ANALISIS METAFORA PENGGAMBARAN TOKOH IBU TIRI,
ANAK TIRI, DAN ANAK KANDUNG DALAM MÄRCHEN
ASCHENPUTTEL, BRÜDERCHEN UND SCHWESTERCHEN, FRAU
HOLLE, DAN SNEEWITTCHEN KARYA GEBRÜDER GRIMM
Esya Triandini Putri, Sally Pattinasarany
Germanistik, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok Jawa Barat, 16424, Indonesia
Email : esya.triandini@yahoo.com
Abstrak
Skripsi ini membahas metafora penggambaran tokoh ibu tiri, anak tiri, dan anak kandung yang terdapat dalam Märchen Aschenputtel, Brüderchen und Schwesterchen, Frau Holle, dan
Sneewittchen yang memperkuat stereotip dari ketiga tokoh tersebut. Stereotip yang melekat
pada mereka adalah i anak tiri yang malang dan ibu tiri, serta anak tiri yang jahat. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan jenis-jenis metafora yang menggambarkan ketiga tokoh tersebut berdasarkan klasifikasi metafora menurut Gerhard Kurz, serta membuktikan benar atau tidaknya stereotip terhadap ketiga tokoh tersebut. Dalam penelitian ini, metafora leksikal
adalah metafora yang paling banyak ditemukan dalam merepresentasikan ketiga tokoh tersebut, sedangkan metafora konvensional adalah yang paling sedikit ditemukan. Dari empat dongeng tersebut, stereotip yang melekat pada ketiga tokoh tersebut juga dapat diperkuat dan
dibuktikan melalui metafora bahwa stereotip tersebut adalah benar.
Metaphor Analysis of Figure of Stepmother, Stepchildren, and Own Children in Märchen Aschenputtel, Brüderchen und Schwesterchen, Frau Holle, and Sneewittchen by
Gebrüder Grimm. Abstract
This thesis discusses about the metaphor that represent figures of stepmother, stepchildren and own children in Märchen Aschenputtel, Brüderchen und Schwesterchen, Frau Holle, and
Sneewittchen which supporting the stereotype of those three characters. This research aims to
explain the kinds of metaphors that describe those three characters that are classified based on the type of metaphor by Gerhard Kurz and prove whether the stereotype of those three characters are true or not. Lexical metaphor is the most commonly found in this research to
represents those three character, whereas conventional metaphor is the least. At those four tales, stereotypes of stepmother, stepchildren, and own children can also be proved by
metaphor, that the stereotypes are true.
Keywords: Metaphor, Types of Metaphors, Stereotype of Stepmother, Stepchildren , and Own Children.
PENDAHULUAN
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi bagi manusia untuk berinteraksi ataupun sekadar menyampaikan maksud atau pikiran seseorang. Untuk menyampaikan sebuah pemikiran atau pendapat, terkadang penutur menggunakan variasi bahasa yang dapat dilihat melalui majas-majas tertentu. Salah satu majas yang muncul dalam interaksi bahasa adalah majas metafora. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)1, metafora adalah pemakaian kata atau kelompok kata yang bukan dengan arti sebenarnya, melainkan sebagai representasi atau analogi yang berdasarkan persamaan atau perbandingan. Menurut Knowles dan Moon (2006: 3), metafora merupakan penggunaan bahasa yang merujuk pada makna yang lain secara harfiah dengan maksud untuk menunjukkan kemiripan atau hubungan antara dua hal. Metafora juga merupakan salah satu elemen dari teks sastra (Kurz, 1993: 5). Elemen atau unsur metafora ini bertujuan untuk memperindah bahasa kiasan yang digunakan.2 Selain itu, metafora dapat menjadi sarana untuk mengungkapkan motivasi yang kuat dalam menyatakan perasaan, emosi yang mendalam, dan sebagai sarana bahasa yang bersifat ekspresif.
Majas metafora dapat ditemukan dalam teks sastra, salah satunya adalah dongeng. Dongeng atau Märchen dalam bahasa Jerman, adalah sebuah narasi prosa pendek yang biasanya memiliki peristiwa menakjubkan sebagai topiknya.3 Misalnya, dalam cerita
Aschenputtel terdapat tokoh antagonis (ibu tiri dan saudara tiri) yang selalu berlaku tidak adil
terhadap tokoh protagonis (anak tiri). Akan tetapi, karena ada pertolongan ibu peri, pada akhirnya, diceritakan bahwa tokoh protagonis mengalami happy ending dan hal sebaliknya terjadi pada tokoh antagonis. Adanya peristiwa menakjubkan merupakan salah satu ciri dongeng menurut Max Lüthi, yaitu kehadiran figur pahlawan yang berasal dari dimensi lain (Jenseits) sebagai tokoh penolong (Helfer).4
Dalam sastra terdapat dua jenis dongeng, yaitu dongeng rakyat (Volksmärchen, pengarangnya anonim) dan dongeng seni (Kunstmärchen, pengarangnya diketahui).5 Pelopor
1 http://kbbi.web.id/metafora
2 http://www.bimbingan.org/contoh-majas-metafora-dalam-bahasa-inggris.htm, diakses pada 30 April 2014, pukul 00.25 WIB.
3
http://www.planet-schule.de/wissenspool/die-brueder-grimm/inhalt/hintergrund/maerchen-definition-abgrenzung-zur-sage-legende-fabel.html, diakses pada 29 April 2014, pukul 15.00 WIB.
