BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENITIPAN BARANG
DAN PERJANJIAN MELAKUKAN JASA TERTENTU
A. Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah
persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau
lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.15 Pengertian dari perjanjian dapat ditemukan di dalam
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang
Perikatan Pasal 1313. Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan:
"suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih."
Definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata ini tidak jelas.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya
disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun
disebut dengan perjanjian.16
Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber
lainnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak
15
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikthasar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hal. 458.
16
atau lebih itu setuju untuk membuat perjanjian. Dapat dikatakan bahwa
dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.17
Adapula yang berpendapat bahwa perjanjian tidak sama dengan
persetujuan. Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst
sedangkan perjanjian merupakan terjemahan dari toestemming yang
ditafsirkan sebagai wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/ kata
sepakat).18 Perbedaan pandangan dari para sarjana tersebut diatas, timbul
karena adanya sudut pandang yang berbeda, yaitu pihak yang satu melihat
objeknya dari perbuatan yang dilakukan subyek hukumnya. Sedangkan
pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal itu menyebabkan
banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah
perjanjian tersebut.
Menurut pendapat yang banyak dianut (communis opinion
cloctortinz) perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Hal itu sependapat pula dengan
Sudikno, yang berpendapat bahwa perjanjian merupakan hubungan hukum
antara dua pihak atau lebih berdasar kata sepakat untuk menimbulkan
suatu akibat hukum.19
Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang
saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.20 R. Setiawan,
menyebutkan bahwa perjanjian ialah suatu perbuatan hukum dimana satu
17
Subekti, loc.cit.
18
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1985, hal. 97.
19
Ibid, hal. 97-98. 20
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.21 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan
perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya
terhadap seorang lain atau lebih.22
Pendapat lainnya yaitu menurut M. Yahya Harahap
mengemukakan perjanjian mengandung suatu hubungan hukum kekayaan
atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak
pada satu pihak untuk memperoleh prestasi sekaligus mewajibkan pada
pihak lain untuk menunaikan prestasi.23
Menurut Wirjono Prodjokoro, yang dimaksud dengan perjanjian
adalah sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua
pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak
lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.24
Dari pendapat-pendapat di atas, maka pada dasarnya perjanjian
adalah proses interaksi atau hubungan hukum dan dua perbuatan hukum
yaitu penawaran oleh pihak yang satu dan penerimaan oleh pihak yang
lainnya sehingga tercapai kesepakatan untuk menentukan isi perjanjian
yang akan mengikat kedua belah pihak.
Selanjutnya pengertian perjanjian yang dibahas pada Pasal 1313
KUHPerdata, ternyata mendapat kritik dari para sarjana karena
21
R. Setiawan, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bandung: Bina Cipta, 1987, hal. 49.
22
Sri Sofwan Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia, Yogyakarta: Liberty Offset, 2003, hal. 1.
23
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung: Alumni, 1986, hal. 6. 24
mengandung kelemahan-kelemahan. Sehingga di dalam prakteknya
menimbulkan berbagai keberatan sebab di satu pihak batasan tersebut
sangat kurang lengkap, namun di pihak lain terlalu luas. Rumusan
pengertian tentang perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata tersebut
memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjian akan selalu
ada dua pihak, di mana satu pihak adalah pihak yang wajib berprestasi
(debitor) dan pihak lainnya adalah pihak yang berhak atas prestasi tersebut
(kreditor). Dari pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata
tersebut mengandung unsur:
a) Perbuatan
Penggunaan kata "perbuatan" pada perumusan tentang perjanjian
ini lebih tepat jika diganti dengan kata perbuatan hukum atau
tindakan hukum, karena perbuatan tersebut membawa akibat
hukum bagi para pihak yang memperjanjikan;
b) Satu orang atau lebih terhadap satu orang lain atau lebih
Untuk adanya suatu perjanjian, paling sedikit harus ada dua pihak
yang saling berhadap-hadapan dan saling memberikan pernyataan
yang cocok/pas satu sama lain. Pihak tersebut adalah orang atau
badan hukum.
c) Mengikatkan dirinya
Di dalam perjanjian terdapat unsur janji yang diberikan oleh pihak
yang satu kepada pihak yang lain. Dalam perjanjian ini orang
terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya
Sebelum suatu perjanjian disusun perlu diperhatikan identifikasi
para pihak, penelitian awal tentang masing-masing pihak sampai dengan
konsekuensi yuridis yang dapat terjadi pada saat perjanjian tersebut
dibuat.25
Setelah subjek hukum dalam perjanjian telah jelas, termasuk
mengenai kewenangan hukum masing-masing pihak, maka pembuat
perjanjian harus menguasai materi atas perjanjian yang akan dibuat oleh
para pihak. Dua hal paling penting dalam perjanjian adalah objek dan
hakikat daripada perjanjian serta syarat-syarat atau ketentuan yang
disepakati.26
2. Syarat Sahnya Perjanjian
Tiap-tiap perjanjian mempunyai dasar pembentukan. Ilmu hukum
mengenal empat unsur pokok yang harus ada agar suatu perbuatan hukum
dapat disebut dengan perjanjian yang sah, menurut Pasal 1320 KUHPerdata,
sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu:
1) Sepakat untuk mengikatkan diri;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3) Suatu hal tertentu;
4) Sebab yang halal.
Berikut ini akan penulis uraikan lebih lanjut mengenai syarat sahnya
perjanjian diatas:
25
Salim H.S. dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU),
Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hal. 124. 26
Ad.1. Sepakat untuk mengikat diri
Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang mengadakan
perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai segala
sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara bebas,
artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan. Sepakat
atau dinamakan juga perizinan, bahwa kedua belah pihak, dalam suatu
perjanjian harus mempunyai kehendak yang bebas untuk mengikatkan diri
pada yang lain. Kehendak ini dapat dinyatakan dengan tegas atau secara
diam-diam. Kehendak yang bebas ini dianggap tidak ada jika perjanjian itu
terjadi karena paksaan (dwang), kehilafan (dwaling), atau penipuan
(bedrog).27 Dengan diperlakukannnya kata sepakat mengadakan
perjanjian, maka berarti bahwa kedua belah pihak haruslah mempunyai
kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang
mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut.28
Pengertian sepakat dilukiskan sebagai pernyataan kehendak yang
disetujui antara para pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan
dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima tawaran
dinamakan akseptasi (acceptatie).
