V. HUBUNGAN KEMITRAAN PENGRAJIN
KAYU
UKlR DAN HlAS Dl DESA ClPAClNG5.1. Pola Kemitraan
Pola kemitraan merupakan model yang dijadikan acuan dalam pelaksanaan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. Meskipun hubungan kemitraan yang dilaksanakan di Desa ini sifatnya informal atau tanpa kontrak tertulis, namun berdasarkan hasil penelitian ditemukan tiga pola hubungan kernitraan yang dijalankan oleh bandar kerajinan, pengrajin kecil dan buruh pengrajin di Desa Cipacing yaitu pola kemitraan Kerjasama Operasional, Pola Subkontrak dan Pola Dagang Umum.
5.1 .I. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional
Gagasan utama pola kemitraan kerjasama operasional ini sebenarnya diterapkan dalam bidang agribisnis yang secara umum disebut dengan pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Suemardjo, dkk (2004) menyatakan bahwa pada pola kemitraan agribisnis merupakan pola hubungan biinis yang dijalankan kelompok mitra dan perusahaan mitra. Kelompok mitra menyediakan lahan, sarana dan tenaga kerja sedangkan pihak perusahaan mitra menyediakan biaya, modal, manajemen dan pengadaan sarana produksi untuk mengusahakan atau rnembudidayakan suatu komoditas pertanian. Pada hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing ini, yang berperan sebagai perusahaan mitra adalah bandar kerajinan dan yang berperan sebagai kelornpok mitra adalah buruh pengrajin atau pengrajin kecil yang pada kenyataannya belum bersatu dalarn kelompok.
Pola kemitraan kerjasama operasional diantara pengrajin terjadi antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin atau antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil. Dalam pembuatan kerajinan bandar kerajinan n~enyediakan bahan baku, sedangkan buruh pengrajin atau pengrajin kecil menyediakan tempat, waktu dan tenaga mereka untuk mengerjakan komponen-komponen kerajinan. Seperti dalam pembuatan limstick (kerajinan berupa tabung yang diisi dengan kerikil dan dihias dengan cat), bandar kerajinan menyediakan kayu, lem, kardus dan kerikil. Buruh pengrajin hanya tinggal mengerjakannya saja tanpa harus mengeluarkan bahan atau biaya produksi apapun. Pola kemitraan
ke jasama operasional antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa cipacing dapat dilihat pada gambar 5 sebagai berikut:
Gambar 5. Pola Kemitraan Kerjasama Operasional
3 ,
Pola kemitraan kerjasama operasional yang sudah berjalan antara bandar kerajinan dar buruh pengrajin atau antara bandar kerajinan dan pengrajin kecil memiliki kelemahan terutama dalam penentuan harga upah dan pengambilan keuntungan. Pengrajin kecil atau buruh pengrajin mendapatkan upah yang sangat sedikit dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh bandar. Sebagai contoh untuk satu unit kerajinan misalnya, Buruh pengrajin atau pengrajin kecil hanya mendapat upah antara Rp. 5.000,- sampai Rp. 15.000,- sedangkan bandar kerajinan bisa mendapat keuntungan hingga Rp. 20.000,- hingga Rp. 50.000,-. Sejauh ini perbedaan perolehan keuntungan yang sangat jauh tersebut belum dianggap persoalan oleh pengrajin Desa Cipacing. Keuntungan yang sangat besar yang diperoleh oleh bandar serta ordinasi bandar sebagai penentu upah dianggap ha1 yang wajar mengingat modal dan bahan baku yang disediakan oleh bandar. Demikian juga rendahnya posisi tawar pengrajin kecil dan buruh pengrajin terhadap bandar, serta terbatasnya pilihan pekerjaan yang dapat dilakukan terutarna oleh buruh pengrajin.
Konsumen
Ket:
I 8 2 : Bandar menyediakan bahan baku dan prasarana buruh dan pengrajin kecil menyediakan tenaga dan lahan kerja.
3. : Bandar rnenjual kerajinan pada konswnen
5.1.2. Pola Kemitraan Subkontrak
Secara prinsip pola kemitraan subkontrak terjadi ditandai dengan adanya penyerahan atau pengalihan baik sebagian maupun seluruh proses produksi dari pihak prinsipal (pemesan) kepada pihak-pihak sub kontraktor (penerima pesanan). Menurut Baud (1989) dikutip oleh Rustiani (1996), terdapat dua jenis sub kontrak yaitu sub kontrak komersial; subkontrak dilakukan untuk menghasilkan barang jadi yang siap jual, dan subkontrak industrial; sub kontrak yang untuk menghasilkan barang setengah jadi, bagian-bagian, atau komponen- komponen untuk diintegrasikan ke dalam suatu produk. Pola kemitraan baik yang komersial maupun industrial terjadi di Desa Cipacing.
Pola kemitraan subkontrak komersial terjadi antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil terjadi ketika bandar kerajinan mendapat pesanan suatu jenis kerajinan dari luar negeri sebanyak kuantitas tertentu yang harus dikirim dalam jangka waktu tertentu pula. Kemudian untuk memenuhi pesanan tersebut bandar kerajinan memesan kerajinan sejenis dengan kualitas dan jangka waktu yang sudah ditentukan pada pengrajin kecil di sekitar tempat tinggalnya.
Pola kernitraan subkontrak industrial terjadi antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil maupun antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin. Bandar kerajinan biasanya memesan komponen-komponen kerajinan pada buruh pengrajin atau pada pengrajin kecil, untuk kemudian dirakit kembali menjadi kerajinan siap jual. Namun meskipun tidak mendapat pesanan dari bandar, terkadang bumh pengrajin atau pengrajin kecil memproduksi kcrnponen- komponen tersebut sebagai cadangan atau persiapan apabila mendapat pesanan mendadak dari bandar. Pola kemitraan subkontrak tersebut dapai dilihat pada gambar 5 sebagai berikut:
1
2. Pola Subkontrak h d w MI
Gambar 6. Pola Kemitraan Subkontrak
Untuk menyelesaikan satu jenis kerajinan, pola kemitraan subkontrak biasanya tidak hanya terjalin antara bandar dengan satu pengrajin kecil atau satu bumh pengrajin saja, namun bisa terjalin dengan beberapa pengrajin kecil atau buruh pengrajin. Contohnya dalam pembuatan panah bandar kerajinan dapat memakbonkan pekerjaan tersebut pada beberapa mitra sesuai dengan kemampuan dan keahlian mereka. Misalnya dalam pembuatan busur dan anak panah hingga kerajinan tersebut menjadi siap jual.
Pola kemitraan subkontrak yang sudah berjalan antar pengrajin Desa Cipacing membawa nilai positif bagi pengrajin, sebab dengan adanya pola subkontrak tersebut banyak penganggur yang beralih profesi menjadi pengrajin kecil atau menjadi buruh pengrajin. Namun dalam subkontrak ini terdapat beberapa kelemahan antara lain subordinasi bandar yang berkuasa atas penentuan harga kerajinan maupun komponen-komponen kerajinan yang dibuat, sementara pengrajin kecil maupun buruh pengrajin tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan nilai upah atau harga jual.
5.1.3. Pola Kemltraan Dagang Umum
Pola kemitraan dagang umum erat kaitannya dengan kerjasama pemasaran antara pihak yang bermitra. Pola kemitraan dagang umum rrlempakan bentuk hubungan usaha pemasaran hasil produksi. Pihak yang terlibat dalam pola ini adalah pihak pemasok dan pihak penjual yang memasarkan produk hingga ke tangan konsumen. Pada dawrnya, pola
kemitraan ini merupakan hubungan jual beli. Keuntungan yang diperoleh dari pola kemitraan ini berasal dari margin harga dan jaminan harga produk sereta kualitas produk yang diperjualbelikan sesuai dengan kesepakatan pihak yang bermitra.
Pola kemitraan dagang umum yang terjadi antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing khususnya terjalin antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil. Pengrajin kecil adalah orang yang merniliki keterampilan membuat kerajinan secara mandiri dari mulai bahan mentah hingga kerajinan siap jual. Akan tetapi meraka biasanya memiliki keterbatasan modal dan pemasaran. Dalam ha1 pemasaran pangrajin kecil menjual hasil kerajinannya pada konsumen secara langsung maupun pada bandar yang merniliki showroom, pengusaha di tempat-tempat wisata atau menjual kepada bandar untuk memenuhi pesanan kerajinan dari dalam maupun luar negeri. Pola kemitraan dagang umum pada pengrajin kayu ukir dan hias tersebut dapat terlihat pada gambar 6 sebagai berikut:
-
1
2
PengusahaPemilik
1 2
Ket :
1. Pengrajin kecil menjual produk pada Bandar atau pengusaha
2. Bandar atau pengusaha memasarkan produk pada konsumen
A
Gambar 7. Pola Kemitraan Dagang Umum
Meskipun pola hubungan kernitraan dagang urnum ini sangat membantu bagi pengrajin kecil untuk memasarkan produknya namun dalam dalam kemitraan ini bandar berperan besar dalam menentukan harga. Selain itu pengrajin kecil yang cenderung melaksanakan usahanya secara individual menyebabkan terjadinya persaingan yang kurang sehat terutama dalam
penentuan harga sehingga seringkali pengrajin kecil mengalami kerugian aibat kalah dalam persaingan harga.
