• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 1. Permasalahan. Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 1. Permasalahan. Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

1. Permasalahan

Kearifan lokal dalam suatu komunitas masyarakat memegang peranan penting untuk pengendalian dan memberikan arah terhadap perkembangan kebudayaan masyarakat tersebut. Karena kebudayaan menurut Poespowardojo (1986; 33) dapat diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki nasib hidupnya. Dalam kebudayaan inilah teridentifikasi dan termanifestasi kepribadian suatu masyarakat yang tercermin dalam orientasi yang menunjukkan pandangan hidup serta sistem nilai dalam persepsi untuk melihat dan menanggapi dunia luarnya, sehingga pola serta sikap hidup yang diwujudkan dalam tingkah-laku sehari-hari melalui gaya hidup yang mewarnai kehidupannya.

Local genius menunjukkan ciri dan inti kehidupan budaya masyarakatnya sebagai ekspresi diri dalam perwujudan kepribadian masyarakat. Kedudukan local genius ini sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur- unsur budaya yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa-masa mendatang. Karena itu adalah penting sekali adanya usaha pemupukan dan pengembangan local genius tersebut yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat, baik dalam gaya hidup masyarakat, dalam pola dan sikap hidup, persepsi, maupun dalam

(2)

orientasi masyarakat (Poespowardojo, 1986; 33). Begitu banyak suku bangsa di Nusantara yang memiliki kekayaan budaya di dalamnya terdapat local genius yang harus digali dan dikembangkan dalam perspektif kontemporer untuk memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat.

Keberadaan local genius dalam komunitas masyarakat relatif beragam pada setiap suku-bangsa, yang merupakan mutiara kekayaan Nusantara. Salah satu komunitas suku-bangsa yang mendiami bumi tatar Sunda yang secara geografis berada dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten adalah masyarakat Suku Sunda dengan memiliki kearifan budaya dalam kehidupan masyarakatnya. Esensi kearifan budaya dalam kehidupan masyarakat mengandung nilai-nilai moral menjadikan pedoman dalam interaksi sosial masyarakatnya. Karena kearifan lokal merupakan kebenaran yang mentradisi dalam suatu komunitas masyarakat sebagai perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada dalam kehidupannya (Sartini, 2009; 9).

Kearifan lokal sebagai suatu nilai budaya, maka selalu dihubungkan dengan nilai baik yang dipertahankan masyarakatnya merupakan identitas kultural dalam bentuk norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus, sehingga dapat bertahan secara terus-menerus.

Kearifan lokal yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sunda adalah meletakkan pentingnya keharmonisan hubungan antar manusia dan masyarakat yang saling ketergantungan (interdependency) dengan tidak melupakan jati diri dan habitatnya masing-masing, merupakan kesadaran yang harus dibangun bagi para anggota masyarakatnya (Suryalaga, 2010; 126). Untuk membangun kesadaran tersebut, maka salah satu kearifan budaya yang menjadi landasannya mengacu kepada yargon:

(3)

silih asih, silih asah, silih asuh dalam kehidupan masyarakatnya. Yargon tersebut sangat dikenal dalam kehidupan masyarakat Sunda yang perlu ditelusuri konsep dasarnya, mengapa dijadikan landasan nilai dalam membangun kebersamaan kehidupan masyarakat untuk meningkatkan kualitas hidupnya.

Makna yang terkandung dalam yargon tersebut mengandung nilai-nilai kebersamaan yang saling ketergantungan dalam kehidupan komunitas masyarakat, yang secara tradisi telah tertanam melalui kebudayaannya. Silih asih dimaknai sebagai saling mengasihi dengan segenap kebeningan hati. Silih asah bermakna saling mencerdaskan kualitas kemanusiaan. Silih asuh tak pelak lagi dimaknai kehidupan yang penuh harmoni (Suryalaga, 2010; 106). Orientasi dari konsep nilai yang terkandung di dalamnya ternyata dapat dimaknai sebagai proses pemberdayaan masyarakat dalam menumbuhkan keberdayaan individu dalam kehidupan bermasyarakat, untuk mencapai kualitas kemanusian agar berharkat dan bermartabat.

Pemberdayaan masyarakat dalam perspektif epistemologis ilmu-ilmu sosial menampilkan peran-peran aktif dan kolaboratif antara masyarakat dan mitranya, sehingga secara paternalistik melimpahkan kekuatan (power) kepada orang lain, yang dapat diartikan memberdayakan masyarakat yang mengalami kekurangberdayaan seperti yang dialami masyarakat miskin. Konsep pemberdayaan ini tidak hanya secara individual, tetapi juga secara kolektif (individual self empowerment maupun collective self empowerment), dan semua itu harus menjadi bagian dari aktualisasi diri dan koaktualisasi eksistensi manusia dan kemanusiaan sebagai hasil dari proses pemberdayaan. Dengan kata lain, manusia dan kemanusianlah yang menjadi tolok ukur normatif, struktural dan substansial (Pranarka dan Vidhyandika, 1996; 55-56). Karena

(4)

itu, esensi pemberdayaan manusia miskin pada hakikatnya adalah menumbuhkan daya dalam diri manusia yang bersumber dari susunan hakikat kodratnya berupa unsur jiwa yang terdiri akal, rasa, dan karsa dalam kesatuan raganya melalui stimulasi orang lain.

Manusia dan masyarakat miskin akibat mengalami kekurangberdayaan secara berkesinambungan, dalam perspektif filsafat nilai diidentifikasi mengadopsi nilai-nilai yang bersifat negatif, seperti malas, kurang menghargai waktu yang bersifat produktivitas, rendah diri menghadapi strata sosial yang lebih tinggi, dan sifat-sifat negatif lainnya, sehingga menyebabkan menjadi miskin. Pemberdayaan masyarakat miskin bertujuan untuk mengubah nilai-nilai yang bersifat negatif yang dimilikinya, sehingga berubah menjadikan nilai-nilai positif sebagaimana manusia yang memiliki keberdayaan melalui transformasi nilai-nilai positif seperti; rajin bekerja, menghargai waktu, percaya diri, kreatif, dan sifat-sifat positif lainnya. Menumbuhkembangkan nilai- nilai positif dalam diri manusia miskin membutuhkan pemberdayaan melalui proses penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan untuk dapat menjadikan manusia berdaya dan mandiri.

Hakikat kemiskinan dipahami tidak sekedar melihat realitas pertumbuhan angka kemiskinan yang bersifat kuantitatif sebagai dasar penyusunan suatu program yang lebih berorientasi sebagai objek pembangunan semata, tetapi harus memahami hakikat kebudayaan kemiskinan masyarakat dari nilai-nilai budayanya, karakteristik dan keyakinan-keyakinannya, serta filosofi hidupnya untuk memberdayakannya. Pada posisi inilah kajian dari aspek filsafat yang membahas tentang orientasi nilai-nilai kearifan budaya dalam memberdayakan masyarakat miskin merupakan substansi yang paling mendasar. Karena itu, manusia pada hakikatnya adalah sebagai subjek pembangunan

(5)

yang seharusnya menempatkan masyarakat miskin tidak semata-mata menjadikan objek pembangunan, sehingga orientasi pemberdayaan masyarakat miskin dilakukan dengan memahami dan menghargai nilai-nilai budayanya untuk meningkatkan harkat dan martabatnya.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Saifuddin, pada pidato pengukuhan Guru Besar Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia (24-1-2007) dengan judul: “Kemiskinan di Indonesia: Realita di Balik Angka”. Saifuddin (2007; 2) mengetengahkan hal tersebut karena dua alasan.

Pertama, kemiskinan adalah pusat segala permasalahan kehidupan masyarakat, baik lokal maupun nasional. Berbagai kebijakan dan program dari berbagai bidang tidak akan berjalan dengan baik, apabila masalah kemiskinan belum dapat diselesaikan secara tuntas. Kedua, kajian mengenai kemiskinan sudah banyak dilakukan oleh pemerintah, perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga non-pemerintah yang sebagian besar kajian tersebut berorientasi pada angka-angka untuk memaparkan kondisi-kondisi kemiskinan.

Suatu cara pandang mengenai kemiskinan dari sudut manusia sebagai subjek belum memperoleh kedudukan yang memadai dalam kajian-kajian mengenai kemiskinan di Indonesia. Atas dasar kedua alasan tersebut sangat penting memusatkan perhatian pada aspek sosial budaya kemiskinan, suatu aspek yang menyangkut langsung manusia dan pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dimiliki dan digunakan untuk menghadapi lingkungannya.

