• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS CANGKANG KELAPA SAWIT SEBAGAI BIOPESTISIDA ANTIFEEDANT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI ASAP CAIR HASIL PIROLISIS CANGKANG KELAPA SAWIT SEBAGAI BIOPESTISIDA ANTIFEEDANT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Ibnu Khaldun dan Abdul Gani Haji

Program Studi Kimia FKIP Universitas Syiah Kuala Darussalam, Banda Aceh

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Study on the potential of liquid smoke from palm kernel shells pyrolyzed as a biopesticide against larvae of Plutella xylostella Linn as an antifeedant has been conducted in a laboratory scale. Palm kernel shells derived from the waste of palm oil mill at Tanjong Seumentok Karang Baru, Aceh Tamiang, Aceh Province pyrolyzed in furnace International brand Breansted with electric reactor at a temperature of 500oC. The main product of pyrolysis obtained in the form of charcoal and liquid smoke as a byproduct. Liquid smoke is determined its rendement, then fractionated with n-hexane, ethyl acetate, and methanol. Furthermore, the fractionation concentrated by rotary evaporator to obtain crude. Crude was dissolved in a solvent mixture of acetone-water (1:10) and prepared solutions with a concentration of 0.00, 0.25, 0.50, 1.00%, respectively. Then the solution was tested its activity against larvae of Plutella xylostella Linn antifeedant method. Results show that the yield of pyrolysis of palm shell liquid smoke is 52.64%. Liquid smoke produced blackish brown, smelly, and has a high viscosity. The crude concentration of fraction of n-hexane, ethyl acetate, and methanol are respectively 0.40, 8.20, and 1.67 g. Activity test samples of liquid smoke to fraction n-hexane, ethyl acetate, and methanol are showed that percentage of the highest antifeedant activity reach at a concentration of 1.00%, respectively extract 53.70, 52.88, 53.28, and 57.04%. Based on the results of probit analysis of these fractions, the methanol fraction has potential as biopesticide antifeedant which EI50 values obtained by 67.39709.

Keywords: Palm Kernel Shells, Liquid Smoke, Biopesticide, Plutella Xylostella Linn

PENDAHULUAN

Kelapa sawit merupakan salah satu tanaman andalan Indonesia yang mempunyai peranan penting bagi subsektor perkebunan. Menurut Prasetyani dan Miranti (2010), saat ini, Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar kedua di dunia setelah Malaysia dengan total produksi rata-rata 9,9 juta ton per tahun sejak tahun 2003. Pasca tsunami, pemerintah daerah Aceh merencanakan perluasan dan investasi untuk sektor kelapa sawit. Sejalan dengan

(2)

perluasan areal perkebunan kelapa sawit di daerah ini, produksinya juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkembangan ini tentu akan memberi kontribusi positif terhadap peningkatan perekonomian di Provinsi Aceh.

Di pihak lain, peningkatan produksi kelapa sawit akan menyebabkan peningkatan volume limbahnya, baik berupa limbah padat maupun limbah cair. Menurut Fauzi (2004), limbah kelapa sawit adalah sisa-sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dalam produk utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan kelapa sawit. Limbah padat kelapa sawit dapat berupa tandan kosong, cangkang, janjang, dan fiber (sabut). Tandan kosong adalah rangka antarbuah, sedangkan cangkang adalah kulit buah. Diantara cangkang terdapat serabut yang disebut fiber (Musnamar, 2003). Limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan kelapa sawit antara lain janjang kosong, limbah cair, limbah solid (padatan) dan cangkang (Pardamean, 2008). Umumnya limbah padat industri kelapa sawit mengandung bahan organik tinggi sehingga berpotensi mencemari lingkungan. Menurut Marpaung (2009) sebuah pabrik kelapa sawit dengan kapasitas 100 ribu ton tandan buah segar per tahun akan dihasilkan sekitar 6 ribu ton cangkang, 12 ribu ton serabut dan 23 ribu ton tandan buah kosong.