5.2. Profil Hubungan Kemitraan
Hubungan kemitraan merupakan kerjasama atau pola relasional yang yang terjalin antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing dalam memproduksi kerajinan dan menjalankan kehidupan sosial ekonomi mereka. Hubungan kemitraan yang telah terbentuk sejak sektor industri kerajinan di wilayah ini berdiri tersebut merupakan cerminan utama karakteristik kelembagaan sosial ekonomi warga Desa. Hal ini disebabkan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai pengrajin yang kesehariannya bergelut dalam industri kerajinan.
Hubungan kemitraan yang terjadi antar pengrajin di Desa Cipacing meliputi beberapa aspek kehidupan antara lain aspek sosial dan ekonomi yang satu sama lain saling berkaitan. Aspek sosial yang dianalisis dalam kajian ini meliputi jejaring kerja, komunikasi antar pengrajin, kepercayaan, serta etika kemitraan. Sedangkan aspek ekonomi meliputi modal, bahan baku, pemasaran, keterampilan dan pengetahuan, serta pendapatan.
5.2.1. Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-Aspek Soslal 5.2.1 .l. Jejaring Kerja
Jejaring kerja dalam kajian ini diartikan sebagai bentuk ke rjasama yang dilakukan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing baik dengan sesama pengrajin di wilayah tersebut dalam produksi kerajinan dari mulai bahan mentah hingga menjadi kerajinan yang siap jual. Dalam hubungan kemitraan ini jejaring kerja merupakan faktor penting yang memberikan informasi sejauh mana ke rjasama dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait dalam kemitraan tersebut.
Kerjasama internal antar pengrajin Desa Cipacing dilakukan dalam kegiatan usaha yang saling terkait antara satu pengrajin dengan pengrajin lain. Eksistensi Desa Cipacing sebagai sentra industri kerajinan yang pemasarannya
telah
mencapai dunia internasional tidak terlepas dari hubungan kemitraan yang te rjalin antara tiga pelaku usaha kerajinan di Desa Cipacing yaitu peran pengrajin kecif, buruh pengrajin, dan bandar kerajinan.Kerjasama yang paling sering terjadi antar pengrajin Desa Cipacing antara lain pembagian kerja dalam penyelesaian suatu kerajinan tertentu.
Pengerjaan suatu kerajinan meliputi pembuatan komponen-komponen yang kemudian dirakit menjadi kerajinan jadi yang siap jual. Biasanya dalam pembuatan komponen-komponen tersebut melibatkan lebih dari tiga keluarga pengrajin yang meliputi pengrajin kecil serta buruh pengrajin. Peranan bandar dalam ha1 ini adalah sebagai pernberi pekerjaan kepada kedua kelompok tersebut setelah menerima pesanan atau order dari pihak konsumen dalam atau luar negeri.
Jejaring Kerja dalam Pola Kemitraan Ke jasama Operasional
Dalam rnemproduksi kerajinan, bandar kerajinan biasanya melibatkan pengrajin kecil maupun buruh pengrajin d&am kegiatan pembuatan komponen maupun dalam proses mengecat atau menghias kerajinan. Bandar kerajinan biasanya rnemiliki beberapa showroom kerajinan baik di Desa Cipacing maupun di pulau Bali atau tempat wisata lainnya, selain itu bandar biasanya memiliki akses pemasaran hingga ke luar negeri yang menyebabkan mereka mendapatkan order kerajinan berbagai negara di dunia untuk diekspor dalam jumlah yang besar. Berdasarkan ha1 tersebut untuk memenuhi stok barang di toko mereka maupun untuk mernenuhi permintaan barang dari luar negeri, dilakukan kerjasama dengan pengrajin-pengrajin lain di Desa Cipacing.
Bentuk kerjasama dalam pola kemitraan operasional yang dilakukan bandar antara lain dengan membagi-bagikan pekerjaan pada tetangga sekitar rumah mereka yang biasanya terdiri dari pengrajin kecil ataupun buruh pengrajin dengan sistem makloon. Misalnya; untuk pembuatan hiasan kayu berbentuk kornodo, bandar menyediakari bahan baku b e ~ p a kayu dan cat, kemudian pengrajin kecil mengerjakan kerajinan tersebut hingga selesai sebelum diserahkan kepads bandar. Kemudian pengrajin kecil mendapatkan upah sebanyak kerajinan yang dikerjakannya.
Dalam pembuatan komponen-komponen satu jenis kerajinan, bandar pengrajin dapat melibatkan kurang lebih tiga atau empat kepala keluarga. Misalnya untuk menghasilkan Ridhuu-ridhuu, pembuatan komponen kerajinan diserahkan pada beberapa keluarga pengrajin, antara lain sebagai tukang bobok (pembentu k rangka), tukang ngebor, ngahampelas (am plas), serta sebagai tukang nitikan (orang yang mewarnai), yang masing-masing dikerjakan oleh orang yang berbeda-beda dengan tingkat upah yang berbeda. Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan oleh salah seorang bandar kerajinan:
"industri kerajinan di Cipacing ini bisa dibilang memberdayakan warga masyarakat neng, apalagi kalau bapak dapat pesanan dari australia misalnya untuk Ridhu-ridhu begini, tetangga-tetangga juga kan ikut kecipratan rezeki
...
walaupun sedikit-sedikit. Yang kebagian ngebor na hungkul aya, anu nitikan aya, anu ngecet wae aya...
sejauh ini bapak berusaha melibatkan para pengrajin yang lain untuk memberikan pekerjaan pada mereka. Kalo sedang musim liburan, kami seringkali kewalahan menerima pesanan kerajinan dari toko-toko di Bali, tapi kalo lagi sepi mah nya manyun wae..."
(bpk AGS, Juli 2006)Pada level yang lain, jejaring kerja dalam pola kemitraan kerjasama operasional ini pengrajin kecil dan buruh pengrajin biasanya mereka membagikan pekerjaan yang mereka dapat dari bandar kepada keluarganya yaitu istri dan anak atau anggcta keluarganya yang lain. Misalnya tukang nitikan
yang pekerjaannya mulai dari memberikan wama dasar, memberikan motif hingga memberikan vemis, membagi pekerjaannya dengan anggota keluarganya masing-masing dari pekerjaan tersebut. Hal ini dilakukan dengan maksud supaya pekerjaan cepat selesai. Akan tetapi ha1 tersebut menyebabkan pendapatan yang mereka dapat menjadi sangat minim karena dengan pekerjaan yang dikerjakan oleh banyak orang menyebabkan upah dari bandar harus dibagi rata pada setiap anggota keluarganya.
Dalam jejaring kerja, antara buruh pengrajin dengan buruh pengrajin lainnya memiliki solidaritas yang cukup tinggi, ha1 ini dapat terlihat jika salah satu buruh pengrajin mendapatkan orderan dari bandar, kemudian tetangganya yang juga buruh sedang tidak punya pekerjaan, maka buruh pengrajin biasanya dengan sukarela membagi peketjaan mereka dengan tetangganya tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan salah seorang responden yaitu ibu ADR yang bekerja sebagai buruh sumpit.
"..nya ibu oge sok karunya ka tatanggi anu kaleresan nuju teu aya padamelan. Pami aya orderan ti Wa Nana (bandar sump#) ku ibu sok diajakan digawe babamngan we saciwit ewang. Misalna ibu anu ngelem, nya ceu Epi anu ngagerihan, asal ayaan wae neng, supados emam
sadayana*. ( ibu suka kasihan pada tetangga yang kebetulan sedang sepi order. Kalo ibu dapat order dari bandar, ibu suka mengajaknya untuk bekerja sama sedikii-sedikit. Misalnya ibu memberikan lem, Ceu Epi yang membuat garis. Asal ada pemasukan saja, supaya semuanya kebagian makann).
Namun, menurut keterangan salah seorang bandar, sebenarnya mereka (bandar kerajinan) tidak sembarangan memberikan pekerjaan kepada siapa saja. Hal ini disebabkan hasil peker;aan tiap-tiap orang pasti akan berbeda sehingga jika pekerjaan diberikan bukan pada buruh atau pengrajin langganannya mereka
khawatir hasil kerajinan tersebut bermutu jelek atau tidak sesuai dengan kualitas yang diminta pemesan. Jika buruh pengrajin tersebut membagi-bagikan pekerjaan dengan tetangganya, sebenamya tidak menjadi masalah selama bunrh tersebut mau bertanggungjawab atas hasil pekerjaannya memiliki kualitas yang baik.
Jejaring kerja dalam hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing ini terjaiin dengan erat dan melembaga. Jejaring kerja ini tumbuh atas dasar adanya persamaan kebutuhan antar pengrajin di Desa Cipacing, misalnya bandar kerajinan mencapai kesuksesan hingga berhasil menjual kerajinan ke mancanegara berkat kerjasama dengan pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Namun kerjasama yang k u ~ t tersebut belum sepenuhnya memuaskan kebutuhan semua pihak. Karena dalam ha1 ini bandar kerajinan mendapatkan untung yang sangat besar dan tidak seimbang dibandingkan dengan upah yang dibayarkan kepada pengrajin kecil dan bandar kerajinan. Kerjasama tersebut dapst dikatakan masih bertahan karena buruh pengrajin tidak memiliki pilihan lain selain mengerjakan pekerjaan tersebut meskipun upah yang diterimanya sangat kecil. Sedangkan bagi pengrajin kecil mereka masih mampu melakukan penolakan bila dibayar dengan upah yang kecil apabila mereka memiliki modal sendiri untuk membuat kerajinan yang siap dipasarkan secara langsung kepada konsumen.
