7 BAB II KONSEP DASAR
A. Pengertian
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru, dengan agen infeksius utama Mycobacterium tuberculosis (Smeltzer & Bare, 2001).
Tuberkulosis Paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah (Price & Wilson, 1994).
Tuberkulosis Paru adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman menyerang Paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lain (Dep Kes, 2003).
Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi pada Paru yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, yaitu bakteri tahan asam (Suriadi, 2001).
Tuberkulosis Paru adalah infeksi penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, suatu basil tahan asam yang ditularkan melalui udara (Asih, 2004).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis suatu basil tahan asam yang menyerang
8
parenkim paru yang dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah dan dapat menular melalui udara.
B. Klasifikasi
Klasifikasi tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan kelainan klinis, radiologist dan mikrobiologis :
a. Tuberkulosis paru.
1) TB Paru BTA Positif dengan kriteria : a) Dengan atau tanpa gejala klinik.
b) BTA positif: mikroskopik positif 2 kali, mikroskopik positif 1 kali didukung biakan positif satu kali atau didukung radiologik positif 1 kali.
c) Gambaran radiologik sesuai dengan TB paru. 2) TB Paru BTA Negatif dengan kriteria :
a) Gejala klinik dan gambaran radilogik sesuai dengan TB Paru aktif.
b) BTA negatif, biakan negatif tetapi radiologik positif. b. Bekas tuberkulosis paru.
1) Bakteriologik (mikroskopik dan biakan) negatif.
2) Gejala klinik tidak ada atau ada gejala sisa akibat kelainan paru. 3) Radiologik menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, menunjukkan
serial foto yang tidak berubah.
9
c. Tuberkulosis paru tersangka yang terbagi dalam :
1) TB paru tersangka yang diobati (sputum BTA negatif, tapi tanda-tanda lain positif).
2) TB paru tersangka yang tidak diobati (sputum BTA negatif, tapi tanda-tanda lain meragukan)
(Suyono, et al, 2001)
C. Anatomi dan Fisiologi
Saluran penghantar udara hingga mencapai paru-paru adalah hidung, faring, laring, trachea, bronkus, dan bronkiolus. Hidung ; Nares anterior adalah saluran-saluran di dalam rongga hidung. Saluran-saluran itu bermuara ke dalam bagian yang dikenal sebagai vestibulum (rongga hidung). Rongga hidung dilapisi sebagai selaput lendir yang sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan faring dan dengan selaput lendir sinus yang mempunyai lubang masuk ke dalam rongga hidung. Faring (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai persambungannya dengan eshopagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Maka letaknya di belakang laring (laring-faringeal) (Asih, 2004).
Laring (tenggorok) terletak didepan bagian terendah faring yang memisahkan dari columna vertebrata, berjalan dari faring sampai ketinggian vertebrata servikalis dan masuk ke dalam trachea di bawahnya.
10
Laring terdiri atas kepingan tulang rawan yang diikat bersama oleh ligamen dan membran (Asih, 2004).
Trachea atau batang tenggorok kira-kira 9 cm panjangnya trachea berjalan dari laring sampai kira-kira ketinggian vertebrata torakalis kelima dan di tempat ini bercabang menjadi dua bronchus (bronchi). Trachea tersusun atas 16 – 20 lingkaran tak tetap yang berupa cincin tulang rawan yang diikat bersama oleh jaringan fibrosa dan yang melengkapi lingkaran di sebelah belakang trachea, selain itu juga membuat beberapa jaringan otot (Asih, 2004).
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira vertebra torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronchus-bronchus itu berjalan ke bawah dan ke samping ke arah tampuk paru. Bronchus kanan lebih pendek dan lebih lebar daripada yang kiri, sedikit lebih tinggi dari arteri pulmonalis dan mengeluarkan sebuah cabang utama lewat di bawah arteri, disebut bronkus lobus bawah. Bronchus kiri lebih panjang dan lebih langsing dari yang kanan, dan berjalan dibawah arteri pulmonalis sebelum dibelah menjadi beberapa cabang yang berjalan ke lobus atas dan bawah. Cabang utama bronchus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronchus lobaris dan kemudian menjadi lobus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronchus. Yang ukurannya semakin kecil, sampai akhirnya menjadi bronchiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantong udara). Bronchiolus terminalis memiliki
11
garis tengah kurang lebih 1mm. Bronchiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan. Tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Saluran-saluran udara ke bawah sampai tingkat bronchibiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru-paru. Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri dari bronchiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolis dan sakus alveolaris terminalis merupakan akhir paru-paru, assinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki tangan kira-kira 0,5 - 1,0 cm. terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari trachea sampai sakus alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan pori-pori kohn (Asih, 2004).
