• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaksanaan Perjanjian Penitipan Anak (Studi Di Yayasan Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelaksanaan Perjanjian Penitipan Anak (Studi Di Yayasan Panti Asuhan Ade Irma Suryani Nasution Medan)"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG

DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU

A. Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah

persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau

lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam

persetujuan itu.15 Pengertian dari perjanjian dapat ditemukan di dalam

Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang

Perikatan Pasal 1313. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan:

"suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih."

Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata ini tidak jelas.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya

disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun

disebut dengan perjanjian.16

Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber

lainnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak

15

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 458.

16

(2)

atau lebih itu setuju untuk membuat perjanjian. Dapat dikatakan bahwa

dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.17

Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan

persetujuan. Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst

sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang

ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/ kata

sepakat).18 Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut diatas, timbul

karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat

objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan

pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal itu menyebabkan

banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah

perjanjian tersebut.

Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion

cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat

untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan

Sudikno, yang berpendapat bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum

antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan

suatu akibat hukum.19

Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa

dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.20 R. Setiawan,

menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum dimana satu

17

Subekti, loc.cit.

18

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, hal. 97.

19

Ibid, hal. 97-98. 20

(3)

orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.21 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan

perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap seorang lain atau lebih.22

Pendapat lainnya yaitu menurut M. Yahya Harahap

mengemukakan perjanjian mengandung suatu hubungan hukum kekayaan

atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak

pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan pada

pihak lain untuk menunaikan prestasi.23

Menurut Wirjono Prodjokoro, yang dimaksud dengan perjanjian

adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua

pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk

melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak

lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.24

Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian

adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum

yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang

lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian

yang akan mengikat kedua belah pihak.

Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313

KUHPerdata, ternyata mendapat kritik dari para sarjana karena

21

R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Bina Cipta, 1987, hal. 49.

22

Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Yogyakarta: Liberty Offset, 2003, hal. 1.

23

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal. 6. 24

(4)

mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya

menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut

sangat kurang lengkap, namun di pihak lain terlalu luas. Rumusan

pengertian tentang perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut

memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu

ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi

(debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut

(kreditor). Dari pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata

tersebut mengandung unsur:

a) Perbuatan

Penggunaan kata "perbuatan" pada perumusan tentang perjanjian

ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau

tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat

hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;

b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih

Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak

yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan

yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau

badan hukum.

c) Mengikatkan dirinya

Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak

yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang

terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya

(5)

Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi

para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan

konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut

dibuat.25

Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk

mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat

perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh

para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan

hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang

disepakati.26

2. Syarat Sahnya Perjanjian

Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum

mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum

dapat disebut dengan perjanjian yang sah, menurut Pasal 1320 KUHPerdata,

sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:

1) Sepakat untuk mengikatkan diri;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3) Suatu hal tertentu;

4) Sebab yang halal.

Berikut ini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai syarat sahnya

perjanjian diatas:

25

Salim H.S. dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),

Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 124. 26

(6)

Ad.1. Sepakat untuk mengikat diri

Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan

perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala

sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas,

artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan. Sepakat

atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah pihak, dalam suatu

perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk mengikatkan diri

pada yang lain. Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara

diam-diam. Kehendak yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu

terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan (dwaling), atau penipuan

(bedrog).27 Dengan diperlakukannnya kata sepakat mengadakan

perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai

kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang

mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.28

Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang

disetujui antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan

dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran

dinamakan akseptasi (acceptatie).

Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya

perjanjian antara pihak, yaitu:

27

Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 50.

28

(7)

a. Teori kehendak (willtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan

terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya

dengan menuliskan surat.

b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa

kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim

oleh pihak yang menerima tawaran.

c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak

yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya

diterima.

d. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa

kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap

layak diterima oleh pihak yang menawarkan.29

Ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu

perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk

melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap

orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang

menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang tidak

cakap untuk membuat perjanjian menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah

sebagai berikut:

29

(8)

a. Orang-orang yang belum dewasa

Ketentuan mengenai orang-orang yang belum dewasa terdapat

perbedaan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya,

yaitu:

Dasar Hukum Pasal

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)

Pasal 330, Belum dewasa adalah yang belum mencapai 18 tahun. UU No. 13 Tahun 2003 tentang

kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. UU No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk

anak yang masih dalam

kandungan.

Tabel Umur Anak/ Belum dewasa30

30

(9)

Adapun dari tabel diatas, maka apabila seseorang belum memenuhi

ketentuan dikatakan sudah dewasa maka ia belum cakap bertindak dalam

hukum termasuk untuk membuat suatu perjanjian.

