• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN PENELITIAN MANDIRI PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN PENELITIAN MANDIRI PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI ERA OTONOMI DAERAH"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

DI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh :

Prof. Dr. I Made Arya Utama,S.H.,M.Hum.

Bagian Hukum Administrasi Fakultas Hukum Univ. Udayana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Waça, oleh karena atas tuntunan-Nyalah maka penelitian terkait “Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Di Era Otonomi Daerah” ini dapat terselesaikan. Penelitian ini akan mengkaji dampak UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang diatur pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Penelitian ini disusun dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ditugaskan pimpinan Fakultas Hukum Universitas Udayana berdasarkan surat tugas No. 2586A/UN-14.1.11.II/TU.00.00/2015 tertanggal 3 Desember 2015. Peneliti sangat menyadari bahwa penelitian mandiri ini dapat terselesaikan atas bantuan, bimbingan serta arahan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan yang terhormat ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang telah membantu untuk kelancaran riset ini. Semoga bantuan, pengorbanan, dan petunjuk yang telah diberikan kepada peneliti mendapat pahala dari Ida Sang Hyang Widhi Waça. Akhirnya peneliti tetap berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Terima kasih.

Denpasar, 28 Desember 2015 Peneliti,

(3)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Kondisi Lingkungan Hidup di Bali sampai saat ini dapat disaksikan masih memerlukan optimalisasi tindakan-tindakan perlindungan dan pengelolaan yang ramah. Hal ini sebagai konskunsi pelaksanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat telah diiringi oleh kemunduran kemampuan serta terkurasnya sumberdaya alam seperti perikanan, bahan tambang serta mineral di daerah Bali. Dampak negatif pembangunan yang ditemukan di Bali selama ini terhadap Lingkungan Hidup, antara lain adalah terjadinya perubahan fungsi dari tatanan tanah dan hutan akibat pertambahan penduduk, kegiatan usaha, pencemaran air, eksploitasi secara berlebihan terhadap sumber daya alam yang tak terbaharui, semakin menipisnya keanekaragaman hayati, serta belum terintegrasinya ekonomi lingkungan dalam perhitungan investasi pembangunan. Kondisi tersebut menunjukkan antara pembangunan dengan Lingkungan Hidup saling mempengaruhi dan mempunyai hubungan yang sangat erat serta bersifat “ambivalen”.

Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah melahirkan adanya kewenangan yang cukup luas kepada Pemerintah Daerah dalam mengelola Lingkungan Hidup di wilayahnya. Eforia seperti itu masih dirasakan dan/atau berlangsung sampai saat ini meskipun UU No. 32 Tahun 2004 telah digantikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang lebih membatasi kewenangan Pemerintah Daerah. Dengan kata lain, pemberian otonomi dalam pengelolaan Lingkungan Hidup seharusnya dimaknai adanya peluang sekaligus tantangan bagi Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan bidang pengelolaan Lingkungan Hidup secara terdesentralisasi dengan paradigma demokratisasi. Di pihak lain, kebijakan tersebut juga telah menunjukkan tekad Pemerintah Pusat untuk memberdayakan pemerintah daerah dalam mengurus urusan di bidang Lingkungan Hidup serta mendorong berkembangnya kreatifitas maupun inovasi masyarakat dalam pelaksanaan program-program pembangunan di daerah yang ramah lingkungan. Dalam kaitan ini, yang menjadi persoalan adalah bagaimana menjalankan proses desentralisasi di bidang pengelolaan Lingkungan Hidup melalui cara-cara yang demokratis dan adil

(4)

serta mampu meningkatkan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang mendukung kemandirian daerah dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi issu nasional maupun global. Dengan demikian, kajian ilmiah dampak dari pemberian otonomi daerah terhadap perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan menjadi menarik dan aktual untuk dilakukan.

1.2. Metode Penelitian

Penelitian ini diklasifikasikan dalam penelitian hukum normatif yang difokuskan pada bahan-bahan hukum yang terkait. Dengan kata lain, penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian kepustakaan, baik terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Mengenai pendekatan yang akan diterapkan dalam penelitian ini dilakukan melalui pendekatan konseptual (conceptual approach) dan pendekatan undang-undang (statuta approach). Pendekatan konseptual diterapkan untuk menemukan beberapa pengertian yang dibutuhkan terkait penelitian yang dilakukan. Selanjutnya pendekatan perundang-undangan diterapkan untuk mendapat ketentuan hukum yang melandasi penelitian yang dilakukan.

