• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGALAMAN PELANGGAN BERHUBUNGAN DENGAN CALL CENTER TERHADAP LOYALITAS MEREK DITINJAU DARI PENILAIAN PELANGGAN PENGGUNA KARTU SIMPATI PT TELKOMSEL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENGALAMAN PELANGGAN BERHUBUNGAN DENGAN CALL CENTER TERHADAP LOYALITAS MEREK DITINJAU DARI PENILAIAN PELANGGAN PENGGUNA KARTU SIMPATI PT TELKOMSEL"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan untuk saling berkomunikasi dengan manusia lain. Perkembangan teknologi telah menyebabkan terjadinya perubahan alat dan cara bagi manusia untuk saling berkomunikasi. Semenjak suksesnya uji coba telepon pertama tahun 1876 di Amerika Serikat, jarak tidak lagi menjadi penghalang bagi manusia untuk dapat saling berhubungan dengan manusia lain.

Selanjutnya, peningkatan mobilitas manusia telah membawa pada kebutuhan baru, yakni alat atau media komunikasi yang bersifat mobile seperti telepon seluler (ponsel). Berbeda dengan Jaringan Telepon tetap (wireline), telepon seluler menggunakan teknologi nirkabel (wireless) dengan sistem transmisinya menggunakan frekuensi..

Ada tiga basis dalam penggunaan telepon selular yang didasarkan pada perbedaan frekuensinya. Ketiga basis tersebut meliputi Global System for Mobile

(GSM), CDMA (code division multiple access) dan generasi ketiga (3 G).1

Sampai saat ini, telepon selular berbasis GSM masih memainkan peranan paling dominan dalam industri jasa layanan telepon selular di Indonesia.

1 Generasi ketiga (3G) teknologi wireless merupakan generasi yang mempersatukan teknologi GSM dan CDMA. Pada sistem 3G, baik GSM maupun CDMA menggunakan akses yang sama yaitu akses pita lebar (broadband access). Lihat Herwaman Kertajaya, dkk. On Becoming A

(2)

GSM masuk ke Indonesia pada tahun 1995 melalui tiga operator selular, dimana salah satunya adalah Telkomsel yang merupakan anak perusahaan PT TELKOM. Dalam perkembangannya, PT Telkomsel mampu menjadi market

leader untuk kategori operator jasa layanan telepon selular dengan pembagian

pangsa pasar sebagai berikut: PT Telkomsel dengan sekitar 10 juta pelanggan; kelompok Indosat (Satelindo dan IM3) dengan 6,3 juta pelanggan, dan Excelcomindo Pratama (ProXL) dengan 2,9 juta pelanggan2.

PT Telkomsel mengeluarkan tiga jenis kartu telepon selular (subscriber

identity module atau SIM card) berbasis teknologi GSM, yakni Kartu Halo untuk

pelanggan paskabayar, dan kartu simPATI dan Kartu As untuk pelanggan Prabayar. Sampai Juli 2004, proporsi pelanggan PT Telkomsel terdiri pelanggan kartu Halo 1,2 juta; kartu simPATI 10,750 juta, dan kartu As 650 ribu seperti yang diperlihatkan tabel dibawah ini:

Gambar 1.1

Proporsi Pelanggan PT Telkomsel

Halo 10% As 5% simPATI 85%

Sumber: Diolah dari Kompas, 28-08-2004 hal. 32

Posisi PT Telkomsel sebagai market leader dalam industri jasa layanan selular di Indonesia sangat rentan untuk direbut oleh pesaingnya. Hal ini sangat

2 Lihat http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0402/05/telkom/839290.htm. diakses: 20 Februari 2005

(3)

mungkin terjadi oleh karena pertumbuhan industri jasa layanan telepon selular di Indonesia masih terbuka lebar, jika di Malaysia kepadatan telepon selular telah mencapai 63 % (persen), di Indonesia, kepadatan telepon selular baru mencapai 12 % (persen)3. Potensi pasar yang masih sangat besar dan tingkat pertumbuhan industri yang tinggi, di mana dari tahun 2000 sampai 2005 mencapai 60 % per tahun4, tentunya pertumbuhan pangsa pasar yang demikian besar tersebut akan saling diperebutkan oleh para operator jasa layanan selular.

Persaingan antar operator jasa layanan selular dalam memperebutkan para pelanggannya telah memasuki tingkat persaingan yang tinggi. Para Operator saling berlomba untuk memberikan berbagai fitur layanannya yang terkadang terkesan dipaksakan yang berakibat pada terjadinya tekanan pada pendapatan operator.5 Di samping persaingan dalam bentuk memberikan berbagai jenis layanan, persaingan tarif juga sudah mulai terjadi. Persaingan ini terjadi akibat adanya tekanan dari kehadiran CDMA fixed wireless yang menawarkan tarif yang murah sehingga para operator GSM mulai melakukan penurunan tarif dan perluasan area zona lokal-nya6.

Keadaan ini berpotensi menimbulkan persaingan yang tidak sehat antar operator selular yang akan membawa dampak terhadap pelayanan pelanggan dan perginya investor.7 Untuk dapat terhindar dari pola persaingan yang tidak sehat perusahaan jasa layanan selular dituntut untuk berfokus kepada pelanggan, Upaya

3 “Investor asing ubah PT Industri Seluler” Kompas, 03-02-2005 Hal. 37

4 Moch S Hendrowijono “Pertumbuhan Telekomunikasi 2006: Walau lambat masih jadi yang tercepat”. Kompas, 12-12-2005 hal. 40

5 M Kuncoro “Adu Strategi Gaet Konsumen Selular di tahun 2004”, Kompas, 11-02-2004 Halaman 28

6 “Operator GSM bergegas Perhatikan Pelanggan”. Kompas, 26-03-2003. Halaman 35 7 M Kuncoro,. Loc.cit.

(4)

ini dilakukan dengan cara terus menerus memantau kebutuhan dan keinginan pelanggan terhadap kualitas produk atau jasa perusahaan.

Usaha untuk lebih berfokus kepada pelanggan bagi pengguna jasa layanan selular, terutama pelanggan kartu prabayar sangat mendesak. Pelanggan prabayar akan sangat mudah untuk beralih kepada pesaing, hal ini disebabkan karena kecilnya biaya untuk mengganti kartu dan tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan dalam jenis layanan jasa yang ditawarkan oleh masing-masing operator, apalagi pelanggan jasa prabayar bukan merupakan consumer base bagi operator jasa layanan telepon selular.

Menghadapi keadaan seperti ini, perusahaan dituntut memaksimalkan kepuasan dan memelihara kesetiaan pelanggannya. Usaha ini diwujudkan dengan memberikan dukungan layanan dalam bentuk layanan pelanggan (customer

service). Dukungan layanan pelanggan pada PT Telkomsel terdiri dari tiga

saluran, yakni: Call Center, dimana pelanggan dapat menghubungi perusahaan melalui telepon; Face-to-face encounter, dimana para pelanggan dapat melakukan kontak tatap muka dengan petugas perusahaan (Grapari, Gerai Halo, Corporate

Account Management), dan Multimedia, dimana pelanggan dapat menghubungi

perusahaan melalui saluran multimedia (Web atau SMS).

Sebagai akibat dari karakteristik dari pengguna telepon selular yang mobile, maka call center menjadi pilihan utama bagi pelanggan untuk berhubungan dengan layanan pelanggan PT Telkomsel. Menurut data yang diungkapkan oleh VP Customer Service (CS) Telkomsel , Gideon Purnomo, sekitar 94,4 persen pelanggan menyampaikan keluhan atau meminta informasi melalui Call Center.

(5)

Selain melalui Call Center, pelanggan menyampaikan permintaan atau keluhan melalui GraPARI sebesar 0,2 persen, GeraiHALO sebesar 0,2 persen, serta melalui situs perusahaan dan SMS sebesar 0,1 persen8. Dalam rangka terus memberikan pelayanan yang terbaik kepada para

pelanggannya PT Telkomsel terus menerus meningkatkan kapasitasnya, gambar 1.2 dibawah ini menunjukan peningkatan jumlah petugas Call Center PT Telkomsel dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2007.

