• Tidak ada hasil yang ditemukan

DHF REFERAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DHF REFERAT"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

DHF (DENGUE HAEMORRHAGIC FEVER) PADA ANAK BLOK TROPICAL MEDICINE T.A. 2013/2014

Dosen Pembimbing: dr. Retno Widiastuti, MS

Disusun oleh:

Gilang Ananda G1A011082 Ridhan Habibie H. H. G1A011083 Rayna Nadia F. N. G1A011084 Aulia Tri P. W. G1A011085 Tiyo Nurakhyar G1A011086 Zumrotin Hasnawati G1A011087 Dwijayanti Titie A. G1A011088 Bagas Ryan Kusuma G1A011089 M. Savvyany Saputra G1A011090 Astarie Bella Larasati G1A011091

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATAN JURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO 2014

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) pada Anak”. Referat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) pada anak dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Blok Tropical Medicine di Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Jenderal Soedirman.

Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada dosen pembimbing, dr. Retno Widiastuti, MS yang telah membimbing dan memberi pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari kekurangan karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahun penulis, maka penulis sangat mengharapkan masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Purwokerto, September 2014

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iii

I PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 2 B. Tujuan ... 2 C. Manfaat ... 2 II TINJAUAN PUSTAKA ... 2 A. Definisi ... 2 B. Etiologi ... 2 C. Epidemiologi ... 2 D. Faktor Risiko ... 3

E. Tanda dan Gejala ... 4

F. Penegakkan Diagnosis ... 5 G. Patogenesis ... 10 H. Patofisiologis ... 12 I. Terapi Lama ... 14 J. Terapi Baru ... 15 K. Komplikasi ... 15 L. Prognosis ... 16 III KESIMPULAN ... 17 DAFTAR PUSTAKA ... 18

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit demam akut yang disertai dengan adanya manifestasi perdarahan, yang bertendensi mengakibatkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian (Arief Mansjoer, Suprohaita; 2000; 419).

Dengue Haemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang terutama terdapat pada anak dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi, dan biasanya memburuk pada dua hari pertama (Soeparman; 1987; 16).

Infeksi virus dengue merupakan salah satu penyakit dengan vector nyamuk (mosquito borne disease) yang paling penting di seluruh dunia, terutama sebagian besar ditemukan di wilayah Indonesia bagian tropis dan subtropis. Penyakit ini memiliki spectrum klinis dari asimptomatis, undifferentiated febrile illness, demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) yang mencakup manifestasi paling berat yaitu sindrom syok dengue (dengue shock syndrome/DSS).

Di Indonesia terjadi peningkatan insiden kasus DBD sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1968. Namun, angka kematian menurun tajam dari 41,3% (1968) menjadi 3% (1994) dan sejak tahun 1991 stabil di bawah angka 3%. Ketika wabah terjadi, berbagai serotipe virus dengue telah berhasil diisolasi. Virus dengue dengan tipe 1, 2, 3, dan 4 berhasil diisolasi dari penderita DBD di Indonesia, dengan virus Dengue tipe 2 dan 3 secara bergantian merupakan serotipe virus yang dominan, namun virus dengue tipe 3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat. Puncak kasus DBD terjadi pada musim hujan, yaitu mulai dari bulan Desember hingga bulan Maret. Namun, untuk daerah perkotaan puncak

(5)

terjadinya kasus DBD pada bulan Juni yaitu permulaan musim kemarau tiap tahun di beberapa kota seperti Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. B. Tujuan

1. Mengetahui definisi DHF (Dengue Haemorrhagic Fever)

2. Mengetahui manifestasi klinis DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) 3. Mengetahui prinsip penatalaksanaan DHF (Dengue Haemorrhagic Fever) 4. Mengetahui prognosis DHF (Dengue Haemorrhagic Fever)

C. Manfaat

1. Mahasiswa dapat mengerti mengenai penyakit DHF (Dengue Haemorrhagic Fever)

2. Mahasiswa dapat mengerti mengenai pengobatan efektif pada DHF (Dengue Haemorrhagic Fever)

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) ialah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut (Samsi, 2000).

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai (Samsi, 2000).

B. Etiologi

Virus dengue termasuk familia Flaviridae, dari genus Flavivirus. Atas dasar ekologinya Flavivirus disebut Arbovirus atau virus athropoda-borne untuk menunjukkan bahwa virus ini ditransmisikan oleh serangga. Semua Flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang menimbulkan terjadinya cross reaction (reaksi silang) pada uji serologis, hal ini menyebabkan diagnosis pasti uji serologis sulit ditegakkan. Ada 4 serotipe dari virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4. Infeksi salah satu serotipe virus Den akan menghasilkan antibodi protektif untuk serotipe tersebut pada waktu yang lama, tetapi tidak ada cross protection (perlindungan silang) terhadap serotipe virus Den yang lain

(7)

(Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2007).

C. Epidemiologi

Secara epidemiologi dikenal 2 bentuk dengue yaitu (WHO, 2005):

1. Bentuk klasik, dengan gejala panas 5 hari, disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi dan tulang. Penurunan jumlah thrombosit dan ruam-ruam banyak dijumpai kasusnya di negara-negara kawasan Asia tenggara (Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam), secara endemik.

