• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status Asmatikus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Status Asmatikus"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Overview

Status asmatikus adalah kegawatan medis dimana gejala asma tidak membaik pada pemberian bronkodilator inisial di unit gawat darurat. Biasanya, gejala muncul beberapa hari setelah infeksi virus di saluran napas, diikuti pajanan terhadap alergen atau iritan, atau setelah beraktivitas saat udara dingin. Seringnya, pasien telah menggunakan obat-obat antiinflamasi. Pasien biasanya mengeluh rasa berat di dada, sesak napas yang semakin bertambah, batuk kering dan mengi dan penggunaan beta-agonis yang meningkat (baik inhalasi maupun nebulisasi) sampai hitungan menit.

Prevalensi dan severity kasus asma semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan kasus asma yang membutuhkan perawatan rumah sakit dan kematian akibat status asmatikus. Status asmatikus biasanya lebih sering terjadi pada kelompok dengan sosialekonomi yang rendah, karena mereka jarang kontrol ke dr. spesialis, yang meningkatkan resiko status asmatikus.

Pasien yang terlambat mendapatkan perawatan medis, khususnya perawatan dengan steroid sistemik, memiliki resiko kematian yang besar. Pasien dengan kondisi penyerta (misal: penyakit paru restriksi, CHF, deformitas dinding dada) memiliki resiko kematian yang lebih besar karena status asmatikus, demikian juga perokok yang biasanya terkena PPOK.

Prevalensi

Dalam tiga puluh tahun terakhir terjadi peningkatan prevalensi (kekerapan penyakit) asma terutama di negara-negara maju. Kenaikan prevalensi asma di Asia seperti Singapura, Taiwan, Jepang, atau Korea Selatan juga mencolok. Kasus asma meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari lima belas tahun, baik di negara berkembang maupun di negara maju. Beban global untuk penyakit ini semakin meningkat. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di rumah sakit dan bahkan kematian.

Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga

(2)

(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma) 6,2 % yang 64 % diantaranya mempunyai gejala klasik.

Diagnosis

Gambaran klinis Status Asmatikus :

 Penderita tampak sakit berat dan sianosis.  Sesak nafas, bicara terputus-putus.

 Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita sudah jatuh dalam dehidrasi berat.

 Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah kemudian jatuh ke dalam koma.

Merencanakan pengobatan asma akut

Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas, batuk, mengi ataupun kombinasi dari gejal diatas. Derajat serangan dapat ringan sampai dengan berat yang mengancam nyawa. Serangan bersifat akut.

Tujuan pengobatan asma untuk :

1. menghilangkan obstruksi dengan segera. 2. mengatasi hipoksia

3. mengembalikan fungsi paru ke normal secepat mungkin 4. mencegah serangan berikutnya

5. memberikan edukasi agar penderita dan keluarga dapat mengatasi pada awal sebelum dibawa ke dokter.

(3)

Klasifikasi derajat beratnya asma

Pasien asma harus dirujuk bila

 Pasien dengan resiko tinggi untuk kematian karena asma  Serangan asma beratAPE <60% nilai prediksi

 Respon bronkodilator tidak segera

 Tidak ada perubahan dalam 2-6 jam penggunaan kortikodteroid  Gejala asma semakin memburuk

RINGAN SEDANG BERAT

Aktivitas Dapat berjalan

dan berbaring

Jalan terbatas, lebih suka duduk

Sukar berjalan, suka

membungkuk ke depan

Bicara Satu kalimat Beberapa kata Kata demi kata

Kesadaran Mungkin gelisah gelisah Gelisah

Frekuensi napas < 20x/mnt 20-30 x/menit > 30 kali/menit

Nadi < 100 x/mnt 100-120 x/mnt >120x /mnt

Otot bantu napas dan retraksi suprasternal

- + +

Mengi Akhir ekspirasi

paksa

Akhir ekspirasi Inspirasi dan ekspirasi APE > 80% 60-80% <60% PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg Sa O2 >95% 91-95% <90% Pulsus paradoxus - ± 10-20 mmHg >25 mmHg

(4)

Protap penanganan status asmatikus di RS Dr. Soetomo Setelah diagnosis ditegakkan segera diikuti dengan langkah langkah sebagai berikut