Gambar 1.2

Jumlah Petugas Call Center PT Telkomsel

350 1100 2000 4000 0 1000 2000 3000 4000 2004 2005 2006 2007

Sumber: Kompas Cyber Media, 14 April 2007, dan www.telkomsel.com/web/corporate/pressRoom.php?id=131

Peningkatan Kapasitas Call Center Telkomsel yang sangat besar tersebut adalah untuk melayani pelanggan yang sangat besar dengan pertumbuhan yang sangat tinggi. Meningkatnya jumlah pelanggan PT Telkomsel menyebabkan meningkatnya jumlah panggilan ke Call Center, peningkatan jumlah panggilan tersebut dapat dilihat dari gambar di bawah ini:

8

A. Mohammad BS, “Telkomsel Tambah 2 Ribu Petugas CS”

http://www.swa.co.id/primer/manajemen/sdm/details.php?cid=1&id=4095diakses tanggal: 25 April 2007

(6)

Gambar 1.3

Jumlah Panggilan Call Center PT Telkomsel (/hari)

370.000 500.000 1.100.000 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 2005 2006 2007

Sumber: www.detiknet.com tanggal 18 Februari 2005, Kompas Cyber Media 14 April 2007 dan http://www.telkomsel.com/web/corporate/pressRoom.php?id=131.

Di samping mengalami peningkatan jumlah panggilan, tingkat SCR

(Succesful Call Rate) sebagai indikator yang menunjukan jumlah panggilan yang

berhasil masuk ke call center PT Telkomsel, juga mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2005 mencapai 75 persen maka pada tahun 2006 menurut VP

Customer Service (CS) Telkomsel , Gideon Purnomo, SCR mencapai 85% atau

bahkan 90%9. Dengan semakin meningkatnya SCR maka jumlah panggilan yang tidak tersambung akan semakin berkurang dan pelanggan akan semakin mudah untuk melakukan kontak dengan perusahaan. Hal inilah yang menjadikan fungsi

Call Center sebagai media bagi pelanggan untuk melakukan kontak dengan

provider jasa layanan selular di masa yang akan datang akan semakin meningkat. Adapun alasan pelanggan menghubungi call center PT Telkomsel, yakni: Pelanggan membutuhkan informasi, pelanggan menyampaikan keluhan, dan

9 A. Mohammad BS. Loc.cit

(7)

permintaan panduan untuk aktivasi atau pemblokiran layanan10. Proporsi alasan pelanggan menghubungi call center PT Telkomsel ditunjukkan oleh gambar 1.4 di bawah ini:

Gambar 1.4

Alasan Pelanggan menghubungi Call Center PT Telkomsel Keluhan 16% Permintaan Panduan 14% Permintaan informasi 70%

Sumber: www.detiknet.com tanggal 18 Februari 2005

Kemampuan bagian layanan pelanggan pada call center dalam memberikan informasi, menyelesaikan masalah atau menangani keluhan dan memberikan berbagai panduan kepada pelanggan akan sangat menentukan penilaian pelanggan terhadap kualitas jasa keseluruhan yang diberikan oleh PT Telkomsel.

Semakin vitalnya peran call center bagi penerapan Customer Relationship

Management (CRM), telah menempatkan petugas call center atau call center representatif (CCR) dalam posisi yang sangat penting sebagai “link” antara

perusahaan dengan pelanggannya. Sebagaimana dinyatakan oleh Bitner bahwa

10

Ni Ketut Susrini, “16 Panggilan ke Call Center berisi Keluhan” www.detiknet.com diakses tanggal: 28 November 2006

(8)

pelanggan seringkali melihat kualitas layanan dari sebuah organisasi secara keseluruhan berdasarkan pada interaksi mereka dengan Customer Contact

Representatif (CCR), pelanggan mengevaluasi layanan seringkali berdasarkan

pada evaluasi mereka terhadap service encounter atau saat dimana pelanggan berinteraksi dengan perusahaan11.

Pentingnya peran bagian layanan pelanggan dalam menentukan nilai sebuah merek dinyatakan oleh Paul Temporal dan Martin Trott bahwa layanan konsumen selalu merupakan bagian penting pembangunan merek bagi setiap perusahaan, khususnya perusahaan jasa. layanan konsumen yang buruk dengan cepat akan mematikan nilai merek.12 John Tschohl, dalam Achieving Excellence through

Customer Service menekankan pentingnya layanan pelanggan dengan

menyatakan bahwa meski tanpa iklan dan usaha pemasaran lain jika bisnis menerapkan suatu strategi layanan profesional secara sukses, penjualan, keuntungan dan laba atas modal (ROI) biasanya meningkat secara geometris – tidak hanya secara proporsional. Kepuasan dan kesetiaan pelanggan juga meningkat secara dramatis dan jumlah keluhan pelanggan akan menurun.13

Pilihan untuk meneliti pengalaman pelanggan dalam berhubungan dengan petugas call center dan kaitannya dengan pembentukan loyalitas merek, karena dirasakan bahwa di Indonesia masih sangat jarang diadakan penelitian untuk menilai hubungan interaksi pelanggan berhubungan dengan perusahaan (service

11 M.J Bitner., “Evaluation service encounter: the effects of physical surroundings and employee

responses”, Journal of Marketing, Vol. 54, April 1990, pp. 69-82

12Paul Temporal dan Martin Troot, “Romancing the Customer”. Diterjemahkan oleh Kusnandar Jakarta: Salemba Empat, 2002. hal. 17

13John Tschohl dan Steve Fransmeier, “Achieving Excellence Through Customer Service. Diterjemahkan oleh Tjita Singo, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003. hal 24

(9)

encounter) yang dilakukan melalui telepon atau call center serta hubungannya

dalam pembentukan loyalitas merek.

B. Pokok Permasalahan

Proses pembentukan ekuitas merek terjadi melalui serangkaian proses yang sangat panjang. Hal ini sesuai dengan konsep Gestalt, Menurut konsep ini manusia mengintepretasikan pengalaman-pengalamannya secara holistik. Sebuah merek akan mendapatkan kesan yang kuat dan mendapatkan posisi khusus di benak konsumen, apabila merek tersebut menawarkan pesan-pesan yang dapat dipercaya, rasional, atraktif dan konsisten sepanjang waktu.

Pembangunan sebuah merek yang memiliki ekuitas tinggi membutuhkan penerapan konsistensi strategis, di mana seluruh aspek dalam organisasi secara konsisten terlibat dalam pembangunan ekuitas merek. Penerapan konsistensi strategis pada seluruh lini dalam organisasi dalam pemasaran jasa menjadi penting karena fokus utama merek (locus of Brand impact) pada perusahaan jasa adalah perusahaan penyedia jasa itu sendiri14. Persepsi konsumen terhadap sebuah aspek organisasi perusahaan, dalam penelitian ini, petugas call center, akan sangat menentukan asosiasi konsumen berkaitan dengan sebuah merek.

Dalam penelitian ini, ditekankan pentingnya aspek pengalaman pelanggan berhubungan dengan petugas call center dalam pembentukan loyalitas merek. Pentingnya aspek pengalaman dalam membentuk ekuitas sebuah merek merupakan adaptasi dari model Service Branding yang diperkenalkan oleh

(10)

Leonarld L. Berry. Dalam model tersebut, ekuitas merek merupakan efek deferensial dari kombinasi antara brand awareness dan brand meaning. Brand

meaning yang dibentuk oleh pengalaman aktual pelanggan dalam menggunakan

jasa layanan perusahaan akan berpengaruh secara langsung terhadap pembentukan ekuitas merek.

Dalam Penelitian ini, pengalaman pelanggan dalam berhubungan dengan merek atau perusahaan akan dibatasi dengan pengalaman pelanggan dalam berhubungan dengan petugas bagian layanan pelanggan pada call center. Pengalaman pelanggan tersebut, kemudian akan menimbulkan berbagai persepsi di benak pelanggan terhadap perusahaan yang pada gilirannya sebuah merek. Baik buruknya pengalaman pelanggan dalam interaksi yang terjadi dengan bagian

call center (Phone encounter) akan mempengaruhi pembentukan loyalitas merek.

Aspek-aspek layanan pelanggan yang akan diteliti meliputi harapan pelanggan terhadap petugas call center yang dikelompok ke dalam empat skala, yakni: Adaptiveness, Assurance, Emphaty dan ,authority15

. Aspek Pengalaman

pelanggan akan dinilai positif jika mampu memenuhi harapan para pelanggan. Selanjutnya, akan diteliti keterkaitan antara pengalaman pelanggan dengan persepsi kualitas jasa keseluruhan (overall service quality) dan selanjutnya dengan pembentukan loyalitas merek kartu prabayar simPATI.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti mengangkat pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut:

15 Arjal Burgers et al., “Customer expectation dimensions of voice-to-voice service encounter: a

(11)

1. Bagaimana penilaian pelanggan terhadap pengalaman layanan pelanggan yang diberikan oleh petugas call center PT Telkomsel dalam kontak layanan melalui telepon (Call Center)?

2. Bagaimana persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa keseluruhan (overall

Service Quality) yang diberikan oleh PT Telkomsel?

3. Bagaimana hubungan antara pengalaman pelanggan berhubungan dengan petugas call center terhadap persepsi kualitas jasa PT Telkomsel?