4
http://www.uni-muenster.de/ZIVwiki/pub/Anleitungen/PostScript/Merkmale_des_europischen_Volksmrchens_doc, diakses pada 13 Mei 2014, pukul 23.00 WIB
5
http://www.planet-schule.de/wissenspool/die-brueder-grimm/inhalt/hintergrund/maerchen-definition-abgrenzung-zur-sage-legende-fabel.html, diakses pada 29 April 2014, pukul 15.00 WIB.
yang menurunkan cerita rakyat pertama secara lisan adalah Gebrüder Grimm. Selama jangka waktu 1812-1815, mereka berhasil mengumpulkan dongeng rakyat yang diceritakan secara lisan sampai berjumlah 200 yang kemudian dibukukan dengan judul Kinder und
Hausmärchen. Dari 200 dongeng rakyat, ada 13 dongeng yang ceritanya bertemakan ibu yang
jahat sehingga dalam dongeng-dongeng tersebut, ibu tiri digambarkan sebagai tokoh antagonis.6 Misalnya, ibu tiri selalu memperlakukan anak kandungnya lebih baik (mengekslusifkan), sementara anak tirinya dibiarkannya melakukan pekerjaan yang berat.7
Menurut salah satu website Jerman8, salah satu faktor banyaknya tema ibu tiri yang muncul dalam dongeng-dongeng disebabkan oleh jumlah duda yang meningkat karena adanya "demam nifas" yang menyebabkan banyak ibu meninggal ketika melahirkan anaknya pada saat memasuki abad 19.9 Jadi, cerita mengenai ibu tiri menjadi bagian dari representasi kondisi yang ada pada saat itu dan stereotip tokoh ibu tiri yang kejam (böse Stiefmutter) merupakan ciri khas dari dongeng rakyat pada masa itu.
Berdasarkan latar belakang yang telah saya paparkan sebelumnya, saya tertarik untuk meneliti bagaimana penggambaran metafora tentang tokoh ibu tiri, anak kandung, dan anak tiri, serta ingin membuktikan apakah stereotipe mengenai ketiga tokoh tersebut benar adanya di dalam dongeng Gebrüder Grimm. Ada 4 (empat) dongeng bertemakan ibu tiri yang saya teliti yang diambil dari Das Hausbuch der Märchen, yaitu Brüderchen und
Schwesterchen,Aschenputtel, Sneewittchen, dan Frau Holle. Dalam penelitian ini, saya ingin
memaparkan penggambaran tokoh ibu tiri, anak tiri, dan saudara kandung yang direpresentasikan melalui metafora yang diklasifikasikan menjadi tiga jenis metafora menurut Gerhard Kurz, yaitu metafora kreatif, konvensional, dan leksikal. Selain itu, penelitian ini juga ingin menjelaskan benar atau tidaknya bahwa dalam dongeng Gebrüder Grimm stereotipe ibu tiri dan anak kandung selalu jahat, sedangkan anak tiri selalu baik.
6 http://www.deutschlandradiokultur.de/boese-boeser-am-boesesten-die-stiefmutter.954.de.html?dram:article_id=232333, diakses pada 24 April 2014 7
http://www.hausarbeiten.de/faecher/vorschau/141628.html, diakses pada 1 Mei 2014 8
http://www.deutschlandradiokultur.de/boese-boeser-am-boesesten-die-stiefmutter.954.de.html?dram:article_id=232333, diakses pada 24 April 2014 9 http://www.deutschlandradiokultur.de/boese-boeser-am-boesesten-die-stiefmutter.954.de.html?dram:article_id=232333, diakses pada 24 April 2014
TINJAUAN TEORITIS
Gerhard Kurz dalam bukunya yang berjudul Metapher, Allegorie, und Symbol (1993: 5) juga mengatakan bahwa metafora dan simbol adalah elemen-elemen yang terdapat dalam teks sastra. Masih berkaitan dengan definisi metafora, Knowles dan Moon dalam bukunya yang berjudul Introducing Metaphor (2006: 3) mendefinisikan metafora sebagai penggunaan bahasa yang merujuk pada makna yang lain selain makna secara harfiah guna menunjukkan beberapa kemiripan atau hubungan antara dua hal tersebut (analogi).
Berdasarkan definisi di atas, saya memahami bahwa metafora merupakan unsur-unsur atau elemen yang terdapat dalam karya sastra yang digunakan untuk mengungkapkan imajinasi puitis dengan penggunaan bahasa yang merujuk pada makna lain untuk menunjukkan kemiripan atau analogi antara dua hal. Definisi inilah yang akan menjadi acuan saya dalam menganalisis metafora dalam korpus yang telah saya pilih.
I. Metafora Menurut Gerhard Kurz
Gerhard Kurz (1993: 19) dalam bukunya yang berjudul Metapher, Allegorie, Symbol juga membagi metafora dalam tiga jenis berikut.
I.1. Metafora Kreatif
Menurut Kurz (Ibid.), metafora kreatif dapat dikatakan juga sebagai metafora yang baru muncul, meskipun mungkin metafora tersebut didasarkan pada ide-ide yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, ditambahkan juga oleh Knowles dan Moon (2006: 5) bahwa metafora kreatif adalah metafora yang digunakan penutur untuk mengekspresikan ide atau perasaan dalam konteks tertentu. Pembaca atau pendengar harus mencerna sendiri untuk memahami apa yang dimaksud pengarang dalam metafora itu. Dengan kata lain, pengarang membuat metafora baru dalam karya sastranya untuk mengungkapkan ide-ide atau perasaan yang dimunculkan dalam sebuah karya sastra.