Menurut Hashim (1994), limbah padat kelapa sawit terdiri atas hemiselulosa (pentosan) 24%, selulosa (heksosan) 40%, lignin 21%, abu serta komponen lain sebanyak 15%, sedangkan menurut Khor dkk. (2009), pada limbah padat kelapa sawit mengandung hemiselulosa 33,52%, selulosa 38,52%, lignin 20,36%, zat ekstraktif 3,68% dan abu sebesar 3,92%. Berdasarkan komponen kimia tersebut, penumpukan dan pembakaran bukan merupakan metode yang tepat dan efektif untuk menangani permasalahan limbah padat kelapa sawit. Penanganan limbah tersebut secara tidak tepat akan mencemari lingkungan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengolah dan meningkatkan nilai ekonomi limbah padat kelapa sawit. Saat ini, sebagian limbah janjang dan tandan telah dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak dan kompos. Menurut Pardamean (2008) sumber energi boiler dapat dihasilkan dari serat janjang dan cangkang kelapa sawit. Selanjutnya, Nurhayati dkk., (2005) menyatakan bahwa cangkang kelapa sawit merupakan limbah dari industri CPO (crude palm oil) yang dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku arang dan diharapkan dapat menggantikan bahan baku kayu. Hal ini didasarkan atas kandungan komponen kimia dan energi relatif sama antara kayu dan tempurung kelapa sawit yaitu selulosa, hemiselulosa, lignin dan nilai kalor. Cangkang dan serat kelapa sawit memiliki potensi sebagai biomassa. Melalui proses gasifikasi, cangkang dan serat kelapa sawit digunakan sebagai bahan bakar (Sanusi, 2008). Kemudian Prihandana dan Hendroko (2008) menyatakan bahwa limbah padat kelapa sawit, khususnya tandan kosong dan cangkang, memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi briket arang. Walaupun demikian hingga saat ini, pemanfaatan cangkang belum digunakan secara maksimal. Hanya sebagian saja yang baru dimanfaatkan untuk menimbun jalan yang becek. Salah satu penyebabnya, karena limbah jenis ini sangat sukar terdekomposisi secara alami.

(3)

Salah satu teknologi alternatif yang diupayakan dapat menjadi solusi bagi penanganan permasalahan limbah padat kelapa sawit ialah dengan teknik pirolisis. Pirolisis didefinisikan sebagai proses pemanasan yang mendegradasi biomassa menjadi arang, tar dan gas. Proses ini terjadi tanpa kehadiran oksigen (Demirbas, 2005). Metode pirolisis merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh asap cair. Arang adalah produk utama yang dihasilkan dari proses pirolisis limbah padat kelapa sawit, sedangkan asap cair adalah produk sampingannya. Bridgwater (2004) menyatakan bahwa pirolisis merupakan dekomposisi oleh panas tanpa menggunakan oksigen. Proses ini diawali oleh pembakaran dan gasifikasi, yang diikuti oksidasi total atau parsial dari produk utama. Teknologi ini memiliki banyak kelebihan, terutama dapat diperoleh produk utama berupa arang yang dapat dikembangkan menjadi beberapa produk yang bernilai ekonomi. Di samping itu, juga diperoleh produk sampingan berupa asap cair, yang saat ini mulai populer digunakan sebagai bahan pengawet untuk berbagai produk pangan dan biopestisida untuk meningkatkan produksi pertanian. Dengan demikian produk yang dihasilkan tersebut dapat menjadi alternative solusi bagi pengendalian dampak pencemaran lingkungan.

Saat ini, penelitian tentang asap cair sudah mulai dikembangkan terutama dengan memanfaatkan limbah pertanian yang sangat melimpah. Asap cair diperoleh sebagai hasil pendinginan dan pencairan asap dari bahan-bahan yang mengandung komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Menurut Kolopita (2005), asap cair didefinisikan sebagai cairan kondensat dari kayu yang telah mengalami penyimpanan untuk memisahkan tar dan bahan-bahan tertentu. Darmadji (1996) menyatakan bahwa asap cair adalah larutan dispersi asap kayu dalam air, yang terbentuk dari hasil kondensasi asap pembakaran kayu. Asap cair berwarna kecoklatan dan memiliki bau khas (Bridgwater, 2004). Asap cair digunakan sebagai penambah aroma dan tekstur dalam bidang pangan (Ramakrishnan dan Moeller, 2002).

Menurut Prananta (2008), asap cair yang dihasilkan pada proses pirolisis sabut dan tempurung kelapa dapat digunakan sebagai bahan pengawet, insektisida, dan obat-obatan yang memberi manfaat cukup besar bagi kehidupan manusia. Selanjutnya, Gani (2007) menyatakan bahwa asap cair hasil pirolisis sampah organik mengandung senyawa γ-butirolakton yang memiliki aktivitas antifeedant terhadap larva Spodoptera litura. Ditinjau dari komposisi kimia yang dikandungnya, sampah organik tidak jauh berbeda dengan cangkang kelapa sawit, karena memiliki komponen kimia yang hampir sama, sehingga asap cair hasil pirolisis limbah cangkang kelapa sawit diduga berpotensi untuk dikembangkan sebagai biopestisida, khususnya sebagai antifeedant bagi hama perusak daun. Asap cair telah digunakan sejak lama untuk pengasapan ikan. Asam yang terkandung dalam asap cair dapat menambah aroma, menurunkan pH dan daya simpan bahan makanan. Selain itu, senyawa fenolik memiliki efek oksidatif dan antibakteri sangat efektif digunakan dalam pengawetan ikan karena dapat menambah daya simpan ikan menjadi 4 hari (Swastawati dkk., 2007). Asap cair yang dihasilkan dari limbah padat kelapa sawit, khususnya sabut, tempurung dan cangkang kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai pengawet makanan

