• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KAJIAN PELAYANAN PASTORAL PENDETA TERHADAP PASIEN MARAPU DI RUMAH SAKIT KRISTEN LENDE MORIPA WAIKABUBAK SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING LINTAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KAJIAN PELAYANAN PASTORAL PENDETA TERHADAP PASIEN MARAPU DI RUMAH SAKIT KRISTEN LENDE MORIPA WAIKABUBAK SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING LINTAS"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

72

BAB IV

KAJIAN PELAYANAN PASTORAL PENDETA TERHADAP PASIEN MARAPU DI RUMAH SAKIT KRISTEN LENDE MORIPA WAIKABUBAK SEBAGAI PENDEKATAN KONSELING LINTAS

AGAMA DAN BUDAYA

Berdasarkan hasil temuan lapangan bahwa untuk melakukan konseling pastoral maka perlu adanya pendekatan yang tepat dalam menangani pasien yang non Kristen, khususnya pasien yang bergama lokal. Dalam bab ini, penulis akan mengkaji pelayanan pastoral pendeta sebagai pendekatan konseling lintas agama dan budaya.

4.1. Kajian Terhadap konsep Sakit dan Pelayanan Pastoral Pendeta terhadap Pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak.

Terkait dengan pandangan sakit orang yang menganut kepercayaan Marapu, khususnya pasien-pasien di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak memberikan pandangan bahwa sakit yang mereka alami masih memiliki hubungan dengan kepercayaan bahwa ketika mereka melakukan pelanggaran terhadap nilai dan norma yang berlaku dalam keyakinan Marapu dan hal tersebut menimbulkan kemarahan Marapu sehingga mereka mengalami sakit. Ada ritual yang digunakan masyarakat Sumba penganut kepercayaan Marapu dimana mereka meyakini bahwa ketika kesembuhan itu belum diperoleh maka cara yang kedua adalah mendatangi pihak rumah sakit. Ritual atau cara pengobatan ini

(2)

73

dilihat penulis sebagai simbol atau makna dari kepercayaan yang masih mereka anut.

Konsep sakit ini dalam hubungannya dengan teori yang dijelaskan oleh Willem, bahwa kepercayaan Marapu adalah kepercayaan terhadap dewa atau illah yang tertinggi, arwah nenek moyang, makhluk-makhluk halus (roh-roh) dan kekuatan-kekuatan sakti. Mereka dapat memberi berkat, perlindungan, pertolongan bahkan kesembuhan yang baik jika disembah. Jika tidak Marapu akan memberikan malapetaka atas manusia. Seluruh kepercayaan ini terangkum dalam

kata Marapu.1 Hal ini berarti bahwa pasien-pasien yang menganut kepercayaan

Marapu ketika sakit maka mereka haruslah terlebih dahulu meminta pertolongan melalui Marapu untuk dapat menyampaikan permohonan keinginan mereka dalam memperoleh kesembuhan ke Illah tertinggi yang di sebut “Morri” dan bagaimana mereka memperbaiki hubungan mereka jika sakit yang dialami adalah karena kemarahan Marapu. cara yang mereka tempuh juga adalah melalui ritual adat istiadat yang sudah biasa mereka lakukan untuk menemukan penyebab sakit yang sedang diderita.

Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis menemukan bahwa secara medis nyata bahwa sakit yang dialami adalah memang sakit secara fisik bukan karena marapu marah tetapi konsep pemikiran ini telah ada sejak dahulu kala sehingga menjadi tantangan bagi pihak rumah sakit ketika pasien meminta untuk pulang ke rumah mengurusi urusan adat daripada sakit dalam waktu yang lama. Adapula pemahaman bahwa Tuhan yang menciptakan tumbuh-tumbuhan

1

(3)

74

sehingga dengan persepsi seperti ini membuat pasien penganut marapu ini percaya bahwa mereka lebih baik pengobatan tradisional saja dulu, kalau obat-obat herbal tersebut tidak bisa digunakan maka cara lain adalah rumah sakit.

Orang Marapu memiliki konsepsi sosial yang kuat dalam keterikatan mereka dengan alam. Hal ini senada dengan pengakuan keluarga LG dan IN yang mengemukakan bahwa sebagai orang Marapu dalam ritual pengobatan oleh dukun kampung digunakan obat kampung dari kulit kayu yang dimasak untuk selanjutnya diminum dan mandi dan pengobatan kampung menggunakan akar-akar daun yang menurutnya hanya diketahui oleh dukun/orang marapu yang mereka percayai adalah ciptaan Tuhan yang bisa memberikan kesembuhan.

Kepercayaan ini membuat pasien marapu menganggap bahwa cara penyembuhan melalui medis adalah bagian kedua setelah pengobatan tradisional yang digunakan. Tetapi kemudian ada pengakuan bahwa ketika kesembuhan itu sudah tidak diperoleh maka jalan lain yang harus di pakai adalah kerumah sakit dengan alasan rumah sakit juga banyak mengetahui penyakit apa saja yang di derita. Permasalahan adat memberikan konsep sakit dan kesembuhan bagi para pasien marapu.

Adapun hasil penelitian yang dilakukan, penulis menemukan ritual adat istiadat kebudayaan Marapu dalam kehidupan masyarakat Sumba sangat erat dengan alam semesta sehingga upacara atau ritual untuk meminta pertolongan dan mengucap syukur akan sesuatu hal yang terjadi dalam diri seseorang atau kelompok masyarakat tidak terlepas dari hewan dan tumbuh-tumbuhan yang di

(4)

75

yakini bahwa alam semesta yang di ciptakan ini memiliki kekuatan supranatural. Hal ini berlaku secara turun temurun.

