Evaluasi Batuan Induk Sub-Cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra
Tengah Dengan Parameter Tipe Material Asal, Kekayaan Dan
Kematangan
Reza Mohammad Ganjar Gani, Yusi Firmansyah, Nisa Nurul Ilmi
Abstrak
Fokus penelitian dilakukan pada Formasi Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi yang dapat
menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan strategi baru dalam
studi sistem hidrokarbon ini maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameter-parameter geokimia
yaitu: tipe material asal, kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah penelitian.
Lokasi penelitian ini sendiri adalah Sub-cekungan Aman Utara yang terletak di Cekungan Sumatra
Tengah. Lapangan penyelidikan merupakan lapangan aktif dari salah satu perusahaan minyak besar
yang beroperasi di Indonesia. Jenis data yang diproses antara lain hasil analisis geokimia dari batuan
inti. Contoh batuan sedimen berasal dari sumur-sumur eksplorasi, contoh batuan tersebut digunakan
untuk analisis TOC, evaluasi pirolisis batuan dan reflektansi vitrinit (Ro). Data-data geologi dan
geofisika digunakan sebagai analisis terhadap kondisi geologi yang berkembang di daerah penelitian
dikorelasikan dengan hasil analisis geokimia. Input data berupa data stratigrafi seperti top formasi
(kedalaman) Analisis yang dilakukan dalam evaluasi batuan induk meliputi potensi batuan induk, tipe
material organik dan kematangan, analisis ini dilakukan pada lima sumur eksplorasi, yaitu: sumur
SR-CAN, SR-KEL, SR-GUL, SR-PET dan SR-SID.
Analisis karakteristik minyak dilakukan pada sepuluh sumur produksi yaitu sumur P1 Formasi Duri,
sumur D1 Formasi Bangko, sumur D2 Formasi Menggala, sumur V1 Formasi Bangko, sumur R1
Formasi Bekasap, sumur U1 dan U2 Formasi Upper Sihapas, sumur Q1 Formasi Bekasap, sumur Q2
Formasi Duri dan sumur S1 Formasi Menggala. Formasi yang dapat berperan menjadi batuan induk
daerah penelitian selain Formasi Brown Shale adalah Formasi Lower Red Bed, hal tersebut terbukti
dengan analisis batuan induk dengan parameter potensi, tipe material organik dan kematangan pada
formasi ini menunjukkan kualitas yang cukup baik.
Kata kunci : Sub-cekungan Aman Utara, Formasi Brown Shale, Formasi Lower
Red Bed.PENDAHULUAN
Sistem hidrokarbon (petroleum system) sampai saat ini merupakan hal yang masih sangat menarik untuk dikaji, dengan banyaknya brown field (Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, 2011) yang ada di Indonesia maka eksplorasi untuk meningkatkan produksi dan mencari sistem hidrokarbon dari cekungan produksi yang telah ada adalah tujuan dari penyelidikan ini.
Objek dari penelitian ini adalah data-data geokimia dan geologi yang terintegrasi menjadi sebuah penelitian tentang karakteristik batuan induk, kondisi geologi daerah penelitian dengan
pendekatan kesebandingan regional dan dengan peneliti terdahulu.
Fokus penelitian dilakukan pada Formasi Pematang yang sudah dikenal sebagai Formasi yang dapat menghasilkan hidrokarbon di Cekungan Sumatra Tengah, adanya paradigma dan strategi baru dalam studi sistem hidrokarbon ini maka penulis tertarik mengkonfirmasi parameter-parameter geokimia yaitu: tipe material asal, kekayaan dan kematangan batuan induk di daerah penelitian.
LOKASI DAN DAERAH PENELITIAN
Lokasi penelitian ini sendiri adalah Sub-cekungan Aman Utara yang terletak di Cekungan Sumatra Tengah. Lapangan penyelidikan merupakan lapangan aktif dari salah satu perusahaan minyak besar yang beroperasi di Indonesia
Gambar 1. Lokasi penelitian Cekungan Sumatra
Tengah dan pada pembesaran adalah Sub-cekungan Aman Utara (Indrawardana, 2007).
GEOLOGI REGIONAL
KERANGKA TEKTONIK CEKUNGAN SUMATRA TENGAH
Terdapat dua pola struktur utama di Cekungan Sumatra Tengah, yaitu pola-pola tua berumur Paleogen yang cenderung berarah utara-selatan (N-S) dan pola-pola muda berumur Neogen Akhir yang berarah baratlaut-tenggara (NW-SE) (Eubank dan Makki, 1981) (Gambar 2).