Contoh : Die Sonne grinst (Kurz, 1995: 19)
Dari kalimat contoh tersebut, die Sonne grinst merupakan bentuk sebuah metafora baru dari metafora die Sonne lacht yang sebelumnya sudah banyak diketahui orang. Jadi, dapat dikatakan bahwa die Sonne grinst adalah bentuk dari metafora kreatif karena berupa metafora baru yang sengaja diciptakan oleh pengarang, namun dengan merujuk pada metafora yang telah ada sebelumnya dan memiliki kesamaan makna.
I.2. Metafora Konvensional
Metafora konvensional adalah metafora yang sudah ada, tetapi belum dileksikalisasi (Kurz, 1993: 19). Metafora ini juga tampak seperti klise. Menurut Knowles dan Moon (2006: 12), metafora konvensional berbeda dengan metafora kreatif. Metafora konvensional telah dikenal secara umum, hanya saja belum dileksikalisasi (tercantum dalam kamus leksikon). Dalam metafora konvensional, pembaca atau pendengar tidak disuguhkan bentuk metafora yang baru, seperti yang terjadi dalam metafora kreatif, melainkan metafora yang dihadirkan adalah metafora yang sudah cukup umum didengar, namun belum masuk kamus leksikon (dileksikalisasi). Metafora konvensional juga dapat dikenali dengan penggunaan kata wie, seperti contoh berikut ini.
Mein Gedicht ist wie mein Messer (Kurz, 1993: 20)
Kalimat tersebut memiliki arti secara harfiah sebagai „puisi saya bagaikan pisau saya‟. Makna kata Messer merupakan sebuah metafora untuk menganalogikan Gedicht. Jadi, puisi itu seolah-olah memiliki sifat “tajam” seperti pisau. Hal tersebut dapat diasosiasikan sebagai puisi yang mengandung kritikan tajam atau memiliki makna yang sangat dalam dan tajam. Kalimat tersebut juga dapat dikatakan metafora konvensional karena mengandung unsur metafora perbandingan, seperti adanya kata wie.
I.3. Metafora Leksikal
Menurut Kurz (1993: 18), ketika sebuah metafora sudah dileksikalisasikan (terdapat dalam kamus leksikal) dan sering digunakan secara umum sebagai kosa kata sehari-hari, kata tersebut sudah menjadi independen dan bukan lagi sebagai metafora. Hal serupa juga dikatakan oleh Knowles dan Moon (2006: 6) bahwa metafora leksikal adalah metafora yang sudah tidak lagi dikatakan sebagai metafora karena kehilangan ciri leksikalnya. Contoh metafora leksikal (Kurz, 1993: 18).
Motorhaube Kap mesin Wolkenkratzer Pencakar langit Tischbein Kaki meja
II. Definisi Märchen
Kata Märchen berasal dari Mittelhochdeustch, yaitu maere yang berarti „Kunde, Bericht,
peristiwa menakjubkan sebagai topiknya.10 Pengertian kata Märchen diperkirakan sudah ada sejak sekitar abad 13-16.11 Dalam sastra, terdapat perbedaan antara Volksmärchen dan
Kunstmärchen. Kunstmärchen adalah dongeng yang diciptakan oleh penulis terkenal,
sementara pada Volksmärchen pengarangnya adalah anonim (tidak diketahui) karena penyebaran Volksmärchen dilakukan secara lisan dan turun temurun. Cerita rakyat (Volksmärchen) pertama kali diturunkan secara lisan dalam jangka waktu yang cukup lama. Salah satu pelopor pengumpul cerita rakyat adalah Gebrüder Grimm. Mereka mengumpulkan
Volksmärchen dengan cara bertamu dari rumah ke rumah untuk mendengarkan cerita yang
telah ada secara turun temurun. Mereka mengumpulkannya dalam jangka waktu 1812-1815 yang kemudian dibukukan dan diberi judul „Kinder und Hausmärchen“.
METODE PENELITIAN
Penelitian yang saya lakukan adalah penelitian pustaka. Metode penelitian yang saya gunakan adalah metode deskriptif, yaitu penjelasan dan penjabaran dalam menganalisis korpus data terkait dengan metafora penggambaran tiga tokoh sentral dalam dongeng bertemakan ibu tiri dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini berupa pendekatan kualitatif
HASIL PENELITIAN
Untuk mempermudah memahami analisis, saya membuat tabel berikut ini.
Judul Dongeng No Jenis-Jenis Metafora Metafora Kreatif Metafora Konvensional Metafora Leksikal Brüderchen und Schwesterchen Anak Tiri 1
Gott und unsere Herzen, die weinen zusammen - - 10 http://www.planet-schule.de/wissenspool/die-brueder-grimm/inhalt/hintergrund/maerchen-definition-abgrenzung-zur-sage-legende-fabel.html, diakses pada 29 April 2014, pukul 15.00 WIB.
