• Tidak ada hasil yang ditemukan

SLE Dan RA Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SLE Dan RA Jurnal"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEMIK LUPUS ERYTEMATOSUS

1. Definisi

Sistemik Lupus Erytematosus adalah penyakit autoimun kronis yang di tandai dengan berbagai antibodi yang membentuk kompleks imun dan menimbulkan inflamasi pada berbagai organ. Oleh karena bersifat sistemik maka manifestasinya sangat luas tergantung organ yang terkena mulai dari manifestasi klinis yang ringan berupa ruam atau sampai pada manifestasi klinis yang berat misalnya lupus nefritis lupus cerebral, (lupus neuropsikiatrik) pnemonitis, perdarahan paru. Perjalanan penyakitnya bersifat fluktuatif yang di tandai dengan periode tenang dan eksaserbasi.

2. Prevalensi dan insiden

SLE lebih banyak di jumpai pada wanita umur antara 13-40 tahun dengan perbandingan perempuan : laki-laki 9:1diduga ada kaitan faktor hormon dengan patogenesis. Dari berbagai laporan penelitian prevalensi masing-masing suku berbeda di perkirakan 15-50 kasus per 100.000 penduduk. Pada suku-suku di asia diperkirakan prevalensi paling tinggi terdapat pada suku cina jepang dan filiina.

3. Etiologi

Genetik, lingkungan hormon dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana ketiga faktor saling terkait erat. Faktor lingkungan dan hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan yang di anggap sebagai pencetus antara lain infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stres mental maupun fisik.

Berbagai gen di duga berperan pada SLE. Sehingga manifestasi klinis SLE sangat heterogen. Perbedaan gen berperan pada manifestasi SLE. HLA-DR2 lebih menunjukkan gejala lupus nefritis yang menonjol, sedangkan pada HLA-DR3 lebih menunjukkan gejala muskuloskeletal.

4. Patogenesis

Kerusakan organ pada SLE didasari oleh reaksi imunologi , proses diawali dengan faktor pencetus yang ada di lingkungan, dapat pula infeksi, sinar ultraviolet atau bahan kimia. Cetusan ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu:

1. Sel T dan B menjadi otoreaktif 2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

(2)

a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh

b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis

c. Hilangnya toleransi imun sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena adanya mimikri molekul.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang membentuk kompleks imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan. Antibodi-antibodi yang terbentuk pada SLE sangat banyak , antara lain Antinuclear Antibodi-antibodi (ANA), anti double staranded DNA (ds DNA), anti-ss A (Ro), anti-ss B (La), antiribosomal P antibody, anti Sm, sd-70

Selain itu hilangnya kontrol sistem imun pada patogenesis lupus juga diduga berperan pada timbulnya gejala klinis pada SLE.

4. Gambaran Klinis

Manifestasi klinis SLE sangat luas, awalnya di tandai dengan gejala klinis yang tidak spesifik antara lain: lemah, lesu, panas, mual, nafsu makan menurun dan berat badan menurun.

Manifestasi sistem muskulo skeletal

Dapat berupa artalgia yang hampir di jumpai sekitar 70% atau atritis yang di tandai dengan sendi yang bengkok, kemerahan yang kadang-kadang disertai efusi, sendi-sendi yang sering terkena antara lain sendi jari-jari tangan, siku, bahu, dan lutut. Artritis pada SLE kadang menyerupai artritis reumatoid, bedanya adalah artritis pada SLE sifatnya nonerosif

Sistem Mukokutaneus

1. Kutaneus lupus akut: malar rash (butterfly rash) merupakan tanda spesifik pada SLE, yaitu bentukan ruam pada kedua pipi yang tidak melebihi lipatan

(3)

nasolabial dan di tandai dengan adanya ruam pada hidung yang menyambung dengan ruam yang ada di pipi. Bentuk akut kutaneus lain yaitu bentuk morbili, ruam makular, fotosensitif, papulodermatitis, bulosa, toksik epidermal nekrotik. Pada umumnya ruam akut kutaneus ini bersifat fotosenstif.

2. Kutaneus lupus subakut simetrikal eritema sentrifugum, anular eritema, psoriatik LE, pitiriasis dan makulo papulo fotosensitif. Manifestasi subakut lupus ini sangat erat hubungannya dengan antibodi Ro lesi subakut umumnya sembuh tanpa meninggalkan scar.

3. Kutaneus lupus kronis. Bentuk yang klasik adalah lupus dikoid yang berupa bercak kemerahan dengan kerak keratotik pada permukaannya. Bersifat kronik dan rekuren pada lesi yang kronik ditandai dengan parut dan atropi pada daerah sentral dan hiperpigmentasi pada daerah tepinya. Lesi ini sering dijumpai pada kulit kepala yang sering menimbulkan kebotakan yang irreversible. Daun telinga leher, lengan dan wajah juga sering terkena panikulitis lupus atau lupus profundus di tandai dengan inflamasi pada lapisan bawah dari dermis dan jaringan subkutan. Gambaran klinisnya berupa nodul yang sangat dalam dan sangat keras, dengan ukuran 1-3cm. Hanya di temukan sekitar 2% pada penderita SLE

4. Nonspesifik kutaneus lupus: vaskulitis cutaneus. Ditemukan hampir pada 70% pasien. Manifestasi kutaneus nonspesifik lupus tergantung pada pembuluh darah yang terkena. Bentuknya bermacam-macam antara lain:

a. Urtikaria b. Ulkus c. Purpura

d. Bulosa, bentuk ini akibat dari hilangnya integritas dari dermal dan epidermal junction

e. Splinter hemorrhage f. Eritema periungual

(4)

h. Eritema pada tenar dan hipotenar mungkin bisa dijumpai. Pada umumnya biopsi pada tempat ini menunjukkan leukosistiklasik vaskulitis.

5. Raynould phenomenon. Gambaran khas dari raynouls phenomenon ini adanya vasospasme, yang di tandai dengan sianosis yang berubah menjadi bentuk kemerahan bila terkena panas. Kadaang disertai dengan nyeri. Raynould phenpmenon ini sangat terkait dengan antibodi U1 RNP

6. Alopesia. Akibat kerontokan rambut yang bersifat sementara terkait dengan aktifitas penyakit biasanya bersifat difus tanpa adanya jaringan parut. Kerontokan rambut biasanya di mulai garis rambut depan. Pada keadaan tertentu bisa menimbulkan alopesia yang menetap di sebabkan oleh diskoid lupus yang meninggalkan jaringan parut.