Sebagai bahan hukum primer dari penelitian ini berasal dari penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Peraturan perundang-undangan yang dimaksudkan, seperti UU No. 32 Tahun 2009 serta UU No. 23 Tahun 2014. Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain diperoleh dari bahan pustaka di bidang Hukum Administrasi Negara, Hukum Pemerintahan Daerah, Hukum Lingkungan yang berkaitan dengan teknis dan substansi penelitian. Sementara itu, tehnik yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum yang diperlukan dalam penyusunan naskah akademik ini adalah melalui tehnik telaahan kepustakaan (study document). Telaahan kepustakaan dilakukan dengan sistem kartu (Card system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan sekunder. Dalam penerapan tehnik telaahan kepustakaan itu didukung pula oleh tehnik bola salju dengan menemukan bahan hukum sebanyak mungkin dari informasi yang awalnya sedikit sehingga bahan hukum yang diperoleh dapat selengkap dan seobyektif mungkin

(5)

untuk selanjutnya dilakukan interpretasi, sistematisasi, evaluasi serta dianalisis isinya (content analysis).

II. PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup pada hakikatnya merupakan upaya untuk melestarikan fungsi Lingkungan Hidup mulai dari kegiatan perencanaan, penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan sampai pada pengendaliannya.. Dalam kaitan itu, pengelolaan Lingkungan Hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim. Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam hal ini didasarkan pada prinsip pelestarian “fungsi Lingkungan Hidup” dan dilakukan melalui pendekatan terpadu dengan penataan ruang maupun perlindungan unsur-unsur Lingkungan Hidup lainnya.

Pelestarian terhadap fungsi Lingkungan Hidup dimaksudkan sebagai rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung Lingkungan Hidup. Kelangsungan daya dukung Lingkungan Hidup berkaitan dengan rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan Lingkungan Hidup terhadap tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan, agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain”. Kelangsungan daya tampung Lingkungan Hidup berkaitan dengan rangkaian upaya untuk melindungi kemampuan Lingkungan Hidup didalam menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya. Oleh karena itu, antara pengelolaan Lingkungan Hidup dengan penataan ruang suatu wilayah memiliki hubungan resiprokal yang bersifat komplementer, dimana masing-masing saling melengkapi dan saling mengisi.1 Pengelolaan Lingkungan Hidup

akan mempengaruhi ruang tempat unsur-unsur Lingkungan Hidup berada, sebaliknya pemanfaatan ruang yang meliputi ruang daratan, lautan, dan udara sebagai satu kesatuan, akan berdampak terhadap kelestarian Lingkungan Hidup beserta fungsinya.

1Yusuf, Asep Warlan, 2002, Wewenang Pemerintahan Dalam Penataan Ruang

(Suatu Model Pendekatan Sistem), Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 13.

(6)

Kebijakan dan tindakan pelestarian Lingkungan Hidup beserta fungsinya sejalan dengan tujuan pengelolaan Lingkungan Hidup baik dalam tataran lokal, nasional, maupun global. Tujuan pengelolaan Lingkungan Hidup pada esesnsinya adalah untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berbasis berkearifan lokal untuk membangun manusia seutuhnya. Dalam konteks Indonesia, menurut Emil Salim terdapat 3 (tiga) ciri dalam membangun manusia seutuhnya, yakni tercipta adanya “keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan Maha Pencipta, keselarasan hubungan individu dengan masyarakat, dan keselarasan hubungan manusia dengan lingkungan alam”2. Konsep

pembangunan manusia seutuhnya, di Bali dikenal dengan pembangunan manusia bernafaskan filosofis Tri Hita Karana, sehingga tujuan akhir dan tujuan antara dari penyelenggaraan pengelolaan Lingkungan Hidup adalah terwujudnya kesejahteraan manusia melalui Lingkungan Hidup yang berkelanjutan.