Gambar 2. Kerangka tektonik regional Cekungan Sumatra Tengah (Eubank dan Makki, 1981). Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan belakang busur (back-arc basin) yang berkembang sepanjang tepi Paparan Sunda di baratdaya Asia Tenggara. Cekungan ini terbentuk akibat penunjaman Lempeng Samudra Hindia yang bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke bawah Lempeng Benua Asia yang aktif selama Miosen. Geometri dari cekungan ini berbentuk asimentri dengan bagian terdalam berada di baratdaya dan melandai ke arah timur laut (Mertosono dan Nayoan, 1974).
Menurut Heidrick dan Aulia (1993), perkembangan tektonik selama Tersier dapat dibagi menjadi empat fasa sebagai berikut (Gambar 3 dan Gambar 4):
Gambar 3. Peta tatanan tektonik regional
Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1996).
Episode Tektonik F0
Batuan Pra-Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng benua dan samudera yang berbentuk mosaik. Orientasi struktur pada batuan dasar akan memberikan efek pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan selanjutnya akan mengontrol arah tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut sebagai elemen struktur F0.
Episode Tektonik F1
Episode tektonik F1 berlangsung pada kala Eosen-Oligosen (26-50 jtl), akibat dari tumbukan lempeng Samudera Hindia terhadap lempeng Benua Asia Tenggara sekitar 45 jtl., terbentuk suatu sistem rekahan trans-tensional yang memanjang ke arah selatan dari Cina bagian selatan menuju Thailand, Malaysia, hingga Sumatra dan Kalimantan Selatan (Heidrick dan Aulia, 1993). Perekahan ini menyebabkan terbentuknya serangkaian separuh graben di Cekungan Sumatra Tengah.
Separuh graben ini kemudian menjadi danau tempat diendapkannya sedimen-sedimen dari kelompok Pematang. Pada akhir episode F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan, ditandai oleh pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan dataran peneplain. Hasil dari erosi tersebut berupa paleosoil yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed.
Episode Tektonik F2
Episode ini berlangsung pada Miosen Bawah-Tengah (26-13 jtl). Pada awal episode ini terbentuk sesar geser menganan (dextral) yang berarah utara-selatan. Pada episode ini juga Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan pengendapan dari kelompok Formasi Sihapas.
Episode Tektonik F3
Episode ini berlangsung pada kala Miosen Atas hingga sekarang (13 jtl-sekarang). Pada awal episode ini terjadi pengaturan kembali Lempeng Indo-Australia. Di saat itu pulalah terjadi awal pembentukan subduksi Sumatra-Jawa dan sistem sesar geser serta busur vulkanisme Bukit Barisan. Pada akhir dari F3 terjadi tektonik kompresi yang membentuk struktur pembalikan raksasa, sesar naik sepanjang jalur wrench fault (sesar geser) yang terbentuk sebelumnya pada busur F0, sesar F1 dan sesar geser berarah utara-baratlaut hingga barat yang kemudian menjadi perangkap hidrokarbon. Pada awal episode ini Cekungan Sumatra Tengah mengalami regresi dan pengendapan sedimen-sedimen dari Formasi Petani. Pada episode ini juga diendapkan Formasi Minas secara tidak selaras.
Gambar 4. Diagram perkembangan tektonik
Tersier di Cekungan Sumatra Tengah (Heidrick dan Aulia, 1996).
STRATIGRAFI REGIONAL DAERAH PENELITIAN
Secara umum stratigrafi regional Cekungan Sumatra Tengah tersusun atas beberapa unit formasi, paling tua adalah batuan dasar (basement) selanjutnya Kelompok Pematang selanjutnya Kelompok Sihapas selanjutnya Formasi Telisa selanjutnya Formasi Petani kemudian yang paling muda Formasi Minas (Gambar 5).
Gambar 5. Kolom stratigrafi umum Cekungan
Sumatra Tengah (Eubank dan Makki, 1981).
Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar berumur Pra-Tersier ini berfungsi sebagau landasan Cekungan Sumatra Tengah, yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok utama dengan kedudukan hampir paralel berarah utara-baratlaut hingga baratlaut. Kelompok-kelompok yang dimaksud adalah:
a. Malacca Terrane
Kelompok ini tersusun atas kuarsit, batugamping kristalin, sekis dan serpih yang berumur 295 Ma, 112-122 Ma dan 150 Ma, yang diintrusi oleh pluton granodiorit dan granit berumur Jura. Kelompok ini dijumpai pada pantai bagian timur dan timurlaut Cekungan Sumatra Tengah.
b. Mutus Assemblage (kelompok Mutus)
Kelompok ini merupakan zona suture yang memisahkan Quartzite Terrane dan Deep-Water Assemblage. Kumpulan Mutus ini terletak di sebelah baratdaya dari dataran pantai dan terdiri dari batuan ofiolit dan sedimen laut dalam.