7. Sklerodaktil. Di tandai dengan adanya sklerotk dan bengkak berwarna kepucatan pada tangan akibat dari perubahan tipe skleroderma. Hanya terjadi pada 7% pasien.

8. Nodul Rheumatoid. Ini diakibatkan dengan antibodi Ro yang positif dan adanya reumatoid artritis.

9. Perubahan pigmentasi. Bisa berupa hipo atau hiperpigmentasi pada daerah yang terpapar sinar matahari.

10. Kuku. Manifestasinya bisa berupa nail bed atrofy atau telangektasi pada kutikula kuku

11. Luka mulut (oral ulcer) luka pada mulut yang terdapat pada palatum molle atau durum mukosa pipi, gusi dan biasanya tidak nyeri.

Gambaran histopatologis kutaneus lupus yaitu didapatkannya kompleks imun yang berbentuk seperti pita pada daerah epidermal junction (lupus band)

Manifestasi pada paru

Dapat berupa pnemonitis, pleuritis, ataupun pulmonary haemorrhage, emboli paru, hipertensi pulmonal, pleuritis ditandai dengan nyeri dada atau efusi pleura, atau friction rub

(5)

pada pemeriksaan fisik. Efusi pleura yang dijumpai biasanya jernih dengan kadar protein <10.000 kadar glukosa normal.

Manifestasi jantung

Dapat berupa perikarditis, efusi perikardium, miokarditis, endokarditis, kelainan katup penyakit koroner, hipertensi, gagal jantung, dan kelainan konduksi. Manifestasi jantung tersering adalah kelainan perikardium berupa perikarditis dan efusi perikardium 66%, yang jarang menimbulkan komplikasi tamponade jantung, menyusul kelainan miokardium berupa miokarditis yang di tandai dengan pembesaran jantung dan endokardium baerupa endokarditis yang dikenal dengan nama Libmn Sachs endokarditis, sering sekali asimptomatis tanpa disertai dengan bising katup. Yang sering terkena adalah katup mitral dan aorta.

Manifestasi Hematologi

Manifestasi kelainan hematologi yang terbanyak adalah bentuk anemia karena penyakit kronis, anemia hemolitik autoimun hanya didapatkan pada 10% penderita. Selain anemia juga dapat di jumpai leukopenia, limphopenia, nitropenia, trombopenia.

Manifestasi pada ginjal

Dikenal dengan lupus nefritis. Angka kejadiannya mencapai hampir 50% dan melibatkan kelainan glomerulus. Gambaran klinisnya bervariasi dengan tergantung derajat kerusakan pada glomerulus dapat berupa hematuri, protein uria, seluler cast. Berdasarkan kriteria WHO secara histopatologi dibedakan menjadi 5 klas. Sebanyak 0,5% akan berkembang menjadi gagal ginjal kronis. Lupus nefritis ini merupakan petanda prognosis jelek.

Manifestasi sistem gastrointestinal

(6)

Manifestasi klinis pada sistem saraf pusat

Manifestasinya sangat bervariasi, mulai dari depresi sampai psikosis, kejang, stroke, dan lain-lain. Untuk memudahkan diagnosis American College Rheumatology mengelompokkan menjadi 19 sindrom. Gambaran klinis lupus serebral dikelompokkan dalam 3 bagian yaitu fokia, difus, dan neuropsikiatrik.

5. Diagnosis

Diagnosis SLE ditegakkan berdasarkan criteria American College of Rheumatology (ACR) 1982 yang telah direvisi pada tahun 1997, yaitu jika paling sedikit ditemukan 4 dari 11 kriteria yang ada.

Gejala Penjelasan

Malar Rash (Butterfly rash)

Adanya eritema berbatas tegas, datar, atau berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung (wilayah malar)

Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut atropi dapat terjadi.

Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat menimbulkan bercak-bercak

Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan

Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan melalui ECG atau bukti adanya efusi pleura Gangguan

Ginjal

Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atau ditemukan corak seluler, tubuler atau campuran dalam sedimen urin.

(7)

neurologik jelas Gangguan

hematologik

Anemia hemolisis dengan retikulositosis atau leukopenia < 4000/mm3 atau limfopenia

<1500/mm3 atau thrombositopenia <100

000/mm3 tanpa pemberian obat-obatan yang

menyebabkan thrombositopenia. Gangguan

Imunologis

Anti-dsDNA, Sm, dan/atau anti-phospholipid

Antibodi Antinuklear

Jumlah ANA yang abnormal ditemukan dengan immunofluoroscence atau pemeriksaan serupa jika diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat memicu ANA sebelumnya.

TABEL 1 : Kriteria diagnostik untuk SLE menurut American College of Rheumatology. (Dikutip dari: Gill J et al, “Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus” American Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-2186.)

Diagnosis SLE berdasarkan ciri khas gejala klinisnya dan adanya autoantibodi. Kombinasi 4 dari 11 kriteria, yang terdokumentasi pada saat apapun dalam riwayat medis pasien, membuat pasien cenderung memiliki SLE dengan spesifitas 95% dan sensitivitas 75% menurut Hahn et al, 2005.

Pada beberapa pasien, gejala semakin berat dalam selang waktu tertentu. Antinuclear antibodies (ANA) ditemukan pada >98% pasien SLE selama perjalanan penyakit. Pemeriksaan ANA berulang yang negatif menandakan diagnosisnya bukan SLE, kecuali jika autoantibodi lainnya ditemukan. Antibodi IgG dengan jumlah banyak pada DNA dan antibodi pada antigen Sm spesifik untuk SLE mendukung diagnosis terutama dengan keberadaan gejala klinis. Keberadaan beberapa autoantibodi pada seseorang tanpa gejala klinis sebaiknya tidak didiagnosis SLE, walaupun pada orang tersebut terjadi peningkatan resiko, karena SLE secara

(8)

Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji penyaring yang terbaik untuk menegakkan diagnosis SLE. ANA hampir selalu positif pada lebih dari 95% pasien SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai SLE. ANA tidak selalu spesifik untuk SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti skeloderma, artritis rematoid, atau drugs induced lupus erythematosus seperti isoniazid. Antibodi yang lebih spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun sensitivitasnya pada SLE masing-masing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti SM). Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi anti dsDNA ( positif 949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini sedang aktif dan berat. Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat proses penyakit yang sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.