Pentingnya kajian kemiskinan di perkotaan pada masa sekarang melihat fenomena perkembangan masyarakat miskin di berbagai perkotaan di negara-negara dunia ketiga mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Presiden Bank Dunia,

(6)

Namara (1976), minta perhatian terhadap nasib golongan yang paling miskin di kota- kota dunia ketiga, yang disebutnya the absolute poor. Komunitas masyarakat tersebut terikat pada lingkaran setan, berupa; kekurangan gizi, buta huruf, penyakit underemployment, angka kematian anak tinggi, penghargaan masa hidup yang pendek dan produktivitas yang rendah, yang menyebabkan kelompok ini tidak dapat keluar dari cengkeraman kemelaratan. Jikalau kota-kota tidak menangani kemiskinan secara lebih konstruktif, maka kemiskinan itu mungkin sekali akan melanda kota-kota secara destruktif (Sudjatmoko, 1984; 90).

Permasalahan kemiskinan di Indonesia sudah sangat mendesak untuk ditanggulangi, khususnya di wilayah perkotaan karena kecenderungan peningkatan pertambahan jumlah penduduk jauh lebih besar dari pada di perdesaan. Akibatnya, beberapa kota besar di Indonesia, seperti Kota Bandung memiliki tingkat kepadatan penduduk yang begitu tinggi selalu diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk miskin. Salah satu ciri umum dari kondisi fisik lingkungan masyarakat miskin di perkotaan menurut Pedoman Umum Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)-3, adalah tidak memiliki akses ke prasarana dan sarana dasar lingkungan yang memadai dengan kualitas perumahan dan permukiman yang jauh dibawah standar kelayakan serta mata pencaharian yang tidak menentu. Disadari bahwa selama ini banyak pihak melihat persoalan kemiskinan hanya pada tataran gejala-gejala yang tampak terlihat dari luar atau tataran permukaan saja, baik dimensi politik, sosial, ekonomi, aset dan lain-lain. Orientasi berbagai penanggulangan kemiskinan yang telah dilakukan hanya menitikberatkan pada salah satu dimensi dari gejala-gejala kemiskinan tersebut, yang pada dasarnya mencerminkan pendekatan program bersifat parsial,

(7)

sektoral, charity serta tidak menyentuh akar penyebab kemiskinan itu sendiri.

Akibatnya, program-program dimaksud tidak mampu menumbuhkan kemandirian masyarakat, yang pada akhirnya tidak dapat mewujudkan aspek keberlanjutan (sustainability) dari program-program penanggulangan kemiskinan tersebut (Sutjiono dkk., 2005; 1).

Masyarakat miskin yang menjadi penduduk di suatu daerah pada hakikatnya disebabkan terjadinya kesenjangan pendapatan yang begitu tajam, sehingga terlihat secara nyata perbedaan perilaku hidup suatu komunitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Mungkin saja yang bersangkutan menganggap tidak ada permasalahan mengenai keadaan kemiskinan dirinya, tetapi dalam kehidupan sosial di masyarakat terjadi berbagai fenomena berupa ekses negatif dalam berbagai bentuk perilaku, seperti gelandangan dan pengemis yang banyak berada di pinggiran dan persimpangan jalan raya serta pengangguran yang menempati lingkungan perumahan kumuh di wilayah yang tidak sesuai dengan tata ruang perkotaan. Kemiskinan yang terjadi di perkotaan diidentifikasi memiliki keterkaitan dengan terjadinya kemiskinan di perdesaan, sehingga melakukan urbanisasi ke perkotaan dengan harapan dapat mengubah taraf hidupnya agar lebih baik.

Padatnya penduduk dalam masyarakat perkotaan disebabkan terjadinya urbanisasi dan migrasi serta pertumbuhan penduduk secara alami yang tidak terbendung dengan tidak diimbangi penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang layak serta memadai, sehingga menyebabkan permasalahan sosial masyarakat di perkotaan semakin kompleks termasuk bertambahnya masyarakat miskin. Keberadaan masyarakat miskin di perkotaan yang pada umumnya kurang berdaya menghadapi persaingan hidup

(8)

dengan berbagai perilaku budaya yang tidak sesuai dengan etika umum, sehingga dianggap menjadi beban sosial masyarakat. Masyarakat miskin di perkotaan akibat dari urbanisasi diidentifikasi berasal dari stratifikasi masyarakat miskin di perdesaan, karena ketidakberdayaan dirinya dan tidak memiliki bekal keterampilan serta pendidikan yang memadai sehingga tidak mampu bersaing dalam kehidupan masyarakat perkotaan.

Fenomena ketidakberdayaan manusia terjadi dalam kehidupan masyarakat Sunda di perkotaan maupun perdesaan, terutama yang dialami oleh manusia miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak. Ketidakberdayaan pada diri manusia miskin adalah ketidakmampuan mengoptimalkan fungsi susunan hakikat kodratnya yang menurut Notonagoro (1995; 97-98), bahwa ketiga unsur dalam jiwa manusia harus selalu ada kemampuan untuk menyelenggarakan kerjasama akal, rasa, dan kehendak itu dalam satu-kesatuan. Ketiga unsur dalam jiwa ini bersatu dalam raga (badan)nya bekerjasama untuk terjadinya proses pemberdayaan masyarakat dalam diri manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial secara seimbang.

Pemberdayaan pada diri manusia miskin menurut hakikat kodratnya bersifat monopluralis bertumpu pada daya yang menjadi esensi dan perlu dipertanyakan dalam kehidupan masyarakat. Karena menurut Notonagoro (1995; 93), bahwa bawaan hakikat manusia yang merupakan keharusan yang mutlak untuk memenuhi kebutuhan, baik yang berketubuhan maupun yang kejiwaan, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain. Pada manusia harus selalu ada kemampuan untuk memberikan kepada diri sendiri dan kepada orang lain apa yang semestinya, apa yang menjadi haknya. Kemampuan yang selalu demikian dalam melakukan proses pemberdayaan diri dan orang lain sesuai

(9)

dengan hak dan kewajiban mengikuti konsep keadilan yang menjelma dalam tingkah laku adil dan perbuatan adil.

Proses pemberdayaan masyarakat mengacu kepada Pedoman Umum P2KP-3 sebagai salah satu instrumen penting dalam program penanggulangan kemiskinan, yaitu mencapai tujuan kemandirian masyarakat berlandaskan nilai-nilai universal kemanusiaan yang harus dijunjung tinggi, ditumbuhkembangkan, dan dilestarikan berupa nilai: jujur, dapat dipercaya, ikhlas/kerelawanan, adil, kesetaraan, dan kesatuan dalam keberagaman (Sutjiono dkk., 2005; 7). Nilai-nilai universal kemanusiaan ini dijadikan sebagai landasan sikap dan perilaku bagi para pelaku pemberdayaan, baik masyarakat miskin yang diberdayakan maupun masyarakat dan semua pihak yang terlibat dalam program pemberdayaan ini. Nilai-nilai universal kemanusiaan yang diadopsi masyarakat lokal disesuaikan dengan nilai-nilai kearifan lokal budaya yang telah diimplementasikan dalam kehidupannya.

Program penanggulangan kemiskinan di Indonesia telah digulirkan pemerintah pusat melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri untuk di perkotaan berbentuk Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), dan di perdesaan berbentuk Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Program tersebut merupakan program pemerintah pusat atas bantuan pendanaan Bank Dunia yang dimulai sejak tahun 1999 dengan digulirkannya P2KP di berbagai perkotaan, dan setahun kemudian PPK digulirkan di berbagai perdesaan di Indonesia. Tujuan program tersebut pada awalnya sebagai upaya mengatasi bertambahnya jumlah penduduk miskin dan pengangguran, akibat terjadinya krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak

(10)

pertengahan tahun 1997, tetapi program tersebut hingga kini masih terus berjalan dan mengalami berbagai perbaikan program.

Orientasi dari program tersebut di atas, mengacu kepada Pedoman Umum P2KP-3, ingin memperbaiki cara pandang masyarakat dan perilaku yang senantiasa berlandaskan nilai-nilai universal kemanusiaan (moral), prinsip-prinsip kemasyarakatan, dan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Karena perilaku dan cara pandang masyarakat merupakan pondasi yang kokoh bagi terbangunnya lembaga masyarakat yang mandiri melalui pemberdayaan para pelaku- pelakunya agar mampu bertindak sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia luhur yang mampu menerapkan nilai-nilai luhur dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kemandirian lembaga masyarakat ini dibutuhkan dalam rangka membangun lembaga masyarakat yang benar-benar mampu menjadi wadah perjuangan kaum miskin yang mandiri dan berkelanjutan dalam menyuarakan aspirasi serta kebutuhannya.

Keberadaan lembaga tersebut juga diharapkan mampu memengaruhi proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan publik di tingkat lokal agar lebih berorientasi keberpihakan kepada masyarakat miskin (propoor) dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance), baik ditinjau dari aspek ekonomi, lingkungan termasuk perumahan dan permukiman maupun sosial (Sutjiono dkk., 2005;

1, 5).