Ada beberapa teori yang menjelaskan saat-saat terjadinya
perjanjian antara pihak, yaitu:
27
Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Perjanjian, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995, hal. 50.
28
a. Teori kehendak (willtheorie) mengajarkan bahwa kesepakatan
terjadi pada saat kehendak pihak penerima dinyatakan, misalnya
dengan menuliskan surat.
b. Teori pengiriman (verzendtheorie) mengajarkan bahwa
kesepakatan terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim
oleh pihak yang menerima tawaran.
c. Teori pengetahuan (vernemingstheorie) mengajarkan bahwa pihak
yang menawarkan seharusnya sudah mengetahui tawarannya
diterima.
d. Teori kepercayaan (vertrouwenstheorie) mengajarkan bahwa
kesepakatan itu terjadi pada saat pernyataan kehendak dianggap
layak diterima oleh pihak yang menawarkan.29
Ad.2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
Kecakapan adalah adanya kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian. Menurut hukum, kecakapan termasuk kewenangan untuk
melakukan tindakan hukum pada umumnya, dan menurut hukum setiap
orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali orang-orang yang
menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian menurut Pasal 1330 KUHPerdata adalah
sebagai berikut:
29
a. Orang-orang yang belum dewasa
Ketentuan mengenai orang-orang yang belum dewasa terdapat
perbedaan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya,
yaitu:
Dasar Hukum Pasal
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek)
Pasal 330, Belum dewasa adalah yang belum mencapai 18 tahun. UU No. 13 Tahun 2003 tentang
kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Pasal 1 ayat (1) Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam
kandungan.
Tabel Umur Anak/ Belum dewasa30
30
Adapun dari tabel diatas, maka apabila seseorang belum memenuhi
ketentuan dikatakan sudah dewasa maka ia belum cakap bertindak dalam
hukum termasuk untuk membuat suatu perjanjian.
b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele)
Orang-orang yang berada di bawah pengampuan adalah setiap
orang yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak, gelap mata, dan
pemboros.31 Orang yang sudah dewasa, yang menderita sakit ingatan
menurut undang-undang harus ditaruh di bawah pengampuan atau
curatele. Selanjutnya diterangkan, bahwa seorang dewasa juga dapat
ditaruh dibawah curatele dengan alasan bahwa ia mengobralkan
kekayaannya. Kedudukan seorang yang telah dewasa ditaruh di bawah
curatele, sama seperti orang yang belum dewasa. Ia tak dapat lagi
melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah. Akan tetapi seorang
yang ditaruh di bawah curatele atas alasan mengobralkan kekayaannya,
menurut undang-undang masih dapat membuat testamen dan juga masih
dapat melakukan perkawinan serta membuat perjanjian perkawinan,
meskipun untuk perkawinan ini ia harus selalu mendapat izin dan bantuan
curator (orang yang mengampu) serta weeskamer (Balai Harta
Peninggalan). Bahwa seorang yang ditaruh di bawah curatele atas alasan
sakit ingatan tidak dapat membuat suatu testamen dan juga tidak dapat
melakukan perkawinan tidak usah diterangkan lagi, karena untuk
31
perbuatan-perbuatan tersebut diperlukan pikiran yang sehat dan kemauan
yang bebas.32
c. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang
telah dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.33
Baik yang belum dewasa maupun masih dibawah pengampuan
apabila mereka akan melakukan perbuatan hukum harus diwakilkan oleh
wali mereka. Ketentuan dalam KUHPerdata dalam Pasal 108 dan 110
mengenai seorang perempuan bersuami pada saat melakukan perbuatan
hukum harus mendapat izin dari suaminya sudah tidak berlaku lagi, yaitu
berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 Tahun
1963, yang menyatakan "Pasal-Pasal 108 dan 110 B.W. tentang wewenang
seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap di
muka Pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suami. Dengan demikian
tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua Warga Negara
Indonesia". Selain itu juga sudah diperkuat menurut ketentuan Pasal 31
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang ayat (1)
menyatakan "Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat". Dan ayat (2) yang menyatakan
"masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum".
32
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit, hal. 56-57. 33
Ad.3. Suatu hal tertentu
Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian bahwa suatu perjanjian harus
mengenai oleh suatu hal tertentu yang merupakan pokok perjanjian yaitu
objek perjanjian. Suatu hal tertentu berkaitan dengan objek perjanjian
(Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334 KUHPerdata). Objek perjanjian
yang dapat dikategorikan dalam Pasal 1332 sampai dengan Pasal 1334
adalah:
1. Objek yang akan ada, asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.
2. Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan
untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).34
Perjanjian yang objeknya tidak jelas karena tidak dapat ditentukan
jenisnya, atau tidak dapat diperdagangkan, atau tidak dapat dinilai dengan
uang, atau yang tidak mungkin dilakukan, menjadi batal demi hukum.
Syarat ini diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika
terjadi perselisihan. Pasal 1333 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai sebagai suatu pokok yang paling sedikit
ditetapkan jenisnya, tidaklah menjadi halangan bahwa suatu barang tidak
ditentukan/tertentu, asalkan saja jumlahnyakemudian dapat ditentukan/
dihitung, dalam Pasal 1334 KUHPerdata barang-barang yang baru akan
ada dikemudian hari dapat menjadi pokok perjanjian, dengan hal ini jelas
bahwa yang dapat menjadi pokok perjanjian adalah barang-barang yang
sudah ada dan baru akan ada.
34
Ad.4. Suatu sebab yang halal
Perkataan “sebab” merupakan padanan kata dari bahasa Belanda
“oorzaak” dan bahasa latin “causa”.35 Sebab ialah tujuan antara dua belah
pihak yang mempunyai maksud untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337
KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah jika ia dilarang oleh
undang-undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban.36 Menurut Pasal
1335 KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak
mempunyai kekuatan atau batal demi hukum. Dengan demikian tidak ada
dasar menuntut pemenuhan perjanjian dimuka hakim karena semula
dianggap tidak ada perjanjian. Apabila perjanjian yang dibuat tidak ada
causa maka tidak ada suatu perjanjian.