Pemeriksaan serologis untuk deteksi ANA dalam serum penderita SLE dapat dilakukan dengan beberapa metode, antara lain metode imunofluoresens (direk dan indirek), immunodiffusion, immunoprecipitation (Farr assay), ELISA dan immunoblotting.Penderita penyakit SLE cenderung mempunyai ANA dengan titer tinggi. Hasil ANA positif palsu dapat dijumpai pada penyakit infeksi kronis, seperti endokarditis bakterialis subakut, tuberculosis, hepatitis dan malaria.

Menurut Tim Reumatologi Rumah Sakit Hasan Sadikin, criteria ACR 1997 mempunyai sensitivitas 85% dan specifisitas 95% dalam penegakan diagnosis penyakit SLE. Menurut penelitian Wallach pada tahun 2000, hasil pemeriksaan serologis ANA dan dsDNA positif, disertai hipokomplemennemia mempunyai arti diagnostic SLE 100%.

(9)

GAMBAR 1: Algoritme Diagnosis SLE. (Dikutip dari: Gill J et al, “Diagnosis of Systemic Lupus Erythematosus” American Family Physian 2003, Vol.68:11, pp.2179-2186.)

6. Penatalaksanaan

Secara garis besar, penatalaksanaan SLE meliputi penatalaksanaan non farmakologis atau penatalaksanaan umum dan penatalaksanaan farmakologis seperti berikut:

(10)

1. Penatalaksanaan Umum

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang terjadi, sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan mencakup penatalaksanaan umum dan terapi konservatif. Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain :

a. Edukasi

Edukasi penderita memegang peranan penting mengingat SLE merupakan penyakit dengan perjalanan yang kronik. Penderita perlu dibekali informasi yang cukup memadai tentang berbagai macan manifestasi klinis yang dapat terjadi, dan derajat keparahan penyakit yang berbada-beda, sehingga penderita SLE memahami dan dapat mengurangi rasa cemas yang berlebihan.

b. Kelelahan

Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena penyakit lain yaitu anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau komplikasi dari pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah cukup istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.

c. Merokok

Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat bahan yang terkandung pada rokok.

(11)

d. Cuaca

Walaupun di Indonesia tidak ditemukan cuaca yang sangat berbeda dan hanya ada dua musim, akan tetapi pada sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.

e. Stres dan trauma fisik

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik dapat mempengaruhi sistem imun melalui penurunan respons mitogen limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK (Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit, sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahawa stress dan trauma fisik sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan memperbaiki penyakitnya.

f. Diet

Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien SLE. Makanan yang berimbang dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa minyak ikan yang mengandung eicosapentanoic acid dan docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali normal.

g. Sinar ultra violet

Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik. Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi sehingga pukul 3 sore, sehingga

(12)

semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-waktu tersebut.

h. Kontrasepsi oral

Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan memperberat SLE, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

2. Penatalaksanaan Farmakologis

Terapi farmakologi untuk SLE ditujukan untuk menekan sistem imun dan mengatasi inflamasi. Umumnya pengobatan SLE tergantung dari tingkat keparahan dan lamanya pasien menderita SLE serta manifestasi yang timbul pada setiap pasien.

a. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID)

NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antiperitik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Dapat diberikan aspirin 500 mg per oral, 3 kali sehari. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. NSAID golongan baru, COX2 inhibitor dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini. Sayang belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari NSAID adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan dan meningitis aseptik.

b. Antimalaria

Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama Lupus Erithematosus Diskoid dan Lupus Erithematosus Kutaneus Subakut.

(13)

Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemprosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi neutrofil dan metabolisme membran fosfolipid. Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Hidroksiklorokuin juga dapat menurunkan kadar lipid dan kemungkinan juga bersifat sebagai anti trombotik.

Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia iaitu hidroksiklorokuin (dosis 200 mg 2x per hari), klorokuin (250 mg per hari) dan kuinarkrin (100 mg 4x per hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah, timbulnya ruam, toksisitas retina dan toksisitas neurologis. Perlu pemantauan kelainan mata setiap 3 bulan untuk memantau efek samping antimalaria.

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid efektif untuk menangani berbagai macam manifestasi klinis SLE. Sediaan topical atau intralesi digunakan untuk lesi kulit, sediaan intraartikuler digunakan untuk arthritis, sedangkan sediaan oral atau parenteral untuk kelainan sistemik. Pemberian peroral dosisnya bervariasi antara 5 mg-30 mg prednisone atau metil prednisolon per hari, secara tunggal maupun dosis terbagi, efektif untuk mengobati keluhan konstitusional, kelainan kulit, arthritis dan serositis. Sering kali, kortikosteriod diberikan bersamaan dengan antimalaria atau imunomodulator dengan tujuan mendapatkan induksi yang cepat kemudian dapat segera diturunkan dosisnya. Keterlibatan organ penting seperti nefritis, cerebritis, kelainan hematologi atau vaskulitis sistemik, umumnya memerlukan prednisone dosis tinggi, 1-2 mg/kg/hari. Kortikosteriod parenteral juga dapat digunakan dengan dosis sesuai ekuivalennya. Pada keadaan sangat berat yang mengancam jiwa, bolus metilprednisolone 1000 mg dapat digunakan selama 3 hari berturut-turut.

Efek yang tidak dikehendaki pada pemberian kortikosteroid yang lama antara lain habitus cushingoid, peningkatan berat badan, hipertensi, infeksi, fragilitas kapiler,

(14)

psikosis. Oleh itu, setelah aktivitas penyakit terkontrol, dosis kortikosteroid harus segera diturunkan. Prednisone dengan dosis 15 mg/hari diberikan pada pagi hari tidak menekan aksis hipotalamik hipofise dan ini dapat meminimalisasi beberapa efek samping. Untuk meminimalkan efek samping osteoporosis, dapat diberikan suplemen kalsium 1000 mg/hari dan vitamin D 50,000 unit 1-3 kali seminggu. Dalam mencegah osteoporosis dapat juga diberikan calcitonin dan bisfosfonat.

d. Terapi Imunomodulator 1. Cyclophosphamide

Cyclophosphamide merupakan obat pada gangguan system organ yang berat, terutama lupus nephritis. Pengobatan dengan kortikosteroid dan cyclosphosphamide bolus intravena 0,5-1,0 g/mm2 lebih efektif disbanding hanya kortikosteriod saja

dalam pencegahan sequel ginjal, mempertahankan fungsi ginjal dan menginduksi remisi ginjal. Menurut WHO dengan evidence base tingkat 4, respon paling baik adalah pada lupus nefritis difus proliferative. Manifestasi nonrenal yang efektif dengan cyclophosphamide adalah pada sitopenia, kelainan system saraf pusat, perdarahan paru dan vaskulitis.

