• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA MENURUT UNDANG-UNDANG

NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

A. Arti Penting Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika.

Aturan-aturan hukum tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak terbatas pada tindakan dengan menghukum dan memasukkan pelanggar ke dalam penjara sebanyak-banyaknya. Namun yang lebih substansial ialah bagaimana upaya pemerintah dapat membimbing warga masyarakat agar tidak kecanduan untuk melakukan penyalahgunaan Narkotika.

Kebijakan pemerintah dalam rangka penanggulangan tindak pidana narkotika tidak hanya bersifat penerapan prosedur hukum belaka, tapi lebih subtansial ialah membangun tatanan hukum dalam suatu sistem hukum nasional yang bermanfaat untuk kepentingan nasional. Lawrence M. Friedman dalam bukunya Law and Behavioral Sciencesmengatakan bahwa:

“the three elements togertehr srtuctural, cultural, and substantive make-up totally which, for want of a better term, we call the legal system. The living law of society, its legal system in this revised sense, is the law as actual process. It is the way in which sructural, cultural and substantive element interact with each other, under the influence too, of external, situational factors, pressing in from the large society.”59

Selanjutnya Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu peraturan yang ideal ialah dipenuhinya komponen-komponen substansi hukum (substance of the rule), struktur (structure) dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu sistem hukum, ketiga komponen tersebut, yakni substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum dapat diaktualisasikan secara nyata.60

59M. Lawrence Friedman, Law and Behavioral Sciences, (New York: The Bobbs Company, Inc, 1969), hal.104. 60M. Lawrence Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russell Sage

(2)

Bekerjanya hukum tersebut menampakkan hubungan erat yang diproses melalui struktur hukum dan keluarannya adalah budaya hukum. Peraturan-peraturan mana yang dilaksanakan, dan mana yang tidak, semua itu merupakan masalah yang masuk dalam lingkup budaya hukum. Dalam konteks dengan prilaku sosial. Keluaran dari system hukum itu diantaranya merupakan kerangka pengendalian sosial. Proses interaksi sosial pada hakekatnya merupakan satu atau beberapa peristiwa hukum, yang unsur-unsurnya meliputi perilaku hukum, kejadian, keadaan yang semuanya didasarkan pada tanggung jawab dan fasilitas.61

Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut - nakuti agar orang tetap patuh pada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan. Di dalam hubungan antara hukum dengan prilaku sosial, terdapat adanya unsur pervasive sosially (penyerapan sosial), artinya bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan saling relevan atau memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila

aturan-Dipandang dari sudut yuridis, hubungan antar peranan disebut sebagai hubungan hukum yang merupakan salah satu pengertian dasar dari sistem hukum. Hubungan hukum tersebut merupakan setiap hubungan yang mempunyai akibat hukum dan pada hakekatnya menyangkut hubungan antar peranan dalam bentuk hak dan kewajiban.

Hukum dapat dianggap sebagai mempengaruhi perilaku, didasarkan pada suatu analisis bahwa hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial dan berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial. Analisa ini berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian di dalam prilaku-prilaku tersebut. Sering dikatakan bahwa salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan - aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol, yaitu yang disebut sebagai sanksi.

(3)

aturan hukum dengan sanksinya atau dengan perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan (polisi, jaksa, hakim, dan sebagainya) sudah diketahui atau dipahami arti dan kegunakannya oleh individu atau masyarakat yang terlibat dengan hukum itu.62

Secara logis bahwa suatu sanksi juga merupakan fakta yang diterapkan dan sebagai bentukan yang berasal dari hukum sehingga sanksi harus diterapkan. Bilamana kita tidak dapat bertindak atau berprilaku tertentu karena dibentuk oleh suatu aturan hukum tertentu, tindakan tersebut menurut peneliti tidak merupakan efek dari hukum.63

Peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum yang bersifat demokratis, memiliki beberapa indikator kinerjanya, yaitu:

Hubungan antara kontrol sosial (social control) dengan aturan-aturan sosial mungkin dapat diformasikan, tapi bila memasuki kontrol hukum ke dalam hubungan ini, formulasi tersebut tidak konsisten dengan analisis logika. Dengan demikian, pengaruh hukum terhadap bentuk dan arah prilaku manusia tidak dapat diukur dengan menggunakan cara analisis logika, dan juga tidak ada satu pun indikasi yang menunjukkan bahwa hukum akan dapat menyebabkan perilaku manusia akan bersesuaian atau bertentangan dengan kehendak dari hukum tersebut.

64

1) Adanya prinsip keterbukaan informasi serta aturan-aturan yang mengatur tentang kebebasan informasi (freedom of information act) termasuk aturan pengecualian sepanjang berkitan masalah keamanan nasional, catatan penegakan hukum, dan sebagainya.

2) Adanya jaminan ketaatan penguasa terhadap prinsip kedaulatan hukum atas dasar prinsip equality before the law.

3) Ditegakkannya asas kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tanggung jawab.

4) Adanya jaminan yang luas bagi warga Negara untuk memperoleh keadilan (access to

justice).

5) Diperlukan perundang-undangan yang demokratis dan aspiratif. 6) Adanya sarana dan prasarana yang memadai.

62Adam Podgorecki dan C.J.Whelen, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta: Bina Aksara, 1987),

hal. 257.

63Ibid, .

(4)

Peran serta masyarakat dalam konteks penyelenggaraan negara, mengandung hak - hak dan kewajiban sebagai berikut:65

1) Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara. 2) Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari penyelenggara negara.

3) Hak menyampaikan saran dan pendapatan secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggaraan negara.

4) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal ini melaksanakan haknya dan apabila hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mentaati norma agama, dan norma sosial lainnya.

5) Kesadaran hukum masyarakat dan para penegak hukum dalam semangat yang interaktif antara kesadaran hukum, persepsi keadilan.

Muladidalam pandangannya tentang jaminan kepastian, ketertiban, penegakan hukum dan perlindungan hukum dalam era globalisasi mengindentifikasikan bahwa pada masa lalu perubahan sosial (social change) yang cepat akibat proses modernisasi sudah dirasakan sebagai sesuatu yang potensial dapat menimbulkan keresahan dan ketegangan sosial (social unrest and social tension).66

Penegakan hukum aktual (actual enforcement) akan jauh dari penegakan hukum ideal (total

enforcement and full enforcement) hukum hanya akan melindungi yang powerful, dan terjadi

Perubahan sistem nilai dengan cepat menuntut adanya norma-norma kehidupan sosial baru yang menyibukkan badan legislatif, lembaga-lembaga penyelesaian sengketa (in and out court) dan usaha-usaha untuk mensosialisasi hukum. Dengan semakin meningkatnya proses modernisasi dan memunculkan fenomena baru berupa globalisasi yang menuntut perubahan struktur hubungan hukum (legal structure), substansi-substansi baru pengaturan hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal culture) yang sering sama sekali baru. Tanpa adanya perubahan sistem hukum tersebut, tuduhan-tuduhan selanjutnya pasti muncul, seperti penguasa tidak dapat menjamin kepastian hukum, akan timbul bahaya-bahaya terhadap ketenteraman hidup (peaceful life) dalam berbagai kehidupan sosial, semua akan menjadi tidak pasti dan tidak tertib serta tidak terlindung.

65Ibid, hal. 26. 66Ibid, hal. 57.

