• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Negara Republik Indonesia adalah negara dengan wilayah

kekuasaan dari Sabang sampai Merauke yang dulu bernama

Nederlands-Indie (Sukarno, 1988: 72; 1985: 9). Negara Republik Indonesia adalah satu

alat kekuasaan, satu organisasi kekuasaan yang merupakan penjelmaan

Revolusi Nasional (Sukarno, 1963: 288). Negara Republik Indonesia terdiri

17.480 pulau, kaya sumber daya alam, dan rakyatnya terdiri dari berbagai

macam suku bangsa. Indonesia memiliki luas wilayah 7,7 juta kilometer

persegi, luas daratan 1,9 juta kilometer persegi, dan luas lautan 5,8 juta

kilometer persegi (Soedarsono, 2009: 38). Bangsa Indonesia pernah dijajah

oleh imperialisme bangsa Eropah, terutama bangsa Belanda kurang lebih

350 tahun (Adams, 2011: 264; Sukarno, 1988: 44).

Imperialisme di Indonesia mengakibatkan kerusakan lahir dan

kerusakan batin bagi bangsa Indonesia (Sukarno, 1964: 275). Akibat dari

kerusakan lahir dan kerusakan batin itu maka timbul pergerakan nasional,

pergerakan rakyat. Pergerakan nasional timbul akibat dari kesengsaraan.

Berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu pemimpin pergerakan

nasional dilemparkan masuk ke dalam penjara kolonial, masuk ke dalam

(2)

Sukarno dalam pidato memperingati hari Kebangkitan Nasional tanggal 20

Mei 1958 mengatakan:

“Engkau pemuda-pemuda jang hidup didalam abad 20 bagian belakang ini, engkau jang sekadar mengenal tahun 1945 atau paling-paling tahun 1940 tidak melihat korbanan-korbanan jang hebat, jang perih, jang diberikan oleh orang-orang daripada gerakan Nasional kita pada masa dulu. Berpuluh-puluh, beratus-ratus, beribu-ribu pemimpin kita masuk, dilemparkan didalam pendjara dengan muka jang tersenjum. Ada jang empat tahun, ada jang lima tahun, ada jang sepuluh tahun, ada jang duapuluh tahun, ada jang digiring ke tiang gantungan Saudara-saudara. … Tetapi semuanja mereka telah memberikan pengorbanan ini dengan muka berseri-seri” (Sukarno, 1958: 6).

Sukarno sebagai salah satu tokoh pergerakan nasional Indonesia pernah

mengalami dipenjara di Yogyakarta dan Bandung, dibuang ke

Endeh-Flores, Bengkulu, Brastagi, Prapat, dan Bangka oleh imperialisme Belanda.

Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dari penjajahan

pada 17 Agustus 1945 setelah berakhirnya perang Pasifik yang ditandai

dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu. Artinya bahwa sejak 17

Agustus 1945 bangsa Indonesia sudah berdaulat. Kedaulatan itu telah

direbut dari tangan militer Jepang. Militer Jepang itu telah memperolehnya

dari tangan Belanda pada tanggal 8 Maret 1942 (Abdulgani, 1996: 5).

Sukarno mengatakan bahwa pada tanggal 17 Agustus 1945 pukul sepuluh

Revolusi Indonesia sudah dimulai (Adam, 2011: 268; Sukarno 1947: 393),

dan berdasarkan pertemuan para pemimpin bangsa yang mewakili berbagai

(3)

suku, ekonomi, dan kependudukan, mereka memilih Sukarno dengan suara

bulat sebagai Presiden Indonesia (Adams, 2011: 268-270).

Kesengsaraan bangsa Indonesia yang diakibatkan oleh sistem imperialisme

akan dapat dihilangkan apabila bangsa Indonesia merdeka terlebih dahulu.

Sukarno mengatakan: “Orang tak akan gampang-gampang melepaskan

bakul nasinja, djika pelepasan itu mendatangkan kematiannya” (Sukarno,

1964: 1-2). Kemerdekaan adalah bagian dari revolusi nasional Indonesia.

Nasionalisme merupakan bagian penting daripada revolusi nasional

Indonesia. Sukarno mengatakan dalam buku “Indonesia Menggugat”

bahwa:

“..., bahwa tiada kemerdekaan sonder nasionalisme, karena itu, kami menghidup-hidupkan nasionalisme; bahwa tiada kemerdekaan sonder persatuan bangsa, karena itu, kami mengusahakan adanja persatuan bangsa; bahwa tiada kemerdekaan sonder kekuasaan, karena itu, kami menjusun kekuasaan; bahwa tiada kemerdekaan sonder keinsjafan akan kekuasaan, karena itu, kami menggugah-gugah keinsjafan akan kekuasaan itu (Sukarno, 1951: 146).