Penganut Marapu memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan dengan alam semesta. Melalui ritual penganut marapu mempercayai seluruh hidupnya bergantung pada alam semesta. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi ritus yaitu memperkuat sistem dan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Seperti yang dijelaskan oleh Willem bahwa Dekatnya hubungan Marapu dengan Alkhalik, membuat masayarakat memahami Marapu sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Alkhalik itu sendiri. Untuk itulah mereka juga menganggap bahwa Marapu memiliki kekuatan supranatural, walaupun mereka menyadari

bahwa kekuatan itu sebenarnya bersumber dari Alkhalik.2

Semua orang ingin memiliki kesembuhan, oleh karena itu segala cara akan mereka lakukan. Cara yang mereka gunakan pun banyak mengandung unsur tradisional atau yang berhubungan dengan kepercayaan yang dianut. Sama seperti orang Kristen ketika sakit akan berdoa meminta kesembuhan pada Tuhan namun bagi Masyarakat khususnya yang masih menganut agama lokal akan memakai cara yang sesuai dengan ritual adat istiadat mereka. Seperti yang dialami oleh bapak S, Ibu IN, bapak BL, bapak LG, dan Ibu IP, tujuan mereka melakukan ritual sebelum pemeriksaan di rumah sakit karena mereka ingin memastikan penyebab utama dari sakit yang mereka alami masih bisa di tolong dengan obat tradisional atau memang harus berobat di rumah sakit dan ada juga mkasud dan tujuan lainnya yaitu untuk meminta restu dari Marapu untuk berobat secara medis

2

(5)

76

atau memohon kesembuhan pada “Morri’ karena Marapu adalah penyambung komunikasi antara manusia dan Illah tertinggi yaitu “Morri”.

Perbedaan karakter pola pikir dalam melihat suatu fenomena. Masyarakat modern menganalisa, mengkategorikan, dan menghubungkan ide-ide dengan realita yang dihadapi, sedangkan masyarakat tradisional lebih memilih mengalami situasi dan membiarkan situasi tersebut berhenti sendiri. Jika pengalaman tidak nyaman maka mereka kemudian mencari bantuan kepada para leluhur, komunitas atau pemimpin gereja. Masyarakat tradisional pada dasarnya berbikir relasional sehingga berpandang bahwa masyarakat modern lebih banyak belajar teori daripada merasakan apa yang dialami. Sebagaimana diungkapkan dalam teori yang dikemukakan oleh Toto dan Julianus bahwa adanya keterikatan yang kuat dalam komunitas masyarakat Marapu membentuk konsepsi berpikir orang Marapu tentang alam dan ikatan emosional yang kuat dalam struktur kemasyarakatan, terutama pengakuan terhadap penyembuh (dukun) adat. Itulah yang menjadi kekuatan mereka untuk tetap eksis atau survive sebagai orang Marapu ditengah-tengah arus pengobatan modern. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi ritus

yaitu memperkuat sistem dan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat.3

Melalui konsep ini maka dapat dipahami bahwa struktur masyarakat Indonesia yang pluralis ditandai dengan keberagaman budaya dan kepercayaan yang merupakan suatu keniscayaan hidup berbangsa dan bernegara. Keberagaman tersebut merupakan anugerah bagi bangsa ini, tetapi juga sering menjadi

3

Toto Sucipto dan Julianus Limbeng. 2007. Studi Tentang Religi Masyarakat Baduy di Desa Kanekes Provinsi Banten. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata DIrektorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Hal. 6.

(6)

77

penghambat dalam membangun relasi antar sesama karena masih ada masayrakat yang belum membuka diri menerima orang lain sama seperti dirinya sendiri. Bertolak dari konsep ini maka dapat dilihat bahwa hubungan lintas agama dan budaya bukan hanya sebatas kita melihat perbedaan ras tetapi dalam pola pikir dan pemahaman seseorang menjalani hidupnya sekalipun mereka adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sama.

Kehidupan dalam suatu bangsa yang nyata beragam penerimaan bagi sesama yang berbeda merupakan suatu keharusan sehingga perubahan pola pikir dan sikap dalam menyikapi perbedaan adalah suatu kewajiban yang harus dialami dan dilakukan oleh setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia. Sama seperti pemahaman tentang sistem kepercayaan lokal seperti marapu dapat dilihat dari beberapa sudut pandang dalam ungkapan Dharma dalam Qoyim menggambarkan sistem kepercayaan lokal mengandung dua dimensi yakni kepercayaan, ajaran, dan tingkah laku serta keberagaman kepercayaan serta ajaran dalam perilaku

pengikut suatu agama.4

Gereja menyadari bahwa pelayanan-pelayanan pastoral di Rumah Sakit sangat penting. Dalam hal ini pelayanan pastoral di Rumah Sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam sejarah pekabaran injil di tanah Sumba. Oleh karena itu, gereja memandang perlu untuk memberi tugas khusus kepada pendeta Gereja Kristen Sumba (GKS) untuk melakukan tugas-tugas pelayanan pastoral di Rumah Sakit sesuai dengan yang diamanatkan dalam Tata Gereja GKS. Gereja menyadari

4

Dharma T. Palekahelu, Marapu dalam Kekuatan di Balik Kekeringan (Salatiga: Disertasi UKSW, 2010), 21.