2.2. Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk Pembangunan Berkelanjutan

Istilah pembangunan berkelanjutan secara tersirat dapat disimak pada Pasal 28 H jo. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Pasal 33 ayat (4) menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan Lingkungan Hidup, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Sedangkan dalam dunia internasional, mengenai konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dikembangkan melalui laporan Komisi Dunia tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (The World Commission on Environment and Development) tahun 1987 yang lebih dikenal dengan “Laporan Brundtland” dengan judul “Our Common Future”3. Pada laporan tersebut dikemukakan adanya keharusan setiap negara untuk

menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable development concept). Mengenai konsep pembangunan berkelanjutan menurut WCED diartikan dengan “development that meets the needs of the present generations without compromising the ability of the future generations to meet their own needs” (pembangunan yang memenuhi

2Salim, Emil, 1993, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Penerbit LP3ES, Cet.

ke-6, Jakarta, hal. 27.

3Janine Ferretti, 1989, Common Future, Penerbit Pollution Probe, Toronto, Ontario,

(7)

kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang). Menurut Konrad Ginther dan Paul J.I.M. de Waart, pengertian dari WCED tersebut dipandang paling memadai sebagaimana dapat disimak dari pernyataannya bahwa “The concept of sustainable development was broadly discussed, but no agreement was reached on a definition of sustainable development beyond and better suited than the one in the Brundtland Report”4. Kesulitan memberikan pengertian pembangunan

berkelanjutan juga ditunjukkan oleh beberapa pendapat ahli yang hanya dapat mengidentifikasi ciri-ciri pembangunan berkelanjutan, seperti yang dikemukakan oleh Otto Soemarwoto, Emil Salim, Lamont C. Hempel, Johan Galtung maupun David Brower sebagai berikut :

a. Otto Soemarwoto mengemukakan pembangunan berkelanjutan harus berkelanjutan secara ekologi, sosial, dan ekonomi (Sustainable development must be ecologically, socially, and economically sustainable);5

b. Lamont C. Hempel mengemukakan konsep pembangunan berkelanjutan sebagai kebijakan yang memadukan kepentingan perlindungan Lingkungan Hidup kedalam kepentingan pertumbuhan ekonomi (It represented a politically expedient compromise between the forces of economic growth and the those of environmental protection);6

c. Johan Galtung berpendapat pembangunan berkelanjutan sebagai proses memenuhi kebutuhan dasar manusia dengan mempertahankan keseimbangan ekologis (the process of meeting basic human needs while maintaining ecological balance);7

d. David Brower mengemukakan pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan keberlanjutan masyarakat berdasarkan hukum alam (...must be compatible with a sustainable society that must acoord with natural law).8

4Konrad Ginther dan Paul J.I.M. de Waart, 1994, “Sustainable Development as

Matter of Good Governance : an introductory view”, dalam Konrad Ginther dkk. (ed), Sustainable Development and Good Governance, Martinus Nijhoff Publishers, Boston, London, hal. 10

5Janine Ferretti, 1989, Op. Cit., hal. 6.

6Lamont C. Hempel, 1996, Environmental Governance, The Global Challenge,

Penerbit Island Press, Washington, D.C., hal. 39.

(8)

Perbedaan pendapat di atas menunjukkan sudut kajiannya masing-masing dalam memahami konsep pembangunan berkelanjutan. Satu sisi ada yang lebih menekankan kepada proses pembangunannya, sedangkan Johan Galtung dan David Brower menekankan terhadap tujuan keberlanjutan pembangunannya. Bilamana perbedaan itu dipadukan dengan konsep dari WCED, maka konsep pembangunan berkelanjutan menurut penulis dapat diberikan batasan sebagai “pembangunan yang mengelola sumber-sumber daya alam secara rasional dan bijaksana untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang”. Rasionalitas dan bijaksananya pengelolaan Lingkungan Hidup ditunjukkan seberapa besar kesadaran pengelola untuk mentaati prinsip-prinsip hukum umum di bidang Lingkungan Hidup, berupa prinsip-prinsip dasar pengelolaan Lingkungan Hidup.