Sukarno mengatakan dalam buku Indonesia Menggugat (1951)

bahwa nasionalisme merupakan nyawanya pembentukan kekuasaan, dan

dikatakan pula bahwa “sonder nasionalisme tiada kemadjuan, sonder

nasionalisme tiada bangsa” (Sukarno, 1951: 109-111). Nasionalisme

merupakan satu hal penting, terutama nasionalisme Indonesia. Sindhunatha

dengan mengutip pernyataan Sukarno, berpendapat bahwa:

“Karena kesatuan bangsa sebagai alat jang mutlak untuk mentjapai tudjuan revolusi seperti djuga dikatakan P.J.M.

(4)

Presiden haruslah senantiasa kita bina, setiap detik, setiap saat dalam kehidupan kita” (Sindhunatha, 1965: 130).

Selain nasionalisme sebagai faham, Sukarno sendiri mengatakan bahwa

dirinya adalah nasionalis Indonesia (Sukarno, 1965: 93). Maka dari itu

penulis tertarik untuk meneliti konsep nasionalisme Indonesia menurut

Sukarno.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas rumusan masalah yang

diajukan sebagai berikut:

a. Apa pemikiran Sukarno tentang nasionalisme Indonesia?

b. Apa makna aksiologis yang terkandung dalam konsep

nasionalisme Indonesia menurut Sukarno?

c. Apa kontribusi pemikiran Sukarno tentang nasionalisme

Indonesia dalam penguatan pendidikan karakter bangsa?

3. Keaslian Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kepustakaan yang bersifat

kualitatif. Objek formal penelitian yaitu aksiologi; objek material yaitu

pemikiran Sukarno yang berhubungan dengan konsep nasionalisme

(5)

telah ditemukan yang terkait dengan konsep nasionalisme Sukarno adalah

sebagai berikut:

a. George Mc Turnan Kahin tahun 1980 dalam bukunya:

Nasionalisme dan Revolusi Indonesia”, terjemahan Ismail bin

Muhammad dan Zaharom Bin Abdul Rashid menjelaskan

tentang asal-usul nasionalisme Indonesia sudah ada sebelum

Belanda datang di Indonesia, yaitu sejak jaman Sriwijaya abad

kesembilan, dan Majapahit abad keempat belas. Pendekatan

yang digunakan sejarah.

b. Bernhard Dahm tahun 1987 dalam buku berjudul Sukarno dan

Perjuangan Kemerdekaan yang diterbitkan oleh LP3S menulis

mengenai nasionalisme Soekarno; namun masih terbatas pada

mencari sumber pemikiran nasionalisme Soekarno yang masih

sangat terbatas. Pendekatan yang digunakan adalah historis.

c. Nazaruddin Sjamsuddin tahun 1998 menulis buku berjudul:

Soekarno: Pemikiran Politik dan Kenyataan Praktek, yang

menyoroti tentang dunia akademis di Indonesia yang hingga

tahun 1998 belum banyak menulis satu buku apapun tentang

Soekarno padahal di luar negeri buku-buku ilmiah tentang

Soekarno telah bermunculan lama sebelumnya. Dalam buku ini

juga disebut tentang nasionalisme namun pendekatan yang

(6)

d. Lambert Giebel tahun 2001 menulis buku berjudul: Soekarno:

Biografi dalam salah satu bagian yang sangat terbatas telah

menulis ide Soekarno tentang nasionalisme. Pendekatan

yang digunakan masih tetap dalam ranah historis.

e. Franz Magnis-Suseno tahun 2001 dalam karyanya berjudul

Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

Revisionisme. Menjelaskan tentang pemikiran Soekarno yang

antara lain dipengaruhi oleh Otto Bauer dalam soal kebangsaan

dngan demikian juga terkait dengan hal nasionalisme.

Berdasarkan pelacakan atas sekian buku yang ditemukan dalam

berbagai sumber literartur ternyata pandangan Soekarno tentang

nasionalisme yang dilihat dari perspektif aksiologi belum ditemukan.

Penelitian ini dengan demikian originalitasnya dapat

dipertanggungjawabkan terutama perspektifnya yang baru. Penelitian ini

bersifat melengkapi atas kajian yang sudah ada melalui sudut pandang

aksiologi.