Pemberian peroral dengan dosis 1,0-1,5 mg/kg dapat ditingkatkan sampai 2,5-3,0 mg/kg dengan kondisi neutrofil > 1000/mm3 dan leukosit >3500/mm3. Monitoring

jumlah leukosit dievaluasi setiap 2 minggu.

Mual dan muntah merupakan efek samping yang sering terjadi. Rambut rontok kadang kala ditemukan dan gejala ini menghilang jika obat dihentikan. Leukopenia yang bersifat dose dependent biasanya timbul 8-12 hari setelah pengobatan. Perlu dilakukan penyesuaian dosis dengan jumlah leukosit. Juga terdapat resiko terjadinya infeksi bakteri, jamur dan virus terutama herpes zoster. Efek samping pada gonad dapat menyebabkan kegagalan fungsi ovarium dan azoospermia.

Acrolein merupakan produk metabolic dari cyclophosphamide yang dapat menyebabkan iritasi vesika urinaria dan mengakibatkan terjadinya sistitis hemoragik, fibrosis dan karsinoma sel skuamosa transitional pada penggunaan jangka panjang. Pada pemberian cyclophosphamide bolus intravena diberikan hidrasi yang adekuat dan

(15)

Mesna sebagai pengikat acrolein dengan dosis 20% dari total dosis cyclophosphamide. Pemeriksaan rutin untuk deteksi karsinoma vesika urinaria juga perlu dilakukan.

2. Mycophenolate mofetil (MMF)

MMF merupakan inhibitor reversible inosine monophosphate dehydrogenase, suatu enzim yang penting untuk sintesis purine. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan sel T dan mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif terhadap lupus nefritis. MMF dapat mengurangkan proteinuria dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita SLE dan nefritis yang resisten dengan cyclophosphamide. Efek samping MMF pada umumnya adalah leucopenia, nausea dan diare. MMF diberikan dengan dosis antara 500-1000 mg, 2 kali per hari.

3. Azathioprine

Azathioprine adalah analog purin yang menghambat sintesis asam nukleat dan mempengaruhi fungsi immune seluler dan humoral. Pada Sle, obat ini digunakan sebagai alternative cyclophosphamide untuk pengobatan lupus nefritis atau sebagai steroid sparing agent untuk manofestasi nonrenal. Azathioprine diindikasikan untuk miositis dan sinovitis yang refrakter. Pemberian dimulai dengan dosis 1,5 mg/kgBB/hari, jika perlu dinaikan dengan interval waktu 8-12 minggu menjadi 2,5-3,0 mg/kgBB/hari dengan syarat jumlah leukosit > 3500/mm3 dan neutrofil >

1000/mm3.

Efek samping yang biasa terjadi adalah pada sumsum tulang dan efek samping gastrointestinal. Oleh karena dimetabolisme di hati dan eksresinya di ginjal, fungsi hati dan ginjal harus diperiksa secara periodic. Penyesuaian dosis diperlukan pada gangguan fungsi hati dan ginjal. Azathioprine juga sering dihubungkan dengan hipersensifitas dengan manifestasi demam, rash di kulit dan peningkatan serum tranaminase. Keluhan biasanya bersifat reversible dan menghilang setelah obat dihentikan. Peningkatan resiko terjadinya keganasan, seperti limfoma non Hodgkin pernah dilaporkan pada penderita SLE yang mendapat azathioprine.

(16)

4. Leflunomide

Leflunomide merupakan suatu inhibitor sintesis pirimidin yang digunakan pada pengobatan rheumatoid arthritis. Leflunomide bermanfaat pada pasien SLE yang mulai ketergantungan steroid. Pemberiannya dimulai dengan loading dose 100 mg/hari untuk 3 hari, kemudian diikuti dengan dosis 20 mg/hari.

5. Methotrexate

Methotrexate merupakan analog asam folat yang dapat mengikat dehidrofolat reduktase, memblok pembentukan DNA, dan menghambat sintesis purin. Pada terapi SLE, digunakan dosis 15-20 mg secara oral satu kali seminggu. Methotrexate terbukti efektif terutama untuk keluhan kulit dan sendi. Efek samping methotrexate antara lain adalah peningkatan serum transaminase, keluhan gastrointestinal, infeksi dan oral ulcer.

6. Cyclosporine

Cyclosporine terutama bermanfaat untuk nefritis membranosa dan untuk sindroma nefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinuria, sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4 dan anti-ds DNA serta aktivitas penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia gingival, hipertrichosis dan peningkatan serum kreatinin.

7. Agen Biologis

Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoantigen dan mempresentasikannya melalui immunoglobulin spesifik terhadap sel T di permukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi respon imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang dipresentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi terapi untuk SLE yang refrakter, antara lain pada system saraf sentral, renal, vaskulitis dan gangguan hematologic. LJP 394 atau Abetimus

(17)

sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada pasien nefritis dengan mengurangi antibody terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini merupakan suatu senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotida yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari keluarga tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. LymphoStatB merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS.

8. Terapi Hormon

Bromocriptine secara selektif menghambat hipofise anterior untuk mensekresi prolaktin terbukti bermanfaat mengurangi aktivitas penyakit SLE. Dehydroepiandrosterone (DHEA) bermanfaat untuk SLE dengan aktivitas ringan dan sedang. Danazole, sejenis sintetik kortikosteroid dengan dosis 400-1200 mg/hari bermanfaat untuk mengkontrol sitopenia autoimmune terutama trombositopenia dan anemia hemolitik. Terapi estrogen pengganti (Estrogen Replacement Therapy) dapat dipertimbangkan pada pasien-pasien menopause.