Dari keempat syarat sahnya suatu perjanjian tersebut diatas, harus
benar-benar dipenuhi didalam membuat suatu perjanjian. Pada dua syarat
yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat-syarat
subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif,
karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum
yang dilakukan.37 Apabila syarat kesatu dan kedua (syarat subjektif) tidak
dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, artinya salah satu
pihak dapat meminta pada Hakim agar perjanjian itu dibatalkan sedangkan
apabila syarat ketiga dan keempat (syarat objektif) tidak dipenuhi, maka
perjanjian itu batal demi hukum artinya sejak semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian.
35
Wirjono Prodjodikoro, op.cit, hal. 35. 36
Juajir Sumardi, op.cit, hal. 51. 37
3. Asas-Asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian dikenal berbagai asas. Arti asas secara etimologi
adalah dasar yaitu sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat.38
Menurut Mahadi, bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai
alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan,
untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.39
Di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal
menurut hukum perdata, sebagaimana halnya dengan perjanjian pada
umumnya yang diatur dalam KUHP Perdata, asas itu antara lain adalah:
1) Asas kebebasan berkontrak (Freedom of Contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal
1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
a. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
d. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.40
Dipertegas kembali dengan ketentuan ayat 2 yang menyatakan
bahwa perjanjian yang disepakati tidak dapat ditarik kembali secara
sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut tanpa adanya
38
persetujuan dari lawan pihak atau dalam dimana oleh undang-undang
dinyatakan cukup adanya alasan itu.
2) Asas konsensualisme (Concensualism)
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat
sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah
pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak.
3) Asas kepastian hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt
servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian.
Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga
harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak.41
Pasal 1338 KUHPerdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang
membuatnya. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali,
kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan
41
alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Adakalanya juga suatu
perjanjian, meskipun dengan persetujuan bersama tidak boleh dicabut
kembali. Misalnya perjanjian perkawinan (Pasal 149 KUHPerdata),
penarikan kembali atau pengakhiran oleh suatu pihak hanyalah mungkin
dalam perjanjian-perjanjian di mana hal itu diizinkan. Biasanya dalam
perjanjian-perjanjian yang kedua pihak terikat untuk suatu waktu yang
tidak tertentu, dibolehkan pengakhiran oleh salah satu pihak dengan tidak
usah menyebutkan sesuatu alasan. Misalnya dalam perjanjian kerja dan
perjanjian penyuruhan (pemberian kuasa).42
4) Asas itikad baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdatayang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Maksud kalimat ini bahwa cara menjalankan suatu perjanjian tidak
boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan43. Asas ini merupakan
asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan
yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi
menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak.44 Pada
itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan ingkah laku yang
nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal
sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
42
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit, hal. 139. 43
Ibid., hal. 140. 44
5) Asas kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa
seseorang yang akan melakukan dan/ atau membuat kontrak hanya untuk
kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan
Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: “Pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian
selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan
dirinya sendiri.
Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku
antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya
sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: “Dapat
pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada
orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini
mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/
kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang
ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan
ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
Kedua pasal itu jika dibandingkan, maka Pasal 1317 KUHPerdata
1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan
demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya,
sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas.45
Selain kelima asas di atas, Mariam Darus Badrulzaman (dkk)
dalam bukunya Kompilasi Hukum Perikatan mengemukakan beberapa asas
lain yang diatur dalam KUH Perdata yaitu:
6) Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel)
Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain
menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itu bahwa satu
sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi
prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka
perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak. Dengan
kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.
7) Asas persamaan hukum
Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat,
tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat
adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati
satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.
45
8) Asas keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas
persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan
jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan
perjanjian itu dengan iktikad baik. Kedudukan kreditur yang kuat
diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik
sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
9) Asas kepastian hukum
Perjanjian sebagai suuatu fitur hukum harus mengandung kepastian
hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu
yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
10) Asas moral
Asas ini terlihat dalam perikatan wajar dimana suatu perbuatan
sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat
kontraprestasi dari pihak debitur juga hal ini terlihat di zaman
zaakwarneming dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan
dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban
(hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini
terdapat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan
berdasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati
nuraninya.
11) Asas kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUH Perdata, asas
kepatutan di sini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Asas
kepatutan ini harus dipertahankan karena melalui asas ini ukuran tentang
hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
Munir Fuady juga menyebutkan beberapa asas lainnya dalam
hukum perjanjian, yaitu:
12) Asas kebiasaan
Pasal 1339 KUH Perdata menentukan bahwa suatu kontrak tidak
hanya mengikat terhadap isi kontrak tersebut, melainkan mengikat dengan
hal-hal yang merupakan kebiasaan. Suatu kontrak dagang misalnya juga
mengikat dengan kebiasaan dagang, termasuk kebiasaan menafsirkan
kata-kata dalam kontrak dagang (trade usage), seperti apabila kontrak jual beli
satu rim kertas dimana satu rim kertas berisikan 400 lembar kertas, akan
tetapi jika ada pembelian satu rim kertas dan satu rim tersebut berisikan
395 lembar, hal tersebut belum bisa dikatakan bahwa pihak penjual telah
melakukan wanprestasi dengan mengirim 395 lembar kertas (bukan 400
lembar) sebab menurut kebiasaan dagang (trade usage), kelebihan atau
kekurangan 10 lembar dalam satu rim dapat ditoleransi dan biasa dalam
13) Asas tidak melanggar prinsip kepentingan umum
Suatu pembuatan dan pelaksanaan kontrak tidaklah boleh
melanggar prinsip kepentingan umum (openbaar orde) karena sesuai
dengan prinsip hukum yang universal dan sangat mendasar bahwa
kepentingan umum tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan pribadi. Oleh
karena itu, jika ada kontrak yang bertentangan dengan kepentingan/
ketertiban umum, maka kontrak tersebut sudah pasti bertentangan dengan
undang-undang yang berlaku yang menurut Pasal 1339 KUH Perdata, hal
tersebut tidak dibenarkan. Contoh kontrak yang bertentangan dengan
kepentingan/ ketertiban umum adalah kontrak jual beli obat bius.46
4. Wanprestasi
Adakalanya suatu perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya
suatu perjanjian, tidak juga dapat terlaksana sebagaimana yang telah
diperjanjikan. Perjanjian pada umumnya akan diakhiri dengan pelaksanaaan
sesuai dengan persyaratan yang tercantum di perjanjian. Pemenuhan
perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan disebut prestasi, sebaliknya
apabila pihak yang lainnya tidak melaksanakannya, maka ia disebut
wanprestasi. Perkataan ini berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi
buruk (bandingkan: wanbeheer yang berarti pengurusan buruk, wandaad
yang berarti perbuatan buruk).
