• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN EFIKASI DIRI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD CIDERES KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN Oleh : Rina Nuraeni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN EFIKASI DIRI PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD CIDERES KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN Oleh : Rina Nuraeni"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019

HUBUNGAN MOTIVASI DENGAN EFIKASI DIRI PADA PASIEN

DIABETES MELLITUS TIPE II DI RSUD CIDERES KABUPATEN

MAJALENGKA TAHUN 2018

Oleh : Rina Nuraeni

(STIKes YPIB Majalengka)

ABSTRAK

Motivasi merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam melakukan manajemen diri pada perawatan diri pasien Diabetes Melitus tipe II (DM tipe II) sehingga dapat meningkatkan efikasi diri. Efikasi diri pada pasien diabetes tipe II merupakan komponen penting dalam meningkatkan kemandirian pasien dalam mengelola penyakitnya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien DM tipe II di RSUD Cideres tahun 2018. Penelitian ini menggunakan uji statistik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Sampel pada penelitian ini sebanyak 97 orang yang dipilih dengan teknik purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner untuk melihat skor motivasi dan efikasi diri pasien DM tipe II. Hasil pengukuran data dianalisa menggunakan uji korelasi Person Product Moment. Hasil penelitian didapatkan bahwa sebagaian besarresponden memiliki motivasi baik sebanyak 55,7% dan memiliki efikasi diri baik sebanyak 55,7%. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bermakna antara motivasi diri dengan efikasi diri pada pasien DM tipe II (p = 0,002) dengan arah hubungan positif dan kekuatan korelasi lemah (r = 0,314). Dianjurkan bagi perawat atau petugas kesehatan untuk meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien DM tipe II dengan pemahaman kesehatan terstruktur, memfasiltasi pemberian dukungan keluarga, dan memberikan intervensi terkait perawatan diri diabetes.

Kata kunci : Motivasi, Efikasi Diri, Pasien Diabetes Mellitus Tipe II Daftar pustaka : 35 (2008-2017) 24 Buku, 11 Website

(2)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019

RELATIONSHIP MOTIVATION WITH SELF EFFICACY IN TYPE II

DIABETES MELLITUS PATIENTS IN CIDERES HOSPITAL REGENCY

OF MAJALENGKA 2018

ABSTRACT

Motivation is one factor that very influential in performing self-care of patients with type II diabetes so that it can improve self efficacy. Self efficacy in patients with type II diabetes mellitus (type II DM) is an important component in improving patient independence in managing the disease. This study aims to identify the significancy of the relationship between motivation with self efficacy in patients with type II diabetes in Cideres Hospital 2018. This study used statistical correlation test with cross sectional approach. The sample in this study were 97 people selected by purposive sampling technique. Data collection was done by filling out questionnaires to see the motivation and self efficacy of type II DM patients. The results of data measurement were analyzed using Person Product Moment correlation test. The results obtained that most respondents have good motivation as much as 55,7% and have good self efficacy as much as 55,7%. In addition, the results showed a significant relationship between self-motivation and self efficacy in patients with type II diabetes (p = 0,002) with a positive relationship direction and weak correlation strength (r = 0,314). It is recommended for nurses or health workers to enhance self-motivation and self efficacy of type II diabetics with a structured health understanding, facilitate family support, and provide self-care interventions for diabetes.

Keyword :Motivation, Self Efficacy, Type II Diabetes Mellitus Patient Bibligraphy : 35 (2008-2017) 24 Books, 11 Websites

PENDAHULUAN

Diabetes Mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut. Apabila dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati (Lemone & Burke, 2008; Smeltzer & Bare, 2008; American Diabetes Association [ADA], 2010).

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi adanya peningkatan jumlah penyandang diabetes yang menjadi salah satu ancaman kesehatan global. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang diabetes di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang Diabetes Mellitus sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2035. Sedangkan International Diabetes Federation (IDF) memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang diabetes di Indonesia dari 9,1 juta pada tahun 2014 menjadi 14,1 juta pada tahun 2035 (PERKENI

(3)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 [Perkumpulan Endokrinologi Indonesia],

2015). Prevalensi diabetes didominasi oleh jumlah penderita yang tidak terdeteksi dan tidakmengkonsumsi obat sebesar 73% dari total keseluruhan penderita diabetes di Indonesia. Sisanya yang terdeteksi mengalami gangguan glukosa sebesar 10,2% (Riskesdas, 2013).

Data Riskesdas (2013) menyatakan diabetes berada diurutan ke 4 penyakit kronis di Indonesia setelah Asma, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) dan kanker berdasarkan prevalensinya. Selain itu prevalensi nasional penyakit diabetes pada 2013 yaitu 5,7% atau sekitar 10 juta orang terkena diabetes dan 18 juta terancam diabetes (Subekti, 2013 dalam Astuti, 2014). Merujuk kepada prevalensi nasional, penderita Diabetes Mellitus menyebar diseluruh provinsi. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai jumlah penderita Diabetes Mellitus yang cukup tinggi. Jumlah penduduk di Jawa Barat dengan umur >14 tahun berjumlah 32.162.328 orang, data dari Rikesdas 2013 yang pernah didiagnosa menderita kencing manis oleh dokter berjumlah 418.110 orang dengan presentase 1,3% dan yang belum pernah di diagnosa kencing manis oleh dokter tetapi 1 bulan terakhir merasa mengalami gejala sering lapar, sering haus, sering buang air kecil dengan jumlah yang banyak dan berat badan turun berjumlah 225.136 orang dengan presentase 2,0%. Sedangkan peningkatan penderita Diabetes Mellitus di setiap tahunnya meningkat hingga 60% jadi didapatkan bahwa tahun 2016 jumlah penderita Diabetes Mellitus di Provinsi Jawa Barat berjumlah 1.254.330 orang dengan presentase 3,9% yang pernah didiagnosa menderita kencing manis dan yang belum pernah didiagnosa kencing manis 675.408 orang dengan presentase 2,1% orang. Melihat bahwa Diabetes Mellitus akan memberikan dampak terhadap kualitassumber daya manusia dan peningkatan biaya kesehatan yang

cukup besar, maka sangat diperlukan program pengendalian Diabetes Mellitus tipe II.

Menurut data dari RSUD Majalengka penderita Diabetes Mellitus pada bulan januari sampai desember 2017 tercatat 762 orang. Sedangkan data dari RSUD Cideres tercatat 3.507 orang. Hal ini menunjukan bahwa penderita Diabetes Mellitus di Kabupaten Majalengka masih cukup tinggi. Dan karena hal ini pula penulis tertarik untuk melakukan penelitian di RSUD Cideres.

Efikasi diri merupakan teori kunci dari sosial kognitif yang telah dikembangkan oleh Bandura. Menurut (Bandura 1997 dalam Ariani, 2011) efikasi diri sebagai keyakinan individu akan kemampuannya untuk mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan. Efikasi diri membantu seseorang dalam menentukan pilihan, usaha untuk maju, serta kegigihan dan ketekunan dalam mempertahankan tugas-tugas yang mencakup kehidupan mereka. Efikasi diri memberikan dampak positif terhadappeningkatan perawatan diri pasien diabetes tipe II terutama dengan pengetahuan yang baik, dukungan keluarga dan motivasi dalam diri pasien. Efikasi diri pada proses motivasional merupakan kemampuan diri sendiri dan melakukan perilaku yang mempunyai tujuan didasari oleh aktifitas kognitif. Berdasarkan teori motivasi pada efikasi diri, perilaku atau tindakan masa lalu berpengaruh terhadap motivasi seseorang, dimana seseorang juga dapat termotivasi oleh harapan yang diinginkannya.

