• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I RITUAL MANGEJING: MAKNA INTEGRASI SOSIAL DALAM RITUAL PASCA PANEN DI SUMBA TIMUR. Corak keagamaan kosmis memiliki konsep bahwa manusia merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I RITUAL MANGEJING: MAKNA INTEGRASI SOSIAL DALAM RITUAL PASCA PANEN DI SUMBA TIMUR. Corak keagamaan kosmis memiliki konsep bahwa manusia merupakan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

RITUAL MANGEJING: MAKNA INTEGRASI SOSIAL DALAM RITUAL PASCA PANEN DI SUMBA TIMUR

1.1. Latar Belakang

Corak keagamaan kosmis memiliki konsep bahwa manusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari alam semesta, sehingga hidupnya harus disesuaikan dengan tertib alam raya. Alam semesta diyakininya mempunyai kekuatan-kekuatan supra-natural yang melampaui kekuatan manusia dan mampu mengendalikan kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia mengolah dan mengerjakan alam sekitarnya untuk mengupayakan agar terjalin hubungan yang harmonis antara manusia dan alam. Bentuk inilah yang menjadi pangkal dari kesadaran manusia akan adanya jiwa dalam dirinya sebagai asal mula religi.1

Koentjaraningrat mendefinisikan religi sebagai sistem perbuatan manusia untuk mencapai maksudnya dengan menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan yang ada di alam, baik berupa benda-benda untuk berkomunikasi dengan makhluk halus dan dewa-dewa, maupun secara langsung kepada makhluk halus dan dewa-dewanya. Asal mula religi itu disebabkan oleh adanya kepercayaan yang mengatakan bahwa segala benda dan tumbuh-tumbuhan yang ada di sekitar alam ini mempunyai kekuatan sakti yang berada di luar kekuatan manusia.2 Kekuatan-kekuatan gaib tersebut kemudian diformulasikan kedalam konsepsi-konsepsi yang abstrak dan kompleks, serta didukung dengan dongeng- dongeng suci tentang sifat dan kehidupan dewa yang menguasai dunia, dan untuk

223.

1 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan (Jakarta:Penerbit Djambatan, 1971), 78. 2 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1974),

(2)

selanjutnya direalkan dalam diri manusia primitif (nenek moyang) sebagai turunan dewa tersebut.3

Konsekuensi dari pemahaman bahwa manusia sebagai keturunan dewa yang menciptakan dan menguasai dunia, maka sudah menjadi keharusan bagi manusia untuk mengusahakan keselarasan dan keseimbangan hubungannya dengan kekuatan gaib yang tersembunyi di alam dewa itu, lewat upayanya menjalin relasi yang harmonis dengan alam semesta (pengelolaan alam semesta) serta sesama manusia. Hal ini dapat terlihat melalui pola-pola tradisionalnya untuk mengelola alam sekitarnya maupun pola-pola relasi sosial kemasyarakatan yang nampak dalam ritus yang dipraktekkan melalui ritual – ritual masyarakat.

Ritus merupakan sesuatu yang sangat esensial dan penting dalam kehidupan suatu masyarakat. Bagi suku-suku atau kelompok masyarakat yang mempraktikkan ritual, menolak ritual atau memboikot ritual adalah sama dengan mencederai agama dan komunitas. Kekuatan ritual terletak pada kolektivitasnya dalam hal mana ritual itu melekat dan memaksa seorang individu untuk menjadi bagian dari kolektivitas itu sendiri. Emile Durkheim mengatakan bahwa kesatuan dan kepaduan suatu masyarakat bukan saja karena ikatan darah, namun karena kesamaan nama dan lambang yang sama (totem), dari kepercayaan akan adanya ikatan bersama dengan kategori-kategori hal-ihwal tertentu, serta dari ritus-ritus yang juga mereka praktekkan bersama-sama.4 Durkheim lebih lanjut menegaskan bahwa representasi-representasi religius adalah representasi-representasi kolektif

3 Rachmat Subagya, Agama Dan Alam Kerohanian Asli Indonesia (Ende-Flores: Nusa Dua, 1979), 65.

4 Emile Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama Yang Paling Dasar, Tran. Inyiak Ridwan Muzir, M.Syukuri, First edition (Jogyakarta: IRCISod, 2011), 252.