2. Bentuk epidemik, dikenal dengan nama ”Dengue hemorrhagic fever” (DHF). Di Indonesia penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dengan gejala demam dengue disertai dengan pembesaran hati dan tanda-tanda perdarahan. Epidemik DBD dapat terjadi secara berulang-ulang. Sejak kasus DBD pertama kali ditemukan di Surabaya pada tahun 1968 (epidemi terjadi pertama kali di Batavia 1779), jumlah kasus DBD cenderung meningkat. Angka insiden DBD di Indonesia terus meningkat setiap 5-10 tahun.

Menurut World Health Organization, demam berdarah dengue dapat dilihat berdasarkan karakteristik epidemiologi, antara lain (WHO, 2005):

1. Penyebab Penyakit (agent)

Virus dengue merupakan bagian famili Flaviviridae. Keempat serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 dapat dibedakan dengan metode serologi. Infeksi pada manusia oleh salah satu serotipe menghasilkan imunitas sepanjang hidup terhadap infeksi ulang oleh serotipe yang sama, tetapi hanya menjadi pelindung sementara dan parsial terhadap serotipe yang lain (WHO, 2005).

(8)

Virus-virus dengue dapat menunjukkan banyak karakteristik yang sama dengan flavivirus lain, mempunyai genom RNA rantai tunggal yang dikelilingi oleh nukloekapsid ikosahendral dan terbungkus oleh selaput oleh selaput lipid. Virionnya mempunyai diameter kira 50 nm. Genom flavvirus mempunyai panjang kira-kira 11 kb (kilobases), dan urutan genom lengkap dikenal untuk mengisolasi keempat serotipe, mengkode nukleokapsid atau protein inti (C), protein yang berkaitan dengan membran (M), dan protein pembungkus (E) dan tujuh gen protein (NS). Domain-domain bertanggung jawab untuk netralisasi, fusi, dan interaksi dengan reseptor virus berhubungan denagn protein pembungkus (WHO, 2005).

2. Vektor

Aedes aegypti adalah salah satu vektor nyamuk yang paling efisien untuk arbovirus, karena nyamuk ini sangat antropofilik, hidup dekat manusia dan sering hidup di dalam rumah. Wabah dengue juga telah disertai dengan Aedes albopictus, Aedes polynesiensis, dan banyak spesies kompleks Aedes scutellaris. Setiap spesies ini mempunyai distribusi geografisnya masing-masing. Namun, mereka adalah vektor epidemik yang kurang efisien dibanding Aedes aegypti. Sementara penularan vertikal (kemungkinan transovarian) virus dengue telah dibuktikan di laboratorium dan di lapangan, signifikansi penularan ini untuk pemeliharaan virus belum dapat ditegakkan. Faktor penyulit pemusnahan vektor adalah bahwa telur Aedes aegypti dapat bertahan dalam waktu lama terhadap desikasi (pengawetan dan pengeringan), kadang selama lebih dari satu tahun (WHO, 2005).

(9)

D. Faktor resiko

Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pertama kali dicurigai berjangkit di Surabaya pada tahun 1968, tetapi kepastian virologik baru diperoleh pada tahun 1970. Demam Berdarah Dengue (DBD) pada orang dewasa dilaporkan pertama kali oleh Swandana (1970) yang meningkat dan menyebar secara drastis ke seluruh DATI I di Indonesia (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2007).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus demam berdarah dengue, yaitu (Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, 2007):

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi

2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali

3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis 4. Sanitasi lingkungan yang kurang baik

5. Banyak genangan air sekitar lingkungan 6. Sirkulasi udara jelek

7. Menumpuknya pakaian basah atau kotor di tempat yang tidak tersinari matahari (belakang pintu)

8. Peningkatan sarana transportasi

Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi beberapa vektor antara lain status imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat. Pola berjangkit virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban di setiap tempat tidak sama, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat.

(10)

E. Tanda dan gejala

Manifestasi klinis infeksi oleh virus dengue pada manusia bervariasi. Spektrum variasinya begitu luas mulai dari asimptomatik, demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue, hingga yang paling berat yaitu dengue syok sindrom. Masa inkubasi dengue berkisar 3-15 hari, dengan rata-rata 5-8 hari. Berat ringannya penyakit ini tergantung dari beberapa faktor seperti daya tahan tubuh, cepat lambatnya penanggulangan medis, perdarahan organ yang terjadi, tingkat virulensi virus (WHO, 2005).

Gejala klinis DBD diawali dengan demam tinggi mendadak 2-7 hari, disertai muka kemerahan dan gejala klinis lain yang sering ditemukan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri pada belakang bola mata terutama pada pergerakan mata atau bila mata ditekan, fotofobia, nyeri pada otot, sendi dan tulang (break bone fever), nyeri tenggorokan, mual, muntah, namun jarang ditemukan batuk pilek. Biasanya ditemukan juga nyeri epigastrium dan nyeri dibawah lengkung iga kanan. Kurva demam yang bersifat bifasik (saddle back fever) tidak selalu ditemukan. Demam biasanya berlangsung 2-7 hari dan bila tidak disertai syok maka panas akan turun dan penderita akan sembuh sendiri (WHO, 2005).