Kelompok ini terletak di bagian baratdaya dari Kelompok Mutus yang tersusun atas greywacke, batulumpur kerikilan dan kuarsit.
Grup Pematang
Kelompok Pematang merupakan batuan induk sumber hidrokarbon utama bagi perangkap-perangkap minyak bumi yang ada di Cekungan Sumatra Tengah dan merupakan sedimen tertua berumur Paleogen (24-65 jtl). Sedimen syn-rift Formasi Pematang ini diendapkan secara tidak selaras pada separuh graben yang berarah utara-selatan dan terdiri dari sedimen kipas aluvial, sungai, delta dan danau.
Menurut Heidrick dan Aulia (1993), dengan ditemukannya fosil ostracoda, gastropoda air tawar, spora, polen, dinoflagelata, alga dan dern debris pada contoh batuan inti dan serbuk bor di semua palung utama, serta dengan tidak hadirnya sama sekali foraminifera memberikan indikasi lingkungan pengendapan non-marin ada suasana lembab dan tropis. Batuan yang mendominasi adalah fanglomerat, konglomerat, batupasir, batulanau, batulumpur, batulempung dan serpih. Kelompok Pematang dibagi menjadi ke dalam tiga formasi, mulai dari yang tertua adalah:
a. Formasi Lower Red Bed
Formasi ini terdiri dari batulempung, batulanau, batupasir arkose dan konglomerat yang diendapkan pada lingkungan darat dengan sistem pengendapan kipas alluvial dan berubah secara lateral menjadi lingkungan sungai dan danau. Formasi ini memiliki ketebalan sekitar 3000 kaki.
b. Formasi Brown Shale
Formasi ini terdiri dari serpih berlaminasi baik, warna coklat sampai hitam dan kaya akan material organik ciri dari lingkungan pengendapan danau dengan kondisi air yang tenang. Formasi dengan ketebalan lebih dari 600 kaki ini diyakini sebagai penghasil minyak dan gas bumi yang terdapat di Cekungan Sumatra Tengah.
c. Formasi Upper Red Bed
Formasi ini terdiri dari batupasir, konglomerat dan serpih merah kehijauan yang diendapkan di lingkungan danau.
LANDASAN TEORI
Batuan Induk
Secara umum pembentukan minyak bumi terjadi karena penumpukan zat organik terutama plankton pada dasar laut, dan tertimbun dengan sedimen halus dalam keadaan reduksi, sehingga terawetkan. Hal ini hanya terjadi di cekungan sedimen yang terdapat pada suatu ambang dari laut terbuka, dengan sedimentasi yang cepat, dibarengi dengan penurunan. Setelah itu kita mendapatkan suatu urut – urutan batuan serpih yang kaya akan zat organik dan berwarna hitam yang disebut batuan induk. Waples (1985) membagi batuan induk mejadi tiga jenis, yaitu:
1. Batuan induk efektif
Batuan sedimen yang telah membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon.
2. Mungkin batuan induk
Batuan sedimen yang potensinya belum dievaluasi, tetapi mempunyai kemungkinan untuk membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon.
3. Batuan induk potensial
Batuan sedimen pra-matang yang diketahui dapat membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon apabila tingkat kematangan termalnya cukup tinggi (mencapai oil-window/jendela minyak).
Untuk menentukan batuan termasuk ke dalam batuan induk ada beberapa parameter yang harus dipenuhi oleh batuan tersebut, yaitu:
a. Kekayaan material organik. b. Tipe material organik.
c. Kematangan material organik.
Kekayaan Material Organik
Jumlah kandungan material organik dalam batuan induk merupakan aspek penting untuk dievaluasi. Konsentrasi minimum material organik yang hadir dalam batuan harus dipenuhi agar dapat berubah menjadi hidrokarbon dan hidrokarbon tersebut dapat dikeluarkan melalui migrasi primer. Selain itu, jumlah minimum material organik harus dipenuhi untuk suatu ketebalan dan pelamparan batuan tertentu, agar jumlah ekonomis hidrokarbon tercapai. Peters dan Cassa (1994) menggunakan hasil analisis TOC dan pirolisis Rock-Eval sebagai
parameter penentu potensi atau kekayaan material organik (Tabel 1).
Tabel 1 Parameter geokimia dalam analisis
potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang (Peters dan Cassa, 1994).