(5)

pelanggaran hak asasi manusia, dan seterusnya. Di sinilah masalah kepastian hukum, ketertiban hukum dan perlindungan hukum akan dirasakan sebagai kebutuhan yang pada dasarnya mengandung dua hal, yakni aman (jasmaniah) dan tenteram (batiniah) yang semuanya dapat dicakup dalam tujuan hukum, yaitu kedamaian (the function of law is to maintain peace).67

Penegakan hukum sendiri harus diartikan dalam tiga kerangka konsep, yaitu (1) konsep penegakan hukum yang bersifat total (total enforcement concept) yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut ditegakkan tanpa kecuali; (2) yang bersifat penuh (full

enforcement concept) yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan

sebagainya demi perlindungan kepentingan individual; (3) dan konsep penegakan hukum aktual (actual enforcement concept) yang muncul setelah diyakini adanya diskresi dalam penegakan hukum karena keterbatasan - keterbatasan, baik yang berkaitan dengan sarana-prasarana, kualitas sumber daya manusianya, kualitas perundang- undangannya, dan kurangnya peran serta masyarakat.68

Hukum merupakan hasil dari proses kebijakan politik, dalam hal ini, Muladi menyatakan bahwa politik hukum (legal policy) dalam arti kebijakan negara (public policy) dibidang hukum,

Apa pun konotasinya perubahan sosial akibat modernisasi dan globalisasi tidak merupakan sesuatu yang bersifat fakultatif (change is not optional) dan tidak dapat dihindari. Keduanya merupakan sesuatu yang alamiah yang timbul serta merta akibat kompleksitas dan heteroginitas hubungan antarmanusia sebagai makhluk sosial, sebagai akibat penemuaan alat - alat tekonologi modern.

67Siswantoro Sunarso, Penegekan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 84.

(6)

harus dipahami sebagai bagian kebijakan sosial, yaitu usaha setiap masyarakat/ pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan warganya di segala aspek kehidupan.69

B. Bentuk-Bentuk Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Hal ini dapat mengandung dua dimensi, yaitu kebijakan kesejahteraan sosial (social welfare

policy) dan kebijakan perlindungan sosial (social defense policy). Hukum dan kebijakan publik

mengendalikan dan membentuk pola sampai seberapa jauh masyarakat dapat diatur dan diarahkan.

Kewajiban masyarakat ialah melaporkan tentang terjadinya tindak pidana narkotika kepada aparat penegakan hukum. Di samping kewajiban itu, masyarakat mempunya hak untuk mendapatkan jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari aparat penegakan hukum. Namun demikian, hak dan kewajiban masyarakat kelihatan amat terbatas, khususnya dalam menindak para pelaku kejahatan tersebut.70

Hubungan antara hak dan kewajiban amat terkait dengan proses belajar dalam perubahan perilaku masyarakat terhadap aturan hukum. Beberapa definisi tentang arti belajar telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang berbeda-beda pendiriannya, karena berlainan titik tolaknya. Sumadi Suryabrata telah menyimpulkan hal-hal pokok belajar sebagai berikut:71

1) Belajar itu membawa perubahan (dalam arti behavioral changes, actual maupun potensial) 2) Perubahan itu pada pokoknya adalah didapatkannya kecakapan baru.

3) Perubahan itu terjadi karena usaha (dengan sengaja)

Beberapa konsepsi atau teori belajar menurut ahli - ahli yang mengikuti teori molekular berpendapat bahwa perkembangan tingkah laku itu tergantung kepada belajar. Ahli-ahli yang

69Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukumdi Indonesia (Jakarta: Habibie Centre,

2002), hal.269.

70Siswantoro Sunarso¸ Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 158. 71 Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas,1993), hal. 249.

(7)

mengikuti paham molekular bersifat atomistis, yakni cenderung untuk memikirkan sesuatu kesatuan dari segi susunannya. Kebiasaan - kebiasaan yang kompleks, misalnya dianggap sebagai kumpulan dari sejumlah refleks - refleks bersyarat. Transfer of training dianggap terjadi kalau ada unsur - unsur yang identik antara hal yang lama dan situasi yang baru atau sedang dihadapi.72

Penyuluhan hukum harus menggunakan strategi yang cepat dan efektif, sehingga masyarakat benar-benar memahami tentang bahaya narkotika dan akan melakukan action anti-narkotika. Penerapan sanksi pidana yang berat kepada para pelaku kejahatan akan memberikan deterrent effect (efek jera) dan sekaligus berdampak pada law of effect serta dampak sosialnya, yaitu sebagai wahana pembelajaran publik, sehingga masyarakat akan sadar betul tentang pentingnya menjauhi penyalahgunaan narkotika.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika, karena tanpa dukungan masyarakat maka segala usaha, pada dan kegiatan penegakkan hukum akan mengalami kegagalan. Disinilah pentingnya mengubah sikap tingkah laku dan kepedulian masyarakat terhadap pencegahan dan penanggulangan tindak pidana narkotika.

73

72Ibid,.

73Siswantoro Sunarso¸ Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: Rajawali Pers, 2004), hal. 159.

Pembelajaran publik berdasarkan pengamatan terhadap konsistensi penegakan hukum dan penerapan sanksi pidana berat, akan tercipta norma-norma sosial yang dijunjung tinggi, sehingga norma - norma sosial tersebut sebagai sarana pengendalian sosial, yang dilembagakan kembali kepada norma-norma hukum untuk dipatuhi dan ditaati.

Bentuk – bentuk peran serta masyakat dalam upaya penanggulangan Tindak Pidana narkotika antara lain ialah:

(8)

1. Pencegahan Tindak Pidana Narkotika

Suatu motto di bidang kesehatan menyatakan bahwa “pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan.” Bertitik tolak dari pemikiran ini, pertanyaan kita ialah bagaimana upaya masyarakat dapat melakukan pengawasan terhadap semua aktifitas warga masyarakat agar tidak mengalahgunakan penggunaan obat-obatan narkotika secara illegal.

Kata-kata kunci peran serta masyarakat dalam kaitan dengan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tujuannya ialah bagaimana upaya untuk membangun sistem pengendalian sosial tersebut melalui proses belajar. Masyarakat sebagai suatu sistem sosial, yaitu suatu sistem yang hidup dipastikan akan menghadapi sejumlah masalah dan harus dapat diatasi untuk memungkinkan sistem sosial tersebut bisa melangsungkan kehidupannya.74

2. Kewajiban Melaporkan Tindak Pidana Narkotika

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dipandang sebagai suatu ancaman dan akan dapat menghancurkan sistem sosial masyarakat tersebut. Bentuk-bentuk kegiatan pencegahan yang dilakukan masyarakat antara lain; kampanye anti penyalahgunaan narkotika, penyuluhan seluk-beluk narkotika, pendidikan dan pelatihan kelompok sebaya (peer group)

Sesuai rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 dalam Pasal 107 dikatakan bahwa: masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Kewajiban melaporkan ini merupakan salah satu bentuk atau wujud peran serta masyarakat dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini apabila dilanggar dikenakan sanksi pidana, oleh sebab itu diperlukan pemahaman terhadap hak dan kewajiban masyarakat dalam pencegahan kejahatan ini.75

74Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), hal.311. 75Undang-undang No. 35 Tahun 2009, pasal 107.

(9)

3. Jaminan Keamanan dan Perlindungan Hukum

Penggunaan orang-orang yang terlibat atau dilibatkan secara langsung oleh penegakan hukum, baik sebagai informan maupun yang terlibat dalam pembelian terselubung dan/ atau penyerahan yang diawasi, perlu mendapatkan prioritas jaminan keamanan dan perlindungan hukum oleh penegak hukum. Dalam hal ini perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan jaminan keamanan dan perlindungan.

Keamanan yang berasal dari kata “aman”, yang memberikan makna, terbebas dari perasaan takut dari gangguan baik fisik dan psikis, adanya rasa kepastian dan bebas dari kekhawatiran keragu-raguan, ketakutan, perasaan dilindungi dari segi macam bahaya dan perasaan kedamaian, ketentraman lahiriah dan batiniah.

Sebenarnya kondisi aman seperti tersebut di atas itulah yang merupakan kendala masyarakat dalam berkomunikasi dengan aparat penegakan hukum, khususnya dengan aparat kepolisian, berkaitan dengan kewajiban melaporkan tentang suatu peristiwa tindak pidana. Secara empiris masyarakat yang melapor ke polisi justru menimbulkan rasa kekhawatiran, kejenuhan, dan proses yang bertele-tele sehingga menyita waktu si pelapor.

