yang sama.
4. Negotiation, komunikasi merupakan pertukaran symbol. Pihak-pihak yang berkomunikasi masing-masing mempunyai tujuan untuk mempengaruhi orang lain. Dalam upaya itu terjadi negosiasi dalam pemilihan simbol dan makna sehingga tercapai saling pengertian. Pertukaran simbol sama dengan proses pertukaran makna. Masing-masing pihak harus menyesuaikan makna satu sama lain.
5. Culture, setiap individu adalah hasil belajar dari dan dengan orang lain. Individu adalah partisipan dari kelompok, organisasi dan anggota masyaraka. Melalui partisipasi berbagi simbol dengan orang lain, kelompok, organisasi dan masyarakat. Simbol dan makna adalah bagian dari lingkungan budaya yang kita terima dan kita adaptasi. Melalui komunikasi budaya diciptakan, dipertahankan dan dirubah. Budaya menciptakan cara pandang (point of view).
6. Interacting levels and context, komunikasi antar manusia berlangsung dalam bermacam konteks dan tingkatan. Lingkup komunikasi setiap individu sangat beragam mulai dari komunikasi antar pribadi, kelompok, organisasi, dan massa.
7. Self reference, perilaku dan simbol-simbol yang digunakan individu mencerminkan pengalaman yang dimilikinya, artinya sesuatu yang kita katakan dan lakukan dan cara kita menginterpretasikan kata dan tindakan orang adalah refleksi makna, pengalaman, kebutuhan dan harapan-harapan kita.
8. Self reflexivity, kesadaran diri (self-cosciousnes) merupakan keadaan dimana seseorang memandang dirinya sendiri (cermin diri) sebagai bagian dari lingkungan. Inti dari proses komunikasi adalah bagaimana pihak-pihak
memandang dirinya sebagai bagian dari lingkungannya dan itu berpengaruh pada komunikasi.
9. Inevitability, kita tidak mungkin tidak berkomunikasi. Walaupun kita tidak melakukan apapun tetapi diam kita akan tercermin dari nonverbal yang terlihat, dan itu mengungkap suatu makna komunikasi.
Dalam sudut pandang psikologis KAP merupakan kegiatan yang melibatkan dua orang atau lebih yang memiliki tingkat kesamaan diri. Saat dua orang berkomunikasi maka keduanya harus memiliki kesamaan tertentu, katakanlah laki-laki dan perempuan. Mereka secara individual dan serempak memperluas diri pribadi masing-masing ke dalam tindakan komunikasi melalui pemikiran, perasaan, keyakinan, atau dengan kata lain melalui proses psikologis mereka. Proses ini berlangsung terus menerus sepanjang keduanya masih terlibat dalam tindak komunikasi. Saling berbagi pengalaman tidaklah berarti memiliki kesamaan pemahaman atau kesamaan diri yang tunggal tetapi bisa merupakan persinggungan dan sejumlah perbedaan. Fisher mengemukakan bahwa ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, proses intrapribadi kita memiliki paling sedikit tiga tataran yang berbeda. Tiap tataran tersebut akan berkaitan dengan sejumlah “diri†yang hadir dalam situasi antar pribadi, yaitu pandangan kita mengenai diri sendiri, pandangan kita mengenai diri orang lain, dan pandangan kita mengenai pandangan orang lain tentang kita. Pentingnya proses psikologis hendaknya dipahami secara cermat, artinya proses intrapribadi dari partisipan komunikasi bukanlah hal yang sama dengan hubungan antarpribadi. Apa yang terjadi dalam diri individu bukanlah komunikasi antarpribadi melainkan proses
psikologis. Meskipun demikian proses psikologis dari tiap individu pasti mempengaruhi komunikasi antar pribadi yang pada gilirannya juga mempengaruhi hubungan antarpribadi.
II.4. Konsep Diri
Konsep diri merupakn gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari interaksi dengan lingkungannya. Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi pokok, yaitu sebagai berikut:
a. Dimensi Internal
Dimensi internal atau disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia di dalam dirinya. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk:
1. Identitas diri (identity self)
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, ”siapakah saya?” dalam pertanyaan tersebut tercakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya.
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai ”apa yang dilakukan oleh diri”.
3. Diri penerimaan/penilai (judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar, dan evaluator. Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri dan identitas pelaku.
b. Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal terbagi atas lima bentuk yaitu:
1. Diri fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik (cantik, jelek, menarik, tidak menarik, tinggi, pendek, gemuk, kurus, dan sebagainya).
2. Diri etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan agamanya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
3. Diri pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hali ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
4. Diri keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa dekat terhadap dirinya dari suatu keluarga.
5. Diri sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan di sekitarnya.
Seluruh bagian ini baik internal maupun eksternal saling berinteraksi dan membentuk satu kesatuan yang utuh.
 Konsep Diri Sebagai Suatu Perangkat Dari Sikap-Sikap Diri
Pendekatan yang paling berguna untuk memahami hubungan di antara bermacam-macam unsur dari diri sebagai dikenal yang juga mempertalikan teori konsep diri ke dalam suatu wilayah yang utama dari psikologi sosial adalah untuk memandang susunan unsur-unsur ini sebagai suatu organisasi dari sikap-sikap diri. Pendekatan ini membawa keuntungan-keuntungan juga di dalamnya yaitu:
a. Prosedur-prosedur pengukuran yang diterima dapat digunakan di dalam pembuatan indeks konsep diri; bahwa
b. Penghapusan adalah mungkin dari interpretasi yang salah tetapi masuk akal bahwa penggunaan istilah singular ”konsep diri” menyatakan secara tidak langsung sebuah pembentukan konsep diri.