(3)

yang mengungkapkan realitas-realitas kolektif; ritual-ritual merupakan bentuk tindakan (a way of acting) yang hanya lahir ditengah kelompok-kelompok manusia dan tujuannya adalah melahirkan, mempertahankan atau menciptakan kembali keadaan-keadaan mental (mental state) tertentu dari kelompok-kelompok itu.5 Evan Pritchard dalam penjelasan tentang pemikiran Durkheim, mengatakan agama primitif adalah kultus marga dan bahwa marga (klan) itulah “tuhan”. Ritus merupakan aturan-aturan tingkah laku dan perilaku atau tindakan masyarakat terhadap dirinya sendiri. Ritus merupakan upaya masyarakat menyadari dirinya dan untuk memelihara rasa solidaritas bersama bagi kelangsungan masyarakat tersebut. Ritual berfungsi sebagai pertama, mengikat anggota-anggota klan menjadi satu; kedua, secara kolektif mempengaruhi rasa solidaritas kelompok (fungsi sosial).6 Dalam prespektif fenomenologi agama, Mariasusai Dhavamoni juga menegaskan ritual sebagai agama dalam tindakan, dalam hal mana melalui simbol-simbol dalam ritus, terjadi pengungkapan pengalaman keagamaan secara empiris dan memberi kemungkinan “suatu perpanjangan dan penampakan ilahi.”7 Ritual diperlukan juga untuk menetapkan keseimbangan baru didalam hubungan- hubungan yang berubah, untuk memperoleh penyatuan kembali.8

Dengan demikian hakekat ritual bukan saja sebagai suatu fenomena religius yang menggambarkan hubungan manusia dengan Yang Ilahi, namun sekaligus menjadi suatu fenomena sosial yang mengekspresikan totalitas kehidupan sebuah masyarakat. Ritual berperan dan sangat mempengaruhi

5 Durkheim, Sejarah Bentuk-Bentuk Agama Yang Paling Dasar, 29-30.

6 Evan Pritchard, Teori-teori Tentang Agama Primitif, (Jakarta: PLP2M, 1984), 72,73,81 7 Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta:Kanisius,1995), 167 8 Dhavamoni, Fenomenologi Agama, 176.

(4)

keseluruhan proses hidup dan keberlangsungan eksistensi sebuah masyarakat. Dalam pemahaman ini, ritual dapat dikatakan sebagai representasi kehidupan masyarakat itu sendiri sejak awal maupun sepanjang peradaban masyarakat tersebut.

Dalam konteks Sumba, Ritual Mangejing merupakan salah satu ritual yang sangat esensial dan merupakan puncak dari serangkaian ritual9 pertanian

yang dilaksanakan selama musim bercocok tanam dalam setahun. Pengertian Mangejing adalah sembahyang atau pemujaan kepada Ilahi Tertinggi yang disebut

“Na Ndapa Tiki Tamu, Na Ndapa Nyura Ngara” (Yang tidak dapat disebut dan

dipanggil namanya). Penyembahan atau pemujaan ini dilakukan untuk berterimakasih atas segala hasil yang telah diterima selama satu musim atau periode (satu tahun) bercocok tanam maupun beternak dan mengawali pemanfaatan hasil tersebut. Ilahi Tertinggi “Na Ndapa Tiki Tamu, Ndapa Nyura Ngara” sangat kudus dan suci sehingga manusia tidak layak untuk menyebut namanya ataupun menyapa secara langsung. Oleh karena itu, penyembahan (mangejing) yang dilakukan selalu menggunakan perantara dalam hal ini Marapu (Yang suci, yang dipuja, yang disembah), yang dalam pelaksanaan mangejing adalah arwah leluhur yang sudah mati. Sebagai sebuah ritual puncak, pelaksanaan Ritual Mangejing dilakukan secara kolektif oleh klan-klan (kabihu)10 dengan melibatkan seluruh anggota kabihu serta kabihu-kabihu terkait lainnya. Dalam konteks ini, ritual mangejing menjadi konfigurasi sosial-religius bagi masyarakat

9 Dalam setiap tahap bercocok tanam (bertani) sejak persiapan lahan, penanaman, pemeliharaan hingga panen, selalu dilakukan ritual.

10 Klan (kabihu) adalah satu pengelompokan sosial kemasyarakatan berdasarkan marga atau kelompok keluarga-keluarga luas dan terikat oleh tradisi-tradisi adat istiadat maupun ritual- ritual secara khas kabihu.