Konsep pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mengandung dua konsep pokok. Pertama adalah konsep needs (kebutuhan), terutama kebutuhan dari rakyat miskin di dunia yang memerlukan prioritas penanganan. Kedua adalah keterbatasan (limitations) kemampuan Lingkungan Hidup dalam memenuhi kebutuhan manusia sekarang maupun yang akan datang. Komisi beranggapan meskipun growth (pertumbuhan) ekonomi penting bagi peningkatan kualitas hidup, konsep pembangunan berkelanjutan lebih dari sekedar konsep pertumbuhan. Pembangunan berkelanjutan lebih menekankan pengurangan pemakaian bahan baku dan energi secara intensif, disamping mengharapkan pendistribusian pembangunan yang lebih merata. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan akan dapat diwujudkan melalui pengelolaan Lingkungan Hidup yang rasional dan bijaksana dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar pengelolaan Lingkungan Hidup secara global (universal).

2.3. Melindungi dan Mengelola Lingkungan Hidup oleh Pemerintah Daerah beserta implikasinya

Mengenai klasifikasi urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota diatur pada Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2014 atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat,

(9)

yang meliputi 6 (enam) hal yakni urusan politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta urusan agama. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, maka kepada Pemerintah Pusat diberikan kewenangan untuk melaksanakannya sendiri atau melimpahkannya kepada Instansi Vertikal yang ada di daerah atau kepada gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi. Sementara itu, urusan pemerintahan umum merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Urusan pemerintahan konkuren merupakan urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Daerah terdiri atas urusan pemerintahan wajib dan pilihan. Urusan pemerintahan wajib berkaitan dengan urusan pelayanan dasar dan urusan pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Adapun urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar menurut ketentuan Pasal 12 ayat (1), meliputi 6 (enam) urusan di bidang :

a. pendidikan; b. kesehatan;

c. pekerjaan umum dan penataan ruang;

d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;

e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan masyarakat; dan f. sosial.

Mengenai urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar menurut ketentuan Pasal 12 ayat (2), meliputi 18 (delapan belas) urusan di bidang :

a. tenaga kerja

b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak c. pangan

d. pertanahan e. lingkungan hidup

f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil g. pemberdayaan masyarakat dan Desa

(10)

i. perhubungan

j. komunikasi dan informatika

k. koperasi, usaha kecil, dan menengah l. penanaman modal

m. kepemudaan dan olah raga n. statistik

o. persandian p. kebudayaan q. perpustakaan, dan r. kearsipan.

Selanjutnya mengenai urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah yang bersifat pilihan, meliputi 8 (delapan) urusan yang meliputi bidang kelautan dan perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, perdagangan, perindustrian, serta urusan transmigrasi.

Prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional menjadi dasar dalam pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan daerah provinsi serta daerah kabupaten/kota. Dengan demikian, adapun kriteria urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya bersifat lintas daerah provinsi atau lintas negara;

b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya bersifat lintas daerah provinsi atau lintas negara;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya bersifat lintas daerah provinsi atau lintas negara;

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh Pemerintah Pusat; dan/atau

e. Urusan Pemerintahan yang peranannya strategis bagi kepentingan nasional. Sementara itu, mengenai kriteria urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan dari daerah provinsi adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya bersifat lintas daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya bersifat lintas daerah kabupaten/kota;

(11)

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya bersifat lintas daerah kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah Provinsi.

Sedangkan mengenai kriteria urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan dari daerah kabupaten/kota adalah:

a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota; b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam daerah kabupaten/kota;

c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya hanya dalam daerah kabupaten/kota; dan/atau

d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya lebih efisien apabila dilakukan oleh daerah kabupaten/kota.

Uraian di atas menunjukkan hubungan kewenangan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah di Daerah telah diatur pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Ketentuan dimaksud antara lain diatur mulai Pasal 9 sampai Pasal 20 UU No. 23 Tahun 2014. Dalam pada itu, urusan lingkungan hidup menjadi salah satu urusan wajib pemerintah yang bersifat concurrent dibagi antara Pemerintah Pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai salah satu urusan pemerintahan yang bersifat concurrent juga dapat disimak pada Bab IX Pasal 63 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Penjelasan umum UU No. 32 Tahun 2009 terkait pembagian kewenangan antar pemerintah di bidang Lingkungan Hidup mengkemukakan sebagai berikut :

Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Melalui Undang-Undang ini juga, Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Oleh karena itu, lembaga yang mempunyai beban kerja berdasarkan Undang-Undang ini tidak cukup hanya suatu organisasi yang menetapkan dan melakukan koordinasi pelaksanaan kebijakan, tetapi dibutuhkan suatu organisasi dengan portofolio menetapkan, melaksanakan, dan mengawasi kebijakan perlindungan dan

(12)

pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, lembaga ini diharapkan juga mempunyai ruang lingkup wewenang untuk mengawasi sumber daya alam untuk kepentingan konservasi. Untuk menjamin terlaksananya tugas pokok dan fungsi lembaga tersebut dibutuhkan dukungan pendanaan dari anggaran pendapatan dan belanja negara yang memadai untuk Pemerintah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah yang memadai untuk pemerintah daerah.