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele)

Orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap

orang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, gelap mata, dan

pemboros.31 Orang yang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan

menurut undang-undang harus ditaruh di bawah pengampuan atau

curatele. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang dewasa juga dapat

ditaruh dibawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan

kekayaannya. Kedudukan seorang yang telah dewasa ditaruh di bawah

curatele, sama seperti orang yang belum dewasa. Ia tak dapat lagi

melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Akan tetapi seorang

yang ditaruh di bawah curatele atas alasan mengobralkan kekayaannya,

menurut undang-undang masih dapat membuat testamen dan juga masih

dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan,

meskipun untuk perkawinan ini ia harus selalu mendapat izin dan bantuan

curator (orang yang mengampu) serta weeskamer (Balai Harta

Peninggalan). Bahwa seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan

sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak dapat

melakukan perkawinan tidak usah diterangkan lagi, karena untuk

31

(10)

perbuatan-perbuatan tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan

yang bebas.32

c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang

telah dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.33

Baik yang belum dewasa maupun masih dibawah pengampuan

apabila mereka akan melakukan perbuatan hukum harus diwakilkan oleh

wali mereka. Ketentuan dalam KUHPerdata dalam Pasal 108 dan 110

mengenai seorang perempuan bersuami pada saat melakukan perbuatan

hukum harus mendapat izin dari suaminya sudah tidak berlaku lagi, yaitu

berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun

1963, yang menyatakan "Pasal-Pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang

seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di

muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami. Dengan demikian

tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua Warga Negara

Indonesia". Selain itu juga sudah diperkuat menurut ketentuan Pasal 31

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang ayat (1)

menyatakan "Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan

kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup

bersama dalam masyarakat". Dan ayat (2) yang menyatakan

"masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum".

32

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit, hal. 56-57. 33

(11)

Ad.3. Suatu hal tertentu

Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian bahwa suatu perjanjian harus

mengenai oleh suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yaitu

objek perjanjian. Suatu hal tertentu berkaitan dengan objek perjanjian

(Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian

yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334

adalah:

1. Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

2. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan

untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).34

Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan

jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan

uang, atau yang tidak mungkin dilakukan, menjadi batal demi hukum.

Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika

terjadi perselisihan. Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu

perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit

ditetapkan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa suatu barang tidak

ditentukan/tertentu, asalkan saja jumlahnyakemudian dapat ditentukan/

dihitung, dalam Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan

ada dikemudian hari dapat menjadi pokok perjanjian, dengan hal ini jelas

bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah barang-barang yang

sudah ada dan baru akan ada.

34

(12)

Ad.4. Suatu sebab yang halal

Perkataan “sebab” merupakan padanan kata dari bahasa Belanda

oorzaak” dan bahasa latin “causa”.35 Sebab ialah tujuan antara dua belah

pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337

KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh

undang-undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.36 Menurut Pasal

1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak

mempunyai kekuatan atau batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada

dasar menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena semula

dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat tidak ada

causa maka tidak ada suatu perjanjian.

Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus

benar-benar dipenuhi didalam membuat suatu perjanjian. Pada dua syarat

yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-syarat

subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif,

karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum

yang dilakukan.37 Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat subjektif) tidak

dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu

pihak dapat meminta pada Hakim agar perjanjian itu dibatalkan sedangkan

apabila syarat ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak dipenuhi, maka

perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah

dilahirkan suatu perjanjian.

35

Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hal. 35. 36

Juajir Sumardi, op.cit, hal. 51. 37

(13)

3. Asas-Asas Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal berbagai asas. Arti asas secara etimologi

adalah dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.38

Menurut Mahadi, bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai

alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan,

untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.39

Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal

menurut hukum perdata, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada

umumnya yang diatur dalam KUHP Perdata, asas itu antara lain adalah:

1) Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract)

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal

1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat

secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan

kebebasan kepada para pihak untuk:

a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;

b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.40

Dipertegas kembali dengan ketentuan ayat 2 yang menyatakan

bahwa perjanjian yang disepakati tidak dapat ditarik kembali secara

sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya

38

(14)

persetujuan dari lawan pihak atau dalam dimana oleh undang-undang

dinyatakan cukup adanya alasan itu.

2) Asas konsensualisme (Concensualism)

Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)

KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat

sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah

pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada

umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya

kesepakatan kedua belah pihak.

3) Asas kepastian hukum (Pacta Sunt Servanda)

Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt

servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.

Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga

harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,

sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh

melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para

pihak.41

Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang

membuatnya. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali,

kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan

41

(15)

alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Adakalanya juga suatu

perjanjian, meskipun dengan persetujuan bersama tidak boleh dicabut

kembali. Misalnya perjanjian perkawinan (Pasal 149 KUHPerdata),

penarikan kembali atau pengakhiran oleh suatu pihak hanyalah mungkin

dalam perjanjian-perjanjian di mana hal itu diizinkan. Biasanya dalam

perjanjian-perjanjian yang kedua pihak terikat untuk suatu waktu yang

tidak tertentu, dibolehkan pengakhiran oleh salah satu pihak dengan tidak

usah menyebutkan sesuatu alasan. Misalnya dalam perjanjian kerja dan

perjanjian penyuruhan (pemberian kuasa).42

4) Asas itikad baik (Good Faith)

Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdatayang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad

baik.” Maksud kalimat ini bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak

boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan43. Asas ini merupakan

asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus

melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan

yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi

menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.44 Pada

itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan ingkah laku yang

nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal

sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai

keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.

42

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit, hal. 139. 43

Ibid., hal. 140. 44

(16)

5) Asas kepribadian (Personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa

seseorang yang akan melakukan dan/ atau membuat kontrak hanya untuk

kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan

Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada

umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian

selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk

mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan

dirinya sendiri.

Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku

antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa

perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang

membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya

sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat

pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu

perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada

orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini

mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/

kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang

ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya

mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan

ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.