Paru terdapat dalam rongga toraks pada bagian kiri dan kanan. Dilapisi oleh pleura yaitu parietal pleura dan visceral pleura. Di dalam rongga pleura terdapat cairan surfaktan yang berfungsi untuk lubrikan. Paru kanan dibagi atas tiga lobus yaitu lobus superior, medius dan inferior sedangkan paru kiri dibagi dua lobus yaitu lobus superior dan inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar, sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas (Asih, 2004).
12
Proses fisiologi pernafasan dimana oksigen dipindahkan dari udara ke dalam jaringan-jaringan, dan karbondioksida dikeluarkan ke udara ekspirasi dapat dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi yaitu masuknya campuran gas-gas ke dalam dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik dan otot-otot. Stadium kedua, transportasi yang terdiri dan beberapa aspek yaitu: (1) Difusi gas antara alveolus dan kapiler paru-paru (respirasi eksternal) antara darah sistemik dan sel-sel jaringan; (2) Distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus; (3) Reaksi kimia dan fisik dari oksigen dan karbondioksida dengan darah respimi atau respirasi interna menipakkan stadium akhir dari respirasi, yaitu sel dimana metabolik dioksida untuk mendapatkan energi, dan karbondioksida terbentuk sebagai sampah proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru-paru; (4) Transportasi, yaitu tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 urn). Kekuatan mendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial antara darah dan fase gas; (5) Perfusi, yaitu pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru-paru membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru-paru dan perfusi (aliran darah) dalam kapiler dengan perkataan lain ventilasi dan perfusi dari unit pulmonari harus sesuai pada orang normal dengan posisi tegak
13
dan keadaan istirahat maka ventilasi dan perfusi hampir seimbang kecuali pada apeks paru (Asih, 2004).
Secara garis besar bahwa paru memiliki fungsi sebagai berikut:
1. Terdapat permukaan gas-gas yaitu mengalirkan Oksigen dari udara atmosfer ke darah vena dan mengeluarkan gas karbondioksida dari alveoli ke udara atmosfer.
2. Menyaring bahan beracun dari sirkulasi. 3. Reservoir darah.
4. Fungsi utamanya adalah pertukaran gas.
14 D. Etiologi
Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3 – 0,6 µm dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA) (Suyono, et al 2001).
Bakteri ini sangat tahan terhadap zat kimia dan faktor fisik dan bersifat anaerob yakni menyukai daerah yang banyak oksigen. Oleh karena itu, Mycobacterium Tuberculosis senang tinggal di daerah apeks paru yang kandungan oksigennya tinggi, daerah tersebut menjadi tempat yang kondusif untuk penyakit tuberculosis.
E. Pathofisiologi
Infeksi diawali karena seseorang menghirup basil M. Tuberculosis. Bakteri menyebar melalui jalan napas menuju alveoli lalu berkembang biak dan terlihat bertumpuk. Perkembangan M. Tuberculosis juga dapat menjangkau sampai ke area lain dari paru (lobus atas). Basil juga menyebar melalui sistem limfe dan aliran darah ke bagian tubuh lain (ginjal, tulang dan korteks serebri) dan area lain dari paru (lobus atas). Selanjutnya sistem kekebalan tubuh memberikan respon dengan melakukan reaksi inflamasi. Neutrofil dan makrofag melakukan aksi fagositosis (menelan bakteri), sementara limfosit spesifik-tuberkulosis menghancurkan (melisiskan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan terakumulasinya eksudat dalam alveoli yang menyebabkan
15
bronkopneumonia. Infeksi awal biasanya timbul dalam waktu 2-10 minggu setelah terpapar bakteri.
Interaksi antara M. Tuberculosis dan sistem kekebalan tubuh pada masa awal infeksi membentuk sebuah massa jaringan baru yang disebut granuloma. Granuloma terdiri atas gumpalan basil hidup dan mati yang dikelilingi oleh makrofag seperti dinding. Granuloma selanjutnya berubah bentuk menjadi massa jaringan fibrosa. Bagian tengah dari massa tersebut disebut ghon tubercle. Materi yang terdiri dari makrofag dan bakteri menjadi nekrotik yang selanjutnya membentuk materi yang penampakannya seperti keju (necrotizing caseosa). Hal ini akan menjadi kalsifikasi dan akhirnya membentuk jaringan kolagen, kemudian bakteri menjadi nonaktif.