Pada penelitian Ariani (2011) didapatkan data penelitian menunjukkan sebagaian besar (76,4%) responden memiliki motivasi yang kurang dalam perawatan diabetes. Namun, pada penelitian Kusuma (2013) memiliki hasil yang berbeda, dimana lebih dari 50% responden memiliki motivasi yang baik. Winahyu, et al., (2016) juga melakukan penelitian yang sama dimana hasil

(4)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 penelitian didapatkan bahwa sebagian

besar responden mempunyai motivasi baik sebanyak 71.2% dan responden memiliki efikasi diri baik sebanyak 63.6%.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Shigaki et al., (2010) tentang motivasi dan managemen diri diabetes menunjukkan hasil bahwa individu yang memiliki motivasi yang tinggi akan memiliki frekuensi perawatan diri yang baik terutama untuk diet dan pemeriksaan kadar gula darah. Penelitian tersebut merekomendasikan perlunya dukungan dari semua pihak untuk selalu memotivasi pasien agar terjadi peningkatan manajemen perawatan diri. Paparan hasil penelitian diatas memberikan gambaran tantangan yang harus dihadapi oleh tenaga kesehatan khususnya perawatyang berperan sebagai edukator dan pemberi pelayanan keperawatan untuk membantu meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien diabetes.

Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, memberikan gambaran bahwa motivasi merupakan faktor pencetus dalam perawatan diri pasien diabetes tipe II (Winahyu, et al., 2016). Perawatan diri pasien diabetes sangat mempengaruhi bagaimana proses penyembuhan dan kualitas hidup pasien secara mandiri. Ini menerangkan bahwa motivasi dan efikasi diri diperlukan bagi pasien diabetes tipe II untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam mengelola penyakitnya (Purwanti, 2014). Motivasi yang tinggi dalam penerapan efikasi diri pada pasien diabetes tipe II akan berdampak pada peningkatan perawatan diri. Ini juga menjelaskan bahwa pentingnya motivasi pada efikasi diri, karena motivasi yang tinggi akan dapat meningkatkan efikasi diri pasien Diabetes Mellitus tipe II dalam perawatan dirinya (Da Silva, 2003).

Hasil wawancara peneliti dengan perawat pemegang program diabetes di RSUD Cideres, bahwa program pengendalian Diabetes Mellitus sudah diselengarakan seperti penyuluhan terapi kegiatan ini jarang diikuti oleh pasien diabetes, sehingga pasien tidak mendapatkan program pengendalian secara maksimal. Ini juga menunjukkan sedikitnya minat dan motivasi penderita Diabetes Mellitus pada RSUD Cideres. Pada umumnya pasien kontrol bila ada keluhan dan obat habis, dan sebagian besar tidak melakukan kontrol.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 10 orang pasien Diabetes Mellitus di RSUD Cideres tanggal 26 Februari 2018, di dapatkan semua pasien Diabetes Mellitus mengatakan memiliki motivasi yang kurang dan kurang yakin akan kemampuannya untuk melakukan perawatan diri seperti pemeriksaan kadar glukosa darah mandiri, pengontrolan diet, olahraga dan perawatan umum terkait penyakitnya. Dari 10 orang yang di wawancari terkait alasan memotivasi untuk melakukan perawatan diri, 5 orang mengatakan melakukan perawatan diri terkait penyakit diabetes karena ingin tetap sehat meskipun telah menderita penyakit diabetes. 2 orang lainnya mengatakan tidak mampu melakukan perawatan diri yang sesuai karena tidak memiliki pengetahuan mengenai penyakit diabetes dan 3 orang lainnya mengatakan melakukan pengobatan terkait penyakit jika sudah merasa sakit dan butuh pengobatan dari dokter.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka peneliti menetapkan rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan motivasi dengan efikasi diri pada pasien Diabetes Mellitus tipe II di RSUD Cideres”

(5)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini, jenis penelitian yang digunakan adalah analitik kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional yaitu peneliti melakukan pengukuran atau penelitian dalam satu waktu. Tujuan spesifik penelitian cross-sectional adalah untuk mendeskripsikan fenomena atau hubungan berbagai fenomena atau hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dalam satu waktu/sesaat (Sastroasmoro & Ismail, 2010). Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan motivasi dengan efikasi diri pada pasien diabetes melitus tipe II di RSUD Cideres.

Populasi penelitian ini adalah seluruh penderita diabetes di RSUD

Cideres. Berdasarkan data 12 bulan (Januari-Desember 2017) terakhir, tercatat rata-rata pasien adalah 3507 orang pasien diabetes.

Untuk sampel dibulatkan menjadi 97 sampel. Pengambilan sampel menggunakan metode nonprobability sampling dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel yang didasarkan atas pertimbangan dan sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Lokasi penelitian bertempat di RSUD Cideres Kabupaten Majalengka. Adapun waktu penelitiannya dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2018.

HASIL PENELITIAN

1. Gambaran umum penelitian

Pengumpulan data penelitian dilakukan di RSUD Cideres saat dilaksanakan program senam diabetes setiap Selasa dan Kamis dari tanggal 31 Mei sampai dengan 29 Juni 2018. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan metode non probability sampling dengan teknik purposive sampling sebanyak 97 orang penderita Diabetes Mellitus Tipe II. Penelitian ini dilakukan dengan cara wawancara

terpimpin menggunakan kuesioner secara langsung kepada responden. Sebelumnya respoden diberikan penjelasan tentang tujuan penelitian. Data yang telah terkumpul dibagi menjadi 3 bagian yaitu karakteristik responden, data motivasi dan efikasi diri. Setelah pengumpulan data dilakukan, tahap selanjutnya yaitu analisis data menggunakan komputer.

2. Analisa Univariat a. Karakteristik Responden

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden di RSUD Cideres tahun 2018 (n=97)

Variabel Frekuensi Persentase

(f) (%)

Umur

4,1 Dewasa awal (18-40 tahun) 4

60,8 Dewasa madya (41-60 tahun) 59

35,1 Dewasa lanjut ( > 60 tahun ) 34

(6)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 Jenis Kelamin 43 44,3 Laki-laki 54 55,7 Perempuan Pendidikan Tidak Sekolah 14 14,4 SD 20 20,6 SMP 34 35,1 SMA 22 22,7 Perguruan Tinggi 7 7,2 Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga 37 38,1

Petani/pedagang/buruh 48 49,5 PNS/TNI/POLRI 7 7,2 Tidak Bekerja 5 5,2 Status Pernikahan Menikah 75 77,3 Tidak Menikah 1 1,0 Janda/duda 21 21,6 Lama Terdiagnosa DM 1 – 4 tahun 55 56,7 5 -8 tahun 39 40,2 >8 tahun 3 3,1