11Brandenburg, Ina. 2009. Bachelorarbeit:Zur Figur der Stiefmutter in den Kinder- und Hausmärchen der
Anak
Kandung 2
- Hässlich wie die
Nacht Hässlich wie die Nacht Sneewittchen Anak Tiri 3 - - Sneewittchen Ibu Tiri 4 Gelb und grün vor Neid - - 5 - Neid und Hochmut wuchsen wie ein
Unkraut - Aschenputtel Anak Tiri 6 - - Aschenputtel 7 - - Dumme Gans Anak Kandung 8 Schwarz von Herzen - -
Frau Holle Anak
Tiri 9 Das Aschenputtel sein - - Tabel 1 PEMBAHASAN
Analisis metafora saya lakukan dengan mengklasifikasikan jenis-jenis metafora menurut Gerhard Kurz (1993). Dalam menganalisis metafora ini, saya juga menggunakan kamus DUDEN Deutsches Universal-wörterbuch (2011) dan KLUGE Etymologisches Wörterbuch
der deutschen Sprache (2002) sebagai bahan acuan untuk mengartikan metafora yang saya
temukan. Berikut penjabarannya
Analisis Metafora Penggambaran Tokoh Ibu Tiri
Setelah saya membaca empat dongeng yang telah saya pilih sebagai korpus data, penggambaran tokoh ibu tiri hanya terdapat dalam satu dongeng, yaitu Sneewittchen. Berikut ini adalah analisisnya.
Dongeng Sneewittchen
Dalam dongeng Sneewittchen, saya menemukan dua metafora yang menggambarkan tokoh ibu tiri. Dua metafora tersebut adalah sebagai berikut.
a. Gelb und grün vor Neid werden
Da erschrak die Königin und wurde gelb und grün vor Neid. (Seite 133)
Menurut Kamus DUDEN (2011)
gelb glänzend, schimmernd (mengkilap dan berkilau) grün wachsend, sprießend (tumbuh dan muncul)
Kedua kata tersebut memperjelas kata Neid yang dalam Duden (2011: 1249) bermakna
Empfindung, Haltung, bei der jmd. einem andern dessen Besitz od. Erfolg nicht gönnt u. Selbst haben möchte atau dalam bahasa Indonesia berarti „sikap tidak senang atau iri terhadap
apa yang dimiliki oleh orang lain‟. Jadi, berdasarkan pengertian makna dalam kamus Duden, kata gelb und grün adalah dua kata yang menekankan kata Neid bahwa rasa iri yang menjadi kebencian dan dendam semakin tumbuh subur dari tokoh ibu tiri karena rasa tidak senangnya terhadap kecantikan yang dimiliki oleh Sneewittchen.
Ungkapan gelb und grün vor Neid werden sendiri termasuk dalam metafora kreatif karena merupakan bentuk metafora baru, namun tetap mengacu pada metafora yang ada, yaitu grün
und gelb ärgern. Ungkapan tersebut digunakan untuk merepresentasikan emosi dari tokoh ibu
tiri. Dalam kamus Duden, grün und gelb ärgern memiliki makna „Ugs. sich sehr ärgern‟.
b. Neid und Hochmut wuchsen wie ein Unkraut
Und der Neid und Hochmut wuchsen wie ein Unkraut in ihrem Herzen immer höher, dass sie Tag und Nacht keine ruhe mehr hatte. (Seite 133)
Menurut kamus DUDEN (2011)
Neid Hass, Groll (kebencian, dendam)
Hochmut gehobene Stimmung, edle Gesinnung (keangkuhan atau kesombongan)
Unkraut Gesamtheit von Pflanzen, die zwischen angebauten Pflanzen wild wachsen (tanaman yang tumbuh liar di antara tanaman yang terawat)
Berdasarkan komponen makna yang telah saya paparkan, dapat ditarik benang merahnya bahwa metafora tersebut merepresentasikan kebencian (der Neid) dan kesombongan (Hochmut) yang muncul di dalam diri sang ibu tiri. Kemudian, rasa benci dan kesombongan itu semakin tumbuh subur di dalam hatinya seperti layaknya rumput liar (Unkraut) yang terus menerus tumbuh di tanah. Rasa benci yang timbul itu disebabkan karena seiring berjalannya waktu, Sneewittchen terus tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik, bahkan melebihi
kecantikan ibu tirinya. Ambisi sang ibu tiri untuk menjadi wanita tercantik terhalang dengan kehadiran Sneewittchen yang semakin cantik seiring beranjak dewasa. Metafora Neid und
Hochmut wuchsen wie ein Unkraut merepresentasikan emosi dari tokoh ibu tiri yang jahat
(böse Stiefmutter) terhadap anak tirinya. Dengan kata lain, metafora yang merepresentasikan karakter ibu tiri dalam dongeng ini adalah tokoh yang jahat, angkuh, dan iri hati.
Metafora ini dapat dikategorikan ke dalam jenis metafora konvensional karena menggunakan kata wie yang merupakan ciri utama dari metafora konvensional. Selain itu, metafora ini juga tidak terdapat di dalam kamus leksikal atau kamus umum. Seperti yang telah dijelaskan oleh Gerhard Kurz (1993: 19) bahwa metafora konvensional adalah metafora yang juga mengandung unsur perbandingan, yaitu dengan adanya kata wie dan belum dileksikalisasi. Hal ini pula yang memperkuat bahwa metafora ini termasuk dalam jenis metafora konvensional.
Analisis Metafora Penggambaran Tokoh Anak Tiri
Dalam empat korpus dongeng yang saya pilih, metafora penggambaran tokoh anak tiri terdapat di dalam keempat dongeng berikut.
Dongeng Brüderchen und Schwesterchen
Dalam dongeng ini, saya menemukan satu metafora yang menggambarkan tokoh anak tiri, sebagai berikut.
a. Gott und unsere Herzen, die weinen zusammen.