Berdasarkan data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa jejaring kerja pada pola kerjasama operasional ini terbagi atas dua basis yaitu 1) basis solidaritas sosial, serta 2) basis pertukaran
-
kepentingan. Basis pertama te rjadi ketika pengrajin kecil atau bumh pengrajin melakukan pembagian kerja. Pada kasus tersebut solidaritas sosial diantara pengrajin kayu ukir dan hias khususnya pengrajin kecil dan bumh pengrajin sangat kuat. Hal ini terlihat dari adanya pembagian kerja berdasarkan wujud kepedulian antara satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha lainnya. Lain halnya dengan basis yang kedua, pertukaran berdasarkan alasan kepentingan sangat dominan terjadi. Basis kedua ici terjadi antara seluruh pelaku usaha kerajinan di desa Cipacing, baik itu pengrajin kecil, bandar kerajinan maupun buruh pengrajin. Basis pertukaran tersebut terjadi karena adanya kepentingan di antara mereka. Namun dalam ha1 ini kepentingan bandar merupakan dasar terjadinya pertukzran. Sedangkan kepentingan pengrajin kecil maupun buruh pengrajin hanya terjadi ketika bandar berupaya memenuhi kepentingannya.Jejaring Kerja dalam Pola Kemitraan Subkontrak
Hubungan kemitraan dalam pola subkontrak ini terjadi manakala bandar kerajinan mendapat pesanan dari luar negeri atau dirinya memesan jenis kerajinan untuk dipasarkan di showroom yang ia miliki. Dalam pola subkontrak ini seluruh modal dan bahan baku untuk pembuatan komponen kerajinan maupun kerajinan jadi disediakan oleh pihak subkontraktor (buruh pengrajin dan pengrajin kecil), sedangkan bandar berperan sebagai pemilik uang yang membeli komponen-komponen kerajinan atau kerajinan yang telah jadi.
Pada pola subkontrak industrial, bandar memesan komponen-komponen kerajinan pada bumh pengrajin atau pengrajin kecil untuk kemudian dirakit oleh pegawai mereka menjadi kerajinan jadi. Namun meskipun tidak melakukan pemesanan komponen kerajinan, ada beberapa buruh pengrajin yang membuat suatu komponen kerajinan tertentu sehingga bandar dapat langsung membeli dari buruh tersebut. Pada pola ini terjadi jual beli komponen kerajinan antara bandar dengan buruh pengrajin atau pengrajin kecil.
Pola subkontrak komersial hanya terjadi antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil, sedangkan buruh pengrajin tidak terlibat. Hal ini disebabkan dalam pola subkontrak bandar tidak memberikan modal dan bahan baku sama sekali, sedangkan buruh pengrajin biasanya tidak memiliki modal untuk membuat satu unti kerajinan secara utuh. Pengrajin kecil sebagai pihak subkontraktor membuat suatu jenis kerajinan tertentu dengan kualias dan kuantitas yang dipesan oleh bandar. Dalam pembuatan kerajinan ini seringkali mereka melakukan kejasama dengan buruh pengrajin dengan cara membagi-bagikan lagi pekerjaan dalam pembuatan komponen agar pekerjaan tersebut cepat selesai karena biasanya batas waktu yang diberikan oleh bandar untuk penyelesaian kerajinan tersebut cukup singkat. Dalam jejaring kerja ini buruh pengrajin berperan sebagai subkontraktor tingkat dua.
Pada pola kemitraan subkontrak ini basis jejaring kerja yang berlaku di antara mereka adalah basis ikatan perjanjian di masa lalu. Artinya bahwa hubungan kemitraan yang terjadi memiliki nilai-nilai mutlak yang harus dipatuhi bersama berdasarkan perjanjian antara pihak prinsipal dan pihak subkontraktor.
Jejaring Ke rja dalam Pola Kemitraan Dagang Umum
Dalam pola kemitraan dagang umum ini jejaring kerja hanya merupakan bentuk kerjasama pertukaran atau proses jual-beli antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil tanpa ketentuan kualitas dan kuantitas maupun proses pemesanan terlebih dahulu. Namun dalam jejaring kerja ini bandar biasanya memiliki langganan tetap yaitu beberapa pengrajin kecil yang kualitas kerajinannya sesuai dengan permintaan pasar. Sedangkan kebanyakan pengrajin kecil lainnya yang tidak terlibat dalam jejaring kerja ini menjual kerajinannya secara langsung pada konsumen.
Permasalahar: dalam pelaksanaan hubungan kemitraan pada aspek jejaring kerja ini adalah terjadi ketergantungan dalam ha1 jumlah pekerjaan dan jumlah upah yang diterima oleh buruh pengrajin pada bandar kerajinan. Hal ini disebabkan intensitas pekerjaan yang diberikan bandar kepada buruh pengrajin maupun pada pengrajin kecil tidak dapat dipastikan berapakali dalam suatu kurun waktu tertentu. Bandar biasanya memberikan pekerjaan sesuai dengan banyaknya pesanan dari dalam maupun luar negeri. Biasanya pada musim liburan sekolah, di mana tempat wisata seperti pulau Bali ramai dengan kunjungan orang, ha1 tersebut menyebabkan jumlah permintaan terhadap kerajinan buatan Cipacing meningkat yang juga menyebabkan jumlah pekerjaan bagi buruh pengrajin maupun pengrajin kecil turut meningkat. Namun ketika bandar kerajinan mengalami sepi order, ha1 tersebut berdampak pula pada pekerjaan yang diterima oleh buruh pengrajin dan pengrajin kecil.
Matriks 6. Hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias dalam kegiatan jejaring kerja.
Berdasarkan fakta yang di dapatkan dilapangan maka dapat diketahui bahwa dalam jejaring kerja kemitraan pola kemitraan yang ada merupakan
Jejaring ke rja Kemitraan Bentuk
Basis Jejaring
Mekanisme
Bandar: Pembagian kerja pada pengrajin kecil dan buruh pengrajin
Pengrajin Kecil: Pembagian pekerjaan kepada anggota keluarga dan buruh pengrajin
Buruh: Pembagian kerja sesama buruh pengrajin dan anggota keluarga
Pola KOA : (1). basis solidariias social, (2) basis pertukaran
-
kepentinganPola Subkontrak : Basis ikatan perjanjian kerjasama di masa lalu.
Pola Dagang Umum : Tidak ada ( proses pertukaran jualbeli biasa)
Pola KOA
-
Bandar kerajinan me-maklun-kan pekerjaan pada pengrajin kecil untuk membuat kerajinan jadi dan pada buruh pengrajin untuk membuat komponen-komponen kerajinan dengan sistem upah kerja.-
Bahan baku dan modal ditanggung oleh Bandar. Pola Subkontrak-
Bandar melakukan kerjasama pembuatan komponen kerajinan (industrial) pada buruh dan pengrajin kecil,I
sedangkan pembuatan kerajinan jadi (komersial) padaIntensitas
-
Permasalahan
pengrajin kecil.
-
Pengrajin kecil memaklunkan pembuatan komponen- komponen kerajinan kerja pada anggota keluarga atau pada buruh pengrajin-
Buruh pengrajin membagi pekerjaan mereka dengan sesama buruh pengrajin atau dengan anggota keluarga. Pola Dagang Umum-
Bisnis pertukaran kerajinan jadi antara Bandar dengan pengrajin kecil, sedangkan buruh tidak terlibat secara langsung.-
Tidak dapat ditentukan secara pasti intensitas peke rjaanlorderan sehingga terkadang buruh pengrajin dan pengrajin kecil Ydak mendapatkan pendapatan karena sepi order.-
Terjadi ketergantungan atas pgkejaan dan upah khususnya oleh buruh pengrajin pada bandar kerajinan pada pola KOA.upaya pemenuhan kebutuhan bagi seluruh pengrajin. Akan tetapi pada jejaring kerja ini pemenuhan kebutuhan pengrajin kecil dan buruh pengrajin cenderung akan terpenuhi ketika bandar berupaya memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian terjadi ketergantungan pada pihak bandar. Pola kemitraan yang dianggap cukup adil dalarn hubungan kemitraan ini adalah pola subkontrak dan pola dagang umum, karena pada pola tersebut posisi tawar pengrajin kecil dan buruh pengrajin lebih besar di banding kan pada pola KOA. Hal ini mernungkinkan adanya pengembangan jejaring ke ja dalam hubungan kemitraan pada ke dua pola tersebut.
5.2.1 -2. Komunikasi
Salah satu faktor yang menggambarkan kondisi hubungan kemitraan pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing adalah komunikasi yang dilakukan antar pengrajin di Desa tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengrajin di Desa Cipacing terbagi menjadi t i g ~ golongan, antara lain pengrajin kecil, buruh pengrajin serta bandar kerajinan. Ketiga golongan tersebut memiliki hubungan kemitraan dalam kegiatan produksi maupun pemasaran kerajinan kayu ukir dan hias, dengan demikian salah satu indikator yang memberikan inforrnasi mengenai sejauh mana keeratan hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias tersebut adalah melalui komunikasi yang mereka lakukan. Antara lain menurut intensitas, topik serta harnbatan pada komunikasi di antara ketiganya.
Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi pengmjin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing terjalin dengan baik. Hal ini disebabkan tempat tinggal mereka berdekatan satu-sama lain. Sebagai warga mereka biasa berkomunikasi tentang berbagai perrnasalahan dari mulai masalah pekerjaan, pribadi, dan masalah umum lainnya sebagai tetangga. Namun komunikasi tersebut terbatas pada kalangan pengrajin kecil dan buruh pengrajin saja. Sedangkan bandar kerajinan jarang terlibat dalam komunikasi tersebut sebab mereka biasanya jarang keluar rumah akibat kesibukan pekerjaannya. Apabila terdapat komunikasi antara pengrajin kecil, buruh pengrajin dengan bandar pun maka topik yang dibicarakan adalah masalah pekerjaan atau masalah kerajinan. Topik komunikasi yang biasa dibicarakan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing antara lain:
Tabel 6. T o ~ i k komunikasi dalam hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di D& Cipacing.
Topik Komunikasi antar pengrajin F
[ % I
I I 1
1
I
Masalah Pribadi yang dialami 161
26I I I
2
1
Hanya masalah pekerjaan 1151
65I I I
3
(
Masalah lain-lain ( 2 I19
I1
1
(
Jumlah1
23I
I00I
I I 1 I I
Sumber : Hasil Penelitian 2006
Berdasarkan hasil wawancara dengan buruh pengrajin maupun dengan pengrajin kecil, bandar biasanya mewakilkan urusan pekerjaan kepada asisten atau pegawai kepercayaan mereka termasuk pada saat pembagian pekerjaan. Dalam hubungan kemitraan ini sebagian besar pengrajin mengungkapakan komunikasi yang selama ini dilakukan lebih banyak bsrkisar seputar masalah pekerjaan saja.
Topik komunikasi pada Pola Kemitraan Ke jasama Operasional yang dilakukan hanya sebatas pada pekerjaan yang diberikan, antara lain kuantitas dan kualitas barang, batas waktu penyelesaian pekerjaan, besar upah yang akan didapatkan oleh buruh pengrajin dan pengrajin kecil dalam penyelesaian komponen kerajinan, serta kapan upah peke rjaan tersebut akan dibayar. Topik komunikasi pada pola kemitraan subkontrak antara lain mengenai kuantitas dan kualitas barang, batas waktu penyelesaian pekerjaan serta harga setiap satuan komponen atau satuan k e ~ j i n a n yang telah diselesaikan, serta kapan seluruh kerajinan atau komponen yang telah diselesaikan akan dibayar. Sedangkan topik komunikasi pada Pola Kemitraan Dagang Umum hanya berkisar harga jual beli kerajinan yang disepakati bersama.
Sedangkan untuk topik di luar pekerjaan seperti masalah kurangnya modal, masalah ekonomi keluarga pengrajin dan buruh, kornunikasi dirasakan terhambat, seperti diungkapkan oleh Ibu ENH seorang buruh pengrajin di Dusun
2 Desa Cipacing.
"ah.. bveng-bujeng tiasa komunikasi masalah ekonomi neng, ibu wae anu kasebatna besan sareng ujang Dingdong, papendak oge sesah, komo deui batur, wargi sanes, baraya sanes, bujeng-bujeng tiasa ngawangkong nu kitd' (ah. .bore-boro bisa komunikasi masalah ekonomi neng, ibu saja yang berbesan dengan Ujang Dingdong, ketemu saja susah, apalagi orang lain. Saudara buka, kerabat pun bukan, boro-boro bisa berbicara banyak hat.)
Dengan demikian diketahui bahwa komunikasi yang dilakukan antar pengrajin di Desa Cipacing terutama antara buruh pengrajin maupun pengrajin kecil dengan bandar hanya berkisar seputar masalah pekerjaan saja. Hal ini disebabkan kesempatan untuk melakukan komunikasi antara pengrajin kecil dengan bandar atau antara buruh pengrajin dengan bandar amat sangat sedikit. Hal tersebut menyebabkan adanya kesenjangan dalam interaksi antara bandar dengan pengrajin yang lebih kecil atau dengan buruh.
Sedangkan komunikasi yang dilakukan antar pengrajin kecil maupun antar buruh pengrajin cenderung memiliki topik yang jauh lebih luas dibandingkan dengan komunikasi dengan bandar. Pengrajin kecil dan buruh pengrajin biasa membahas berbagai macam topik di luar pekerjaan mereka. Mereka biasanya bekerja di depan rumah mereka bersama-sama dengan pengrajin yang lain, sehingga sambil bekerja mereka dapat membahas berbagai macam topik, khususnya saling menceritakan kesulitan hidup.
Komunikasi yang dilakukan antara buruh pengrajin maupun pengrajin kecil menghasilkan informasi mengenai permasalahan yang cfialami antara satu sama lain. Hal ini kemudian menyebabkan adanya ikatan yang kuat serta rasa solidaritas yang tinggi untuk saling tolong-menolong. Hal ini dapat terlihat pada tabel 5.2, mengenai orang yang sering diajak berkomunikasi yang kemudian menentukan siapa yang biasanya dimintai pertolongan apabila mereka mengalami kesulitan.
Tabel 7. Mitra yang Diajak Berkomunikasi dalam Hubungan Kemitraan
Sumber : Hasil Penelitian 2006
antar
Berdasarkan informasi pada tabel di atas, buruh pengrajin dan pengrajin kecil menyatakan bahwa mereka lebih suka mengkomunikasikan kesulitan mereka kepada saudara atau kerabat mereka. Menurut mereka bandar jarang sekali terlihat berbaur dengan buruh pengrajin maupun dengan pengrajin kecil. Selama ini interaksi mefeka hanya sebatas seputar urrlsan memhuat kerajinan
saja, itupun biasanya diwakilkan kepada asisten atau orang suruhan bandar tersebut.
Berdasarkan ha1 tersebut dapat diketahui bahwa terjadi kesenjangan dalarn ha1 komunikasi antara pengrajin, khususnya antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin maupun pengrajin kecil. Kurangnya komunikari antara bandar dengan pengrajin lainnya rnenyebabkan kecilnya kemungkinan bahwa bandar kerajinan rnengetahui perrnasalahan pengrajin-pengrajin di sekitarnya. Kecilnya kesempatan pengrajin kecil maupun buruh untuk berkomunikasi dengan bandar rnenyebabkan rnereka tidak rnampu rnelakukan negosiasi dalarn ha1 penentuan harga, sehingga selama ini besar atau kecilnya upah kerja buruh ditentukan secara sepihak oleh bandar. Sehingga beberapa pengrajin mengungkapkan bahwa bandar kurang peduli dengan lingkungannya, akibat sibuk dengan urusan pekerjaan. Kepedulian sosial dari bandar kerajinan bagi warga sekitar diwujudkan melalui pemberian zakat kepada fakir rniskin yang tinggal di dekat rumahnya, selain itu juga mereka biasanya mernberikan surnbangan pada pernbangunan rnesjid.
Hal ini diketahui berdasarkan keterangan Bpk ASR salah seorang pengrajin kecil: " pendak oge sesah atuh neng, pami bapak milarian pidameuleun ka bumi na ngan ukur papendak sareng asisten. Eta oge saukur urusan kerajinan. Aya an sumbangan na mah kanggo tatanggi nu feu gaduh siga bapak, sapertos zakat unggal sasis shaum, s m n g ngabantosan pembangunan masjid.. .perkawis ngabantos biaya sakola budak mah teu acan pemah, kitu oge perkawis biaya uubar ka dokter. Eta oge kantos pak Endg nawisan bilih aya anu teu damang kenging nambut mobilna kanggo lalandong pami nuju teu dianggo." (bertemu juga susah, kalau bapak rnenjemput pekerjaan ke ~ m a h n y a phanya bertemu dengan asisten. Itu juga hanya sebatas urusan pekerjaan saja. Beliau menlang suka menyumbang pada warga yang tidak marnpu, contohnya zakat setiap bulan puasa dna membantu pernbangunan mesjid, tapi belurn pernah mernbantuh rnasalah kekurangan biaya sekolah atau biaya berobat. Memang pemah ada bandar yang rnenawarkan mobilnya untuk dipakai berobat jika ada yang sakit.)
Menurut pendapat salah seorang tokoh di Desa Cipacing, salah satu penyebab terjadinya hambatan kornunikasi antar pengrajin tersebut adalah karena tidak adanya paguyuban atau forum pengrajin. Sehingga tidak ada sarana komunikasi yang mampu menjembatani kesenjangan sosial dan ekonomi antara bandar dengan buruh pengrajin.
Matriks 7. Komunikasi antar Pengrajin dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing
Komunikasi yang terjadi antara pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing hanya terbatas pada masalah pekerjaan. Hal ini menyebabkan kepedulian satu dengan lainnya menjadi bsrkurang, karena mereka jarang mengkomunikasikan mengenai perrnasalahan yang sedang dialami. Dalam ha1 pekerjaan, komunikasi yang paling kondusif antar pengrajin tejadi pada pola
kemitraan dagang umum. Dalam ha1 ini posisi antara pelaku kemitraan hampir setara, rneskipun bandar kerajinan masih dominan dalam penentuan harga jual kerajinan dibandingkan pengrajin kecil. Namun komunikasi pada pola ini jauh lebih baik dibandingkan dengan pola kemitraan KOA dan Subkontrak, karena pada ke dua pola ini seakan-akan pengrajin kecil dan buruh merupakan pegawai rendahan yang bekerja pada bandar.