9. Terapi Lain

Thalidomide dapat digunakan untuk pengobatan lupus discoid dengan dosis maintenance 25-50 mg/hari. Thalidomide dapat menginduksi remisi partial sebanyak 30% dan remisi lengkap sebanyak 60%. Thalidomide berguna pada kasus lupus discoid yang refrakter dengan kortikosteroid dan antimalaria. Neuropati perifer dapat terjadi pada penggunaaan thalidomide dan obat ini tidak boleh digunakan pada kehamilan karena efek teratogeniknya.

Dapsone merupakan suatu sulfone yang efektif untuk mengatasi beberapa kelainan kulit termasuk lupus discoid. Retinoid yang memiliki efek anti inflamasi dan immunosuppressive telah digunakan luas baik secara oral maupun topical untuk pengobatan lupus cutaneous yang kronis.

Immunoglobulin intravena (IVIgG) adalah immunomodulator dengan mekanisme kerja yang luas, meliputi blockade reseptor Fc, regulasi komplemen dan

(18)

resiko terjadinya infeksi. Dengan dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari berturut-turut terjadi perbaikan trombositopenia, arthritis, nefritis, demam, manifestasi kulit dan parameter immunologis. Efek samping yang terjadi adalah demam, mialgia, sakit kepala, arthralgia, dan kadang meningitis aseptika. Kontraindikasinya adalah penderita SLE yang disertai defisiensi IgA.

7. Follow Up

Apabila diagnosis SLE telah dibuat, maka penting untuk menentukan beratnya serta potensi reversibilitas penyakit dan kemungkinan pengobatannya. Tidak ada istilah sembuh untuk penyakit SLE, dan jarang didapatkan remisi sempurna yang bertahan lama. Dalam pengelolaan SLE, penting untuk ditentukan apakah kondisinya mengancan jiwa, atau mungkin untuk menimbulkan kerusakan organ, di mana keadaan tersebut memerlukan terapi yang agresif. Juga penting untuk ditentukan apakah manifestasi penyakit SLE tersebut berpotensi reversible dan bagaimana upaya terbaik untuk mencegah komplikasi penyakit tersebut dan pengelolaannya. Dalam monitoring aktivitas penyakit SLE, dapat digunakan MEX LESDAI Score.

(19)

TABEL 2: MEX LESDAI Score. (Dikutip dari: Tim Reumatologi RS Dr. Hasan Sadikin, “Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik” Bandung 2007.)

(20)

8. Komplikasi

Komplikasi yang terjadi pada penyakit SLE bisa terjadi akibat penyakitnya sendiri atau komplikasi dari pengobatannya. Komplikasi akibat penyakit SLE sendiri yang paling sering terjadi adalah infeksi sekunder karena system immune penderita yang immunocompromised. Selain itu, sering juga terjadi komplikasi penyakit aterosklerosis akibat peningkatan antiphospholidip antibody.

Komplikasi akibat pengobatan SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan infark miokard prematur.

9. Prognosis

Prognosis dari perjalanan penyakit SLE bervariasi. Sebelum steroid ditemukan, 52% penderita meninggal dalam 2 tahun dan sisanya bertahan sampai 11 tahun. Pada tahun 1977, 91% penderita dilaporkan hidup hingga 5 tahun. Sekarang, 75% penderita mampu hidup hingga 15 tahun dan lebih dari 90% dilaporkan hidup hingga 10 tahun. Prognosis penderita tergantung dari organ-organ yang terkena. Keterlibatan organ ginjal dan sistem saraf pusat memberikan prognosis yang buruk. 84% penderita tanpa kelainan pada ginjal mampu bertahan hidup hingga 15 tahun dibandingkan dengan penderita yang mengalami kelainan (57%). Penderita yang mengalami remisi spontan sebanyak 35% dapat hidup hingga 20 tahun. Prognosis yang lebih baik pada penderita tidak hanya karena pemberian kortikosteroid, tetapi juga karena adanya penegakan diagnosis yang dini.

Penyebab kematian pada penderita biasanya disebabkan karena kerusakan ginjal yang parah, bronchopneumonia, atau peritonitis spontan yang merupakan komplikasi dari lupus nephritis yang dapat diterapi dengan kortiosteroid. Selain itu, dapat juga terjadi karena vaskulitis pada sistem saraf pusat yang muncul dengan kejang, psikosis dan paralisis pada penderita. Penderita yang meninggal awal, biasanya terjadi pada fase aktif dari lupus erythematosus disertai kelainan pada organ ginjal, menerima dosis tinggi dari steroid, serta mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit infeksi. Sedang pada penderita yang meninggal belakangan mempunyai angka insiden yang tinggi karena atherosclerotic heart disease dan infarct

(21)

myocardial. Walaupun penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan, namun prognosisnya lebih buruk pada penderita laki-laki.

ARTRITIS REUMATOID

1. Definisi

Artritis Reumatoid adalah penyakit autoimun sistemik kronis yang tidak diketahui penyebabnya dikarakteristikan dengan reaksi inflamasi dalam membran sinovial yang mengarah pada destruksi kartilago sendi dan deformitas lebih lanjut. ( Susan Martin Tucker.1998 ).

Artritis Reumatoid ( AR ) adalah kelainan inflamasi yang terutama mengenai membran sinovial dari persendian dan umumnya ditandai dengan dengan nyeri persendian, kaku sendi, penurunan mobilitas, dan keletihan. ( Diane C. Baughman. 2000 )

Artritis rematoid adalah suatu penyakit inflamasi kronik dengan manifestasi utama poliartritis progresif dan melibatkan seluruh organ tubuh. ( Arif Mansjour. 2001 )

Artritis reumatoid ini merupakan bentuk artritis yang serius, disebabkan oleh peradangan kronis yang bersifat progresif, yang menyangkut persendian. Ditandai dengan sakit dan bengkak pada sendi-sendi terutama pada jari-jari tangan, pergelangan tangan, siku, dan lutut.

2. Epidemiologi

AR terjadi antara usia 30 tahun dan 50 tahun dengan puncak insiden antara usia 40 tahun dan 50 tahun. Wanita terkena dua sampai tiga kali lebih sering dari pada pria. AR adalah suatu penyakit inflamasi sistematik yang paling sering dijumpai, menyerang sekitar 1% populasi dunia.