4. Manfaat Penelitian

a. Bagi ilmu penelitian ini berguna untuk memperkaya

pengetahuan tentang dasar-dasar nasionalisme Indonesia yang

tetap relevan bagi pengembangan ilmu-ilmu sosial. Bagi filsafat

penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan dan pendalaman

(7)

yang berhubungan dengan pemikiran tokoh-tokoh besar

Indonesia.

b. Bagi pembangunan bangsa, penelitian ini bermanfaat untuk

memperteguh rasa kebangsaan Indonesia dan penguatan

karakter bangsa yang perlu terus menerus ditanamkan dalam

dada anak bangsa.

c. Bagi penelitian selanjutnya, penelitian ini sangat berfaedah

sebagai langkah awal untuk mengkaji dan mendalami gagasan

Sukarno dengan tinjauan atau perspektif yang lain seperti

ontologi/metafisika, epistemologi, filsafat politik atau

cabang-cabang filsafat yang lain.

B. Tujuan Penelitian

1. Menemukan dan merumuskan ajaran Sukarno tentang nasionalisme

Indonesia.

2. Melakukan analisis kritis dan menemukan dimensi aksiologis yang

terkandung dalam pemikiran Sukarno tentang nasionalisme

Indonesia.

3. Merefleksikan ajaran Sukarno tentang nasionalisme Indonesia bagi

(8)

C. Tinjauan Pustaka

Banyak definisi atau pengertian tentang nasionalisme (Smith,

2003: 3). Nasionalisme adalah suatu sikap politik dari masyarakat suatu

bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan dan wilayah serta kesamaan

cita-cita dan tujuan; dengan demikian masyarakat suatu bangsa tersebut

merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa itu sendiri.

Definisi lain mengatakan, bahwa nasionalisme adalah satu paham yang

menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa

Inggris nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk

sekelompok manusia. Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai

sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer

berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi.

Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme

yang mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.

Nasionalisme dalam pengertian yang lebih luas diartikan sebagai suatu

paham rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air yang ditimbulkan oleh

persamaan tradisi yang berkaitan dengan sejarah, agama, bahasa,

kebudayaan, pemerintahan, tempat tinggal dan keinginan untuk

mempertahankan dan mengembangkan tradisinya sebagai milik bersama

dari anggota bangsa itu sebagai kesatuan bangsa.

Ada beberapa jenis nasionalisme. Pertama, Nasionalisme

kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme

(9)

rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula

dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau dan diuraikan dalam buku yang

terkenal adalah Du Contract Sociale. (Kontrak Sosial). Kedua,

Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh

kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun

oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk,

(untuk "rakyat"). Ketiga, Nasionalisme romantik(juga disebut nasionalisme

organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis di

mana negara memperoleh kebenaran politik yang secara "organik"

merupakan hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme.

Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis

yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk

konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang

dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan

dengan etnis Jerman. Keempat, Nasionalisme Budaya adalah sejenis

nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya

bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan

sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap

negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah di belakangkan

di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap

sebagai rakyat negara Tiongkok. Kelima, Nasionalisme kenegaraan ialah

variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan

(10)

keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri

itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi.

Keenam, Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme di mana negara

memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu,

lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme

keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari

persamaan agama yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang

diamalkan oleh pengikut partai BJPbersumber dari agama Hindu (Smith,

2003: 36-56).

Nasionalisme gerakan berbeda dari nasionalisme sebagai ideologi.

Meskipun pada dasarnya nasionalisme ideologi membutuhkan prasyarat

budaya bagi kelangsungannya, namun Smith berpendapat bahwa

nasionalisme ideologi dapat berhimpitan dengan idea tentang aksi protes,

deklarasi dan penggunaan senjata. Ini berbeda dengan idea pemberantasan

buta huruf, pencarian sejarah, pergelaran musik dan jurnal kebudayaan yang

merupakan alat nasionalisme gerakan. Nasionalisme pada tataran ideologi,

memiliki kekuatan tersendiri. Smith memotretnya sebagai pusat kepedulian

dan proses menjadi. Tiga indikator dari nasionalisme ideologi adalah

otonomi nasional, persatuan nasional dan identitas nasional. Definisi jelas

dari nasionalisme ideologi adalah sebuah ideologi gerakan untuk menampil

dan mempertahankan otonomi, persatuan dan identitas bersama masyarakat

(11)

Berdasarkan deskripsi di atas ciri-ciri nasionalisme dapat

ditangkap sebagai berikut. Pertama, nasionalisme ialah cinta pada tanah air,

ras, bahasa atau sejarah budaya bersama. Kedua, nasionalisme ialah suatu

keinginan akan kemerdekaan politik, keselamatan dan prestise bangsa.