(7)

78

sungguh bahwa eksistensi GKS sampai saat ini tidak terlepas dari dukungan masyarakat Sumba, terkhusus di kota Waikabubak atau bisa dikatakan bahwa GKS adalah bagian dari masyarakat Sumba sehingga sudah kewajiban gereja untuk melayani masyarakat dimana gereja itu dipercayakan Tuhan untuk melayani.

Secara prinsip, pelayanan pastoral di Rumah Sakit merupakan domain rumah sakit dan pendeta yang mengatur seluruh mekanisme dan kebijakan-kebijakan yang terkait pelayanan pastoral. Fakta bahwa pasien yang dilayani di RS Kristen Lende Moripa bukan hanya beragama Kristen merupakan anugerah bagi gereja karena dapat melayani siapa saja tanpa memandang unsur-unsur primordial. Dalam konteks pemberitaan injil, maka injil harus diberitaka kepada seluruh bangsa di bumi. Eksistensi pendeta dalam pelayanan pastoral di Rumah Sakit diharapkan agar Kristus dinyatakan lewat pelayanan kasih yang maksimal. Artinya bahwa gereja memandang bahwa pengenalan akan Kristus tidaklah dilakukan dengan cara-cara indoktrinasi, tetapi lewat pelayanan orang bisa melihat kemuliaan Kristus. Selanjutnya apabila orang tersebut tergerak hatinya untuk menjadi percaya kepada Kristus merupakan pribadi yang mereka gumuli. Dalam beberapa kasus, pasien yang dilayani oleh pendeta memutuskan untuk dibaptis menjadi orang Kristen.

Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Clinebell bahwa pendampingan dan konseling pastoral membantu pembaruan semangat gereja dengan menyediakan alat untuk pembaruan pribadi, hubungan, dan kelompok manusia sehingga konseling dapat membantu kita menjadi gereja yaitu persekutuan yang

(8)

79

didalamnya kasih Allah menjadi realitas yang dialami dalam

hubungan-hubungan.5 Secara prinsip ada 2 hal yang bisa dimaknai dalam proses pelayanan

pastoral di Rumah Sakit: 1) Kasih Kristus harus disampaikan melalui tindakan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan orang sakit secara holistik; 2) Keputusan untuk mengikut Kristus sebagai dampak dari proses pelayanan merupakan domain pribadi pasien yang juga harus mendapatkan pendampingan khusus dari gereja.

Hasil penelitian ini membawa kesadaran akan pentingnya pelayanan pastoral bagi orang sakit sudah disadari oleh para pendiri rumah sakit yang menganggap bahwa sakit bukan hanya karena faktor fisik, tetapi juga berkaitan dengan kondisi psikologis seseorang. Hal ini tentu saja didukung oleh kenyataan bahwa orang-orang sakit yang mendapatkan pelayanan pastoral memiliki kecenderungan untuk lebih cepat mengalami proses penyembuhan dan pemulihan. Dalam perjumpaan pasien dengan pendeta lewat percakapan-percakapan yang terjadi, maka pendeta semakin menyadari adanya keterbukaan dari pasien tentang akar masalah penyakit yang dialami. Pasien-pasien yang sebelumnya tampak tertekan dengan sakit yang mereka alami biasanya menjadi lebih bersemangat dan tampak dari ekspresi wajah (senyum) yang berubah setelah mengalami sesi percakapan dan doa dengan pendeta.

5

(9)

80

4.2. Kajian Pendekatan Konseling Lintas Agama dan Budaya dalam Pelayanan Pastoral bagi Paseien orang Marapu serta Eksistensi Ritus Marapu

Lebih spesifik ketika mengkaji kehidupan masyarakat Sumba, kita menemukan fakta bahwa pluralitas kehidupan ke-Indonesia-an nampak jelas dalam keberagaman hidup masyarakat disana, terlebih lagi eksistensi dari masyarakat adat Marapu yang masih terikat kuat ke dalam nilai-nilai budaya dan kepercayaan mereka. Eksistensi rumah Sakit Kristen Lende Moripa sebagai bagian dari tanggungjawab dan panggilan gereja dalam melayani masyarakat berjumpa dengan masyarakat Marapu merupakan hal yang istimewa untuk dikaji secara mendalam.

Mengacu pada proses pelayanan yang telah dilakukan sejak zaman zending Belanda, hal menarik yang diungkapkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan bagian dari penunjang kegiatan pekabaran injil gereja di tanah Sumba yaitu kegiatan yang menciptakan kondisi yang memungkinkan pelaksanaan kegiatan pelayanan utama (pemberitaan firman dan sakramen-sakramen) dapat berhasil dengan baik.

Melalui hasil penelitian pada kenyataannya penulis memahami bahwa sejak dulu dimensi lintas agama dan budaya sudah menjadi bagian dari proses pelayanan kesehatan di pulau Sumba, meskipun diselimuti oleh motivasi yang kuat dalam pemberitaan injil (meng-Kristen-kan) orang Marapu. Paradigma pelayanan pada masa sekarang sudah lebih humanis dan mengedepankan prinsip kesetaraan sesama manusia. Oleh karena itu, sudah tentu kompetensi-kompetensi

(10)

81

pelayan dalam konteks pelayanan pastoral mengedepankan pemahaman dan implementasi konseling lintas agama dan budaya.