Program penanggulangan kemiskinan ini meletakkan nilai-nilai universal kemanusiaan yang senantiasa menjadi landasan program yang didesain oleh pemerintah pusat, ternyata dalam tataran implementasi membutuhkan kebijakan publik pada tingkat lokal untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat. Kondisi yang demikian perlu

(11)

ditumbuhkembangkan kearifan lokal (local wisdom) dalam lingkup budaya yang telah berkembang dalam masyarakat, baik yang bersumber pada nilai-nilai budaya maupun agama yang dianut sebagian besar masyarakatnya. Perpaduan nilai-nilai universal kemanusiaan yang menjadi landasan program penanggulangan kemiskinan akan sangat tergantung kepada tanggapan masyarakat untuk menerima atau menolaknya, karena komunitas masyarakat telah memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan sehari- hari.

Kearifan lokal mengandung nilai moral kebaikan yang dalam kehidupan masyarakat Sunda terdapat pada suatu yargon: silih asih, silih asah, silih asuh sebagai suatu konsep yang diimplementasikan dengan tujuan membangun kebersamaan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya sebagai esensi nilai pemberdayaan manusia. Konsep tersebut digunakan sebagai landasan nilai pelaksanaan PNPM-Mandiri, baik di perkotaan maupun perdesaan yang memiliki perbedaan karakteristik masyarakatnya.

Keberadaan nilai kearifan lokal ini diadopsi dalam program tersebut, mampukah bertahan di tengah-tengah gencar masuknya budaya luar yang cenderung bersifat individualistik dan kapitalistik dalam budaya global melalui proses akulturasi dan inkulturasi budaya masyarakatnya.

Fenomena tersebut di atas perlu dipertanyakan kembali terhadap eksistensi konsep silih asih, silih asah, silih asuh sebagai suatu nilai kearifan budaya Sunda relevansinya bagi program pemberdayaan masyarakat miskin. Makna yang terkandung dalam konsep nilai tersebut masihkah relevan dalam kehidupan masyarakat Sunda yang memiliki kecenderungan berkembang ke arah individualistik dan berorientasi materialistik. Sebaliknya, nilai-nilai sosial dalam membangun kebersamaan untuk

(12)

kehidupan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik disinyalir mengalami degradasi, karena lebih mengedepankan nilai-nilai individualistik.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka diperlukan kajian filsafat nilai terhadap makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Mengingat kearifan budaya tersebut secara praksis terdapat pada komunitas masyarakat Sunda dan memiliki karakteristik yang berbeda dalam kehidupan masyarakat, sehingga dilakukan studi kasus untuk memberikan gambaran dalam masyarakat perkotaan maupun perdesaan.

2. Rumusan Masalah

Penelitian ini mengambil tema: ”Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevasinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin” merupakan studi kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang dengan berobjek material berupa makna silih asih, silih asah, silih asuh dengan objek formal berupa filsafat nilai. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah adalah sebagai berikut;

1. Apa esensi kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai?.

2. Bagaimana konsep dasar pemahaman makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh dalam kearifan budaya Sunda?.

3. Apa esensi kemiskinan menurut kajian filsafat nilai dalam masyarakat Sunda?.

4. Apa esensi nilai pemberdayaan masyarakat miskin menurut filsafat manusia?.

5. Bagaimana esensi makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin?.

(13)

3. Keaslian Penelitian

Penelitian yang secara khusus membahas tentang makna silih asih, silih asah, dan silih asuh menurut kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin belum pernah dilakukan para peneliti lain, tetapi sebagai bagian dari pokok bahasan suatu kajian yang terdapat dalam berbagai tulisan berbentuk makalah atau satu buku. Herlina Lubis dalam makalahnya yang termuat dalam Prosiding Konferensi Internasional Budaya Sunda tahun 2006 dengan judul Kearifan Tradisional: Warisan Sejarah Sunda, menyimpulkan bahwa, konsep silih asih, silih asah, silih asuh merupakan konsep tradisional yang penting dalam membina hubungan antar masyarakat, sekaligus mencegah terjadinya konflik (Rosidi dkk., 2006; 273-274).

Selanjutnya, dalam buku yang ditulis oleh Garna, dengan judul Budaya Sunda:

Melintasi Waktu Menantang Masa Depan, pada tahun 2008 menyimpulkan bahwa hubungan antara sesama yang mengandung nilai-nilai dasar yang manusiawi memiliki berbagai sisi dalam menghargai orang lain seperti diungkapkan oleh ’silih asih, silih asah, silih asuh’. Ungkapan itu juga mengandung makna kesetaraan dan mendidik serta menghendaki diri sendiri, orang lain, dan siapapun manusia untuk saling mengasihi, saling mengasah (membina) dan saling mengasuh dalam menciptakan masyarakat yang teratur, tenteram dan kewibawaan setiap orang yang saling berhubungan itu dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur (Garna, 2008; 140).

Penelitian yang dilakukan oleh Warnaen dkk., berjudul Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda, pada tahun 1987 menyimpulkan bahwa pada dasarnya hubungan antara manusia dengan sesama

(14)

manusia itu harus dilandasi oleh sikap silih asih, silih asah, dan silih asuh. Artinya, saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh sehingga tercipta suasana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan, tetapi tidak boleh sekedar terbawa-bawa (Warnaen, dkk., 1987; 19).

Sumardjo dalam hasil penelitiannya, yang ditulis dalam buku dengan judul

”Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun sunda” pada tahun 2009, di dalamnya membahas tentang Silih Asah Silih Asih Silih Asuh sebagai salah satu pokok bahasan. Pembahasan dalam buku tersebut menyimpulkan bahwa hetrogenitas dalam homogenitas, sebuah paradoks. Justru kelestarian budaya Sunda akibat dari penciptaan paradoks ini. Hetrogenitas ditunjukkan secara ringkas dalam Trias Politika Sunda yang terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana (silih asih), dan Cibeo (silih asuh).

Dalam pengertian modern, memang seharusnya setiap orang Sunda bersilih asah, bersilih asih, bersilih asuh, tetapi tidak setiap orang mampu mengasah, mengasih, mengasuh. Kenyataan bineka diakui oleh budaya Sunda, bahwa setiap manusia itu berbeda-beda, yang pandai mengasah yang kurang pandai, yang kaya mengasihi yang miskin, yang kuat mengasuh yang lemah. Perbedaan-perbedaan itu harus disatukan dengan pembagian peran yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Itulah gunanya ika, esa, kesatuan, yang ketiganya berbeda namun saling melengkapi satu sama lain, sehingga terjadi homogenisasi yang tetap mempertahankan aslinya (Sumardjo, 2009;

338, 342) yang dimaknai sebagai homogenitas.

Penelitian Hilmiana dalam disertasinya berjudul Pengaruh Perilaku Budaya Sunda dan Kepemimpinan serta Orientasi Gender terhadap Etos Kerja di Lingkungan Bisnis Perbankan di Kotamadya Bandung, pada Program Doktor Ilmu Ekonomi

(15)

Program Pascasarjana Universitas Katholik Parahyangan Bandung pada tahun 2009.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa, bagi orang yang bekerja di tatar Sunda, pengaruh dari perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh jelas signifikan pada pengembangan semangat kerja. Hal ini tentunya perlu diperhatikan oleh para pelaku bisnis di wilayah ini. Artikulasi budaya Sunda seringkali dilakukan secara kurang cermat. Misalnya dalam mengartikulasikan perilaku budaya silih asih, silih asah, silih asuh, orang sering mengabaikan mutualitasnya. Banyak orang pada waktu ditanya apa makna dan perilaku Budaya itu, sering menyatakan perilaku tersebut sebagai perilaku Asih, Asah, dan Asuh, serta mengabaikan aspek Silih-nya. Pengabaian aspek mutualitas ini dapat menimbulkan bias yang besar dan dapat mengurangi nilai dari suatu penelitian dengan perilaku ketiga budaya ini. Praktek kepemimpinan di lingkungan Bank yang beroperasi di tatar Sunda, diperkirakan masih kuat dipengaruhi oleh Budaya Sunda, khususnya yang dipresentasikan oleh perilaku budaya Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh. Hal ini perlu diperhatikan oleh para manajer dan pemimpin yang berasal dari luar tatar Sunda, karena perlu beradaptasi secara kultural, apabila ingin menjadi pemimpin yang efektif (Hilmiana, 2009; 202-204).