Komunikasi Topik
Mekanisme
3 Topik komunikasi antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin dan pengrajin kecil hanya terbatas pada masalah pekerjaanlkerajinan, antara lain:
Pola KOA
-
kuantitas dan kualitas, batas waktu, besar upah, waktu pembayaran upahPola Subkontrak
-
kuantitas dan kualitas, batas waktu, harga satuan komponen atau kerajinan, waktu pembayaran kerajinan. Pola Dagang Umum-
harga jual beli kerajinan yang disepakati be~sama.>
Topik mengenai masalah pribadi dan masalah lainnya hanyaterjadi dalam komunikasi sesama pengrajin kecil atau sesama buruh pengrajin.
-
Komunikasi antara bandar kerajinan dengan buruh pengrajin dan pengrajin kecil hanya terjadi ketika terdapat order peke rjaan.-
Tidak terdap~t mekanisme khusus dalam komunikasi antar pengrajin Desa Cipacing. Akibat tidak adanya forum komunikasi pengrajin kayu ukir dan hias.-
Timbulnya kesenjangan secara sosial maupun ekonomi Permasa'ahanI
antar pengrajin di Desa Cipacing terutama antara bandar kerajinan dengan pengrajin kecil dan buruh pengrajin akibat komunikasi kurang baik.
-
Tidak terdapat forum komunikasi dan paguyuban antar pengrajin kayu ukir dan hias diDesa
Cipacing.5.2.1.3. Kepercayaan
Kepercayaan merupakan faktor yang paling menentukan dalam jalinan hubungan kemitraan. Kepercayaan merupakan dasar untuk membangun kemitraan yang kokoh dan berhasil. Kegagalan dalam membangun kepercayaan antar sesama pelaku kemitraan biasanya dimulsi dari sikap saling mencurigai dan akhirnya menimbulkan ketidakpercayaan yang menghambat kemitraan yang akan dibangun. Dengan demikian perlu difahami bagaimana bentuk kepercayaan yang dimiliki antar pengrajin di Desa Cipacing.
Semua pelaku usaha kerajinan di Desa Cipacing umumnya sepakat bahwa usaha tersebut selama ini bertahan akibat adanya kepercayaan antar pengrajin di Desa Cipacing maupun kepercayaan yang terjalin dengan pihak pelanggan atau eksportir. Hal ini seperti diungkapkan oleh Bpk DD seorang Bandar Kerajinan :
"Antar pengrajin Desa Cipacing satu sama lain bekerja sama untuk menghasilkan kerajinan. Kalau tidak bekerja sama dengan tetangga usaha bapak oge tidak akan semaju sekarang atuh neng, da moal kacabak an kusorangan mah. Bapak oge satujd yen kepercayaan jadi faktor utama. Mun bapak teu memberi kapercayaan ka tatangga keur ngadameulan sumpit.. anu rugi nya bapak, kitu deui tatangga moal kakecretan cicis. "
Hal senada diungkapkan oleh tokoh pengrajin di Desa Cipacing yaitu Bapak NNS:
" nya kitu wae..saling percaya, saling bantu, saling asah jeung mikanyaah. Sehingga kerajinan Cipacing teh terkenal dugi ka mancanegara berkat ketjasama dan kepercayaan
...
mun teu kitu sesah bade maju na neng, an hirup mah gening ulah pahiri-hiri...."
(ya. Begitu lah, saling percaya, saling bantu, saling melatih dan menyayangi. Sehingga kerajinan Cipacing terkenal hingga mancanegara berkat kerjasama dan kepercayaan..kalau tidak begitu sulit untuk maju, kalau hidup jangan saling iri dengki)Demikian halnya dengan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing, produksi kerajinan yang melalui proses yang cukup panjang dan melibatkan beberapa pengrajin antara lain bandar, buruh dan pengrajin kecil, menggambarkan adanya kepercayaan antar pengrajin sehingga proses kerjasama maupun sistem produksi kerajinan tersebut berjalan lancar. Dalam semua pola kemitraan yang ada baik Pola kemitraan KOA, Subkontrak maupun Dagang Umum, kepercayaan yang sangat menonjol antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing berdasarkan pada kualitas stau hasil pekerjaan masing-masing pengrajin.
Tabel 8. Alasan Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu
Kepercayaan yang terjalin diantara pengrajin di Desa Cipacing khususnya dalam pembagian kerja dalam pengerjaan komponen-komponen kerajinan disebabkan berbagai alasan. Alasan yang mel~onjol dalam terjalinnya kepercayaan antara satu pengrajin dengan pengrajin lain adalah karena kualitas pekerjaan, sedangkan faktor kekerabatan maupun kesetiakawanan dianggap tidak terlalu penting. Hal ini mengindikasikan bahwa bandar sebagai pemberi pekerjaan utama pada buruh pengrajin maupun pengrajin kecil sangat menjaga kualitas dari kerajinan mereka buat, sehingga tidak sembarangan memberikan pekerjaan pada orang yang bukan ahlinya.
Dalam membagi pekerjaan pada sesama pengrajin, pengrajin Desa Cipacing sangat mementingkan kualitas pekerjaan dibandingkan dengan alasan lainnya, ha1 ini terjadi terutama pada bandar kerajinan yang paling sering memberikan peke rjaan pada pengrajin kecil dan buruh pengrajin. Namun dibalik kepercayaan yang diberikan bandar kepada pengrajiti kecil maupun buruh pengrajin, harus melewati usaha keras dari mereka untuk mendapatkan pekerjaan tersebut. Yaitu dengan sistem pembagian kerja yang seringkali melalui sistem "jemput
bola",
serta sistem dan besarnya jumlah pembayaran yang tidak dapat dinegosiasikan. Dalamhal
ini buruh pengrajin dan pengrajin kecil tidak memiliki posisi tawar terhadap bandar kerajinan.Kepercayaan yang tumbuh di antara pengrajin di Desa Cipacing disebabkan oleh adanya keinginan untuk memenuhi kebutuhan bersama, yakni bandar yang membuiuhkan pekerjaan untuk selesai dengan cepat serta pengrajin kecil dan buruh yang memerlukan uang untuk rnemenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun bidang kepercayaan yang terjalin antar pengrajin di Desa Cipacing tersebut masih terbatas pada kepercayaan dalam kerjasama pembuatan kerajinan dan pemasaran, sedangkan dalam bidang lainnya tidak terjalin kepercayaan antar pengrajin.
~ k i r dan Hias di ~ e s a Cipacinc. No
1 2. 3.
Sumber : Hasil Penelitian 2006
F
4
17 2 23 Alasan kepercayaan antar pengrajin
Kekerabatan Kualitas Pekerjaan Kesetiakawanan Jumlah % 18 73 9 100
Tabel 9. Bidana Kemrcavaan dalam Hubungan Kemitraan antar Pengraji~
..
.
I Kayu ~ k i r dan Hias di ~ e & Cipacing.1
No1
Bidang Kepercayaan antar Mitra1
I
Kepercayaan dalam pembuatan kerajinanI
2[
Kepercayaan dalam modal(
3.(
Kepercayaan dalam PemasaranI
(
JumlahI
Sumber : Hasil Penelitian 2006
Kepercayaan juga merupakan ha1 penting dalam menjalin kemitraan dengan pihak eksternal di luar Desa Cipacing. Hal ini dialami secara langsung oleh bandar-bandar kerajinan yang telah mampu memasarkan kerajinannya hingga keluar daerah dan ke luar negeri.
Hambatan yang terjadi pada aspek kepercayaan dalam hubungan kemitraan antar pengrajin di Desa Cipacing ini adalah aspek kepercayaan yang dimiliki masih sebatas kepercayaan pada kerjasama pembuatan komponen kerajinan saja. Sedangkan kepercayaan untuk bekejasama pada bidang lain belum tumbuh. Sebagai contoh kepercayaan dalam kerjasama di bidang perrnodalan tidak ditemui di Desa ini karena kerjasama pada bidang tersebut pernah dilakukan dan mengalami kegagalan.
Matriks 8. Kepercayaan dalam Hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing
Kepercayaan
- - --
Alasan
Aspek
-
Alasan utama kepercayaan dalam semua pola kemitraan antar pengrajin Desa Cipacing untuk bermitra adalah kualitas peke jaan yang dimiliki oleh pihak mitra.-
Aspek kepercayaan antar pengrajin di Desa Cipacing sebatas pada kepercayaan di bidang pembuatan kerajinan dan sebagian kecil pemasaran.-
Tidak terdapat kepercayaan pada bidang-bidang lain seperti bermitra dalam permodalan atau meningkatkan kemitraan dalam bidang pemasaran, sehingga kemitraan tidak berkem bang.Kepercayaan yang dimiliki oleh pengrajin Desa Cipacing untuk bermitra lebih dari sekedar pembuatan kerajinan, belum berjalan dengan baik. Kepercayaan untuk bermitra dalam pengadaan modal belum teraapat pada kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing. Berdasarkan data di lapangan, kepercayaan tertinggi dalam hubungan kemitraan yang ada adalah pada pola KOA. Sebab dalam ha1 ini bandar memberikan kepercayaan penuh pada pengrajin kecil maupun buruh untuk mengerjakan kerajinan dengan
rnenyediakan modal sekaligus bahan baku. Kepercayaan terendah terjadi pada hubungan kemitraan dengan pola dagang umurn, sebab dalarn pola ini hubungan antara bandar dengan pengrajin kecil hanya sebatas penjual dan pernbeli.