(5)

Sumba yang menyatukan masyarakat terebut dalam keseluruhan aspek kehidupannya.

Kebutuhan mendesak dari penelitian ini adalah untuk melakukan pengkajian terhadap sistem nilai budaya dan religiusitas masyarakat Sumba guna menggali sejauhmana sistem nilai sosio-religius dan kebudayaan tersebut mempengaruhi integrasi sosial masyarakat Sumba. Hal ini penting sebagai upaya memahami secara lebih komprehensif kondisi objektif masyarakat Sumba pada masa kini dan membangun ramalan-ramalan baru11 fenomena perubahan yang

mungkin terjadi.

Banyak penelitian telah dilakukan dalam kaitan dengan adat-istiadat dan kebudayaan Sumba. Oe.H. Kapita12 menuliskan buku-buku tentang Sumba dan adat istiadatnya. Kapita mendeskripsikan kebudayaan Sumba secara umum dalam kaitan dengan kepercayaan Marapu, struktur sosial, sejarah suku-suku, maupun perjumpaan kebudayaan Sumba dengan Gereja Kristen Sumba, serta perubahan masyarakat Sumba dalam konteks berbangsa dan bernegara. Demikian juga disertasi Fred Djara Wellem13 dalam studi Historis Teologis tentang perjumpaan

Injil dengan Masyarakat Sumba periode 1876-1990. Wellem menekankan perjumpaan Injil dan Marapu telah membentuk suatu masyarakat baru di Sumba,

11 Istilah Imre Lakatos Dalam Program Riset Ilmu Pengetahuan (155). Menurut Lakatos perbedaan antara sains dan pseudosains adalah bahwa sebuah sains adalah sains yang bisa menciptakan peramalan-peramalan terhadap fenomena baru. Pseudosains tidak menciptakan peramalan-peramalan baru dan karena itu gagal disebut sains. Sebuah sains mampu menciptakan peramalan-peramalan terhadap fakta-fakta, entah ditemukan atau tidak. Sebuah program penelitian disebut progresif ketika dia membuat ramalan-ramalan mengejutkan yang dikonfirmasi dan degeneratif ketika ramalannya tidak akurat atau hanya memoles teori agar sesuai dengan fakta.

12 Buku-bukunya antara lain Sumba Dalam Jangkauan Jaman tahun 1976, Masyarakat

Sumba dan Adat Istiadat Tahun 1980, Sejarah Pergumulan Injil di Sumba 1982, dan Pamangu Ndewa–Perjamuan Dewa 1985.

(6)

yaitu masyarakat Kristen serta terbentuknya Gereja Kristen Sumba seperti yang dijumpai saat ini.14 Kajian lain yang terkait dengan ritual pertanian dilakukan oleh Dharmaputra Palekahelu.15 Namun perhatiannya lebih kepada perspektif modal spiritual masyarakat Sumba dalam menghadapi kekeringan dan kemiskinan. Terdapat pula penelitian tentang Sumba dalam kaitan dengan kebudayaan namun dalam perspektif pengembangan ekonomi lokal yang dilakukan oleh Jacqueline Vel. Penelitian ini lebih melihat struktur keluarga dan rumah sebagai filosofi dasar orang Sumba dalam mengembangkan konsep dan perilaku ekonomi dalam kehidupan kesehariannya. Pada setiap bab terdapat contoh mengenai cara mempelajari ekonomi lokal, yaitu kegiatan-kegiatan berkenaan dengan produksi, distribusi dan konsumsi materi sesuai kebutuhan, dan pengorganisasian kegiatan- kegiatan tersebut. Pola-pola organisasi ekonomik, pertama-tama tercermin dalam hubungan- hubungan sosial. Pertukaran barang materi, misalnya kuda dan kerbau, juga uang dan bahan makanan, berfungsi sebagai sarana untuk membangun dan memperkokoh hubungan sosial.16 Penelitian lain dilakukan oleh Yendri A.H. Yetty Leiloh. Dalam penelitian ini Yetty menekankan identitas baru penganut Marapu sebagai hasil perjumpaan dengan Gereja dan kebijakan pariwisata pemerintah. Pada satu sisi terjadi sinkretisme antara keyakinan Marapu dengan Injil, dan pada sisi lain penganut Marapu harus beradaptasi terhadap upaya eksploitasi ritual pasola dan wulla poddu demi kepentingan wisata. Dalam