Ketiga, nasionalisme ialah suatu kebaktian mistis terhadap organisme sosial

yang kabur, kadang-kadang bahkan adikodrati yang disebut sebagai bangsa

atau Volk yang kesatuannya lebih unggul daripada bagian-bagiannya.

Keempat, nasionalisme adalah dogma yang mengajarkan bahwa individu

hanya hidup untuk bangsa demi bangsa itu sendiri.

(http://pancasila.weebly.com/ pengertian-nasionalisme.html, diunduh 18 Februari 2015).

Sukarno cenderung terlihat sebagai seorang ideolog. Sukarno dalam

pidatonya tentang dasar negara Indonesia menempatkan ideologi sebagai

citra dari nasionalisme. Dasar negara Indonesia merdeka, demikian

Soekarno, adalah “philosofische grondslag”. Ideologi sebagai falsafah

bangsa, berada diatas pemikiran umum. Tetapi bersamaan dengan

kedudukannya sebagai falsafah, idiologi terletak di kedalaman praktek

budaya Indonesia (Salamony, 2015, 1).

Bernhard Dahm dalam Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan

(1987) menjelaskan bahwa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia,

Sukarno dianggap seorang anti imperialis yang militan dan pemersatu yang

(12)

seorang anak guru sederhana dari Sidoarjo dapat menjadi presiden pertama

Indonesia? Kedua, apa yang membuatnya menjadi seorang pahlawan di

mata rakyat banyak? Ketiga, bagaimana Sukarno dapat merumuskan apa

yang dinamakan “pikiran rakyat”, penderitaan wong cilik dan cita-cita kaum

“Marhaen? Keempat, bagaimana Sukarno diterima kaum bangsawan yang

sejak dahulu lebih siap dan pantas untuk menjadi pimpinan dibandingkan

dengan seorang intelektual dan lulusan baru dari sekolah tinggi teknik

Belanda? Dahm menemukan jawaban yang ditemukan. Pertama, pada

keahliannya, di mana Sukarno dapat memanfaatkan tradisi kebudayaan

Indonesia, baik berupa dunia wayang maupun kepercayaan akan datangnya

Ratu Adil. Kedua, Sukarno tidak pernah mencoba untuk meyakinkan rakyat

bahwa dirinya adalah Mesiah yang dijanjikan pada jaman genting, namum

tindak-tanduknya, desas-desus yang beredar serta harapan yang dibebankan

kepada dirinya, ikut serta membentuk kepercayaan rakyat bahwa Sukarno

memiliki kemampuan luar biasa. Ketiga, keemampuannya menjelaskan

usaha kemerdekaan dengan menggunakan bahasa mitos Jawa yang dapat

dengan mudah dipahami bahkan oleh kaum tani yang buta huruf, serta

upayanya yang terus menerus untuk menggalang kesatuan diantara

kelompok-kelompok yang saling bersaing ke dalam sebuah partai, atau kerja

sama secara damai di antara berbagai partai yang memiliki tujuan berbeda.

Keempat, usaha yang gigih untuk menciptakan kesatuan ini mempunyai

akar yang lebih dalam daripada pertimbangan-pertimbangan taktis dan

(13)

terdapat pada sinkretisme Jawa Tradisional. Buku Dahm, menekankan

peranan Sukarno sebagai seorang ideolog dan pemikir (Dahm, 1987:

viii-ix).

Onghokham (dikutip dari Dahm, 1987: xv) berpendapat, bahwa

Sukarno adalah tokoh paling kreatif sebagai cendekiawan dalam

tahun-tahun 1920-an, khususnya setelah 1925. Sukarno pada tahun-tahun 1926 menulis

tesis terbesar tentang Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme. Dalam karir

selanjutnya, pun sebagai presiden yang berkuasa penuh, Sukarno tidak

memungkirinya, bahkan sampai tahun 1965-1966. Pengalaman tahun

1920-an ini merupak1920-an pembentuk1920-an ide politik Sukarno khsusnya terkait deng1920-an

ide nasionalisme.

Bob Hering menulis buku yang berjudul Soekarno Bapak Indonesia

Merdeka Sebuah Biografi (1901-1945). Bob Hering semasa muda, sejak

awal kariernya sebagai ilmuwan di Kanada sudah menjadi pengagum

Sukarno. Hering meyakini Sukarno sebagai pemimpin alternatif rakyat

sedunia yang tertindas, di samping Patrice Lumumba, Nelson Mandela,

Martin Luther King, dan Malcolm X (Hering, 2003: xii).