„Sie gingen den ganzen Tag über Wiesen, Felder und Steine, und wenn es regnete, sprach das Schwesterchen: „Gott und unsere Herzen, die weinen zusammen“ (Seite 91)
Dalam kamus Duden (2011: 1430), regnen berarti als Regen zur Erde fallen yang berarti „air yang jatuh sebagai hujan ke bumi‟, sedangkan Gott adalah „Tuhan‟. Biasanya, kita mengasosiasikan keberadaan Tuhan itu di atas, di langit, dan di surga. Dengan demikian, frase
es regnet dapat diasosiasikan dengan air mata Tuhan karena tetesan air yang jatuh dari langit
mirip seperti tetesan air mata manusia ketika menangis. Akan tetapi, tetesan air yang berbentuk hujan itu skalanya lebih besar. Selain itu, frase weinen zusammen mengacu pada
wenn es regnet dan unsere Herzen. Frase unsere Herzen adalah sebuah penggambaran emosi
dan perasaan dari kakak beradik yang sedang merasakan kesedihan yang mendalam. Kalimat
Gott und Herzen, die weinen zusammen adalah sebuah perumpamaan yang menganggap
Klausa unsere Herzen weinen merupakan sebuah ungkapan berupa personifikasi karena hati digambarkan seperti sesuatu yang dapat mengeluarkan air mata layaknya manusia. Padahal, hati tidak bisa dilihat secara kasat mata dan tidak dapat diketahui apakah hati menangis dan mengeluarkan air mata. Seperti yang dijelaskan oleh Knowles dan Moon (2006:7), personifikasi merupakan subtipe (turunan) dari metafora, yaitu sesuatu yang berupa
nonhuman, baik itu objek fisik ataupun abstrak, yang diperlakukan atau dapat melakukan
sesuatu layaknya seperti manusia. Dalam dongeng ini, Gott und unsere Herzen, die weinen
zusammen merupakan metafora dari penggambaran emosi (perasaan) anak tiri, yaitu kakak
adik yang merasakan kesedihan yang mendalam, bahkan menderita akibat perilaku ibu tirinya. Beberapa hal telah membuat mereka sedih dan menderita karena perlakuan ibu tirinya tersebut, diantaranya adalah ibu tiri yang selalu memukuli mereka setiap hari dan menendang mereka sehingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi dari rumah.
Metafora seperti kalimat Gott und unsere Herzen, die weinen zusammen dapat dikategorikan ke dalam metafora kreatif, seperti yang Knowles dan Moon (2006:5) katakan bahwa metafora kreatif merupakan metafora yang dimunculkan oleh pengarang untuk mengekspresikan ide dan emosi dalam konteks tertentu. Metafora kreatif dijelaskan sebagai metafora yang belum pernah muncul sebelumnya.
Dongeng Sneewittchen
Dalam dongeng Sneewittchen, saya menemukan satu metafora penggambaran anak tiri, yaitu sebagai berikut.
a. Sneewittchen
Kata Sneewittchen memiliki sejarah kata yang berasal dari Mittelhochdeutsch dan
Althochdeutsch12 yang jika diuraikan menjadi seperti berikut ini:
Snee (abad 8) akar kata dari Schnee yang berarti salju. (KLUGE Etymologisches
Wörterbuch der deutschen Sprache, 2002: 818)
witt (abad 8) ajektiva dan merupakan akar kata dari weiß yang berarti „putih‟, hell
sein atau dalam bahasa Indonesia berarti „terang‟. (Ibid.: 981)
Sementara itu, sufiks –chen merupakan diminutif yang berarti sesuatu yang berhubungan dengan bentuk kata dengan makna kecil.13
12
Schneider, Christopher. 2002. KLUGE: Etymologisches Wörterbuch der deutschen Sprache. Berin:Walter de Gruyter GmBH&Co. KG.
Jadi, Sneewittchen adalah penggambaran secara fisik dari seorang gadis yang berkulit sangat putih dan terang. Kata tersebut digunakan pengarang untuk merepresentasikan seseorang dalam dongeng yang juga berjudul sama, yaitu Sneewittchen.
Sneewittchen termasuk dalam sebuah metafora karena memenuhi ciri-cirinya sebagai
metafora, yaitu elemen yang terdapat dalam karya sastra yang digunakan untuk mengungkapkan imajinasi puitis dengan penggunaan bahasa yang merujuk pada makna lain untuk menunjukkan kemiripan atau analogi antara dua hal. Dalam hal ini, analogi ditunjukkan dari penggunaan kata snee, witt, dan sufiks –chen yang semuanya merupakan penggambaran seorang gadis. Hal demikian juga dikatakan dalam kamus Duden bahwa Sneewittchen dijelaskan sebagai representasi dari seseorang dalam sebuah dongeng yang memiliki rambut hitam yang kontras dengan warna kulitnya yang berwarna putih cerah (Duden, 2011: 1542).
Sneewittchen dapat dikategorikan sebagai metafora leksikal karena Sneewittchen atau yang
juga dikenal dengan Snow White atau pun Putri Salju telah masuk ke dalam kamus. Dengan dengan kata lain, metafora ini telah dileksikalisasi dan sebagian orang menggunakannya secara umum sebagai kosakata sehari-hari. Dari metafora leksikal ini, kita dapat mengetahui karakter dari tokoh Sneewittchen yang digambarkan sebagai seorang putri yang sangat cantik.