Setelah infeksi awal, jika respon sistem imun tidak adekuat maka penyakit akan menjadi lebih parah. Penyakit yang kian parah dapat timbul akibat infeksi ulang atau bakteri yang sebelumnya tidak aktif kembali menjadi aktif. Pada kasus ini, ghon tubercle mengalami ulserasi sehingga menghasilkan necrotizing caseosa di dalam bronkhus. Tuberkel yang ulserasi selanjutnya menjadi sembuh dan membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi kemudian meradang, mengakibatkan timbulnya bronkopneumonia, membentuk tuberkel dan seterusnya. Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya. Proses ini berjalan terus dan basil terus difagosit atau berkembang biak di dalam sel. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
16
membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit (membutuhkan 10-20 hari). Daerah yang mengalami nekrosis dan jaringan granulasi yang dikelilingi sel epiteloid dan fibroblas akan menimbulkan respon berbeda, kemudian pada akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang dikelilingi oleh tuberkel (Smeltzer & Bare, 2001).
F. Manifestasi klinis
Tuberkulosis sering dijuluki “the great imitator” yaitu suatu penyakit yang mempunyai banyak kemiripan dengan penyakit lain yang juga memberikan gejala umum seperti lemah dan demam. Pada sejumlah penderita gejala yang timbul tidak jelas sehingga diabaikan bahkan kadang-kadang asimtomatik.
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan, gejala respiratorik dan gejala sistemik.
1. Gejala respiratorik meliputi : a. Batuk
Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan. Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada kerusakan jaringan.
b. Batuk darah
Darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau bercak-bercak darak, gumpalan darah atau darah
17
segar dalam jumlah sangat banyak. Batuk darah terjadi karena pecahnya pembuluh darah. Berat ringannya batuk darah tergantung dari besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
c. Sesak napas
Gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia dan lain-lain
d. Nyeri dada
Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila sistem persarafan di pleura terkena. 2. Gejala sistemik, meliputi :
a. Demam
Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip demam influenza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas serangan makin pendek.
b. Gejala sistemik lain
Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan serta malaise.
Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbul menyerupai gejala pneumonia.
18 G. Penatalaksanaan
1. Pengobatan
Menurut Dep.Kes (2003) tujuan pengobatan TB Paru adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan. Salah satu komponen dalam DOTS (Directly Observed Treatment Shourtcourse chemotherapy) adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung dan untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pemberian paduan OAT didasarkan pada klasifikasi TB Paru. Prinsip pengobatan TB Paru adalah obat TB diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis (Isoniasid, Rifampisin, Pirasinamid, Streptomisin, Etambutol) dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, supaya semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh.
Dosis tahap intensif dan tahap lanjutan ditelan sebagai dosis tunggal, sebaiknya pada saat perut kosong. Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
19
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadi kekambuhan. Pada anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat dengan penderita TB Paru BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan. Bila anak mempunyai gejala seperti TB Paru maka dilakukan pemeriksaan seperti alur TB Paru anak dan bila tidak ada gejala, sebagai pencegahan diberikan Izoniasid 5 mg per kg berat badan perhari selama enam bulan. Pada keadaan khusus (adanya penyakit penyerta, kehamilan, menyusui) pemberian pengobatan dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi khusus tersebut (Dep.Kes, 2003) misalnya: 1) Wanita hamil: Pinsip pengobatan pada wanita hamil tidak berbeda dengan orang dewasa. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil kecuali Streptomycin, karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier plasenta yang akan mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang dilahirkan; 2) Ibu menyusui: Pada prinsipnya pengobatan TB Paru tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi sesuai dengan berat badannya; 3) Wanita pengguna kontrasepsi: Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Penderita TB Paru seyogyanya menggunakan kontrasepsi non hormonal; 4) Penderita TB Paru dengan kelainan hati kronik: Sebelum pengobatan TB, penderita dianjurkan untuk
20
pemeriksaan faal hati. Apabila SGOT dan SGPT meningkat 3 kali, OAT harus dihentikan. Apabila peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita kelainan hati, Pirazinamid tidak boleh diberikan; 5) Penderita TB Paru dengan Hepatitis Akut: Pemberian OAT ditunda sampai Hepatitis Akut mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB Paru sangat diperlukan, dapat diberikan Streptomycin dan Ethambutol maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampicin dan Isoniasid selama 6 bulan; 6) Penderita TB Paru dengan gangguan ginjal: Dosis yang paling aman adalah 2 RHZ/6HR. apabila sangat diperlukan, Etambutol dan Streptomicin tetap dapat diberikan dengan pengawasan fungsi ginjal; 7) Penderita TB paru dengan Diabetes Mellitus: Dalam keadaan ini, diabetesnya harus dikontrol. Penggunaan Rifampicin akan mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes sehingga dosisnya perlu ditingkatkan. Penggunaan Etambutol pada penderita Diabetes harus diperhatikan karena mempunyai komplikasi terhadap mata.