(4)

(Prananta, 2008). Di samping itu, Tranggono dkk. (1997) dalam Gani (2007) mendapatkan tujuh jenis komponen kimia utama dalam asap cair tempurung kelapa sawit, yaitu senyawaan fenolik, 2-metoksifenol, 2-metoksi-metilfenol, 4-etil-2-metoksifenol, 2,5-dimetoksi fenol, 2,6-dimetoksifenol, dan 3-metil-1,2-siklopentadion. Senyawa-senyawa ini larut dalam eter. Khor dkk. (2009) menyatakan bahwa asap cair yang dihasilkan dari pirolisis tandan kosong kelapa sawit mengandung 5 komponen utama yakni fenol 11,68%, 4-metilfenol 4,74%, asam dodekanoat 30,02%, metil ester 5,16%, asam tetradekanoat 4,78% dan 2-metoksi-4-metilfenol sebanyak 3,20%. Asap cair limbah pertanian mengandung berbagai jenis senyawa fenolik seperti: 2-metilfenol, 2-metoksifenol, 2,4-dimetoksifenol, dan guaiakol (Swastawati, 2007).

Di sisi lain, populasi hama yang tidak terkendali merupakan masalah yang serius dalam meningkatkan produktivitas tanaman dalam bidang pertanian. Selain itu, populasi hama juga menyebabkan kerugian yang cukup besar, bahkan sering kali mengakibatkan kegagalan panen. Plutella xylostella Linn merupakan salah satu hama pengganggu tanaman hortikultura. Hama ini dapat merusak tanaman kubis-kubisan baik secara kualitatif maupun kuantitatif (Talekar dan Shelton, 1993 dalam Dadang dan Ohsawa, 2000). Di Indonesia, serangan hama Plutella xylostella Linn menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas tanaman hortikultura. Berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Aceh, Januari sampai Desember 2008, sebanyak 896 hektare lahan terserang hama dari total 26.474 hektare lahan pertanian (Anonimous, 2009a).

Alternatif yang sering digunakan untuk mengendalikan hama Plutella xylostella Linn adalah dengan pemakaian pestisida sintetik. Alternatif ini merupakan cara yang diminati karena praktis dan ampuh. Namun, pemakaian pestisida secara tidak tepat karena menimbulkan beberapa permasalahan baru diantaranya: 1) hama resisten, 2) petani keracunan pestisida, 3) tertinggalnya residu pestisida pada hasil pertanian, 4) polusi pada air tanah dan 5) menurunkan biodiversitas serta mempunyai pengaruh negatif pada hewan bukan target termasuk mamalia, burung, dan ikan (Agne dkk., 1995 dalam Bahagiawati, 2001). Pestisida sintetik yang digunakan secara intensif dan tidak sesuai prosedur akan menyebabkan hama menjadi resisten. Ahmad dkk. (1998) dalam Ahmad (1999) melaporkan bahwa hama Plutella xylostella Linn yang dikumpulkan dari Lembang, Pangalengan, dan Garut resisten terhadap pestisida sintetik.

Sekarang ini, pemerintah dan masyarakat membuat terobosan baru dalam pengendalian hama dengan memanfaatkan pestisida nabati. Pengalihan dari pestisida sintetik ke pestisida nabati perlu dilakukan karena pemakaian pestisida sintetik menimbul-kan persoalan dan berdampak buruk bagi ekosistem. Pestisida nabati merupakan pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan yang bahan bakunya tersedia di alam. Selain itu, pestisida nabati memiliki keunggulan, diantaranya dapat mengendalikan berbagai organisme pengganggu tanaman, tidak berpengaruh terhadap manusia dan hewan serta ramah lingkungan (Kardinan, 1999). Pencarian sumber pestisida nabati digalakkan terutama dengan memanfaatkan limbah pertanian dan/atau perkebunan. Berdasarkan uraian di atas, salah satu bahan baku yang diperkirakan cukup berpotensi sebagai sumber

(5)

pestisida nabati, yaitu limbah cangkang kelapa sawit yang diolah dengan teknik pirolisis.