Potensi Hidrokarbon
Material Organik Bitumenc HK
TOC Pirolisis Rock-Eval
(% berat) (ppm) (ppm) (% berat) S1a S2b Buruk 0-0,5 0-0,5 0-2,5 0-0,05 0-500 0-300 Sedang 0,5-1 0,5-1 2,5-5 0,05-0,10 500-1000 300-600 Baik 1-2 1-2 5-10 0,10-0,20 1000-2000 600-1200 Sangat Baik 2-4 2-4 10-20 0,20-0,40 2000-4000 1200-2400 Istimewa >4 >4 >20 >0,40 >4000 >2400
aS1 hidrokarbon bebas (migas) yang dinyatakan dalam mg HK/g batuan (data pirolisis). bS2 potensi hidrokarbon yang dapat dikeluarkan, dalam mg HK/g batuan (data pirolisis). c Bitumen, hasil analisis C
15+ extracable organic matter (EOM).
Tipe Material Organik
Penentuan tipe material organik merupakan hal yang sama pentingnya dengan evaluasi kekayaan material organik. Hal tersebut berdasarkan pada kenyataan bahwa perbedaan tipe material organik akan menghasilkan fraksi hidrokarbon berbeda. Hasil analisis geokimia dari data pirolisis, dapat dijadikan parameter dalam menentukan tipe kerogen dan produk hidrokarbon yang akan dihasilkan pada puncak kematangan (Peters dan Cassa, 1994). Parameter data pirolisis yang digunakan untuk penentuan tipe hidrogen adalah indeks hidrogen (HI) dan rasio antara S2 terhadap S3 (Tabel 2).
Diagram van Krevelen, pada awalnya digunakan untuk menentukan tipe kerogen dalam batubara berdasarkan perbandingan atom H/C dengan O/C, kemudian dikembangkan untuk menentukan tipe batubara dan penyebaran kerogen dalam batuan sedimen (Tissot dan Welte, 1984). Selanjutnya, diagram van Krevelen digunakan Peters dan Cassa (1994) untuk menentukan tipe kerogen dan kecenderungan produk yang dihasilkan berdasarkan rasio indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) yang diperoleh dari data pirolisis.
Tabel 2. Parameter penentuan tipe kerogen dan
produk yang dihasilkan pada puncak kematangan (Peters dan Cassa, 1994).
Tipe Kerogen HI (mg HC/g TOC) S2/S3 Produk Utama pada Puncak Kematangan Minyak I > 600 >15 Minyak II 300 – 600 10 – 15 Minyak II / III 200 – 300
5 – 10 Minyak dan Gas
III 50 –
200
1 – 5 Gas
IV < 50 < 1 Tidak Ada
Kematangan Material Organik
Evolusi termal (pematangan) kerogen dalam batuan induk secara fisika dan kimia sama dengan proses pembatubaraan (coalification). Peningkatan
pembebanan sedimen akan menaikkan suhu secara progresif, akibatnya akan terjadi perubahan fisika dan kimia dari lignit menjadi bitumen yang pada akhirnya akan membentuk antrasit (Thomas, 2002).
Kematangan diperlukan untuk mengetahui apabila suatu batuan induk telah memasuki jendela minyak. Batas jendela minyak ini sangat tergantung pada tipe material organiknya. Pada umumnya jendela minyak dicapai pada nilai Ro sekitar 0,6%. Penentuan kematangan dari fraksi
bitumen didapat dari data kromatografi gas (GC) dan kromatografi gas spektrometri massa (GC-MS).
Kompilasi hasil analisis reflektansi vitrinit, nilai Tmaks dan indeks produksi data pirolisis Rock-Eval, dapat diaplikasikan untuk mengetahui tingkat kematangan suatu batuan. Parameter geokimia dalam penentuan fasa kematangan termal menurut Peters dan Cassa (1994) dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Parameter geokimia dalam penentuan fasa kematangan termal (Peters dan Cassa, 1994).
Stadium Kematangan Termal Migas Kematangan Genesa Ro (%) Tmaks (º C) TAI Bitumen Bitumen (mg/g batuan) PI TOC Belum Matang 0,2 - 0,6 < 435 1,5 - 2,6 < 0,05 < 50 < 0,10 Awal Matang 0,6 - 0,65 435 - 445 2,6 - 2,7 0,05 - 0,10 50 - 100 0,1 - 0,15 Puncak 0,65 - 0,9 445 - 450 2,7 - 2,9 0,10 - 0,25 150 - 250 0,25 - 0,4 Akhir 0,9 - 1,35 450 - 470 2,9 - 3,3 - - > 0,40 Lewat Matang > 1,35 > 470 > 3,3 - - - Kerogen
Kerogen merupakan bagian material organik dalam batuan sedimen yang tidak dapat larut dalam pelarut organik biasa (Waples, 1985), sedangkan bagian yang larut disebut dengan bitumen. Kerogen tidak larut karena molekulnya berukuran besar.