Bentuk perdarahan paling sering adalah uji tourniquet (Rumple Leede) positif, yaitu bila ditemukan ≥ 10 bintik perdarahan (petekie) dengan luas diameter 2,8 cm2 pada pembendungan aliran darah selama 5 menit, terdapat di lengan bawah bagian volar dan fossa cubiti. Gejala perdarahan biasanya mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, hematemesis, melena (WHO, 2005).

Selain itu dapat juga ditemukan pembesaran hati terutama pada penderita yang mengalami syok, namun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit. Pada dasarnya terdapat empat gejala utama pada DBD, yaitu

(11)

demam tinggi, fenomena perdarahan, hepatomegali dan kegagalan sirkulasi (WHO, 2005).

Manifestasi klinis DBD dibagi menjadi 4 derajat, yaitu (WHO, 2005): 1. Derajat I

Demam disertai gejala tidak khas dan manifestasi perdarahan spontan satu-satunya ialah uji tourniquet positif.

2. Derajat II

Gejala seperti derajat I, disertai perdarahan spontan dikulit atau manifestasi perdarahan lain.

3. Derajat III

Didapatkan tanda-tanda dini renjatan / kegagalan sirkulasi (nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun / <20 mmHg, hipotensi, sianosis sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, gelisah)

4. Derajat IV

Ditemukan syok berat/ DSS (Dengue syok sindrom) dengan tensi dan nadi yang tak terukur.

F. Penegakan diagnosis (Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang)

Subjective (Hasil Anamnesis)

Keluhan

Demam dengue: demam tinggi, mendadak, sepanjang hari, berlangsung 2-7 hari dengan pola deman kadang kadang bifasik disertai 2 atau lebih gejala penyerta seperti sakit kepala, nyeri retro orbital, mialgia, atralgia, ruam, mual, muntah.

Demam berdarah dengue: Demam dengue yang ditandai dengan manifestasi tanda tanda perdarahan berupa gusi

(12)

berdarah, mimisan, nyeri perut, mual/muntah, hematemesis, melena.

Faktor Risiko

Tinggal di daerah endemis dan padat penduduknya. Curah hujan yang mengakibatkan banyak genangan air Sanitasi lingkungan yang buruk ( ban,botol,kaleng bekas

yg berserakan dll)

Tempat penampungan air didalam maupun diluar rumah (bak mandi,drum, alas dispenser, alas vas bunga,tempat minum burung dll)

Perubahan iklim yang ditandai dengan kenaikan temperatur (28-32 0C) dan kelembaban tinggi berpengaruh terhadap perkembangbiakan vector nyamuk DBD. Objective (Hasil pemeriksaan fisik dan penunjang sederhana) Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis Demam Dengue

 Suhu >39 derajat celcius  Ruam kulit

Demam Berdarah Dengue  Ptekie, ekimosis, purpura  Perdarahan mukosa  Rumple Leed (+)  Hepatomegali

(13)

 Splenomegali

 Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa tanda-tanda efusi pleura dan asites.

Pemeriksaan Penunjang

 Leukosit: leukopenia (lekosit< 5000/mm3)

 Trombosit: trombositopenia untuk demam dengue trombosit <150.000/mm3, sedang untuk demam berdarah dengue trombosit <100.000/mm3 )

 Peningkatan Hematokrit:

pada demam dengue 5-10% sebagai akibat dehidrasi.

Sedangkan pada demam berdarah peningkatan >20% dibandingkan dengan data baseline saat pasien belum sakit atau sudah sembuh atau adanya efusi pleura,asites, atau . hipoproteinemia ( hipoalbuminemia)

 Pemeriksaan serologi dengue positif

Assessment/ Penegakan

diagnostik

Diagnosis Klinis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah dan serologi dengue.

Untuk Penegakan diagnosis DBD diperlukan sekurang-kurangnya:

- Terdapat kriteria klinis a dan b - Dua kriteria laboratorium

1) klinis

a. Demam tinggi mendadak berlangsung selama 2-7 hari b. Terdapat manifestasi / tanda tanda perdarahan ditandai

(14)

dengan :

- Uji bendung positif

- Petekie, ekimosis, purpura

- Perdarahan mukosa , epistaksis,perdarahan gusi - Hematemesis dan atau melena

c. Pembesaran hati

d. Syok ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi <20mmhg, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah

2) Laboratorium

a. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/mm3) b. Adanya kebocoran plasma karena peningkatan

permeabilitas kapiler yang ditandai adanya: hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit > 20% sebagai berikut:

Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standard sesuai dengan umur dan jenis kelamin dibandingkan dengan data baseline saat pasien belum sakit atau sudah sembuh atau adanya efusi pleura,asites, atau . hipoproteinemia ( hipoalbuminemia)

Klasifikasi

Derajat DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat

 Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji bendung

(15)

kulit (petekie), perdarahan gusi, epistaksis, atau perdarahan lain ( menstruasi berlebihan, perdarahan saluran cerna)  Derajat III: Derajat I dan II disertai kegagalan sirkulasi, yaitu

nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, anak tampak gelisah

 Derajat IV : Seperti derajat III disertai syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah tak terukur.