Bagi orang sakit kesembuhan adalah harapan bagi mereka. Jika kita telusuri dalam tradisi iman Kristen, maka penyembuhan merupakan bagian integral dari pelayanan Yesus, dengan demikian pelayanan pastoral sebagai pelayanan penyembuhan berakar di dalam Yesus, seperti yang dikemukakan oleh De Gruchy dalam V. Magezi (2006) menjelaskan hubungan yang erat antara penyembuhan dan keselamatan. Dia berpendapat bahwa kesembuhan tidak dapat dipisahkan dari gagasan tentang keselamatan. Pelayanan kesembuhan yang dilakukan oleh Yesus dan Jemaat mula-mula merupakan bagian dari proklamasi kerajaan sorga. Kesembuhan dalam Alkitab merefleksikan pemahaman yang holistik mengenai

kemanusiaan dan realita.6

Kehadiran pendeta dalam proses konseling menjadi jembatan dalam proses pemulihan relasi antara manusia dengan sesama dan Tuhannya. Hal ini menunjukkan bahwa pelatihan merupakan bagian penting dalam mempersiapkan pendeta melakukan proses konseling dengan berbagai metode dan pendekatan yang tepat untuk menangani orang-orang sakit. Sama dengan yang dikemukakan oleh Benner (1997) berpendapat bahwa salah satu pembeda antara konseling pastoral dan konseling pada umumnya, yaitu adanya pelatihan khusus kepada para pendeta. Pelatihan kepada pendeta penting sekali karena memberikan suatu perspektif spiritual yang unik terhadap orang-orang dan masalah yang mereka hadapi sehingga mempersiapkan mereka untuk melihat orang lain secara spiritual

6 V. Magezi. 2006. Community healing and the role of pastoral care of the ill and suffering in Africa. In die Skriflig 40(3) 2006:505-521

(11)

82

dan memahami perjalanan dan tantangan-tantangan yang mereka hadapi saat ini dalam konsep relasi mereka dengan Tuhan. Pendeta secara unik dipersiapkan untuk mengembangkan kepenuhan spiritual, dan hal ini harus menjadi pusat dari

konseling pastoral.7

Melihat dari konteks yang ada melalui penelitian yang dilakukan maka penulis memahami bahwa aspek ritual merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Marapu yang masih kental dengan tradisi dan kepercayaan mereka dimana para penganut agama Marapu meyakini bahwa sakit bisa terjadi karena memang keadaan fisik yang mereka alami atau bahkan terjadi karena kemarahan Marapu dan oleh karena itu perlu adanya pendamian atau perbaikan hubungan antara mereka dan Marapu melalui ritus yang dijalankan dalam kepercayaan mereka dan melalui pengakuan akan kesalahan yang dibuat, sehingga sama seperti yang dikemukakan oleh Krisetya bahwa dalam hal ini perlu adanya pendekatan pendamaian dimana adanya upaya membangun ulang relasi manusia dengan sesamanya, dan antara manusia dengan Allah. Secara tradisi sejarah, pendamaian menggunakan dua bentuk pengampunan dan disiplin, tentunya dengan didahului oleh pengakuan.

Kenyataan di lapangan bahwa pendeta di RS Kristen Lende Moripa belum mendapatkan pelatihan khusus konseling pastoral dan hal ini merupakan tantangan tersendiri yang harus dipahami sebagai kebutuhan mutlak oleh pihak RS. Adanya pengakuan selaku Pendeta Konselor bahwa mereka tidak memiliki

7

David G. Benner. 1997. Strategic Pastoral Counseling: A Short-Term Structured Model. Baker Books, hal. 23.

(12)

83

kemampuan khusus dalam konseling sehingga dalam memberikan konseling kegiatan yang biasa dilakukan adalah perkunjungan dan berdoa bersama pasien. Meskipun demikian, mereka tetap menyadari pentingnya penyediaan waktu khusus untuk bercakap-cakap dengan pasien yang membutuhkan. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa mendengarkan, mengunjungi dan berdoa merupakan strategi dasar konseling pastoral yang diterapkan oleh para pendeta di RS Kristen Lende Moripa.

Situasi semakin kompleks karena pasien yang dilayani tidak hanya berasal dari kalangan Kristen, tetapi juga komunitas masyarakat tradisional dengan budaya dan kepercayaan mereka, Marapu, sehingga pendekatan-pendekatan dalam konseling Lintas agama dan Budaya menjadi suatu keharusan yang dipahami dan diterapkan dalam pelayanan konseling Pastoral sehingga ada karakteristik-karakteristik yang harus dikawinkan antara kemampuan konseling pastoral dan konseling lintas agama dan budaya.