Selanjutnya Hilmiana (2009; 205) merekomendasikan dalam penelitian tersebut, bahwa apabila dikaji secara mendalam, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku Budaya Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh secara bersama-sama merupakan tonggak bagi tumbuhnya budaya belajar yang kini mulai banyak dikembangkan di lingkungan organisasi di seluruh dunia. Karena itu, di sini disarankan agar di masa depan, konsep Budaya Sunda ini diartikulasikan dalam konteks belajar organizational. Dengan cara ini konsep budaya Sunda dapat memiliki daya tarik untuk diterapkan secara universal.

(16)

Penelitian ini merupakan penelitian awal. Penulis berharap di masa depan akan ada penelitian lebih lanjut tentang tata nilai Sunda dalam konteks yang berbeda atau dikaji dari sudut pandang yang lain.

Penelitian yang dilakukan Suryalaga dengan judul Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh: Kearifan Budaya Sunda dalam Proses Menata Lingkungan Hidup yang Harmonis. Judul penelitian tersebut merupakan salah satu pokok bahasan dalam buku yang berjudul Kasundaan Rawayan Jati telah diterbitkan 3 edisi, dan edisi terakhir diterbitkan tahun 2010. Dalam tulisan tersebut disimpulkan bahwa, bila disimak dengan cermat, ternyata nilai-nilai pandangan hidup yang terkandung dalam Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Seandainya dapat diterapkan dalam proses komunikasi keseharian, insya-Allah akan mewujudkan masyarakat tatar Sunda yang tata tengtrem karta raharja. Pada gilirannya semoga menjadi kontribusi orang Sunda pada negara dan bangsa Indonesia serta kemanusiaan yang universal untuk mewujudkan kehidupan Madani Mardhotillah di Buana Panca Tengah ini (Suryalaga, 2010; 144).

Uraian mengenai hasil-hasil penelitian dan tulisan ilmiah dalam bentuk makalah dan buku yang telah diungkapkan di atas, menunjukkan bahwa penelitian yang berjudul Makna Silih Asih, Silih Asah, Silih Asuh Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya Bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin (Studi Kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang) ini merupakan kajian baru. Bentuk kebaruan yang diidentifikasi dalam penelitian ini terletak pada kajian filsafat nilai terhadap makna silih asih, silih asah, silih asuh sebagai tinjauan aksiologis.

(17)

Sebagai kajian ilmu filsafat yang membahas makna nilai yang terkandung dalam ungkapan silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda, maka diharapkan dapat memberikan manfaat dalam konteks praksis dan akademis, sehingga dilakukan relevansi bagi pemberdayaan masyarakat miskin dengan mengambil kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang. Makna silih asih, silih asah, silih asuh telah diakui sebagai kearifan makna kata yang digali dari kebudayaan masyarakat Sunda masa lalu dan diteliti pada perspektif perkembangan masyarakat Sunda masa kini, sehingga peneliti menggunakan metode analisis yang bersifat filosofis. Hasil penelitian yang bersifat filosofis ini memberikan pemahaman yang fundamental, komprehensif, dan integral mengenai makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin.

4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini memiliki manfaat antara lain;

1. Dalam bidang pengembangan ilmu filsafat untuk menambah khazanah dan pengembangan disiplin kefilsafatan, spesifik pada bidang filsafat nilai yang terkait dengan pemahaman makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda sehingga dapat sesuai dengan nilai pemberdayaan masyarakat miskin dalam kehidupan masyarakat perkotaan maupun perdesaan.

2. Dalam bidang pembangunan bangsa berguna bagi penanggulangan kemiskinan melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, baik di

(18)

lingkungan Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat serta Pemerintah Pusat dalam memberikan masukan terhadap kebijakan program pembangunan nasional dan daerah yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat miskin yang digali serta direaktualisasikan dari kearifan budaya Sunda yang terkandung dalam makna nilai silih asih, silih asah, silih asuh.

3. Dalam penelitian berikutnya berguna memberikan pemahaman lebih komprehensif dan mendalam melalui pemaknaan silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin di perkotaan maupun perdesaan.

B. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian masalah dalam perumusan masalah di atas, maka penelitian ini mengandung lima macam tujuan, yaitu;

1. Menggali dan menemukan kearifan budaya Sunda pada dimensi masa lalu dan masa kini menurut perspektif filsafat nilai.

2. Menemukan dan mengungkap makna nilai yang terkandung dalam silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda.

3. Menjelaskan konsep dasar tentang filosofi kemiskinan dan nilai pemberdayaan masyarakat miskin dalam kehidupan masyarakat Sunda.

4. Menemukan esensi nilai pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif filsafat manusia.

(19)

5. Menemukan esensi makna nilai yang terkandung dalam silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin.

C. Tinjauan Pustaka

Studi tentang silih asih, silih asah, silih asuh dalam kearifan budaya Sunda telah dilakukan berbagai peneliti dari tinjauan berbagai disiplin ilmu, tetapi kajian aksiologi yang khusus membahas tentang nilai dalam penelitian ilmu filsafat belum pernah dilakukan para peneliti lain. Penelitian ini menggali dan menemukan kearifan budaya Sunda yang terkandung dalam makna silih asih, silih asah, silih asuh dalam perspektif filsafat nilai relevansinya bagi pemberdayaan masyarakat miskin. Sebagai suatu nilai yang diidentifikasi memiliki interpretasi makna untuk membangun kebersamaan dalam kehidupan masyarakat Sunda, maka di dalamnya mengandung nilai pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu metode pembangunan yang digunakan dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia, termasuk di tatar Pasundan. Karena itu, pembangunan perlu menjadikan pemberdayaan sebagai nilai dan pilihan kebijakan, sekaligus sebagai pembelajaran sosial, dalam arti selalu belajar bagaimana melakukan pemberdayaan yang semakin hari semakin baik (Wrihartonolo &

Dwidjowijoto, 2007; 11).

Kemiskinan merupakan fenomena masalah kehidupan masyarakat yang paling lama melanda dunia sampai saat ini, yang selalu muncul dan berkembang di berbagai negara di belahan dunia. Berbagai penelitian yang membahas kemiskinan dari berbagai disiplin ilmu telah banyak dilakukan, karena dianggap sebagai esensi penyebab

(20)

permasalahan krusial yang membutuhkan penanggulangan secara integral dan komprehensif. Menurut Saifuddin (2007; 2-3), bahwa sebagian besar kajian kemiskinan di Indonesia lebih berorientasi pada angka-angka untuk memaparkan kondisi-kondisi kemiskinan. Suatu cara pandang mengenai kemiskinan dari sudut manusia sebagai subjek belum memperoleh kedudukan yang memadai dalam kehidupan sosial budayanya. Aspek sosial budaya kemiskinan, suatu aspek yang menyangkut langsung manusia dan pengetahuan, nilai-nilai, keyakinan-keyakinan yang dimilikinya, yang digunakan untuk menghadapi lingkungannya.

Mengkaji pemberdayaan masyarakat miskin dalam perspektif filsafat nilai terhadap makna yang terkandung pada makna silih asih, silih asah, silih asuh menurut kearifan budaya Sunda difokuskan kepada manusia dan masyarakat sebagai subjek pembangunan, yang dipahami dari filosofi dan nilai-nilai budaya dalam kehidupannya.

Suatu kajian nilai terhadap manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial dalam filosofi kehidupan masyarakat miskin, ternyata memiliki sistem nilai budaya yang dijadikan sebagai pedoman hidup atas perilaku kehidupan dalam masyarakatnya.

Sistem nilai budaya ini meresap dan berakar dalam jiwanya, sehingga tidak mudah diubah dalam waktu yang relatif singkat. Sistem budaya dalam masyarakat menyangkut masalah-masalah pokok bagi kehidupan manusia yang merupakan abstaksi yang tidak mungkin ditemukan seratus persen dihayati atau menjiwai nilai-nilai dominan yang persis sama dengan apa yang ada di dalam masyarakat tertentu. Karena itu, mungkin saja nilai-nilai inti tertentu dapat berbeda atau bertentangan dengan nilai-nilai yang lain (Soelaiman, 2007; 42).

(21)

Perbedaan nilai-nilai budaya masyarakat miskin dalam suatu sistem nilai sosial masyarakat tidak dapat langsung diidentifikasi secara inderawi, tetapi perbedaan perilaku dan gaya hidup akan tampak dari budaya kehidupan manusia dalam pranata sosial keseharian. Untuk mengungkap nilai-nilai suatu kebudayaan yang berakar dari kebutuhan dasariah manusia, maka menurut Kluckohn (1962; 317-318) dapat dilihat dari perilaku-perilaku berdasarkan sudut budaya yang sangat khas pada kebutuhan- kebutuhan biologis yang sama. Schawartz dan Bilsky berpendapat, bahwa ada suatu kandungan dan struktur universal pada nilai-nilai manusia berasal dari tiga persyaratan universal yang mendasari semua kebudayaan insani; (1) kebutuhan-kebutuhan orang- seorang sebagai organisme biologis, (2) kebutuhan-kebutuhan interaksi sosial yang terkoordinasi, dan (3) kebutuhan-kebutuhan kesejahteraan dan ketahanan hidup kelompok (Adeney, 2000; 160-161).