Karakteristik responden yang didapatkan dari penelitian ini adalah lebih dari separuh responden berumur berada dalam rentang umur 41-60 tahun yaitu sebanyak 59 orang (60,8%), dengan rata-rata umur responden 56,39 tahun. Jenis kelamin responden mayoritas adalah perempuan, sebanyak 54 orang (55,7%),

dengan pendidikan terakhir responden mayoritas adalah SMA sebanyak 34 orang (35,1%), mayoritas pekerjaan responden adalah petani/pedagang/buruh sebanyak 48 orang (49,5%), dan mayoritas responden terdiagnosa DM 1-4 tahun yaitu sebanyak 55 orang (56,7

b. Motivasi Diri

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Motivasi di RSUD Cideres tahun 2018

Variabel Mean Minimum Maximum SD N

(7)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 14 Oktober 2018 58

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata 17 pernyataan terkait motivasi yang di miliki oleh pasien DM Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018

adalah 54,8763 (SD ±3,41033). Responden memiliki skor motivasi pada rentang minimum 48 dan maksimum 64

c. Efikasi Diri

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Efikasi Diri di RSUD Cideres tahun 2018

Variabel Mean Minimum Maximum SD N

Efikasi Diri 162,4433 135 182 10,35914 121

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa nilai rata-rata dari 20 pertanyaan tentang efikasi diri pada pasien DM Tipe II di

RSUD Cideres tahun 2018 adalah 162,4433 (SD ± 10,35914) dengan nilai minimum 135 dan maksimum 182

3. Uji Normalitas

Tabel 4.4 Hasil Uji Normalitas Motivasi, Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018

Variabel Kolmogorov-Smirnov Statistic Df Sig. Motivasi 1,008 97 97 0,262 Efikasi Diri

Dari tabel diatas didapatkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov Menghasilkan nilai (p) motivasi dan efikasi diri sebesar 0,262 maka dapat

disimpulkan bahwa variabel memiliki distribusi data normal maka uji yang di gunakan adalah uji korelasi pearson product moment.

4. Analisa Bivariat

Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui arah dan kekuatan hubungan antara variabel independen (motivasi) dengan variabel dependen (efikasi diri).

Hasil analisis bivariat pada penelitian ini, melihat apakah ada hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien DM Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018

Tabel 4.5 Hubungan Motivasi dengan Efikasi Diri pada Pasien DM Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018

Variabel r R2 p (value)

Motivasi

(8)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 14 Oktober 2018 59

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, diperoleh hasil nilai signifikansi sebesar 0,037 (p<0,05) yang menunjukkan bahwa korelasi antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien DM Tipe II di RSUD Cideres adalah bermakna. Nilai koefesien korelasi Pearson ProductMoment sebesar 0,314, dengan arah korelasi positif (+) Hasil uji statistikmenunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi maka semakin

tinggi efikasi diri pada pasien DM Tipe II di RSUD Cideres dengan arah kekuatan lemah. Besarnya koefisien determinan (R square) adalah 0,099. Hal ini menunjukkan bahwa variabel motivasi memberikan sumbangan efektif sebesar 9% terhadap efikasi diri pada pasien DM Tipe II, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

PEMBAHASAN

1. Gambaran motivasi pada pada pasien Diabetes Melitus tipe II di RSUD Cideres

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki motivasi yang baik. Hal ini terlihat dari rata-rata skor yang di dapat oleh responden adalah 54,8763 (±SD 3,41033) . Responden di katakan memiliki tingkat motivasi yang baik jika memiliki skor total ≥54,8763, yaitu sebanyak 54 orang (55,7%) dan responden yang memiliki total skor di bawah tersebut memiliki tingkat motivasi kurang baik yaitu sebanyak 43 orang (44,3%).

Hasil penelitian ini di dukung oleh hasil penelitian Winahyu (2016) yang menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden memiliki motivasi yang baik yaitu sebanyak 47 orang (71,2%) dari total responden. Penelitian Kusuma (2013) menunjukkan hasil serupa, yaitu lebih dari setengah responden memiliki motivasi yang baik (55,5%). Namun, berbeda dengan penelitian sebelumnya, hasil penelitian Oftedal (2011) menunjukkan hanya 21,6% dari total responden memiliki motivasi yang baik selebihnya di pengaruhi oleh faktor lainnya termasuk perbedaan karakteristik responden.

Berdasarkan karakteristik responden, dilihat dari segi umur maka lebih dari setengah responden berada dalam rentang dewasa madya (41-60 tahun) sebanyak 59 orang (60,8%) dimana di antaranya 38 orang responden (64,4%) memiliki motivasi yang baik, dan sebanyak 21 orang responden (35,6%) dalam rentang umur dewasa madya memiliki motivasi yang kurang baik. Data tersebut menjelaskan bahwa lebih dari setengah responden dari penelitian ini berada dalam usia yang masih produktif. Hampir sejalan dengan penelitian ini, Riskesdas (2013) menemukan hasil dimana populasi penderita diabetes melitus tipe II meningkat pada umur > 55-64 tahun, kemudian sedikit menurun pada kelompok usia selanjutnya.Umur mempengaruhi resiko dan kejadian diabetes yang sangat erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin meningkat umur maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa semakin tinggi. Proses menua yang berlangsung setelah usia 30 tahun mengakibatkan perubahan anatomis, fisiologis dan biokimia. Penelitian yang sama sebelumnya di lakukan Ariani (2011) dengan hasil tidak menemukan adanya hubungan signifikan antara umur dengan

(9)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 motivasi pada pasien DM Tipe II hal

ini disebabkan karena ada perbedaan faktor eksternal terutama lingkungan.

Berdasarkan jenis kelamin dari responden penelitian ini menemukan 54 orang ( 55,7%) responden adalah perempuan dan 43 orang (44,3%) lainnya berjenis kelamin laki-laki. Berdasarkan data tersebut, menemukan mayoritas responden dengan jenis kelamin perempuan memiliki motivasi yang baik sebanyak 32 orang (58,2%), selebihnya 23 orang (41,8%) pada laki-laki. Hasil ini sesuai dengan penelitian Irawan (2010) yang menyatakan bahwa kejadian DM tipe II yang lebih banyak terjadi pada wanita dikarenakan wanita memiliki peluang peningkatan masa tubuh yang lebih besar dari laki-laki. Peningkatan massa tubuh pada wanita dapat menyebabkan kadar gula darah tidak terkontrol.

Berdasarkan tingkat pendidikan ditemukan mayoritas responden memiliki pendidikan terakhir berada pada tingkat SMP yaitu sebanyak 34 orang (35,1%) dimana sebanyak 23 orang (67,6%) diantaranya memiliki motivasi yang baik, sedangkan 11 orang (32,4%) lainnya memiliki motivasi kurang baik. Pada penelitian Risty (2017) dengan judul penelitian yang sama, menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pendidikan terakhir yaitu SD (Sekolah Dasar) sebanyak 20 responden (38,5%). Menurut Zurmeli (2014) pasien yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan lebih baik yang memungkinkan responden dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah kesehatannya. Pengetahuan tinggi yang di miliki oleh individu akan mampu memotivasi untuk melakukan suatu tindakan jika sesuai dengan tujuan, rencana dan hasil yang

diharapkan (Bandura, 1997 dalam Kusuma, 2013).