3. Etiologi

Penyebab artritis reumatoid masih belum diketahui walaupun banyak hal mengenai patogenesisnya telah terungkap. AR adalah suatu penyakit autoimun yang timbul pada individu – individu yang rentang setelah respon imun terhadap agen pencetus yang tidak

(22)

terhadap mikro-organisme diperantarai oleh IgG. Walaupun respon ini berhasil mengancurkan mikro-organisme, namun individu yang mengidap AR mulai membentuk antibodi lain biasanya IgM atau IgG, terhadap antibodi IgG semula. Antibodi ynng ditunjukan ke komponen tubuh sendiri ini disebut faktor rematoid ( FR ). FR menetap di kapsul sendi, dan menimbulkan peradangan kronik dan destruksi jaringan AR diperkirakan terjadi karena predisposisi genetik terhadap penyakit autoimun.

4. Faktor Predisposisi

Beberapa faktor pencetus dari atritis reumatoid yang banyak menyebabkan gejala, meliputi :

Aktifitas/mobilitas yang berlebihan

Aktifitas klien dengan usia yang sangat lanjut sangatlah membutuhkan perhatian yang lebih, karena ketika klien dengan kondisi tubuh yang tidak memungkinkan lagi untuk banyak bergerak, akan memberatkan kondisi klien yang menurun terlebih lagi sistem imun yang sangat buruk. Sehingga klien dengan sistem imunitas tubuh yang menurun, sangatlah dibutuhkan perhatian lebih untuk mengurangi /memperhatikan tipe aktifitas/mobilitas yang berlebih. Hal ini dikarenakan kekuatan sistem muskuloskeletal klien yang tidak lagi seperti usianya beberapa tahun yang lalu, masih dapat beraktifitas maksimal.

Lingkungan

Mereka yang terdiagnosis atritis reumatoid sangatlah diperlukan adanya perhatian lebih mengenai keadaan lingkungan. Ketika lingkungan sekitarnya yang tidak mendukung, maka kemungkinan besar klien akan merasakan gejala penyakit ini. Banyak diantaranya ketika keadaan suhu lingkungan sekitar klien yang cukup dingin, maka klien akan merasa ngilu, kekakuan sendi pada area-area yang biasa terpapar, sulit untuk mobilisasi, dan bahkan kelumpuhan.

5. Patofisiologi

Reaksi autoimun dalam jaringan sinovial akibat faktor genetik, yang melakukan proses fagositosis menyerang sinovium menghasilkan enzim – enzim dalam sendi untuk memecah kolagen sehingga terjadi edema proliferasi membran sinovial yang mengakibatkan adanya pelepasan kolagenesa dan produksi lisozim oleh fagosit yang mengakibatkan terjadinya erosi sendi dan periartikularis tekanan sendi distensi serta putusnya kapsula & ligamentum. Kemudian terjadi pembengkakan, kekakuan pergelangan tangan & sendi jari tangan dan akhirnya membentuk pannus. Pannus tersebut akan menghancurkan tulang rawan dan

(23)

menimbulkan erosi tulang sehingga akan berakibat menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi.

Pathway Bakteri, mikroplasma, virus

menginfeksi sendi

Proses fagositosis menyerang sinovium

Edema proliferasi membran sinovial

Produksi lisozim oleh fagosit Pelepasan kolagenesa

oleh fagosit

Terjadi proses autoimun dalam jaringan sinovial Faktor genetik

Terjadi erosi sendi dan periartikularis Tekanan sendi

Distensi

Serta putusnya kapsula & ligamentum

pembengkakan Gejala-Gejala

Konstitusional

kekakuan di pagi hari Deformitas

Membentuk pannus Menghancurkan tulang rawan Menghilangkan permukaan sendi

yang mengganggu gerak sendi 1.Gangguan rasa nyaman 2.Gangguan mobilitas fisik 4.Gangguan perawatan 3.Gangguan citra tubuh

(24)

6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang timbul sesuai dengan tahapan dan keparahan dari penyakit AR itu sendiri. Nyeri sendi, bengkak, hangat, eritema, dan kurang berfungsi adalah gambaran klinis yang klasik. Seringkali dapat diaspirasi cairan dari sendi yang mengalami pembengkakan. Artritis sering diawali dengan timbulnya rasa sakit serta lemah pada sendi tangan dan pinggang. Juga disertai bengkak dan kadang terjadi peradangan, tetapi sering tiba-tiba hilang.

Pola karakteristik dari persendian yang terkena :

- Mulai pada persendian kecil ditangan, pergelangan , dan kaki.

- Secara progresif menenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular.

- Biasnya akut, bilateral, dan simetris.

- Persendian dapat teraba hangat, bengkak, dan nyeri ; kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.

- Deformitasi tangan dan kaki adalah hal yang umum.

Beberapa gejala klinis yang kerap kali terjadi pada para penderita atritis reumatoid ini, yakni :

- Gejala-Gejala Konstitusional.

Beberapa gejala tersebut meliputi lelah, anoreksia, berat badan menurun dan demam. Bahkan terkadang kelelahan yang sangat hebat.

- Poliatritis Simetris.

Terutama terjadi pada sendi perifer, termasuk sendi-sendi di tangan namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diatrodial dapat terserang.

- Kekakuan di pagi hari.

Kejadian ini terjadi selama lebih dari 1 jam, dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoatritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam.

(25)

Atritis erosif merupakaan ciri khas penyakit ini pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan ini dapat dilihat pada radiogram.

- Deformitas.

Kerusakan struktur penunjang sendi dengan perjalanan penyakit. Pergeseran ulnar atau jari, subluksasi sendi metakarpofalangeal, deformitas boutonniere dan leher angsa. Pada kaki terdapat protrusi (tonjolan) kaput metatarsal yang timbul sekunder dari subluksasi metatarsal.

- Nodula-Nodula Reumatoid.

Nodula-nodula reumatoid adalah masa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga penderita dewasa. Lokasi tersering yakni di daerah sepanjang sendi sikut atau sepanjang permukaan ekstensor lengan. Nodul ini merupakan tanda bahwa penyakit tersebut aktif.