Kedua pasal itu jika dibandingkan, maka Pasal 1317 KUHPerdata

(17)

1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan

orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan

demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya,

sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.45

Selain kelima asas di atas, Mariam Darus Badrulzaman (dkk)

dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan mengemukakan beberapa asas

lain yang diatur dalam KUH Perdata yaitu:

6) Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain

menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu

sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi

prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka

perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan

kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya

perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

7) Asas persamaan hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat,

tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,

kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat

adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati

satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.

45

(18)

8) Asas keseimbangan

Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan

perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas

persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan

jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan

debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan

perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat

diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik

sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

9) Asas kepastian hukum

Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus mengandung kepastian

hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu

yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

10) Asas moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan

sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat

kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di zaman

zaakwarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan

dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban

(hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini

terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan

(19)

berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati

nuraninya.

11) Asas kepatutan

Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas

kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas

kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang

hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

Munir Fuady juga menyebutkan beberapa asas lainnya dalam

hukum perjanjian, yaitu:

12) Asas kebiasaan

Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak

hanya mengikat terhadap isi kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan

hal-hal yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya juga

mengikat dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan

kata-kata dalam kontrak dagang (trade usage), seperti apabila kontrak jual beli

satu rim kertas dimana satu rim kertas berisikan 400 lembar kertas, akan

tetapi jika ada pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan

395 lembar, hal tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah

melakukan wanprestasi dengan mengirim 395 lembar kertas (bukan 400

lembar) sebab menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau

kekurangan 10 lembar dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam

(20)

13) Asas tidak melanggar prinsip kepentingan umum

Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh

melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai

dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa

kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh

karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/

ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan

undang-undang yang berlaku yang menurut Pasal 1339 KUH Perdata, hal

tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang bertentangan dengan

kepentingan/ ketertiban umum adalah kontrak jual beli obat bius.46

4. Wanprestasi

Adakalanya suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya

suatu perjanjian, tidak juga dapat terlaksana sebagaimana yang telah

diperjanjikan. Perjanjian pada umumnya akan diakhiri dengan pelaksanaaan

sesuai dengan persyaratan yang tercantum di perjanjian. Pemenuhan

perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi, sebaliknya

apabila pihak yang lainnya tidak melaksanakannya, maka ia disebut

wanprestasi. Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi

buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad

yang berarti perbuatan buruk).

46

(21)

Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena

disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini

dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi

tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.47

Wanprestasi dapat berupa:

a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi;

b. Prestasi tidak dilakukan dengan sempurna;

c. Terlambat memenuhi prestasi;

d. Melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian;

Akibat terjadinya wanprestasi, pihak yang melakukan wanprestasi

harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa

tuntutan:48

a. Pembatalan kontrak saja;

b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;

c. Pemenuhan kontrak saja;

d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

Sedangkan menurut Subekti, tuntutan atas terjadinya wanprestasi,

antara lain:49

a. Pemenuhan perjanjian;

b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;

c. Ganti rugi saja;

d. Pembatalan Perjanjian;

e. Pembatalan disertai ganti rugi.

47

Ahmadi Miru, 2007, op.cit, hal.74. 48

Ibid., hal. 75. 49

(22)

Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian.

Undang-undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan

hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada waktu perjanjian

dibuat (te voorzien) dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai

suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat dimintakan

penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa uang tunai,

maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang

menurut penetapan undang-undang.50

Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah

debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri

dari akibat buruk wanprestasi tersebut. Tangkisan atau pembelaan tersebut

dapat berupa:51

a. Wanprestasi terjadi karena keadaan memaksa (overmacht);

b. Wanprestasi terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exception non

adimple contractus);

c. Wanprestasi terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas

pemenuhan prestasi.

Dalam KUHPerdata, keadaan memaksa (overmacht) diatur dalam

Pasal 1244 dan Pasal 1245. Pasal 1244 KUHPerdata: “Debitur harus

dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat

membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya

waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak

50

Ibid, hal. 149. 51

(23)

terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada

itikad buruk padanya.”

Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidak ada penggantian biaya, kerugian

dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara

kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang

diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Dari pasal-pasal di atas, dapat dilihat bahwa keadaan memaksa

adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur

memaksa tidak menepati janjinya.52

Ada pun unsur-unsur yang harus memenuhi keadaan memaksa

yaitu:53

a. Tidak memenuhi prestasi;

b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan tersebut

c.Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Akibat keadaan memaksa, yaitu:54

a. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;

b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena

itu tidak dapat menuntut;

c. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;

52

Ibid., hal. 56. 53

Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, dan Taryana Soenandar, op.cit., hal. 25.