Kerogen terdiri atas partikel yang berbeda-beda yang disebut maseral, suatu terminologi yang diambil dari petrologi batubara. Maseral adalah “mineral organik”, hubungannya terhadap kerogen sama dengan hubungan mineral terhadap batuan. Kerogen di dalam batuan sedimen tertentu terdiri atas banyak partikel yang seringkali berasal dari
berbagai sumber, jadi hanya sedikit sekali kerogen yang terdiri atas satu macam maseral saja. Waples (1985) membagi kerogen menjadi empat tipe berdasarkan jenis maseralnya (Tabel 4), dan van Krevelen membagi tipe kerogen berdasarkan rasio hidrogen dan oksigen (Gambar 6).
Tabel 4. Tipe kerogen (Waples, 1985).
MASERAL TIPE
KEROGEN ASAL MATERIAL ORGANIK
Alginit I Alga air tawar
Eksinit II Polen, Spora
Kutinit II Lapisan lilin tanaman
Resinit II Resin tanaman
Liptinit II Lemak tanaman, alga laut
Vitrinit III Material tumbuhan tinggi (kayu, selulosa) Inertinit IV Arang, material tersusun-ulang yang teroksidasi
Gambar 6. Diagram van Krevelen (www.aapgbull.geoscienceworld.org)
Berdasarkan analisis kimia, Institut Francais du Petrole (IFP) membagi kerogen menjadi empat tipe yaitu:
1. Kerogen tipe I
Kerogen tipe ini sangat jarang ditemukan karena berasal dari alga danau. Kehadiran kerogen tipe ini terbatas pada danau yang anoksik dan jarang didapatkan pada lingkungan laut. Kerogen tipe ini memiliki kapasitas yang tinggi untuk menghasilkan hidrokarbon cair.
2. Kerogen tipe II
Kerogen tipe ini berasal dari beberapa sumber, yaitu alga laut, polen dan spora, lilin dari daun, dan resin fosil. Selain itu, kerogen
ini juga mengandung lemak dari sel bakteri. Berbagai macam sumber tersebut dikelompokkan ke dalam satu tipe karena sama-sama mempunyai kapasitas yang baik untuk menghasilkan minyak. Kerogen tipe II pada umumnya ditemukan dalam batuan sedimen yang diendapkan di laut pada kondisi reduksi.
3. Kerogen tipe III
Kerogen tipe ini terdiri dari material organik darat yang hanya sedikit mengandung lemak atau zat lilin. Selulosa dan lignin adalah penyumbang terbesar pada kerogen tipe III. Kerogen tipe III mempunyai kapasitas produksi hidrokarbon cair lebih rendah daripada kerogen tipe II, dan jika tanpa campuran kerogen tipe II biasanya kerogen tipe III ini menghasilkan gas. Kerogen tipe III ini kaya akan struktur aromatik, dengan O/C cukup tinggi dan H/C yang relatif rendah, dapat dibandingkan dengan vitrinit dari batubara.
4. Kerogen tipe IV
Kerogen tipe ini terdiri dari rombakan organik dan material yang teroksidasi yang berasal dari berbagai sumber. Kerogen ini biasanya tidak memiliki potensi menghasilkan hidrokarbon. Komposisi kerogen dipengaruhi oleh proses pematangan termal (katagenesis dan metagenesis) yang akan mengubah kerogen. Kerogen berubah
secara progresif selama proses pembebanan sedimen (burial) menjadi molekul yang lebih kecil, pemanasan bawah permukaan menyebabkan terjadinya reaksi kimia yang memecahkan sebagian fragmen kerogen menjadi molekul minyak atau gas.
Tahapan perubahan kerogen tersebut menurut Bordenave (1993) adalah:
1. Diagenesis awal
Proses ini ditandai oleh hilangnya nitrogen dan sulfur pada kedalaman beberapa meter.
2. Diagenesis
Proses ini ditandai oleh hilangnya oksigen, karbon mono- dan dioksida, serta sejumlah kecil material yang mengandung oksigen pada suatu zona kedalaman dengan temperatur di bawah 70 - 80°C.
3. Katagenesis
Proses ini ditandai oleh hilangnya semua hidrogen ke dalam bentuk hidrokarbon: minyak berat terbentuk lebih dulu, kemudian hidrokarbon yang lebih ringan, kondensasi, dan pada akhirnya terbentuk gas kering.