4. Bagaimana hubungan antara persepsi kualitas jasa PT Telkomsel terhadap loyalitas merek kartu prabayar simPATI?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dijelaskan diatas, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman mengenai pengalaman interaksi pelanggan kartu simPATI dalam berhubungan dengan petugas Call center dan kaitannya terhadap persepsi kualitas dan selanjutnya loyalitas merek (brand loyalty) kartu prabayar simPATI Telkomsel.

Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan khusus, yaitu:

1. Mengetahui penilaian pelanggan terhadap petugas call center PT Telkomsel dalam memberikan pelayanan.

2. Mengetahui persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa keseluruhan PT Telkomsel

3. Mengetahui penilaian pelanggan terhadap petugas call center PT Telkomsel dalam memberikan pelayanan dan implikasinya terhadap

(12)

pembentukan persepsi kualitas jasa keseluruhan yang diberikan PT Telkomsel

4. Mengetahui persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa keseluruhan dan implikasinya terhadap pembangunan loyalitas merek (Brand loyalty) kartu simPATI

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara akademis maupun secara praktis dalam bidang pemasaran jasa.

1. Dari segi akademis, memberikan tambahan pemahaman mengenai konsep merek dan bagaimana aspek-aspek merek khususnya loyalitas merek dapat ditingkatkan dengan cara mengelola pengalaman interaksi antara perusahaan dengan pelanggan melalui media telepon.

2. Dari segi praktis, memberikan masukan kepada perusahaan tentang bagaimana pelanggan menilai pengalaman interaksi yang terjadi dengan petugas call center dan bagaimana pengaruhnya terhadap loyalitas merek sehingga perusahaan dapat memperbaiki dan mengembangkan kualitas dari interaksi yang terjadi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Mengacu pada tujuan dan manfaat dari penelitian ini, maka ruang lingkup penelitian difokuskan hanya pada mengevaluasi pengalaman interaksi pelanggan

(13)

dengan petugas call center terhadap loyalitas merek, yang difokuskan pada pelanggan kartu simPATI PT Telkomsel.

Peneliti memilih pengguna kartu simPATI PT Telkomsel sebagai obyek penelitian didasarkan oleh pertimbangan: Pertama, jumlah pengguna prabayar adalah populasi terbesar dari pengguna telepon selular berbasis GSM. Sementara itu, pengguna kartu Prabayar simPATI merupakan pengguna terbesar dari pelanggan selular yang menggunakan GSM di Indonesia, sebagai market leader pelanggan simPATI akan menjadi sasaran tarikan pesaing. Kedua, tarif prabayar lebih mahal dari tarif paska bayar sementara persaingan selular sudah memasuki pada persaingan tarif. Ketiga, pelanggan prabayar bukan merupakan basis pelanggan oleh karenanya akan mudah beralih dan berganti nomor.16

1.6. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pemahaman skripsi ini, penulis membaginya kedalam Bab-bab sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Dalam bab ini, penulis menguraikan Latar Belakang Permasalahan, Permasalahan Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat penelitian, Ruang Lingkup Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

16 Kuncoro, Loc.Cit.

(14)

Bab II: Kerangka teori dan metode penelitian

Dalam Bab ini, penulis menguraikan tinjauan pustaka, konstruksi model teoritis, Model Analisis, Hipotesis, operasionalisasi konsep, dan metode penelitian.

Bab III: Gambaran Umum Obyek Penelitian

Dalam bab ini, penulis menguraikan sejarah perusahaan; slogan, visi dan misi perusahaan; struktur organisasi perusahaan; produk dan jasa layanan, dan Call Center PT Telkomsel

BAB IV: Analisis Hasil Penelitian

Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan mengenai hasil pengumpulan data, Analisis deskriptif konstruk variabel penelitian, analisa univariat, dan analisis model penelitian.

Bab V: Kesimpulan dan Saran

Dalam bab ini, penulis menguraikan kesimpulan hasil analisis penelitian dan saran-saran yang bersifat praktis maupun teoritis berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

(15)

BAB II

KERANGKA TEORI DAN METODE PENELITIAN

A. Tinjauan Pustaka

Untuk membahas pengalaman pelanggan berhubungan dengan call center terhadap pembentukan loyalitas merek, maka dalam tinjauan pustaka ini dibahas teori-teori yang relevan dengan permasalahan penelitian. Teori-teori yang akan dibahas meliputi: Merek dalam pemasaran jasa, perilaku konsumen, perilaku konsumen telekomunikasi, kepuasan, service quality, arti penting hubungan pelanggan, loyalitas merek, service encounter, dan voice-to-voice encounter

A.1. Merek dalam Pemasaran Jasa

Dalam pemasaran jasa, merek yang kuat mampu meningkatkan kepercayaan pelanggan (customers’ trust) dalam pembelian jasa yang bersifat intangiable,

inseparable, variabel, dan perishable. Merek yang kuat mampu membantu

pelanggan dalam memvisualisasikan dan memahami produk yang intangiable sehingga dapat mengurangi resiko pelanggan dalam proses pembelian jasa, terutama bagi kategori jasa yang sulit dievaluasi sebelum pembelian dilakukan. Seperti yang dinyatakan oleh Berry:

Branding plays special role in service companies because strong brands increase customers’ trust of the invisible purchase. Strong brand enable customers to better visualize and understanding intangible products. They reduce customers’ perceived monetary, social, or safety

(16)

risk in buying service, which are difficult to evaluate prior to purchase...17

Di samping itu, menurut Berry fokus utama merek jasa berbeda dengan pada produk. Jika pada produk yang menjadi merek primer (primary brand) merupakan produk itu sendiri, sedangkan pada jasa, perusahaanlah yang menjadi primary

brand18. Hal ini mengakibatkan terjadinya perbedaan sumber dari penciptaan nilai

pelanggan (The source of customer value creation).

Pada produk jasa, sumber penciptaan nilai pelanggan terutama berkaitan dengan pengalaman pelanggan dalam berhubungan dengan perusahaan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Berry bahwa: “...the source of experience is

the locus of brand formation...”. Oleh karena itu, Perusahaan secara

keseluruhannya akan dilihat sebagai “provider of experience19

”.

Selanjutnya, Berry memperkenalkan model service branding yang terdiri atas enam komponen, yakni presented brand perusahaan, komunikasi merek eksternal,

brand awareness, brand meaning, pengalaman pelanggan dengan perusahaan, dan

ekuitas merek. Dalam gambar 2.1 dibawah, Relasi antar komponen ditunjukan dengan garis tebal dan garis putus-putus. Garis tebal mencerminkan dampak primer dan garis putus-putus menunjukan dampak sekunder.

17Leonard L Berry: Cultivating Service Brand Equity. Journal Academy of Marketing Science Vol 28. Greenvale: 2002 hal 128

18Ibid 19 Ibid

(17)

Gambar 2.1 Model Service Branding

Sumber: Berry: Cultivating Service Brand Equity, 2002

Menurut model service branding yang dikemukan oleh Berry, Komunikasi pemasaran baik yang dikendalikan oleh perusahaan (presented brand) maupun yang berasal dari luar perusahaan (external communication) memang memiliki pengaruh yang besar dalam menciptakan kesadaran merek, pengetahuan merek dan preferensi merek. Akan tetapi, pengaruh itu terutama berakibat pada para pelanggan baru yang memiliki sedikit atau belum pernah secara langsung memiliki pengalaman dalam berhubungan dengan perusahaan penyedia jasa, sedangkan bagi pelanggan yang pernah mengalami jasa total perusahaan, sumber utama dari brand meaning adalah pengalaman pelanggan (experience). Pelanggan akan lebih mempercayai informasi yang berasal dari pengalamannya sendiri dalam berhubungan dengan perusahaan dibandingkan dengan sumber-sumber informasi baik oleh perusahaan maupun sumber-sumber eksternal lain.

External Communication Customer experience Brand Meaning Brand equity Presented Brand Brand Awareness

(18)

Menurut Berry yang dikutip dalam Lovelock dan Wirtz, pengalaman pelanggan dalam berhubungan dengan perusahaan jasa menimbulkan adanya persepsi nilai yang kemudian menciptakan preferensi pelanggan terhadap merek jasa tersebut20.

Pengalaman pelanggan yang baik ketika berhubungan dengan perusahaan, hanya dapat dicapai apabila perusahaan jasa tersebut memahami keinginan dan persepsi target pasar yang dipilih dan bertindak sesuai dengan ekspektasi pelanggan. Dengan adanya pemahaman yang baik mengenai konsumen, perusahaan jasa dapat lebih baik mengkomunikasikan nilai-nilai yang dimiliki perusahaan serta meyakinkan pelanggan untuk percaya pada produk jasa yang direpresentasikan oleh merek perusahaan.