Oleh karena itu, pendeta yang menjadi konselor di Rumah Sakit setidaknya memiliki kemampuan pelayanan lintas budaya sebagaimana yang dikemukakan oleh Ausburger (1986) bahwa seorang Konselor yang mampu secara budaya dibedakan oleh lima karakteristik yang bisa terukur dan dipelajari yang melindungi mereka, konseli, dan proses konseling yaitu:

a) Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu pemahaman

yang jernih mengenai nilai-nilai budayanya sendiri dan asumsi-asumsi dasar. Mereka mengenali kebiasaan-kebiasaan manusia mana yang mereka

(13)

84

pandang sesuai atau tidak sesuai, diharapkan atau tidak diharapkan, membangun kehidupan atau menghancurkan. Mereka sepenuhnya sadar bahwa orang lain memegang nilai dan asumsi yang berbeda, yang sah bahkan ketika nilai dan asumsi tersebut berbeda dengan apa yang dipahaminya. Pemahaman ini telah diinternalisasi sebagai pengetahuan (kognitif) dan kesadaran (afektif) sehingga konselor terhindar dari ketidaksengajaan memaksakan nilai atau secara tidak sadar mempengaruhi orang lain untuk menerima arahan yang berbeda dengan komunitasnya.

b) Konselor yang memiliki kesadaran budaya memiliki suatu kapasitas untuk

menyambut, memasuki, dan menghargai pandangan orang lain tanpa mengingkari legitimasi mereka. Mereka dapat merasakan empati yang mengasumsikan suatu landasan budaya yang sama, dan merasakan nyaman pada batasan-batasan pandangan. Mereka dapat memasuki dunia orang lain, merasakan perbedaannya, dan menghargai perbedaan namun di satu sisi memegang teguh keunikan dunianya sendiri.

c) Konselor yang memiliki kesadaran budaya mencari sumber pengaruh

dalam orang dan konteks, contoh individu dan lingkungan. Tindakan dan para pelaku, tingkah laku dan konteks, interaksi konseling tertentu dan lngkungan budaya harus dilihat, dipahami, dan dihormati.

d) Konselor yang memiliki kesadaran budaya mampu bertindak melampaui

teori, orientasi, atau teknik konseling, dan menjadi manusia yang efektif. Mereka benar-benar elektik dalam konseling mereka, bukan dalam pemilihan acak teknik yang bekerja tetapi fleksibilitas keilmuan yang

(14)

85

memungkinkan mereka untuk memilih serangkaian ketrampilan konseling tertentu sebagai suatu pilihan yang dipertimbanjgkan mengenai ketepatannya terhadap pengalaman hidup konseli tertentu;

e) Konselor yang memiliki kesadaran budaya melihat diri mereka sebagai

warga universal yang terhubung dengan semua manusia tetapi juga berbeda dari mereka semua. Mereka hidup di dunia ini, bukan hanya dalam komunitas atau negara mereka. Dunia ini adalah rumah mereka, semua manusia telah menjadi saudara mereka. Sehingga mereka menghormati perbedaan dan juga persamaan, keunikan dan juga kesamaan.

Bertolak dari konsep tersebut, maka seorang pendeta konselor yang bergerak dalam pelayanan orang sakit terutama orang Marapu harus melihat kajian terhadap hal-hal yang berhubungan dengan sakit dan kesembuhan dari perspektif kebudayaan orang Marapu. Hal-hal semacam ini tampak dalam alam kehidupan sehari-hari tiap individu dalam masyarakat tersebut lewat pola perilaku, sikap, dan pendapat yang sama dalam kaitannya dengan pola Komunikasi, bertahan hidup dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya, karena dalam suatu komunitas kebudayaan tertentu membangun dunia yang mereka kenal melalui cara seperti hubungan kekeluargaan, keyakinan, ritual, mitologi, dan Bahasa.

Hal ini mendorong cara memahami sistem kepercayaan suatu kelompok msayarakat adalah melalui pelaksanaan ritus atau upacara keagamaan. Ritus dalam kepercayaan masyarakat memiliki makna dan nilai bagi kehidupan yang

(15)

86

mendasar jika dihayati secara mendalam oleh masyarakat tersebut. Konsepsi orang Marapu tentang sakit dan kesembuhan yang tidak terlepas dari ritus yang dilakukan sebagai bagian dari aktivitas bermasyarakat mengandung makna yang sangat kuat jika kita bedah dalam perspektif memahami nilai nilai budaya dan agama sebagai basis pendekatan dalam strategi konseling.

Sebelum dibawa ke rumah sakit mereka melakukan acara adat yang disebut

Noba yaitu sembayang untuk minta ijin pada leluhur untuk berobat. Dalam acara

adat dilakukan pembakaran ayam dan dilihat hati dan tali perut (usus) untuk melihat apakah pasien bisa ditolong lagi selanjutnya dipasrahkan ke tenaga medis di Rumah Sakit. Saat melakukan Noba (sembayang) mereka menyebut nama-nama leluhur mereka dan turunannya sampai ke orang sakit agar mendapatkan perlindungan dan kesembuhan. Meminta ijin kepada leluhur dimaksudkan supaya leluhur tidak bertambah marah dan mereka tetap terberkati dalam rumah dan bisa cepat sembuh.

Hal ini menunjukkan bahwa ritual yang dilakukan oleh orang Marapu, termasuk dalam konteks orang sakit merupakan cara mereka menyampaikan permohonan-permohonan mereka sebagai manusia kepada Tuhan yang berkuasa atas hidup mereka. Adanya keterikatan yang kuat dalam komunitas masyarakat Marapu membentuk konsepsi berpikir orang Marapu tentang alam dan ikatan emosional yang kuat dalam struktur kemasyarakatan, terutama pengakuan terhadap penyembuh (dukun) adat. Itulah yang menjadi kekuatan mereka untuk tetap eksis atau survive sebagai orang Marapu ditengah-tengah arus pengobatan

(16)

87

modern. Hal ini sejalan dengan salah satu fungsi ritus yaitu memperkuat sistem dan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat.