1. Menetapkan beratnya penyakit dan beratnya terapi dengan menggunakan predictor index scoring system

Tanda-tanda fisik Score 0 Score 1

Nadi < 120 mmHg >120 mmHg

Pernapasan <30x/menit >30x/menit

Pulsus paradoxus <18 mmHg >18 mmHg

PEFR >120l/mnt <120l/mnt

Sesak napas Ringan Berat

Retraksi Tidak ada Ada

Wheezing Ringan berat

Catatan: bila score lebih dari 4 harus masuk rumah sakit Bila ada silent chest merupakan tanda bahaya

Mengatasi Keadaan Gawat

a. Infus RL : D5 = 3: 1 dengan tetesan sesuai kebutuhan rehidrasi. b. Oksigen 2 – 4 l/m melalui nasal prong.

c. Aminofilin bolus 5-6 mg / kgBB i.v pelan selama 20-30 menit dilanjutkan maintenance 20 mg/kgBB/hari diberikan secara drip.

d. Terbutalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. atau orciprenalin 0,25 mg / 6 jam subcutan atau I.V. pelan (penelitian terakhir tidak berbeda bermakna9)

e. Hidrocortison sodium suksinat 4 mg / kgBB / 4 jam I.V ( 200 mg / 4 jam I.V. ) bisa juga memakai dexamethason 20 mg / 6 jam I.V. selain itu dapat digunakan 160 mg methilprednisolon dalam dosis terbagi 4 kali per hari, kortikosteroid diberikan sampai membaik secara klinis dan laboratoris. Disamping parenteral diberikan juga Prednison peroral 3 x 10 mg per hari sampai keadaan membaik diberhentikan secara tappering off.

(5)

f. Antibiotik bila jelas ada infeksi

Oksitetrasiklin 2 x 100 mg I. M. atau Amoxillin / Ampicillin 2 x 1 g I.V. atau golongan antibiotik yang sesuai dngan sumber infeksinya.

g. Menilai hasil tindakan dan terapi

Dengan keadaan klinis ( scoring) dan secara laboratoris yaitu pemeriksaan faal paru, analisa gas darah , elektrolit, leukosit dan eosinofil serta monitoring EKG.

Pemeriksaan selama terapi 1 Pemeriksaan fisik lengkap

2 Pemeriksaan radiologi yaitu thoraks foto PA dan lateral 3 Pemeriksaan EKG

4 Pemeriksaan faal paru yaitu PEFR, FEV1, FVC 5 Analisa gas darah

6 Pemeriksaan elektrolit

7 Pemeriksaan darah lengkap , urine lengkap, feses lengkap 8 Pemeriksaan kimia darah

9 Pemeriksaan berat jenis plasma 10 Pemeriksaan sputum

11 Biakan darah bila perlu 18

12 Kadar aminofillin dalam darah ( 12 jam setelah terapi bolus )

Pemeriksaan analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan pada :  Serangan asma akut berat

 Membutuhkan perawatan rumah sakit  Tidak respon dengan pengobatan/memburuk

 Ada komplikasi antara lain pneumonia, pneuomothorax dll Pada keadaan dibawah ini analisis gas darah mutlak dilakukan:

 Mengancam jiwa

 Tidak respon terhadap pengobatan/memburuk  Gagal napas

(6)

 Sianosis, kesadaran menurun dan gelisah

Tindak lanjut

Bila terjadi kegagalan terapi a. Asidosis respiratorik

 Ventilasi diperbaiki  Pemberian Nabic

b. Hipoksia berat ( PaO2 < 50 mmHg )

 Pemberian O2 4- 6 L/m dengan venturi mask c. Gagal napas akut

 alat bantu napas ( ventilator mekanik ) syarat :

 apneu

 kenaikan PaCO2 > 5 mmHg / jam disertai asidosis . respiratorik akut

 Nilai absolut PaCO2 > 50 mmHg disertai asidosis . respiratorik akut

(7)