Bob Hering mengatakan, ada tiga butir peninggalan

mutiara-mutiara cemerlang Sukarno kepada bangsa Indonesia yang tidak ternilai

harganya: 1. Persatuan bangsa yang mengantar Indonesia merdeka, dan

berdirinya republik negara kesatuan; 2. Pancasila, filsafat hidup berbangsa

(14)

menyelenggarakan keadilan, kesejahteraan lahir batin, demokrasi, integritas

nasional, dan kerukunan etnik serta agama; 3. Trisakti, program arah

kebijakan penerapannya bagi semua pranata negara maupun lembaga

masyarakat dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan demokrasi bagi

seluruh rakyat. Trisakti Sukarno yaitu: bebas-aktif dalam politik; berdikari

dalam ekonomi; berkepribadian dalam kebudayaan. Sukarno pada suatu

waktu meledak terhadap IMF, World Bank dan kapitalisme barat: go to hell

with your aid! Kita tahu bagaimana dunia Barat bereaksi dan juga

orang-orang Indonesia yang patut dikasihani. Sukarno dianggap sudah bergabung

dengan kubu komunis, tidak mengerti mengurus kepentingan ekonomi.

Patriot yang sadar politik mengerti bahwa statement Sukarno itu bukan

hanya suatu sikap politik, tetapi terutama merupakan pernyataan

kebudayaan. Sebagai negarawan yang sibuk dengan acara nation building

dan character building, Sukarno mau mendidik bangsanya untuk tidak

menjadi bangsa pengemis. Namun menjadi bangsa bermartabat, mandiri dan

berdikari, tidak mengemis-ngemis, tidaklah gampang–merupakan tantangan

yang harus diperjuangkan, direbut, dengan segala konsekuensinya. (Hering,

2003: x-xi).

Sejak berdirinya PNI aliran politik nasionalisme yang

sesungguhnya berasal dari Eropa Barat, maka secara resmi masuk ke tanah

air Indonesia. Gagasan nasionalisme itu kemudian menarik perhatian Bung

Karno dan sejumlah pemimpin lain di Indonesia. Maka Bung Karno-pun

(15)

yang kemudian dirumuskan menjadi nasionalisme Indonesia (Hardjono,

1997: 28-29). Prinsip nasionalisme menjadi alat perjuangan Sukarno untuk

kemerdekaan Indonesia. Nasionalisme Indonesia hasil perumusan Sukarno

merupakan sebuah rumusan yang menggabungkan semua ideologi yang ada

di dunia di dalam kondisi-kondisi Indonesia. Sukarno juga mewarisi

kegandrungan akan persatuan dan kesatuan dari Cokroaminoto. Sikap itu

mulai terlihat sangat jelas melalui tulisannya yang sangat terkenal pada

tahun 1926 yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”

(Hardjono, 1997: 32).

Aktivitas Partai Nasional Indonesia dianggap suatu bahaya

permanen bagi kelangsungan hidup kolonialisme di bumi Indonesia, maka

pemerintah kolonial menangkap tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia

seperti Sukarno, Gatot Mangkuprodjo, Maskun dan Supriadinata. Sukarno

dalam pengadilan di Bandung mengadakan pembelaanya yang terkenal

dengan Indonesia Menggugat. Ruslan Abdulgani mengatakan bahwa suatu

ketangkasan yang mengagumkan bahwa keempat terdakwa itu, dan terutama

Bung Karno, dapat menjadikan forum pengadilan Bandung itu sebagai

forum untuk mendakwa dan menuduh sistem kolonialisme Hindia-Belanda,

sebagai sumber-pokok dari segala kemelaratan dan kemiskinan rakyat

Indonesia. Pembelaan Bung Karno tidak secara kebetulan diberi judul

“Indonesia Menggugat”, yang oleh pihak Belanda yang proggressip pada

waktu itu diterjemahkan sebagai “Indonesia klaat aan” (Indonesia

(16)

Indonesia itu merupakan usaha kekuasaan kolonial Hindia Belanda untuk

mendapatkan legalisasi razzia-razzia terhadap pergerakan nasional,

pergerakan rakyat Marhaen, berdasarkan persatuan Indonesia, serta

sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, serta berhaluan kiri, radikal dan

revolusioner dengan pelopor dan juru bicaranya yang ulung dan militan,

yakni Sukarno (Notosoetardjo, 1963: xviii).