Dongeng Aschenputtel
Dalam dongeng Aschenputtel ini, saya menemukan dua metafora yang menggambarkan tokoh anak tiri, seperti berikut ini.
a. Aschenputtel
Kata Aschenputtel berasal dari kata Aschenbrödel14 yang berasal dari ahd. (Althochdeutsch) pada abad 16. Aschenbrödel sendiri menurut kamus etimologis memiliki makna „Alte Bezeichnung für den Küchenjungen, Eigentlich in der Asche wühlt‟ atau dalam bahasa Indonesia yang berarti „sebutan lama untuk anak dapur‟, lebih tepatnya „seorang anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dapur‟. Dalam kamus Duden (2011:185),
Aschenputtel berarti unordentliches, schmutziges Mädchen atau dalam bahasa Indonesia
berarti „seorang gadis yang kotor‟. Aschenputtel adalah sebuah metafora dari representasi dari tokoh seorang gadis yang diperlakukan layaknya seperti pelayan di rumahnya sendiri sehingga sebagian besar waktunya dihabiskan di dapur, bahkan tidur pun hanya beralaskan
14
Schneider, Christopher. 2002. KLUGE: Etymologisches Wörterbuch der deutschen Sprache. Berin:Walter de Gruyter GmBH&Co. KG.
abu (Asche). Kehidupan seperti ini harus ia jalankan sampai pada akhirnya ia mendapatkan seorang pangeran sebagai suaminya dan hidup bahagia selamanya.
Sama halnya dengan Sneewittchen, Aschenputtel saat ini juga sudah masuk ke dalam kamus atau dengan kata lain telah dileksikalisasi. Dengan masuknya kata Aschenputtel di dalam kamus, membuat kata tersebut saat ini sudah digunakan oleh sebagian orang sebagai kosa kata umum. Seperti makna Aschenputtel menurut kamus etimologis Heute nur noch als
Name einer Märchenfigur bekannt, yaitu Aschenputtel saat ini hanya sekedar nama dari tokoh
sebuah dongeng yang terkenal (2002: 64). Pernyataan tersebut menguatkan bahwa
Aschenputtel termasuk jenis metafora leksikal, yaitu metafora yang telah dikenal secara
umum karena telah dileksikalisasi.
b. dumme Gans
“Soll die dumme Gans bei uns in der Stube sitzen?”, sprachen sie. (Seite 115)
Menurut Kamus DUDEN (2011)
Gans ugs. Abwertend, unerfahrene, junge weibliche Person (seorang wanita muda
dan tidak berpengalaman)
Secara harfiah, dumm berarti „bodoh‟. Secara harfiah, dumme Gans diartikan sebagai angsa yang bodoh. Akan tetapi, jika dilihat dalam konteks kalimat dan cerita, hal itu tidak dapat berterima. Gans yang dimaksud dalam konteks ini adalah Gans yang diasosiasikan sebagai
junge weibliche Person atau „seorang gadis muda‟. Dalam kamus Duden (Ibid.) dikatakan
bahwa dumme Gans merupakan suatu ungkapan yang juga biasa digunakan untuk mengolok-olok atau mengejek seseorang (auch als Schimpfwort, blöde).
Dumme Gans merupakan sebuah metafora dilihat dari pendekatan interaksi, sebagaimana
yang dikutip oleh Kurz (1993: 8), yaitu kedudukan metafora harus dilihat hubungan makna antar katanya dalam sebuah konteks cerita. Makna yang lebih tepat untuk mengartikan Gans yang dimaksud dalam konteks ini adalah seorang gadis muda, dalam hal ini yang dimaksud adalah Aschenputtel. Selain itu, dalam kamus Heuken (2007: 186), dumme Gans memiliki arti sebagai „gadis bodoh‟. Jadi, dalam konteks dongeng ini, dumme Gans merupakan sebuah metafora representasi dari seseorang bernama Aschenputtel yang dianggap sebagai gadis bodoh oleh kedua saudara tirinya.
Dumme Gans termasuk ke dalam kategori metafora leksikal karena telah muncul dalam
tersebut juga diperkuat dengan keterangan ugs. yang ada dalam kamus Duden (2011: 662), yaitu ugs. abwertend. Seperti yang telah diketahui pula bahwa ugs. berarti kosa kata sehari-hari, yaitu Umgangsprachlich.
Dongeng Frau Holle
Dalam dongeng ini, saya hanya menemukan satu metafora yang menggambarkan tokoh anak tiri, yaitu sebagai berikut.
a. das Aschenputtel sein
„Sie hatte aber die hässliche und faule, weil sie ihre rechte Tochter war, viel lieber, und die andere musste alle Arbeit tun und das Aschenputtel im Hause sein.“ (Seite 146)
Dalam dongeng Frau Holle diceritakan ada sorang gadis malang atau das arme Mädchen yang memiliki persamaan nasib dengan Aschenputtel yang sama-sama memiliki saudara tiri yang juga tidak baik dan perlakuan ibu tiri yang tidak adil antara anak kandung dan anak tiri. Frase das Aschenputtel im Hause sein adalah sebuah metafora untuk menyebut das arme
Mädchen. Hal tersebut dapat dilihat dari konsep metafora, yaitu elemen yang terdapat dalam
karya sastra yang merujuk pada makna lain untuk menunjukkan suatu kemiripan atau analogi. Kata Aschenputtel tercetus dari histori kata itu sendiri dalam dongeng Aschenputtel, yaitu
Aschenputtel yang sangat identik dengan anak tiri yang tertindas oleh ibu dan saudara tirinya
dan selalu dituntut untuk melayani mereka layaknya pelayan. Dalam dongeng Frau Holle, nasib sang anak tiri atau das arme Mädchen tidak jauh berbeda dengan tokoh bernama
Aschenputtel yang ada pada dongeng dengan judul yang sama, yaitu Aschenputtel. Ciri khas
dari karakter Aschenputtel adalah seseorang yang dituntut untuk bekerja seperti pelayan oleh ibu tirinya sendiri. Oleh karena itu, das Aschenputtel sein dalam konteks ini termasuk dalam metafora karena adanya analogi atau kesamaan antara tokoh Aschenputtel dengan representasi
das arme Mädchen dalam dongeng Frau Holle.