Dengan demikian, ada bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antar Pemerintah dengan Pemerintah Daerah serta antar Pemerintah Daerah. Urusan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai urusan yang bersifat concurrent akan dijumpai bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada bagian urusan yang diserahkan kepada Provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antara Pemerintah, Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten dan Kota maka diperlukan adanya penegasan kriteria yang meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.

Keluasan wewenang yang diserahkan kepada Pemerintah Daerah melekat juga tugas dan kewajiban untuk berperan proaktif responsif terhadap upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di wilayahnya baik yang bersifat normatif maupun faktual. Pemerintah Daerah berkewajiban untuk menetapkan produk hukum jabaran dari UU No. 32 Tahun 2009 yang dapat dijadikan tolok ukur, pedoman perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi terhadap tindakan masyarakat dan/atau aparat pemerintah dalam melindungi dan mengelola Lingkungan Hidup sesuai kebijakan, kebutuhan, dan kondisi daerah, serta kebutuhan mewujudkan pembangunan berkelanjutan di daerah. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten Kota (termasuk Pemerintah Daerah di Bali) dibutuhkan untuk sesegera mungkin melakukan tindakan dan/atau menetapkan produk hukum, antara lain terkait dengan :

a. melakukan penelitian dan menetapkan basis data daerah kabupaten/kota maupun provinsi yang akurat, obyektif, akuntabel, terbuka, dan siap diakses setiap saat;

(13)

b. mempetakan potensi kabupaten/kota dan provinsi yang munjukkan kekuatan, kelemahan, tantangan, serta hambatan dalam melindungi dan mengelola Lingkungan Hidup di wilayahnya masing-masing;

c. penetapan rencana perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten/ Kota dan Provinsi yang merupakan dokumen perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah Lingkungan Hidup, serta upaya perlindungan dan pengelolaannya dalam kurun waktu tertentu dengan memperhatikan keragaman karakter dan fungsi ekologis, sebaran penduduk, sebaran potensi sumber daya alam, kearifan lokal, aspirasi masyarakat, dan perubahan iklim.

d. melepaskan ego sektoral dengan duduk bersama untuk bersepakat mengenai kewenangan dalam bidang perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang berkarakter kabupaten/kota atau berkarakter lintas kabupaten/kota;

e. penetapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup menurut Pasal 15 sampai 52 UU No. 32 Tahun 2009 yang terdiri dari dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis, tata ruang, baku mutu Lingkungan Hidup, kriteria baku kerusakan Lingkungan Hidup, amdal, UKL-UPL, perizinan, instrumen ekonomi Lingkungan Hidup, anggaran yang berbasis Lingkungan Hidup, analisis risiko Lingkungan Hidup, serta audit Lingkungan Hidup.

f. penetapan hak, kewajiban, larangan dan sanksi hukum bagi masyarakat dan/atau aparat pemerintah beserta prosedur penegakan hukumnya dalam perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di daerah.

Sementara itu secara faktual, dibutuhkan upaya yang dapat meningkatkan kesadaran manusia baik dalam kapasitasnya sebagai individu, masyarakat, penguasa, maupun sebagai aparatur pemerintah yang senantiasa ramah terhadap Lingkungan Hidup dan menyadari bahwa merusak dan/atau mencemarkan Lingkungan Hidup pada hakikatnya merupakan tindakan kejahatan untuk membunuh dirinya sendiri dan/atau orang lain secara diam-diam, perlahan namun pasti. Budaya ramah Lingkungan Hidup berbasis berkearifan lokal sudah seharusnya melekat pada setiap pikiran, perkataan, dan/atau prilaku masyarakat maupun aparatur pemerintah daerah. Dengan demikian, kebebasan dan kemandirian bagi Pemerintah Daerah di Bali dalam mengupayakan

(14)

perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di wilayahnya baik secara normatif yang belum optimal saat ini sudah seharusnya segera ditingkatkan dan dioptimalkan melalui pemberdayaan masyarakat maupun aparatur pemerintah daerah (law as a tool of social and bereaucratic enginnering) untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di daerah Bali.