A.2. Perilaku Konsumen Jasa

Untuk dapat bertahan dalam sebuah lingkungan persaingan yang kompetitif, sebuah perusahaan harus dapat memberikan target market-nya nilai (value) yang lebih dari yang dapat diberikan oleh para pesaing. Upaya memberikan nilai pelanggan yang superior tersebut hanya dapat terjadi jika perusahaan dapat mengantisipasi kebutuhan konsumen secara lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. Untuk itulah diperlukan pemahaman mengenai siapa yang membeli produk, apa yang dibeli, mengapa mereka membeli, kapan membeli, di mana membeli, bagaimana proses keputusan pembelian, berapa sering membeli

20 Christopher Lovelock dan Jochen Wirtz: Services Marketing, people, technology and strategy, 5th edition, Prentice Hall, 2005 hal.344

(19)

dan/atau menggunakan produk/jasa. Berbagai pertanyaan tersebut merupakan bidang kajian dalam perilaku konsumen.

Studi perilaku konsumen sebagaimana dinyatakan oleh Hawkin, et al adalah

“... study of individuals, groups, or organization and the process they use to select, secure, use, and dispose of products, services, experience, or ideas to satisfy needs and the impacts of these processes have on consumer and society”21.

Perilaku konsumen dalam pengertian ini, bukan hanya melihat proses yang terjadi saat berlangsungnya pembelian, tapi lebih jauh lagi melihat bagaimana konsumen memilih, menentukan, mendapatkan, menggunakan, dan menghentikan pemakaian produk, jasa, pengalaman, atau ide untuk memuaskan kebutuhan serta dampak dari proses tersebut terhadap konsumen dan masyarakat.

Dalam berbagai literatur marketing berdasarkan perspektif pengambilan keputusan, dikenal proses lima tahap dari keputusan pembelian konsumen, yakni: Identifikasi kebutuhan, pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian/konsumsi dan evaluasi purna beli. Proses keputusan konsumen bisa diklasifikasikan ke dalam tiga tahap utama, yakni: Pra Pembelian, konsumsi dan evaluasi purna pembelian seperti diperlihatkan dalam gambar di bawah ini22.

21 Hawkin, et al., “Consumer Behaviour: Building Marketing Strategy 8th ed”. New York: McGraw-Hill, 2001. hal. 7

(20)

Gambar 2.2

Model Perilaku Konsumen Jasa

Sumber: Tjiptono, Pemasaran Jasa, 2005

Tahap pra pembelian meliputi bagaimana konsumen mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhannya, mencari berbagai informasi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan mengevaluasi alternatif-alternatif dari berbagai pilihan yang tersedia. Sedangkan dua tahap berikutnya adalah tahap pembelian dan konsumsi serta tahap evaluasi purna beli.

Dalam tahap pembelian dan konsumsi jasa, dimana proses pembelian dan konsumsi jasa tidak terpisah mengakibatkan interaksi antara perusahaan penyedia jasa dengan konsumen dapat mempengaruhi nilai dari pengalaman konsumsi. Berbagai faktor seperti emosi dan mood dari petugas perusahaan penyedia jasa dan pelanggan juga turut menentukan kualitas keseluruhan penyampaian sebuah jasa. Oleh karena itu, pada perusahaan jasa, interaksi antara perusahaan dengan pelanggan yang sering disebut sebagai service encounter dikelola sedemikian rupa agar tercipta pengalaman pelanggan yang positif.

Setelah jasa dikonsumsi maka konsumen akan melakukan evaluasi purnabeli. Pada tahap ini, konsumen menilai ketepatan keputusan pembeliannya. Menurut Kotler Kepuasan ataupun ketidakpuasan terhadap produk akan mempengaruhi

Identifikasi

Kebutuhan Pencarian Informasi Evaluasi Alternatif

Pembelian dan Konsumi

Evaluasi Purna Beli

Tahap Pra Pembelian KonsumsiTahap Evaluasi Tahap Purna Beli

(21)

perilaku konsumen selanjutnya. Apabila konsumen puas maka ia akan menunjukan kemungkinan yang lebih tinggi untuk membeli produk kembali dan akan menyampaikan berbagai hal yang positif tentang merek kepada orang lain. Sebaliknya, apabila konsumen merasa kecewa dengan pembelian yang dilakukannya karena produk atau jasa bersangkutan tidak memenuhi kebutuhan yang dimaksud maka konsumen paling tidak akan melakukan empat kemungkinan respon, yakni:

Pertama, tidak melakukan apa-apa. Konsumen dalam hal ini tidak menyampaikan komplain kepada siapapun dan biasanya langsung beralih ke pemasok atau penyedia jasa lain. Kedua, berhenti membeli produk atau jasa perusahaan bersangkutan dan atau menyampaikan negative/bad word-of-mouth kepada keluarga, rekan sejawat, maupun orang dekat lainnya. Ketiga, menyampaikan komplain secara langsung dan meminta kompensasi kepada perusahaan penyedia jasa. Keempat, mengadukan ke lewat media massa, lembaga konsumen atau instansi pemerintah terkait, dan atau menuntut produsen/penyedia jasa secara hukum23.

Sebagai akibat dari kompleknya proses evaluasi atribut produk jasa, perilaku konsumen pada jasa akan bersifat spesifik pada masing-masing industri. Dalam bagian berikut ini akan dijelaskan perilaku konsumen jasa telekomunikasi.

23 Ibid

(22)

A.3. Perilaku konsumen jasa telekomunikasi

Industri jasa telekomunikasi telah mengalami berbagai perubahan yang radikal. Menurut Xevelonakis, perubahaan tersebut merupakan hasil dari kombinasi pasar, bisnis dan teknologi24. Perubahan-perubahan tersebut telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam perilaku konsumen jasa telekomunikasi.

Jika dilihat dari sisi faktor teknologi, ditemukannya teknologi wireless atau teknologi telepon selular dengan sistem transmisi menggunakan frekuensi telah merubah kecenderungan orang dalam berkomunikasi, menurut data dari

International Communication Union (ITU), sejak tahun 2002 jumlah pelanggan

selular secara global telah melampaui jumlah pelanggan telepon tetap. Hal ini disebabkan karena konsumen lebih menyukai sifat praktis dan mobilitas yang tinggi yang merupakan sifat dari telekomunikasi selular.

Melalui telepon selular pelanggan dapat melakukan banyak hal, seperti: Telepon, SMS, faksimili, mendengarkan lagu, mengirimkan pesan multimedia, melakukan koneksi internet melalui WAP (wireless Access Protocol) ataupun GPRS, e-mail, PDA, dan berbagai aplikasi lain. Berbagai benefit tersebut dimungkinkan sebagai akibat dari konvergensi teknologi komunikasi dan teknologi informasi pada teknologi seluler25.

Konvergensi teknologi tersebut juga telah membuka banyak kemungkinan bagi operator jasa layanan telekomunikasi selular untuk menawarkan berbagai

24Evangelos Xevelonakis. Developing Retention Strategies Based on Customer Profitability in

Telecomunication: An empirical Study., Journal of Database Marketing and Customer Strategy

Management., 2005. Hal. 226 25 Kertajaya., Op Cit. Hal 18

(23)

aplikasi teknologi baru. Diferensiasi produk dari sisi teknologi menyebabkan operator berlomba menyediakan berbagai aplikasi teknologi baru.

Menurut Tjiptono untuk mendiferensiasikan produk jasa dalam konteks persaingan, perusahaan harus berfokus pada atribut determinan, yaitu atribut yang paling mungkin menentukan pilihan konsumen. Atribut determinan ini ditentukan oleh dua dimensi yakni tingkat kepentingan dan tingkat keunikannya. Sebuah atribut dinilai penting oleh pelanggan jika atribut tersebut memberikan manfaat yang diharapkan oleh pelanggan. Akan tetapi, jika semua perusahan menawarkan atribut bersangkutan maka atribut tersebut tidak akan menentukan pilihan merek26.

Dalam industri jasa layanan telekomunikasi selular, diferensiasi teknologi sangat sulit untuk dilakukan. Hal ini disebabkan, pertama: Atribut yang didiferensiasikan belum tentu dinilai penting oleh konsumen. Kedua, dalam industri jasa layanan selular ada kecenderungan dari masing-masing operator berlomba menawarkan aplikasi teknologi yang sama.

Dari sisi pasar persaingan, semakin terbukanya sektor industri jasa layanan telekomunikasi selular telah mengakibatkan terjadinya pergeseran bargaining

position dari produsen kepada konsumen. Konsumen memiliki banyak pilihan,

jika penyedia jasa layanan telekomunikasi tidak mampu memberikan pelayanan yang terbaik maka dengan mudah konsumen akan beralih ke penyedia jasa lainnya.