Metafora ini termasuk dalam metafora kreatif karena merupakan metafora yang dibuat dengan berdasarkan pada ide-ide yang sudah ada sebelumnya, yaitu Asschenputtel. Hal tersebut seperti yang dikutip oleh Kurz (1993:19) bahwa pengarang membuat metafora baru untuk menuangkan ide-idenya. Dengan melihat kemunculan metafora das Aschenputtel sein dalam dongeng Frau Holle, saya berasumsi bahwa dongeng ini hadir setelah dongeng
sebagai metafora yang merepresentasikan kehidupan sehari-hari dari das arme Mädchen dengan maksud pembaca pasti sudah mengerti seperti apa keseharian Aschenputtel itu.
Analisis Metafora Penggambaran Tokoh Anak Kandung
Dari empat korpus yang saya pilih, metafora yang menggambarkan tokoh anak kandung hanya terdapat dalam dua dongeng saja, yaitu sebagai berikut.
Dongeng Brüderchen und Schwesterchen
Dalam dongeng ini, saya hanya menemukan satu metafora penggambaran anak kandung sebagai berikut.
a. hässlich wie die Nacht
Ihre rechte Tochter, die hässlich war wie die Nacht und nur ein Auge hatte, die machte ihr Vorwürfe und sprach: „Eine Königin zu werden, das Glück hätte mir Gebührt.“ (Seite 95)
Menurut kamus Duden (2011)
Hässlich von unschönen Aussehen, das ästetische Empfinden verletzend (penampilan
yang buruk atau memiliki perilaku yang tidak baik).
die Nacht zwischen Einbruch der Dunkelheit und Beginn der Morgendämmerung
(gelap atau suram).
Hässlich wie die Nacht (emotional) sehr hässlich
Pada frase hässlich wie die Nacht, kata hässlich diumpamakan seperti die Nacht atau „malam‟ dengan kata hubung wie. Pengertian kata die Nacht yang memiliki konotasi negatif, yaitu gelap dan suram, sesuai dengan kata hässlich yang berarti buruk, baik secara fisik maupun secara perilaku. Jadi, dalam konteks ini, hässlich wie die Nacht merupakan penggambaran seseorang yang memiliki emosional sangat buruk. Perilaku buruk seseorang dalam konteks ini seolah-olah tidak memancarkan kebaikan yang ada dalam dirinya sehingga dianalogikan dengan malam yang juga tidak bercahaya. Frase die hässlich war wie die Nacht dalam dongeng ini digunakan untuk merepresentasikan die rechte Tochter (anak kandung) yang dalam dongeng ini diceritakan tidak hanya memiliki penampilan fisik yang tidak menarik atau buruk, namun juga memiliki perilaku yang tidak baik pula. Dalam kamus Duden (2011: 1234) dikatakan juga bahwa Hässlich wie die Nacht merupakan ungkapan emosional untuk merepresentasikan sesuatu yang sangat buruk.
Frase tersebut dapat dengan mudah dikenali sebagai metafora karena memiliki ciri-ciri utama sebagai metafora, yaitu penggunaan kata wie. Metafora hässlich wie die Nacht juga
merupakan analogi atau perbandingan yang mengumpamakan „buruk‟ seperti „malam‟ dan ditandai dengan kata wie yang berarti „seolah-olah‟. Jika dilihat dari ciri-ciri penggunaan wie tersebut, metafora ini termasuk ke dalam metafora konvensional. Penggunaan kata wie merupakan salah satu ciri yang sangat mudah dikenali dalam jenis metafora konvensional. Hal tersebut serupa dengan yang dicontohkan oleh Kurz (1993: 20) pada kalimat mein
Gedicht ist wie ein Messer. Akan tetapi, metafora hässlich wie die Nacht juga dapat dikatakan
sebagai metafora leksikal karena telah tercantum didalam kamus atau telah dileksikalisasi. Jika dilihat lagi, metafora hässlich wie die Nacht memang mengandung kriteria dari kedua jenis metafora tersebut, yaitu terdapat kata wie yang merupakan ciri dari metafora konvensional, namun telah tercantum dalam kamus (telah dileksikalisasi) yang juga merupakan ciri dari metafora leksikal. Jadi, berdasarkan analisis tersebut, saya mengategorikan metafora hässlich wie die Nacht termasuk dalam dua jenis metafora sekaligus, yaitu metafora konvensional dan metafora leksikal.
Dongeng Aschenputtel
Dalam dongeng Aschenputtel, saya hanya menemukan satu metafora yang menggambarkan tokoh anak kandung yang dijelaskan sebagai berikut.
a. Schwarz von Herzen
„Die Frau hatte zwei Töchter mit ins Haus gebracht, die schön und weiß von Angesicht waren, aber garstig und schwarz von Herzen.“ (Seite 115)
Menurut Kamus DUDEN (2011):
schwarz dunkel, schmutzfarbig (gelap dan warna kotor)
Herzen Organ, das den Blutkreislauf durch regelmäßige Zusammenziehung und
Dehnung antreibt und in Gang hält (hati, organ tubuh).