54

(24)

B. Perjanjian Penitipan Barang

1. Pengertian Perjanjian Penitipan Barang

Pengertian dari perjanjian penitipan barang yang diatur dalam

KUHPerdata terdapat dalam pasal 1694 yang menyebutkan:

”penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang

dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan

mengembalikannya dalam ujud asalnya.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 1694 KUHPerdata ini diketahui bahwa

penitipan baru terjadi jika barang yang menjadi pokok perjanjian telah

diserahkan. Oleh karena itu perjanjian penitipan barang merupakan termasuk

jenis perjanjian riil. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau

dilakukan suatu perbuatan yang nyata yaitu adanya penyerahan barang yang

dititipkan tersebut.55

Jadi perjanjian penitipan barang tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya

pada umumnya yang lazimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada

saat tercapainya kata sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.56

2. Jenis-Jenis Penitipan Barang

Di dalam KUHPerdata, ada dua jenis penitipan barang, yaitu penitipan

yang sejati dan sekestrasi. Berikut dijelaskan mengenai jenis-jenis penitipan

barang tersebut.

55

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit., hal: 49. 56

(25)

a. Penitipan Barang yang Sejati

Penitipan barang yang sejati diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas

Bagian Ke-dua, mulai dari pasal 1696 sampai dengan pasal 1729

KUHPerdata. Pasal 1696 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa

penitipan barang yang sejati dianggap telah dibuat dengan cuma-cuma,

jika tidak diperjanjikan sebaliknya. Kemudian ayat (2) nya menyatakan

bahwa penitipan barang yang sejati ini hanya dapat mengenai

barang-barang yang bergerak. Selanjutnya Pasal 1697 KUHPerdata

menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidaklah telah terlaksana

selainnya dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau

secara dipersangkakan. Ketentuan ini mengambarkan lagi sifatnya rill

dari perjanjian penitipan, yang berlainan dari sifat perjanjian-perjanjian

lain yang pada umumnya adalah konsesual.

Penitipan barang yang sejati ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

Penitipan Barang dengan Sukarela

Dari ketentuan Pasal 1699 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa

penitipan barang dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal balik

antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan.

Penitipan barang dengan sukarela hanyalah dapat terjadi antara

orang-orang yang mempunyai kecakapan untuk membuat

perjanjian-perjanjian. Namun jika itu seorang yang cakap untuk untuk membuat

perjanjian, menerima penitipan suatu barang dari seorang yang tidak

cakap untuk membuat perjanjian, maka tunduklah ia pada semua

(26)

sungguh-sungguh (Pasal 1701 KUHPerdata). Yang dimaksudkan oleh ketentuan

tersebut adalah bahwa meskipun penitipan sebagai suatu perjanjian

yang sah hanya dapat diadakan antara orang-orang yang cakap menurut

hukum, namun apabila seorang yang cakap menerima suatu penitipan

barang dari seorang yang tidak cakap maka si penerima titipan harus

melakukan semua kewajiban yang berlaku dalam suatu perjanjian

penitipan yang sah.57

Kemudian Pasal 1702 KUHPerdata mengatakan jika penitipan

dilakukan oleh seorang yang berhak kepada seorang yang tidak cakap

untuk membuat perjanjian, maka pihak yang menitipkan hanyalah

mempunyai hak terhadap pihak yang menerima titipan untuk menuntut

pengembalian barang yang dititipkan, selama barang ini masih ada pada

pihak yang terakhir itu; atau, jika barangnya sudah tidak ada lagi pada

si penerima titipan, maka dapatlah ia menuntut pemberian ganti rugi

sekadar si penerima titipan itu telah memperoleh manfaat dari barang

tersebut. Maksudnya adalah, bahwa jika seorang yang cakap menurut

hukum menitipkan barang kepada seorang yang tidak cakap, maka ia

memikul risiko kalau barang itu dihilangkan. Hanyalah, kalau si

penerima titipan itu ternyata telah memperoleh manfaat dari barang

yang telah dihilangkan, maka orang yang menitipkan dapat menuntut

pemberian ganti rugi. Si penerima titipan dapat dikatakan telah

memperoleh manfaat dari barang yang telah dihilangkan itu

umpamanya kalau ia telah menjualnya dan uang pendapatan penjualan

57

(27)

telah dipakainya. Jadi kalau barangnya hilang dicuri orang karena si

penerima titipan tidak menyimpannya dengan baik, tidak ada tuntutan

ganti rugi. Dengan sendirinya tuntutan pemberian gani rugi ini harus

dilakukan terhadap orangtua atau wali dari si penerima titipan.58

Penitipan Barang Karena Terpaksa

Menurut Pasal 1703 KUHPerdata, yang dinamakan penitipan

barang karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksa dilakukan oleh

seseorang karena timbulnya suatu malapetaka, misalnya: kebakaran,

runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir, dan lain-lain

peristiwa yang tak tersangka. Kemudian disebutkan dalam Pasal 1705

KUHPerdata, penitipan barang karena terpaksa ini diatur menurut

ketentuan seperti yang berlaku terhadap penitipan sukarela. Maksudnya

adalah bahwa suatu penitipan yang dilakukan secara terpaksa itu

mendapat perlindungan dari undang-undang yang tidak kurang dari

suatu penitipan yang terjadi secara sukarela.

b. Penitipan Barang Sekestrasi

Penitipan barang sekestrasi diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas

Bagian Ke-tiga, mulai dari pasal 1730 sampai dengan pasal 1739

KUHPerdata. Definisi dari sekestrasi disebutkan dalam Pasal 1730 ayat

(1) KUHPerdata yang berbunyi: ”sekestrasi ialah penitipan barang

tentang mana ada perselisihan, diatangannya seorang pihak ketiga yang

58

(28)

mengikat diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan

barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta

hasil-hasilnya.”