- Manifestasi Ekstraartikuler.

a. Kulit Nodula subkutan Vaskulitis, bercak-bercak coklat lesi-lesi ekimotik b. Jantung

Perikarditis Temponade pericardium. Lesi peradangan miokardium dan katup jantung

c. Paru-paru

Pleuritis dengan atau tanpa efusi peradangan paru-paru d. Mata terjadi skleritis

e. Syaraf

Neuropati perifer sindrom kompresi perifer (sindrom terowongan kapal, neuropati syaraf ulnaris, paralisis peronealis, abnormalitas vertebra servikal) f. Sitemik Anemia Osteoporosis generalisata Syndrome felty Sindrom Sjogren

(26)

7. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan umum yang lengkap penting di lakukan. Disamping menilai adanya sinovasi pada setiap sendi, perhatian juga hal –hal berikut ini :

Keadaan umum : komplikasi steroid, berat badan. Tangan : meliputi vaskulitasi dan fungsi tangan.

Lengan : siku dan sendi bahu, nodul rematoid dan pembesaran kelenjar limfe aksila.

Wajah : periksa mata untuk sindroma Sjorgen, skleritis, episkleritis, skleromalasia perforans, katarak, anemia dan tanda – tanda hiperviskositas pada fundus. Kelenjar parotis membesar ( sinroma Sjogren ).

Mulut : ( kering, karies dentis, ulkus ), suara serak, sendi

temporomandibula ( krepitus ). Catatan : artritis rematoid tidak menyebabkan iritasi.

Leher : adanya tanda – tanda terkenanya tulang servikal.

Toraks : jantung ( adanya perikarditis, defek konduksi, inkompetensi katup aorta dan mitral ). Paru – paru ( adanya efusi pleural, fibrosis, nodul infark, sindroma Caplan ).

Abdomen : adanya splenomegali dan nyeri tekan apigastrik. Panggul dan lutut : tungkai bawah – adanya ulkus, pembengkakan betis ( kista

Baker yang reptur ) neuropati, mononeuritis multipleks dan tanda – tanda kompresi medulla spinalis.

Kaki : efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan medial dan kantong suprapatelar mengakibatkan pembengkakan di atas dan sekitar patela yang berbentuk seperti ladam kuda dan efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi pembengkakan pada sisi anterior Urinalisis : untuk protein dan darah, serta pemeriksaan rektum untuk

(27)

8. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menyokong diagnosa (ingat bahwa ini terutama merupakan diagnosa klinis) 1. Tes erologik

a. Faktor rematoid – 70% pasien bersifat seronegatif.

Catatan: 100% dengan factor rematoid yang positif jika terdapat nodul atasindroma Sjogren

b. Antibodi antinukleus (AAN)- hasil yang positif terdapat pada kira-kira 20 kasus

2. Foto sinar X pada sendi-sendi yang terkena. Perubahan-perubahan yang dapat di temukan adalah:

a. Pembengkakan jaringan lunak b. Penyempitan rongga sendi c. Erosi sendi

d. Osteoporosis juksta artikule 3. Untuk menilai aktivitas penyakit:

a. Erosi progresif pada foto sinar X serial.

b. LED. Ingat bahwa diagnosis banding dari LED yang meningkat pada artritisreumatoid meliputi :

- penyakit aktif - amiloidosis - infeksi

- sindroma Sjorgen ;

c. Anemia : berat ringannya anemia normakromik biasanya berkaitan dengan aktifitas.

d. Titer factor rematoid : makin tinggi titernya makin mungkin terdapat kelainan

ekstra artikuler. Faktor ini terkait dengan aktifitas artritis.

9. Terapi

Prinsip utama pengobatan penyaki artritis adalah dengan mengistirahatkan sendi yang terserang, karena jika sendi yang terserang terus digunakan akan memperparah peradangan.

(28)

Pembidaian bisa digunakan untuk imobilisasi dan mengistirahatkan satu atau beberapa sendi, tetapi untuk mencegah kekakuan dapat dilakukan beberapa gerakan yang sistematis.

Obat-obatan yang dipakai untuk mengobati penyakit ini adalah:

1.Obat anti peradangan non steroid, yang paling sering digunakan adalah aspirin dan ibuprofen. Obat ini mengurangi pembengkakan sendi dan mengurangi nyeri.

2.Obat slow-acting, obat ini ditambahkan jika terbukti obat anti peradangan non steroid tidak efektif setelah diberikan selama 2-3 bulan atau diberikan segera apabila penyakitnya berkembang cepat.

Yang sekarang digunakan adalah

(a) Senyawa emas, yang berfungsi memperlambat terjadinya kelainan bentuk tulang. Diberikan sebagia suntikan mingguan. Jika obat ini terbukti efektif, dosis dikurangi.

(b) Penisilamin, efeknya menyerupai senyawa emas dan bisa digunakan bila senyawa emas tidak efektif dan menyebabkan efek samping yang tidak dapat ditoleransi. Dosis dinaikan secara bertahap hingga terjadi perbaikan. Penisilamin yang biasa dipakai antara lain hydroxycloroquinine dan sulfasalazine.

3.Kortikosteroid, misalnya prednison merupakan obat paling efektif untuk mengurangi peradangan dibagian tubuh manapun. Kortikosteroid efektif digunakan pada pemakaian jangka pendek, dan kurang efektif bila dipakai dalam jangka panjang. Obat ini tidak memperlambat perjalanan penyakit ini dan pemakaian jangka panjang mengakibatkan berbagai efek samping, yang melibatkan hampir setiap organ. Untuk mengurangi resiko terjadinya efek samping, maka hampir selalu digunakan dosis efektif terendah. Obat ini disuntikan langsung ke dalam sendi, tetapi dapat menyebabkan kerusakan jangka panjang, terutama jika sendi yang terkena digunakan secara berlebihan sehingga mempercepat terjadinya kerusakan sendi.

4.Obat imunosupresif (contohnya metotreksat, azatioprin, dan cyclophosphamide) efektif untuk mengatasi artritis yang berat. Obat ini menekan peradangan sehingga pemakaian kortikosteroid bisa dihindari atau diberikan dengan dosis rendah.

10. Penatalaksanaan

Tujuan dari penatalaksanaan termasuk penyuluhan, keseimbangan antara istirahat dan latihan, dan rujukan lembaga di komunitas untuk mendapatkan dukungan.

(29)

AR dini : penatalaksanaan pengobatan termasuk dosis terapeutik salisilat atau obat – obat antiinflamasi nonsteroid ( NSAIDS );

antimalaria emas, pensilamin,atau sulfasalazin, methotreksat; analgetik selama periode nyeri hebat.