G. Patogenesis

Virus dengue pada penderita DBD

Terhisap oleh nyamuk Aedes aegypti

Virus bereplikasi dalam glandula saliva nyamuk 8-12 hari (extrinsic incubation period)

Virus bereplikasi dalam glandula saliva nyamuk 8-12 hari (extrinsic incubation period)

Nyamuk menggigit manusia

Inokulasi virus pada tubuh manusia (masa inkubasi 3 – 14 hari) Virus bereplikasi pada sel-sel dendritik

dan menginfeksi sel-sel target

(16)

Bagan 2.1. Patogenesis DHF (USU, 2010, Chuansumrit et al, 2005, Shephred, 2014) Aktivasi makrofag yang

memfagosit kompleks virus antibody non netralisasi

Non netralisasi: Virus bereplikasi di dalam makrofag

Aktivasi T helper (Th / CD4) dan T sitotoksik (CD8)

Limfokin dan IFN – Gamma diproduksi

Aktivasi kompleks virus-antibody (primer:IgG IgM, sekunder: booster effect)

Peningkatan aktivasi komplemen (C3a dan C5a meningkat) Permeabilitas vaskuler meningkat

Kebocoran plasma

Sel kupfer hepar menjadi sel target

ALT meningkat (terjadi peradangan)

Mediator-mediator inflamasi dikeluarkan: TNF-α, IL-1, PAF (platelet activating factor),

IL-6 dan histamine

Disfungsi endotel, koagulopati dan kebocoran plasma

Aktivasi Monosit Virus Dengue

Menyerang sum-sum tulang dan mendestruksi megakariosit, eritroblas dan

prekusor-prekusor myeloid Infeksi sel-sel

progenitor hematopoietic dan sel

– sel stromal Sum-sum tulang kembali memproduksi megakariosit dll Hemofagositosis Platelet berkurang

PAF: Agregasi platelet dan peningkatan kerusakan perifer

Trombositopenia

Kebocoran Plasma: efusi pleura, asites,

(17)

H. Patofisiologi

Bagan 2.2. Patofisiologi DHF (Widoyono, 2008) Infeksi virus dengue (kelompok Arbovirus B)

melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti Virus masuk aliran darah manusia

Virus bereplikasi

Tubuh membentuk antibody

Terbentuk kompleks virus-antibodi (virus sebagai antigen)

Kompleks antigen-antibodi melepas zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah (terjadi proses autoimun)

Permeabilitas Vaskuler meningkat

Pori-pori pembuluh darah kapiler melebar

Sel-sel darah bocor (antara lain trombosit dan eritrosit)

Tubuh mengalami perdarahan

Bercak Perdarahan

hebat pada kulit

Saluran cerna (hematemesis, melena) Saluran nafas (epistaksis,

hemoptisis)

(18)

I. Terapi lama

Prinsip penatalaksanaan pada DHF yaitu bersifat suportif dan simtomatis, dikarenakan sampai saat ini belum ditemukan obat yang dapat membunuh virus penyebab penyakit ini. Contohnya pada gejala berupa haus dan dehidrasi yang merupakan akibat dari demam tinggi, anorexia dan muntah, maka dapat diberikan cairan lewat oral sebagai pengganti cairan yang hilang. Cairan elektrolit dan jus buah lebih baik dibanding air biasa dalam menangani dehidrasi (WHO, 1997).

Selama terjadi demam, ada kemungkinan terjadinya kejang pada pasien. Oleh karena itu pemberian antipiretik dapat diindikasikan pada pasien dengan hiperpirexia, terutama pada pasien dengan riwayat kejang demam. Penggunaan salisilat sebaiknya dihindari pada pasien ini, karena dapat menyebabkan perdarahan dan asidosis. Pengunaan paracetamol tidak boleh sembarangan, dan harus sesuai dengan dosis yang dianjurkan, yaitu (WHO, 1997):

1 tahun 60 mg/dosis 3-6 tahun 60-120 mg/dosis 3-6 tahun 120 mg/dosis 6-12 tahun 240 mg/dosis

Pada pasien DHF perlu dilakukan pengawasan yang ketat, agar dapat memberikan prognosis yang baik. Bahkan bila perlu pasien dirawat dirumah sakit agar mempermudah pengawasan dan mempercepat pemberian terapi jika terjadi kegawat daruratan. Adapun indikasi dilakukannya rawat inap, yaitu jika terjadi dehidrasi atau kehilangan cairan > 10% dari berat badan normal. Pemberian cairan pengganti intravena perlu diberikan pada keadaan ini. Adapun tanda dehidrasi yaitu (WHO, 1997):

a. Takikardi

b. Kapilari refill > 2detik c. Kulit dingin dan pucat d. Perubahan kesadaran

(19)

e. Oliguria

f. Penignkatan hematocrit tiba-tiba

g. Tensi (tekanan darah) turun > 20 mmHg h. Hipotensi

Beberapa pengganti cairan yang dapat diberikan pada pasien antara lain (WHO, 1997):

a. Saline fisiologis b. Ringer laktat c. Ringer asetat

d. Glukosa 5 % dilusi 1:2 atau 1:1 dengan saline fisiologis. e. Pemberian cairan plasma