46
Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena
disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja wanprestasi ini
dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi
tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.47
Wanprestasi dapat berupa:
a. Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
b. Prestasi tidak dilakukan dengan sempurna;
c. Terlambat memenuhi prestasi;
d. Melakukan apa yang dilarang dalam perjanjian;
Akibat terjadinya wanprestasi, pihak yang melakukan wanprestasi
harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa
tuntutan:48
a. Pembatalan kontrak saja;
b. Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi;
c. Pemenuhan kontrak saja;
d. Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.
Sedangkan menurut Subekti, tuntutan atas terjadinya wanprestasi,
antara lain:49
a. Pemenuhan perjanjian;
b. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
c. Ganti rugi saja;
d. Pembatalan Perjanjian;
e. Pembatalan disertai ganti rugi.
47
Ahmadi Miru, 2007, op.cit, hal.74. 48
Ibid., hal. 75. 49
Tetapi juga tidak semua kerugian dapat dimintakan penggantian.
Undang-undang dalam hal ini mengadakan pembatasan, dengan menetapkan
hanya kerugian yang dapat dikira-kirakan atau diduga pada waktu perjanjian
dibuat (te voorzien) dan yang sungguh-sungguh dapat dianggap sebagai
suatu akibat langsung dari kelalaian si berhutang saja dapat dimintakan
penggantian. Dan jika barang yang harus diserahkan itu berupa uang tunai,
maka yang dapat diminta sebagai penggantian kerugian ialah bunga uang
menurut penetapan undang-undang.50
Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah
debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri
dari akibat buruk wanprestasi tersebut. Tangkisan atau pembelaan tersebut
dapat berupa:51
a. Wanprestasi terjadi karena keadaan memaksa (overmacht);
b. Wanprestasi terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exception non
adimple contractus);
c. Wanprestasi terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas
pemenuhan prestasi.
Dalam KUHPerdata, keadaan memaksa (overmacht) diatur dalam
Pasal 1244 dan Pasal 1245. Pasal 1244 KUHPerdata: “Debitur harus
dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila ia tak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya
waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang tak
50
Ibid, hal. 149. 51
terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya, walaupun tidak ada
itikad buruk padanya.”
Pasal 1245 KUHPerdata: “Tidak ada penggantian biaya, kerugian
dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara
kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”
Dari pasal-pasal di atas, dapat dilihat bahwa keadaan memaksa
adalah suatu kejadian yang tak terduga, tak disengaja, dan tak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur serta memaksa dalam arti debitur
memaksa tidak menepati janjinya.52
Ada pun unsur-unsur yang harus memenuhi keadaan memaksa
yaitu:53
a. Tidak memenuhi prestasi;
b. Ada sebab yang terletak di luar kesalahan tersebut
c.Faktor penyebab itu tidak diduga sebelumnya dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepada debitur.
Akibat keadaan memaksa, yaitu:54
a. Kreditur tidak dapat menuntut agar perikatan itu dipenuhi;
b. Tidak dapat mengatakan debitur berada dalam keadaan lalai dan karena
itu tidak dapat menuntut;
c. Kreditur tidak dapat meminta pemutusan perjanjian;
52
Ibid., hal. 56. 53
Mariam Darus Badrulzaman, Sutan Remy Sjahdeini, Heru Soepraptomo, Faturrahman Djamil, dan Taryana Soenandar, op.cit., hal. 25.
54
B. Perjanjian Penitipan Barang
1. Pengertian Perjanjian Penitipan Barang
Pengertian dari perjanjian penitipan barang yang diatur dalam
KUHPerdata terdapat dalam pasal 1694 yang menyebutkan:
”penitipan adalah terjadi, apabila seorang menerima sesuatu barang
dari seorang lain, dengan syarat bahwa ia akan menyimpannya dan
mengembalikannya dalam ujud asalnya.”
Berdasarkan ketentuan Pasal 1694 KUHPerdata ini diketahui bahwa
penitipan baru terjadi jika barang yang menjadi pokok perjanjian telah
diserahkan. Oleh karena itu perjanjian penitipan barang merupakan termasuk
jenis perjanjian riil. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru terjadi kalau
dilakukan suatu perbuatan yang nyata yaitu adanya penyerahan barang yang
dititipkan tersebut.55
Jadi perjanjian penitipan barang tidak seperti perjanjian-perjanjian lainnya
pada umumnya yang lazimnya adalah konsensual, yaitu sudah dilahirkan pada
saat tercapainya kata sepakat tentang hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.56
2. Jenis-Jenis Penitipan Barang
Di dalam KUHPerdata, ada dua jenis penitipan barang, yaitu penitipan
yang sejati dan sekestrasi. Berikut dijelaskan mengenai jenis-jenis penitipan
barang tersebut.
55
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, op.cit., hal: 49. 56
a. Penitipan Barang yang Sejati
Penitipan barang yang sejati diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas
Bagian Ke-dua, mulai dari pasal 1696 sampai dengan pasal 1729
KUHPerdata. Pasal 1696 ayat (1) KUHPerdata menyebutkan bahwa
penitipan barang yang sejati dianggap telah dibuat dengan cuma-cuma,
jika tidak diperjanjikan sebaliknya. Kemudian ayat (2) nya menyatakan
bahwa penitipan barang yang sejati ini hanya dapat mengenai
barang-barang yang bergerak. Selanjutnya Pasal 1697 KUHPerdata
menyatakan bahwa perjanjian tersebut tidaklah telah terlaksana
selainnya dengan penyerahan barangnya secara sungguh-sungguh atau
secara dipersangkakan. Ketentuan ini mengambarkan lagi sifatnya rill
dari perjanjian penitipan, yang berlainan dari sifat perjanjian-perjanjian
lain yang pada umumnya adalah konsesual.
Penitipan barang yang sejati ada dua macam, yaitu sebagai berikut:
Penitipan Barang dengan Sukarela
Dari ketentuan Pasal 1699 KUHPerdata, dapat diketahui bahwa
penitipan barang dengan sukarela terjadi karena sepakat bertimbal balik
antara pihak yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan.