METODE PENELITIAN PROSES PIROLISIS

Proses pengarangan dilakukan dengan menggunakan peralatan reaktor pirolisis listrik dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Sampel berupa limbah cangkang kelapa sawit ditimbang sebanyak 150 gram.

2) Sampel dimasukkan ke dalam tabung pirolisator dan dirangkai semua peralatannya.

3) Suhu proses diatur dengan alat Thermolyne pada 500oC dan dijalankan selama 5 jam.

4) Asap yang keluar dikondensasi dan ditampung dalam botol kaca. 5) Setelah proses berlangsung selama 5 jam, reaktor dimatikan dan

dibiarkan dingin secara alami selama 24 jam

6) Diulangi proses pengarangan dengan cara yang sama sebanyak tiga kali ulangan.

PENELUSURAN POTENSI ASAP CAIR

Penelusuran potensi asap cair sebagai biopestisida dilakukan dengan teknik bioassay menggunakan metode antimakan bagi hama tanaman yang dimodifikasi dari metode Narasimhan dkk. (2005). Bioassay dilakukan dengan cara: 1) contoh asap cair dibuat konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50 dan 1,00 (%b/v) dalam pelarut aseton air (1:10), 2) daun kubis digunakan sebagai pakan dan dipotong dengan ukuran 4 x 4 cm, 3) potongan daun ini dicelupkan ke dalam masing-masing larutan selama 20 detik, lalu dikeringudarakan, 4) dua potongan daun (satu diberi perlakuan dan satu lagi sebagai kontrol) dimasukkan ke dalam petri dish berlubang yang ditutupi kain kasa, 5) larva Plutella xylostella Linn instar 3 sebanyak 5 ekor dimasukkan ke dalam masing-masing petri dish, lalu ditutup, 6) pengamatan dilakukan pada jam ke-24 dengan menghitung bagian daun yang tidak dikonsumsi larva baik pada perlakuan maupun kontrol; 7) tiap perlakuan diulangi 3 kali ulangan, 8) Persentase aktivitas antimakannya dihitung dengan rumus Narasimhan dkk. (2005). untuk menghitung tingkat aktivitas antimakan dari contoh dihitung nilai Effective Inhibitor (EI50) secara analisis probit

menggunakan software SPSS versi 12.

% 100 perlakuan) (kontrol dikonsumsi tidak yang daun bagian % perlakuan) -(kontrol dikonsumsi tidak yang daun bagian %  

FRAKSINASI ASAP CAIR

Asap cair dari cangkang kelapa sawit pada suhu 500 oC difraksinasi dengan n-heksan menggunakan corong pisah, filtratnya diuapkan dengan rotary evaporator, hasil penguapan ini diperoleh ekstrak kasar n-heksan (crude) yang

(6)

kemudian ditimbang. Residunya diekstrak kembali dengan pelarut etil asetat. Difraksinasi, filtratnya diuapkan dengan rotary evaporator hasil penguapan ini diperoleh crude etil asetat yang kemudian ditimbang. Sisanya diekstrak kembali dengan metanol dan dipekatkan dengan rotary evaporator. Selanjutnya crude dari masing-masing fraksi n-heksan, etil asetat dan metanol diuji bioassay terhadap larva Plutella xylostella Linn dengan konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50 dan 1,00% (b/v).

HASIL DAN PEMBAHASAN

PIROLISIS CANGKANG KELAPA SAWIT

Pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC dengan menggunakan reaktor listrik dilakukan dengan tiga kali pengulangan. Dari hasil pirolisis diperoleh asap cair rata-rata sebanyak 71 gram. Sifat fisik dari asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat Fisik dan Rendemen Asap Cair Hasil Pirolisis Cangkang Kelapa Sawit

Parameter Keterangan

Warna Coklat kehitaman

Aroma Berbau menyengat

Viskositas Kental

Rendemen 52,64%

(Sumber: Dokumen Penelitian, 2009)

Proses pirolisis berlangsung selama 5 jam pada suhu 500oC. Teknik pirolisis merupakan dekomposisi secara kimia bahan organik melalui pembakaran tanpa oksigen. Pada penelitian ini alat yang digunakan berupa reaktor listrik yang terdiri dari tempat pemanas, kondensor, dan penampung berupa botol kaca. Pada proses pembakaran, asap yang terbentuk akan mengalir menuju kondensor. Asap akan mengalami proses kondensasi atau pendinginan. Asap yang berbentuk gas berubah wujud menjadi cair. Tetesan cairan hasil kondensasi ini ditampung dalam botol kaca. Asap cair yang dihasilkan berwarna coklat kehitaman dan bau asap masih sangat kuat tercium.