4. Metagenesis
Proses ini terjadi pada sedimen yang dalam, pada temperatur lebih dari 150°C. Pada tahap ini terjadi penyusunan kembali fraksi aromatik.
Produk yang dihasilkan adalah metana, hidrogen sulfida, dan nitrogen.
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada Sub-cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah. Penelitian evaluasi batuan induk terfokus pada Formasi Brown Shale (Kelompok Pematang). Ada lima buah sumur untuk analisis dan evaluasi batuan induk, pada beberapa sumur dibahas juga formasi-formasi dari Kelompok Pematang lainnya seperti Formasi Lower Red Bed dan Formasi Upper Red Bed.
Pada umumnya data geokimia yang digunakan berupa data evaluasi pirolisis batuan (Rock-Eval pyrolysis), kandungan material organik (%TOC), analisis reflektansi vitrinit (Ro%).
Potensi Batuan Induk
A
nalisis potensi batuan induk mengacu kepada klasifikasi potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang oleh Peters dan Cassa, 1994. Analisis menggunakan metode TOC dan evaluasi pirolisis batuan.Hasil analisis potensi dan kekayaan batuan induk dapat dilihat pada Tabel IV.1 untuk parameter TOC dan Tabel 5. untuk parameter evaluasi pirolisis batuan berikut ini:
Tabel 5 Analisis potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang dengan parameter TOC (Peters dan Cassa, 1994).
SUMUR FORMASI LITOLOGI TOC (wt %) KLASIFIKASI
SR-CAN
Lower Red Bed
Batupasir,
batulempung dan serpih
0,31 – 4,63 Buruk - istimewa
Brown Shale Batulempung dan
serpih 0,30 – 6,67
Sedang – baik sekali
SR-KEL
Brown Shale Serpih dan lanau 0,69 – 5,8 Sedang - istimewa
Upper Red Bed
Batupasir, serpih,
lanau dan
batulumpur
0,05 – 1,5 Buruk - baik
Upper Red Bed Serpih, batupasir
dan lanau 0,18 – 3,93
Buruk – sangat baik
SR-PET
Lower Red Bed
Batulempung, serpih, lanau, batupasir dan batulumpur 0,19 – 4,45 Buruk – istimewa Brown Shale Batulempung, serpih, lanau dan batupasir
3,21 – 6,06 Baik – istimewa
Upper Red Bed Serpih, lanau dan
batupasir 0,19 – 2,17 Buruk – baik SR-SID Brown Shale Serpih dan lanau 0,9 – 4,29 Cukup – istimewa
Tabel 6 Analisis potensi dan kekayaan material organik pada batuan induk pra-matang dengan parameter evaluasi pirolisis batuan (Peters dan Cassa, 1994).
SUMUR FORMASI S1 + S2 (mgHC/g )
S2
(mgHC/g ) KLASIFIKASI
SR-CAN
Lower Red Bed 0,9 – 58,12 21,12 Sedang – baik sekali Brown Shale 0,76 – 40,77 18,83 Sedang – baik sekali
SR-KEL
Brown Shale 2,64 – 39 4,9 Sedang - istimewa Upper Red Bed 0,9 – 2,9 1,1 Buruk - baik
SR-GUL
Brown Shale 0,35 – 5,42 8,42 Baik Upper Red Bed 0,18 – 3,93 4,6 Cukup
SR-PET
Lower Red Bed 0,98 – 11,26 3,65 Buruk – istimewa Brown Shale 3,10 – 39,55 9,55 Baik – istimewa Upper Red Bed 0,62 – 8,93 7,6 Buruk – baik SR-SID Brown Shale 3,10 – 39,55 9,55 Cukup – istimewa
Hasil analisis menunjukkan secara umum potensi dan kekayaan material organik pada formasi-formasi di daerah penelitian cukup baik, khusus
untuk Formasi Brown Shale di beberapa sumur terdapat klasifikasi yang istimewa, dan bila melihat potensi untuk menghasilkan hidrokarbon yaitu
parameter S1+S2, formasi yang memiliki kualitas yang baik adalah Formasi Brown Shale. Maka dapat diasumsikan di daerah penelitian klasifikasi batuan induk yang baik dalam hal potensi kekayaan dan kemampuan untuk menghasilkan hidrokarbon adalah Formasi Brown Shale.
Kualitas Material Organik
Analisis kualitas material organik menggunakan perbandingan nilai indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) juga evaluasi pirolisis batuan (S2/S3) untuk penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan pada puncak kematangan dengan klasifikasi yang dikemukakan oleh Peters dan Cassa, 1994.