26 Tjiptono., Op Cit hal 64

(24)

Hasil riset yang dilakukan oleh lembaga riset pemasaran Pixel terhadap konsumen jasa layanan selular di Indonesia menunjukan bahwa dimensi Tarif (dilihat dari SMS tariff, voice call tariff, dan Starter-pack tariff) memberikan pengaruh yang lebih besar terhadap index kepuasan secara total dibandingkan dimensi Performance (No Service, Dropped call, Static, dan Circuit Full). Hasil riset ini menunjukan telah terjadi persaingan tarif antara sesama operator selular yang mengakibatkan ekspektasi konsumen terhadap tarif rendah meningkat. Persaingan dalam hal tarif akan berakibat tidak menguntungkan bagi semua pihak. Oleh sebab itu, sebagaimana dikatakan ketua Asosiasi Telepon Selular Indonesia (ATSI), Jhonny Suwandi Sjam: "Perang tarif merupakan salah satu strategi industri selular. Sebenarnya yang perlu dilakukan sebagai langkah ke depan adalah kompetisi dalam hal pelayanan, yaitu bagaimana membuat jaringan yang handal dan pelayanan yang baik kepada pelanggan27. Hasil riset lain yang diadakan di Korea pada tahun 1999 menunjukan bahwa kualitas layanan yang buruk merupakan dorongan terkuat untuk berhenti berlangganan28.

27http://www.pixel-research.com/apa-yang-dicari-pengguna-seluler diakses 20 Juni 2007 28 Kertajaya., Op Cit. Hal. 89

(25)

A.4. Kepuasan Pelanggan

Kata ‘kepuasan’ atau satisfaction berasal dari bahasa Latin ‘satis’ (artinya cukup baik, memadai) dan ‘facio’ (melakukan atau membuat). Secara sederhana kepuasan dapat diartikan sebagai ‘upaya pemenuhan sesuatu’ atau ‘membuat sesuatu memadai’. Namun, ditinjau dari perspektif konsumen, istilah kepuasan pelanggan lantas menjadi suatu yang kompleks. Bahkan, hingga saat ini belum dicapai kesepakatan atau konsensus mengenai konsep kepuasaan pelanggan, yakni apakah kepuasaan merupakan respons emosional ataukah evaluasi kognitif29. Menurut Howard & Sheth kepuasaan pelanggan didefinisikan sebagai situasi kognitif pembeli berkenaan dengan kesepadanan atau ketidaksepadanan antara hasil yang didapatkan dibandingkan dengan pengorbanan yang dilakukan30. Sedangkan Tse dan Wilson sebagaimana dikutip oleh Tjiptono mendefinisikan ketidakpuasan atau kepuasan pelanggan sebagai respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (disconfirmation) atau kesesuaian (confirmation) yang dipersepsikan antara harapan awal sebelum pembelian (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dipersepsikan setelah pemakaian atau konsumsi produk yang bersangkutan31

Dari uraian diatas dapat diartikan juga bahwa kepuasaan pelanggan sangat

berhubungan dengan ekspektasi pelanggan pada produk atau jasa yang ditawarkan, apabila produk atau jasa tidak memenuhi ekspektasi, maka pelanggan akan merasa tidak puas (dissatisfied); apabila produk atau jasa memenuhi

29 Ibid., hal 349

30 J.N. Sheth., “A Factor Analytic Model of Brand Loyalty”, Jornal of Marketing Research, Vol. 55, 1969

(26)

ekspektasi, pelanggan akan merasa puas (satisfied); Sedangkan apabila ternyata produk atau jasa yang diberikan ternyata melebihi ekspektasi mereka, maka pelanggan akan merasa sangat puas (highly satisfied).

Boulding dan Andreassen menyatakan bahwa ada dua konseptualisasi yang

berbeda dalam kepuasan pelanggan. Pertama, lebih memfokuskan pada kepuasan setelah melakukan transaksi (transaction-specific perspective). Kedua, kepuasan pelanggan yang bersifat kumulatif (cumulative customer satisfaction). Perspektif kepuasan setelah melakukan transaksi lebih diartikan sebagai penilaian yang dilakukan oleh pelanggan setelah membeli sebuah produk. Sedangkan perspektif kumulatif merupakan hasil evaluasi berdasarkan pembelian keseluruhan dan pengalaman pelanggan dengan produk atau jasa yang ditawarkan32. Perspektif kepuasan pelanggan kumulatif inilah yang menjadi sebuah hal yang mendasar dalam memprediksi performa perusahaan di masa yang akan datang, dan juga dapat membentuk perilaku positif pelanggan terhadap perusahaan.

Menurut Oliver, kepuasan pelanggan merupakan sebuah hal yang sangat penting dalam pembentukan loyalitas33. Bolton melakukan sebuah penelitian kuantitatif mengenai hubungan antara durasi hubungan dengan kepuasan. Dalam studinya dalam industri telepon seluler di Amerika, dia menemukan bahwa:

 Hubungan antara penyedia jasa dan konsumen akan lebih lama apabila tingkat kepuasaan kumulatif konsumen lebih tinggi

32 Wang, Po Lo dan Yang, “An Integrated Framework for Service Quality, Customer Value,

Satisfaction: Evidence from China Telecommunication Industry”, Kluwer Academic Publisher,

2004.

(27)

 Konsumen yang banyak berhubungan dengan penyedia jasa tidak akan begitu sensitif pada kegagalan saat transaksi karena adanya tingkat kepuasan yang tinggi.

 Efek positif dari berhasilnya sebuah transaksi akan berkurang apabila konsumen pernah mengalami kekecewaan pada jasa yang diberikan.

 Hubungan antara efek dari kepuasan kumulatif dengan durasi hubungan antara konsumen dan penyedia jasa akan lebih baik pada konsumen yang sering berhubungan dengan penyedia jasa34.

A.5. Service Quality

Berbagai karakteristik dari jasa telah menyebabkan kualitas jasa jauh lebih sukar dievaluasi bila dibandingkan dengan evaluasi kualitas barang. Bila ukuran kualitas dan pengendalian kualitas untuk barang telah lama dikembangkan dan diterapkan, untuk jasa berbagai ukuran tersebut justru sedang dikembangkan dan diterapkan.

Jasa yang bersifat intangiable dan lebih merupakan proses yang dialami oleh pelanggan secara subjektif, dimana aktivitas produksi dan konsumsi berlangsung disaat yang bersamaan. Proses tersebut diikuti oleh serangkaian interaksi atau

moment of truth antara pelanggan dan penyedia jasa (service encounter). Interaksi

yang terjadi ini akan sangat berpengaruh terhadap jasa yang dipersepsikan oleh

34 R. Bolton, ”A Dynamic Model of the Duration of the Consumer’s Relationship with a Continous

(28)

pelanggan35. Dalam tabel 2.1 di bawah ini diperlihatkan perbedaan antara persepsi kualitas barang dengan jasa.

Tabel 2.1

Perbedaan antara kualitas barang dan kualitas jasa

No. Kualitas Barang Kualitas Jasa

1 Dapat secara objektif diukur dan ditentukan

oleh pemanufaktur Diukur secara subjektif dan acapkali ditentukan oleh konsumen 2 Kriteria pengukuran lebih mudah disusun

dan dikendalikan Kriteria pengukuran lebih sulit disusun dan seringkali sukar untuk dikendalikan 3 Standardisasi kualitas dapat diwujudkan

melalui investasi pada otomatisasi dan teknologi

Kualitas sulit untuk distandardisasikan dan membutuhkan investasi besar pada pelatihan sumber daya manusia

4 Lebih mudah mengkomunikasikan kualitas Lebih sulit mengkomunikasikan kualitas

5 Dimungkinkan untuk mengadakan perbaikan pada produk cacat guna menjamin kualitas.

Pemulihan jasa yang jelek sulit untuk dilakukan karena tidak bisa mengganti “jasa-jasa yang cacat”.

6 Produk itu sendiri memproyeksikan kualitas Bergantung pada komponen peripherals untuk merealisasikan kualitas

7 Kualitas dimiliki dan dinikmati (enjoyed). Kualitas dialami (experienced). Sumber: Sumber: Tjiptono, Pemasaran Jasa, 2005

Menurut K.A. Venetis dan Ghauri yang dikutip oleh Serkan Aydin and Gokhan Ozer. Secara umum, service quality dilihat sebagai faktor kritis dalam menentukan tingkat keuntungan dan kemudian kesuksesan sebuah perusahaan. Ada dua proses yang menjelaskan kontribusi dari service quality terhadap profitabilitas, yakni: Pertama service quality dianggap sebagai salah satu media untuk melakukan differensiasi dan penciptaan daya saing untuk menarik konsumen baru yang berkontribusi terhadap perolehan pangsa pasar. Kedua,

service quality memperkuat keinginan konsumen untuk membeli lagi, membeli

lebih, membeli jasa lainnya, menjadi kurang sensitif terhadap harga dan

35 Tjiptono, op cit, hal. 259

(29)

menceritakan pada yang lain mengenai pengalaman-pengalaman menyenangkan terhadap jasa tersebut36.