Berdasarkan Tabel 1 diperoleh data bahwa rendemen asap cair yang dihasilkan dari limbah cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC sebanyak 52,64%. Hasil ini sedikit lebih rendah dibandingkan hasil penelitian Kawser dan Farid (2000) yang meneliti tentang cangkang kelapa sawit sebagai sumber fenol, memperoleh nilai rendemen asap cair yakni sebesar 58%. Sedangkan Ramakhrisnan dan Moeller (2002) memperoleh nilai rendemen asap cair hasil pirolisis serbuk gergaji pada suhu 475oC sebesar 59,6%. Nilai rendemen asap cair sangat bergantung dari jenis bahan baku yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ramakhrisnan dan Moeller (2002) yang menyatakan bahwa nilai rendemen asap cair sangat bergantung pada suhu, laju pemanasan, ukuran partikel, jenis, dan komposisi dari bahan baku.

Asap cair hasil pirolisis masih mengandung tar. Tar merupakan hasil dekomposisi lignin pada suhu tinggi. Asap cair berwarna coklat tua sedangkan tar

(7)

berwarna coklat kehitaman. Asap cair dan tar dipisahkan secara dekantasi. Setelah asap cair didiamkan selama dua minggu, tar mengendap. Ramakhrisnan dan Moeller (2002) menyatakan bahwa cairan hasil pirolisis disimpan selama 10-14 hari agar fraksi organik yang tidak larut (tar) akan mengendap. Fraksi ini mengandung hidrokarbon aromatik polisiklik. Asap cair hasil dekantasi disaring dengan menggunakan kertas saring. Pada proses pirolisis, terjadi pembakaran yang tidak sempurna. Hal ini menyebabkan cangkang kelapa sawit tidak akan teroksidasi menjadi karbondioksida. Limbah cangkang kelapa sawit yang terdiri dari lignin, selulosa dan hemiselulosa akan terdegradasi menjadi komopnen-komponen yang lebih sederhana.

Pada suhu 150-300oC terjadi pembentukan arang. Pirolisis primer terjadi pada suhu 300oC. Sedangkan pirolisis sekunder terjadi pada suhu 500oC. Selama proses pirolisis, selulosa akan mengalami hidrolisis menjadi glukosa. Pirolisis pada suhu di atas 300oC akan mendegradasi glukosa menjadi asam asetat dan air. Pirolisis lignin pada suhu 280oC akan menghasilkan senyawa fenol dan turunannya dan pirolisis lignin pada suhu lebih tinggi akan menghasilkan tar. Sedangkan hemiselulosa akan menghasilkan senyawa furan, furfural, dan asam karboksilat.

FRAKSINASI ASAP CAIR

Asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC difraksinasi dengan menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat dan metanol. Hasil pemisahan diperoleh 3 fraksi seperti yang disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Berat dan Warna Fraksi Asap Cair Hasil Pirolisis Cangkang Kelapa Sawit

No. Fraksi Berat Crude (g) Warna

1. n-heksan 0,40 Kuning Tua

2. Etil asetat 8,20 Coklat

3. Metanol 1,67 Coklat Tua

(Sumber: Dokumen Penelitian, 2009)

Asap cair hasil penyaringan difraksinasi secara berturut dengan menggunakan pelarut n-heksan, etil asetat, dan metanol. Hasil fraksi kemudian dipekatkan menggunakan rotary evaporator. Fraksinasi asap cair bertujuan untuk mencari fraksi-fraksi dari asap cair yang berpotensi sebagai antifeedant bagi hama pengganggu tanaman. Hasil pemekatan berupa crude kasar akan memudahkan pengujian karena kadar zat yang terkandung pada sampel meningkat dengan konsentrasi yang tinggi. Fraksinasi dilakukan secara berturut-turut yang diawali dengan pelarut n-heksan (nonpolar), lalu diikuti dengan etil asetat (semipolar), dan selanjutnya dengan metanol (polar).