Berdasarkan pekerjaan, responden memiliki mayoritas

pekerjaan sebagai

petani/pedagang/buruh sebanyak 48 orang (49,5%) dan lebih dari setengah data tersebut yaitu 29 orang (60,4%) memiliki motivasi yang baik. Pada penelitian Albikawi (2015) menunjukkan lebih dari setengah respondennya yaitu 63,79 % tidak bekerja dan memiliki motivasi yang kurang baik. Sedangkan pada penelitian Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher (2012) menemukan bahwa 39% dari responden memiliki pekerjaan. Status pekerjaan berhubungan dengan aktualisasi diri seseorang dan mendorong seseorang lebih percaya diri dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan tugasnya. Namun, responden yang bekerja kemungkinan besar memiliki kegiatan yang padat dan mengalami stress yang tinggi terhadap efikasi dirinya dalam pengelolaan penyakit diabetesnya. Responden yang tidak bekerja lebih memiliki banyak waktu untuk mengelola penyakit diabetesnya (Ariani, 2011).

Berdasarkan status pernikahan dari karakteristik responden menunjukkan hasil 75 orang responden (77,3%) memiliki status pernikahan yaitu menikah, 1 orang responden (1,0%) tidak menikah dan 21 orang responden (21,6%) berstatus janda/duda. Penelitian ini juga menunjukkan sebanyak 47 orang (62,7%) responden yang menikah memiliki motivasi yang baik, sedangkan 28 orang (37,3%) responden yang berstatus menikah memiliki motivasi kurang baik. Penelitian Albikawi (2015) menemukan karakteristik responden dari penelitiannya terkait self-care management terhadap pasien DM

(10)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 Tipe II yaitu sebanyak

(71,14%)responden berstatus menikah. Penelitian lain yang meneliti terkait efikasi diri dan motivasi pada pasien DM Tipe II yang dilakukan oleh Miller (2014), menunjukkan 37,5% responden memiliki status pernikahan tidak menikah.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan berdasarkan lama terdiagnosa DM yaitu 1 – 4 tahun sebanyak 55 orang responden (56,7%), dimana 35 orang responden (63,6%) memiliki motivasi baik dan 20 orang responden (36,4%) memiliki motivasi kurang baik. Selebihnya lama terdiagnosa DM pada kategori 5 - 8 tahun, yaitu sebanyak 39 responden (40,2%) , dimana 19 orang responden (48,7%) memiliki motivasi yang baik dan 20 orang responden (51,3%) memiliki motivasi yang kurang baik. Sisanya 3 orang responden (3,1%) berada pada kategori lebih dari 8 tahun lama terdiagnosa DM, dimana 1 orang responden (33,3%) memiliki motivasi yang baik dan 2 orang responden (66,7%) memiliki motivasi yang kurang baik. Sehingga lebih dari setengah responden berdasarkan karakteristik lama terdiagnosa DM memiliki motivasi yang baik yaitu sebanyak 55 orang responden (52 %) dan sisanya 58 orang responden (48%) memiliki motivasi kurang baik.

Dari hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa beberapa responden masih memiliki motivasi yang kurang terhadap perawatan diabetes disebabkan oleh kurangnya pendidikan kesehatan dari tenaga kesehatan terkait untuk meningkatkan kesadaran diri responden tentang penyakit diabetes, penatalaksanaannya dan komplikasi yang terjadi akibat perawatan yang tidak baik. Akibatnya responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang perawatan diri dan

tidak mengetahui dengan jelas tentang tujuan perawatan diabetes serta hasil yang diharapkan dari perawatan tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut juga didapatkan bahwa responden datang menjalani pengobatan dan pemeriksaan kadar gula darah karena atas kesadaran sendiri dan merupakan rutinitas untuk berobat. Jika ada suatu hal atau kegiatan yang menghalangi responden untuk melakukan perawatan diri atau kontrol berobat pasien kurang merasa bersalah karena bisa diganti pada hari lain.

2. Gambaran Efikasi diri pada pasien Diabetes Melitus tipe II di RSUD Cideres

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden memiliki efikasi diri baik. Hal ini terlihat dari rata-rata skor yang didapat oleh responden adalah 162,4433 (±10,35914). Responden dikatakan memiliki tingkat efikasi diri baik jika memiliki skor total >164,0000, yaitu sebanyak 54 orang (55,7%) dan responden yang memiliki skor di bawah nilai rata-rata tersebut memiliki efikasi diri yang kurang baik yaitu sebanyak 43 orang (44,3%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Ariani (2011) yang menunjukkan lebih dari setengah responden memiliki efikasi diri yang baik sebanyak 58 orang responden (52,7%) dan efikasi diri yang kurang baik sebanyak 52 orang responden (47,3%). Begitu juga dengan hasil penelitian Astuti (2014) menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat efikasi diri sedang sebanyak 53 orang responden (57,6%), responden yang memiliki tingkat efikasi diri tinggi sebanyak 37 orang responden (40,2%) dan responden dengan efikasi diri rendah sebanyak 2 orang

(11)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 responden (2,2%). Sedangkan hasil

penelitian Aditama, Promono & Rahayujati (2011) menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki tingkat efikasi diri rendah sebanyak 40 orang (71,43%) dan yang memiliki tingkat efikasi diri tinggi sebanyak 16 orang (28,57%).

Konsep efikasi diri merupakan keyakinan tentang kemampuan individu untuk menghasilkan tingkat kinerja yang telah ditetapkan, yang memiliki pengaruh atas peristiwa dalam kehidupan mereka (Bandura, 1994 dalam Ariani 2011). Individu dengan tingkat efikasi diri yang tinggi memperkirakan akan sukses dalam pencapaian tujuan, dan individu dengan tingkat efikasi diri rendah akan meragukan kemampuannya untuk mencapai tujuan (Hunt et al.,2012). Seseorang dengan efikasi diri yang cukup akan merasa percaya dalam kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu, baik dalam hal minum obat dengan benar, mengatur pola makan sesuai anjuran, mencegah hipoglikemia atau berolah raga dengan tepat (Beckerle & Lavin, 2013).

Berdasarkan karakteristik responden dari segi usia diketahui bahwa lebih dari setengah responden yaitu 59 orang (60,8%) pasien Diabetes Mellitus Tipe II yang berada di RSUD Cideres merupakan dewasa madya (41-60 tahun), lebih dari setengah responden memiliki efikasi diri baik dan 34 orang responden (57,6%) dari usia dewasa madya (41-60 tahun) memiliki efikasi diri baik . Sisanya berada pada usia > 60 tahun, hal ini dapat dipengaruhi oleh faktor penuaan dan penurunan kemampuan fisik dan mental pasien. Menurut Jafari (2015) tingkat efikasi diri terbaik adalah pada usia dibawah 30 tahun. Selain

itu efikasi pada mereka yang berusia lebih dari 60 tahun lebih rendah dari kelompok lainnya. Akan tetapi, penelitian lain mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan efikasi diri seseorang. Seperti yang disimpulkan Balaga (2012) dalam penelitiannya bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia dengan efikasi diri.