Algoritma penatalaksanaan asma di rumah sakit Penilaian awal

Riwayat dan pemeriksaan fisik (auskultasi, otot bantu napas, denyut jantung, frekuensi napas) dan bila mungkin faal paru (APE atau VEP1,

saturasi O2). AGD dan pemeriksaan lain atas indikasi

Pengobatan awal

 oksigenasi dengan kanul nasal

 inhalasi agonis beta 2 kerja singkat (nebulisasi setiap 20 menit dalam satu jam) atau agonis beta2 injeksi ( terbutalin 0,5 cc subkutan atau adrenalin 1/1000 0,3 cc subkutan)

 kortikosteroid sistemik : - serangan asma berat

- tidak responsegera dengan bronkodilator - dalam pengobatan kortikosteroid oral

Respon baik

 Respon baik dan stabil dalam 60 menit  Pemeriksaan fisik normal  APE>70% predikdi/nila terbaik  Saturasi O2 >90% (95% pada anak)

Penilaian ulang setelah 1 jam

Pemeriksaan fisik, saturasi O2 dan pemeriksaan lain atas indikasi

Serangan asma ringan Serangan asma sedang/ berat Serangan asma mengancm jiwa

Respon tidak sempurna

 Resiko tinggi distress

 Pemeriksaan fisik : gejala ringan – sedang

 APE> 50% tetapi <70%

 Saturasi O2 tidak perbaikan

Respon buruk dalam 1 jam

 Resiko tinggi disstres

 Pemeriksaan fisik : berat, gelisah dan kesadaran menurun

 APE<30%

 PaCO2 > 45%

(8)

Dirawat di ICU

 Inhalasi agonis beta2 ± anti-kolinergik

 Kortikosteroid IV

 Pertimbangkan agonis beta 2 injeksi SC/IM/IV

 Terapi oksigen menggunakan masker venturi

 Aminofilin drip

 Mungkin perlu intubasi dan ventilasi mekanik Dirawat di RS

 Inhalasi agonis beta2 ± anti-kolinergik  Kortikosteroid sistemik  Aminofilin drip  Terai oksigen pertimbangkan kanul nasal atau masker venturi

 Pantau APE, sat O2, nadi, kadar teofilin Pulang

 Pengobatan dilanjutkan dengan inhalasi agonis beta2

 Membutuhkan kortikosteroid oral

 Edukasi penderita - Memakai obat yang

benar - Ikuti rencana pengonatan sekanjutnya Tidak perbaikan perbaikan Pulang Bila APE > 60% prediksi/terbaik. Tetap berikan pengobatan oral/ inhalasi Dirawat di ICU Bila tidak perbaikan dalam 6-12 jam

(9)

Farmakologi

AGONIS BETA ADRENERGIK

Penggunaan obat reseptor beta 2 adrenergik pada otot polos bronkus menstimulasi enzym adenylate cyclase compleks intracelluler, menghasilkan peningkatan produksi cyclic adenosine monophosphates (cAMP), hal ini menyebabkan relaksasi otot polos, menghambat degranulasi sel mast, dan stimulasi mucociliary transport. Variasi dari beta 2 adrenergik menyebabkan perbedaan action, duration of actions, dan efek samping.

Adrenalin dapat diberikan secara inhalasi dan injeksi 0.1-0,5 ml dari pengenceran 1:1000 subkutan, telah digunakan sejak lama sebagai terapi awal dari asma. Adrenalin merupakan non selektif simpatomimetik yang dapat menstimulus reseptor alfa, beta-1, beta-2. kerugiannya adalah stimulasi sistem kardiovaskular, durasi aksi yang 19

singkat, dan mempercepat terjadinya takifilaksis. Adrenalin harus diberikan secara hati-hati pada pasien tua, pada pasien tua, takikardia sebelum perawatan.

Isoproterenol menstimulasi baik beta-1 dan beta-2 reseptor. Menyebabkan takikardi dan hipotensi dalam rangka bronkodilator. Isoproterenol biasanya diberikan aerosol (3 s/d 7 kali inspirasi dalam, dalam bentuk solusio 1:1000 atau 1:200) bisa juga diberikan intravena pada pasien anak dan dewasa.