14 Wellem, Injil dan Marapu, ix

15Dharmaputra Palekahelu, Marapu: Kekuatan Dibalik Kekeringan, (UKSW, 2010) 16 Jacqueline Vel, Ekonomi-Uma:Penerapan adat dalam dinamika ekonomi berbasis

(7)

konteks ini terjadi perubahan identitas asli menjadi identitas penganut marapu yang baru.17

Penelitian- penelitian di atas telah menjelaskan banyak aspek dari budaya Sumba. Namun, penelitian–penelitian tersebut belum melihat aspek integrasi sosial dalam ritus masyarakat Sumba. Karena itu, penulis akan meneliti makna integrasi sosial dalam ritual pasca panen (mangejing) di Sumba Timur. Sebagai suatu ritual yang dilaksanakan secara periodik dalam ritme kehidupan rutin orang Sumba, ritual Mangejing memiliki signifikasi tersendiri secara sosio-religius. Karena itu, ritual Mangejing dianggap cukup representatif menggambarkan sistim nilai sosial-religiusitas masyarakat Sumba terutama pada aspek integrasi sosial dalam kabihu.

Penelitian ini akan mengacu pada pandangan-pandangan teoritis dalam kaitan dengan integrasi sosial dan ritual itu sendiri, dan selanjutnya pandangan- pandangan tersebut akan menjadi perspektif teori dalam proses penelitian dan penulisan hasil penelitian. Perspektif pertama adalah pandangan Clifford Geertz yang melihat ritual sebagai rumusan-rumusan yang kelihatan dari pandangan- pandangan, abstraksi pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk-bentuk yang dapat diindrai, perwujudan konkrit gagasan-gagasan, sikap-sikap, putusan- putusan, kerinduan-kerinduan atau keyakinan-keyakinan. Ritual berfungsi mensintesiskan suatu etos bangsa yaitu: nada, ciri, kualitas kehidupan mereka, moralnya, gaya estetis, suasana hati, serta pandangan hidup.18 Agama sebagai sebuah sistem budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang mendefinisikan

17 Yendri A.H.Yetty Leyloh, Identitas Penganut Marapu Berhadapan Dengan Gereja

Dan Pariwisata di Sumba Barat, (Jogyakarta: Thesis Univ.Sanata Dharma, 2007), x

(8)

agama sebagai: 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang umum; 4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual; 5) Yang pada akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.19 Dalam kaitan dengan integrasi sosial, Geertz mengatakan bahwa integrasi sosial terdiri dari integrasi bermakna-logis dan integrasi fungsional-kausal.20 Integrasi bermakna-logis adalah integrasi khas bagi kebudayaan, yaitu sebuah integrasi yang menggambarkan kesatuan gaya, kesatuan implikasi logis, kesatuan makna. Sedangkan integrasi fungsional-kausal adalah jenis integrasi yang ditemukan dalam suatu organisme, dimana seluruh bagiannya terpadu dalam suatu jaringan kausal; masing-masing bagiannya merupakan suatu unsur didalam lingkaran sebab akibat, yang berulang, yang menjaga kelangsungan sistim.21 Perspektif kedua, Viktor Turner yang mengatakan bahwa ritual secara politik memiliki peran integratif dan sebagai bagian dari mekanisme sosial yang memulihkan keseimbangan dan solidaritas sosial. Ritus berkaitan dengan masyarakat, merupakan ikatan utama antar orang dan kelompok, penampakan dari keyakinan religius dan praktek-prakteknya, mendorong orang-orang untuk melakukan dan menaati tatanan sosial tertentu, serta memberi motivasi dan nilai-nilai pada tingkat

125.

19 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, (New York: Basic Group,1973), 87- 20 Kutipan Geertz terhadap konsep P.Sorokin, Sosial and Cultura Dynamics, 3 jilid (New York, 1937); Lihat Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, 74.