Berdasarkan Tabel 2 dapat diamati bahwa residu hasil fraksinasi terbanyak terdapat pada fraksi etil asetat, yakni sebesar 8,20 gram dan residu yang paling sedikit terdapat pada fraksi n-heksan, yaitu 0,40 gram. Hal ini menunjukkan bahwa asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC selama 5 jam mengandung lebih banyak komponen yang bersifat semi polar. Hasil ini sesuai dengan penelitian Haji dkk. (2007) tentang komposisi kimia asap cair

(8)

sampah organik mengandung dua senyawa utama, yaitu 1,1-dimetilhidrazin (8,98%) dan 2,6-dimetoksifenol (8,68%) sedangkan yang teridentifikasi sebanyak 17 senyawa (27,9%) golongan keton, 14 senyawa (23%) merupakan golongan fenolik, 8 senyawa (13%) golongan asam karboksilat, 7 senyawa (11,5%) alkohol, 4 senyawa (6,6%) ester, 3 senyawa (4,9%) aldehid dan lain-lain rata-rata 1 senyawa (1,61%). Demikian juga dengan hasil penelitian Khor dkk. (2009) bahwa pada asap cair yang dihasilkan dari pirolisis tandan kosong kelapa sawit mengandung 5 komponen utama yakni fenol 11,68%, 4-metilfenol 4,74%, asam dodekanoat 30,02%, metil ester 5,16%, asam tetradekanoat 4,78% dan 2-metoksi-4-metilfenol sebanyak 3,20%. Dari hasil penelitian tersebut sebagian besar senyawa yang terkandung di dalam asap cair bersifat semi polar. Hal ini memberi jawaban bahwa asap cair merupakan asap yang dapat larut dalam air.

POTENSI ASAP CAIR

Hasil uji aktivitas anti antifeedant asap cair cangkang kelapa sawit dengan konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50; dan 1,00% (b/v) terhadap ulat Plutella xylostella Linn diperoleh data yang tercantum dalam Tabel 3.

Tabel 3. Aktivitas Antifeedant dari Asap Cair Hasil Pirolisis Cangkang Kelapa Sawit Contoh Aktivitas Antifeedant pada Konsentrasi Contoh (%)

0,00 0,25 0,50 1,00

Asap Cair 49,08 51,55 51,92 53,70

Fraksi n-heksan 49,62 50,72 51,18 52,87

Fraksi etil asetat 48,75 51,59 50,54 53,27

Fraksi metanol 51,34 55,06 56,25 57,04

(Sumber: Dokumen Penelitian, 2009)

Grafik aktivitas antifeedant dari asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC terhadap ulat Plutella xylostella Linn ditunjukkan pada Gambar 1. 44 46 48 50 52 54 56 58 0,00 0,25 0,50 1,00

Konsentrasi Asap Cair (%)

A k ti v it a s A n if e e d a n t (% ) Asap Cair Fraksi n-heksan Fraksi etil asetat Fraksi metanol

Gambar 1. Aktivitas antifeedant dari asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa

(9)

Bioassay merupakan teknik pencarian senyawa atau komponen aktif dari suatu bahan alam dengan menggunakan bioindikator. Pada penelitian ini menggunakan jenis bioassay antifeedant yang bersifat tidak membunuh melainkan hanya bersifat menolak atau menghambat makan serta spesifik terhadap serangga sasaran sehingga kelangsungan hidup organisme lain terlindungi. Proses penghambatan aktivitas makan terjadi kerena senyawa bioaktif dapat mengkerutkan mulut dan mengganggu sistem pencernaan serangga. Beberapa senyawa bioaktif yang telah terbukti memiliki aktivitas antifeedant seperti tanin, saponin, dan kuinon memiliki rasa pahit yang menyebabkan larva tidak mau makan (Santi, 2010).

Hasil pengujian aktivitas antifeedant untuk asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC dengan konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50; dan 1,00% (b/v) terhadap ulat Plutella xylostella Linn didapat hasil persentase aktivitas secara berurutan 49,08; 51,55; 51,92; dan 53,70% (Tabel 3). Hasil bioassay untuk fraksi n-heksan dan etil asetat memberikan nilai yang hampir sama dengan contoh asap cair. Persentase aktivitas antifeedant fraksi n-heksan pada konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50; dan 1,00% (b/v) secara berturut-turut 49,62; 50,72; 51,18; dan 52,87%. Sedangkan persentase aktivitas antifeedant fraksi etil asetat pada konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50; dan 1,00% (b/v) secara berturut-turut 48,75; 51,59; 50,54; dan 53,27%.

Hasil yang cukup siginifikan dapat diamati pada nilai hasil pengujian aktivitas antifeedant untuk fraksi metanol pada konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50; dan 1,00% (b/v) dengan urutan 51,34; 55,06; 56,25; dan 57,04%. Berdasarkan data di atas dapat diamati bahwa nilai pengujian aktivitas antifeedant dari fraksi metanol di atas 50%. Achmad (1986) dalam Sari (2008) menyatakan bahwa konsentrasi tertentu dari senyawa yang tidak mempunyai aktivitas 50% dapat dikatakan senyawa tersebut tidak aktif. Berdasarkan grafik yang disajikan pada Gambar 1 dapat diamati bahwa hasil persentase pengujian aktivitas antifeedant dari contoh asap cair, fraksi n-heksan, etil asetat, dan metanol meningkat seiring meningkatnya konsentrasi.