D. Landasan Teori

Filsafat sebagai ilmu pengetahuan memiliki tiga (3) pilar penyangga

utama, yakni epistemologi, ontologi, dan aksiologi. Aksiologi dengan

demikian merupakan salah satu cabang utama ilmu filsafat. Encyclopedia

Britannia (1987) mengatakan bahwa aksiologi dari axio Yunani, "layak",

logo, "studi", juga disebut Teori of Value. Secara etimologis aksiologi

berarti studi filosofis tentang nilai dalam arti luas. Pat Amerson (2007: 5)

menulis:

Axiology is the branch of philosophy that considers the nature of value and what kinds of things have value. The term derives from the Greek language: axios (worth or value) and logos (study of the nature and properties of, or logic or theory of). Axiologists are broadly concerned with all forms of value, including aesthetic values, ethical values, and epistemic values. In a narrow sense, axiologists are concerned with what is intrinsically valuable or worthwhile—what is desirable for its own sake.

(17)

Titus, dkk (dikutip dari terjemahan HM Rasjidi, 1986: 96) sejalan

dengan itu, dan menandaskan bahwa aksiologi diartikan sebagai kajian

tentang hakikat, kriteria, dan status ontologis nilai.

Nilai sebagai salah satu konsep inti dalam pemikiran kefilsafatan,

memiliki beberapa pengertian mendasar. Pertama, nilai bukan merupakan

benda atau pengalaman, juga bukan merupakan esensi. Nilai adalah sesuatu

yang lahir dan muncul sebagai kualitas dari pengembannya. Dalam hal ini,

nilai tidak dapat dikatakan sebagai benda atau unsur dari benda, melainkan

sifat atau kualitas dari objek tertentu. Kedua, nilai sebelum melekat pada

pembawanya merupakan eksistensi yang tidak nyata (Frondizi, 2007: 7-10).

Hal penting dalam pembicaraan tentang teori nilai adalah tentang

dasar nilai dan letak nilai-nilai di dalam alam semesta. Dua teori yang

menonjol di dalam teori nilai, yaitu teori subjektivisme dan objektivisme

(Frondizi, 2007: 19-30). Subjektivisme merupakan suatu paham yang

beranggapan bahwa keberadaan nilai tergantung pada kesadaran yang

menilai, dengan kata lain sesuatu itu dapat bernilai karena ada subjek yang

menilai. Kelompok yang menganut teori ini beranggapan bahwa pernyataan

nilai menunjukkan perasaan atau emosi dari suka atau tidak suka. Anggapan

tersebut lahir dari aktivitas sehari-hari seperti makan, minum,

mendengarkan musik, melihat matahari terbenam, yang semua itu bernilai

karena membangkitkan rasa senang dan menimbulkan

pengalaman-pengalaman yang disukai manusia, sehingga nilai tidak terletak pada

(18)

Berbeda dengan teori subjektivisme, teori objektivisme justru

mengajarkan bahwa nilai sama sekali tidak tergantung kepada subjek, akan

tetapi terletak pada benda-benda atau objek-objek yang memang sudah

bernilai. Nilai dianggap sebagai sesuatu yang terletak di luar manusia, oleh

karena itu manusia diwajibkan untuk menggali nilai tersebut. Dalam

pemahaman penganut teori ini, manusia tertarik dan memperhatikan suatu

objek disebabkan karena objek tersebut memiliki nilai, bukan karena

ketertarikan atau perhatian manusia yang melahirkan nilai. Nilai dalam hal

ini bersifat tetap, mutlak dan tidak berubah.

Ralph Barton Perry dalam tulisannya yang berjudul General

Theory Of Value (dikutip dari Kattsoff, 1989: 337-338), mengatakan bahwa

setiap objek yang ada dalam kenyataan maupun dalam pikiran dapat

memperoleh nilai. Hal ini dapat terjadi jika suatu ketika objek tersebut

berhubungan dengan subjek-subjek yang mempunyai kepentingan, maka hal

tersebut kemudian mempunyai nilai. Nilai dikelompokkan dalam tiga

kriteria kualitas objek yang terdapat pada diri subjek dan membuat objek

tersebut bernilai. Kriteria tersebut antara lain, yaitu (1) Intensitas, misalnya

anggur. (2) Preferensi, yaitu objek yang lebih baik dari objek yang lain,

misalnya air jika anggur lebih disenangi dari pada air. (3) Luas, jika

perhatian pada anggur lebih besar dari pada perhatian yang diberikan pada

air (Frondizi, 2071: 66).

Salah satu persoalan mendasar dalam aksiologi ialah persoalan

(19)

tingkat lebih rendah yang bersifat apriori. Scheler (dikutip dari Frondizi,

2007: 138-139 membagi hierarki nilai ke dalam empat tahap, yaitu nilai

kenikmatan dan ketidaknikmatan, nilai vital, nilai spiritual, dan nilai

religius. Nilai kenikmatan dan ketidaknikmatan adalah sesuai dengan

suasana afektif nikmat dan rasa sakit yang bersifat indrawi. Nilai vital tidak

tergantung dan tidak dapat direduksi dengan kenikmatan dan

ketidaknikmatan. Nilai spiritual ditangkap melalui sentimentil spiritual.