Ringer laktat, ringer asetat atau glukosa 5% diencerkan dengan saline haris diberikan dengan cepat melalui blous intra vena (10-20 ml/kg). Jika masih terjadi syok, dapat dilakukan pemberian oksigen dan harus dilakukan pemeriksaan hematocrit. Jika terjadi peningkatan hematocrit, maka cairan plasma, pengganti cairan plasma atau 5% albumin (10-20 ml/kg) harus diberikan dengan cepat, bila perlu diulangi dengan dosis total 20-30 ml/kg larutan koloid. Jika syok masih juga terjadi maka dapat dimungkinkan telah terjadi perdarahan internal (hemoragik). Dalam hal ini dapat diberikan transfuse whole blood (10 ml/kg) jika kadar hematokrit diatas 35%. Jika syok berkurang maka infus intravena dapat dikurangi berdasarkan kadar hematocrit, urin output dan vital sign (WHO, 1997). Berdasarkan referensi lain, tidak ada obat antivirus yang spesifik yang digunakan untuk menangani DHF, penanganan bersifat simptomatik dan penanganan terhadap dehidrasi yaitu pengantian cairan tubuh yang hilang akibat kebocoran plasma.

Terapi simptomatik dapat diberikan antipiretik menggunakan paracetamol dengan dosis 10-15 mg/kgbb/kali pemberian, dapat diulang 4-6 kali sehari (Sutaryo, 2004). Dapat juga diberikan antiemetik jika diperlukan. Penanganan dehidrasi dapat diberikan cairan kristaloid 20 cc /kgbb/jam. Pada umumnya dosis ini dapat dipertahankan 2-4 jam kemudian. Pastikan juga jalan nafas terbuka dan

(20)

kebutuhan oksigen terpenuhi dengan pemberian oksigen 1-2 L/menit (Sutaryo, 2004).

Terdapat metode One Day Care yang banyak digunakan saat ini. Prinsip dari penatalaksanaan One Day Care yaitu pasien dirawat selama 24 jam dengan pemantauan tanda klinis, laboratorium, dan pemberian cairan yang ketat. Pasien tetap dipantau oleh dokter jaga dengan follow chart. Penanganan pada One day Care adalah sebagai berikut (Zein, 2004):

1. Tirah baring

2. Diet makanan lunak atau makanan biasa tanpa bahan perangsang. 3. Infus Ringer Lactate atau Ringer Acetate atau NaCl 0,9% dengan

tetesan 20 cc /Kg BB / Jam diguyur, atau secara praktis : 1 – 1,5 liter di guyur (cor), selanjutnya 5 cc /Kg BB/Jam atau 50 cc / Kg BB / 24 jam, atau secara praktis 40 tetes/menit, sebagai kebutuhan cairan rumatan. Cairan oral sebanyak mungkin. Larutan Oralit lebih baik. 4. Keadaan klinis di monitor : TD, Nadi, Pernafasan tiap 30 menit, Suhu (

minimal 2 kali sehari, pagi dan sore dan dicatat pada grafik suhu pada status), jumlah urine perjam (sebaiknya ≥ 50 cc / jam).

5. Obat-obat simtomatik hanya diberikan bila benar-benar diperlukan, seperti parasetamol atau Xylomidon/Novalgin injeksi bila suhu tubuh ≥ 38,50

C dan Metoklopramide bila terjadi muntah-muntah.

6. Bila TD sistolik menurun ≥ 20 mmHg, atau Nadi ≥ 110 x / menit, atau tekanan nadi (TD sistol – TD diastol ≤ 20 mmHg), atau jumlah urine ≤ 40 cc / jam,pertanda adanya kebocoran plasma (plasma leakage) → tambahkan cairan infuse guyur 5 cc / KgBB / Jam sampai keadaan kembali stabil. Setelah Tekanan darah dan nadi stabil, kembali ke tetesan rumatan.

7. Monitor Laboratorium tergantung keadaan klinis. Bila terjadi penurunan TD, peningkatan Nadi, atau penurunan volume urine yang berlanjut, atau terjadi perdarahan masif, atau penurunan kesadaran, perlu di periksa Hb, Ht, Trombosit. Penurunan jumlah trombosit perlu

(21)

dipantau secara laboratorium dan kondisi klinis. Dan bila diperlukan periksa Haemorrhagic test.

8. Bila selama pemantauan lebih dari 12 jam, keadaan klinis makin memberat atau respons pemberian cairan minimal, maka penderita dinyatakan untuk dirujuk (bila dirawat di Puskesmas atau klinik atau rumah sakit daerah) atau dilakukan tindakan yang lebih intensif, kalau perlu di rawat di ICU.