Melalui nilai-nilai spiritual dalam masyarakat penganut kepercayaan marapu maka pendekatan-pendekatan yang bisa dilakukan:

1) ngiana ole mu appowoda adessa apanangu dage (Pembimbingan)

Sehubungan dengan ini konselor harus memiliki kesadaran diri dalam memberikan bimbingan bagi konseli bahwa masing-masing memiliki nilai budaya dan kepercayaan yang berbeda. Dalam pembimbingan yang harus dilakukan oleh konselor adalah mengarahkan konseli agar memiliki pemikiran dan tindakan alternatif dalam penerimaan jati diri yang positif mengarahkannya pada kebaikan jiwanya di masa sekarang dan yang akan datang. Teknik yang digunakan yaitu mendengarkan dan berempati. Dalam teknik ini perlu dilakukan:

a) Mendengarkan, hadir bersama dalam artian antara konseli dan konselor sama-sama bertemu dan tidak langsung memaksa asumsi atau nilai yang dianut oleh konselor tetapi menghargai asumsi dan nilai-nilai yang dianut oleh konseli, begitupun sebaliknya. Mendengarkan adalah kunci utama untuk membuka respon konseli akan suasana kebatinan konseli. Mendengarkan adalah kunci bagi konselor menghayati ungkapan dan ekspresi konseli dalam permasalahan suasana kebatinan dan pengalaman kehidupan yang sedang dialami oleh konseli.

b) Berempati adalah sikap utama yang perlu dimiliki seorang konselor agar diri konselor memiliki kualitas baik dalam mendampingi dan melakukan

(17)

88

konseling. Sikap empati membantu konselor masuk ke dalam dunia konselor, menghayati permasalahan diri konseli sehingga konselor tidak mengklaim konseli akan apa yang di percayainya, dan menerimanya sebagaimana adanya, secara utuh dan penuh, demi pertumbuhannya secara holistik.

Ketika konselor berempati maka konseli akan menemukan kesadaran jati diri yang sesungguhnya dan mengalami pengalamannya secara utuh bagi pertumbuhan spiritual seseorang atau sekelompok orang.

2) ngiana pakadawu dulaloko (Penopangan)

Pembimbingan yang dilakukan kemudian menghadirkan penopangan dalam proses konseling. kebudayaan masyarakat Sumba sangat mempengaruhi hubungannya dengan Tuhan dan sesama. Khususnya dalam hal ini budaya masyarakat Sumba, ketika seseorang memiliki masalah atau suasana kebatinan yang tidak mengenakan, mereka lebih banyak menceritakan masalah atau suasana kebatinannya pada keluarga.

Prinsip hidup orang Sumba ketika sedang dalam masalah adalah mereka hanya mengutarakan permasalahan atau suasana kebatinan yang kurang mengenakan pada keluarga atau orang-orang tertua dalam keluarga. Mereka jarang menceritakan apa yang sedang mereka alami kepada orang luar.

Melihat situasi seperti ini konselor hadir dalam penerimaan akan budaya yang ada dan ketika adanya saling mengahargai sehingga antara konseli dan konselor memiliki kepercayan akan sebuah dukungan baik dari konselor maupun dari pihak keluarga. Penopangan dari konselor sebagai pendeta berlangsung

(18)

89

dengan menetralkan perbedaan kepercayaan dengan pasien yang dilayani dengan menekankan pada hal-hal apa yang sama-sama mereka miliki dan bukan mewakili tradisi agama sang pendeta. Pendeta sebaiknya menjembatani bukan hanya untuk pasien namun juga bagi keluarga pasien sehingga keluarga juga dapat membantu proses konseling dalam hal ini dapat menopang kehidupan dari keluarga mereka yang sedang mengalami permasalahan atau suasana kebatinan yang terganggu.

3) ngiana ole mu apa Molida (Pendamaian)

Seorang konselor harus menjadi sarana pendamaian dimana adanya upaya akan hubungan relasi yang mengutuhkan dan mendamaikan konseli dengan dirinya sendiri, sesamanya, dan dalam hubungannya dengan Sang Pemilik Penciptanya.

Pada titik tertentu pendeta sebagai konselor melakukan konseling dengan memperhatikan tradisi adat istiadata kebudayaan konseli baik melalui bahasa, simbol dan ritual agama yang dianut pasien dan keluarga mereka. Misalnya pendeta mempelajari tradisi kepercayaan apa yang sesuai dengan tradisi kekristenan seperti doa dan melalui nilai-nilai spiritualitas yang dianut bersama oleh kedua pihak.

4) ngiana apodasa auwada (Penyembuhan)

Konselor memiliki tanggung jawab mengatasi beberapa kerusakan yang terjadi dalam keadaan konseli yang rusak atau mengarahkan jiwa pasien yang sedang dalam ketidakutuhan kearah yang lebih baik, mengembalikan keadaan

(19)

90

pasien seperti semula sehingga penyembuhan ini membantu kelangsungan hidup pasien di masa depannya yang lebih baik.

Konselor harus menyadari akan keberadaan konseli yang mungkin patah semangat dalam menjalani kehidupannya atau mungkin pasien yang selalu menyalahkan dirinya bahwa apapun yang ia lakukan adalah salah sehingga Marapu marah. Dalam proses menyembuhkan konselor harus memiliki sikap yang mendorong konseli untuk memiliki pikiran yang positif dan memberikan ketenangan.