5.2.1.4.
Etika
KemitraanKemitraan yang dijalin selarna ini oleh pengrajin di Desa Cipacing merupakan wujud dari kelembagaan sosial ekonorni di wilayah tersebut. Dalarn hubungan kernitraan tersebut terdapat nilai-nilai atau norma yang terbentuk yang menjadi landasan bagaimana kerjasama tersebut dijalankan. Meskipun selarna ini tidak terdapat peraturan yang tertulis, akan tetapi pzngrajin Desa Cipacing rnemiliki aturan yang lahir dari kebiasaan yang telah berlangsung seiring dengan berkernbangnya industri kerajinan kayu ukir dan hias di wilayah ini.
Etika dalarn hubungan kemitraan antar pengrsjin di wilayah ini tidak berbentuk peraturan yang tertulis, namun cenderung rnerupakan kebiasaan- kebiasaan yang kemudian menjadi pedornan bagi pelaku usaha di bidang kerajinan di wilayah ini. Seperti halnya berapa upah yang berlaku bagi pengerjaan suatu kerajinan tertentu, biasanya disandarkan pada perjanjian atau kesepakatan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Etika
kemitraan dalam Pola Ke jasama OperasionalEtika kemitraan yang terjadi dalarn pola KOA ini adalah etika hegernoni.
3
Kernitraan yang terjalin antara bandar kerjaninan, buruh pengrajin dan pengrajin kecil, berpusat pada hegemoni bandar atau rnenjadikan bandar sebagai satu- satunya penentu aturan dalam hubungan kemitraan. Pada pola KOA ini, bandar melakukan pemesanan kerajinan jadi rnaupun kornponen kerajinan pada pengrajin kecil atau buruh pe~grajin dengan menyediakan bahan baku serta modal, sedangkan buruh pengrajin dan pengrajin kecil rnernenuhi pesanan tersebut dengan menyediakan tenaga dan lahan kerja. Sistem pernbayaran adalati sistem upah kerja per satuan komponen atau kerajinan jadi. Bandar menjadi penentu dalarn besa~nya upah dan kapan upah tersebut akan di bayar. Dalam rnengerjakan kerajinan biasanya masing-masing jenis kerajinan merniliki tingkat kesulitan tertentu, sehingga masing-masing buruh dan pengrajin kecil merniliki tugas yang berbeda dan besamya upah untuk tiap pengerjaan kornponen kerajinan pun berbeda.
Etika kemitraan dalam Pola Subkontrak
Etika kemitraan pada pola subkontrak merupakan etika komersialisme, di rnana terjadi hubungan kerjasama antara bandar kerajinan, pengrajin kecil dengan buruh pengrajin yang saling menaati perjanjian yang telah disepakati dnegna tidak mengurangi nilai-nilai komersialisrne atau nilai bisnis (profit oriented). Pada pola subkontrak industrial, bandar melakukan pemesanan komponen kerajinan pada buruh atau pengrajin kecil, namun dalam pemesanan ini bandar tidak memiliki kewajiban untuk menyediakan bahan baku dan modal. Pihak subkontraktor menyediakan modal dan bahan baku secara mandiri, serta dibayar sesuai dengan harga per-satuan komponen kerajinan. Pada pola subkontrak komersial bandar melakukan pemesanan kerajinan siap jual pada pengrajin kecil, dengan ketentuan kualitas dan kuantitas tertentu. Pembayaran adalah sejumlah harga per satuan kerajinan jadi yang telah dipesan.
Etika kemitraan dalam Pola Dagang Umum
Etika kemitraan dagang umum adalah etika resiprositas atau pertukaran. Pada dasarnya pola dagang umum yang dilakukan adalah jual beli tanpa prinsip pemesanan. Bandar berperan sebagai pembeli atau kolektor sedangkan pengrajin kecil berperan sebagai penjual kerajinan jadi.
Fakta yang terjadi dalam hubungan kemitraan antar pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipacing adalah peranan bandar yang sangat dominan dalam penentuan harga, kualitas dan besamya upah. Pertama, pengrajin kecil maupun buruh pengrajin hams mencari-cari pekerjaan dengan sistem "jemput bola" kepada rumah-rumah bandar. Kedua, sistern pembayaran upah ditentukan secara sepihak
oleh
bandar kerajinan. Pengrajin kecil atau buruh pengrajin yang merasa tidak cocok dengan besar upah atau waktu pembayaran tersebut, tidak memiliki kesempatan untuk bernegosiasi karena bandar akan langsung memberikan pekerjaan pada pihak lain dengan dalih masih banyak yang menginginkan dan membutuhkan pekerjaan tersebut. Ketiaa bandar kerajinan menjadi satu-satunya pihak yang menentukan harga jual kerajinan khususnya kerajinan hasil karya pengrajin kecil yang dijual di showroom mereka.Sebagai wntoh, Bandar dianggap orang yang paling berhak menentukan upah karena jika buruh tidak menyetujui besarnya upah tersebut maka bandar akan mekmparkan pekerjaan tersebut pada orang lain. Dengan demikian dalam ha1 ini buruh sama sekali tidak mgmiliki pilihan selain menerima pekerjaan
dengan upah yang kecil. Lain halnya dengan pengrajin kecil yang masih bisa berusaha membuat kerajinan kecil-kecilan meskipun tidak dapat pekerjaan makloon dari bandar. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang buruh Bpk MM yang membuat komponen sumpit:
" an aya pagawean teh, hayang mah atuh datang ka bumi.. da sanes batur, nanging namina oge jalmi alit kudo urang anu ngadatangan ka ditu. Kitu deui dina nangtukeun bumh, siga sumpit
...
mun daek wae opat rebu sakodi mangga, henteu wae kajeun...
dugi ka danget ayeuna mah teu acan aya an' bentuk kaperdulan ka jalmi alit siga bapak. Nanging sakiue oge lumayan panginten dibanding teu kenging padamelan mah". (kalau ada pekerjaan, saya berharap dia menawarkan ke rumah, karena saya bukan orang lain untuk dia, namun saya orang kecil yang harus mendatangi rumahnya. Begitu juga dalam menentukan upah, kalau bersedia empat ribu perkodi kalau tidak tidak dapat pekerjaan. Sampai sekarang bapak belum merasakan bentuk kepedulian apapun dari banda:, namun segini jgga lumayan dibandingkan tidak dapat pekerjaan sama sekali.)Beberapa pengrajin kecil yang diwawancarai menyatakan dirinya hanya mau menge jakan peke rjaan jika kerajinannya sendiri sudah selesai dikerjakan atau jika sedang tidak memiliki modal, artinya mereka masih memiliki pilihan selain dari pekerjaan yang ditawarkan bandar. Sedangkan buruh pengrajin mengaku tidak rnemiliki pilihan lain untuk mengerjakan komponen tersebut.
Tabel 10. Mitra yang menentukan besamya Upah dan harga dalam Hubungan kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan hias di Desa Cipacing.
Dalam mengejakan komponen-komponen kerajinan biasanya masing- masing jenis kerajinan memiliki tingkat kesulitan tertentu, sehingga masing- rnasing buruh dan pengrajin kecil memiliki tugas yang berbeda dan besarnya upah untuk tiap pengerjaan komponen kerajinan pun berbeda. Ketentuan ini dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara bandar kerajiaan dengan tjuruh maupun dengan pengrajin kecil pada awal pembagian pekerjaan. Namun pada dasarnya biasanya buruh pengrajin tidak memiliki kewenangan dalam menentukan dan melakukan negosiasi harga. Tawaran harga dari bandar
No 1
2
3
-
Sumber : Hasil Penelitian 2006
Mitra yang menentukan Besarnya Upah dan harga
BandarIKolektor PekerjaIBuruh Kedua belah pihak Jumlah F 21
-
2
23
% 9 1 0 9 . 100kerajinan biasanya merupakan harga mati yang tidak dapat diubah. Jika buruh tidak sepakat maka bandar akan melemparkan pekerjaan tersebut pada buruh atau pengrajin kecil lainnya.
Menurut keterangan buruh pengrajin maupun pengrajin kecil, bandar biasanya rnenurunkan upah kerja ketika pasaran sedang sepi atau harga sedang turun, sedangkan apabila harga sedang naik atau pasaran sedang ramai bandar tidak pernah menaikan upahnya. Dalam kondisi tersebut biasanya pendapatan pengrajin kecil maupun buruh pengrajin meningkat karena jumlah komponen kerajinan yang harus dikerjakan meningkat.