Penitipan barang sekestrasi ini terdiri atas dua macam, yaitu:

Sekestrasi yang Terjadi dengan Perjanjian atau Persetujuan

Sekestrasi yang terjadi dengan perjanjian atau persetujuan adalah

apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada seorang pihak

ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (Pasal 1731

KUHPerdata). Sekestrasi dapat mengenai baik barang-barang bergerak

maupun barang-barang tak bergerak (Pasal 1734 KUHPerdata), jadi

berlainan dari penitipan barang yang sejati, yang hanya dapat mengenai

barang yang bergerak saja (lihat Pasal 1696 KUHPerdata).

Si penerima titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak

dapat dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan,

kecuali apabila semua pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau

apabila ada suatu alasan lain yang sah (Pasal 1735 KUHPerdata).

Sekestrasi atas Perintah Hakim

Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim

memerintahkan supaya suatu barang tentang mana ada sengketa,

dititipkan kepada seorang (Pasal 1736 KUHPerdata). Selanjutnya

mengenai sekestrasi ini dijelaskan dalam Pasal 1737 KUHPerdata

sebagai berikut:

(29)

seorang yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau

kepada seorang yang ditetapkan oleh Hakim karena jabatan.

Dalam kedua-duanya hal, orang kepada siapa barangnya telah

dipercayakan, tunduk kepada segala kewajiban yang terbit dalam

halnya sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya itu ia diwajibkan

saban tahun, atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu perhitungan

secara ringkas tentang pengurusannya kepada Pengadilan, dengan

memperlihatkan ataupun menunjukkan barang-barang yang

dipercayakan kepadanya, namunlah disetujuinya perhitungan itu tidak

akan dapat diajukan terhadap para pihak yang berkepentingan.

Hakim dapat memerintahkan sekestrasi:

 Terhadap barang-barang bergerak yang telah disita ditangannya

seorang berutang (debitor).

 Terhadap suatu barang bergerak maupun tak bergerak, tentang

mana hak miliknya atau hak penguasaannya menjadi

persengketaan;

 Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang

(debitor) untuk melunasi utangnya (Pasal 1738 KUHPerdata).

Penyitaan yang disebutkan poin pertama diatas adalah penyitaan

conservatoir yang telah dilakukan atas permintaan seorang penggugat,

sedangkan penawaran barang-barang oleh seorang debitor kepada

kreditornya untuk melunasi utangnya, sebagaimana disebutkan poin

ke-3, dilakukan dalam hal kreditor itu menolak pembayaran yang akan

(30)

seorang jurusita atau notaris untuk menawarkan barang atau uang

tersebut (secara resmi) kepada kreditor tersebut. Apabila penawaran

tersebut ditolak oleh kreditor, maka barang atau uang tersebut dapat

dititipkan dikepaniteraan Pengadilan atau kepada seorang yang ditunjuk

oleh Hakim. Perbuatan ini akan disusul oleh suatu gugatan dari debitor

tersebut untuk menyatakan sah penitipan tersebut, dan dengan

disahkannya penitipan itu, maka si debitor dibebaskan dari utangnya.59

3. Hak dan Kewajiban Para Pihak Perjanjian Penitipan Barang

Dalam perjanjian penitipan barang, pihak-pihak yang terkait adalah pihak

yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan. Para pihak tersebut

memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Berikut akan dijelaskan

mengenai apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam

perjanjian penitipan barang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, yaitu

antara lain:

Untuk perjanjian penitipan barang yang sejati, baik dengan sukarela

maupun terpaksa, di dalam Pasal 1706 mewajibkan si penerima titipan,

mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya, memeliharanya

dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya sendiri.

Ketentuan tersebut menurut Pasal 1707 harus dilakukan lebih keras dalam

beberapa hal, yaitu:

a. jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan

barangnya;

59

(31)

b. jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu untuk penyimpanan itu;

c. jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si

penerima titipan; dan

d. jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung

segala macam kelalaian.

Tidak sekali-kali si penerima titipan bertanggung jawab tentang

peristiwa-peristiwa yang tak dapat disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian

barang yang dititipkan. Bahkan dalam hal yang terakhir ini ia tidak

bertanggung jawab jika barangnya juga akan musnah seandainya telah berada

ditangannya orang yang menitipkan (Pasal 1708).

Menurut Subekti, peristiwa yang tak dapat disingkiri itu adalah yang

lazimnya dalam bahasa hukum dinamakan “keadaan memaksa” (bahasa

Belanda: “overmacht” atau “force majeur”), yaitu suatu kejadian yang tak

disengaja dan tak dapat diduga. Resiko kemusnahan barang karena suatu

keadaan memaksa itu memang pada asasnya harus dipikul oleh pemilik barang.