Proses penyembuhan membutuhkan konselor yang memahami tradisi atau kebudayaan yang dianut pasien sehingga melalui tradisi yang dianut pasien membantu dalam menemukan jalan keselamatan dalam pemulihan diri pasien. Dalam hal ini perlunya panduan bagi konselor yang menghadapi cara misalnya melalui penyembuhan tradisional untuk menghindari penyimpangan sistem kepercayaan budaya inti pasien. Konselor harus memiliki kompetensi dalam menangani masalah multikultural secara konseptual agar melalui penyembuhan ini konselor dapat mengelola masalah spiritual konseli.

Ketika proses penyembuhan ini berlangsung dengan baik maka konseli pun akan merasakan nilai-nilai spiritual kekristenan dan nilai-nilai spiritual marapu yang memiliki kesamaan dan adanya nilai-nilai penghargaan dalam saling menerima kebudayaan masing-masing. Nilai-nilai ini kemudian menjadi dasar pemulihan diri dan pencarian keselamatan yang membantu keutuhan pasien Marapu yang menuntunnya kearah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya.

(20)

91

Dalam konteks RS Kristen Lende Moripa, Konseling Lintas Agama dan Budaya diawali dengan perjumpaan antara pasien Marapu dan pendeta konselor. Perjumpaan yang dimaksud adalah ketika kedua pihak mengetahui identitas keagamaan dan kebudayaannya lewat percakapan. Pertanyaan yang diajukan oleh pendeta mengenai sudah atau belumnya pasien ke gereja dilakukan dalam kerangka menggali informasi tersebut sehingga sang pendeta kemudian bisa menempatkan diri secara tepat dengan strateginya dalam pelaksanaan konseling sesuai kesepakatan bersama dengan pasien. Pertanyaan semacam ini dalam konteks pelaksanaan konseling tidaklah tepat karena secara frontal pendeta menanyakan identitas agama Kristen, yaitu Gereja padahal pasiennya orang Marapu. Seharusnya pendeta melakukan pendekatan dengan pertanyaan-pertanyaan penggiring selama percakapan yang mengarahkan pendeta kepada pengambilan kesimpulan tentang identitas pasien sebagai orang Marapu, contohnya pendeta menanyakan bagaimana pasien mengimani peristiwa sakit yang dialami?

Adapun dua strategi yang dapat dikembangkan di RS Kristen Lende Moripa adalah:

a) Neutralizing, para pendeta biasanya menetralisir perbedaan agama dengan pasien yang mereka layani dengan menekankan pada hal-hal apa yang sama-sama mereka miliki seperti pendekatan yang sudah dijabarkan diatas dan sambil memberikan pengertian pada setiap pasien karena melihat dari sisi ritual yang dilakukan oleh Rato memiliki kesamaan dalam pendeta sebagai seorang konselor memberikan konseling. Salah satu yang dilakukan dalam

(21)

92

pelayanan doa terhadap pasien Marapu adalah pendeta menggunakan istilah yang universal, yaitu Tuhan untuk menyebutkan Alkhalik.

b) Code-Switching, para pendeta pada titik tertentu juga melakukan pelayanan konseling pastoral dengan penyesuaian terhadap bahasa, simbol, dan kadang-kadang ritual agama yang dianut pasien dan keluarga mereka. Saat dilakukan pelayanan terhadap pasien Marapu, pendeta menggunakan bahasa daerah Sumba dalam percakapan ataupun doa agar maksud yang disampaikan bisa dipahami oleh klien. Bagi pendeta yang bukan asli Sumba, seringkali dalam percakapan melibatkan keluarga pasien sebagai penerjemah bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sumba dan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan adanya kebutuhan yang kuat bagi para pendeta Rumah Sakit yang bukan asli Sumba untuk mempelajari bahasa Sumba agar membantu mereka berinteraksi dengan pasien.

Dengan memahami dua pendekatan semacam ini, maka kasus yang dialami pasien, baik pasien yang sakitnya secara fisik maupun melanggar aturan marapu dapat menerapkan pendekatan yang sama. Oleh karena itu, Sinode GKS dalam penempatan pendeta konselor di RS Kristen Lende Moripa harus dibekali keahlian khusus untuk mendalami hubungan lintas agama dan budaya, baik nilai-nilai spiritual maupun bahasa dan akar budaya Sumba melalui pelatihan-pelatihan Koseling Lintas Agama dan Budaya.

(22)

93 Rangkuman Bab IV :

 Berbicara mengenai hubungan lintas agama dan budaya maka konsep ini

perlu dipahami bahwa bukan hanya faktor suku atau ras dan kepercayaan yang berbeda tetapi dalam hal bertindak, berpikir dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari kepercayaan yang menjadi referensi sikap dan perilaku antara manusia satu dan lainnya berbeda-beda.

 Terkait dengan kajian konsep Sakit dan pelayanan pastoral pendeta

terhadap pasien Marapu di Rumah Sakit Kristen Lende Moripa Waikabubak dapat ditemui bahwa ada perbedaan pola pikir atau pemahaman dimana sakit yang dialami secara medis memang adalah sakit karena fisik mereka terganggu dan bagi penganut kepercayaan Marapu bahwa sakit yang mereka alami adalah bagian dari kemarahan Marapu. pola pemahaman dalam berpikir seperti inilah yang menunjukkan bahwa bukan hanya budaya dalam artian suku dan ras yang berbeda tetapi mau menunjukkan bahwa dari pola pemahaman dalam berpikir terjadi lintas budaya.