Hambatan yang terjadi dalam etika kemitraan ini adalah penentuan waktu pembayaran upah ~ e r j a yang ditentukan oleh kondisi bandat. Seringkali pernbayaran upah dari bandar kepada bunrh tertunda dengan jangka waktu yang cukup lama. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sistern target waktu yang diberikan bandar kepada buruh pengrajin maupun pengrajin kecil untuk penyelesaian komponen kerajinan tertentu. Sedangkan rnenurut pendapat Bandar keterlambatan pembayaran ini disebabkan bandar seringkali rnendapatkan pembayaran yang terlambat atau dicicil dari pihak pemesan luar dan dalam negeri. Seperti pengakuan seorang bandar :
"
pembayaran dari ekportir diawal ngan saparapat, eta oge ngan cukup kanggo nutupan bahan baku. Sedengkeun mayar pagawe oge kudu nalangan heula. Tah drum single ieu oge, tos sering diteleponan ku eksportir kanggo dikirim ka spanyol. Tapi ku abdi teu acan waka di pasihkeun. Kahiji teu acan beres, masih keneh seueur anu di pengrajin sejen, kadua na anje1;na ngajangjikeun salasa enjing bade transfer saparapat deui, mun sesana biasana lamun tos dikirm ka spanyol teras urang ditu na tos mayar lunas ka eksportir, tah eta pikakeuheuleun na teh sok mda lami " (Eksportir baru mernbayar 114 yang hanya cukup untuk n~embeli bahan baku. Sedangkan untuk rnembayar pegawai (buruh dan pengrajin kecil) rnemakai dana pribadi. Sebenarnya, drum single iri sudah sering diigih oleh pihak eksportir. Tapi tidak buru-buru diberikan karena rnasih belurn beres dan menunggu pembayaran 114 lagi. Sisanya yang 112 biasanya dibayar setelah eksportir dapat pembayaran periuh dari importir spanyol, ha1 tersebut mengesalkan karena waktunya agak lama)Permasalahan yang dialami oleh bandar kerajinan tersebut kemudian menyebabkan pembayaran upah kepada buruh pengrajin dan pengrajin kecil menjadi macet. Apalagi dengan kondisi buruh yang hanya rnengandalkari natkahnya dari membuat komponen kerajinan. Seringkali opah yang terlambat tersebut rnenyebabkan mereka berhutang pada warung-warung di sekitar rumah
mereka. Salah satu buruh pengrajin, ibu
ENH
mengungkapkan perrnasalahan tersebut, sebagai berikut:"buburuh kieu mah neng, karaos ku ibu nyalira, upami bayaran telat kapaksa kedah nganjuk ka warung. Mun teu kitu kl!maha atuh mereun moal tiasa emam. Bapa na nya kitu deui sami buburuh ngandelkeun padamelan ti bandar, nya kitu oge bayaran teh sok telat dugi saminggu, dua minggu dugi ka sabulan langkung. Ibu oge padamelan minggu kamari teu aca di bayar, jangj7na saptu kamari eh my saptu, ray saptu teh duka saptu iraha.. ah duka atuh anjeuna mah (bandar) moal ngaraoskeun kakirangan siga ibu." ( bekerja sebagai buruh begini neng, terasa oleh ibu sendiri, kalau upah dibayar telat terpaksa harus berhutang ke warung. Kalau tidak begitu tidak akan bisa makan. Bapak juga begitu sama-sama jadi bumh yang mengandalkan pekerjaan dari bandar, yah begitu juga upahnya suka telat sampai seminggu, dua minggu sampai lebih sebulan. Pekerjaan ibu yang kemarin juga belum dibayar, janjinya sabtu kemarin, eh ketemu sabtu, ketemu sabtu lagi entah sabtu kapan
...
ibu tidak tahu mungkin bandar tidak pernah merasakan kekurangan seperti keluarga ibu)Dalam etika kemitraan yang telah biasa terjalin antar pengrajin di Desa ini, pada kenyataannya bandar memiliki kekuasaan yang penuh untuk menentukan harga, upah serta menentukan kapan waktu pembayaran upah. Sedangkan pengrajin kecil ataupun buruh pengrajin biasanya hanya menunggu janji bandar tanpa bisa melakukan negosiasi dan menagih pembayaran. Alasannya karena pihak bandar pun harus menunggu pelunasan pembayaran dari pihak mitra di luar Desa Cipacing seperti pemesan yang berasal dari dalam dan luar negeri. Hal ini berarti pengrajin kecil dan buruh pengrajin tidak memiliki posisi tawar terhadap bandar dengan berbagai alasan yang dimiliki oleh bandar.
Demikian halnya dalam penentuan harga jual keraji~an yang telah jadi kepada konsumen, te rjadi persaingan antara bandar kerajinan dan antar pengrajin kecil. Untuk satu lusin harga kerajinan yang dijual ke Bali, pengrajin Desa Cipacing belum memiliki patcrkan harga yang beku. Terkadang terjadi persaingan harga yang tidak sehat ketika pengrajin saling membanting harga untuk mendapatkan langganan. Hal tersebut berimbas pada seluruh pengrajin di Desa Cipacing, baik itu bandar, buruh dan pengrajin kecil. Ketika harga pasaran turun akibat banting harga, maka bandar kerajinan maupun pengrajin kecil mendapatkan untung yang kecil, ha1 ini secara tidak langsung menyebabkan upah kerja persatuan komponen yang dikerjakan oleh buruh pengrajin diturunkan oleh bandar akibat harga yang turun tersebut.
Matriks 9. Etika Kemitraan dalam Hubungan Kemitraan Antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing.
Etika kemitraan yang ada pada pola KOA adalah etika hegemoni bandar, yaitu bandar sebagai pemegang peranan utama dalam kemitraan sehingga secara jelas kemitraan bersifat patron-Mien (atasan bawahan). Pada pola Subkontrak, etika yang berlaku adalah komersialisme yang masih memberikan kesempatan pada pihak subkontaktor untuk memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dibandingkan dengan etika KOA. Begitupula dalam pola Dagang Umum, dengan etika resiprositas atau pertukaran seharusnya pihak pengrajin kecil selaku penjual terhadap bandar memiliki keleluasaan dalam menentukan harga jual. Akan tetapi pada kenyataannya dalam semua pola kemitraan yang ada,
posisi bandar tetap menjadi pihak yang berkuasa. Etika kemitraan Etika As pe k Mekanisme Sanksi Perrnasalahan
Pola Kerjasama operasional : etika hegemonik Pola Subkontrak: etika komersialism
Pola Kerjasama Dagang UmumIPemasaran: etika resiprositas
-
Pembagian Kerja-
Penentuan Upah-
Penentuan Harga-
Mekanisme pembagian kerja ditentukan oleh masing- masing golongan pengrajin terhadap orang yang dipercayainya berdasarkan kualitas pekerjaan yang dimiliki.-
Sistem pembagian pekerjaan seringkali melalui sistem "jemput bolan.-
eesarnya upah kerja yang didapat oleh pengrajin kecil atau buruh pengrajin dalam pengerjaan komponen kerajinan ditentukan oleh bandar secara sepihak-
Waktu pembayaran upah ditentukan oleh bandar sesuai dengan pembayaran dari pihak pemesanlpelanggan.-
Penentuan harga pasaran dalam kerjasama pemasaran antara pengrajin kecil dengan bandar ditentukan oleh bandar.-
Tidak ada sanksi yang jelas-
Pembayaran upah yang sering terlambat akibat tidak adanya kesepakatan atau sanksi dalam kemitraan yang dijalin.-
Kurangnya komunikasi menyebabkan kedua belah pihak yang berrnitra saling menyalahkan.5.2.2. Hubungan Kemitraan Berdasarkan Aspek-aspek Ekonomi 5.2.2.1. Modal
Modal merupakan semua bentuk kekayaan yang dapat memproduksi lebih lanjut, yang digunakan langsung atau tidak langsung dalam proses produksi untuk menambah output (Siagian, 1989) Menurut hasil wawancara bentuk hubungan kemitraan pada aspek modal, hampir tidak terjadi antar pengrajin di Desa Cipacing, kecuali dalam hubungan kemitraan dengan pola KOA. Namun hubungan kemitraan permodalan yang terjadi hanya merupakan pemenuhan kewajiban dari pihak bandar yang menyediakan modal dan bahan baku pembuatan kerajinan untuk memenuhi kepentingannya. Hubungan kemitraan dalam bidang permodalan yang dirasakan kurang terkait dengan rendahnya kepercayaan antar pengrajin, kurangnya komunikasi, koperasi pengrajin yang tidak aktif, serta belum terdapatnya paguyuban antar pengrajin.
Sesuai dengan pola kemitraan yang ada, kemitraan dalam permodalan hanya terjadi dalam pola kerjasama operasional di mana bandar kerajinan memiliki kewajiban sebagai pihak yang menyediakan m3dal dan bahan baku dalam pembuatan kerajinan atau komponen kerajinan. Sedangkan dalam pola kemitraan subkontrak dan dagang umum, kemitraan dalam permodalan tidak terjalin. Dengan demikian diketahui bahwa secara internal kemitraan dalam bidang permodalan kurang terjalin antar pengrajin Desa Cipadng.
Rendahnya intensitas serta kualitas dari komunikasi antar pengrajin menyebabkan bandar tidak pernah mengetahui secara pasti permasalahan permodalan pengrajin kecil. Sedangkan meskipun komunikasi antar pengrajin kecil dan buruh memiliki intensitas serta topik yang cukup mendalam yaitu menyangkut permasalahan pribadi mereka, namun karena masing-masing pengrajin kecil dan buruh pengrajin memiliki masalah yang sama yaitu berada dalam kondisi kemiskinan menyebabkan mereka tidak bisa sling menolong dalam ha1 permodalan.
Kesulitan akan permodalan sebenarnya dirasakan oleh seluruh pengrajin di Desa Cipacing termasuk Bandar. Namun dalam ha1 permodalan ini bandar mengatasi ha1 tersebut dengan bekerjasama dengan berbagai sumber permodalan di luar Desa Cipacing seperti Bank BRI atau Bank Mandiri. Menurut penuturan salah seorang Bandar, mereka lebih suka untuk bekerjasama dengan pihak luar di Desz Cipacing dalam ha1 permodalan dibandingkan dengan pengrajin di Desa Cipacing, misalnya dengan investor dari luar wilayah Hal ini
disebabkan mereka kurang percaya untuk bekerjasama dengan sesama pengrajin dalam urusan yang menyangkut modal atau uang.