Berdasarkan jenis kelamin, lebih dari sebagian pasien diabetes Tipe II di RSUD Cideres berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 54 orang (55,7%), dimana lebih dari sebagian pasien perempuan tersebut (53,7%) memiliki efikasi diri baik. Penelitian DePalma (2015) menyatakan lebih dari sebagian pasien diabetes Tipe II terkait penelitiannya adalah berjenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 98 orang (84,5%%).Berbeda dengan hasil penelitian Geens (2014) dimana 51,52% responden berjenis kelamin laki-laki. Selain itu penelitian Kim., et al (2013) menemukan hasil 78 orang responden (61,6%) berjenis kelamin laki-laki. Namun menurut Balaga (2012) dalam penelitiannya menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dengan efikasi diri yang dimilikinya.

Berdasarkan tingkat pendidikan, kurang dari setengah pasien diabetes Tipe II mempunyai pendidikan terakhir SMP yaitu sebanyak 34 orang responden (35,1%), dimana 24 orang responden (70,6%) memiliki efikasi diri yang baik, sementara 10 orang responden (29,4%) memiliki efikasi diri kurang baik. Menurut Zurmeli (2014) pasien yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan lebih baik yang memungkinkan responden dapat mengontrol dirinya dalam mengatasi masalah

(12)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 kesehatannya. Dalam hal ini efikasi

diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari (Judge dikutip dari Ghufron dan Wita, 2012). Dengan demikian, efikasi diri yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termasuk didalamnya perkiraan terhadap tantangan yang akan dihadapi termasuk dalam pembatasan diet, pembatasan cairan dan manajemen diri lainnya (Judge dikutip dari Ghufron & Wita, 2012).

Berdasarkan perkerjaan, terdapat 48 orang responden (49,5%) memiliki pekerjaan sebagai petani/pedagang/buruh. Dimana 26 orang (54,2%) memiliki efikasi diri baik dan 22 orang (45,8%) memiliki efikasi diri kurang baik. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan Riset Kesehatan Dasar, Kemnterian Republik Indonesia (Riskesdas, 2013) proporsi pekerjaan penderita diabetes tertinggi adalah tidak bekerja. Pada penelitian lain (Ratnawati, 2016) juga menemukan hal serupa, dimana 62,2% tidak bekerja dan sisanya 37,8% bekerja. Perbedaan hasil penelitian ini di sebakkan beberapa faktor dimana penyebaran dan lokasi pengambilan penelitian merupakan salah satu faktor penentu.

Berdasarkan status pernikahan terdapat 75 orang responden (77,3%) berstatus menikah selebihnya 1 orang responden (1,0%) tidak menikah, dan 21 orang responden (21,6%) berstatus janda/duda. Melihat hasil penelitian dimana 51 orang responden (52,6%) berdasarkan status pernikahannya memiliki efikasi diri baik dan 46 orang responden (47,4%) memiliki

efikasi diri kurang baik. Pada penelitian Al-Khawaldeh, Al-Hassan & Froelicher (2012) yang meneliti terkait efikasi diri, manajemen diri dan kontrol glukosa pada pasien diabetes Tipe II usia dewasa menemukan 89,7% responden berstatus menikah. Pada penelitian Miller et al., (2014) dengan judul penelitian Efikasi pada kelompok terapi nutrisi dan wawancara motivasi antara pasien obesitas dan pasien DM Tipe II menunjukkan hasil serupa dimana 37,5% responden berstatus single. Peneliti berpendapat ini di sebabkan usia rata-rata pasien diabetes Tipe II berada usia dewasa madya dimana sudah banyak memiliki pasangan hidup. Hasil penelitianini didukung oleh penelitian Wu et al., (2006) yang menyatakan bahwaefikasi diri responden tidak berhubungan dengan keberadaanpasangan hidup.

Dilihat dari lamanya pasien terdiagnosa diabetes, hampir dari setengah responden yaitu sebanyak 55 orang responden (44,6%) telah terdiagnosa diabetes selama 1 – 4 tahun, dimana 30 orang responden (54,5%) memiliki efikasi diri baik dan 25 orang responden (45,5%) lainnya memiliki efikasi diri kurang baik. Sedangkan 39 orang responden (40,2%) telah menderita diabetes selama 5 – 8 tahun, dimana 19 orang (48,7%) memiliki efikasi diri baik dan 20 orang (51,3%) memiliki efikasi diri kurang baik. Sisanya sebanyak 3 orang (3,1%) telah menderita DM lebih dari 8 tahun. Sehingga berdasarkan lama terdiagnosa DM, terdapat 51 responden memiliki efikasi diri baik dan 46 orang memiliki efikasi diri kurang baik. Pengalaman selama sakit dan mekanisme koping dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam melakukan aktivitas dam melakukan perawatan dirinya

(13)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 (Wu et al., 2006). Sepanjang waktu

seiring dengan lamanya penyakit yang dialami, pasien dapat belajar bagaimana seharusnya melakukan pengelolaan penyakitnya. Pengalaman langsung pasien merupakan sumber utama terbentuknya efikasi diri (Bandura, 1997). Selain itu, pengalaman orang lain merupakan sumber efikasi kedua setelah pengalaman pribadi. Dengan berjalannya waktu, pasien juga dapat belajar dari pengalaman orang lain bagaimana mengelola penyakit dan mempertahankan koping yang adaptif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, mayoritas responden memiliki sumber efikasi diri dari pengalaman langsung dimana ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk diri yang kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung menginginkan hasil yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan. Beberapa kesulitan dan kegagalan di perlukan untuk membentuk individu yang kuat dan mengajarkan manusia bahwa kesuksesan membutuhkan suatu usaha. Selain dari pengalaman langsung dan pencapaian prestasi, beberapa responden juga memiliki sumber efikasi diri dari pengalaman orang lain, persuasi verbal dan kondisi fisik dan emosional.

Berdasarkan hasil penelitian, proses pembentukan efikasi diri responden dapat di simpulkan dengan mayoritas berdasarkan keyakinan responden akan kemampuannya akan mempengaruhi seberapa besar stress atau depresi yang dapat diatasi, responden yang percaya bahwa dia dapat mengendalikan ancaman/masalah maka dia tidak akan mengalami gangguan pola pikir, namun responden yang percaya bahwa dia tidak dapat mengatasi

ancaman maka dia akan mengalami kecemasan yang tinggi. Efikasi diri untuk mengontrol proses berpikir merupakan faktor kunci dalam mengatur pikiran akibat stress dan depresi.

Peneliti berpendapat bahwa tingkat efikasi diri baik pada responden menunjukkan bahwa responden telah memiliki keyakinan diri yang baik dan mampu berpartisipasi aktif dalam melakukan hal yang bermanfaat untuk kesehatannya. Sebaliknya, individu yang meragukan kemampuannya sendiri akan menghindari tugas-tugas sulit, memiliki aspirasi rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang mereka pilih. Ketika di hadapkan dengan tugas-tugas yang sulit, mereka memikirkan kekurangan pribadi dan melemahkab upayanya dalam menghadapi tantangan (Sturt, Hearnshaw & Wakelin, 2010).