4. Pengembangan Kelembagaan Masyarakat.

Manusia dapat dipandang sebagai suatu organisme, dan manusia selalu melakukan beberapa aktivitas tertentu dalam kaitan dengan kehidupan sosialnya, yakni untuk mempertahankan diri (self

maintenance), melakukan pengawasan dan pengendalian diri (self control), terkait dengan proses

timbal balik (processof feed – back) serta melakukan komunikasi informasi (communication of

information) yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan (equilibrium) secara homeostatis dalam

tatanan kehidupan sosialnya.76

(10)

Hubungan organisme manusia dengan manusia lainnya dapat dilihat dalam tatanan kehidupan sibernetika. Usaha mempertahankan diri, melakukan pengawasan dan pengendalian, proses timbal balik, melakukan komunikasi informasi merupakan suatu faktor menciptakan kondisi. Dalam kaitan dengan peran serta masyarakat dalam penanggulangan narkotika, polisi mengakui masyarakat enggan melaporkan narkotika kepada petugas.77

5. Pelaksanaan Program Kuratif

Pandangan masyarakat ini disebabkan karena kurang adanya tanggapan dari kepolisian, padahal selama ini masyarakat telah memberikan informasi dan penanggalangan kekuatan untuk bertindak sendiri memberantas narkotika. Merasa tidak ditanggapi masyarakat menjadi curiga bahwa polisi ikut terlibat atau mengambil keuntungan material dari penyalahgunaan narkotika tersebut. Berdasarkan fenomena di atas, diperlukan sistem penyebaran atus informasi dan penguatan untuk membangkitkan motivasi masyarakat.

Program ini disebut juga dengan program pengobatan. Program kuratif dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk peran serta dalam penanggulangan tindak pidana narkotika yang ditujukan kepada pemakai narkotika. Tujuannya adalah untuk mengobati ketergantungan dan menyembuhkan penyakit sebagai akibat dari pemakaian narkotika, sekaligus memberhentikan pemakaian narkotika. Bentuk kegiatan pengobatan pemakai narkotika antara lain: menghentikan pemakaian narkotika, pengobatan gangguan kesehatan, pengobatan terhadap kerusakan organ tubuh, pengobatan terhadap penyakit ikutan lain seperti HIV dan AIDS, Hepatitis B/C, dan lain-lain.78

77Ibid,.

78Badan Narkotika Nasional, Petunjuk Teknis Advokasi Bidang Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Bagi

(11)

6. Melaksanakan Program Rehabilitatif

Rehabilitatif adalah upaya pemulihan kesehatan fisik dan psikis yang ditujukan kepada pemakai narkotika yang sudah menjalani program kuratif. Tujuannya adalah agar dia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkotika.

Banyak masyarakat yang membuka usaha rehabilitasi korban narkotika untuk menolong pemulihan mereka. Usaha yang dilakukan masyarakat ini sangat baik karena membantu pemerintha untuk mengatasi permasalahan narkoba. Rehabilitasi ini dapat dilakukan oleh masyarakat dan tentu saja ini akan mengurangi tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh pemakai narkotika.79

7. Mengawasi upaya penangkapan adanya pelanggaran, penahanan tersangka, jalannya penuntutan (persidangan/pengadilan) dan jalannya eksekusi hukuman.

Masyarakat dapat membantu proses penegakan hukum tindak pidana narkotika dengan cara mengawasi adanya penangkapan pelanggaran tentang narkotika, penahanan tersangka, jalannya penuntutan dan eksekusi hukuman. Upaya ini sangat efektif bila dilakukan sehingga tidak ada permainan yang dapat dilakukan antara personil aparat dengan pelaku pelanggaran hukum pidana narkotika.

Selain itu masyarakat juga akan paham mengenai proses peradilan tindak pidana narkotika dan bersama-sama melakukan pemantauan peradilan narkotika (drugs judicial watch). Apabila ini bisa dijalankan dengan baik, maka sebagian dari permasalahan narkotika dapat teratasi dengan baik.

8. Mengawasi Pemusnahan Barang Bukti Narkotika.

Bentuk lain dari peran serta masyarakat adalah dengan melakukan pengawasan terhadap pemusnahan barang bukti narkotika yang dilakukan oleh instansi terkait seperti pihak kepolisian dan BNN. Pengawasan ini perlu dilakukan oleh masyarakat untuk menghindari adanya permainan dalam

(12)

pemusnahan barang bukti. Contohnya barang bukti ditukar dengan yang lain atau barang buktinya tidak sesuai jumlahnya dengan yang ditangkap.

Bila ada pengawasan dari masyarakat tentu saja hal ini tidak akan terjadi. Dan inilah yang telah dilakukan masyarakat khususnya PIMANSU dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika.

Agar masyarakat mau berpartisipasi aktif, diperlukan syarat:80

1. Adanya aparat penegak hukum yang akomodatif, simpatik, dan mampu mengajak masyarakat berpartisipasi

2. Instasni pmerintah terkait harus dapat bekerja sama secara transparan dengan LSM atau lembaga sosial terkait lainnya.

3. Perilaku aparat penegak hukum yang terpuji dan bekerja dengan jujur, profesional, serta kebal terhadap sogok dan suap.

4. Penerapan hukum secara tegas, konsekuen, konsisten dan transparan

5. Adanya petunjuk atau pedoman untuk berpartisipasi bagi masyarakat dari semua instasi terkait agar partisipasi masyarakat terarah dan efektif.

C. Pengaturan Mengenai Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

1. Istilah Perbuatan Pidana

Perbuatan Pidana adalah suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana harus memenuhi dua unsur, yakni (1) adanya unsur actus reus atau unsur esensial dari kejahatan dan means rea (mental element), yakni keadaan sikap batin. 81

Berkaitan dengan tindak pidana narkotika, bahwa dalam rumusan perbuatan pidana dalam undang-undang narkotika mengalami kesulitan untuk merumuskan pidana bagi para pengguna Lebih lanjut, Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa actus reus merupakan unsur suatu delik, sedangkan mens

rea termasuk pertanggungjawaban pembuat.

80Ibid, hal. 119.

(13)

narkotika, apabila diukur dari maksud melakukan perbuatan tersebut. Rumusan pidana menurut undang-undang narkotika telah jelas menetapkan bahwa barang siapa tanpa hak, memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika merupakan tindak pidana. Pengertian tanpa hak disini ialah tidak memenuhi ketentuan tentang suatu keharusan melakukan perbuatan tersebut.

Berkaitan dengan asas mens rea (pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya) dalam hubungannya dengan tindak pidana narkotika bahwa pengguna narkotika secara tidak sah, tetap dipandang bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukan. Sedangkan yang berkaitan dengan perbuatan melawan hukum, undang-undang narkotika secara normatif, telah menetapkan bahwa jenis perbuatan yang secara tegas dilarang oleh undang-undang tersebut. Hal ini dipertegas dengan rumusan bahwa tindak pidana di bidang narkotika adalah kejahatan. Percobaan atau bantuan untuk melakukan tindak pidana dianggap sebagai kejahatan.

2. Pengertian Tentang Narkotika dan Jenis-jenisnya

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sitensis maupun semi sitensis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.82

82Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Pasal 1

Narkotika merupakan zat atau obat yang sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan penyakit tertentu. Namun, jika disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan bagi perseorangan atau masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan lebih merugikan jika disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika yang dapat mengakibatkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.