(9)

paling dalam. Sehingga dengan memahami ritual, kita dapat memiliki pemahaman tentang kondisi sosio-religius dan sistim suatu masyarakat.22

Pemilihan Cliford Geertz adalah karena banyak melakukan penelitian di Indonesia. Dengan demikian kajian-kajian kritis keilmuannya dalam konteks Indonesia akan sangat membantu karena memiliki kedekatan geografis maupun karakteristik kebudayaan. Disamping alasan geografis tersebut, perspektif Geertz yang kritis tentang pembilahan konsep kebudayaan dan sistim sosial dalam upaya memodifikasi pendekatan fungsional sehingga lebih efektif dalam memahami fenomena perubahan sosial akibat distingsi kebudayaan, merupakan kerangka teori yang memadai dalam menganalisis struktur kebudayaan dan sosial masyarakat Sumba. Sedangkan Victor Turner akan membantu penelitian ini terutama dalam menguraikan struktur suatu ritual dengan kompleksitas simbol dan perilaku maupun tahapan-tahapannya. Sebagai model analisis terhadap proses perubahan dalam masyarakat, pendekatan “dialektika monumental” dari Peter L.Berger yang terdiri dari tiga momentum juga akan dipakai dalam himpunan teori yang dirujuk. Perspektif dialektika Berger akan sangat menolong untuk mengamati proses eksternalisasi suatu masyarakat, kondisi objektivasi dan internalisasi masyarakat sebagai proses penyerapan dan pembentukan identitas baru.23

Permasalahan yang dihadapi adalah bahwa besar kemungkinan ritual mangejing bukan lagi menjadi suatu kewajiban religius yang wajib dan rutin

22 Victor Turner, Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Aldine de Gruyter, 1969), 18; Lihat juga Y.W.Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas

dan Komunitas Menurut Victor Tuner, (Jogyakarta: Kanisius, 1990), 21 – 67; Brian Morris, Antropologi Agama: Kritik Teori-teori Agama Kontemporer, (Jogjakarta: AK Group, 2003), 299.

(10)

dilaksanakan setiap tahun sesuai dengan kalender musim bercocok tanam bagi masyarakat Sumba Timur secara umum. Kemungkinan berikutnya adalah jikalau hal tersebut adalah kondisi sekarang, maka dapat diduga telah terjadi pergeseran pemahaman akan tata cara, otoritas maupun makna substansial dari ritual mangejing itu sendiri. Dampak lanjut dari situasi ini adalah akan terjadi distingsi pelaksanaan ritual yang berpotensi menciptakan disintegrasi sosial. Kondisi ini dapat mempengaruhi kohesivitas sosial dan lunturnya identitas komunal karena melebur dalam tatanan masyarakat secara umum. Banyak kemungkinan serta asumsi yang dapat diberikan seperti melemahnya etos kerja mengelola alam (pertanian) sebagai bagian dari upaya manusia beribadah dan menjaga keharmonisan hubungannya dengan yang ilahi dan alam. Namun untuk kepentingan penelitian ini, keseluruhan permasalahan tersebut terangkum dalam masalah inti yaitu makna integrasi sosial dalam ritual mangejing.

Berdasarkan permasalahan diatas, maka rumusan pertanyaan penelitiannya adalah: “Bagaimanakah peran ritual mangejing dalam pembentukan integrasi sosial masyarakat Waiwunga di Sumba Timur?”

Mengacu pada pertanyaan-pertanyaan diatas maka penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran ritual mangejing dalam pembentukan integrasi sosial dalam masyarakat Kampung Waiwunga di Sumba Timur.

Adapun Manfaat Penelitian ini adalah: Pertama, manfaat teoritisnya adalah mendapatkan konsep makna Integrasi Sosial dibalik Ritus Mangejing dalam masyarakat Sumba Timur; Kedua, manfaat praktisnya adalah: 1), Bagi kepentingan masyarakat Sumba Timur, dapat lebih memahami kekuatan sosial-

(11)

religius sebagai pembentuk identitas sosial dan eksistensinya ditengah-tengah perubahan yang sedang dan akan terjadi; 2). Gereja mampu menjadikan kebudayaan lokal sebagai bingkai dalam berteologi dan dapat melakukan refleksi kritis tentang aspek pertumbuhan dan perkembangan dirinya secara kreatif, kritis dan positif, serta dapat menciptakan kembali interaksi dinamis dari Injil-Gereja- Budaya, yang lebih konstruktif bagi pembangunan masyarakat.