Pengujian aktivitas antifeedant untuk fraksi metanol memberikan nilai yang paling tinggi dibandingkan fraksi-fraksi lainnya. Pada konsentrasi 1,00%, (b/v), fraksi metanol dari asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC mampu menyebabkan ulat Plutella xylostella Linn menolak makan. Hal ini didukung oleh nilai EI50 fraksi metanol pada konsentrasi 1,00% sebesar 67,39709.

EI50 merupakan nilai penghambatan efektif suatu senyawa metabolit sekunder

terhadap bioindikator tertentu. Berdasarkan harga EI50 fraksi metanol tersebut

dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi 1,00%, fraksi metanol dapat menghambat makan 50% dari populasi larva P. xylostella dalam masa pemaparan 24 jam. Semakin tinggi nilai EI50 dari hasil analisis probit, maka semakin

berpotensi suatu fraksi sebagai biopestisida.

Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi metanol dari asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai pengendali hama yang bersifat antifeedant terutama dalam menang-gulangi hama-hama perusak daun seperti larva P. xylostella Linn. Hasil ini sesuai dengan

(10)

penelitian yang dilakukan oleh Leatemia dan Isman (2004) bahwa ekstrak etanol biji srikaya memiliki efek racun dan antifeedant terhadap P. xylostella Linn dan Trichoplusia. Penelitian yang dilakukan oleh Santi (2010), juga diperoleh hasil yang sama, yaitu ekstrak metanol dari umbi gadung menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak n-heksan terhadap E. sparsa.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) Aktivitas antifeedant masing-masing asap cair hasil pirolisis cangkang kelapa sawit pada suhu 500oC dengan konsentrasi 0,00; 0,25; 0,50; dan 1,00% (b/v) terhadap larva P. xylostella Linn, yaitu contoh asap cair secara berturut 49,08; 51,55; 51,92; dan 53,70%, fraksi n-heksan secara berturut 49,62; 50,72; 51,18; dan 52,87%, fraksi etil asetat secara berturut 48,75; 51,59; 50,54; dan 53,27%, dan fraksi metanol secara berturut 51,34; 55,06; 56,25; dan 57,04%.

2) Diantara fraksi-fraksi tersebut yang memiliki aktivitas paling tinggi dan diperkirakan berpotensi sebagai biopestisida adalah fraksi metanol pada konsentrasi 1,00% dengan nilai EI50 sebesar 67,39709.

UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini dibiayai dengan dana proyek penelitian Hibah Bersaing tahun anggaran 2009 yang dilaksanakan atas kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala dan DP2M Dikti Kementerian Pendidikan Nasional. Untuk itu, kepada kedua lembaga tersebut, penulis mengucapkan terimakasih.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, I. 1999. Dosage Mortality Studies with B. thuringiensis and Neem Extract on Diamondback Moth, Plutella xylostella (L.) Plutellidae). Indo. J. Plant Protection 5(2):67-71

Bridgwater, A.V. 2004. Biomass Fast Pyrolysis. Thermal Science 8(2):21-49

Dadang dan K. Ohsawa. 2000. Aktivitas Makan Larva Plutella xylostella (L). yang Diperlakukan Ekstrak Biji Swietenia mahogani Jacq. (Meliaceae). Buletin Hama dan penyakit Tumbuhan 12(1):27-32

Darmadji, P. 1996. Aktivitas Antibakteri Asap Cair dari Bermacam-macam Limbah Pertanian. Agritech 16(4):19-22

Demirbas, A. 2005. Pyrolysis of Ground Wood in Irregular Heating Rate Conditions. J. Anal. and Applied Pyrolysis 73(2005): 39-43

Fauzi, Y. 2004. Kelapa Sawit. Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Gani, A. 2007. Konversi Sampah Organik Menjadi Komarasca (Kompos-Arang Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa. Disertasi tidak diterbitkan. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.