(14)

Pengertian narkotika dalam UU No. 35 Tahun 2009 adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina mentah, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina. Bahan lain, baik alamiah, atau sitensis maupun semi sitensis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang ditetapkan Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang merugikan, dan campuran- campuran atau sediaan-sediaan yang mengandung garam-garam atau turunan-turunan dari morfina dan kokaina, atau bahan-bahan lain yang alamiah atau olahan yang ditetapkan menteri kesehatan sebagai narkotika.83

1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya antara lain: Kokain, Amphetamine, Ganja,Methamphetamine, Tanaman papaver somniverum, Opium Masak seperti Candu, jicing dan jicingko, Tanaman Koka, Daun Koka, Kokain Mentah, Kokaina, dan lainnya. Narkotika Golongan I ini ada 65 (enam puluh lima) macam.

Berdasarkan rumusan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa tanaman atau barang ditetapkan sebagai narkotika atau bukan setelah melalui uji klinis dan labotarium oleh Depertemen Kesehatan.Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika membagi narkotika menjadi tiga golongan, sesuai dengan Pasal 6 ayat 1:

2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/ atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.Contoh Narkotika Golongan II antara lain: Morfin, Metadone,Petidin, Alfasetilmetadol,

(15)

Alfametadol, Betamedtadol, Betaprodina, Dekstromoramida, Diapromida, Hidromorfinol, Isometadonia, Fenazosina, Fentatil, Hidromorfina, Fentanil, Klonitazena, dan lainnya. Narkotika Golongan II ini berjulumlah 86 (delapan puluh enam) macam.

3. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/ atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh Narkotika Golongan III antara lain: Buprenorfin,kodeina, Asetildihidrokodeina, polkodina, Etilmorfina, Nikokodina, Polkodina dekstromoramida, Diampromida, propiram dan lainnya. Termaksud Narkotika Golongan III ini ada 14 ( empat belas ) macam termaksud beberapa campuran lainnya.

Sistem hukum di Indonesia, penyalahgunaan narkotika dikualifikasi sebagai kejahatan di bidang narkotika yang diatur dalam UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika. “Khusus dalam masalah penyalahgunaan narkotika ketentuan-ketentuan hukum yang sudah ada belum dapat menjangkaunya, sebab ketentuan-ketentuan yang masih lama memiliki beberapa kelemahan, antara lain”:84

1. Tidak adanya keseragaman dalam pengertian narkotika.

2. Sanksi yang terlalu ringan dibanding dengan penyalahgunaan narkotika.

3. Ketidaktegasan dalam pemberantasan penjual, pemilik, pemakai, pengedardan penyimpanan narkotika.

4. Ketidakserasian antara ketentuan hukum pidana mengenai narkotika.

Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika disamping mengatur penggunaan narkotika,juga mengatur secara khusus ketentuan pidana sebagaimana yang diatur dalam Bab XV Pasal 111 sampai dengan Pasal 148 yang berjumlah 37 pasal. Semua tindak pidana yang diatur dalam undang-undang tersebut merupakan kejahatan, alasannya adalah bahwa narkotika dipergunakan untuk pengobatan dan kepentingan ilmu pengetahuan, maka apabila ada perbuatan

(16)

diluar kepentingan-kepentingan tersebut sudah merupakan kejahatan mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika secara tidak sah.

3. Pengaturan Peran Serta Masyarakat Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Selain memberikan kewenangan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam undang-undang ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika.85

Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 104 dan Pasal 54 Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menegaskan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperanserta membantu pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor Narkotika.86

Peran serta masyarakat ialah peran aktif masyarakat untuk mewujudkan upaya pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.87Hak masyarakat dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika diwujudkan dalam bentuk:88

a. mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

b. memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika kepada

85Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika pada Bab XIII pasal 104-108 86Ibid,.

87Siswantoro Sunanto, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 157. 88Ibid, pasal 106.

(17)

penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika;

c. menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika; d. memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada

penegak hukum atau BNN;

e. memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksanakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan:89

1. Aspek Model Moral Dennis L.Thombs. Aspek lebih kepada teori yang memandang penyebab terjerumusya seseorang menjadi pecandu karena terjadi degradasi moral,maka untuk penyembuhannya harus melalui tempatan yang disertai dengan penanaman nilai-nilai moral yang berlaku di masyarakat, antara lain dengan memberikan hukuman penjara.

2. Aspek pendekatan Disease Model (model Penyakit), menggap kecanduan sebagai penyakit adksi yang bersifat kronis, progresif, dan fatal, oleh karenanya penyembuhannya melalui terapi dan rehabilitasi medis. Menurut Dr. Elfrin Jellineck melalui penelitiannya telah mengembangkan dasar medis dari paradigm dan ruang lingkup efek penyakit bukan sekadar proses biokimia dalam diri pecandu, namun merambahi ke aspek spiritual sehinga penyembuhannya pun membutuhkan pendekatan spiritual.

3. Pengalaman empiric di berbagai pelososk negeri ini terhadap stigma pecandu telah mengakar kuat. Bahkan kini telah tumbuh menjadi gagasan dan keyakinan masyarakat yang telah menghubungkan pecandu Narkoba dengan perilaku jahat, telah berkembang lama dan mendunia menjadi pengalaman masyarakat dalam memperlakukana pecandu. Stigma ini pula yang membuat banyak pecandu yang menjadi korban, mengucilkan diri dan takut berobat ke fasilitas rehabilitasi.

4. Aspek kehidupan sosial. Peran serta masyarakat di bidang kehidupan sosial dalam mencegah peredaran gelap Narkoba perlu mencermati hal-hal yang berkaitan dengan gangguan penggunaan zat narkotika dan psikotropika. Masalah ini dapat menimbulkan berbagai problem sosial, antara lain; dalam upaya untuk mendapatkan zat karena dorongan yang begitu besar mereka akan berbuat “apa saja”, untuk mendapatkannya seperti; pemaksaan sampai pada tindak kekerasan atau pembunuhan; pencurian, perampokan; perampasan; jambret; menjual diri; korupsi; penggelapan uang perusahaan, dan lain-lain. Akibat perilaku di atas akan terjadi hubungan dengan anggota keluarga, teman, pasangan akan terganggu, misalnya: pertengkaran; keretakan dalam rumah tangga dan perceraian; diberhentikan dari

89 Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010),

(18)

pekerjaan, dikeluarkan dari sekolah, dan lain-lain. Dalam kondisi intoksikasi, dimana dijumpai tingkah laku yang maladaptif, kendala emosi terganggu, mudah tersinggung sehingga menimbulkan tindak kekerasan dan perilaku kriminal, seperti; pembunuhan, pemerkosaan, dapat juga terjadi kecelakaan lalu lintas yang tidak hanya membahayakan dirinya, tetepi juga tehadap lingkungannnya.

5. Dari aspek agama. Narkoba merupakan masalah nasional yang merupakan hal yang terjadi akibat kelakuan remaja yang ingin merasakan keenakan sesaat. Pada saat ini pemerintah bersama tokoh-tokoh agama dan kalangan masyarakat masih berusaha untuk menghilangkan kebiasaan buruk yang sering dilakukan oleh masyarakat khususnya oleh para remaja. Dalam masalah ini agama memberikan arahan tentang hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan oleh masyarakat karena menggunakan narkotika melawan hidup. Orang-orang yang menyalahgunakan obat-obatan hamper selalu diakibatkan oleh pelarian dari tanggungjawab yang sebenarnya dapat dihindari dan ia tidak memahami atau kehilangan makna dan nilai hidup.

6. Aspek pengurangan pemasukan BNN sebagai focal point dalam pemberantasan Narkoba membutuhkan peran serta aktif masyarakat termasuk dalam aspek pengawasan peredaran Narkoba. Permasalahan yang terus cenderung terjadi adalah bahwa dengan penutupan salah satu jalur pemasukan berakibat membuka jalur-jalur pemasukan yang lain. Demikian juga dengan menyingkirkan satu pemasok mengakibatkan sejumlah pemasukan lain muncul. Pengurangan permintaan dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan usia dini tentang bahaya Narkoba, sehingga tumbuh dan berkembangnya perilaku kebal terhadap Narkoba akan mengurangi permintaan, sehingga dari waktu ke waktu akan semakin berkurang terhadap permintaan Narkoba.