Meskipun service quality memegang peran yang sangat penting dalam menentukan kesuksesan sebuah perusahaan. Akan tetapi, menurut Khatibi, et al. belum ada konsensus tentang bagaimana mengkonseptualisasikan dan mengukur

service quality37.

Model Servqual yang diperkenalkan oleh Parasuraman dan kawan-kawan merupakan model yang paling banyak dirujuk untuk pengukuran dan manajemen

service quality38. Model ini mengatakan bahwa perbedaan antara harapan atau

ekspektasi konsumen terhadap kinerja penyedia jasa layanan secara umum dan penilaian mereka terhadap kinerja aktual dari perusahaan spesifik menghasilkan persepsi kualitas. Untuk mengukur penilaian konsumen terhadap pengalaman layanan mereka mengembangkan 22-item instrumen survey, seperti yang

disajikan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.2.

Atribut dan dimensi Model Servqual39

No. Atribut Dimensi

1 Peralatan muktahir/terbaru Bukti Fisik

2 Fasilitas fisik yang berdaya tarik Bukti fisik

3 Karyawan yang berpenampilan rapi Bukti Fisik

4 Fasilitas fisik sesuai dengan jenis yang ditawarkan Bukti fisik 5 Bila menjanjikan akan melakukan sesuatu pada waktu yang telah

ditentukan pasti akan direalisasikan Realibilitas

36 Serkan Aydin and Gokhan Ozer, “The analysis of antecedents of customer lyalty in the Turkish

mobile telecomunication market”. European Journal of Marketing; vol. 39 No. 7/8, 2005.

37 J. M Carman, “Consumer perceptions of service quality: an assement of the SERVQUAL

dimensions”, Journal of retailing,1990. vol. 66, spring, hal. 33-55

38 Abod Ali Khatibi, Hishamuddin Ismail dan Venu Thyagarajan. “What Drive Customer Loyalty:

An analysis from the telecomunication industry”. Journal of Targeting, measurement and analysis

for marketing. September 2002. 39 Tjiptono., Op Cit, hal. 278

(30)

No. Atribut Dimensi

6 Bersikap simpatik dan sanggup menenangkan pelanggan setiap ada

masalah Realibilitas

7 Jasa disampaikan secara benar sejak pertama kali Realibilitas 8 Jasa disampaikan sesuai dengan waktu dijanjikan Realibilitas 9 Sistem pencatatan yang akurat dan bebas kesalahan Realibilitas 10 Kepastian waktu penyampaian jasa diinformasikan secara jelas kepada

pelanggan Daya Tanggap

11 Layanan yang segera/cepat dari karyawan perusahaan Daya Tanggap 12 Karyawan yang selalu bersedia membantu pelanggan Daya Tanggap 13 Karyawan yang tidak terlampau sibuk sehingga sanggup menganggapi

permintaan pelanggan dengan cepat Daya Tanggap

14 Karyawan yang terpercaya Jaminan

15 Perasaaan aman sewaktu melakukan transaksi dengan karyawan

penyedia jasa. Jaminan

16 Karyawan yang selalu bersikap sopan terhadap para pelanggan Jaminan 17 Karyawan yang berpengetahuan luas sehingga dapat menjawab

pertanyaan karyawan Jaminan

18 Perhatian individual dari perusahaan Empati

19 Waktu operasi yang cocok/nyaman bagi para pelanggan Empati 20 Karyawan yang memberikan perhatian personal Empati 21 Perusahaan yang sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan setiap

pelanggan Empati

22 Karyawan yang memahami kebutuhan spesifik para pelanggan Empati Sumber: Tjiptono, Pemasaran Jasa, 2005

Meskipun model diatas sangat banyak dirujuk dalam pengukuran service

quality, ada beberapa keberatan dari berbagai ahli terhadap model Servqual baik

yang bersifat teoritikal maupun operasional40. Studi yang dilakukan diberbagai konteks jasa untuk menguji penggunaan model Servqual seperti: rumah sakit, hotel, ritel, pakaian, jasa reparasi mobil, dokter gigi dan pendidikan tinggi, menunjukan bahwa jumlah dimensi kualitas jasa bervariasi antara 3 sampai 9. Hal

40F. Butler. “Servqual: Review, critique, research agenda”, European Journal of marketing, 1996. Vol. 30, No. 1. pp. 8-32

(31)

ini menyebabkan klaim Parasuraman bahwa lima dimensi Servqual bersifat generik untuk semua konteks jasa patut dipertanyakan41.

Untuk menghindari berbagai perdebatan terhadap keterbatasan pengukuran

Servqual tersebut, Instrumen pengukuran unidimensional dari persepsi kualitas

jasa yang berkaitan dengan evaluasi terhadap layanan dasarnya dapat digunakan dengan alasan efisiensi pengumpulan data42, misalnya dalam industri telepon selular berbasis GSM, layanan dasar terdiri dari: coverage of calling area, value

added service, customer support services, the supplier’ service of the operator, dan service in campaigns43.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengukuran persepsi kualitas jasa dari sudut pandang konsumen. Menurut Dobholkar, persepsi kualitas jasa dari sudut pandang pelanggan dapat diukur melalui 4 (empat) item overall service

quality yang merupakan penilaian konsumen terhadap “excelent overall service”,

“service of a very high quality”, “high standard of service” dan “superior service

in every way” yang diberikan oleh perusahaan jasa44.

41 Tjiptono, op cit, hal. 283

42 J. Bloemer, K. Ruyter, dan M. Wetzels., “On the relationship between perceived service

quality, service loyalt and switcing cost”, International journal of industries management, vol. 9

No. 5. pp. 436-453

43 Serkan Aydin and Gokhan Ozer., Op Cit

44 Po Lo Wang dan Yang, “An Integrated Framework for Service Quality, Customer Value,

Satisfaction: Evidence from China Telecommunication Industry”, Kluwer Academic Publisher,

(32)

A.6. Arti penting hubungan dengan pelanggan

Cara perusahaan dalam memelihara hubungan dengan para pelanggannya

telah melahirkan beberapa bidang kajian baru dalam marketing, salah satunya adalah Relationship Marketing (RM) atau pemasaran relasional. Pada hakikatnya, RM mencerminkan perubahan paradigma pemasaran, yakni dari fokus terhadap transaksi/akuisisi pelanggan menjadi relasi/retensi pelanggan.

Tujuan utama dari Relationship Marketing adalah untuk membangun dan mempertahankan basis pelanggan yang memiliki relationship commitment yang kuat dan profitable bagi perusahaan. Menurut Tjiptono, ada beberapa manfaat

relationship marketing bagi organisasi jasa yakni: Biaya yang lebih rendah,

volume pembelian yang lebih besar, harga premium, dan komunikasi getok tular positif. Manfaat-manfaat langsung ini berkontribusi pada marjin yang lebih besar dan pada gilirannya dapat meningkatkan profibilitas perusahaan.

Sementara manfaat tidak langsungnya bagi organisasi jasa adalah retensi karyawan, retensi karyawan ini terjadi karena adanya iklim organisasi yang kondusif dalam perusahaan di mana para pelanggannya puas45.

Selain meningkatkan profibilitas perusahaan, relationship marketing juga terbukti dapat meningkatkan loyalitas pelanggan. Loyalitas pelanggan terbina dari terciptanya hubungan jangka panjang antara pelanggan dengan perusahaan. Dalam berbagai literatur marketing ada beberapa hal yang penting diperhatikan dalam usaha menciptakan hubungan jangka panjang, yakni:

45 Tjiptono, Op Cit., hal. 420

(33)

1. Menciptakan Kepercayaan dan komitmen

Harus disadari bahwa setiap hubungan didasari oleh adanya rasa percaya

(trust) dan komitmen. Trust menurut Tjiptono yang mengutip Sheth dan Mittal,

diartikan sebagai kesediaan untuk mengandalkan kemampuan, integritas dan motivasi pihak lain untuk bertindak dalam rangka memuaskan kebutuhan dan kepentingan seseorang sebagaimana disepakati bersama secara implisit maupun eksplisit. Rasa percaya pelanggan terhadap perusahaan jasa adalah sesuatu hal yang baru didapat melalui berulangnya pengalaman pelanggan yang positif. Sedangkan Komitmen merupakan hasrat dan keinginan kuat untuk melanjutkan relasi yang dinilai penting dan bernilai jangka panjang46.