Penitipan barang dengan sukarela hanyalah dapat terjadi antara
orang-orang yang mempunyai kecakapan untuk membuat
perjanjian-perjanjian. Namun jika itu seorang yang cakap untuk untuk membuat
perjanjian, menerima penitipan suatu barang dari seorang yang tidak
cakap untuk membuat perjanjian, maka tunduklah ia pada semua
sungguh-sungguh (Pasal 1701 KUHPerdata). Yang dimaksudkan oleh ketentuan
tersebut adalah bahwa meskipun penitipan sebagai suatu perjanjian
yang sah hanya dapat diadakan antara orang-orang yang cakap menurut
hukum, namun apabila seorang yang cakap menerima suatu penitipan
barang dari seorang yang tidak cakap maka si penerima titipan harus
melakukan semua kewajiban yang berlaku dalam suatu perjanjian
penitipan yang sah.57
Kemudian Pasal 1702 KUHPerdata mengatakan jika penitipan
dilakukan oleh seorang yang berhak kepada seorang yang tidak cakap
untuk membuat perjanjian, maka pihak yang menitipkan hanyalah
mempunyai hak terhadap pihak yang menerima titipan untuk menuntut
pengembalian barang yang dititipkan, selama barang ini masih ada pada
pihak yang terakhir itu; atau, jika barangnya sudah tidak ada lagi pada
si penerima titipan, maka dapatlah ia menuntut pemberian ganti rugi
sekadar si penerima titipan itu telah memperoleh manfaat dari barang
tersebut. Maksudnya adalah, bahwa jika seorang yang cakap menurut
hukum menitipkan barang kepada seorang yang tidak cakap, maka ia
memikul risiko kalau barang itu dihilangkan. Hanyalah, kalau si
penerima titipan itu ternyata telah memperoleh manfaat dari barang
yang telah dihilangkan, maka orang yang menitipkan dapat menuntut
pemberian ganti rugi. Si penerima titipan dapat dikatakan telah
memperoleh manfaat dari barang yang telah dihilangkan itu
umpamanya kalau ia telah menjualnya dan uang pendapatan penjualan
57
telah dipakainya. Jadi kalau barangnya hilang dicuri orang karena si
penerima titipan tidak menyimpannya dengan baik, tidak ada tuntutan
ganti rugi. Dengan sendirinya tuntutan pemberian gani rugi ini harus
dilakukan terhadap orangtua atau wali dari si penerima titipan.58
Penitipan Barang Karena Terpaksa
Menurut Pasal 1703 KUHPerdata, yang dinamakan penitipan
barang karena terpaksa adalah penitipan yang terpaksa dilakukan oleh
seseorang karena timbulnya suatu malapetaka, misalnya: kebakaran,
runtuhnya gedung, perampokan, karamnya kapal, banjir, dan lain-lain
peristiwa yang tak tersangka. Kemudian disebutkan dalam Pasal 1705
KUHPerdata, penitipan barang karena terpaksa ini diatur menurut
ketentuan seperti yang berlaku terhadap penitipan sukarela. Maksudnya
adalah bahwa suatu penitipan yang dilakukan secara terpaksa itu
mendapat perlindungan dari undang-undang yang tidak kurang dari
suatu penitipan yang terjadi secara sukarela.
b. Penitipan Barang Sekestrasi
Penitipan barang sekestrasi diatur dalam Buku III Bab Ke-sebelas
Bagian Ke-tiga, mulai dari pasal 1730 sampai dengan pasal 1739
KUHPerdata. Definisi dari sekestrasi disebutkan dalam Pasal 1730 ayat
(1) KUHPerdata yang berbunyi: ”sekestrasi ialah penitipan barang
tentang mana ada perselisihan, diatangannya seorang pihak ketiga yang
58
mengikat diri untuk, setelah perselisihan itu diputus, mengembalikan
barang itu kepada siapa yang akan dinyatakan berhak, beserta
hasil-hasilnya.”
Penitipan barang sekestrasi ini terdiri atas dua macam, yaitu:
Sekestrasi yang Terjadi dengan Perjanjian atau Persetujuan
Sekestrasi yang terjadi dengan perjanjian atau persetujuan adalah
apabila barang yang menjadi sengketa diserahkan kepada seorang pihak
ketiga oleh satu orang atau lebih secara sukarela (Pasal 1731
KUHPerdata). Sekestrasi dapat mengenai baik barang-barang bergerak
maupun barang-barang tak bergerak (Pasal 1734 KUHPerdata), jadi
berlainan dari penitipan barang yang sejati, yang hanya dapat mengenai
barang yang bergerak saja (lihat Pasal 1696 KUHPerdata).
Si penerima titipan yang ditugaskan melakukan sekestrasi tidak
dapat dibebaskan dari tugasnya, sebelum persengketaan diselesaikan,
kecuali apabila semua pihak yang berkepentingan menyetujuinya atau
apabila ada suatu alasan lain yang sah (Pasal 1735 KUHPerdata).
Sekestrasi atas Perintah Hakim
Sekestrasi atas perintah Hakim terjadi apabila Hakim
memerintahkan supaya suatu barang tentang mana ada sengketa,
dititipkan kepada seorang (Pasal 1736 KUHPerdata). Selanjutnya
mengenai sekestrasi ini dijelaskan dalam Pasal 1737 KUHPerdata
sebagai berikut:
seorang yang disetujui oleh pihak-pihak yang berkepentingan atau
kepada seorang yang ditetapkan oleh Hakim karena jabatan.
Dalam kedua-duanya hal, orang kepada siapa barangnya telah
dipercayakan, tunduk kepada segala kewajiban yang terbit dalam
halnya sekestrasi dengan persetujuan, dan selainnya itu ia diwajibkan
saban tahun, atas tuntutan Kejaksaan, memberikan suatu perhitungan
secara ringkas tentang pengurusannya kepada Pengadilan, dengan
memperlihatkan ataupun menunjukkan barang-barang yang
dipercayakan kepadanya, namunlah disetujuinya perhitungan itu tidak
akan dapat diajukan terhadap para pihak yang berkepentingan.
Hakim dapat memerintahkan sekestrasi:
Terhadap barang-barang bergerak yang telah disita ditangannya
seorang berutang (debitor).
Terhadap suatu barang bergerak maupun tak bergerak, tentang
mana hak miliknya atau hak penguasaannya menjadi
persengketaan;
Terhadap barang-barang yang ditawarkan oleh seorang berutang
(debitor) untuk melunasi utangnya (Pasal 1738 KUHPerdata).