Kata schwarz dalam konteks ini menekankan kata Herz untuk menyatakan bahwa ada seseorang yang memiliki hati yang gelap dan kotor atau diasosiasikan sebagai seseorang yang jahat. Kedua anak kandung tersebut merupakan tokoh antagonis yang berhati jahat. Hal ini dapat terlihat dari bagaimana kedua anak kandung itu mengejek dan mengolok-olok
Aschenputtel dengan kata-kata yang tidak baik, seperti sebutan dumme Gans kepada Aschenputtel. Kemudian diceritakan pula bahwa kedua anak kandung itu memperlakukan Aschenputtel seperti pelayan mereka. Misalnya, mereka seringkali menyuruh Aschenputtel
Selain itu, anak kandung yang digambarkan dalam dongeng ini adalah gadis-gadis yang memiliki wajah yang cantik, namun mereka keji dan memiliki hati yang buruk, seperti yang dinyatakan oleh kalimat “die schön und weiß von Angesicht waren, aber garstig und schwarz von Herzen.”
Dilihat dari jenisnya, metafora schwarz von Herzen termasuk dalam metafora kreatif karena merupakan metafora yang baru digunakan oleh pengarangnya dan belum tercantum di dalam kamus. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Kurz (1993: 19) bahwa metafora kreatif dapat dikatakan juga sebagai metafora yang baru muncul, meskipun mungkin metafora tersebut didasarkan pada ide-ide yang sudah ada sebelumnya.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini, saya menemukan sembilan metafora dari empat dongeng Gebrüder
Grimm yang merepresentasikan tokoh ibu tiri, anak tiri, dan anak kandung. Empat dongeng
itu adalah Aschenputtel, Brüderchen und Schwesterchen, Frau Holle, dan Sneewittchen. Saya juga telah mengategorikan metafora tersebut berdasarkan jenis metafora menurut Gerhard Kurz (1993), yaitu Metafora Kreatif, Metafora Konvensional, dan Metafora Leksikal. Dari sembilan metafora yang ditemukan dalam keempat dongeng tersebut, ada satu metafora yang dapat dikategorikan sebagai dua jenis metafora sekaligus, yaitu metafora konvensional dan metafora leksikal. Jadi, berdasarkan penelitian yang dilakukan, saya menemukan empat jenis metafora kreatif, dua metafora konvensional, dan empat jenis metafora leksikal.
Berdasarkan analisis metafora saya lakukan tentang tokoh ibu tiri, anak tiri, dan anak kandung, penggambaran ketiga tokoh dalam empat dongeng tersebut memperkuat asumsi tentang stereotipe yang selama ini berlaku. Stereotipe ketiga tokoh tersebut sampai saat ini juga masih berlaku pada dongeng Volksmärchen karena dongeng jenis ini memiliki ciri tersendiri dalam penggambaran karakter tiga tokoh tersebut. Ciri khas penggambaran tiga karakter itu adalah anak tiri menjadi tokoh yang selalu ditimpa kemalangan, menderita, dan bersifat baik atau selalu menempati peran protagonis, sedangkan ibu tiri adalah tokoh yang jahat dan antagonis. Sama seperti ibu tiri, stereotipe yang berlaku tokoh anak kandung (saudara tiri) juga sama, yaitu karakter jahat dan peran antagonis.
DAFTAR PUSTAKA
Brandenburg, Ina. 2009. Bachelorarbeit:Zur Figur der Stiefmutter in den Kinder- und Hausmärchen der Brüder
Grimm. Universität Postdam.
Knowles, M., & Moon, Rosamund. 2006. Introducing Metaphor. London dan New Yor : Routledge.
Kurz, Gerhard. 1993. Metapher, Allegorie, Symbol. Vandenhoeck & Ruprecht in Göttingen.
Kamus
Heuken, Adolf. 2007. Deutsch-Indonesisches Wörterbuch- Kamus Jerman-Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Scholze, Dr. Warner. 2011. DUDEN: Deutsches Universal-wörterbuch. Bibliographisches Institut GmBH.
Schneider, Christopher. 2002. KLUGE: Etymologisches Wörterbuch der deutschen Sprache. Berin:Walter de Gruyter GmBH&Co. KG.
Sumber Online
http://kbbi.web.id/interaksi, diakses pada 5 Juli 2013 pukul 20.00 WIB
http://www.asha.org/public/speech/development/language_speech/, diakses pada 30 April 2014, pukul 22.50 WIB.
http://www.bimbingan.org/contoh-majas-metafora-dalam-bahasa-inggris.htm, diakses pada 30 April 2014, pukul 00.25 WIB.
http://www.planet-schule.de/wissenspool/die-brueder-grimm/inhalt/hintergrund/maerchen-definition-abgrenzung-zur-sage-legende-fabel.html, diakses pada 29 April 2014, pukul 15.00 WIB.
http://www.deutschlandradiokultur.de/boese-boeser-am-boesesten-die-stiefmutter.954.de.html?dram:article_id=232333, diakses pada 24 April 2014
http://www.uni-muenster.de/ZIVwiki/pub/Anleitungen/PostScript/Merkmale_des_europischen_Volksmrchens_doc, diakses pada 13 Mei 2014, pukul 23.00 WIB
http://synonyme.woxikon.de/synonyme/neid.php, diakses pada 20 Juni 2014 pukul 14.00 WIB