Hasil analisis untuk tipe material organik tiap-tiap formasi pada sumur-sumur di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 7 berikut ini:
Tabel 7 Analisis penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan dengan metode evaluasi pirolisis batuan (Peters dan Cassa, 1994).
SUMUR FORMASI HI
(mg HC/g TOC)
S2/S3 TIPE PRODUK
SR-CAN
Lower Red Bed 125 – 564 7,93 II Minyak
Brown Shale 230 – 667 14,59 I dan II Minyak
SR-KEL
Brown Shale 81 – 382 6 II dan III Minyak dan gas Upper Red Bed 69 – 237 1 II dan III Gas
SR-GUL
Brown Shale 125 – 564 8,66 II dan III Minyak dan gas Upper Red Bed 11 – 343 5,47 II dan III Minyak dan gas
SR-PET
Lower Red Bed 55 – 556 1,71 II dan III Gas
Brown Shale 101 – 434 8,1 II dan III Minyak dan gas Upper Red Bed 96 – 269 3,14 II dan III Gas
SR-SID Brown Shale 166 – 528 5,93 II dan III Minyak dan gas
Hasil analisis penentuan tipe kerogen dan produk yang dihasilkan seperti terlihat pada tabel di atas menunjukkan bahwa Formasi Brown Shale adalah formasi dengan tipe kerogen yang mempunyai
kecenderungan menghasilkan minyak lebih besar dibandingkan dengan Formasi Lower Red Bed maupun Formasi Upper Red Bed, hal tersebut terlihat dari dominansi tipe kerogen tipe II dan
rasio S2/S3 yang mempunyai kecenderungan utama menghasilkan minyak.
Analisis juga dilakukan dengan membuat plot silang antara indeks hidrogen dan indeks oksigen
pada diagram van Krevelen untuk melihat tipe-tipe kerogen dari tiap-tiap formasi yang ada (Gambar 7, 8, 9, 10), terkecuali untuk sumur SR-SID plot tidak dapat dilakukan dikarenakan ketiadaan data indeks oksigen.
Gambar 7 Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-CAN (van
Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 0 50 100 150 H I (m g H C /g TO C ) OI (mg Co2/g TOC)
Diagram van Krevelen
Brown Shale Lower Red Bed
Gambar 8
Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks
oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-KEL
(van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
Gambar 9
Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks
oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-GUL
(van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 200 400 600 H I (m g H C /g T O C ) OI (mg Co2/g TOC)
Diagram van Krevelen
Brown Shale Upper Red Bed
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 100 200 300 H I (m g H C /g TO C ) OI (mg Co2/g TOC)
Diagram van Krevelen
Brown Shale Upper Red Bed
.
Gambar 10
Plot silang antara indeks hidrogen (HI) dan indeks
oksigen (OI) menunjukan tipe kerogen sumur SR-PET
(van Krevelen, 1997 dalam Hunt, 1996).
Kematangan Material Organik
Analisis kematangan dilakukan menggunakan nilai suhu maksimum (Tmax) dan reflektansi vitrinit (Ro) menurut Peters dan Cassa, 1994.
Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel IV.4 dan Tabel IV.5 berikut ini:
Tabel 8 Analisis penentuan fasa kematangan termal dengan menggunakan Tmax (Peters dan Cassa, 1994).
SUMUR FORMASI Tmax (⁰C) KLASIFIKASI
SR-CAN
Lower Red Bed 395 - 441 Belum matang – awal matang Brown Shale 432 - 441 Awal matang - matang
SR-KEL
Brown Shale 338 - 450 Belum matang – puncak matang Upper Red Bed 366 - 431 Belum matang - matang
SR-GUL
Brown Shale 420 - 458 Belum matang – akhir matang Upper Red Bed 329 - 457 Belum matang – awal matang
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000 0 200 400 600 H I (m g H C /g T O C ) OI (mg Co2/g TOC)
Diagram van Krevelen
Upper Red Bed Brown Shale Lower Red Bed
SR-PET
Lower Red Bed 442 - 460 Awal matang – lewat matang Brown Shale 434 - 447 Belum matang – puncak matang Upper Red Bed 409 - 446 Belum matang – puncak matang SR-SID Brown Shale 434 - 447 Belum matang – puncak matang
Secara umum hasil dari analisis kematangan dengan parameter Tmax pada tiap-tiap sumur dan formasi di daerah penelitian menunjukkan bahwa Formasi Brown Shale memiliki kualitas kematangan yang lebih baik daripada Formasi Lower Red Bed dan Formasi Upper Red Bed, hal
itu terlihat pada klasifikasi puncak matang yang mendominasi kualitas kematangan pada Formasi Brown Shale.