7. Aspek perubahan paradigma penanganan pecandu. Bahwa pergeseran paradigma masyarakat terhadap pecandu dari kriminalisasi menjadi humanis dan realistis telah terjadi seiring lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 telah mendorong terjadinya bagi perubahan dalam penanganan Narkoba terutama aspek pencegahan, pemberantasan dan penyalahgunaan. Lihat saja ancaman hukuman pelaku kejahatan narkotika kini jauh lebih keras penanganan korban lebih humanis, dan dalam aspek pencegahan yang melibatkan masyarakat. Lebih dari dua dasawarsa paradigm pecandu dikriminalisasi dan di-stigma negatif oleh masyarakat. Harapan terhadap paradigma baru adalah lahirnya cara pandang dan perlakuan terhadap pecandu bukan lagi kriminal, namun korban yang harus ditolong guna penyembuhannya. Paradigma ini menjadi lebih humanis dalam memperlakukan penyalahguna Narkoba. Kini pecandu mulai menghadapi respon dan dukungan kondusif lingkungan bukan penolakan.

8. Aspek stigma (stempel negative) untuk pecandu ditengah masyarakat. Kondisi pandangan masyarakat terhadap stigma pecandu Narkoba. (1). Pandangan masyarakat terhadap pelaku kejahatan pada umumnya sinis, dan skeptic. Misalnya saja terhadap residivis, eks tahanan politik, termasuk pecandu Narkoba. Pengalaman empirik menegaskan bahwa pecandu Narkoba merupakan korban yang diberikan stigma sebagai kriminal. Simak saja perundang-undangan yang berlaku kebanyakan menjatuhkan hukuman didalam penjara kepada pecandu. (2). Masih rendahnya kepedulian terhadap pecandu. Pengalaman yang berkembang di masyarakat, pada umunya menutup diri untuk bergaul dengan pecandu meskipun mereka telah sembuh dan bertobat. (3). Stigma pecandu sebagai biang kerok terjadinya kriminalitas. Pecandu selama ini hanya mendapatkan stigma hingga sebagian menggangap sebagi samapah masyarakat yang harus disingkirkan, dipenjara atau bila perlu dihapuskan dari makhluk bumi ini. (4). Pecandu belum sepenuhnya mendapatkan ruang pemulihan pecandu yang memadai. Kurang lebih 30 s/d 40% penjara di seluruh Indonesia kebanyakan kasus

(19)

Narkoba dan tidak tertutup kemungkinan angka ini akan terus meningkat jika pemerintah, aparat dan pihak-phak terkait tidak segera menanggapi, memutuskan dan merealisasikan tindakan langkah preventif disertai tindakan nyata untuk pemulihan si pecandu. (5). Perlakuan yang diskriminatif. Sebagai kaum minoritas (minority society), pecandu sangat rentan akan pelanggaran hak asasi manusia. (6). Stigma negatif terus berkembang. Pecandu Narkoba, sekeras apa pun dia berusaha, tidak bisa sepenuhnya sembuh. Mereka selalu identik dengan kekerasan, bertingkah seenaknya, menggangu orang lain, dan merusak. Bahkan dianggap sebagai sampah masyarakat. Stigma negative itu yang akhirnya kembali membuat mantan pecandu Narkoba kembali terpuruk. Mereka kembali terbenam dalam gelimangan Narkoba.

4. Peran Serta Masyarakat dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Badan Narkotika Nasional.

Peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika juga terdapat dalam Peraturan Presiden No. 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional Pasal 49: dalam rangka memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk berperan serta dan membantu pelaksanaan P4GN, BNN dapat memfasilitasi dan mengkoordinasikan pembentukan wadah peran serta masyarakat.90

Pasal 50 menyebutkan: wadah peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.91

Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu kekuatan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang. Pada Bab II tentang Peran Serta Masyarakat Pasal 2 disebutkan:92

(1) Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk:

a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana Narkotika dan Prekusor Narkotika; dan

90 Direktorat Hukum, Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, Himpunan

Perundang-Undangan Republik Indonesia, (Jakarta, BNN RI, 2011), hal.261.

91Ibid,. 92hal.384.

(20)

b. Melaporkan bila mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika.

(2) Selain bentuk peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga diwujudkan dalam bentuk:

a. Mencari, memperoleh, memberikan informasi dan melaporkan adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap Psikotropika, Prekusor, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol; dan

b. Desiminasi informasi, advokasi, pemberdayaan alternatif, dan penjangkauan penyalahgunaan dan/atau pecandu Narkotika, Psikotropika, dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan untuk tembakau dan alkohol.

Wadah peran serta masyarakat diatur dalam peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No 6 Tahun 2012, pada Bab III Pasal 3 yang menyebutkan:93

(1) Wadah peran serta masyarakat dapat berupa forum koordinasi, pusat pelaporan dan informasi, serta wadah lainnya sesuai kebutuhan.

(2) Keanggotaan wadah peran serta masyarakat berasal dari Organisasi Non Pemerintahaan atau Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki visi dan misi di bidang pencegahan dan peredaran gelap Narkotika, Psikotropika, Prekursor, dan bahan adiktif lainnya. ( P4GN)

Pasal 4

(1) Badan Narkotika Nasional (BNN) memfasilitasi dan mengkoordinasikan penentuan bentuk dan susunan organisasi, rincian tat kerja, penunjukan pemimpin, pengurus, dan keanggotaan wadah peran serta masyarakat.

(2) Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pada tingkat pusat dilakukan oleh Deputi Pemberdayaan Masyarakat.

(3) Pada tingkat Provinsi dilakukan oleh Kepala BNN Provinsi dan pada tingkat Kabupaten/kota dilakukan oleh Kepala BNN Kabupaten/kota.

Peran serta masyarakat dan dinaungi oleh suatu wadah yang difasilitasi oleh BNN RI akan semakin memperkuat keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika. Pada konsepnya semua aturan yang ada sebagai pendukung tindakan masyarakat untuk menjalankan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredan gelap narkotika.

(21)

5. Peran Serta Masyarakat dalam Inpres No. 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011 – 2015

Pencapaian “Indonesia bebas Narkoba”, diperlukan Kebijakan dan Strategi nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Penyalahgunaan Dan Peredaran Gelap Narkoba (Jakstranas P4GN) sebagai bentuk komitmen bersama seluruh komponen masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, maka presiden menginstruksikan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas dan kewenangan masing-masing instansi terkait dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN tahun 2011 – 2015.94

1. Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II;

A. Subjek / Pelaksana:

2. Sekretaris Kabinet;

3. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 4. Jaksa Agung;

5. Panglima Tentara Nasional Indonesia;

6. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal;

7. Para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian; 8. Para Gubernur; dan

9. Para Bupati/Walikota,

94 Inpres RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan

(22)

B. Objek Kebijakan P4GN:

Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, dalam rangka pelaksanaan Jakstranas P4GN 2011-2015, yang meliputi bidang :95

1. Pencegahan;

2. Pemberdayaan Masyarakat; 3. Rehabilitasi; dan

4. Pemberantasan.

C. Fokus Bidang Pencegahan adalah sebagai berikut:

1. Bidang Pencegahan, memfokuskan pada:

a. Upaya menjadikan siswa/pelajar pendidikan menengah dan mahasiswa memiliki pola pikir, sikap, dan terampil menolak penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba; b. Upaya menjadikan para pekerja memiliki pola pikir, sikap dan terampil menolak

penyalahguna dan peredaran gelap Narkoba. 2. Bidang Pemberdayaan Masyarakat, memfokuskan pada:

a. Upaya menciptakan lingkungan pendidikan menengah dan Kampus bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba terutama ganja, shabu, ekstasi, dan heroin;

b. Upaya menciptakan lingkungan kerja bebas dari penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkoba;

c. Upaya penyadaran dengan pemberdayaan masyarakat di daerah-daerah yang secara sosiologis dan ekonomis melakukan penanaman ganja.