3. Hubungan Motivasi dengan Efikasi diri pada pasien Diabetes Melitus tipe II

Berdasarkan hasil analisa bivariat dengan menggunakan uji korelasi Person Product Moment didapatkan hasil p = 0,002 (p < 0,05) dengan nilai korelasi (r = 0,314) dan arah positif (+). Bahwa secara statistik terdapat hubungan yang bermakna antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien diabetes Tipe II, dengan kekuatan korelasi lemah dan arah positif, dimana semakin tinggi motivasi seseorang, maka semakin tinggi efikasi diripada pasien diabetes Tipe II. Kontribusi motivasi terhadap efikasi diri pada pasien diabetes Tipe II dilihat dari R2 yaitu 0,099 yang menunjukkan bahwa motivasi mempengaruhi efikasi diri pada pasien diabetes Tipe II sebesar 9%.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Kusuma (2013)

(14)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 yang menunjukkan bahwa ada

hubungan antara motivasi dengan efikasi diri dengan nilai p = 0,000 ( p < 0,005) dimana responden yang memiliki motivasi diri baik memiliki peluang 4,315 kali untuk memiliki efikasi diri baik di banding dengan responden yang memiliki motivasi yang kurang baik. Penelitian Purwanti (2014) juga didapatkan bahwa sebagian besar responden mempunyai motivasi dan efikasi diri yang baik, serta terdapat hubungan antara motivasi dan efikasi diri pada pasien DM Tipe II dalam melakukan perawatan kaki.

Berbeda dengan 2 hasil penelitian di atas, penelitian Winahyu (2016) menunjukkan hasil sebagian besar responden mempunyai motivasi baik sebanyak 71.2% dan responden memiliki efikasi diri baik sebanyak 63.6%. Hasil analisis bivariat didapatkan tidak ada hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pasien diabetes mellitus Tipe II dengan p-value 0.281. Hasil penelitian Winahyu (2016) tersebut tidak sejalan dengan penelitian ini di sebabkan adanya perbedaan karakteristik dan demografi dari responden.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi akan menunjukkan hasil yang positif dalam pengelolaan diabetes seperti peningkatan partisipasi dalam program latihan fisik dan melaporkan gejala(Talbot &Nouwen, 1999 dalam Wu, 2007). Peningkatan efikasi diri berhubungan dengan peningkatan kepatuhan terhadap pengobatan, perilaku promosi kesehatan dan menurunkan gejala fisik dan psikologis. Pada penelitian ini rata-rata pasien yang memiliki efikasi diri baik (51,2%). Selain itu, hasil penelitian ini mengungkapkan, masih terdapat pasien dengan efikasi diri

yang kurang baik yaitu sebesar (48,8%). Hal ini mungkin dikarenakan pada umumnya pasien tidak dapat menyesuaikan perawatan DM pada situasi yang baru.

Motivasi adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan tertentu guna untuk mencapai suatu tujuan (Marquis & Huston, 2006). Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan prilaku yang diarahkan untuk mencapai kepuasan (Swansburg & Swansburg, 1999). Motivasi merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh terhadap efikasi diri pasien. Motivasi yang tinggi dapat meningkatkan efikasi diri pasien diabetes Tipe II dalam perawatan diri (Da Silva, 2003). Motivasi merupakan prediktor terhadap kepatuhan dalam regimen terapi dan kontrol glikemik (Butler, 2002). Menurut teori sosial kognitif (Bandura, 1997), motivasi manusia didasarkan pada kognitif dan melalui proses pemikiran yang didasarkan pada pengetahuan yang dimiliki olehindividu. Individu akan termotivasi untuk melakukan suatu tindakan jika sesuai dengan tujuan, rencana dan hasil yang diharapkan.

Motivasi dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam melakukan manajemen diri pada perawatan diri pasien diabetes Tipe II sehingga dapat meningkatkan efikasi diri pasien tersebut. Pentingnya efikasi diri yang dapat dilakukakan oleh pasien disebabkan karena keyakinan yang dimiliki individu dapat menghasilkan tingkat kinerja yang telah ditetapkan dan memiliki pengaruh atas peristiwa dalam kehidupan mereka (Bandura, 1994 dalam Ariani, 2011).

Menurut Balaga (2012), efikasi diri mempengaruhi keputusan

(15)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 individu untuk melakukan tindakan

perawatan diri. Selain itu dikemukakan bahwa efikasi diri bertindak sebagai mediator antara perubahan dalam kualitas hidup dan fungsi fisiologis pasien. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Kara & Alberto (2006) menyebutkan bahwa efikasi diri memiliki hubungan positif dalam perilaku perawatan diri yang akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

Sebagian besar individu akan berpikir dahulu sebelum melakukan sesesuatu tindakan, seseorang dengan efikasi diri yang tinggi akan cenderung berperilaku dengan yang diharapkan dan memiliki komitmen untuk mempertahankan perilaku tersebut. Disamping itu, kemampuan seseorang untuk mempengaruhi diri sendiri dengan mengevaluasi penampilan pribadinya merupakan sumber utama motivasi dan pengaturan dirinya.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Shigaki et al., (2010) tentang motivasi dan managemen diri diabetes menunjukkan hasil bahwa individu yang memiliki motivasi yang tinggi akan memiliki frekuensi perawatan diri yang baik terutama untuk diet dan pemeriksaan kadar gula darah. Penelitian tersebut merekomendasikan

perlunya dukungan dari semua pihak untuk selalu memotivasi pasien agar terjadi peningkatan manajemen perawatan diri.

Hasil penelitian ini semakin menunjukan bahwa motivasi merupakan salah satu faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan efikasi diri pada pasien diabetes Tipe II. Dengan adanya motivasi akan meningkatkan perilaku perawatan diri pasien diabetes Tipe II tersebut. Dimana menurut Bandura (dikutip dari Gedengurah, 2013) menyatakan efikasi diri dapat menjadi prediksi terhadap kualitas hidup seseorang baik jangka panjang ataupun jangka pendek. Selain itu Luszcynska (2005) menyatakan bahwa efikasi diri dapat memprediksi kepatuhan dalam regimen pengobatan, perilaku kesehatan dan aktivitas fisik, manajemen nyeri, serta manajemen penyakit.

Upaya untuk dapat meningkatkan motivasi pasien agar mampu meningkatkan efikasi dirinya, perawat sebagai yang paling banyak berinteraksi langsung dengan pasien harus memahami tentang motivasi pada pasien diabetes Tipe II dengan memberikan edukasi kepada pasien sehingga dapat meningkatkan efikasi diri pasien tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan tentang hubungan motivasi dengan efikasi diri pada pasien Diabetes Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Rata-rata motivasi pada pasien Diabetes Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018 adalah 54,8763

2. Rata-rata efikasi diri pada pasien Diabetes Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018 adalah 162,4433

3. Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien Diabetes Mellitus Tipe II di RSUD Cideres tahun 2018 (p=0,002) dengan memiliki kekuatan hubungan sedang (r = 0,314) dengan korelasi positif. Artinya semakin tinggi motivasi yang dimiliki oleh

(16)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 pasien Diabetes MellitusTipe II maka

semakin tinggi efikasi dirinya. Saran

Terkait dengan hasil penelitian, ada beberapa hal yang dapat disarankan demi keperluan pengembangan hasil penelitian hubungan motivasi dengan efikasi diri pada pasien Diabetes MellitusTipe II di RSUD Cideres adalah sebagai berikut:

1. Saran Teoritis

Motivasi dan efikasi diri pada pasien diabetes sangat diperlukan untuk pengelolan dan meningkatkan perawatan diri secara mandiri (Ariani, 2011). Pada penelitian-penelitian sebelumnya motivasi sangatlah berperan dalam efikasi diri pasien diabetes tipe II meskipun akan di pengaruhi oleh faktor lainnya baik eksternal maupun internal.