Penggunaan OAT mempunyai beberapa efek samping diantaranya: a) Rifampicin: tidak nafsu makan, mual, sakit perut, warna kemerahan
pada air seni, purpura dan syok (Dep.Kes, 2003), sindrom flu, hepatotoksik (Soeparman, 1990); b) Pirasinamid: nyeri sendi, hiperurisemia, (Soeparman, 1990); c) INH: kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki (Dep.Kes, 2003), neuropati perifer,
21
hepatotoksik (Soeparman, 1990); d) Streptomisin: tuli, gangguan keseimbangan (Dep.Kes, 2003), nefrotoksik dan gangguan Nervus VIII (Soeparman, 1990); e) Ethambutol: gangguan penglihatan, nefrotoksik, skinrash/dermatitis (Soeparman, 1990); f) Etionamid: hepatotoksik, gangguan pencernaan (Soeparman, 1990).
2
.
PembedahanDilakukan jika pengobatan tidak berhasil, yaitu dengan mengangkat jaringan paru yang rusak, tindakan ortopedi untuk memperbaiki kelainan tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulomatosa tuberkulosis atau untuk reseksi bagian paru yang rusak.
3. Pencegahan
Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberkulosis, mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi adekuat, minum susu yang telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum terdapat bakteri hingga dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil tuberkulosis virulen.
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita TB paru antara lain:
1. Pendarahan dari saluran pernafasan bagian bawah yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan nafas.
22 2. Penyebaran infeksi ke organ lain
Misalnya : otak, jantung, persendian dan ginjal.
I. Pengkajian Fokus 1. Identitas klien
Nama, umur (kuman TBC menyerang semua umur), jenis kelamin, tempat tinggal (alamat), pekerjaan, pendidikan dan status ekonomi menengah kebawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita TB paru yang lain.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
3. Riwayat penyakit sekarang
Meliputi keluhan atau gangguan yang sehubungan dengan penyakit yang dirasakan saat ini. Dengan adanya sesak napas, batuk, nyeri dada, keringat malam, nafsu makan menurun dan suhu badan meningkat mendorong penderita untuk mencari pengobatan.
23 4. Riwayat penyakit dahulu
Keadaan atau penyakit yang pernah diderita oleh penderita yang mungkin sehubungan dengan tuberkulosis paru antara lain ISPA, efusi pleura serta tuberkulosis paru yang kembali aktif.
5. Riwayat penyakit keluarga
Mencari diantara anggota keluarga pada tuberkulosis paru yang menderita penyakit tersebut sehingga diteruskan penularannya.
6. Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
Pada penderita yang status ekonominya menengah ke bawah dan sanitasi kesehatan yang kurang ditunjang dengan padatnya penduduk dan pernah punya riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis paru yang lain.
7. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
24
Pada klien dengan TB paru biasanya tinggal didaerah yang berdesak – desakan, kurang cahaya matahari, kurang ventilasi udara dan tinggal dirumah yang sumpek.
b. Pola nutrisi dan metabolik
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama di RS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.
Pada klien dengan TB paru biasanya mengeluh anoreksia, nafsu makan menurun (Marilyn. E. Doenges, 1999).
c. Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan miksi dan defekasi sebelum dan sesudah masuk Rumah Sakit. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bedrest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
25 d. Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan klien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya. Dengan adanya batuk, sesak napas dan nyeri dada akan menganggu aktivitas (Marilyn. E. Doegoes, 1999).
e. Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
Dengan adanya sesak napas dan nyeri dada pada penderita TB paru mengakibatkan terganggunya kenyamanan tidur dan istirahat (Marilyn. E. Doenges, 1999).
f. Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya. Disamping
26
itu, peran pasien di masyarakatpun juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.