Haji, A.G., Z.A. Mas’ud, B.W. Lay, S.H. Sutajhjo, dan G. Pari. 2007. Karakterisasi Asap Cair Hasil Pirolisis Sampah Organik Padat. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 16(3):113-120

(11)

Kardinan, A. 1999. Pestisida Nabati: Ramuan dan Cara Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Kawser, M.D. dan F. Nash. 2000. Oil Palm Shell As A Source Of Phenol. Journal of Oil Palm Research 12(1):86-94

Khor, K.H., K.O. Lim, dan Z.A. Zainal. 2009. Characterization of Bio-Oil: A By-Product from Slow Pyrolysis of Oil Palm Empty Fruit Bunches. Am. J. Applied Sciences 6(9):1647-1652

Kolopita, M. 2005. Potensi Asap Cair Mangrove sebagai Antibakterial dalam Mengendalikan Infeksi Buatan Vibrio Harveji pada Udang Windu, Pananeus monodon. Tesis tidak diterbitkan. Bogor: Sekolah Pascasarjana IPB.

Marpaung, D.S. 2009. Pemanfaatan Limbah Pabrik Kelapa Sawit sebagai

Pembangkit Listrik.

(http://dedysuhendramarpaung.blogspot.com/2009/04 diakses 27 Desember 2009).

Narasimhan, S., S. Kannan, V.P. Santhanakrishnan, dan R. Mohankumar. 2005. Insect Antifeedant and Growth Regulating Activities of Salanobutirolactone and Desasetilsalanobutirolactone. Fitoterapia 76:740-743

Nurhayati, T., K. Sofyan, dan Desviana. 2005. Tempurung Kelapa Sawit (TKS) sebagai Bahan Baku Alternatif untuk Produksi Asap Cair. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 3(2): 39-44

Pardamean, M. 2008. Panduan Lengkap Pengelolaan Kebun dan Pabrik Kelapa Sawit. Jakarta: Agromedia Pustaka.

Prihandana, R dan R. Hendroko. 2008. Energi Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya. Prananta, J. 2008. Pemanfaatan Sabut dan Tempurung Kelapa serta Cangkang

Sawit untuk Pembuatan Asap Cair sebagai Pengawet Makanan Alami. Skripsi tidak diterbitkan, (http://www.scribd.com., diakses 24 September 2009).

Prasetyani, M dan E. Miranti. 2010. Potensi dan Prospek Bisnis Kelapa Sawit Indonesia.

(http://www.bni.co.id/Portals/0/Document/197%20Potensi.pdf, diakses

23 Maret 2010).

Ramakrishnan, S. dan P. Moeller. 2002. Liquid Smoke: Product of Hardwood Pyrolysis. Fuel Chemistry Division reprints 47(1):366

Santi, S.R. 2010. Senyawa Aktif Antimakan dari Umbi Gadung (Dioscoka hispida Dennst). Jurnal Kimia 4(1):71-78

Swastawati, F., T.W. Agustini, Y.S. Darmanto, dan E.N. Dewi. 2007. Liquid Smoke Performance of Lamtoro Wood and Corn Cob. J. Coastal Dev. 10(3):189-196.

Gambar

Tabel 2. Berat dan Warna Fraksi Asap Cair Hasil Pirolisis Cangkang Kelapa Sawit
Grafik  aktivitas  antifeedant  dari  asap  cair  hasil  pirolisis  cangkang  kelapa  sawit  pada  suhu  500 o C  terhadap  ulat  Plutella  xylostella  Linn  ditunjukkan  pada  Gambar 1

Referensi

Dokumen terkait

“Dan janganlah kamu menyerahkan harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya (anak yatim) yang dijadikan Allah sebagai

Flowchart (diagram alir) adalah sebuah diagram yang merepresentasikan sebuah algoritma atau proses menggunakan beberapa bangun geometri untuk memperlihatkan

Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa Metode CCME merupakan metode yang paling tepat untuk menganalisis kualitas air di berbagai negara termasuk Indonesia baik

pendidikan, semakin tinggi motivasi kerja dan semakin baik gaya kepemimpinannya maka akan semakin tinggi kinerja karyawan.Selanjutnya dengan koefisien determinasi

perjanjian, menerima penitipan suatu barang dari seorang yang tidak. cakap untuk membuat perjanjian, maka tunduklah ia pada

93,33% dari hasil persentase modul pembelajaran kimia materi struktur atom berbasis Alqur’an layak di gunakan untuk SMAN 1 Aceh Barat Daya. Berdasarkan hasil respon siswa terhadap

JUDUL : DOKTOR HONORIS CAUSA UGM UNTUK DUA PERAIH NOBEL MEDIA : BERNAS. TANGGAL : 11

(2010) menemukan bahwa secara parsial return on asset , debt to equity ratio , dan book value berkoralasi positif dan berpengaruh signifikan terhadap