III. SIMPULAN

Menyimak uraian pembahasan yang telah dilakukan, maka simpulan yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut :

a. bahwa UU No. 23 Tahun 2004 jo. UU No. 32 Tahun 2009 telah memberikan kebebasan dan kemandirian kepada Pemerintah Daerah untuk berotonomi dalam rangka melindungi dan mengelola Lingkungan Hidup di wilayahnya masing-masing. Namun demikian, otonomi melindungi dan mengelola Lingkungan Hidup saat ini masih dimaknai kemerdekaan yang melahirkan ego sektoral sehingga perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum belum optimal berpihak kepada kelestarian Lingkungan Hidup beserta fungsinya; b. bahwa otonomi kepada Pemerintah Daerah dalam melindungi dan mengelola

Lingkungan Hidup membutuhkan berbagai upaya normatif dan faktual dari aparatur Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Kabupaten dalam berpikir, berkata, dan bertindak ramah Lingkungan Hidup yang berkearifan lokal untuk mewujudkan adanya pembangunan berkelanjutan di daerah.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Arya Utama, I Made, 2007, Hukum Lingkungan, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Jakarta.

Carley, Michael dan Ian Cristie, 1992, Managing Sustainable Development, Earthscan Publications Ltd., London.

Ferretti, Janine, 1989, Common Future, Penerbit Pollution Probe, Toronto, Ontario. Ginther, Konrad dan Paul J.I.M. de Waart, “Sustainable Development as Matter of Good

Governance : an introductory view”, dalam Konrad Ginther dkk. (ed), 1994, Sustainable Development and Good Governance, Martinus Nijhoff Publishers, Boston, London.

Harun M. Husein, 1993, Lingkungan Hidup, Masalah dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta.

Hamzah, A., 1995, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta.

Hempel, Lamont C., 1996, Environmental Governance, The Global Challenge, Penerbit Island Press, Washington, D.C.

Salim, Emil, 1993, Pembangunan Berwawasan Lingkungan, Penerbit LP3ES, Cet. ke-6, Jakarta.

Yusuf, Asep Warlan, 2002, Wewenang Pemerintahan Dalam Penataan Ruang (Suatu Model Pendekatan Sistem), Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta.

(16)

PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

UNTUK MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DI

ERA OTONOMI DAERAH

Oleh :

Prof. Dr. I Made Arya Utama,S.H.,M.H.

Bagian Hukum Administrasi Fakultas Hukum Univ. Udayana

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2015

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas soal yang diteliti pada penelitian ini meliputi tingkat kesukaran, daya beda, fungsi pengecoh, validitas butir, validitas isi, serta reliabilitas soal

Sicilia dikelilingi oleh pulau- pulau sehingga hal ini yang membuat tempat ini sangat setrategis untuk dijadikan wilayah pertahanan bagi imperium Bizantium pada permulaan

Berdasarkan data dari Dinas Tenaga Kerja Kota Sorong, jumlah pencari kerja yang belum ditempatkan sampai akhir tahun 2003 tercatat 5.089 orang.. Sementara pencari kerja yang

Hal tersebut tidak terlepas dari kondisi mereka yang tampak sehat seperti orang normal lainnya, status HIV tanpa munculnya gejala yang serius memberikan keyakinan

sosialisasi nilai-nlai budaya pada karyawan yang dapat juga digunakan. sebagai acuan untuk memperbaiki dan menyempurnakan

Guna mempermudah pengguna dalam mendapatkan informasi yang sesuai, penulis membangun aplikasi pengelompokan dokumen dan peringkasan multidokumen. Aplikasi ini dilengkapi

add action=accept chain=input disabled=no dst-port=8291 protocol=tcp add action=drop chain=forward connection-state=invalid disabled=no add action=drop chain=virus

(2) Untuk penelitian yang akan datang diharapkan menggunakan sampel perusahaan lebih banyak tidak hanya berfokus pada manufaktur, bisa di luar manufaktur seperti