3. Bidang Rehabilitasi memfokuskan pada:

a. Upaya mengintensifkan wajib lapor pecandu narkotika;

95 Inpres RI No. 12 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan

(23)

b. Upayamemberikan pelayanan rehabilitasi sosial kepada penyalahguna, korban penyalahgunaan dan pecandu Narkoba.

c. Upaya pembangunan kapasitas lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi secara sosial secara prioritas berdasarkan kerawanan daerah penyalahguna Narkoba;

d. Upaya pembinaan lanjut kepada mantan penyalahguna, korban penyalahgunaan, dan pecandu Narkoba.

4. Bidang pemberantasan, memfokuskan pada:

a. Upaya pengawasan ketat terhadap impor, produksi, distribusi, penggunaan (end user) ekspor, dan re-ekspor bahan kimia prekusor dan penegakan hukum terhadap jaringan tersangka yang melakukan penyimpangan;

b. Upaya pengungkapan pabrikan gelap Narkoba dan/ atau laboratorium rumahan dan jaringan sindikat yang terlibat;

c. Upaya pengungkapan tindak pidana pencucian uang yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika secara tegas dan keras sesuai peraturan perundang-undangan;

d. Upaya penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, dan peradilan jaringan sindikat Narkoba baik dalam maupun luar negeri secara sinergi.

Dengan adanya Inpres No. 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Tahun 2011-2015 diharapkan upaya masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dapat terlaksana dengan baik dan didukung oleh berbagai pihak terkait.

(24)

D. Peran Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Dalam Pemberdayaan Masyarakat untuk Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

1. Sejarah Singkat Badan Narkotika Nasional

Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai Tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelligen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu, penanggulangan penyalahgunaan Narkoba, penanggulangan penyeludupan, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing.

Berdasarkan Inpres tersebut Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya Narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain, yang berada di bawah komando dan bertanggungjawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari APBN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.

Pada masa itu, permasalahan Narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah Orde Baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan Narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan agamais. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya Narkoba, sehingga pada saat permasalahan Narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan Tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak Tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya Narkoba.

(25)

Menghadapi permasalahan Narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-Undang tersebut, pemerintah (Presiden Abdurrahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan Narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.

BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai Tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal.

BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk mengahadapi ancaman bahaya Narkoba yang makin serius. Oleh karenanya berdasarkan Kepustusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengkoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi; 1). mengoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan Narkoba; dan 2). mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan Narkoba.

Mulai Tahun 2003 BNN baru mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memiliki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja

(26)

optimal dan tidak mampu menghadapi permasalahan Narkoba yang terus meningkat dan makin serius.

Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan anggota BNN terkait dalam satuan tugas, BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota, dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan srtuktural-vertikal dengan BNN.

Merespon perkembangan permasalahan Narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah

merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Oleh karena itu, Pemerintah dan DPR-RI mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika.

Berdasarkan undang-undang tersebut, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke provinsi dan Kabupaten/Kota. Di provinsi dibentuk BNN Provinsi dan di Kabupaten/Kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh seorang Sekretaris Utama, Inspektur Utama, dan 5 (lima) Deputi yaitu Deputi Pencegahan, Deputi

(27)

Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.

2.Pemberdayaan Masyarakat Dalam Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan BNN

Dalam pemberdayaan masyarakat melingkupi tujuan dengan sasaran sebagaimana diuraikan di bawah ini. Terciptanya lingkungan yang sehat yang meliputi:96

a. Lingkungan pendidikan yang bersih dari Narkoba. Selain upaya mewujudkan lingkungan pendidikan yang bersih dari Narkoba maka terjadinya proses pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui pendidikan sejak usia dini hingga jenjang perguruan tinggi sehingga menghasilkan perilaku imun terhadap Narkoba. Dengan kondisi masyarakat yang imun tersebut maka dapat dijadikan ukuran keberhasilan pemberdayaan masyarakat.

b. Lingkungan kerja dan mayarakat yang rentan/beresiko tinggi terbebas dari Narkoba. Lingkungan kerja yang sehat dan bebas dari penyalahgunaan anrkoba sangat berdampak positif dalam mendukung produktivitas kerja. Perlu memberdayakan mereka melalui berbagai pendekatan yang bertumpu pada penyadaran pentingnya pemberdayaan masyarkat sehingga masyarakat sehingga masyarakat tersebut memiliki daya tanggal yang tinggi.

c. Lingkungan keluarga yang harmonis dan bebas dari Narkoba. Keluarga yag utuh dan kuat akan menjadi penyangga bangsa yang kuat dalam mencegah bahaya Narkoba. Mewujudkan lingkungan keluarga yang bebas Narkoba sangan membutuhkan peran serta yang aktif berbagai instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat, bangsa dan Negara secara konsisten.

d. Pemberdayaan alternative. Menurunnya lahan ganja dan petani ganja di Nangroe Aceh Darussalam melalui program pengembangan alternatif, terjadinya perubahan kesadaran masyarakat di pemukiman tertentu seperti Kampong permata yang saat ini dilakukan program pembangunan komunitas yang bersih dari Narkoba.

e. Meningkatnya efektifitas pembangunan komunitas (community development) di berbagai tempat yang menjadi sasaran program pemberdayaan komunitas agar mampu menanggulangi bahaya Narkoba.

Pemberdayaan masyarakat sangat penting dalam bidang penanggulangan tindak pidana narkotika. Masyarakat turut bertanggung jawab untuk mewaspadai dan menghindari faktor-faktor yang dapt menjadi penyebab dan pencetus tindak pidana narkotikadi lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat yang diwujudkan dengan peran serta masyarakat dilaksanakan dalam bentuk:97

96 Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010),

hal. 35.

97Badan Narkotika Nasional RI, Buku P4GN Bidang Pemberdayaan Masyarakat, (Jakarta: BNN RI, 2010), hal.

(28)

1. Memahami masalah penyalahgunaan narkotika, upaya pencegahan dan penanggulangannya di masyarakat.

2. Mengadakan pengamatan situasi dan kondisi lingkungan di wilayahnya.

3. Menggalang potensi masyarakat untuk dapat membantu pelaksanaan penanggulangannya di lingkungannya.

4. Mendorong, mengarahkan dan mengendalaikan gerakan masyarakat untuk peduli pada upaya penanggulangan tindak pidana narkotika di lingkungannya, melalui beberapa pendekatan:

a. Pendekatan agama, mereka yang belum terkontaminasi narkotika senantiasa ditanamkan ajaran agama yang mereka anut, agar tidak terlibat dengan tindak pidana narkotika.

b. Pendekatan psikologis, bagi mereka yang belum terlibat tindak pidana narkotika ilegal diberikan nasihat dari hati ke hati oleh orang-orang yang dekat dengannya, sesuai dengan karakter kepribadian mereka.

c. Pendekatan sosial, melalui pendeklatan ini disadarkan bahwa mereka merupakan bagian penting dalam keluarga dan lingkungannya untuk ikut menanggulangi tindak pidana narkotika.

3. Peran BNN dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Peran Badan NarkotikaNasionaljikadikaitkan dengan pencegahan tindak pidananarkotikaadalah suatu realitasyang tidakmungkin dilepaskan,sesuai dengan Pasal 2,Peraturan Presiden Nomor 23Tahun 2010 tentangBadan Narkotika Nasional, adalah sebagaiberikut:98

a) Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika:

b) Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

(29)

c) Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; d) Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu

narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;

e) Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

f) Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; g) Melakukan kerjasama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional,

guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;

h) Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika;

i) Melaksanakan adminstrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.

j) Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Peran Badan Narkotika Nasional dalam setiap bentuk kegiatan ini nantinya akan menekan tingginya tingkat kejahatan yang terjadi, karena setiap kejahatan merupakan tindakan yang sangat merugikan bagi semua orang. Untuk itu dibutuhkan keseriusan dalam menangani setiap bentuk kejahatan yang berlaku. Pelaku kejahatan yang berlaku. Pelaku kejahatan harus merasakan dampak yang ditimbulkan atas perbuatannya, maka untuk itu setiap perbuatan yang melawan hukum harus dikenai sanksi yang tegas.