Dalam ha1 permodalan umumnya pengrajin kecil Desa Cipacing hanya mengandalkan modal yang sangat kecil, sehingga skala usaha yang dimilikinya tidak pernah berkembang pesat. Selama ini mereka lebih sering menempatkan diri mereka sebagai buruh yang mengerjakan komponen kerajinan pada bandar, sedangkan untuk memproduksi kerajinan yang siap dipasarkan, ha1 tersebut hanya dilakukan jika mereka memiliki modal hasil upah menjadi buruh atau mendapatkan pinjaman dari kerabat mereka saja. Pengrajin kecil Desa Cipacing memiliki kerjasama dalam bidang permodalan dengan berbagai pihak terutama dengan keratat atau saudara mereka. Biasanya pengrajin memiliki rasa enggan untuk beke rjasama dengan sesama pengrajin atau dengan bandar dalam upaya penambahan modal ini. Selain itu mereka memiliki keterbatasan dalam mengakses kerjasama permodalan dengan pihak perbankan.
Hal ini didukung oleh ungkapan salah seorang pengrajin kecil bpk ODG yang menerima investasi modal dari bandar kerajinan di wilayah Desa lain.
"ah
...
asa kagok an bade nambut modal ka bandar di dieu mah. /sin enya, teras bisi kahutangan budi. Tapi saterang bapa mah sadayana oge langkung fans keqasama modal sareng pihak luar, conto na bandar di Cibeusi tibatan sareng bandar nu di dieu. Mangga wae ku eneng uningaan...
siga na mah kacontoan ku masalah kredit macet waktos KMUC tea". (Rasanya segan meminjam modal pada bandar di sini. Malu dan takut berhutang budi. Namun setahu saya semua pengrajin lebih suka bekerjassma dalam bidang modal dengan pihak luar, contohnya dengan bandar di Cibeusi dibandingkan dengan bandar di sini. Mungkin takut kredit macet seperti KMUC.)Pada awal tahun 2000 pengrajin Desa Cipacing secara mandiri mendirikan Koperasi pengrajin yang bernama Koperasi Mitra Usaha Cipacing yang kemudian mengalami rnati suri setelah enam bulan berjalan yang
dieebabkan oleh pengembalian dana pinjaman yang macet. Hal tersebut memiliki menyebabkan trauma untuk bagi pengrajin desa Cipacing untuk berrnitra dalam ha1 permodalan. Pengrajin
Desa
Cipacign merasa lebih nyaman untuk melakukan kerjasama permodalan dengan pihak lain di luar Desa Cipacing.Tabel 11. Mitra dalam pengadaan Modal dalam hubungan Kemitraan antar Pengrajin Kayu Ukir dan Hias di Desa Cipacing.
(
NoI
Mitra yang diajak kerjasama dalamI
F/ % 1
Pada saat masih berdiri koperasi mitra usaha Cipacing, pengrajin memiliki kemudahan dalam ha1 meminjam modal, namun ha1 tersebut tidak berlangsung lama karena koperasi tersebut tidak mengalami kemajuan akibat banyaknya pinjarnan yang macet. Macetnya pengembalian dana yang dipinjam oleh para pengrajin dari koperasi tersebut menjadi trauma bagi setiap pengrajin jika meminjamkan uang kepada pengrajin lain.
Sedangkan buruh pengrajin, mereka tidak memiliki modal sendiri dan hanya memiliki keterampilan rnembuat kerajinan yang terbatas. Sehingga untuk membuat kerajinan mereka hanya mengandalkan modal manusia yang berupa tenaga untuk melakukan pekejaan yang tidak menuntut keterampilan khusus, contohnya banyak buruh yang hanya bekerja sebagai kuli amplas. Dalam pola kemitraan subkontrak, buruh yang mendapat pesanan komponen kerajinan biasanya mendapatkan modal untuk membeli bahan baku maupun peralatan dari hasil upah kerja atau berutang pada kerabat yang kemudian mereka lunasi ketika mendapat bayaran upah dari bandar.
1
2
3 4
5
Sumber : Hasil Penelitian 2006
penambahan modal Sesama Pengrajin Kerabat BandarIKolektor Pihak Perbankan Lain-lain Jumlah 3
7
-6
7
23
1430
0
26
30 100
Matriks 10. Hubungan kemitraan dalam bidang Pengadaan Modal antar pengrajin Kayu Ukir dan hias di Desa Cipacing.
Rendahnya kepercayaan di antara pengrajin kayu ukir dan hias menyebabkan hubungan kemitraan dalam perrnodalan tidak berjalan dnegna baik. Pengrajin kayu ukir dan hias di Desa Cipbcing lebih memilih untuk bekerjasama dalam bidang perrnodalan dengan pihak di luar Desa Cipacing. Hal ini terkait dengan rendahnya kornunikasi antar pengrajin juga kegagalan jalinan kerjasama di bidang permodalan di masa lalu ketika koperasi pengrajin masih berjalan. Antara bandar, pengrajin kecil serta buruh pengrajin, masing-masing tidak saling berkerjasama dalam pengadaan modal padahal mereka berada dalam hubungan kemitraan yang saling membutuhkan.
,
Mitra
Mekanisme
Pennasalahan
Mod31
Pola KOA : Bandar sebagai mitra yang bertanggung jawab menyediakan modal
Pola Subkontrak dan Dagang Umum : Modal pribadi.
-
Bandar kerajinan tidak bermitra secara internal dalampengadaan modal untuk usahanya.
Secara Eksternal bandar berrnitra dengan pihak Perbankan, investor dari luar Desa
-
Pengrajin Kecil+
dalam pola KOA bermitra dengan bandar, sedangkan pola subkontrak atau Dagany Umum dengan kerabat dan sesama pengrajinSecara ekstemal : Pihak Perbankan, sesama pengrajin di Desa lain
-
Buruh Pengrajin+
internal :bermitra dengan bandar dala pola KOA, sedangkan dalam pola subkontrak kerabat atau tetanggaEksternal : tidak ada
-
Kerjasama dalam bidang permodalan antar pengrajin Desa Cipacing hanya terjadi dalam pola kemitraan KOA.-
Dalam pola subkontrak atau dagang umum, pengrajin Desa Cipacing lebih memilih bermitra dalam bidang permodalan dengan pihaklmitra di luar Desa Cipacing.-
Tidak ada kepercayaan dalam kerjasama permodalan antar pengrajin Desa Cipacing.-
Terdapat keengganan dari pengrajin untuk bekerjasama dalam bidang permodalan.-
Investor hanya memberikan bantuan modal pada bandar.-
Buruh pengrajin tidak dapat mengakses permodalan dengan pihak perbankan.5.2.2.2.
Bahan
BakuSesuai dengan pola kemitraan KOA, pengadaan bahan baku dilakukan oleh bandar dalam proses produksi suatu kerajinan. Namun hubungan kemitraan dalam pengadaan bahan baku secara umum antar pengrajin di Desa Cipacing kurang terjalin dengan baik.
Hubungan kemitraan yang dilakukan oleh pengrajin kayu ukir dan hias dalam pengadaan bahan baku adalah hubungan kemitraan secara internal dan ekstemal. Hubungan internal dilakukan berdasarkan hubungan saling tolong- menonlong antar pengrajin Desa Cipacing khususnya antar pengrajin kecil, sedangkan hubungan ekstemal dengar: pihak di luar Desa Cipacing dilakukan oleh bandar kerajinan serta pengrajin kecil. Dalam ha1 pengadaan bahan baku, hubungan kemitraan yang nampak adalah solidaritas antar sesama pengrajin kecil, sedangkan antar bandar dengan pengrajin yang lain tidak terlihat adanya kemitraan dalam ha1 bahan baku. Dalam pengadaan bahan baku, bandar kerajinan lebih cenderung berrnitra secara ekstemal yaitu dengan instansi atau pengusaha bahan baku yang berada di luar daerah Cipacing misalnya dengan Perhutani. Bandar biasanya membeli bahan baku bukan untuk dijual melainkan untuk diolah dalam pola kemitraan KOA supaya menjadi kerajinan yang nantinya akan dijual ke konsumen atau di ekspor.
Hubungan kemitraan dalam pengadaan bahan baku secara internal hanya te rjalin diantara pengrajin kecil saja sedangkan bandar tidak tidak terlibat dalam hubungan kemitraan internal dalam bidsng ini. Demikian halnya dengan buruh pengrajin yang tidak pernah terlibat dalam hubungan kemitraan dalam pengadaan bahan baku karena biasanya mereka mengerjakan komponen kerajinan yang bahan bakunya telah dipersiapkan oleh bandar. Untuk menge rjakan komponen kerajinan dalam po!a subkontrak, biasanya buruh hanya menyediakan vemis, atau cat untuk mewarnai itupun tidak pernah ada kerjasama baik dengan sessma buruh, pengrajin kecil maupun dengan bandar. Namun seringkali dalan pengadaan peralatan tersebut buruh pengrajin tidak memiliki uang untuk membelinya karena berbenturan dengan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Hal tersebut disebabkan pembayaran upah yang seringkali terlambat. Dalam kondisi tersebut untuk membeli cat atau vernis biasanya buruh pengrajin meminjam uang kepada tetangganya atau berutang pada warung.