Penyitaan yang disebutkan poin pertama diatas adalah penyitaan
conservatoir yang telah dilakukan atas permintaan seorang penggugat,
sedangkan penawaran barang-barang oleh seorang debitor kepada
kreditornya untuk melunasi utangnya, sebagaimana disebutkan poin
ke-3, dilakukan dalam hal kreditor itu menolak pembayaran yang akan
seorang jurusita atau notaris untuk menawarkan barang atau uang
tersebut (secara resmi) kepada kreditor tersebut. Apabila penawaran
tersebut ditolak oleh kreditor, maka barang atau uang tersebut dapat
dititipkan dikepaniteraan Pengadilan atau kepada seorang yang ditunjuk
oleh Hakim. Perbuatan ini akan disusul oleh suatu gugatan dari debitor
tersebut untuk menyatakan sah penitipan tersebut, dan dengan
disahkannya penitipan itu, maka si debitor dibebaskan dari utangnya.59
3. Hak dan Kewajiban Para Pihak Perjanjian Penitipan Barang
Dalam perjanjian penitipan barang, pihak-pihak yang terkait adalah pihak
yang menitipkan barang dan pihak yang menerima titipan. Para pihak tersebut
memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Berikut akan dijelaskan
mengenai apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian penitipan barang sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, yaitu
antara lain:
Untuk perjanjian penitipan barang yang sejati, baik dengan sukarela
maupun terpaksa, di dalam Pasal 1706 mewajibkan si penerima titipan,
mengenai perawatan barang yang dipercayakan kepadanya, memeliharanya
dengan minat yang sama seperti ia memelihara barang miliknya sendiri.
Ketentuan tersebut menurut Pasal 1707 harus dilakukan lebih keras dalam
beberapa hal, yaitu:
a. jika si penerima titipan telah menawarkan dirinya untuk menyimpan
barangnya;
59
b. jika ia telah meminta diperjanjikannya sesuatu untuk penyimpanan itu;
c. jika penitipan telah terjadi sedikit banyak untuk kepentingan si
penerima titipan; dan
d. jika telah diperjanjikan bahwa si penerima titipan akan menanggung
segala macam kelalaian.
Tidak sekali-kali si penerima titipan bertanggung jawab tentang
peristiwa-peristiwa yang tak dapat disingkiri, kecuali apabila ia lalai dalam pengembalian
barang yang dititipkan. Bahkan dalam hal yang terakhir ini ia tidak
bertanggung jawab jika barangnya juga akan musnah seandainya telah berada
ditangannya orang yang menitipkan (Pasal 1708).
Menurut Subekti, peristiwa yang tak dapat disingkiri itu adalah yang
lazimnya dalam bahasa hukum dinamakan “keadaan memaksa” (bahasa
Belanda: “overmacht” atau “force majeur”), yaitu suatu kejadian yang tak
disengaja dan tak dapat diduga. Resiko kemusnahan barang karena suatu
keadaan memaksa itu memang pada asasnya harus dipikul oleh pemilik barang.
Namun apabila si penerima titipan itu telah lalai mengembalikan barangnya
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian, maka (juga menurut asas umum
hukum perjanjian) ia mengoper tanggung jawab tentang kemusnahan
barangnya jika terjadi sesuatu. Tanggung jawab ini hanya dapat dilepaskan jika
ia dapat membuktikan bahwa barangnya juga akan musnah seandainya sudah
diserahkan kepada orang yang menitipkan, misalnya barang itu mengandung
suatu cacat yang pasti juga akan menyebabkan kemusnahannya biarpun ia
berada ditangannya orang yang menitipkan.60
60
Selanjutnya mengenai kewajiban bagi orang-orang yang
menyelenggarakan Rumah Penginapan dan Losmen, dimana Pasal 1709
meletakkan tanggung jawab kepada pengurus rumah penginapan dan penguasa
losmen terhadap barang-barang para tamu yaitu memperlakukan pengurus
rumah penginapan dan penguasa losmen tersebut sebagai orang yang menerima
titipan barang. Penitipan barang oleh para tamu itu dianggap sebagai suatu
penitipan karena terpaksa. Selanjutnya Pasal 1710 menetapkan bahwa mereka
itu bertanggung jawab tentang pencurian atau kerusakan pada barang-barang
kepunyaan para penginap, baik pencurian itu dilakukan atau kerusakan itu
diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau lain-lain pekerja dari rumah penginapan,
maupun oleh setiap orang lain. Namun (demikian Pasal 1711 seterusnya)
mereka tidak bertanggung jawab tentang pencurian yang dilakukan dengan
kekerasan atau yang dilakukan oleh orang-orang yang telah dimasukkan sendiri
oleh si penginap.
Dalam praktek para pengurus rumah penginapan dan penguasa losmen itu
membatasi tanggung jawab mereka dengan menempelkan pengumuman bahwa
mereka tidak bertanggung jawab tentang hilangnya barang-barang yang
berharga (uang, perhiasan) yang tidak secara khusus dititipkan pada mereka.
Melepaskan tanggung jawab seluruhnya terhadap semua barang tentunya tidak
dibolehkan.61
Si penerima titipan barang tidak diperbolehkan memakai barang yang
dititipkan untuk keperluan sendiri tanpa izinnya orang yang menitipkan barang,
yang dinyatakan dengan tegas atau dipersangkakan, atas ancaman penggantian
61
biaya, kerugian dan bunga jika ada alasan untuk itu (Pasal 1712). Selanjutnya
ia tidak diperbolehkan menyelidiki tentang wujudnya barang yang dititipkan
jika barang itu dipercayakan kepadanya dalam suatu kotak tertutup atau dalam
suatu sampul tersegel (Pasal 1713).
Si penerima titipan diwajibkan mengembalikan barang yang sama yang
telah diterimanya. Dengan demikian maka jumlah-jumlah uang harus
dikembalikan dalam mata uang yang sama seperti yang dititipkan, tak peduli
apakah mata uang itu telah naik atau telah turun nilainya (Pasal 1714).
Si penerima titipan hanya diwajibkan mengembalikan barang yang
dititipkan dalam keadaannya pada saat pengembalian itu.
Kemunduran-kemunduran yang dialami barangnya diluar kesalahan si penerima titipan,
adalah atas tanggungan pihak yang menitipkan (Pasal 1715).