Tabel 9 Analisis penentuan fasa kematangan termal dengan menggunakan metode reflektansi vitrinit (Peters dan Cassa, 1994).
SUMUR FORMASI Ro (%) KLASIFIKASI
SR-CAN
Lower Red Bed - -
Brown Shale 0,24 – 0,70 Belum matang - matang
SR-KEL
Brown Shale 0,57 – 1,25 Belum matang – lewat matang.
Upper Red Bed 0,42 – 0,48 Belum matang - matang
SR-GUL
Brown Shale 0,57 – 1,27 Belum matang – lewat matang Upper Red Bed 0,53 – 0,84 Belum matang – matang
SR-PET
Lower Red Bed 0,48– 1,39 Awal matang – lewat matang Brown Shale 0,54 – 0,93 Belum matang – puncak matang Upper Red Bed 0,41 – 0,54 Belum matang – puncak matang SR-SID Brown Shale 0,54 – 0,93 Belum matang – lewat matang
Nilai reflektansi vitrinit untuk sumur SR-CAN kurang dapat dipercaya karena adanya gejala
supresi untuk tipe kerogen yang mempunyai nilai indeks hidrogen yang cukup tinggi. Secara umum
hasil analisis menggunakan reflektansi vitrinit untuk tiap-tiap sumur dan formasi di daerah penelitian menunjukkan kualitas kematangan yang baik khususnya untuk Formasi Brown Shale karena mendominasi kualitas kematangan puncak matang dibandingkan dengan Formasi Lower Red Bed dan Formasi Upper Red Bed.
KESIMPULAN
Pada umumnya Formasi Brown Shale adalah formasi yang baik dalam parameter potensi, kualitas dan kematangan batuan induk.
DAFTAR PUSTAKA
Bordenave, M.L., (1993): Applied Petroleum Geochemistry, Edition Technip, hlm 101 – 107.
Eubank, R.T., dan Makki, A.C., (1981): Structural Geology of the Central SumatraBack-arc Basin. Proceedings 10th Annual
Convention, Indonesian Petroleum Association, Jakarta, hlm. 153-196. ten Haven, H.L., dan Schiefelbein, C.F., (1995).
The Petroleum Systems of Indonesia, Proc. Of Indonesian Petroleum Association, 24th Annual Convention, Jakarta, IPA.
Heidrick, T.L., dan Aulia, K., (1993): A Structural and Tectonic Model and Tectonic Model of The Coastal Plains Block, Central Sumatra Basin, Indonesia, hlm 286 – 307.
Hunt. J.M., (1996) : Petroleum Geochemistry and Geology, 2nd edition, New York, W.H. Freeman and Company, hlm 273 – 351.
Hwang, R.J., Heidrick, T., Mertani, B., dan Qivayanti, (2002): Correlation and Migration Study of North Central Sumatra Oils, Organic Geochemistry 33, hlm 1361 – 1379.
Indrawardana., (2007): Perkembangan Struktur Paleogen di Sub-cekungan Aman Utara, Cekungan Sumatra Tengah. Tesis S-2, Program Studi Teknik Geologi, ITB.
Lambiase, J.J., and Bosworth, W (1995): Structural controls on sedimentation in continental rifts, in Lambiase, J.J., ed., Hydrocarbon habitat in rift basins: Geological Society Special Publication 80, hlm. 117-144.
Mertosono, S., dan Nayoan, G.A.S., (1974): The Tertiary Basinal Area of Central Sumatra, Proceedings Indonesian Petroleum Association, Third Annual Convention, hlm 63 -75.
Peters, K.E., dan Cassa, M.R., (1994): Applied Source Rock Geochemistry, The Petroleum System – From Source to Trap, American Association of Petroleum Geologists, hlm. 93 – 117. Peters, K.E., dan Moldowan, J.M., (1993): The
Biomarker Guide: Interpreting Molecular Fossils in Petroleum and Ancient Sediments, Prentice-Hall. Peters, K.E., dan Moldowan, J.M., (2005): The
Biomarker Guide Volume 1: Biomarkers and Isotopes in the Environment and Human History, Cambridge University Press, 269. Satyana, A.H., 2004. Petroleum Geochemistry:
Essential Concepts and Methods for Hydrocarbon Exploration and Production. Pre-convention Short Course of 33rd Annual Convention,
Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Bandung, hlm 59-134. Santika, R., (2011) : Evaluasi dan Korelasi Batuan
Induk dan Minyak Bumi Sub-cekungan Balam, Cekungan Sumatra Tengah. Skripsi Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik Geologi Unpad.