Namun apabila si penerima titipan itu telah lalai mengembalikan barangnya

sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian, maka (juga menurut asas umum

hukum perjanjian) ia mengoper tanggung jawab tentang kemusnahan

barangnya jika terjadi sesuatu. Tanggung jawab ini hanya dapat dilepaskan jika

ia dapat membuktikan bahwa barangnya juga akan musnah seandainya sudah

diserahkan kepada orang yang menitipkan, misalnya barang itu mengandung

suatu cacat yang pasti juga akan menyebabkan kemusnahannya biarpun ia

berada ditangannya orang yang menitipkan.60

60

(32)

Selanjutnya mengenai kewajiban bagi orang-orang yang

menyelenggarakan Rumah Penginapan dan Losmen, dimana Pasal 1709

meletakkan tanggung jawab kepada pengurus rumah penginapan dan penguasa

losmen terhadap barang-barang para tamu yaitu memperlakukan pengurus

rumah penginapan dan penguasa losmen tersebut sebagai orang yang menerima

titipan barang. Penitipan barang oleh para tamu itu dianggap sebagai suatu

penitipan karena terpaksa. Selanjutnya Pasal 1710 menetapkan bahwa mereka

itu bertanggung jawab tentang pencurian atau kerusakan pada barang-barang

kepunyaan para penginap, baik pencurian itu dilakukan atau kerusakan itu

diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau lain-lain pekerja dari rumah penginapan,

maupun oleh setiap orang lain. Namun (demikian Pasal 1711 seterusnya)

mereka tidak bertanggung jawab tentang pencurian yang dilakukan dengan

kekerasan atau yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dimasukkan sendiri

oleh si penginap.

Dalam praktek para pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen itu

membatasi tanggung jawab mereka dengan menempelkan pengumuman bahwa

mereka tidak bertanggung jawab tentang hilangnya barang-barang yang

berharga (uang, perhiasan) yang tidak secara khusus dititipkan pada mereka.

Melepaskan tanggung jawab seluruhnya terhadap semua barang tentunya tidak

dibolehkan.61

Si penerima titipan barang tidak diperbolehkan memakai barang yang

dititipkan untuk keperluan sendiri tanpa izinnya orang yang menitipkan barang,

yang dinyatakan dengan tegas atau dipersangkakan, atas ancaman penggantian

61

(33)

biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu (Pasal 1712). Selanjutnya

ia tidak diperbolehkan menyelidiki tentang wujudnya barang yang dititipkan

jika barang itu dipercayakan kepadanya dalam suatu kotak tertutup atau dalam

suatu sampul tersegel (Pasal 1713).

Si penerima titipan diwajibkan mengembalikan barang yang sama yang

telah diterimanya. Dengan demikian maka jumlah-jumlah uang harus

dikembalikan dalam mata uang yang sama seperti yang dititipkan, tak peduli

apakah mata uang itu telah naik atau telah turun nilainya (Pasal 1714).

Si penerima titipan hanya diwajibkan mengembalikan barang yang

dititipkan dalam keadaannya pada saat pengembalian itu.

Kemunduran-kemunduran yang dialami barangnya diluar kesalahan si penerima titipan,

adalah atas tanggungan pihak yang menitipkan (Pasal 1715).

Jika barangnya dengan paksaan dirampas dari tangannya si penerima

titipan dan orang ini telah menerima harganya atau sesuatu barang lain sebagai

gantinya, maka ia harus menyerahkan apa yang diterimanya sebagai ganti itu

kepada orang yang menitipkan barang (Pasal 1716).

Seorang ahli waris dari si penerima titipan, yang, karena ia tidak tahu

bahwa suatu barang adalah barang titipan, denga itikad baik telah menjual

barang tersebut, hanyalah diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang

diterimanya, atau jika ia belum menerima harga itu, menyerahkan hak

tuntutannya terhadap si pembeli barang (Pasal 1717). Jika ia menjualnya

(34)

mengembalikan uang pendapatan penjualan itu, ia juga dapat dituntut

membayar ganti rugi.62

Jika barang yang dititipkan itu telah memberikan hasil-hasil yang dipungut

atau diterima oleh si penerima titipan, maka ia diwajibkan mengembalikannya

(Pasal 1718 ayat (1)). Dalam hal yang dititipkan itu uang, si penerima titipan

tidak diharuskan membayar bunga, selainnya sejak hari ia lalai

mengembalikannya, setelah diperingatkan (Pasal 1718 ayat (2)).

Ketentuan tersebut adalah wajar, karena menurut hakekat perjanjian

penitipan si penerima tidak boleh memakai uang yang dititipkan itu, bahkan ia

harus mengembalikannya dalam mata uang yang sama seperti yang

diterimanya (lihat Pasal 1714). Tetapi kalau ia lalai mengembalikan uang

titipan itu setelah ia diperingatkan, orang yang menitipkan akan menderita

kerugian karena ia sudah mulai memerlukan uang itu, sehingga pembebanan

pembayaran bunga itu pantas pula. Dan bunga yang dibebankan ini tentunya

adalah yang dinamakan “bunga moratoir”, terhitung mulai pengembalian uang

titipan itu dituntutnya dimuka pengadilan. Apa yang dikenal sebagai “deposito”

dengan bunga (meskipun “deposito” artinya penitipan), bukan penitipan yang

kita bicarakan disini, karena pihak yang menerima deposito (uang) dibolehkan

(dan malahan itulah yang dimaksudkan) untuk memakai uang yang dititipkan

dan menyanggupi untuk membayar bunga atas penitipan itu. Pada hakekatnya

perjanjian deposito uang itu adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan

bunga.63

62

Ibid, hal. 112. 63

(35)

Selanjutnya, si penerima titipan tidak diperbolehkan mengembalikan

barangnya titipan selainnya kepada orang yang menitipkannya kepadanya atau

kepada orang yang atas namanya penitipan itu telah dilakukan atau yang

ditunjuk untuk menerima kembali barangnya (Pasal 1719).