Jika barangnya dengan paksaan dirampas dari tangannya si penerima
titipan dan orang ini telah menerima harganya atau sesuatu barang lain sebagai
gantinya, maka ia harus menyerahkan apa yang diterimanya sebagai ganti itu
kepada orang yang menitipkan barang (Pasal 1716).
Seorang ahli waris dari si penerima titipan, yang, karena ia tidak tahu
bahwa suatu barang adalah barang titipan, denga itikad baik telah menjual
barang tersebut, hanyalah diwajibkan mengembalikan harga pembelian yang
diterimanya, atau jika ia belum menerima harga itu, menyerahkan hak
tuntutannya terhadap si pembeli barang (Pasal 1717). Jika ia menjualnya
mengembalikan uang pendapatan penjualan itu, ia juga dapat dituntut
membayar ganti rugi.62
Jika barang yang dititipkan itu telah memberikan hasil-hasil yang dipungut
atau diterima oleh si penerima titipan, maka ia diwajibkan mengembalikannya
(Pasal 1718 ayat (1)). Dalam hal yang dititipkan itu uang, si penerima titipan
tidak diharuskan membayar bunga, selainnya sejak hari ia lalai
mengembalikannya, setelah diperingatkan (Pasal 1718 ayat (2)).
Ketentuan tersebut adalah wajar, karena menurut hakekat perjanjian
penitipan si penerima tidak boleh memakai uang yang dititipkan itu, bahkan ia
harus mengembalikannya dalam mata uang yang sama seperti yang
diterimanya (lihat Pasal 1714). Tetapi kalau ia lalai mengembalikan uang
titipan itu setelah ia diperingatkan, orang yang menitipkan akan menderita
kerugian karena ia sudah mulai memerlukan uang itu, sehingga pembebanan
pembayaran bunga itu pantas pula. Dan bunga yang dibebankan ini tentunya
adalah yang dinamakan “bunga moratoir”, terhitung mulai pengembalian uang
titipan itu dituntutnya dimuka pengadilan. Apa yang dikenal sebagai “deposito”
dengan bunga (meskipun “deposito” artinya penitipan), bukan penitipan yang
kita bicarakan disini, karena pihak yang menerima deposito (uang) dibolehkan
(dan malahan itulah yang dimaksudkan) untuk memakai uang yang dititipkan
dan menyanggupi untuk membayar bunga atas penitipan itu. Pada hakekatnya
perjanjian deposito uang itu adalah suatu perjanjian pinjam uang dengan
bunga.63
62
Ibid, hal. 112. 63
Selanjutnya, si penerima titipan tidak diperbolehkan mengembalikan
barangnya titipan selainnya kepada orang yang menitipkannya kepadanya atau
kepada orang yang atas namanya penitipan itu telah dilakukan atau yang
ditunjuk untuk menerima kembali barangnya (Pasal 1719).
Si penerima titipan tidak boleh menuntut dari orang yang menitipkan
barang, suatu bukti bahwa orang itu pemilik barang tersebut. Namun, jika ia
mengetahui bahwa barang itu adalah barang curian, dan siapa pemiliknya
sebenarnya, maka haruslah ia memberi tahu kepada orang ini bahwa barangnya
dititipkan kepadanya, disertai peringatan supaya meminta kembali barang itu
didalam suatu waktu tertentu yang patut. Jika orang kepada siapa
pemberitahuan itu telah dilakukan, melalaikan untuk meminta kembali
barangnya, maka si penerima titipan dibebaskan secara sah jika ia
menyerahkan barang itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya (Pasal
1720).
Selanjutnya, apabila orang yang menitipkan barang meninggal, maka
barangnya hanya dapat dikembalikan kepada ahli warisnya. Jika ada lebih dari
seorang ahli waris, maka barangnya harus dikembalikan kepada mereka
kesemuanya atau kepada masing-masing untuk bagiannya. Jika barang yang
dititipkan tidak dapat dibagi-bagi, maka para ahli waris harus mengadakan
mufakat tentang siapa yang diwajibkan mengopernya (Pasal 1721).
Jika orang yang menitipkan barang berubah kedudukannya misalnya
seorang perempuan yang pada waktu menitipkan barang tidak bersuami,
kemudian kawin; seorang dewasa yang menitipkan barang ditaruh dibawah
dititipkan tidak boleh dikembalikan selainnya kepada orang yang melakukan
pengurusan atas hak-hak dan harta-benda orang yang menitipkan barang,
kecuali apabila orang yang menerima titipan mempunyai alasan-alasan yang
sah untuk tidak mengetahui perubahan kedudukan tersebut (Pasal 1722).
Tentang seorang perempuan tak bersuami yang kemudian kawin, sekarang
tidak merupakan halangan lagi bagi si penerima titipan; untuk tetap
mengembalikan barangnya titipan kepada perempuan itu, tanpa ijin tertulis atau
bantuan dari suaminya, sejak adanya yurisprudensi yang menyatakan Pasal 108
KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi.
Jika penitipan barang telah dilakukan oleh seorang wali, seorang
pengampu, seorang suami (sudah tidak berlaku) atau seorang penguasa dan
pengurusan mereka itu telah berakhir, maka barangnya hanya dapat
dikembalikan kepada orang yang diwakili oleh wali, pengampu, suami atau
penguasa tersebut (Pasal 1723).
Pengembalian barang yang dititipkan harus dilakukan ditempat yang
ditunjuk dalam perjanjian. Jika perjanjian tidak menunjuk tempat itu,
barangnya harus dikembalikan ditempat terjadinya penitipan. Adapun biaya
yang harus dikeluarkan untuk itu harus ditanggung oleh orang yang menitipkan
barang (Pasal 1724).
Barang yang dititipkan harus dikembalikan kepada orang yang menitipkan,
seketika apabila dimintanya, sekalipun dalam perjanjiannya telah ditetapkan
suatu waktu lain untuk pengembaliannya, kecuali apabila telah dilakukan suatu
penyitaan atas barang-barang yang berada ditangannya si penerima titipan
perjanjian penitipan ditetapkan lamanya waktu penitipan, maka penetapan
waktu ini hanya mengikat si penerima titipan tetapi tidak mengikat pihak yang
menitipkan. Setiap waktu barang titipan itu dapat diminta kembali.