Kebudayaan manusia akan berkembang sejalan dengan perilaku dari kehidupan masyarakatnya berpedoman kepada sistem nilai-nilai budaya yang berlaku dalam komunitas masyarakat sesuai dimensi ruang dan waktunya. Sistem nilai budaya menurut Koentjaraningrat (1990; 190-191), merupakan tingkat yang paling tinggi dan paling abstrak dari adat-istiadat. Hal itu disebabkan karena nilai-nilai budaya merupakan konsep-konsep mengenai apa yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga sesuatu masyarakat mengenai apa yang dianggap bernilai, berharga, dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan para warga masyarakat tadi. Setiap sistem nilai budaya dalam setiap kebudayaan itu terdapat mengenai lima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang dapat digunakan mengembangkan suatu kerangka yang dapat dipakai

(22)

oleh para ahli antropologi untuk menganalisa secara universal tiap variasi dalam sistem nilai budaya dari semua macam kebudayaan yang terdapat di dunia. Kelima masalah dasar dalam kehidupan manusia yang menjadi landasan bagi kerangka variasi sistem nilai budaya menurut buku yang ditulis Kluckhohn berjudul: ”Variational in Value Orientation” (1961), antara lain:

1. Masalah mengenai hakikat dari hidup manusia (selanjutnya disingkat MH).

2. Masalah mengenai hakikat dari karya manusia (selanjutnya disingkat MK).

3. Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (selanjutnya disingkat MW).

4. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya (selanjutnya disingkat MA).

5. Masalah mengenai hakikat dari hubungan manusia dengan sesamanya (selanjutnya disingkat MM).

Variasi sistem nilai budaya tersebut di atas selalu berkaitan dengan suatu kebudayaan yang secara antropologis sebagai suatu fakta di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dijadikan pedoman oleh komunitas masyarakatnya. Dalam kebudayaan manusia yang hidup dan berinteraksi di tengah-tengah masyarakat, tentunya akan memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman hidup, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial dalam sistem nilai budayanya. Jika nilai-nilai tersebut mengacu kepada etika yang berasal dari agama maupun filsafat tertentu, maka akan selalu menghasilkan dua jenis kelompok nilai, yaitu berupa nilai baik dan nilai buruk. Hal ini dikemukakan oleh tokoh filsafat nilai, Scheler dalam bukunya yang berjudul

”Formalism in Ethics and Non-Formal Ethics of Value” (1973). Buku tersebut menurut

(23)

Wahana (2004; 55) menjelaskan bahwa semua nilai (baik etika, estetika, dan lain- lainnya) berada dalam dua kelompok, yaitu: yang positif dan yang negatif. Fakta ini terdapat dalam inti dari nilai itu sendiri. Hal ini tidak tergantung pada kemampuan untuk merasakan adanya saling berlawanan dari nilai-nilai bersangkutan, misalnya indah- jelek, baik-jahat dan lain sebagainya. Juga penting menunjuk adanya keterjalinan hakiki antara nilai dan kewajiban ideal. Terdapat dalil bahwa semua kewajiban harus memiliki dasarnya nilai, yaitu bahwa nilai harus ada atau tidak ada; nilai positif merupakan suatu yang harus ada dan terwujud dalam realitas kehidupan, sedangkan nilai negatif harus tidak ada dan tidak terwujud dalam realitas kehidupan.

Kajian terhadap suatu makna nilai yang terkandung dalam kearifan budaya dari komunitas masyarakat, maka harus mengacu kepada pertimbangan nilai-nilai etika dalam praktek sosial dalam suatu sistem budaya masyarakat sebagai faktanya.

Berdasarkan fakta inilah, maka nilai-nilai budaya dapat dimaknai dalam konteks kebudayaan masyarakatnya. Salah satu kearifan budaya yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Sunda di antaranya menempatkan konsep silih asih, silih asah, silih asuh sebagai suatu nilai kebersamaan dalam kehidupan komunitasnya untuk meningkatkan kualitas kemanusian yang lebih baik. Menurut Suryalaga (2010; 123-145) dalam tulisannya yang berjudul ”Silih Asuh – Silih Asah – Silih Asih (Kearifan Budaya Sunda Dalam Proses Menata Lingkungan Hidup Yang Harmonis)” terdapat dalam bukunya yang berjudul Kasundaan Rawayan Jati (2010), bahwa konsep tersebut merupakan yargon yang sangat akrab bagi masyarakat Sunda dan sudah digunakan dalam idiomatika nasional.

(24)

Seuntai yargon perlu dijelaskan atau dijabarkan arti harfiah serta pemaknaan filosofinya, agar masyarakat mampu mencerna dan mengaplikasikan maksud kandungan yargon tersebut dalam perilaku kehidupannya. Karuhun Sunda, para local genius telah lebih awal membuat semacam tarekah, atau konsep-konsep bermasyarakat agar anak-cucu serta alam lingkungan, baik mikro maupun makro selalu dalam tatanan lingkungan hidup yang penuh harmoni. Hidup yang harmonis pada intinya adalah kesadaran akan adanya saling ketergantungan dengan tidak melupakan jati diri dan habitatnya masing-masing. Proses mewujudkan kehidupan yang harmonis secara holistik ini merupakan hasil optimal dari sistem berkomunikasi ”Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh”. Konsep ini adalah proses berkehidupan yang Silih Asih, Silih Asah, dan Silih Asuh dikenal dengan akronim Silas atau 3 SA. Yargon atau motto tersebut sangat dikenal di masyarakat Sunda (Suryalaga, 2010; 127).

Pemikiran Sumardjo mengemukaan konsep Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh dalam urutan yang berbeda yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda: tafsir-tafsir pantun Sunda (2009), di dalamnya membahas tentang Silih Asah Silih Asih Silih Asuh. Ungkapan itu berasal dari masa lampau Sunda, dan dengan demikian harus diletakkan dalam ekologi budaya Sunda masa lampau juga.

Meskipun demikian, karena ini merupakan produk berpikir manusia Sunda, maka ungkapan ini tetap relevan bagi masyarakat Sunda sekarang. Diakronik sejarah Sunda pada awalnya mengenal tritangtu, yang dalam pengertian sosiobudayanya terdiri dari kesatuan tiga kampung utama Baduy, yakni Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo.

Kampung paling tua (indung) adalah Cikeusik, yang berperan sebagai pemegang atau

(25)

pewaris norma-norma adat dari Karuhun. Cikeusik adalah pemilik mandat kekuasaan (Sumardjo, 2009; 337,342).

Filosofi tritangtu ini berasal dari masa Sunda Kuna yang digunakan komunitas Baduy menjadikan landasan mengatur pembagian kekuasaan yang dikenal Trias Politika Sunda yang terdiri dari; resi, ratu, rama, yang dijadikan rujukan urutan silih asah, silih asih, dan silih asuh. Secara ringkas Trias Politika Sunda terdiri dari Cikeusik (silih asah), Cikertawana (silih asih), Cibeo (silih asuh). Resi adalah pendeta penguasa ilmu dan pengetahuan agama, serta pemimpin dalam upacara-upacara keagamaan. Resi adalah pemegang silih asahnya. Ratu adalah penguasa atau yang melaksanakan kekuasaan praksis. Jadi, ratu atau raja daerah adalah pemegang silih asihnya, sedangkan daerah-daerah paling luar dari Trias Politika itu adalah pemegang silih asuhnya.

Mengapa disebut rama?. Rama adalah kepala desa atau pemimpin-pemimpin lokal.

Kepala desa itu benar-benar bagian dari rakyat Sunda. Kesatuan resi, ratu, rama adalah kesatuan golongan pendeta, raja, dan rakyat. Pendeta yang mengasah atau menggarami raja dan rakyat dengan norma-norma kasundaan zaman itu, raja-raja yang menjalankan dan mengawasi dilaksanakannya norma-norma itu, dan rakyat di desa-desa mengamankan berjalannya kedua peran di atas (Sumardjo, 2009; 339).

Buku Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sasta Sunda (1987), yang merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Warnaen dkk., (1987; 13,169), bahwa orang Sunda yakin pada kekuasaan Tuhan yang merupakan dasar utama dari padangan hidup orang Sunda. Pada dasarnya hubungan manusia dengan sesama manusia itu ”kudu silih asih silih asah jeung silih asuh, terjemahannya harus saling mengasih, saling mengasah, dan saling mengasuh yang

(26)

dimaknai bahwa di antara sesama manusia harus saling mengasihi, saling mengasah, dan saling mengasuh.