Si penerima titipan tidak boleh menuntut dari orang yang menitipkan

barang, suatu bukti bahwa orang itu pemilik barang tersebut. Namun, jika ia

mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, dan siapa pemiliknya

sebenarnya, maka haruslah ia memberi tahu kepada orang ini bahwa barangnya

dititipkan kepadanya, disertai peringatan supaya meminta kembali barang itu

didalam suatu waktu tertentu yang patut. Jika orang kepada siapa

pemberitahuan itu telah dilakukan, melalaikan untuk meminta kembali

barangnya, maka si penerima titipan dibebaskan secara sah jika ia

menyerahkan barang itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya (Pasal

1720).

Selanjutnya, apabila orang yang menitipkan barang meninggal, maka

barangnya hanya dapat dikembalikan kepada ahli warisnya. Jika ada lebih dari

seorang ahli waris, maka barangnya harus dikembalikan kepada mereka

kesemuanya atau kepada masing-masing untuk bagiannya. Jika barang yang

dititipkan tidak dapat dibagi-bagi, maka para ahli waris harus mengadakan

mufakat tentang siapa yang diwajibkan mengopernya (Pasal 1721).

Jika orang yang menitipkan barang berubah kedudukannya misalnya

seorang perempuan yang pada waktu menitipkan barang tidak bersuami,

kemudian kawin; seorang dewasa yang menitipkan barang ditaruh dibawah

(36)

dititipkan tidak boleh dikembalikan selainnya kepada orang yang melakukan

pengurusan atas hak-hak dan harta-benda orang yang menitipkan barang,

kecuali apabila orang yang menerima titipan mempunyai alasan-alasan yang

sah untuk tidak mengetahui perubahan kedudukan tersebut (Pasal 1722).

Tentang seorang perempuan tak bersuami yang kemudian kawin, sekarang

tidak merupakan halangan lagi bagi si penerima titipan; untuk tetap

mengembalikan barangnya titipan kepada perempuan itu, tanpa ijin tertulis atau

bantuan dari suaminya, sejak adanya yurisprudensi yang menyatakan Pasal 108

KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi.

Jika penitipan barang telah dilakukan oleh seorang wali, seorang

pengampu, seorang suami (sudah tidak berlaku) atau seorang penguasa dan

pengurusan mereka itu telah berakhir, maka barangnya hanya dapat

dikembalikan kepada orang yang diwakili oleh wali, pengampu, suami atau

penguasa tersebut (Pasal 1723).

Pengembalian barang yang dititipkan harus dilakukan ditempat yang

ditunjuk dalam perjanjian. Jika perjanjian tidak menunjuk tempat itu,

barangnya harus dikembalikan ditempat terjadinya penitipan. Adapun biaya

yang harus dikeluarkan untuk itu harus ditanggung oleh orang yang menitipkan

barang (Pasal 1724).

Barang yang dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang menitipkan,

seketika apabila dimintanya, sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan

suatu waktu lain untuk pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu

penyitaan atas barang-barang yang berada ditangannya si penerima titipan

(37)

perjanjian penitipan ditetapkan lamanya waktu penitipan, maka penetapan

waktu ini hanya mengikat si penerima titipan tetapi tidak mengikat pihak yang

menitipkan. Setiap waktu barang titipan itu dapat diminta kembali.

Satu-satunya hal yang dapat menghalangi pengembalian barang adalah penyitaan

yang telah diletakkan oleh pihak ketiga atas barang tersebut. Ini dapat terjadi

misalnya apabila telah timbul suatu sengketa mengenai barang yang

bersangkutan. Dalam hal yang demikian maka jalan yang harus ditempuh oleh

orang yang menitipkan barang adalah mengajukan perlawanan (verzet)

terhadap penyitaan tersebut kepada Pengadilan Negeri.64

Si penerima titipan yang mempunyai alasan yang sah untuk membebaskan

diri dari barang yang dititipkan, meskipun belum tiba waktunya yang

ditetapkan dalam perjanjian, juga berhak mengembalikan barangnya kepada

orang yang menitipkan atau jika orang ini menolaknya, meminta izin hakim

untuk menitipkan barangnya disuatu tempat lain (Pasal 1726). Untuk

membebaskan diri dari barang titipan sebelum lewatnya waktu yang

ditetapkan, bagi si penerima titipan harus ada suatu alasan yang sah dan apabila

permintaannya untuk mengembalikan barangnya ditolak oleh orang yang

menitipkan, diperlukan izin dari hakim untuk menitipkan barang itu ditempat

lain, misalnya dikantor Balai Harta Peninggalan atau di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri.

Segala kewajiban si penerima titipan berhenti jika ia mengetahui dan dapat

membuktikan bahwa dia sendirilah pemilik barang yang dititipkan itu (Pasal

1727). Dalam hal yang demikian, maka perjanjian penitipan hapus dengan

64

(38)

sendirinya, karena si penerima titipan ternyata menguasai barang miliknya

sendiri.

Orang yang menitipkan barang diwajibkan mengganti kepada si penerima

titipan segala biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang

dititipkan, serta mengganti kepadanya semua kerugian yang disebabkan karena

penitipan itu (Pasal 1728).