9. Infus trombosit diberikan bila ada penurunan jumlah trombosit yang menyolok disertai dengan tanda-tanda perdarahan masif. Bila terjadi perdarahan yang masif dengan penurun kadar Hb dan Ht, segera beri tansfusi Whole blood.

10. Bila keadaan syok masih belum teratasi dengan pemberian cairan yang cukup sesuai perhitungan, tanda-tanda perdarahan tidak nyata, dan pemantauan laboratorium tidak menunjukkan perbaikan, maka pilihan kita adalah pemberian FFP (Fresh Frozen Plasma) atau Plasma biasa. 11. Bila keadaan klinis stabil, pemeriksaan ulangan laboratorium pada fase

penyembuhan.

J. Terapi baru

Sama dengan prinsip penatalaksanaan yang lama, penatalaksanaan pada DHF juga bersifat suportif dan simtomatis. Namun penatalaksanaan yang baru megacu pada 5 protokol penanganan DHF menurut WHO. Adapun protokol-protokol tersebut, yaitu (Chen et al., 2009):

1. Penanganan tersangka DHF tanpa syok

2. Pemberian cairan pada tersangka DHF di ruang rawat

3. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit >20% 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF

(22)

Sama halnya dengan terapi lama, terapibaru juga dilakukan pemberian cairan pengganti. Pemberian cairan ini ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan sebagai pengganti (substitusi) komponen darah. Kebocoran plasma yang terjadi biasanya terjadi antara hari 4 hingga hari ke 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke 7 kebocoran yang terjadi akan berkurang dan cairan akan kembali ke ruang intravaskuler dari ruang intersisial. Pada kondisi hari ke 7 tersebut pemberian cairan secara bertahap akan dikurangi (Chen et al., 2009).

Terapi nonfarmakologis juga perlu dilakukan, meliputi tirah baring terutama pada pasien dengan trombositopenia yang berat. Pemberian makanan dengan kandungan gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat yang dapat mengritasi saluran cerna dapat pula diberikan. Untuk mengatasi demam, dapat diberikan parasetamol. Begitupula dengan simtomatik lainnya, namun pemberian aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid sebaiknya jangan diberikan pada pasien DHF, karena dapat berisiko terjadi perdarahan saluran cerna bagian atas (Chen et al., 2009).

Selain dilakukan pengobatan, perlu juga dilakukan pengawasan yang ketat pada pasien ini baik secara klinis maupun laboratoris. Pengawasan itu dapat berupa pengawasan pada pemberian cairan, apakah cairan yang diberikan sudah cukup atau kurang. Hal ini perlu karena kelebihan cairan dapat menyebabkan terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif (WHO, 2009).

Beberapa protokol tatalaksana pada DHF dapat dilihat pada algoritma-algoritma berikut (WHO, 2009):

(23)

Gambar x. Penanganan tersangka DHF tanpa syok

(24)
(25)

Gambar xxxx. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dan sindroma syok dengue

(26)

Cairan yang diberikan boleh berupa koloid maupun kristaloid. Namun WHO menganjurkan terapi kristaloid (ringer laktat, cairan saline dan ringer asetat) dikarenakan cairan tersebut murah dan lebih mudah didapat. Cairan ideal yang dibutuhkan yaitu dapat bertahan lama di intravaskuler, aman, mudah di ekskresi, tidak mengganggu sistim koagulasi, dan sedikit menimbulkan alergi (Chen et al., 2009).

Cairan kristaloid sudah cukup aman dan memenuhi kriteria diatas. Namun cairan ini juga dapat menyebabkan beberapa efek samping berupa edema, asidosis laktat, hemokonsentrasi dan instabilitas hemodinamik. Penggunaan kristaloid dapat memberikan keuntungan lainnya seperti mudah disimpan dalam suhu ruang, komposisi yang menyerupai komposisi plasma dan bebas dari kemungkinan reaksi anafilaktik (Chen et al., 2009).

Dibanding cairan kristaloid, cairan koloid memiliki keunggulan berupa ekspansi volume plasma intravaskuler yang lebih besar dan bertahan dalam waktu yang lebih lama di ruang intravascular. Dengan kelebihan ini koloid dapat memberikan oksigenasi jaringan dan hemodinamik yang lebih baik daripada kristaloid. Namun penggunaan cairan koloid ini lebih berisiko menyebabkan anafilaksis, koagulopati, dan harga yang lebih mahal disbanding kristaloid (Chen et al., 2009).

K. Komplikasi

1. Kerusakan Hepar

Infeksi Demam Berdarah Dengue (DBD) dapat berkembang progresif pada beberapa keadaan tertentu atau terdapat penyakit lain yang mendasari, penyakit yang mengalami immunocompromise, dimana status imun menurun, fungsi imun terganggu, sehingga infeksi DBD berlangsung progresif ke gradasi berat. Penyakit infeksi lain yang terjadi bersamaan dengan DBD, seperti Demam Tifoid, ikut memberatkan dan melemahkan status imun dan kondisi penderita (Nasronudin, 2011).