Konsep silih asih, silih asah, silih asuh (3 SA.) sebagai kearifan budaya Sunda mengandung makna nilai membangun harmoni hubungan antar manusia yang saling ketergantungan untuk membangun keberdayaan manusia dan keluarga dalam kehidupan bermasyarakat yang berkualitas. Setiap manusia yang memiliki keberdayaan diri pada hakikatnya membutuhkan keseimbangan dalam kesatuan antara jiwa dan raganya serta asset yang dimilikinya berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga kekuatan tersebut dibutuhkan orang lain agar ditransformasikan kepada manusia yang kurang memiliki keberdayaan sebagaimana mestinya. Karena itu, dalam membangun kebersamaan kehidupan dalam masyarakat yang harmonis selalu berorientasi kepada kedamaian dan kesejahteraan, sehingga membutuhkan landasan dalam melakukan transformasi nilai melalui konsep 3 SA. antar manusia dalam komunitas masyarakatnya antara manusia yang memiliki keberdayaan dengan yang kurang memiliki keberdayaan dalam sistem pranata sosial masyarakatnya.

Konsep 3 SA. sebagai kearifan budaya Sunda adalah bertujuan membangun nilai kebersamaan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang memiliki persamaan dengan konsep ’gotong-royong’ sebagai suatu nilai. Pengertian gotong- royong yang mengandung nilai, di situ tentu ada hal-hal yang dipandang luhur, sebagai contoh misalnya di dalam gotong-royong itu terdapat unsur keikhlasan menyumbang tenaga, ketulusan dalam menolong, tanpa pamrih dan sebagainya. Menurut Mubarok (1983; 24) dalam tulisannya berjudul Gotong Royong Sebagai Nilai dan Kemungkinan- Kemungkinan Erosinya dalam buku Perubahan Nilai-Nilai di Indonesia (1983), bahwa

(27)

sebagai bagian dari budaya, nilai gotong royong pastilah juga tidak bebas dari pengaruh-pengaruh elemen-elemen baru masuk dari budaya luar, yang secara potensial dapat berpengaruh terhadap perubahan nilai tersebut. Persamaan kedua konsep nilai tersebut terdapat pada sifat hakikat kodrat manusia, bahwa manusia sebagai makhluk sosial pada hakikatnya saling membutuhkan dalam membangun kebersamaan.

Perbedaan konsep gotong-royong dengan silih asih, silih asah, silih asuh (3 SA.) adalah memiliki orientasi dalam kehidupan masyarakat yang berbeda. Konsep gotong-royong lebih difokuskan untuk kepentingan sosial masyarakat yang melibatkan partisipasi seluruh masyarakat, seperti perbaikan jalan, saluran, dan fasilitas umum, tetapi terdapat kebiasaan komunitas masyarakat desa tertentu membangun rumah dengan cara gotong-royong. Konsep 3 SA. berorientasi untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang dibangun dari nilai kebersamaan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, sehingga terjadi pemberdayaan manusia dalam kehidupan sosial keluarga maupun masyarakatnya.

Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu dari strategi kebudayaan yang bertujuan untuk mengangkat harkat martabat manusia agar fungsi dan kedudukannya lebih baik dalam tatanan kehidupan sosialnya, sehingga ketidakberdayaan manusia dalam kehidupannya didorong untuk mampu berkarya agar bermanfaat bagi diri dan orang lain di lingkungan dunianya. Karena itu, konsep gerakan pemberdayaan masyarakat mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok adalah memberi kekuatan (power) kepada masyarakat yang kurang memiliki keberdayaan. Memberikan kekuatan akan menghasilkan hirarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang dikemukakan oleh Simon dalam tulisan bukunya yang berjudul

(28)

Rethinking Empowerment (1990), dalam buku tersebut menurut Hikmat (2001; 144), bahwa pemberdayaan adalah suatu aktifitas refleksif, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subjek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination). Sementara proses lainnya hanya dengan memberi iklim, hubungan, sumber-sumber dan alat-alat prosedural yang melaluinya, sehingga masyarakat dapat meningkatkan kehidupannya.

Ide yang menempatkan pemberdayaan dari sekedar subjek dari dunianya sendiri mendasari dibakukannya konsep pemberdayaan tersebut, yang menurut Hikmat (2001;

43-44) dalam bukunya yang berjudul ”Strategi Pemberdayaan Masyarakat” (2001), bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan kepada masyarakat agar individu yang bersangkutan menjadi lebih berdaya (survival of the fittest). Proses ini mengacu kepada pendapat Oakley dan Marsden (1984) dapat dilengkapi dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandiriannya melalui organisasi.

Kecenderungan atau proses yang pertama disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Kedua, atau kecenderungan sekunder yang mengacu kepada pendapat Pranarka dan Vidhyandika (1996), menekankan pada proses menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui dialog. Sesungguhnya di antara kedua proses tersebut saling terkait, sehingga agar kecenderungan primer dapat terwujud, seringkali harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu.

(29)

Ketidakberdayaan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dari aspek ekonomi, sosial, dan politik menyebabkan manusia menjadi miskin. Karena kemiskinan muncul bukan sebagai sebab, tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi ketidakadilan, ketimpangan serta ketergantungan dalam struktur masyarakat akibat ketidakberdayaannya. Menurut Chambers (1987; 145) dalam bukunya berjudul Rural development putting the last first, bahwa inti dari masalah kemiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut deprivation trap atau ”perangkap kemiskinan” yang terdiri dari lima unsur, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri, (2) kelemahan fisik, (3) keterasingan atau kadar isolasi, (4) kerentanan, dan (5) ketidakberdayaan. Kelima unsur ini seringkali saling berkait satu dengan yang lain dalam suatu jalinan interaksi timbal balik, sehingga merupakan perangkap kemiskinan yang benar-benar berbahaya dan mematikan peluang hidup masyarakat atau keluarga miskin.

Pendekatan struktural dalam mengungkap akar penyebab kemiskinan masyarakat dapat terjadi di perkotaan maupun perdesaan, yang disebabkan terjadinya perubahan sosial dan ekonomi yang terkait dengan disparitas geografis. Menurut Gilbert dan Gugler (1996; 24) dalam buku “Urbanisasi dan kemiskinan di dunia ketiga” (1996), bahwa faktor penyebab kemiskinan di dunia ketiga disebabkan oleh adanya perubahan sosial dan ekonomi yang dikaitkan dengan munculnya disparitas geografis. Disparitas ini terkait dengan karakter model ekonomi yang menopang pembangunan di dunia ketiga dan disparitas pendapatan personal yang muncul. Ada tiga pola konsentrasi spasial dan ketimpangannya berupa; disparitas sosial ekonomi antar wilayah perkotaan dan perdesaan, disparitas sosial ekonomi antar negara, dan tingkat dominasi sebuah kota terhadap struktur perkotaan (“keunggulan” perkotaan). Lebih lanjut pendapat Soemarjan

(30)

(1980; 5) yang menyoroti kemiskinan struktural, bahwa kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi masyarakat miskin.

Kemiskinan di Indonesia dikaji dari aspek ekonomi yang dibahas oleh Soemitro dan Tjiptoharjanto dalam bukunya yang berjudul “Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia” (2002), mengatakan bahwa sebab kemiskinan di Indonesia, baik yang terjadi di perdesaan maupun di perkotaan pada tahun 1997 sampai akhir tahun 1998 mengalami peningkatan yang dipicu karena adanya krisis moneter yang berkepanjangan. Untuk penduduk perkotaan menderita lebih dasyat dibandingkan rekannya di perdesaan.

Pandangan tersebut diperkuat oleh pendapat Thorbecke (1999), terdapat dua kemungkinan penjelasan untuk pertambahan yang lebih cepat dalam jumlah kaum miskin perkotaan. Pertama, krisis cenderung memberi pengaruh terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan seperti kontruksi, perdagangan dan perbankan yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran di perkotaan;

Kedua, sementara penduduk perdesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari produksi mereka sendiri, pertambahan harga bahan makanan mempengaruhi secara negatif pembeli pada umumnya lebih banyak dibanding pengaruhnya pada produsen makanan, yang mendatangkan penderitaan lebih banyak di antara rumah tangga perkotaan dibandingkan perdesaan (Soemitro dan Tjiptoharjanto, 2002; 7).