Berhubung dengan ketentuan diatas, Pasal 1729 menyatakan bahwa si

penerima titipan berhak menahan barangnya hingga segala apa yang harus

dibayar kepadanya karena penitipan tersebut dilunasi.

Kemudian, untuk perjanjian penitipan barang sekestrasi, pada umumnya

tunduk pada aturan-aturan yang sama dengan penitipan sejati, dengan

pengecualian-pengecualian sebagai berikut:

Dalam hal penitipan sekestrasi atas perintah Hakim, pengangkatan seorang

penyimpan barang dimuka Hakim, menerbitkan kewajiban-kewajiban yang

bertimbal balik antara si penyita dan si penyimpan. Si penyimpan diwajibkan

memelihara barang-barang yang telah disita sebagai seorang bapak rumah

tangga yang baik. Ia harus menyerahkan barang-barang itu untuk dijual supaya

dari pendapatan penjualan itu dapat dilunasi piutang-piutang si penyita, atau

menyerahkannya kepada pihak terhadap siapa penyitaan telah dilakukan, jika

penyitaan itu dicabut kembali. Adalah menjadi kewajiban si penyita untuk

membayar kepada si penyimpan upahnya yang ditentukan dalam

undang-undang (Pasal 1739).

Memelihara barang sebagai seorang bapak rumah yang baik diartikan

(39)

miliknya sendiri. Apabila kreditor sudah dimenangkan perkaranya dengan

suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, maka penyitaan

conservatoir atas barang-barang si debitor otomatis berubah menjadi penyitaan

eksekutorial, yang berarti bahwa barang-barang sitaan itu harus dijual untuk

melunasi piutang kreditor. Sebaliknya apabila gugatan kreditor (si penyita)

ditolak, maka penyitaan itu akan dicabut oleh Hakim dan si penyimpan harus

menyerahkan barang itu kepada debitor.65

C. Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan

1. Pengertian Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan

Dalam hukum perjanjian dikenal adanya suatu perjanjian untuk melakukan

pekerjaan. Dari bunyi Pasal 1601 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa

perjanjian untuk melakukan pekerjaan ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;

b. perjanjian kerja/perburuhan; dan

c. perjanjian pemborongan pekerjaan.

Perjanjian kerja/perburuhan diatur dari Pasal 1601 sampai dengan Pasal

1603 KUHPerdata, sedangkan perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dari

Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617 KUHPerdata. Berkaitan dengan skripsi

ini, maka hanya akan dibahas mengenai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa

tertentu saja, karena perjanjian penitipan anak erat kaitannya dengan jasa

penitipan anak. Oleh karena itu, perjanjian kerja dan pemborongan pekerjaan

tidak perlu dibahas dalam skripsi ini.

65

(40)

2. Perjanjian Melakukan Jasa Tertentu

Mengenai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, ada yang diatur

dalam KUHPerdata, ada juga yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian

untuk melakukan jasa tertentu yang diatur dalam KUHPerdata, contohnya

adalah perjanjian antara seorang pengacara dengan kliennya. Perjanjian ini

diatur oleh ketentuan yang khusus untuk itu, yakni ketentuan dalam perjanjian

pemberian kuasa yang diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian untuk melakukan

jasa tertentu yang tidak diatur dalam KUHPerdata, diatur oleh syarat-syarat

yang diperjanjikan oleh para pihak atau diatur oleh kebiasaan.

Menurut Subekti, perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah

perjanjian dimana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya dilakukan suatu

pekerjaan untuk mencapai tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah,

sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama

sekali terserah kepada pihak lainnya. Biasanya pihak lain ini adalah seorang

ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya juga sudah memasang

tarif untuk jasanya itu. Upahnya biasanya dinamakan honorarium.66

Pada umumnya, perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu biasanya dalam

hal: hubungan antara seorang pasien dengan seorang dokter yang diminta

jasanya untuk menyembuhkan suatu penyakit; hubungan antara seorang

pengacara dengan kliennya yang diminta untuk mengurus suatu perkara;

hubungan antara seorang notaris dengan seorang yang datang kepadanya untuk

dibuatkan suatu akte; atau yang lagi marak saat ini adalah penggunaan jasa

online berbasis aplikasi untuk mengantar ke suatu tempat, baik itu seseorang

maupun makanan ataupun barang dengan tarif tertentu. Termasuk dalam hal

ini, jasa penitipan anak yang juga sedang marak saat ini.

66

Gambar

Tabel Umur Anak/ Belum dewasa30

Referensi

Dokumen terkait

Pada dasarnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian, kecuali terhadap orang-orang yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap. Hal ini sesuai dengan apa

“Tiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali jika ia dinyatakan tidak cakap untuk hal itu.” Pada dasarnya semua subyek hukum cakap untuk melakukan perjanjian tiada satu

Dalam eksekusi riil ini, kedua pihak dalam perjanjian yaitu orang tua anak sebagai pihak penitip dan YPAB Surakarta sebagai pihak yang menerima titipan harus melaksanakan

Berdasarkan pengertian diatas, maka dalam memberikan upaya kesejahteraan pada anak yatim harus dilakaukan secara menyeluruh yang menyangkut semua aspek kehidupan, baik jasmani,