Oleh karena itu, dengan penelitian ini diharapkan bisa menjadi barometer bagi semua tenaga kesehatan terkait untuk meningkatkan dan menerapkan ilmu tentang pentingnya motivasi diri untuk peningkatan efikasi diri pada pasien diabetes mellitus tipe II

2. Saran Praktis

a. Bagi Penderita Diabetes Mellitus Bagi penderita diharapkan untuk selalu memiliki motivasi yang tinggi dalam dirinya supaya dapat meningkatkan semangat dan rasa optimistis terkait dengan penyakit yang dideritanya.

b. Bagi Masyarakat

Pada masyarakat diharapkan dapat memahami bagaimana hubungan motivasi dengan efikasi diri sebagai keyakinan diri dalam mengatur pola kehidupan dan

dalam menunjang

mempertahankan kesehatan. Penelitian ini diharapkan menyadarkan masyarakat agar lebih memperhatikan diri sendiri dalam meningkatkan kesehatan terutama memotivasi diri sendiri

dalam meningkatkan kesehatan diri.

c. Bagi Pelayanan Keperawatan Pada instansi pelayanan keperawatan baik rumah sakit maupun puskesmas, diharapkan dapat memberikan pelatihan khusus pada calon perawat edukator terkait Diabetes, dan membentuk sebuah tim edukasi kesehatan dan konsultan khusus. Dimana tim tersebut terdiri dari berbagai konsultan khusus Diabetes dari berbagai disiplin baik dokter, perawat, ahli gizi, ahli fisioterapi dan tenaga relawan, yang masing-masing anggota tim memiliki peran dan fungsi sesuai keahliannya yang dibutuhkan oleh pasien Diabetes, serta bekerjasama dengan perawat puskemas atau komunitas untuk melanjutkan program penatalaksanaan pada pasien DiabetesTipe II di rumah.

d. Bagi Penelitian Keperawatan Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk dapat

mengembangkan dan

mempublikasikan instrumen penelitian yang baku terkait motivasi dan efiksi diri Diabetes yang lebih sesuai dengan kondisi dan karakteristik populasi penderita DiabetesTipe II di Indonesia. Kemudian penelitian selanjutnya dapat melakukan berbagai pengembangan terkait motivasi dan efikasi diri pada pasien Diabetes dengan lebih menggali informasi mengenai penerapan manajemen diri Diabetes, baik dari penerapan diet, latihan fisik, pemantauan glukosa darah, terapi farmakologi dan pendidikan kesehatan.

e. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai acuan untuk melakukan

(17)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 penelitian terkait. Diharapkan

peneliti selanjutnya dapat meneliti dan mencari faktor-faktor lain

yang dapat mempengaruhi efikasi diri pada pasien Diabetes MellitusTipe II selain motivasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, W., Pramono, B., & Rahayujati, B. (2011). The relationship of care, self-efficacy, and social suport with glycemic control (HbA1c) among type 2 diabetes melitus patients in Banyudono 1 and Ngemplak Public Health Centres in Boyolali District Central Java Province. Thesis Summary.

Diunduh pada tanggal 29 Februari 2018 dari

http://phgmu.org/test/wisuda/pub likasi/online/foto_berita/wiwitadi tama.pd f

Albikawi, Z.B., & Abuadas, M. (2015). Diabetes self care management behaviors among Jordanian type two diabetes patients. American International Journal of Contemporary Research. Di unduh tanggal 3 Maret 2018 pada http://proquest.com

Al-Khawadeh, O.A.,Al-Hassan, M.A., Froelicher, E. S. (2012). Self-efficacy, self management, and glycemic control in adults with type 2 diabetes melitus. Journal of Diabetes and Its Complications. Di unduh 3 Maret

2018 pada

http:proquest.umi.com/pqdweb

American Diabetes Association (ADA). (2017). Standars of Medical Care in Diabetes-2017. The Journal of Clinical and Applied research and Education. Vomume 40, Suplement 1. Diakses pada tanggal 4 Maret 2018

American Association of Diabetes Educators. (2010). Learn About Aade's Seven

Self-Care Behaviors. [serial online].

Diakses dari http://www.diabeteseducator.org/ ProfessionalResources/AADE7/d iabetese ducato rtoolbox.html.Diakses pada tanggal 10 Maret 2018

Ariani, Y. (2011). Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 dalam Konteks Asuhan Keperawatan di RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis. Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia

Astuti,N. (2014). Efikasi Diri dan Manajemen Diri pada Pasien Diabetes Tipe 2. Tesis. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara

Balaga, P. A. G. (2012). Self-efficacy and self care management outcome of chronic renal failure patients.International Peer Reviewed Journal. 2012; 2: 111-129.

Bandura, A. (1997). Encyclopedia Of Human Behavior. Di unduh pada tanggal 30 Februari 2018 dari https://www.uky.edu/~eushe2/Ba ndura/BanEncy.html.

Beckerle, C. M., & Lavin, M.A. (2013). Association of self-efficacy and self-care with glycemic control in

(18)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 diabetes. Diabetes Spectrum, 26

(3), 172-178. Di undul tanggal 27 Februari 2018 dari doi:10.2337/diaspect.26.3.172.

Black, J.M. & Hawk, J. H. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Buku 2 Edisi 8.

Butler, H.A. (2002). Motivation: The role in diabetes self-management in older adults. Diunduh

padatanggal 13 Juli 2013 dari http://proquest.com/pqdweb

Dahlan, M. S. (2013). Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta : Salemba Medika

Damayanti. (2015). Diabetes melitus dan penatalaksanaan keperawatan. Jogjakarta: Nuha Medika

DePalma, M.T., Trahan, L.H., Eliza, J.M., Wagner, A.E. (2015). The relationship between diabetes efficacy and diabetes self-care in americans and alaska natives. NCBI. PulMed.gov

Depkes RI (2013). Diabetes melitus penyebab kematian nomor 6 di dunia: kemenkes tawarkan solusi cerdik melalui posbindu. Di unduh 5 Maret 2018 dari http://www.depkes.go.id/index.p hp?vw=2&id=2383

Dharma, K. K. (2011). Metode penelitian keperawatan. Jakarta: Trans Info Media

Dochterman,J.M., Butcher, H.K., & Bulechek,G.M.(2008). Nursing intervention classification (NIC).(5 th ed). St.Louis: Mosby

Gedengurah, I.G.K, & Sukmayanti. M. (2013). Efikasi diri pada pasien

diabetes melitus tipe 2. Jurnal Keperawatan Politeknik Kesehatan Denpasar.

Gufron, N. &Wita, R.R. (2012).Teori-teoripsikologi. Yogyakarta: Aruzz Media

Hastono, S.P. (2007). Analisis data kesehatan. Jakarta.:FKM UI.