Buku “Kemiskinan di Perkotaan” (1993), yang ditulis Suparlan, bahwa kebudayaan kemiskinan yang terjadi karena adanya konteks sejarah. Namun lebih cenderung untuk tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat-masyarakat yang

(31)

mempunyai seperangkat kondisi-kondisi sebagai berikut: 1) sistem ekonomi uang, buruh upahan, dan sistem produksi untuk keuntungan, 2) tetap tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran bagi tenaga tak terampil, 3) rendahnya upah buruh, 4) tak berhasilnya golongan berpenghasilan rendah meningkatkan organisasi sosial, ekonomi, dan politik secara sukarela maupun atas prakarsa pemerintah, 5) sistem keluarga bilateral lebih menonjol dari pada sistem unilateral, dan 6) kuatnya seperangkat nilai-nilai pada kelas yang berkuasa yang menekan penumpukan harta kekayaan dan adanya kemungkinan mobilitas vertikal dan sikap hemat, serta ada anggapan bahwa rendahnya status ekonomi sebagai hasil ketidaksanggupan pribadi atau memang pada dasarnya sudah rendah kedudukannya (Suparlan, 1993; 5).

Beberapa penelitian yang terkait dengan tema penelitian di atas merupakan studi yang bersifat parsial, karena masing-masing mengkaji dari dimensi dan perspektif yang berbeda. Tulisan-tulisan tersebut telah memberikan informasi yang cukup mengenai akar penyebab kemiskinan yang dapat disimpulkan bahwa, kemiskinan di perkotaan maupun di perdesaan akibat terjadinya perubahan sosial ekonomi dalam disparitas geografis dan struktur sosial masyarakat yang tidak dapat ikut menggunakan sumber- sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi manusia dan masyarakat miskin yang disebabkan karena nilai-nilai budaya yang dimilikinya mendorong kepada ketidak- berdayaan diri dan ketergantungan kepada pihak lain. Karena itu, pemberdayaan masyarakat miskin berlandaskan konsep 3 SA. menurut kearifan budaya Sunda merupakan salah satu solusi dalam menanggulangi kemiskinan yang harus diungkap secara esensial dari aspek kajian filsafat nilai.

(32)

Gambar 1:

Alur Kajian Makna 3 SA. Menurut Kearifan Budaya Sunda Dalam Perspektif Filsafat Nilai: Relevansinya bagi Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Makhluk Individu

Hakikat Sifat Kodrat Manusia (Monodualis)

Makhluk Sosial

Makna Nilai 3 SA. Menurut Kearifan Budaya Sunda:

Kajian Filsafat Nilai

ASPEK FORMAL (1)

Silih Asih

(2) Silih Asah

(3) Silih Asuh

ASPEK MATERIAL

Nilai “Asih” Nilai “Asah” Nil Nilai “Asuh”

Nilai Ontologis

Nilai Epistemoligis

Nilai Aksiologis

HASIL PROSES “3 SA.”

FILOSOFI MASYARAKAT SUNDA

“SIRNA NING HURIP”

SILIH “WANGI”

(4)

Makhluk Individu Nilai “Wangi” :

Manusia berkualitas sebagai makhluk individu

Makhluk Sosial

Manusia Sunda Nu Nyunda

dan makhluk sosial yang seimbang Masyarakat Sunda

Tata Tengtrem Kartaraharja Salapan Rawayan

Manusia Utama (9 Ciri Manusia Utama)

Masyarakat Sunda Aman dan Sejahtera

RELEVANSINYA BAGI :

Pemberdayaan Masyarakat Miskin

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Perkotaan dan Perdesaan

Studi Kasus di Kota Bandung dan Kabupaten Sumedang

(33)

D. Landasan Teori.

Nilai merupakan kajian aksiologi dari cabang filsafat yang mulai muncul pada akhir pertengahan abad 19, tetapi telah lama memegang peranan penting dalam kajian ilmu filsafat sejak zaman Plato. Perkembangan filsafat nilai sejalan dengan perkembangan fakta dalam kehidupan manusia, karena untuk menjelaskan suatu nilai akan selalu diperbadingkan dengan fakta sebagai salah satu cara yang digunakan untuk menjelaskannya (Peursen, 1990; 32). Karena itu, nilai dan fakta akan berkembang sejalan dengan realitas kehidupan dari kebudayaan manusia dan masyarakat dalam dimensi ruang dan waktunya. Mengungkap makna suatu nilai yang terkandung dalam kearifan lokal masyarakat dilakukan melalui fakta yang terdapat dalam interaksi sosial masyarakatnya, sehingga keberadaan nilai akan selalu berdasarkan fakta dari suatu kebudayaan manusia dan masyarakatnya.

Teori nilai menurut Alisjahbana (1988; 153) menyelidiki proses dan isi penilaian, yaitu proses-proses yang mendahului, menggiringkan, dan malahan menentukan semua kelakuan manusia. Karena itu, teori nilai menghadapi manusia sebagai makhluk yang berkelakuan yang menjadi objeknya. Umumnya kalau dalam filsafat dalam membicarakan teori nilai, maka yang dimaksud ialah etik. Etik memang merupakan bagian dari agama yang teintegrasi. Etik sebagai teori nilai, mencoba menjelaskan nilai tertinggi atau nilai etik yang disebut kebaikan; dari padanya dikembangkan norma-norma kelakuan baik dan buruk dalam hubungan keseluruhan hidup. Karena tiap-tiap sistem etik itu dihubungkan dengan agama atau filsafat tertentu, maka nilai kebaikan tetap tinggal relatif. Nilai kebaikan itu hanya berlaku dalam agama atau filsafat tertentu, artinya dalam suatu sistem nilai tertentu.

(34)

Pendekatan aksiologis dalam mengungkap hakikat nilai menurut Kattsoff (1987;

331) dapat dijawab dengan tiga macam cara, orang dapat mengatakan bahwa: (1) nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung kepada pengalaman-pengalaman yang dinamakan

”subjektivitas”. Orang dapat mengatakan (2) nilai-nilai merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan ”objektivisme logis”. Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa (3) nilai- nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan, yang disebut

”objektivitas metafisik”.

Mengungkap esensi makna nilai yang terdapat dalam kearifan budaya suatu masyarakat harus menelusuri pandangan hidup dari komunitas bangsa tersebut, karena dalam pandangan hidup terkandung konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita- citakan oleh suatu bangsa. Di dalamnya terkandung pikiran-pikiran yang terdalam dan gagasan sesuatu bangsa mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pada akhirnya, pandangan hidup sesuatu bangsa adalah suatu kristalisasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh bangsa itu sendiri, yang diyakini kebenarannya dan menimbulkan tekad pada bangsa itu untuk mewujudkannya. Dengan pandangan hidup yang jelas, sesuatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana memecahkan masalah-masalah politik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat (Warnaen dkk., 1987; 2).

(35)

Kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam sesuatu bangsa inilah yang dapat diungkap dalam pandangan hidup dari orientasi nilai yang terkandung pada kearifan budaya masyarakat suatu suku bangsa, baik hakikat manusia sebagai pribadi, hubungan manusia sesama manusia dan alam lingkungannya maupun dengan Tuhannya. Untuk mengungkap orientasi nilai budaya, maka Kluckhohn dan Florence beranggapan bahwa, dalam rangka sistem budaya dari tiap kebudayaan ada serangkaian konsep-konsep yang abstrak dan luas ruang lingkupnya, yang hidup dalam alam pikiran dari sebagian besar warga masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya itu juga berfungsi sebagai suatu pedoman orientasi bagi segala tindakan manusia dalam hidupnya. Suatu sistem nilai budaya merupakan sistem tata tindakan yang lebih tinggi daripada sistem-sistem tata tindakan yang lain, seperti sistem norma, hukum, hukum adat, aturan etika, aturan moral, aturan sopan santun, dan sebagainya (Koentjaraningrat, 1990; 77).

Konsepsi mengenai isi dari sistem nilai budaya yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan di dunia, dikembangkan secara berangsur oleh Kluckhohn dan Strodtbeck yang dibahas secara mendalam dalam bukunya berjudul: Variations in Value Orientation (1961). Menurutnya, soal-soal yang paling tinggi nilainya dalam hidup manusia dan yang ada dalam tiap kebudayaan di dunia, menyangkut paling sedikit lima hal (Koentjaraningrat, 1990; 78). Salah satu dari kelima hal tersebut di antaranya adalah masalah hakikat hubungan manusia dengan sesamanya disingkat MM, seperti tabel berikut ini.

(36)

Tabel 1

Kerangka Kluckhohn Mengenai Lima Dasar Dalam Hidup Yang Menentukan Orientasi Nilai-Nilai Budaya Manusia

MASALAH DASAR DALAM HIDUP

ORIENTASI NILAI BUDAYA

Hakikat Hidup (MH) Hidup itu Buruk Hidup itu Baik

Hidup itu buruk, tetapi manusia wajib berikhtiar

supaya hidup itu menjadi baik Hakikat Karya (MK) Hidup itu untuk

Nafkah Hidup

Karya itu untuk Kedudukan, Kehormatan, dsb.