Klien dengan TB paru akan mengalami perasaan asolasi karena penyakit menular (Marilyn. E. Doenges, 1999).
g. Pola sensori dan kognitif
Daya panca indera (penciuman, perabaan, rasa, penglihatan, dan pendengaran) tidak ada gangguan.
h. Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
Karena nyeri dan sesak napas biasanya akan meningkatkan emosi dan rasa kawatir klien tentang penyakitnya (Marilyn. E. Doenges, 1999).
i. Pola reproduksi dan seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
Pada penderita TB paru pada pola reproduksi dan seksual akan berubah karena kelemahan dan nyeri dada.
27 j. Pola penanggulangan stress
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
Dengan adanya proses pengobatan yang lama maka akan mengakibatkan stress pada penderita yang bisa mengkibatkan penolakan terhadap pengobatan.
k. Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan.
8. Berdasarkan sistem – sistem tubuh a. Sistem pernapasan
Pada sistem pernapasan pada saat pemeriksaan fisik dijumpai : Inspeksi : Adanya tanda – tanda penarikan paru, diafragma,
pergerakan napas yang tertinggal, suara napas melemah.
Palpasi : Fremitus suara meningkat. Perkusi : Suara ketok redup.
Auskultasi : Suara napas brokial dengan atau tanpa ronki basah, kasar dan yang nyaring.
28 b. Sistem kordiovaskuler
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis. Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung di ventrikel kiri. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.
c. Sistem neurologis
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma. refleks patologis dan bagaimana dengan refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.
29
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35 kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba. Perkusi abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika urinarta, tumor). e. Sistem muskuloskeletal
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial, palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refil time. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.
f. Sistem integumen
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit hygiene, warna, ada tidaknya lesi pada kulit. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian tekture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
30 g. Sistem pengindraan
h. Sistem genetalia 9. Pemeriksaan Tambahan
1. Sputum culture : untuk memastikan apakah keberadaan M. Tuberculosis pada stadium aktif.
2. Ziehl neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body fluid) : positif untuk BTA.
3. Skin Test (PPD, mantoux, tine and vollmer patch) : reaksi positif (area indurasi 10mm atau lebih, timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intradermal) mengindikasikan penyakit sedang aktif. 4. Chest X- ray : dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal
dibagian atas paru, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau cairan pleural. Perubahan yang mengindikasikan TB yang lebih berat mencakup area berlubang dan fibrosa.
5. Histologi atau kultur jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan CSF serta biopsy kulit) : positif untuk M. Tuberculosis.
6. Needle biopsy of lung tissue : positif untuk granuloma TB, adanya sel-sel besar yang mengindikasikan nekrosis.
7. Elektrolit : mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya infeksi, misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air, dapat ditemukan pada TB paru kronis lanjut.
8. ABGs : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan paru.
31
9. Bronkografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronkhus atau kerusakan paru karena TB.
10. Darah : leukosit, LED meningkat.
11. Test fungsi paru : VC menurun, dead space meningkat, TLC meningkat dan menurunnya saturasi O2 yang merupakan gejala sekunder dari fibrosis / infiltrasi parenkim paru dan penyakit pleura.
12. Pemeriksaan Radiologi
Tuberkulosis paru mempunyai gambaran patologis, manifestasi dini berupa suatu koplek kelenjar getah bening parenkim dan lesi resi TB biasanya terdapat di apeks dan segmen posterior lobus atas paru – paru atau pada segmen superior lobus bawah (Dr. dr. Soeparman. 1998). Hal 719). Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukan kostofrenikus. 13. Pemeriksaan laboratorium
a. Darah
Adanya kurang darah, sel – sel darah putih serta laju endap darah meningkat terjadi pada proses aktif.
b. Sputum
Ditemukan adanya Basil tahan Asam (BTA) pada sputum yang terdapat pada penderita tuberkulosis paru yang biasanya diambil pada pagi hari.