Hunt, C. W., Wilder. B., Steele, M. M. (2012). Relationships among self-efficacy, social support, social problem solving, and self management in a rural sample living with type 2 diabetes mellitus. Research and Theory for Nursing Practice: An International Journal. Diunduh tanggal 23 Februari 2018 dari http://proquest.com

International Council of Nurses. (2010). Delivering quality, serving communities: Nurses leading chronic care. Switzerland: ICN-International Council of

Nurses. Diunduh pada tanggal 10 April 2017 dari

http://www.icn.ch/publication/20 10

Ismonah (2008). Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi self care management pasien Diabetes Mellitus. Depok: FIK UI. Tesis

Jafari, M., Mannani, R., & Zarea, K. (2015). The association between self-concept and self-efficacy in patients under treatment by hemodialysis. Jundishapur J Chronic Dis Care 4 (3).

Kim, E.K. et al. 2013. Association betwen diabetes related factors and clinical periodontal

(19)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 parameters in type 2 diabetes

mellitus. BMC Oral Health. Di unduh 11 Februari 2018 di http://biomedicentral.com/1472-6831/13/64

Kott, K.B. (2008). Self-efficacy, outcome expectation, self-care behavior and glycosylated hemoglobin level in persons with type 2 diabetes. Diunduh tanggal 1 Maret 2010 dari http://proquest. com/pqdweb

Lemone, P, & Burke .(2008). Medical surgical nursing : Critical thinking in client care.( 4th ed). Pearson Prentice Hall: New Jersey.

Luszczynska, A., Gutiérrez-Doña, B., & Schwarzer, R. (2010). General self-efficacy in various domains of human functioning: Evidence from five countries. International Journal ofPsychology, 40(2), 80-89.

Marquis, B.L., Huston, J.J. (2009). Leadeshep role and management function in nursing : Theory and application. (5th edition). California: Lippincontt Williams and Wilkins.

Mukhid, A. (2009). SELF EFICCACY (Perspektif Teori Kognitif Sosial dan Implikasinya terhadap Pendidikan). Diunduh pada tanggal 30 Februari 2018

Miller, S.T. (2014). Preliminary efficacy of group medical therapy and motivational interviewing among obese african american women with type 2 diabetes: a pilot study. Journal Of Obesity Hindawi Publishing Corporate. Di unduh 3 Maret 2018 dari

http://dx.doi.org/10.1155/201434 5941

Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

Oftedal, B.J. (2011). Motivation for self management among adults with type 2 diabetes. Thesis. Faculty of Social Sciences University of Stavanger. Di unduh tanggal 7

Maret 2018 dari

htt://proquest.com

PERKENI. (2015). Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta. Diakses pada tanggal 12 Maret 2018

Purwanti, L.E. (2014). Hubungan motivasi dnegan efikasi diri pasien DM tipe 2 dalam melakukan perawatan kaki di wilayah kerja puskesmas ponorogo utara. Gaster Vol.11 No.2. Di unduh tanggal 3 Maret 2018

Rendy, C & Margaret. (2012). Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit Dalam. Yogyakarta: Nuha Medika

Ryan, R. (2009). Self-detemination theory and wellbeing. Diunduh tanggal 5 Maret 2018 dari http://www.welldev.org.uk/

Riskesdas. 2013. Diakses tanggal 10 Maret 2018 dari

http://www.depkes.go.id/resourc es/download/general/Hasil%20Ri skesdas %202013.pdf

(20)

JURNAL KAMPUS STIKes YPIB Majalengka # Volume VII No. 15 Februari 2019 Robbins, et al. 2012. Buku Ajar Patologi

Edisi 7, Vol. 2. Jakarta: EGC

Sastroasmoro, S. & Ismael, S. (2010). Dasar-dasar metodologi

penelitian klinis. Edisi 3. Jakarta: Sagung Seto

Shigaki, C., Krusel, R.L., Mehr, D., Sheldon, K.M., Ge, B., Moore, C., and Lemaster, J. (2010). Motivation and diabetes self-management (abstract). Diunduh pada tanggal 7 Maret 2018 dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pub med/20675362

Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8 Vol. 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2002).Buku Ajar KeperawatanMedikalBedah Brunner &Suddarth Volume 2(Ed 8). Jakarta: EGC.

Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., Cheever, K.H. (2008). Texbook of medical surgical nursing. 12th Edition. Philadelphia:Lippincontt Williams & Wilkins.

Smeltzer, S, & Bare. (2010). Brunner & Suddarth’s Textbook of medical surgical nursing. Philadelpia : Lippincot

Soegondo, S.,Soewondo,P, & Subekti,I. (2009). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Suyono, S. (2008) Buku jar ilmu penyakit dalam (Edisi 3).Jakarta : Pusat penerbit Departemen Penyakit Dalam FK UI.

Sturt, J., Hearnshaw, H., & Wakelin, M. (2012). Validity and reliability of the DMSES UK: a measure of self-efficacy for type 2 diabetes selfmanagement. Primary Health Care Research & Development,

11, 374–381.

doi:10.1017/S146342361000010 1.

Temple, A.J.S. (2009). The effects of diabetes self-manageent education on diabetes

self-efficacy, and

psychologicaladjustment to diabetes. Diunduh pada tanggal 6

Maret 2018

darihttp://proquest.com/pqdweb.

Winahyu, K.M., et al. (2016). Hubungan antara motivasi dengan efikasi diri pada pasien diabetes melitus tipe 2 di puskesmas batu ceper kota tangerang. JKTF No. 2 hal 70. Di unduh 15 Maret 2018.

Wu S-F. V., Courtney, M., Edwards, H., Mcdowell, J., Shortridge-bagget, L. M., Chang, P-J. (2009). Self-efficacy, outcome expectations and self-care behaviour in people with type 2 diabetes in Taiwan. Journal of Nursing and

Healthcare of Chronic Illness in association with Journal of Clinical Nursing, 16(11c), 250– 257. doi:10.1111/j.1365-2702.2006.01930.x

Zurmeli, Bayhakki, & Utami, G.T. (2014). Hubungan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisis di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Jurnal Keperawatan 670-681.

Referensi

Dokumen terkait

Media komunikasi yang dibuat dengan lipatan atau satu lembar dan diatur sedemikian rupa dengan bentuk yang menarik serta lebih efektif untuk meyakinkan tentang manfaat dan

Penelitian ini bertujuan untuk mempertahankan kesegaran buah stroberi dengan aplikasi edible coating berbasis karagenan dan mempelajari pengaruh penambahan

Dalam pembelajaran Bahasa Arab, muhadatsah merupakan salah satu cara agar siswa mampu bercakap-cakap (berbicara) sehari-hari dengan menggunakan Bahasa Arab.. Untuk

Berdasarkan suatu studi kohort pasien dengan thalassemia beta, disfungsi organ oleh karena kelebihan beban besi timbul pertama kali di hati pada saat kadar

Sehingga dengan adanya kesadaran dalam memiliki budaya tertib lalu lintas maka dapat mengurangi tingkat kecelakaan pada kalangan pelajar.  Mengurangi tingkat pelanggaran

Judul keseluruhannya diketik dengan huruf besar, satu spasi yang disusun secara piramida terbalik (bila lebih dari satu baris), dan dicantumkan secara lengkap

bentuk pustaka bugis yang lain dari kedua bentuk karya sastra yang berkembang sebelumnya (galigo dan tolok), yakni pau-pau atau pau-pau rikadong serta pustaka

Mengangkat suatu event dari Kethoprak dimana masih dipegang oleh warga Desa Jurang Blimbing merupakan suatu kebanggaan tersendiri karena sekaligus membantu mereka