Satu-satunya hal yang dapat menghalangi pengembalian barang adalah penyitaan
yang telah diletakkan oleh pihak ketiga atas barang tersebut. Ini dapat terjadi
misalnya apabila telah timbul suatu sengketa mengenai barang yang
bersangkutan. Dalam hal yang demikian maka jalan yang harus ditempuh oleh
orang yang menitipkan barang adalah mengajukan perlawanan (verzet)
terhadap penyitaan tersebut kepada Pengadilan Negeri.64
Si penerima titipan yang mempunyai alasan yang sah untuk membebaskan
diri dari barang yang dititipkan, meskipun belum tiba waktunya yang
ditetapkan dalam perjanjian, juga berhak mengembalikan barangnya kepada
orang yang menitipkan atau jika orang ini menolaknya, meminta izin hakim
untuk menitipkan barangnya disuatu tempat lain (Pasal 1726). Untuk
membebaskan diri dari barang titipan sebelum lewatnya waktu yang
ditetapkan, bagi si penerima titipan harus ada suatu alasan yang sah dan apabila
permintaannya untuk mengembalikan barangnya ditolak oleh orang yang
menitipkan, diperlukan izin dari hakim untuk menitipkan barang itu ditempat
lain, misalnya dikantor Balai Harta Peninggalan atau di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri.
Segala kewajiban si penerima titipan berhenti jika ia mengetahui dan dapat
membuktikan bahwa dia sendirilah pemilik barang yang dititipkan itu (Pasal
1727). Dalam hal yang demikian, maka perjanjian penitipan hapus dengan
64
sendirinya, karena si penerima titipan ternyata menguasai barang miliknya
sendiri.
Orang yang menitipkan barang diwajibkan mengganti kepada si penerima
titipan segala biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang yang
dititipkan, serta mengganti kepadanya semua kerugian yang disebabkan karena
penitipan itu (Pasal 1728).
Berhubung dengan ketentuan diatas, Pasal 1729 menyatakan bahwa si
penerima titipan berhak menahan barangnya hingga segala apa yang harus
dibayar kepadanya karena penitipan tersebut dilunasi.
Kemudian, untuk perjanjian penitipan barang sekestrasi, pada umumnya
tunduk pada aturan-aturan yang sama dengan penitipan sejati, dengan
pengecualian-pengecualian sebagai berikut:
Dalam hal penitipan sekestrasi atas perintah Hakim, pengangkatan seorang
penyimpan barang dimuka Hakim, menerbitkan kewajiban-kewajiban yang
bertimbal balik antara si penyita dan si penyimpan. Si penyimpan diwajibkan
memelihara barang-barang yang telah disita sebagai seorang bapak rumah
tangga yang baik. Ia harus menyerahkan barang-barang itu untuk dijual supaya
dari pendapatan penjualan itu dapat dilunasi piutang-piutang si penyita, atau
menyerahkannya kepada pihak terhadap siapa penyitaan telah dilakukan, jika
penyitaan itu dicabut kembali. Adalah menjadi kewajiban si penyita untuk
membayar kepada si penyimpan upahnya yang ditentukan dalam
undang-undang (Pasal 1739).
Memelihara barang sebagai seorang bapak rumah yang baik diartikan
miliknya sendiri. Apabila kreditor sudah dimenangkan perkaranya dengan
suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak, maka penyitaan
conservatoir atas barang-barang si debitor otomatis berubah menjadi penyitaan
eksekutorial, yang berarti bahwa barang-barang sitaan itu harus dijual untuk
melunasi piutang kreditor. Sebaliknya apabila gugatan kreditor (si penyita)
ditolak, maka penyitaan itu akan dicabut oleh Hakim dan si penyimpan harus
menyerahkan barang itu kepada debitor.65
C. Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan
1. Pengertian Perjanjian Untuk Melakukan Pekerjaan
Dalam hukum perjanjian dikenal adanya suatu perjanjian untuk melakukan
pekerjaan. Dari bunyi Pasal 1601 KUHPerdata dapat disimpulkan bahwa
perjanjian untuk melakukan pekerjaan ini dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
b. perjanjian kerja/perburuhan; dan
c. perjanjian pemborongan pekerjaan.
Perjanjian kerja/perburuhan diatur dari Pasal 1601 sampai dengan Pasal
1603 KUHPerdata, sedangkan perjanjian pemborongan pekerjaan diatur dari
Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1617 KUHPerdata. Berkaitan dengan skripsi
ini, maka hanya akan dibahas mengenai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa
tertentu saja, karena perjanjian penitipan anak erat kaitannya dengan jasa
penitipan anak. Oleh karena itu, perjanjian kerja dan pemborongan pekerjaan
tidak perlu dibahas dalam skripsi ini.
65
2. Perjanjian Melakukan Jasa Tertentu
Mengenai perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu, ada yang diatur
dalam KUHPerdata, ada juga yang tidak diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian
untuk melakukan jasa tertentu yang diatur dalam KUHPerdata, contohnya
adalah perjanjian antara seorang pengacara dengan kliennya. Perjanjian ini
diatur oleh ketentuan yang khusus untuk itu, yakni ketentuan dalam perjanjian
pemberian kuasa yang diatur dalam KUHPerdata. Perjanjian untuk melakukan
jasa tertentu yang tidak diatur dalam KUHPerdata, diatur oleh syarat-syarat
yang diperjanjikan oleh para pihak atau diatur oleh kebiasaan.
Menurut Subekti, perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah
perjanjian dimana satu pihak menghendaki dari pihak lainnya dilakukan suatu
pekerjaan untuk mencapai tujuan, untuk mana ia bersedia membayar upah,
sedangkan apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut sama
sekali terserah kepada pihak lainnya. Biasanya pihak lain ini adalah seorang
ahli dalam melakukan pekerjaan tersebut dan biasanya juga sudah memasang
tarif untuk jasanya itu. Upahnya biasanya dinamakan honorarium.66
Pada umumnya, perjanjian melakukan jasa-jasa tertentu biasanya dalam
hal: hubungan antara seorang pasien dengan seorang dokter yang diminta
jasanya untuk menyembuhkan suatu penyakit; hubungan antara seorang
pengacara dengan kliennya yang diminta untuk mengurus suatu perkara;
hubungan antara seorang notaris dengan seorang yang datang kepadanya untuk
dibuatkan suatu akte; atau yang lagi marak saat ini adalah penggunaan jasa
online berbasis aplikasi untuk mengantar ke suatu tempat, baik itu seseorang
maupun makanan ataupun barang dengan tarif tertentu. Termasuk dalam hal
ini, jasa penitipan anak yang juga sedang marak saat ini.
66