Pada pasien asma muda tanpa ada kelainan kardiovaskular terapi awal adalah adrenalin 0,2 sampai 0,5 ml dari pengenceran 1:1000 sub kutan setiap 20 menit selama 3 kali pemberian, lanjutkan dengan 0,5 ml isoproterenol dari pengenceran 1:200 nebuliser setiap 20 menit selama 3 kali pemberian. Ataupun biasa menggunakan aerosol beta2 agonis (albuterol 2,5 mg, metaproterenol 15 mg, terbutalin 1,5-2,5 mg, isoetharine 2-5 mg) diberikan secara nebuliser setiap 15 sampai 30 menit. Ketika menggunakan nebuliser encerkan dengan normal saline sampai konsentrasi 2 tau 3 cc.

(10)

Semua beta adrenergik mempunyai efek pada kardiovaskular (berupa takikardi, palpitasi, aritmia dan hipertensi) dan cerebral (berupa gelisah, tremor, nausea dizziness, dan nervous).

METHILXANTHINES

Theofilin dan ethylenediamine salt aminnophyline sangat berguna dalam terapi asma akut. Mekanisme aksi dijelaskan dengan inhibitor cytoplasmic enzyme phosphodiesterase yang mengkatalisis metabolisme cAMP. Efek utama theofilin adalah relaksasi otot polos bronkhial . efek lain memperbaiki kontraksi diafragma, meningkatkan transport mucociliar, menghambat pelepasan mediator hipersensitivitas dan menurunkan tekanan arteri pulmonal.

Theofilin ataupun aminofilin pada akut asma dapat diberikan bolus intravena kemudian dilanjutkan dalam drip. Konsentrasi dalam plasma harus dipertahankan pada 10 sampai 20 ug/ml, toksikasi akan uncul bila konsentrasi dalam plasma melebihi 20 ug/ml. tanda toksikasi meliputi CNS dan GI termasuk gelisah, nyeri kepala, mual dan muntah, diare. Pada konsentrasi aminofilin yang sangat tinggi pada plasam dapat menyebabkan aritmia, gangguan kesadaran dan akhirnya meninggal.

Distribusi aminofilin sangat cepat melalui kompartemen extraceluler. Dosis aminofilin 1 mg/kgBB menaikan konsentrasi dalam serum plasma sebesar 2 ug/ml. Sekitar 85% dari dosis theofilin di degradasi di hepar oleh Cytokrom P450 dan selebihnya diekresikan melalui urine. Hal yang dapat menurunkan metabolisme adalah usia tua, congestive heart failure, dan gangguan fungsi hepar sedangkan obat-obatan yang dapat menurunkan metabolisme aminofilin adalah propranolol, erytromisin dan cimetidin. Yang meningkatkan metabolisme adalah kebiasaan merokok, dan barbiturat.

KORTIKOSTEROID

Kortikosteroid saat ini digunakan secara luas pada asma bila beta agonis dan methyl xanthin telah tak mampu. Mekanisme aksi melibatkan efek anti

(11)

inflamasi, inhibisi asam arakhidonat meningkatkan efek beta agonis dan menurunkan permeabilitas endotel vaskular sehingga mencegah terjadinya edema. Dosis terapi kortikosteroid pada asma kontroversial dan sampai saat ini belum ada kesepakatan. Fanta dkk 1 mendemonstrasikan bahwa kortikosteroid infus (hydrocortison, bolus 2 mg/kg bb dilanjutkan drip 0,5 mg/kg jam infus) bersama dengan penggunaan bolus aminofilin dan beta 2 agonis menghasilkan perbaikan yang bermakna dengan pengukuran FEV1 dalam 12 jam perawatan.

Haskell dkk melakukan penelitian bahwa penggunaan Methylprednisolone 15 mg setiap 6 jam tidak menunjukkan keefektifan tetapi pasien yang mendapat 40mg menunjukkan perbaikan yang bermakna pada perawatan hari kedua dan pada pasien yang mendapat 125 mg mendapat perbaikan sejak hari pertama.

Efek samping dari penggunaan kortikosteroid intravena dosis tinggi adalah hiperglikemia dan akut psikosis sehingga dihindarkan penggunaan pada penderita diabetes mellitus, perdarahan GI track, presdisposisi untuk terjadinya infeksi. Pada terapi jangka lama penggunaan kortikosteroid adalah meningkatkan katabolisme, retensi garam dan air, cushing sindroma, osteoporosis dan pernah dilaporkan adanya fraktur patologis vertebra dan necrosis kaput femur. Olehkarena komplikasi sistemik yang begitu berat maka saat ini mulai dikembangkan preparat inhaler ataupun nebuliser untuk menggantikan preparat kortikosteroid sistemik.