32 8. Pathways
Sumber : Sylvia A. Price and Lourraine. Mycobacterium tuberculosis
Airbone / inhalasi droplet
Saluran pernafasan
Saluran pernafasan atas
Bakteri yang besar bertahan di bronkus
Peradangan bronkus
Penumpukan sekret
Efektif Tidak efektif
Sekret keluar saat batuk Batuk terus menerus Terhisap orang sehat Resiko penyebaran infeksi Sekret sulit dikeluarkan Obstruksi Sesak nafas Gangguan pola nafas tidak efektif
Saluran pernafasan bawah
Paru-paru Alveolus Terjadi perdarahan Alveolus mengalami konsolidasi dan eksudasi Gangguan pertukaran gas
Penyebaran bakteri secara limfa hematogen Keletihan Anoreksia malaese mual muntah Demam Peningkatan suhu tubuh Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan Intoleransi aktivitas Bersihan jalan nafas tidak efektif
33 K. Fokus Intervensi dan Rasional
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, upaya batuk buruk dan edema tracheal/ faringeal.
a. Tujuan : bersihan jalan nafas efektif
b. KH : klien dapat mempertahankan jalan nafas dan mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
Intervensi Rasional
Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kelemahan dan penggunaan otot bantu.
Peningkatan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis, ronchi, mengi menunjukkan akumulasi sekret / ketidakmampuan untuk membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori pernafasan dan peningkatan kerja pernafasan.
Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal sputum berdarah kental / darah cerah (misal efek infeksi atau tidak kuatnya hidrasi).
Berikan klien posisi semi fowler tinggi Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya pernafasan.
34 Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan.
Mencegah obstruksi respirasi, penghisapan dapat diperlukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret. Pertahankan masukan cairan sedikitnya
2500 m / hari kecuali kontra indikasi.
Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret, membantu untuk mudah dikeluarkan.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan bersihan jalan napas yang tidak efektif.
a. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali aktif.
b. KH : dispnea berkurang, frekuensi, irama dan kedalaman pernafasan normal.
Intervensi Rasional
Kaji kualitas dan kedalaman pernapasan, penggunaan otot aksesori pernapasan : catat setiap peruhan
Mengetahui penurunan bunyi napas karena adanya sekret.
Kaji kualitas sputum : warna, bau, konsistensi
Mengetahui perubahan yang terjadi untuk memudahkan perawatan dan pengobatan selanjutnya.
Auskultasi bunyi napas setiap 4 jam Mengetahui sendini mungkin perubahan pada bunyi napas.
Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernapasan : posisi semi fowler tinggi.
Membantu mengembangkan paru secara maksimal.
35 batuk dan napas dalam setiap 2 sampai 4 jam.
dapat mendorong sekret keluar.
Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat – obatan.
Mencegah kekeringan mukosa membran, mengurangi kekentalan sekret dan memperbesar ukuran lumen trakeobroncial.
3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru, kerusakan membran di alveolar- kapiler.
a. Tujuan : tidak ada tanda-tanda dispnea.
b. KH : melaporkan tidak adanya penurunan dispnea, menunjukkan perbaikan ventilasi dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam rentang normal, bebas dari gejala distres pernafasan.
Intervensi Rasional
Kaji dispnea, takipnea, tidak normal atau menurunnya bunyi nafas, peningkatan upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas nekrosis effure pleural untuk fibrosis luas.
Evaluasi tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna kulit, termasuk membran mukosa dan kuku.
Akumulasi sekret/ pengaruh jalan nafas dapat mengganggu O2 organ vital dan jaringan.
36 Tingkatkan tirah baring/ batasi aktivitas dan bantu aktivitas pasien sesuai keperluan.
Menurunkan konsumsi oksigen/ kebutuhan selama periode penurunan pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
Kolaborasi medis dengan pemeriksaan ACP dan pemberian oksigen.
Mencegah pengeringan membran mukosa, membantu pengenceran sekret.
4) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan, anoreksia, ketidakcukupan nutrisi.
a. Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi (tidak terjadi perubahan nutrisi).
b. KH : pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan melakukan perilaku atau perubahan pola hidup.
Dorong bernafas dengan bibir selama endikasi, khususnya untuk pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps atau penyempitan jalan nafas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan menghilangkan atau menurunkan nafas pendek.
37
Intervensi Rasional
Catat status nutrisi pasien dari penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan derajat kekurangannya berat badan, riwayat mual atau muntah, diare.
berguna dalam mendefinisikan derajat/ luasnya masalah dan pilihan intervensi yang tepat.
Pastikan pada diet biasa pasien yang disukai atau tidak disukai.
membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan pertimbangan keinginan individu dapat memperbaiki masukan diet.
Selidiki anoreksia, mual dan muntah dan catat kemungkinan hubungan dengan obat, awasi frekuensi, volume konsistensi feces.
Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan atau penggunaan nutrien. Dorong dan berikan periode istirahat
sering.
Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan meningkat saat demam.
Brikan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan.
Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau obat untuk pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein.
Menurunkan iritasi gaster.
Kolaborasi, rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk kebutuhan metabolik dan diet.
38
5) Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan batuk.
a. Tujuan : agar pola tidur terpenuhi.
b. KH : pasien dapat istirahat tidur tanpa terbangun.
Intervensi Rasional
Diskusikan perbedaan individual dalam kebutuhan tidur berdasarkan hal usia, tingkat aktivitas, gaya hidup tingkat stress.
Rekomendasi yang umum untuk tidur 8 jam tiap malam nyatanya tidak mempunyai fungsi dasar ilmiah individu yang dapat rileks dan istirahat dengan mudah memerlukan sedikit tidur untuk merasa segar kembali dengan bertambahnya usia, waktu tidur. Total secara umum menurun, khususnya tidur tahap IV dan waktu tahap meningkat.
Tingkatkan relaksasi, berikan lingkungan yang gelap atau terang, berikan kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen dan selimut, berikan ritual waktu tidur yang menyenangkan bila perlu pastikan ventilasi ruangan baik, tutup pintu ruangan bila klien menginginkan.
Tidur akan sulit dicapai sampai tercapai relaksasi, lingkungan rumah sakit dapat mengganggu relaksasi.
39
6) Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigen untuk aktivitas.
a. Tujuan : agar aktivitas kembali efektif.
b. KH : pasien mampu melakukan ADLnya secara mandiri dan tidak kelelahan setelah beraktivitas.
Intervensi Rasional
Jelaskan aktivitas dan faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen seperti merokok, suhu sangat ekstrim, berat badan kelebihan, stress.
Merokok, suhu ekstrim dan stress menyebabkan vasokastriksi yang meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen, berat badan berlebihan, meningkatkan tahapan perifer yang juga meningkatkan beban kerja jantung.
Secara bertahap tingkatan aktivitas harian klien sesuai peningkatan toleransi.
Mempertahankan pernafasan lambat dan sedang serta latihan yang diawasi memperbaiki kekuatan otot asesori dan fungsi pernafasan.
Memberikan dukungan emosional dan semangat.
Rasa takut terhadap kesulitan bernafas dapat menghambat peningkatan aktivitas.
Setelah aktivitas kaji respon abnormal untuk meningkatkan aktivitas.
Intoleransi aktivitas dapat dikaji dengan mengevaluasi jantung sirkulasi dan status pernafasan setelah beraktivitas.
40
7) Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan tindakan dan pencegahan berhubungan dengan keterbatasan kognitif dan tidak lengkap informasi yang ada.
a. Tujuan : pengetahuan pasien bertambah tentang penyakit TB Paru. b. KH : pasien menyatakan mengerti tentang penyakit TB Paru.
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan pasien untuk belajar belajar tergantung pada emosi dari kesiapan fisik dan ditingkatkan pada tahapan individu.
Berikan instruksi dan informasi tertulis pada pasien untuk rujukan contoh: jadwal obat.
Informasi tertulis menentukan hambatan pasien untuk mengingat sejumlah besar informasi pengulangan menguatkan belajar.
Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan pengobatan lama, dikaji potensial interaksi dengan obat atau subtansi lain.
Meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien..
Dorong untuk tidak merokok. Menurunkan disfungsi pernafasan.
8) Risiko tinggi infeksi terhadap penyebaran atau aktivitas ulang berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, penekanan proses inflamasi, mal nutrisi.
41
b. KH : pasien mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko penyebaran infeksi, merubah pola hidup.
Intervensi Rasional
Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa.
Membantu pasien menyadari/ menerima perlunya mematuhi program pengobatan mencegah pengaktifan berulang/ komplikasi, membantu pasien/ orang terdekat untuk mengambil langkah.
Identifikasi orang lain yang beresiko contoh anggota keluarga, sahabat
Orang yang terpajan ini perlu program terapi untuk mencegah penyebaran penyakit
Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, contoh masker atau isolasi pernafasan.
Dapat membantu menurunkan rasa terisolasi klien dengan membuang stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
Identifikasi faktor resiko individu terhadap pengaktifan berulang tuberkulosis.
Membantu klien untuk mengubah pola hidup dan menghindari insiden eksaserbasi.
Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, adanya rongga atau penyakit luas resiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.