(30)

E. Peran Serta PIMANSU Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika 1. Gambaran umum PIMANSU

a. Latar Belakang Pendirian

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba yang dilarang agama dan undang-undang sudah lama melanda Indonesia, khususnya Sumatera Utara. Jutaan korban penyalahgunaan narkoba berjatuhan diakibatkan kurangnya informasi yang diterima mereka tentang bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

Keadaan ini mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat dengan cara mensosialisasikan permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelapnya. Maka Pemerintah Provinsi

Sumatera Utara bekerjasama dengan GAN Indonesia mendirikan sebuah lembaga dengan nama

Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang disingkatdengan PIMANSU.99

99Profile Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU) Tahun 2009.

Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara yang disingkat dengan PIMANSU diresmikan tanggal 26 Mei 2000 oleh Gubernur Sumatera Utara H. T. Rizal Nurdin. Selain Gubernur, acara peresmian tersebut juga dihadiri oleh muspida dan kepala daerah tingkat II dan kota se-Sumatera Utara.

Berdirinya lembaga tersebut dilatari oleh suatu pemikiran bahwa narkoba semakin hari menunjukkan peningkatan peredaran dan penyalahgunaannya. Kondisi tersebut tentu sangat berbahaya, karena, dan ini yang terutama,ancamannya langsung ke jantung masyarakat dan bangsa, yaitu generasi muda.Bisa dipastikan, jika tidak ada upaya-upaya pre-emtif, preventif, represif, dan rehabilitasi, sangat mungkin ke masa depan bangsa yang bernama Indonesia hanyalah sebuah kenangan di dalam buku-buku sejarah. Ibarat manusia, ia telah kehilangan jati dirinya.

(31)

Fakta lain, masyarakat belum memiliki informasi dan pengetahuan yang memadai tentang masalah tersebut. Orang tua misalnya kerap tidak mengetahui bahwa anaknya sudah terjangkit penyalahgunaan narkoba. Para remaja, kurang mengetahui bahayanya. Di atas semua itu, masyarakat umumnya belum memiliki informasi dan kesadaran betapa dasyatnya bahaya

narkoba.Orang tua pun sering tanpa sadar, malah sebagaimana dalam kesadaran, melestarikan pola hidup berkeluarga yang rentan terhadap pengaruh lingkungan dan penyalahgunaan narkoba. Misalnya, hilangnya budaya makan bersama, tidak mau mengunjungi sanak keluarga secara bersama-sama, dan gersangnya kehidupan beragama.

Kondisi seperti itu memungkinkan kita menarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat memerlukan informasi yang benar tentang berbagai hal mengenai narkoba. Sungguh malang nasib yang dialami seseorang ketika ia terlambat mengetahui bahaya penyalahgunaan narkoba. Terhadap kondisi yang demikian, kita tidak ingin terjadi.Demi memenuhi sebagian dari kekurangan informasi masyarakat itulah PIMANSU hadir.

b. VISI

Terwujudnya kesadaran masyarakat untuk tidak menyalahgunakan dan mengedarkan narkoba secara gelap dan PIMANSU menjadi pusat informasi, laboratorium penelitian, lembaga pendidikan dan penerbitan, dan pusat data khususnya bidang permasalahan narkoba yang dapat diakses seluruh masyarakat.

c. MISI

Kami memahami misi sama dengan tugas yang diemban sebagai bagian dari proses kerja keras demi pelayanan terbaik bagi siapa saja yang memerlukan. Karenanya, masuk di dalamnya tujuan PIMANSU. Walaupun mungkin saja tampak sangat ideal, tidak berarti kami tidak menseriusinya. Kami juga ingin mengatakan bahwa semua penting, kendatipun tidak diurutkan di nomor pertama.

(32)

1. Membangun dan menyediakan format data base tentang permasalahan narkoba.

2. Menyediakan konsultasi tentang upaya-upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba pre-emtif, preventif, dan rehabilitasi.

3. Melaksanakan kegiatan-kegiatan pencegahan baik yang berbasis sekolah, masyarakat, media dan tempat kerja.

4. Melakukan kontrol dan pengawasan terhadap proses peradilan kriminal narkoba

5. Membangun jaringan dengan lembaga-lembaga yang bergerak dibidang penanggulangan permasalahan narkoba baik ditingkat lokal, nasional dan internasional.

6. Membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta baik ditingkat lokal, nasional dan internasional.

d. PROGRAM KEGIATAN

Program PIMANSU anatara lain adalah :100

1. Melaksanakan tindakan-tindakan pencegahan bagi yang belum terkontaminasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Program pencegahan ini meliputi:

A. Pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba berbasis sekolah.

1) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bagi guru-guru bimbingan dan konseling.

2) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan peer consellor bidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bagi siswa sekolah.

3) Melaksanakan penyuluhan secara klasikal bagi siswa sekolah tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

4) Melaksanakan outdoor education tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

(33)

5) Melaksanakan penyuluhan anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bagi orang tua siswa.

6) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bagi guru-guru bidang studi tertentu.

B. Pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba berbasis masyarakat.

1) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan Parenting Skill On Drugs Abuse

Prevention bagi orangtua khususnya ibu rumah tangga.

2) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan peer educator bagi pemuda dan remaja bidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

3) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan sosial worker bidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

4) Melaksanakan pelatihan motivator bagi pengurus organisasi bidang penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

5) Melaksanakan penyuluhan bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bagi kelompok-kelompok masyarakat.

C. Pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba berbasis media.

1) Menerbitkan brosur-brosur, leaflet, poster, sticker, buletin, modul pelatihan, dan buku.

2) Melakukan kampanye anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba melalui media cetak dan elektronik.

3) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi wartawan khusus kriminal narkoba. 4) Membuat press release tentang isu-isu penting seputar penyalahgunaan dan

(34)

5) Melaksanakan press conference menyikapi masalah-masalah urgen tentang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

D. Pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba berbasis tempat kerja. 1) Melaksanakan kampanye anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba bagi

karyawan perusahaan.

2) Melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi pengurus K3 perusahaan bidang penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

3) Memotivasi pelaku perusahaan baik milik pemerintah maupun swasta supaya terlibat baik langsung maupun tidak langsung dalam mengkampanyekan anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

4) Membangun kerjasama dengan perusahaan dalam melaksanakan kegiatan pencegahan.

2. Menyediakan Informasi Tentang Hal-hal Yang Berkaitan Dengan Narkoba

Untuk merealisasikan program ini, PIMANSU menyediakan data base mengenai kasus-kasus yang berkaitan dengan permasalahan narkoba yang sedang bekembang dan informasi mengenai keberadaan organisasi maupun LSM lain yang begerak dibidang penanggulangan permasalahan narkoba dan rehabilitasi baik yang ada di Sumatera Utara khususnya dan Indonesia umumnya. PIMANSU juga melaksanakan konseling gratis bagi masyarakat dalam rangka menyelamatkan keluarga dari bahaya penyalahgunaan narkoba.

3. Drugs Judicial Watch.

a. Menyurati pihak-pihak terkait kalau PIMANSU memperoleh informasi adanya proses peradilan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

(35)

b. Menyurati pihak-pihak terkait kalau PIMANSU memperoleh informasi dari masyarakat tentang peredaran gelap narkoba.

c. Menyurati pihak-pihak terkait kalau PIMANSU memperoleh informasi tentang adanya aparat penegak hukum dan pelaksana pemerintah yang terlibat penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

d. Melakukan advokasi terhadap korban penyalahguna narkoba beserta keluarganya. e. Melakukan kerja sama dengan aparat penegak hukum yang meliputi: kepolisian,

kejaksaan, pengadilan, lembaga pemasyarakatan dan pengacara.

f. Melakukan kerjasama dengan media dan wartawannya untuk selalu melakukan kontrol terhadap kasus-kasus narkoba mulai dari tingkat penyidikan sampai kepada penjatuhan vonis dan menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan.