Nilai spiritual dibedakan atas empat hierarki, yaitu nilai keindahan dan

kejelekan dan berbagai nilai estetik yang lain. Nilai keadilan dan

ketidakadilan. Nilai pengetahuan murni tentang kebenaran (Frondizi, 2007:

138).

Hierarki nilai tidak tergantung pada kemauan manusia, melainkan

secara objektif dan seyogyanya memang seperti itu. Hal itu tidak dapat

begitu saja diubah oleh manusia menurut kehendak sendiri karena manusia

bukan sang pencipta hierarki itu sendiri melainkan hanya dapat menemukan,

memahami, dan mewujudkannya.

Manusia dikatakan bertindak benar apabila dapat menghargai nilai

yang lebih tinggi. Ada lima macam kriteria yang berbeda dengan preferensi

untuk membedakan hierarki nilai aksiologis. Kriteria tersebut adalah; sifat

tahan lama, dapat dibagi tanpa mengurangi makna, tidak tergantung pada

nilai lain, membahagiakan, dan tidak tergantung pada kenyataan tertentu.

(20)

E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif di bidang filsafat.

Objek material penelitian ini adalah konsep Sukarno tentang nasionalisme,

dengan objek formal aksiologi atau filsafat nilai.

1. Bahan Penelitian

Langkah pertama dalam penelitian ini adalah pengumpulan sumber

data sesuai dengan tujuan penelitian. Sumber data tersebut bisa berupa

buku, rekaman suara, atau gambar. Beberapa sumber tersebut dipilih buku

yang dipakai sebagai sumber primer, yakni:

a. Dibawah Bendera Revolusi Jilid I

b. Indonesia Menggugat

c. Lahirnya Pancasila

d. Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjoangan Republik

Indonesia

e. Pancasila Dasar Negara

f. Dibawah Bendera Revolusi Jilid II

g. Warisilah Api Sumpah Pemuda

h. Ilmu dan Perjuangan

i. Pantja Warsa Manipol

j. Amanat Proklamasi Jilid I-IV.

k. Nawa Aksara

(21)

Sumber sekunder adalah sebagai berikut:

a. Bahm, Archie J., 1984, Axiology: The Science of Values,

Albuquerque.

b. Frondizi, Risieri, 2007, Filsafat Nilai, terjemah Cuk Ananta

Wijaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

c. Notonagoro,1982, Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila,

Rajawali, Jakarta.

d. Scheler, Max .,1973. Moralism in Etics and Non Formal Ethics

of Values. Terjemahan Manfred S.Frings dan Roger L.

Funk, Evanton, Northwestern University Press.

e. Wahana, Paulus, 2004, Nilai Etika Aksiologi Max Scheler, Kanisius, Yogyakarta.

f. Peursen, van, 1990, “Fakta, nilai dan Peristiwa Tentang Hubungan Antara Ilmu Pengetahuan dan Etika”, terjemahan Sony Keraf, Gramedia, Jakarta.

2. Jalan Penelitian

Tahap pertama merupakan proses pengumpulan data. Tahap

pertama karya-karya Sukarno dikumpulkan, diiventarisasi dan diklasifikasi.

Dalam penentuan klasifikasi ditentukan data primer dan data sekunder. Data

primer adalah karya-karya Sukarno yang berhubungan dengan nasionalisme

dan nasionalisme Indonesia. Proses pengumpulan data melalui teknik:

membaca pada tingkat simbolik, membaca pada tingkat semantik,

(22)

adalah tulisan-tulisan dari peneliti atau catatan-catatan di file komputer

sehingga memudahkan menemukan kembali fakta-fakta yang ditemukan,

termasuk di dalamnya pengkodean sumber pustaka.

Tahap kedua merupakan langkah analisis data. Pertama, analisis

dimulai pada waktu pengumpulan data. Metode yang digunakan adalah

metode hermeneutika dengan melalui tahap verstehendan penafsiran. Hasil

yang diinginkan pada tahap ini adalah menangkap inti atau esensi pemikiran

Sukarno tentang nasionalisme Indonesia yang dalam perspektif aksiologi

atau filsafat nilai yang terkandung dalam suatu rumusan verbal kebahasaan

hasil pemikiran Sukarno. Tujuan pengumpulan data untuk menemukan atau

merumuskan konstruksi teoritis, setelah mengalami interpretasi dan

penafsiran terhadap proses analisis, melalui mengatur urutan data,

mengorganisasikan ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar

(Kaelan, 2005: 168).