AR sedang , erosit : program formal terapi okupasi dan terapi fisik. AR persisten, erisif : pembedahan rekonstruksi dan kortikosteroid.

AR tahap lanjut yang tak pulih : preparat immunosupresif, seperti metotreksat, siklosfosfamid, dan azatioprin.

Pasien AR sering mengalami anoreksia, penurunan berat badan, dan anemia, sehingga membutuhkan pengkajian riwayat diit yang sangat cermat untuk mengidntifikasi kebiasaan makan dan makanan yang disukai. ( kortikosteroid dapat menstimulasi napsu makan dan menyebabkan penambahan berat badan ).

Penatalaksanaan artritis reumatoid didasarkan pada pengertian patofisiologis penyakit ini. Selain itu perhatian juga ditujukan terhadap manifestasi psikofisiologis dan kekacauan psikososial yang menyertainya yang disebabkan oleh perjalana penyakit yang fluktuatif dan kronik. Untuk memuat diagnostik yang akurat dapat memakan waktu sampai bertahun-tahun, tetapi pengobatan dapat dimulai secara lebih dini.

Tujuan utama dari program pengobatan adalah sebagai berikut: 1. Untuk menghilangkan nyeri dan peradangan.

2. Untuk mempertahankan fungsi sendi dan kemampuan maksimal dari pasien. 3. Untuk mencegah dan memperbaiki deformitas yang terjadi pada sendi.

Ada sejumlah cara penatalaksanaan yang sengaja dirancang untuk mencapai tujuan-tujuan ini: pendidikan, istirahat, latihan fisik dan termoterapi, gizi dan obat-obatan.

Langkah pertama dari program penatalaksanaan ini adalah memberikan pendidikan yang cukup tentang penyakit kepada pasien, keluarganya, dan siapa saja yang berhubungan dengan pasien. Pendidikan yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologis, penyebab, dan prognosis penyakit ini, semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit ini, dan metode-metode efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan. Proses pendidikan ini harus dilakukan secara terus-menerus. Bantuan dapat diperoleh melalui club penderita, badan-badan kemasyarakatan, dan dari orang-orang lain yang juga penderita artritis reumatoid, serta keluarga mereka.

(30)

lebih baik atau lebih berat. Kekakuan dan rasa tidak nyaman dapat meningkat apabila beristirahat, hal ini berarti bahwa pasien dapat mudah terbangun dari tidurnya pada malam hari karena nyeri.

Latihan-latihan spesifik dapat bermanfaat dalam mempertahankan fungsi sendi. Latihan ini mencakup gerakan aktif dan pasif pada semua sendi yang sakit, sedikitnya dua kali sehari. Kompres panas pada sendi-sendi yang sakit dan bengkak mungkin dapat mengurangi nyeri. Mandi parafin dengan suhu yang bisa diatur dan mandi dengan suhu panas dan dingin dapat dilakukan di rumah.

Alat-alat pembantu dan adaktif mungkin diperlukan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.

11. Komplikasi

Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komlikasi utama penggunaan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit ( disease modifying antirhematoid drugs, DMARD ) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada arthritis reumatoid.

Komplikasi saraf yang terjadi memberikan gambaran jelas , sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikuler dan lesi neuropatik. Umumnya berhubungan dengan mielopati akibat ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis.

12. Diet

Penatalaksanaan diet untuk Reumatoid yaitu : Diet khusus : Tim Cakar Ayam

Untuk diet keseluruhan dapat dilihat sebagai berikut : 1. Asupan protein : 0,8 g/kg BB/hari

2. Asupan buah dan sayuran > dari 5x sajian per hari

3. Diet rendah lemak : < 5 % (asam lemak omega 6) dan > 10 % ( asam lemak omega 9)

4. Meningkatkan asupan asam lemak omega 3 5. Cukup vitamin B6 dan C

6. Suplemen multivitamin dan mineral jika asupan tidak mencukupi 7. Suplemen Fe jika pasien anemia

(31)

9. Makanan diberikan dalam porsi kecil tapi sering dan batasi minyak serta gula. 13. Prognosis

Perjalanan penyakit artritis reumatoid sangat bervariasi, bergantung pada ketaatan pasien untuk berobat dalam jangka waktu lama. Sekitar 50 – 70% pasien artritis reumatoid akan mengalami prognosis yang lebih buruk. Golongan ini umumya meninggi 10 – 15 tahun lebih cepat dari pada orang tanpa arthritis rheumatoid. Penyebab kematiannya adalah infeksi, penyakit jantung, gagal pernapasan, gagal ginjal, dan penyakit saluran cerna. Umumnya mereka memiliki keadaan umum yang buruk, lebih dari 30 buah sendi yang mengalami peradangan, dengan manifestasi ekstraartikuler, dan tingkat pendidikan yang rendah. Golongan ini memerlukan terapi secara agresif dan dini karena kerusakan tulang yang luas dapat terjadi dalam 2 tahun pertama.

Referensi

Dokumen terkait

Akun Twitter yang dimaksud di sini adalah akun Twitter yang akan kita gunakan untuk keperluan share link YouTube, jadi sebaiknya buat akun.. Twitter yang kloningan alias

Ketika arus mengalir stabil dalam kawat, besarnya  I   harus sama sepanjang garis; jika tidak, muatan akan menumpuk di suatu tempat, dan itu tidak akan menjadi arus

Disain Pengujian dengan metode Taguchi dipilih untuk mengetahui respon emisi gas buang (Carbon monoksida dan Hidrokarbon) dari empat faktor yang diprediksi akan

37 Menurut al-Khatib; 1 “Sekiranya seseorang perawi itu selamat dari tuduhan sebagai pendusta atau mendengar riwayat yang tidak didengarinya dari shaykh yang

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan Penulisan Hukum/ Skripsi ini dan semua pihak yang telah

Jadi pada tingkatan karakteristik lingkungan belajar Active telah menunjukkan bahwa siswa di kelas menggunakan aplikasi Microsoft word dalam membuat makalah atau laporan

Tabrani (1996:14) “metode pemberian tugas merupakan salah satu cara penyajian bahan pelajaran dimana guru memberikan tugas agar siswa giat belajar. Metode pemberian tugas

v pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang  tidak mengurangi kemampuan generasi yang  akan datang untuk melakukan pembangunan,  tetapi dengan menjaga agar