Rasa percaya merupakan sebuah prinsip yang sangat esensial. Apabila seorang pelanggan merasa bahwa perusahaan memberikan perhatian yang cukup terhadap kebutuhan dan keinginannya, maka pelanggan akan lebih mudah menjadi loyal terhadap merek jasa yang ditawarkan. Sebaliknya, kurangnya perhatian perusahaan terhadap keinginan dan kebutuhan pelanggan dapat membuat sebuah perusahaan kehilangan pelanggan. Hal tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini:

46 Ibid., Hal 414

(34)

Gambar 2.3

Penyebab Perusahaan Kehilangan Pelanggan (%)

4 5 9 14 68 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Pergi atau meninggal

Pes aing m em enangkan pelanggan Harga lebih rendah

Penanganan Kom plain yang buruk Kurangnya perhatian

Sumber: Temporal, Romancing the customer: Memaksimalkan nilai merek, 2002

Dari hasil penelitian TARP diatas kita dapat melihat bahwa penyebab utama sebuah perusahaan kehilangan pelanggan disebabkan oleh kurangnya perhatian perusahaan (68%) disusul oleh penanganan komplain yang buruk (14%).

2. Mengembangkan Customer Relationship Management

Menurut Plessis dan Boon, Customer Relationship Management adalah proses membangun dan mengelola relasi dengan pelanggan pada level organisasional dengan jalan memahami, mengantisipasi dan mengelola kebutuhan pelanggan berdasarkan pengetahuan yang didapatkan mengenai pelanggan, dalam rangka meningkatkan efektivitas, efisiensi dan profitablitas organisasi47.

Buttle mengungkapkan bahwa konsep CRM dapat dipahami dalam tiga level, yaitu strategis, operasional dan analitikal. Level strategis CRM berfokus pada pengembangan budaya bisnis yang bersifat costumer-centric. Hal ini merupakan upaya merebut dan mempertahankan pelanggan dengan cara menciptakan dan menyampaikan nilai pelanggan secara lebih efektif dan efesien dibandingkan para

(35)

pesaing. Level operasional CRM berfokus pada otomatisasi proses bisnis dalam kaitannya dengan upaya melayani pelanggan, misanya manajemen komunikasi pemasaran, manajemen kontak pelanggan, dan fungsi layanan pelanggan (misalnya call center dan customer service). Sementara analytical CRM berfokus pada pendayagunaan data pelanggan untuk meningkatkan consumer value dan

company value48.

3. Memaksimalkan peran petugas penyedia jasa

Menurut Parasuraman et al yang dikutip oleh Khatibi et al, petugas perusahaan penyedia memiliki peran yang sangat penting dalam menciptakan dan memelihara hubungan antara perusahaan dengan pelanggan49. Pentingnya peran petugas dapat dilihat dari sudut pandang pelanggan dan perusahaan penyedia jasa. Dalam sudut pandang pelanggan, encounter yang terjadi dengan petugas perusahaan merupakan aspek yang sangat penting dari sebuah jasa. Dari sudut pandang perusahaan, tingkat layanan dan bagaimana layanan tersebut disampaikan kepada oleh petugas perusahaan merupakan sumber penting dari penciptaan diferensiasi yang merupakan keunggulan kompetitif perusahaan50.

Ada beberapa hal yang menyebabkan petugas perusahaan terutama frontline penting bagi perusahan, yakni:

48 Ibid, hal 425

49Adoba Ali Khatibi et al, What Drive Customer Loyalty: An analysis from the telecomunication

industry, Journal of Targeting, measurement and analysis for marketing, September 2002. hal. 37

(36)

1. Petugas merupakan bagian inti dari produk. Seringkali petugas menjadi elemen yang paling visible dari jasa dan secara signifikan menentukan kualitas jasa layanan.

2. Petugas merupakan perusahaan jasa itu sendiri. Dari sudut pandang pelanggan, petugas perusahaan adalah perusahaan itu sendiri.

3. Petugas merupakan brand. Petugas perusahaan inilah yang menentukan apakah janji merek dipenuhi51.

Kecenderungan yang ada sekarang adalah perubahan dari high-contact

delivery service yang banyak melibatkan unsur-unsur manusia menuju low-contact channel melalui pemanfaatan self-service interface (ATM, IVR, dan

Website).

Perubahan besar ini menimbulkan berbagai pertanyaan apakah peran-peran penting dari petugas di atas masih relevan? Lovelock menyebutkan meskipun kualitas dari teknologi dan self-service interface dalam penyampaian jasa meningkat, kualitas dari frontline employee tetap krusial. Pelanggan mungkin sangat jarang berinteraksi dengan petugas penyedia jasa, namun saat pelanggan menghubungi perusahaan dan berinteraksi dengan petugas biasanya interaksi yang terjadi adalah untuk pemecahan masalah (problem solving) dan penyampaian permintaan khusus (special request) bukan tentang transaksi rutin. Moment of

truth yang terjadi ini menentukan apakah konsumen akan berpikir bahwa

51 Ibid

(37)

perusahaan menyampaikan layanan pelanggan yang execellent atau sebaliknya52. Melalui moment of truth inilah perusahaan mendiferensiasikan layanannya.

A.7. Loyalitas Merek

Loyalitas merek adalah konsep multi-dimensional yang kompleks karena mempunyai beragam definisi dan operasionalisasi konsep. Meskipun demikian, ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendefisinikan konsep tersebut, yaitu stochastic approach dan deterministic approach53

.

Pendekatan stokastik memandang loyalitas merek sebagai sebuah perilaku, artinya preferensi konsumen diperlihatkan dalam perilaku pembelian, seperti misalnya pembelian berulang dan frekuensi pembelian. Berdasarkan perspektif ini, setiap kali pelanggan membeli merek produk yang sama, maka ia dikatakan pelanggan yang setia pada merek tersebut dalam kategori produk yang bersangkutan. Ada tiga macam ukuran loyalitas merek behavioural yang banyak digunakan yaitu proporsi pembelian, urutan atau rentetan pembelian serta probabilitas pembelian54.

Perspektif ini dapat mengukur perilaku pembelian efektif, namun sayangnya tidak mampu menjelaskan apakah pembelian ulang yang terjadi karena faktor kebiasaan, alasan-alasan situasional atau alasan-alasan psikologis yang lebih kompleks. Perspektif ini cenderung memperlakukan loyalitas sebagai skala

52 Ibid., hal 311

53 Y. Odin, N. Odin, dan P.V. Florence “Conceptual and operational aspects of brand loyalty an

empirical investigation”. Journal of Business Research, Vol. 53, 2001

(38)

dikotomi dan menggunakan penilaian yang sangat subjektif untuk mengalokasikan konsumen ke dalam salah satu kategori.

Sedangkan deterministic approach lebih memandang loyalitas sebagai sikap konsumen terhadap merek tersebut55. Artinya loyalitas konsumen tidak hanya diukur dari perilaku pembelian namun juga bagaimana preferensi konsumen terhadap merek tersebut, prioritisasi merek dan kesediaan untuk memberikan rekomendasi dan adanya sebuah komitemen psikologis konsumen dalam pembelian, tanpa perlu mempertimbangkan secara spesifik perilaku pembelian efektif. Dengan demikian loyalitas tidak dipandang sebagai sebuah dikotomi antara loyal dan tidak loyal, namun lebih sebagai kontinun (a degree of loyalty). Oleh sebab itu, tujuan pengukuran berdasarkan perspektif sikap bukanlah untuk mengetahui apakah seseorang loyal atau tidak loyal, namun adalah untuk memahami intensitas loyalitasnya terhadap merek.

Namun demikian, pengukuran loyalitas berdasarkan perspektif sikap tidak luput dari berbagai kritik. Kritik pertama adalah bahwa pengukuran semacam ini hanya mengandalkan pada pernyataan konsumen, bukan perilaku yang diamati. Bisa saja konsumen menyatakan menyukai merek A, tetapi tidak pernah membelinya. Kritik kedua menyangkut aspek operasional loyalitas. Dalam banyak kasus, peneliti menggunakan anteseden atau konsekuensi loyalitas untuk mengukur loyalitas, dan bukannya loyalitas sendiri.

Jacoby and Kyner mencoba memadukan dua pendekatan tersebut dengan memberikan definisi loyalitas merek sebagai berikut: “Brand Loyalty is the biased

55 S.Fournier, dan J.L. Yao, “Reviving brand loyalty: a conceptualization within the framework

(39)

behavioural response, expressed over time by some decision making unit with respect to one or more alternative brands and is a function of psychological (decision making, evaluative) process”56

Sedangkan menurut Lee dan Lau, loyalitas merek dikonseptualisasikan

sebagai keinganan perilaku untuk membeli sebuah merek dari suatu produk dan menganjurkan orang lain untuk membeli merek tersebut. Menurut Lau dan Lee yang mengutip Bank, ditemukan hubungan yang kuat antara keinginan berprilaku terhadap sebuah merek terhadap perilaku pembelian aktual sebuah merek57.