4. Strategi Pencapaian Program

Strategi yang dibangun PIMANSU untuk mencapai tujuan-tujuannya adalah:

a. Pengembangan Jaringan Kerja (Networking). Hal ini dilakukan sebagai upaya peningkatkan pembentukan jaringan kerja yang melibatkan seluruh unsur masyarakat yang bermuara pada pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba.

b. Pemberdayaan lembaga dan kelompok masyarakat yang sudah ada. c. Proaktif dalam melaksanakan aktivitas yang sudah diprogram.

d. Menerapkan open management tanpa mengesampingkan adanya kode etik lembaga. e. Menerapkan two ways communication dalam melakukan komunikasi dengan

(36)

2. Peranan PIMANSUdalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika A. Strategi Kebijakan

PIMANSU yang didirikan tanggal 26 Mei 2000 pada mulanya memfokuskan kegiatan pada upaya-upaya preventif dalam bentuk penyuluhan. PIMANSU datang menjemput bola. Secara rutin, PIMANSU menyurati berbagai lembaga dalam rangka memperkenalkan PIMANSU sekaligus memohon waktu dan kesempatan untuk memberikan ceramah bahaya narkoba.

Tahun kedua (2001), PIMANSU tetap melakukan agenda tahun 2000. Selain itu, PIMANSU juga melakukan publikasi lewat media cetak, elektronik dan penerbitan. Intinya, PIMANSU ingin membuka wawasan bersama di tengah-tengah masyarakat tentang bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, termasuk agenda aksi.

Tahun 2002, berdasarkan evaluasi tahun 2001, PIMANSU menilai bahwa tahap sosialisasi sudah cukup memadai sambil terus ditingkatkan. Oleh karena itu, tahun 2002, PIMANSU memfokuskan kegiatan pada program 2001 ditambah dengan upaya pelibatan partisipasi masyarakat secara langsung. Karena itu, tahun 2002, PIMANSU banyak bekerjasama dengan pihak-pihak lain peduli tentang narkoba. Sebagian diantaranya tawaran kerjasama yang diajukan ke PIMANSU.

Pada tahun 2003 peranan PIMANSU semakin nyata bahkan keterlibatannya di dunia internasional sudah tampak. Partisipasi masyarakat pun sudah sangat baik. Tinggal memelihara dan meningkatkannya terus sehingga tercapai hasil yang maksimal.

Pada tahun 2004 dan 2005 partisipasi itu juga semakin meluas dan menguat. Demikian juga yang terjadi pada tahun 2008 selanjutnya setiap tahun terus terjadi peningkatan hingga tahun 2009 sampai tahun 2012 ini. PIMANSU menjadi Pusat Pendidikan dan Penelitian tentang Pencegahan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba ( P4GN ). 101

(37)

Partispasi masyarakat juga semakin kuat dan sudah memiliki kesadaran sendiri untuk membebaskan wilayahnya dari kejahatan narkoba. Namun itu belum lah cukup, masih perlu upaya yang lebih terorganisir.

Sebagai upaya nyata pemberdayaan elemen-elemen masyarakat, maka PIMANSU juga melakukan pelatihan, khususnya kepada para tenaga pendidik dan remaja. Hasilnya cukup baik untuk menumbuhkan minat yang tinggi dari masyarakat untuk ambil bagian menanggulangi permasalahan narkoba, secara garis besar, kegiatan PIMANSU difokuskan pada:102

NO

Tabel 1. Data Kegiatan PIMANSU Tahun 2012

KEGIATAN

1. Sosialisasi informasi bahaya narkoba kepada seluruh lapisan masyarakat

2. Lembaga informasi dan kosultasi

3. Rujukan peneilitian tentang narkoba bagi para peneliti dan akademisi

4. Mitra kerjasama lembaga-lembaga peduli narkoba Sumber: Laporan Aktivitas PIMANSU Tahun 2012

Tabel 1 menunjukkan peran serta yang dilakukan PIMANSU dalam rangka penanggulangan tindak Pidana Narkotika di Indonesia khususnya Sumatera Utara melalui berbagai kegiatan. Semua kegiatan tersebut sudah dilakukan semenjak berdirinya PIMANSU tahun 2000 hingga sekarang tahun 2012.

(38)

B. Pola Kerjasama

Mengurangi apalagi memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba mutlak diperlukan kerjasama yang sinergis antar berbagai pihak. Partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang sangat penting, untuk itulah PIMANSU selain mengadakan kegiatan mandiri juga menganggap sangat penting untuk mendorong partisipasi itu.

Selama tahun 2000 hingga 2012 ini PIMANSU melakukan kerjasama dengan cara:103

a. PIMANSU mengelola dan melakukan kegiatan secara mandiri, misalnya pelatihan untuk guru-guru di sekolah.

b. PIMANSU bekerjasama dengan lembaga lain mengelola kegiatan, fasilitas dari lembaga lain, sedangkan pengelola dari PIMANSU, seperti acara di radio.

c. PIMANSU berpartisipasi mengelola kegiatan di lembaga lain.

d. PIMANSU memfasilitasi kegiatan yang dilakukan oleh lembaga lain

C. Manfaat yang Dirasakan Masyarakat

Respon masyarakat terhadap kehadiran PIMANSU hingga tahun 2012 cukup baik, terbukti dari banyaknya kegiatan yang bisa dilakukan maupun permohonan kerjasama dari berbagai lapisan masyarakat. Selama tahun 2012 tercatat sebanyak 142 kali kegiatan. Sedangkan jumlah orang yang mendapatkan penyuluhan sebanyak 8881 orang.

Ada manfaat langsung yang dirasakan masyarakat juga bisa diketahui daridaftar kunjungan tamu yang datang ke PIMANSU. Mulai dari yang meminta informasi, kerjasama, mohon pembicara, penelitian dan konsultasi.

Berbagai kegiatan yang dilaksanakan PIMANSU bekerjasama dengan GAN Indonesia dan lembaga lain selama Januari hingga Agustus tahun 2012 bisa dituliskan sebagai berikut:104

Gambar

Tabel 1. Data Kegiatan PIMANSU Tahun 2012  KEGIATAN

Referensi

Dokumen terkait

Fokus dalam penelitian ini adalah stres yang dimiliki oleh anak Pra TK (3-4 tahun) yang mengikuti les calistung (membaca, menulis, dan berhitung). dana anak yang tidak

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori dan hasil penelitian terdahulu diatas bahwa, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat depresi dengan kualitas

Hasil penelitian dapat disimpul- kan sebagai berikut: tngkat pendidikan remaja yang marriage diusia muda mayoritas berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah, tingkat pendidikan orang

Pada proses pembentukan ULS scan tree di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk tiap sel yang baru muncul terdapat tiga kemungkinan, yaitu membentuk suatu pulau baru, terdapat

Perlakuan ketiga penambahan dedak padi sebesar 16,72% dan SKN sebesar 2,89% meningkatkan nilai DBK dan DBO sebesar 18,39 dan 16,96% dibandingkan perlakuan kedua dan

Sebelum praktikan melaksanakan mengajar terbimbing, praktikan terlebih dahulu melakukan bimbingan dengan guru pamong dan guru kelas untuk berkonsultasi tentang materi

ditunjukkan dari ibu-ibu yang sedang membatik, belum jadi pun menunjukkan keindahan harmoninya. Dalam scene ini, Laudya sebagai brand ambassador yang

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan yang berasal dari kulit udang yang berbentuk tepung berupa butiran berwarna putih kekuning-kuningan. Sampel