Karya itu untuk menambah Karya

Persepsi Manusia tentang Waktu (MW)

Orientasi ke Masa Kini

Orientasi ke Masa Lalu

Orientasi ke Masa Depan

Pandangan Manusia terhadap Alam (MA)

Manusia tunduk kepada Alam

yang dasyat

Manusia berusaha menjaga keselarasan

dengan Alam

Manusia berhasrat menguasai Alam

Hakikat hubungan Manusia dengan Sesamanya (MM)

Orientasi Kolateral (Horizontal, rasa ketergantungan pada Sesamanya (Berjiwa

Gotong Royong)

Orientasi Vertikal, rasa ketergantungan

kepada Tokoh- tokoh Atasan dan berpangkat

Individualisme menilai tinggi usaha atas kekuatan sendiri

Sumber : Dikutip dari Koentjaraningrat (1990; 194).

Banyak kebudayaan sejak awal mengajarkan kepada warganya agar senantiasa hidup bergotong-royong agar selalu ”duduk sama rendah berdiri sama tinggi”.

Kebudayaan-kebudayaan dengan variasi orientasi nilai budaya seperti ini, biasanya mementingkan konsensus untuk kerjasama. Namun biasanya dalam kebudayaan yang seperti itu, ada juga orang-orang yang selain mementingkan gotong-royong dengan sesamanya (collaterality), juga selalu mengacu ke warga masyarakat yang senior, berpangkat tinggi atau yang berasal dari golongan-golongan sosial yang tinggi. Warga- warga masyarakat semacam itu, biasanya menjadi acuan restu dan contoh bertindak bagi

(37)

sebagian besar warga kebudayaan bersangkutan. Sebaliknya, banyak kebudayaan menekankan pada hak asasi dari setiap individu menjadi warganya yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun. Dalam kebudayaan semacam ini, warga biasanya sejak dini sudah diajarkan agar bersikap mandiri, karena keberhasilannya dalam hidup harus diperoleh dengan upayanya sendiri tanpa campur tangan orang lain (individuality).

Dalam kebudayaan semacam itu berkembang berbagai aliran berpikir individualisme, dan dalam kebudayaan yang mempunyai orientasi nilai budaya seperti kedudukan orang dalam masyarakat didasarkan atas mutu dari hasil karyanya dan tidak atas senioritasnya, pangkatnya, atau golongan sosialnya (Koentjaraningrat, 1990; 81- 82).

Hubungan manusia dengan sesama manusia selalu terdapat dalam kehidupan masyarakat yang sifat hakikat kodratnya bahwa manusia bersifat monodualis. Artinya, pada diri setiap manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial sebagai satu-kesatuan tidak dapat dipisahkan, yang menurut Notonagoro (1995; 95) bahwa hakikat manusia sebagai diri bersifat pribadi perseorangan atau individu dan juga bersifat pribadi hidup bersama, pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial. Sifat hakikat kodrat manusia merupakan bagian dari uraian tentang hakikat kodrat manusia yang diungkapkan oleh Notonagoro sebagai berikut: berhubung dengan hakikat manusia merupakan keutuhan, keseluruhan, diri, dengan susunannya atas raga dan jiwa dalam kedua-tunggalan, maka dengan sendirinya sebagai bawaannya yang semestinya ialah bahwa baik sumber-sumber kemampuan jiwanya akal-rasa-kehendak maupun sifat-sifat hakikatnya sebagai individu dan pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial serta kedudukan hakikatnya pribadi berdiri-sendiri dan makhluk Tuhan masing-masing, satu sama lainnya, mewujudkan ketunggalan yang mutlak. Pemikiran tentang hakikat kodrat

(38)

Sifat

Kodrat

Kedudukan Kodrat

manusia dalam perspektif pemikiran Notonagoro ini dapat diuraikan dalam bentuk skema, yang dapat diperinci menurut Kaelan (2003; 163) sebagai berikut.

Unsur Benda Mati

Tubuh Unsur Tumbuhan (Vegetatif) (Raga) Unsur Binatang(Animal)

Susunan Kodrat Monodualis Akal Jiwa Rasa Kehendak

Hakikat Makhluk Individu

Kodrat Monodulis

Manusia Makhluk Sosial

Makhluk Berdiri Sendiri Monodualis Makhluk Tuhan

Sepuluh unsur manusia tersebut di atas tentu saja saling melengkapi satu dengan yang lain dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Kalau salah satu dari padanya tidak ada, maka manusia tadi sudah bukan manusia lagi. Karena itulah, maka manusia mempunyai unsur yang dikatakan monopluralis, terdiri dari banyak unsur yang merupakan satu-kesatuan (Asdi, 2003; 12). Orientasi keterkaitan pemberdayaan manusia dilakukan melalui susunan hakikat kodratnya, terdiri dari jiwa yang memiliki unsur; akal, rasa, karsa yang bersatu dengan raganya yang terdiri dari unsur; benda mati, tumbuhan, binatang sebagai satu-kesatuan, sehingga dalam kehidupannya harus mampu berperan sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial sebagai satu-kesatuan yang dilakukan secara dinamis dan seimbang menurut sifat hakikat kodratnya. Dalam menjalankan kehidupan, maka manusia harus memahami kedudukan kodratnya sebagai

M O N O

P L U R A L I S

(39)

makhluk berdiri sendiri yang diberi kewenangan oleh Tuhan untuk menjalankan kehidupannya, tetapi juga sebagai makhluk Tuhan yang memiliki konsekwensi wajib patuh dan taat menjalankan perintahNya serta menjauhi segala laranganNya sebagai satu-kesatuan yang seimbang dan bersifat normatif.

Ketidakberdayaan manusia yang telah dewasa, dalam arti belum mampu memenuhi kebutuhan hidup secara layak berbentuk materi dan non-materi menurut perspektif ekonomi disebut manusia miskin, yang pada hakikatnya kemiskinan adalah ketidakmampuan diri mengotimalkan fungsi dari susunan hakikat kodratnya yang terdiri dari jiwa dan raganya untuk mengelola sumber-sumber potensi ekonomi. Karena itu, penguatan unsur jiwa yang terdiri dari kesatuan akal, rasa, dan karsa berada dalam raganya harus dilakukan secara sinergis agar dapat mendorong keberdayaan diri sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial dalam kehidupan keluarga dan masyarakat secara seimbang. Kemampuan mendorong dan menyinergikan potensi pada susunan hakikat kodrat ini akan menjadikan manusia berdaya, sehingga dapat memfungsikan susunan hakikat kodrat pada dirinya secara optimal menjadikan manusia yang bermartabat dalam kehidupan sosial masyarakatnya. Kemiskinan yang dialami manusia pada hakikatnya akibat ketidakberdayaan melakukan penguatan kesatuan unsur jiwa dan raganya, sehingga berpengaruh terhadap ketidakmampuan sebagai makhluk individu dalam memenuhi kebutuhan hidup atas diri dan keluarganya melalui kehidupan bersama sebagai makhluk sosial.

Posisi manusia sebagai makhluk individu membutuhkan nilai-nilai keberdayaan diri yang ditumbuhkembangkan melalui proses tolong-menolong dalam kehidupan bersama sebagai makhluk sosial, sehingga kehidupan bersama mempunyai arti yang

Referensi

Dokumen terkait

Jika Anda inginanak Anda menghadiri sekolah menengah setempat tersebut yang ditetapkan, silakan mengisi nama sekolah, tandatangani bagian B SAJA dan kembalikan formulir tersebut

Hasil prototipe material piston dan pengembangan prototipe piston berbasis limbah piston bekas yang terbaik dengan kekerasan 64,5 HRB, porositas terendah 4,613

Sahabat MQ/ pentingnya kerjasama yang sinergi antara para konsumen yang mendapat pelanggaran tersebut/ dengan pihak-pihak yang berani memperjuangkan hak-hak konsumen

nugget apel adalah penjual memberikan ide menu makanan baru dengan bahan nugget apel pada restoran tersebut sehingga supplier dari restoran tersebut mau

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) perencanaan, pelaksanaan layanan program pendidikan keterampilan di Rumah Pintar Pijoengan, 2) bentuk evaluasi dan

Salah satu masalah dalam operasi penambangan nikel laterit adalah adanya perubahan elevasi lapisan atas bijih (top ore) dan lapisan bawah bijih (bottom ore) endapan nikel laterit

Dari fenomena diatas penulis merasa tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana, peran ibu yang berprofesi pedagang online shop dalam memberikan

The greedy algorithm can clearly be applied recursively, so if we use the full maximum likelihood Boltzmann machine learning algorithm to learn each set of tied weights and then