ANTIKHOLINERGIK

Atropin dan preparat antikolinergik lain mempunyai efek bronkodilator yang rendah. Mekanisme yang disuga kuat adalah inhibitor vagal bronkoconstriction. Pak dan rekan meneliti pada penderita kronik obstruksi bahwa 0,025-0,05 mg/kg BB atropin inhalasi via nebuliser menghasilkan perbaikan jalan nafas tetapi efek samping yang dihasilkan sangatlah besar berupa : pengeringan membran mukosa, dysphoria, tachycardia, nyeri kepala dan gangguan buang air kencing. Oleh karena efek samping yang begitu besar saat ini dikembangkan Ipatropin bromida nebuliser menggantikan atropin karena preparat Ipatropin bromida mempunyai efek samping yang lebih kecil.

(12)

CHROMOLIN

Cromolin adalah sel mast stabiliser yang berguna untuk profilaksis asma. Biasanya digunakan pada asma dengan faktor pencetusnya olahraga. Cromolin tidak efektif pada serangan asma yang bersifat akut karena pada penggunaan inhaler pernah dilaporkan terjadi bronkhokontriksi.

ANTIBIOTIK

Antibiotik tidak rutin digunakan pada serangan asma akut, karena antibiotik tidak dapat mengurangi efek bronkokonstriksi. Tetapi setelah serangan asma apabila dijumpai sputum yang purulent haruslah diperiksa secara teliti karena bisa jadi inducer dari serangan asma adalah adanya fokus infeksi saluran nafas.

ALFA-ADRENERGIK ANTAGONIS

Walaupun alfa-adrenergik antagonis mempunyai efek bronkodilator tetapi efek samping adanya hipotensi sangatlah besar sehingga jarang digunakan pada serangan akut.

IMUNOTERAPI

Imunoterapi sangat membantu pada asma dengan trigger jelas atau asma dengan causa alergi, terutama pada anak meskipun pada orang dewasa penelitian yang dilakukan tidak menujukkan hasil yang signifikan. Imunoterapi tidak mempunyai peranan dalam manajemen asma akut tetapi berperan untuk mencegah reaksi anfilaksis.

Referensi

Dokumen terkait

 Tujuan perancangan antarmuka dengan berbagai dialog pada dasarnya adalah untuk mendapatkan satu kriteria yang sangat penting dalam pengoperasian sebuah program aplikasi, yakni

Muhammad As’ad, adalah cucu Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari, penulis kitab Sabilal al-Muhtadin (Jalan- Orang-Orang yang Mendapat Petunjuk) 5. Kemudian apabila dilihat dari

ANALISIS PENGARUH KUALITAS PELAYANAN (SERVICE QUALITY) SISTEM INFORMASI AKADEMIK TERHADAP KEPUASAN MAHASISWA (Studi Kasus STMIK AMIKOM Yogyakarta Dan AMIKOM Cipta Darma

Pengungkapan nilai wajar dari aset keuangan diukur dengan hirarki nilai wajar Tingkat 3 menggunakan teknik analisis arus kas yang didiskonto berdasarkan tingkat

Kesimpulan : Selama masa penelitian ditemukan 35 kasus baru tumor sinonasal di RSUD propinsi NTB, yang terdiri dari 40% tumor ganas, 20% tumor jinak dan 40% yang belum diketahui

(2) dapat dibaca tanpa menggunakan koneksi internet, (3) dikembangkan untuk siswa agar dapat meningkatkan interaksi aktif antar siswa dengan sumber belajar yang mereka

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan pembangkitan tersebar pada bus indarmg mengakibatkan terjadinya peningkatan arus hubung singkat tiga fasa pada masing-masing

Percobaan bertujuan untuk mengetahui ransom dengan imbangan rumput gajah dan konsentrat yang sesuai untuk sapi perah sehingga dicapai produksi susu terkoreksi lemak