Di dalam menyaring esensi dari definisi-definisi yang paling dapat diterima tentang konsep ”sikap” empat komponen tampaknya dimasukkan:
1. Suatu keyakinan, atau pengetahuan atau komponen kognitif
2. Suatu komponen yang efektif atau emosional
3. Suatu evaluasi
4. Suatu kecenderungan untuk memberi respons
Keyakinan pengetahuan atau komponen kognitif dari suatu sikap mewakili sebuah proposisi mengenai, atau sebuah deskripsi dari suatu obyek dengan tidak memandang apakah pengetahuan tersebut benar atau salah, didasarkan atas bukti obyektif maupun opini yang subyektif. Jadi bila obyek tersebut adalah diri saya sendiri maka saya dapat menyatakan bahwa saya orangnya tinggi. Oleh karena itu komponen keyakinan-keyakinan dari konsep diri merupakan cara-cara yang praktis tidak ada batasnya dimana masing-masing orang mempersepsikan dirinya sendiri.
Titik acuan kedua melibatkan internalisasi dari penilaian masyarakat. Hal ini mengandaikan bahwa evaluasi diri ditentukan oleh keyakinan-keyakinan
individu mengenai bagaimana orang lain mengevaluasi dia. Konseptualisasi dari perasaan harga diri ini dikembangkan mula-mula oleh Cooley (1912) dan Mead (1934).
Titik acuan ketiga dan terakhir melibatkan individu yang bersangkutan mengevaluasi dirinya sendiri sebagai seorang yang relatif sukses ataupun relatif gagal di dalam melakukan apa yang diminta oleh identitasnya. Hal itu melibatkan bukannya penilaian apa yang dilakukan seseorang itu baik di dalam dirinya sendiri tetapi satu yang baik pada apa yang dilakukannya.
Suatu konsep diri yang positif maka dapat disamakan dengan evaluasi diri yang positif, penghargaan diri yang positif, perasaan harga diri yang positif, penerimaan diri yang positif; konsep diri yang negatif menjadi sinonim dengan evaluasi diri yang negatif, membenci diri, perasaan rendah diri dan tiadanya perasaan yang menghargai pribadi dan penerimaan diri. Masing-masing istilah ini membawa konotasi-konotasi dari orang lain dan telah digunakan secara ditukar-tukarkan oleh bermacam-macam penulis (Wylie,1961; Coopersmith, 1967; dll). Orang-orang dengan penilaian diri yang tinggi dan perasaan harga diri yang tinggi umumnya menerima keadaan diri mereka sendiri; mereka yang mempertalikan diri mereka sendiri dengan nilai-nilai yang negatif mempunyai perasaan harga diri yang kecil, penghargaan diri yang kecil ataupun penerimaan harga diri yang kecil.
II.5. Geng
Geng adalah suatu kumpulan terbatas yang sebagian besar dari kelompok itu memiliki kesamaan atau bahkan memiliki perbedaan-perbedaan yang unik di antara anggota-anggota geng itu sendiri. Hampir di setiap jenjang pendidikan, selalu ada sebuah geng di dalamnya. Dan tentu saja, kata geng itu sendiri sudah tidak asing di telinga kita.
Geng memiliki pengaruh dalam sosialisasinya. Ada geng yang berpengaruh buruk, seperti yang kita tonton akhir-akhir ini, sekelompok geng yang menyerang adik kelasnya. Atau bisa di bilang geng senior yang menyerang adik kelasnya yang bisa di bilang sebagai junior. Tapi ada juga yang berpengaruh baik, contohnya sekelompok ibu-ibu yang membentuk geng yang kemudian meraka bersama-sama membentuk sebuah bisnis baru.
Namun, sisi buruk dari geng itu sendiri adalah mereka jadi hampir tidak besosialisasi dengan orang-orang lainnya, mereka menjadi terpaku dengan anggota-anggota geng itu sendiri. Jadi, kesimpulannya geng itu memiliki pengaruh buruk dan baik di dalam masyarakat.
II.6. Asumsi
Menurut Charles Horton Cooley, kita dapat mempersepsikan diri kita dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain; dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking-glass self (diri cermin); seakan-akan kita menaruh cermin di hadapan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak
pada orang lain; kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya, kita merasa diri kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa; orang mungkin merasa sedih atau malu (Vander Zanden, 1975:79).
Dengan mengamati diri kita, sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita. Ini disebut konsep diri. William D. Brooks mendefinisikan konsep diri sebagai ”those physical, social, and psychological perception of ourselves that we have derived from experience and our interaction with others” (1974:40). Jadi konsep diri adalah pandangan dan perasaan kita tentang diri kita.
Konsep diri bukan hanya sekedar gambaran deskriptif, tetapi juga penilaian kita tentang diri kita; meliputi apa yang kita pikirkan dan apa yag kita rasakan tentang diri kita.