1.2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan adalah pendekatan kualitatif dengan pola deskriptif-eksploratif. Paradigma penelitian kualitatif dianggap relevan dengan kebutuhan penelitian yang akan dilakukan karena memiliki karakter penelitian untuk memahami situasi, peristiwa, kelompok, atau interaksi sosial tertentu dan dapat diartikan sebagai proses investigasi yang didalamnya peneliti secara perlahan memaknai suatu fenomena sosial dengan membedakan, membandingkan, menggandakan, mengatalogkan, dan mengklasifikasi objek penelitian. Penelitian kualitatif memberikan pilihan-pilihan strategi yang memadai bagi kepentingan penelitian ini, terutama dengan strategi etnografi, grounded theori, studi kasus, fenomenologi, dan naratif.24 Mengacu pada prinsip pendekatan kualitatif, maka penelitian ini berupaya memberikan desain deskriptif kualitatif 25 tentang fenomena-fenomena tertentu secara rinci, dengan mana syarat keterwakilan cukup longgar, namun keseksamaan harus terjamin demi

24 John W.Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Cetakan ke-2 (Jogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 19-20, 292.

25 H.M.Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif:Edisi Kedua, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), 67-70.

(12)

obyektivitas fakta yang ada. Kesimpulan-kesimpulannya bisa dalam bentuk permasalahan yang lebih tajam atau hipotesis-hipotesis.

Instrumen penelitian yang dipakai adalah wawancara non-terstruktur, observasi dengan pemanfaatan alat bantu (alat rekam suara, gambar, dan lain- lain). Secara garis besar substansi pertanyaan untuk wawancara dibagi dalam dua (2) kelompok besar yaitu: a). Pertanyaan sekitar data-data responden, dan b) pertanyaan-pertanyaan untuk mengungkapkan makna integrasi sosial dibalik ritus mangejing.

Dalam penelitian yang bersifat deskriptif-eksploratif, responden bisa dipilih purposif. Responden dipilih atas dasar jabatan dalam suku atau Klan (kabihu), dan kepercayaan (Marapu dan Non-Marapu). Berdasarkan kriteria tersebut dipilih 4 responden kunci dan dua (2) diantaranya adalah Imam Agama Suku (Rato) sebagai responden kunci. Ritual mangejing dipergunakan sebagai satuan analisis, sekaligus sebagai satuan amatan.

Dalam penelitian ini diupayakan pengumpulan data primer dan data sekunder. Data primer mencakup data tentang responden yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, kepercayaan, jabatan dalam Kabihu dan lain-lain. Data primer juga mencakup pemahaman responden mengenai ritual Mangejing dan pengaruh sosio-religius terhadap makna integrasi sosial. Sumber data primer juga diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam terhadap informan kunci, yaitu dua (2) orang Rato. Data sekunder yang dikumpulkan terdiri dari keadaan demografi, geografi, jumlah pemeluk agama, dan lain-lain.

(13)

Kedua jenis data tersebut di atas diperoleh dengan teknik sebagai berikut: a). Wawancara non terstruktur dilakukan kepada responden dan informan kunci yang terdiri dari Rato satu orang dan lima orang Tua-Tua Adat; b). Observasi non- sistematis (tidak menggunakan instrumen pengamatan), dilakukan langsung di lapangan di lokasi kampung Waiwunga; c). Studi kepustakaan, untuk mempelajari bahan-bahan yang berhubungan dengan pokok yang hendak dikaji.

Data yang terkumpul dianalisis dengan dua pendekatan yaitu secara kualitatif dan secara kuantitatif. Analisis kualitatif menerapkan teknik Analisa Isi (Content Analysis) dengan langkah-langkah dimulai dari reduksi data, penyajian data dalam bentuk tabel-tabel sederhana, dan kemudian dilakukan penarikan kesimpulan. Juga menggunakan strategi kualitatif yaitu dengan menerapkan analisa proses, fenomenologi, kultur dan struktur sosial. Cara analisis ini pada dasarnya dapat dilakukan ketika peneliti masih di lapangan, yang secara terus- menerus melakukan pencatatan lapang dan mengklasifikasikannya. Analisis kuantitatif ditempuh dengan cara mengupayakan informasi dari responden dan informan kunci, kemudian dikategorikan sesuai dengan tujuan penelitian.