Dick dan Basu menyatakan bahwa loyalitas memiliki dua dimensi yakni Sikap dan perilaku. Dengan demikian mereka mengintegrasikan perspektif sikap dan behavioral ke dalam suatu model komprehensif. Dengan mengkombinasikan komponen sikap dan perilaku pembelian ulang, maka didapatkan empat situasi kemungkinan loyalitas, yakni:

 No Loyalty

Bila sikap dan perilaku pembelian sama-sama lemah, maka loyalitas tidak terbentuk.

 Spurious Loyalty

Bila sikap yang relatif lemah disertai pola pembeliaan berulang yang kuat, maka yang terjadi adalah spurious loyalty atau captive loyalty.

 Latent Loyalty

56 J. Jacoby dan D.B. Kyner “Brand Loyalty vs Repeat Purchasing Behaviour”. Journal of Marketing Research, Vol. 10, 1973

57

Geok Theng Lau dan Sook Han Lee., Consumers’ Trust in a Brand and The Link to Brand

(40)

Situasi latent loyalty ditandai dengan pola pembelian ulang yang kuat disertai dengan pola pembelian ulang yang lemah.

 Loyalty

Situasi ini merupakan situasi ideal yang paling diharapkan para pemasar, dimana konsumen bersikap positif terhadap jasa atau penyedia jasa bersangkutan disertai pola pembelian ulang yang konsisten.

Menurut Rundle-Thiele dan Bennet, loyalitas merek bisa diklasifikasikan

menjadi tiga kelompok berdasarkan tipe pasar, yaitu: consumable goods markets,

durable good markets, dan service markets. Adapun karakteristik dan ukuran

loyalitas merek untuk masing-masing pasar digambarkan dalam tabel di bawah ini:

(41)

Tabel 2.3.

Karakteristik dan ukuran loyalitas merek Tipe Produk Karakteristik

Consumables Durables Jasa

Loyalitas Behavioural

Peralihan merek Ya Tidak Tidak

Frekuensi pembelian Tinggi Rendah Sedang hingga tinggi

Tipe Loyalitas Multi Merek Merek Tunggal Merek Tunggal atau

ganda Share of category (%) Bervariasi antara 1

sampai 60 100 Biasanya 80 atau lebih besar Proporsi sole buyer Antara 10 dan 30

tergantung pada jumlah merek

100 Sekitar 80

Loyalitas sikap

Komitmen Bervariasi Tidak diketahui Tinggi

Minat beli Bervariasi Tidak diketahui Tinggi

Pemicu Loyalitas

Perceived Risk Tidak Ya Ya

Inersia Tidak Tidak Ya

Kebiasaan Ya Tidak Ya

Keterlibatan Rendah Tinggi Tinggi

Kepuasan Bervariasi Tidak diketahui Tinggi

Relasi dengan penyedia Produk/jasa

Rendah Tidak diketahui Tinggi

Sumber: Tjiptono, Pemasaran Jasa, 2005

Dalam pemasaran jasa, oleh karena intangiabilitas dan variabilitasnya menyebabkan konsumen mempersepsikan resiko yang lebih besar sehingga kemungkinan loyalitas pada suatu merek juga meningkat Pelanggan pada perusahaan jasa biasanya adalah sole loyal dengan 100 % share of category

requirements untuk merek tertentu. Konsumen kemungkinan akan tetap setia

dengan penyedia jasa tertentu apabila telah terjalin relasi yang akrab.

Sulitnya mengevaluasi kualitas jasa menyebabkan loyalitas merek lebih sering dijumpai dalam sektor jasa. Peranan faktor affect dalam loyalitas merek jasa sangat penting. Disamping itu, loyalitas dalam perusahaan jasa juga

(42)

mencermin inersia yakni adanya pengaruh faktor non sikap terhadap perilaku, misalnya norma subjektif dan faktor situasional.

Dick dan Basu mengembangkan model integratif untuk memahami secara lebih komprehensif anteseden kognitif, afektif, dan konsekuensi loyalitas pelanggan. Model ini mengkonseptualisasikan loyalitas pelanggan sebagai relasi antara sikap relatif terhadap suatu entitas (merek, jasa, layanan atau toko) dan pembelian ulang. Seperti dijelaskan dalam gambar di bawah ini:

Gambar 2.4

Model Integratif Loyalitas Pelanggan

Sumber: Tjiptono, Pemasaran Jasa, 2005 Anteseden Kognitif:AccessibilityConfidenceCentralityClarity Anteseden Afektif:  Emosi  MoodPrimary Affect  Kepuasan Anteseden Konatif  Switching CostSunk Cost  Ekspektasi Sikap Relatif Pembelian Ulang Konsekuensi  Motivasi Pencarian  Resistance to counter persuasion  Gethok Tular Norma Sosial Pengaruh Situasional

(43)

Antesenden kognitif, afektif dan konatif ini akan membentuk sikap relatif konsumen. Sikap relatif konsumen dan pembelian ulang dimoderasi oleh norma-norma subjektif dan faktof-faktor situasional.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa ukuran loyalitas yang digunakan oleh Lau dan Lee, yakni: Sikap untuk terus menggunakan merek yang sama, merekomendasikan merek kepada orang lain, membela merek tersebut terhadap berbagai komentar negatif berkaitan dengan merek tersebut, dan menceritakan tentang hal positif dari merek58. Peneliti juga menambahkan adanya kesedian pelanggan untuk memberikan berbagai masukan bagi perbaikan kualitas. Di samping itu, ditambahkan kesediaan untuk membayar harga premium yang menurut Aaker merupakan basic indikator dari brand loyalty59

.

A.8. Service Encounter

Pentingnya mengelola pengalaman pelanggan positif pelanggan dalam menggunakan jasa yang diberikan perusahaan telah menimbulkan kesadaran dari organisasi perusahaan jasa untuk memperhatikan setiap titik interaksi pertemuan antara perusahaan dengan pelanggannya. Interaksi tersebut mendefinisikan kualitas jasa layanan (service quality) di dalam benak konsumen. Oleh Richard Normann pertemuan antara pelanggan dan penyedia jasa disebut sebagai

“momenth of truth’.

58Lau dan Lee., Op Cit hal. 366.

(44)

Seringkali setiap encounter merupakan sebuah momen, saat di mana

pelanggan mengevaluasi jasa layanan dan membentuk opininya terhadap kualitas dari jasa layanan tersebut. Menurut Lovelock, setiap moment of truth adalah kesempatan untuk mempengaruhi persepsi pelanggan terhadap kualitas jasa (service quality)60.

Ada beberapa ahli yang memberikan definisi mengenai service encounter, Misalnya Suprenant dan Solomon mendefinisikannya sebagai “ the dyadic

interaction between a customer and service provider”, dimana masing-masing

baik pelanggan maupun personel perusahaan memiliki peran yang harus dimainkan yang akan berpengaruh terhadap kualitas encounter tersebut. Definisi yang lebih luas mengenai service encounter, dikemukakan oleh Shostack dimana

service encounter adalah "a period of time during which a consumer directly interacts with a service". Definisi yang dikemukakan oleh Shostack mencakup

semua aspek dari perusahaan jasa yang memungkinkan interaksi dengan pelanggan, aspek-aspek itu meliputi: Personil perusahaan, fasilitas fisik, dan elemen-elemen visible lainnya. Pengertian yang dikemukankan oleh Shostack tidak hanya membatasi encounter hanya pada interaksi interpersonal akan tetapi dapat terjadi tanpa adanya keterlibatan elemen manusia61.

Secara garis besar, service encounter bisa dikelompokkan menjadi tiga macam, yakni remote encounter, phone encounter, dan face to face encounter62.

Dalam remote encounter, service encounter terjadi tanpa adanya kontak langsung

60 Cristhophet H. Lovelock., “Managing Services” Printice Hall, Englewood. Cliff. 1992. Hal. 203

61 Mary Jo Bitner, et al. The Service Encounter: Diagnosing Favorable and Unfavorable

Incidents. Journal of Marketing. Vol 54. Januari 1990. hal 72

Gambar

Gambar 2.1 Model Service Branding
Gambar 2.5 Model Penelitian
Tabel 4.13 Statistik Deskriptif
Gambar 4.4 Model Penelitian                                                  101  ibid Pengalaman PelangganBerhubungan dengan call center:EmphatyAuthority Overall Service Quality LoyalitasMerekAdaptivenessAssurance

Referensi

Dokumen terkait