Tahap ketiga reduksi data, artinya kumpulan data tersebut

dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang

penting yang sesuai dengan pola dan peta konsep nasionalisme Indonesia

menurut Sukarno. Intinya direduksi, yaitu data disingkatkan, dipadatkan

intisasarinya, disusun secara sistematis sehingga mudah dikendalikan.

Tujuannya memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil

pengamatan, dan mempermudah peneliti untuk mencari data kembali

(23)

Keempat display data dengan langkah-langkah membuat

kategorisasi, mengelompokan kepada kategori-kategori tertentu, membuat

klasifikasi, dan menyusunnya dalam suatu sistem sesuai dengan peta

masalah penelitian.

Kelima (analisis interpretasi) data dengan tujuan 1. Untuk

menentukan saling hubungan antara kategori satu dengan kategori lainnya

sesuai peta penelitian yang dibimbing oleh masalah dan tujuan penelitian. 2.

Untuk mewujudkan konstruksi teoritis, yaitu untuk menemukan pola

sistematis pandangan filosofis dari filsuf yang merupakan objek material

penelitian filsafat.

3. Analisis Data

Analisis data menggunakan metode sebagai berikut:

a. Historis, metode ini diterapkan untuk menerapkan periodesasi

secara historis dan melakukan refivikasi sejarah agar hasil analisis

memiliki konsistensi historis. Selain itu juga untuk melihat

seputar perkembangan pemikiran Sukarno yang berkaitan dengan

konsep nasionalisme.

b. Hermeneutika, yaitu metode untuk mencari dan menemukan

makna esensial yang terkandung dalam pemikiran Sukarno.

Prinsip kerja hermeneutika untuk menentukan objektive geist

yaitu makna terdalam esensial yang terkandung dalam objek

penelitian, sehingga didapatkan pemahaman terhadap konsep

(24)

c. Heuristika, artinya menemukan hal-hal baru yang terkait dengan

pemikiran Sukarno, sehingga dapat digunakan untuk

merefleksikan sumbangan atau kontribusinya bagi pebentukan

karakter bangsa.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penelitian ini disusun berdasarkan urutan-urutan dalam

pembagian bab per bab berdasarkan pertimbangan kepentingan serta objek

penulisan yang ada. Berturut-turut dari bab I berisi pendahuluan, yaitu latar

belakang masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II membahas tentang

diskursus aksiologi, meliputi pengertian aksiologi, persoalan-persoalan

aksiologi, dan aliran utama dalam aksiologi.

Bab III membicarakan objek material penelitian. Bab ini dibagi ke

dalam beberapa sub-bab, yakni biografi Sukarno; sumber inspirasi

pemikiran Sukarno; pokok-pokok pemikiran Sukarno; pengertian,

unsur-unsur, dan perkembangan nasionalisme; gagasan nasionalisme Sukarno.

Bab IV berjudul nilai-nilai dalam nasionalisme Sukarno yang berisi

uraian tentang tiga hal pokok. Pertama, hakikat nasionalisme Sukarno.

Kedua, nilai-nilai utama dalam nasionalisme Sukarno. Ketiga, hirarkhi nilai

(25)

Bab V mendeskripsikan hasil refleksi penulis atas sumbangan

pemikiran Sukarno bagi penguatan pendidikan karakter bangsa. Bab ini

diperinci dalam beberapa sub-bab, yakni pengantar; pengertian penguatan

pendidikan karakter; tantangan pendidikan karakter bangsa Indonesia masa

kini; sumbangan pemikiran Sukarno tentang nasionalisme bagi penguatan

pendidikan karakter bangsa.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pengamatan kemampuan berbahasa siswa pada siklus 1 telah mengalami peningkatan dari pratindakan walaupun belum mencapai persentase KKM yang telah ditentukan.

Karyawan akan melakukan segala cara (dedikasi) agar organisasi mampu mencapai kesuksesan. Dalam diri karyawan yang komitmennya tinggi terjadi proses identifikasi, adanya

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat

Hasil penelitian untuk faktor permintaan secara simultan ada pengaruh nyata antara tingkat pendapatan, selera, jumlah tanggungan dan harapan masa yang akan datang

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk

[r]

underwear rules ini memiliki aturan sederhana dimana anak tidak boleh disentuh oleh orang lain pada bagian tubuhnya yang ditutupi pakaian dalam (underwear ) anak dan anak

Yesus yang dapat dinikmati juga oleh orang-orang dari etnisitas lain. Orang