Lokasi penelitian adalah Kampung Waiwunga, Desa Makamenggit, Kecamatan Nggaha Oriangu, Kabupaten Sumba Timur. Alasan pemilihan lokasi adalah karena komunitas masyarakat yang berada di lokasi tersebut masih kuat dipengaruhi tradisi Marapu (Agama Suku Sumba) sekalipun secara statistik kebanyakan sudah tercatat beragama Kristen. Konteks ini menarik karena terjadi dinamika pembauran tradisi Marapu yang mewarnai banyak aspek kehidupan

(14)

sosial-religus masyarakat setempat, dengan ketatnya tata aturan bergereja yang membatasi perilaku sosial-budaya dalam kehidupan sehari-hari.

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi sebuah referensi kritis dalam mengkonstruksi pola hubungan sosial-religus yang integratif dan berkontribusi positif dalam membangun peradaban masyarakat setempat maupun tempat-tempat lainnya di wilayah Sumba Timur.

Out put penelitian ini juga diharapkan pertama, dapat menjadi rujukan berbagai pihak dalam melakukan rekayasa sosial bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat; kedua, menjadi salah satu karya ilmiah dalam khasanah keilmuan sosial-religius.

1.3. Sistimatika Penulisan

Tesis ini akan ditulis dalam beberapa bagian yang terbagi atas beberapa bab yaitu:

1.3.1. Pada Bab I memuat Pendahuluan; dalam bagian ini penulis akan memaparkan latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan untuk mensistematisasikan laporan hasil penelitian.

1.3.2. Pada Bab II mencakup teori tentang ritus dan integrasi sosial dari perspektif Clifford Geertz dan Victor Turner serta sejumlah pandangan yang disebutkan dalam Bab I sebagai dasar teoretis untuk menganalisis situasi dan kondisi sosial objek penelitian, Kebudayaan dan Struktur Sosial Masyarakat Sumba.

(15)

1.3.3. Pada Bab III berisi hasil penelitian mengenai “Makna Integrasi Sosial Dalam Ritual Mangejing Di Sumba Timur” yang mencakup uraian mengenai: Gambaran Umum Masyarakat di Kampung Waiwunga, Pengorganisasian Sosial, Perilaku Sosio-Religius, Kosmologi, Aspek Fisik dan Ekonomi serta deskripsi pelaksanaan ritual Mangejing di Masyarakat Kampung Waiwunga; yang merupakan suatu proses dari pengumpulan data dengan teknik observasi, wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD), serta berfungsi untuk mendeskripsikan Makna Integrasi Sosial Dalam Ritus Mangejing di Sumba Timur.

1.3.4. Pada Bab IV berisi tentang pembahasan dan analisis data “Makna Integrasi Sosial Dalam Ritual Mangejing di Kampung Waiwunga” yang mencakup uraian mengenai: Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Bermakna Logis; Ritual Mangejing dan Integrasi Sosial Fungsional Kausal; Integrasi Sosial dan Perubahan Perilaku; Perubahan Perilaku dan Bukan Makna; dengan berlandaskan teori ritus dan integrasi sosial menurut Clifford Geertz serta Victor Turner.

1.3.5. Pada bab V ini merupakan penutup yang mencakup kesimpulan penelitian, baik temuan teoretis maupun praktis, serta rekomendasi

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu hamil tentang anemia dengan kejadian anemia pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Banyumas tahun

Analysis of DNA repair and protection in the Tardigrade Ramazzottius varieornatus and Hypsibius dujardini after exposure to UVC radiationJ. Desiccation tolerance of the

Pencegahan atau penanggulangan penyalahgunaan narkoba merupakan suatu upaya yang ditempuh dalam rangka penegakan baik terhadap pemakaian, produksi maupun peredaran gelap narkotika

2) Nilai tambah yang didapat dari pengolahan kopi robusta Panawangan Coffee di Desa Sagalaherang adalah Rp 59.648/kg bahan baku. Angka ini merupakan selisih antara nilai

Dari hasil wawancara diketahui bahwa pegawai pada Kantor Kementerian Agama Kabupaten Keerom memang sangat mengharapkan lingkungan kerjanya menjadi jauh lebih

Gambar 4.42 Arus inrush hasil demagnetisasi fasa T pada inti cara potong B Berdasarkan uraian di atas, hubungan pengaruh durasi demagnetisasi dengan shunt capacitor

En este artículo se introduce una función para calcular el número de dígitos de la parte entera de un número y se aplica para: evaluar la potencia de cada calculadora, estimar

Dalam system ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional ( national income ) adalah teori