Virus Dengue yang masuk dalam tubuh manusia terikut aliran darah terjadi viremia. Di dalam sirkulasi sistemik virus Dengue berusaha mencari

(27)

sel target monosit-makrofag-Kupffer. Sebelum mencapai sel target, virus Dengue dihadang oleh komplemen, terjadi hiperaktivitas komplemen. Selain komplemen, virus Dengue dicegah oleh interferon-α dan interferon-β agar tidak terjadi replikasi. Meskipun demikian pada situasi tertentu terutama terdapat kelemahan pada sistem imun, virus Dengue akan leluasa memasuki monosit dalam sirkulasi, makrofag dalam jaringan dan hepatosit derta sel Kupffer di hati(Nasronudin, 2011).

Akibat intervensi Dengue, pada hepatosit dan Kupffer, menyebabkan sel mengalami gangguan fungsi. Terjadi inflamasi, nekrosis hepatoseluler yaitu nekrosis pada zona tengah dan perifer hepar. Nekrosis tersebut terjadi akibat insufisiensi sirkulasi mikro yang menyebabkan hepatoseluler mengalami iskemia, inflamasi akut akibat pengaruh sitokin proinflamatori dan berbagai mediator, serta dampak negatif oksidan dan kolestasis(Nasronudin, 2011).

Pada infeksi DBD aliran darah konsumsi oksigen mengalami perubahan. Terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dalam splanik, hipermetabolisme regional, peningkatan kebutuhan metabolik, dan peningkatan kebutuhan oksigen. Situasi ini memicu terjadinya iskemia sentral dan regional lobuler hepar, disfungsi hepatik akut. Keadaan tersebut diperberat akibat sel Kupffer hati memproduksi sitokin TNF-α yang berdampak pada terjadinya destruksi sel(Nasronudin, 2011).

2. Sindrom Syok Dengue

Virus Dengue begitu melalui proses internalisasi ke dalam tubuh host akan mengikuti sirkulasi sistemik dan berusaha mencapai sel target monosit-makrofag. Sebelum mencapai monosit-makrofag, virus Dengue dihadang oleh mekanisme ketahanan tubuh terutama komplemen. Hiperaktivitas komplemen melalui opsonisasi akan meluluhlantakkan virus Dengue. Dampak hiperaktivitas komplemen terjadi pelebaran celah endotel kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler yang membuka peluang terjadi perpindahan plasma darah(Nasronudin, 2011).

(28)

Sebagian virus yang lolos dari komplemen akan melakukan replikasi, tetapi upaya replikasi ini dicegah oleh interferon-α dan interferon-β. Meskipun berbagai rangkaian proses inhibisi dan eliminasi telah dilakukan oleh sistem imun terhadap virus, namun karena karakteristik dan spesifisitasnya, virus Dengue tetap berhasil mencapai makrofag(Nasronudin, 2011).

Virus Dengue memicu makrofag menjadi hiperaktif dan mengalami berbagai perubahan. Pada permukaan membran makrofag berbagai protein spesifik disiagakan termasuk reseptor CD40, reseptor TNF, NO, molekul B7. Hiperaktivitas makrofag ini menyebabkan peningkatan produksi dan sekresi enzim fosfolipase A2 (PLA2). PLA2 yang disekresi ke sirkulasi akan berinteraksi dengan protein pengikat, memicu metabolisme asam arakhidonat. Peningkatan metabolisme asam arakhidonat, melalui jalur siklooksigenase membentuk leukotrien, memicu sintesis prostasiklin (PGI2), sintesis tromboksan sehingga terbentuk tromboksan A2, menstimulasi isomerase endoperoksid PGE2 terbentuk prostaglandin E2. Keempat mediator ini merupakan mediator sekunder yang mempunyai potensi membuka celah endotel kapiler beratus kali dari mediator primer. Pembukaan celah endotel yang difus ini memicu perpindahan plasma yang progresif sehingga terjadi SSD(Nasronudin, 2011).

L. Prognosis

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah self-limiting disease yaitu penyakit yang dapat pulih sendiri tanpa dilakukan intervensi medis selain dari mengatasi gejala-gejalanya, dengan angka mortalitas kurang dari 1%. Apabila ditangani, DBD memiliki angka mortalitas 2- 5%. Apabila tidak ditangani, DBD memiliki angka mortalitas sebesar 50%. Angka kejadian Sindrom Syok Dengue beragam di setiap negara, berkisar sekitar 12- 44%, namun dengan penanganan intensif yang adekuat kematian dapat ditekan sampai krang dari 1% kasus. Pada kasus

(29)

yang jarang, terdapat kerusakan otak yang disebabkan oleh syok berkepanjangan atau perdarahan intrakranial (Halstead, 2007).

(30)

BAB III KESIMPULAN

1. Penyakit Demam Berdarah atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Terdapat 4 serotipe dari virus dengue yaitu Den-1, Den-2, Den-3, Den-4.