 Ada ritual yang digunakan masyarakat Sumba penganut kepercayaan

Marapu dimana mereka meyakini bahwa ketika kesembuhan itu belum diperoleh maka cara yang kedua adalah mendatangi pihak rumah sakit. Ritual atau cara pengobatan ini dilihat sebagai simbol atau makna dari kepercayaan yang masih mereka anut.

(23)

94

 Semua orang ingin memiliki kesembuhan, oleh karena itu segala cara

akan mereka lakukan. Cara yang mereka gunakan pun banyak mengandung unsur tradisional atau yang berhubungan dengan kepercayaan yang dianut. Sama seperti orang Kristen ketika sakit akan berdoa meminta kesembuhan pada Tuhan namun bagi Masyarakat khususnya yang masih menganut agama lokal akan memakai cara yang sesuai dengan ritual adat istiadat mereka. Hal ini menunjukkan adanya hubungan lintas agama dan budaya seseorang dalam memahami nilai-nilai kebenarannya tampak dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk perilaku tertentu, sikap, olah fikir, rasa, karsa dan budi. Pada saat Tuhan ciptakan manusia dengan kelengkapan akal pikiran dan hati nurani, maka saat itu juga manusia telah menjadi makhluk budaya.

 Eksistensi pendeta dalam pelayanan pastoral di Rumah Sakit diharapkan

agar Kristus dinyatakan lewat pelayanan kasih yang maksimal. Artinya bahwa gereja memandang bahwa pengenalan akan Kristus tidaklah dilakukan dengan cara-cara indoktrinasi, tetapi lewat pelayanan orang bisa melihat kemuliaan Kristus.

 Dalam konteks RS Kristen Lende Moripa, Konseling Lintas Agama dan

Budaya diawali dengan perjumpaan antara pasien Marapu dan pendeta konselor. Perjumpaan yang dimaksud adalah ketika kedua pihak mengetahui identitas keagamaan dan kebudayaannya lewat percakapan. Pertanyaan yang diajukan oleh pendeta mengenai sudah atau belumnya pasien ke gereja dilakukan dalam kerangka menggali informasi tersebut

(24)

95

sehingga sang pendeta kemudian bisa menempatkan diri secara tepat dengan strateginya dalam pelaksanaan konseling sesuai kesepakatan bersama dengan pasien. Pertanyaan semacam ini dalam konteks pelaksanaan konseling tidaklah tepat karena secara frontal pendeta menanyakan identitas agama Kristen, yaitu Gereja padahal pasiennya orang Marapu.

 Seharusnya pendeta melakukan pendekatan dengan

pertanyaan-pertanyaan penggiring selama percakapan yang mengarahkan pendeta kepada pengambilan kesimpulan tentang identitas pasien sebagai orang Marapu, contohnya pendeta menanyakan bagaimana pasien mengimani peristiwa sakit yang dialami?

 Adapun dua strategi yang dapat dikembangkan di RS Kristen Lende

Moripa adalah, Neutralizing, para pendeta biasanya menetralisir perbedaan agama dengan pasien yang mereka layani dengan menekankan pada hal-hal apa yang sama-sama mereka miliki seperti pendekatan yang sudah dijabarkan sambil memberikan pengertian pada setiap pasien karena melihat dari sisi ritual yang dilakukan oleh Rato memiliki kesamaan dalam pendeta sebagai seorang konselor memberikan konseling dan Code-Switching, para pendeta pada titik tertentu juga melakukan pelayanan konseling pastoral dengan penyesuaian terhadap bahasa, simbol, dan kadang-kadang ritual agama yang dianut pasien dan keluarga mereka. Saat dilakukan pelayanan terhadap pasien Marapu, pendeta menggunakan bahasa daerah Sumba dalam percakapan ataupun doa agar

(25)

96

maksud yang disampaikan bisa dipahami oleh klien. Bagi pendeta yang bukan asli Sumba, dalam percakapannya dapat melibatkan keluarga pasien sebagai penerjemah bahasa Indonesia ke dalam bahasa Sumba dan sebaliknya.

Referensi

Dokumen terkait

Besaran nilai statistik R 2 pada persamaan produksi karet alam Indonesia adalah 0,9648 artinya 96,48 persen peubah harga karet alam Indonesia, penambahan luas

Penelitian ini bertujuan untuk mengkomparasi data kelulusan mahasiswa STMIK Widya Pratama dari tahun 2011 – 2014 menggunakan dua algoritma yaitu algoritma Naïve

Dari kedua penelitian diatas adanya konsep diri yang negatif dan kualitas hidup yang buruk memungkinkan bahwa proses penerimaan diri ODHA yang tidak sampai pada

Sampel penelitian ini adalah pada anak anak korban bencana tanah longsor. usia 4-12 tahun yang mengalami gangguan psikologis pasca

Dalam pemakaian huruf, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, di antaranya penggunaan huruf kapital, huruf tebal, dan huruf miring. Berdasarkan data, masih

Kode Absen : NIS : NISN : Nama Siswa : Kelas : Display Nama Mapel Tampil Tampil KKM Tampil Tampil Nilai Raport Tampil Tampil Display Ketifakhadiran Sakit : Izin : Alpa : Display

(3) kedisiplinan belajar santri berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan menghafal al- Qur’an santri pondok pesantren Al-Aziz Lasem Rembang, hal ini terbukti

Untuk memperhitungkan tegangan maupun deformasi struktur yg timbul akibat penga- ruh temperatur, diambil perbedaan temperatur yang besarnya setengah dari selisih antara