2. Manifestasi klinis infeksi oleh virus dengue pada manusia bervariasi sehingga spektrum variasinya begitu luas mulai dari asimptomatik seperti demam ringan yang tidak spesifik (undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue, hingga yang paling berat yaitu dengue syok sindrom.

3. Metode One Day Care adalah metode penatalaksanaan yang banyak digunakan saat ini dengan prinsip dari penatalaksanaan One Day Care yaitu pasien dirawat selama 24 jam dengan pemantauan tanda klinis, laboratorium, dan pemberian cairan yang ketat. Pasien tetap dipantau oleh dokter jaga dengan follow chart.

4. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah self-limiting disease yaitu penyakit yang dapat pulih sendiri tanpa dilakukan intervensi medis selain dari mengatasi gejala-gejalanya, namaun apabila tidak ditangani, DBD memiliki angka mortalitas sebesar 50%. Beberpa komplikasi yang dapat terjadi akibat penyakit ini adalah terjadinya Kerusakan Hepar, dan Sindrom Syok Dengue.

(31)

Daftar Pustaka

Chen, K. Pohan, H.T, Sinto, R. Diagnosis danTerapiCairanpadaDemamBerdarah Dengue. Medicinus. Jakarta. 2009: Vol 22; p.3-7

Chen, K., Herdiman T. Pohan dan Robert Sinto. 2009. Diagnosis dan Terapi

Cairan pada Deman Berdarah Dengue. Medicinus, Vol. 22, No.1.

Chuansumrit A, Tangnararatchakit K. 2005. Pathophysiology and Management of Dengue Hemorrhagic Fever. Thailand: Mahiland University of Bangkok. Available at:

http://www.niceindia.net/knowledge_base/Dengue/Chuansumrit_2007.pdf Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen

Kesehatan RI. 2007. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan. Jakarta.

Halstead, S.B. 2007. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. In: Kliegman, Robert M., Behrman, Richard E., Jenson, Hal B., and Stanton, Bonita F. Nelson Textbook of Pediatrics 18th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier

Mansjoer, A., Suprohita. 2000. Kapita Selekta Kedokeran Jilid II. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI

Nasronudin. 2011. Penatalaksanaan Cairan Pada Sindrom Syok Dengue. Dalam: Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang Edisi Kedua. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR

Nasronudin. 2011. Virus Dengue Induktor Kematian Hepatosit dan Kupffer. Dalam: Penyakit Infeksi di Indonesia Solusi Kini dan Mendatang Edisi Kedua. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan UNAIR

Samsi, T.K., Setiawan, J.J., Kartika, J. 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak, R.S. Sumber Waras. Jakarta: Penerbitan Universitas Tarumanagara.

(32)

Shephred S,M. 2014. Dengue. USA: WebMD LLC. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/215840-overview#aw2aab6b2b2aa Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi kedua. Jakarta: Fakultas

Kedokteran UI

Sutaryo. 2004. Dengue. Yogyakarta : Medika Fakultas Kedokteran UGM USU. 2010. Demam Berdarah Dengue. Sumatra: Universitas Sumatra Utara.

Available at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21504/4/Chapter%20II.pdf WHO. 1997. Dengue Haemorrhagic Fever Diagnosis, Treatment, Prevention And

Control Second Edition. Genewa: WHO.

WHO. 2009. Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. Perancis: WHO.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga

World Health Organization. 2005. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue shock syndrome in the context of the integrated management of childhood illness. Geneva: Department of Child and Adolescent Health and Development Zein, Umar. 2004. Pedoman Penatalaksanaan “One Day Care” Penderita Demam

Gambar

Gambar xx.  Pemberian cairan pada tersangka DHF di ruang rawat
Gambar xxx. Penatalaksanaan DHF dengan peningkatan hematokrit &gt;20%
Gambar xxxx. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DHF dan sindroma syok  dengue

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menggunakan model persamaan regresi linier berganda untuk mengetahui hubungan antara ukuran dewan komisaris (DK), komisaris independen (KI), opini

Kemampuan dasar keilmuan dan humanitas berdasar keimanan tentunya merupakan landasan bagi setiap kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah berwujud sensitifitas dan

Dengan ridha Allah SWT penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar dengan judul: Konstruksi Pendidikan Karakter Moral Pada Film Catatan Akhir Sekolah dalam Perspektif

Pengujian dilakukan terhadap 5 sampel air limbah, dengan hasil pengujian menunjukkan bahwa flokulan kationik AMDAC lebih baik digunakan untuk penurunan turbiditas

Hasilnya menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel determinan sosial dengan literasi kesehatan, domain tertinggi tingkat literasi pada promosi kesehatan, dan

| metaboličke promjenel å| povećana koncentracija salicilata povećan utrošak O2 u perifernim tkivima povećana respiracija

A Statement From the Ad Hoc Committee on Guidelines for the Management of Transient Ischemic Attacks, Stroke Council, American Heart Association.. National

Stasioneritas berarti bahwa tidak terjadinya pertumbuhan dan penurunan data. Suatu data dapat dikatakan stasioner apabila pola data tersebut berada pada kesetimbangan disekitar nilai