• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hafriliantika Ramadhani G

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hafriliantika Ramadhani G"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

STATUS HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) PADA KOMUNITAS GIGOLO SURAKARTA MENGGUNAKAN

DETERMINE-HIV-1/2 DAN NESTED PCR HIV-int

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Hafriliantika Ramadhani G.0008217

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2011

(2)

commit to user

(3)

commit to user

iii

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan peneliti juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 3 Januari 2012

Hafriliantika Ramadhani NIM. G.0008217

(4)

commit to user

iv

Hafriliantika Ramadhani, G0008217, 2011, Status Human Immunodeficiency

Virus (HIV) pada Komunitas Gigolo Surakarta Menggunakan Determine-HIV-1/2

dan Nested PCR HIV-int.

Tujuan Penelitian: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data awal tentang status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta.

Metode Penelitian: Sejumlah 30 gigolo di Surakarta berpartisipasi dalam penelitian dengan metode quota sampling yang dilakukan pada Mei-Juni 2011. Setelah menandatangani surat persetujuan dan informed consent, responden dianamnesis secara terstruktur dan darahnya diambil. Selanjutnya, sampel darah difraksinasi dan dibagi menjadi aliquot. Sampel plasma dideteksi anti-HIV-1/2 menggunakan Determine-HIV-1/2. Sampel yang seropositif dilakukan ekstraksi asam nukleat, dilanjutkan sintesis cDNA, dan amplifikasi sebagian gen integrase HIV dengan nested PCR.

Hasil Penelitian: Keseluruhan gigolo dalam penelitian ini tergolong dalam usia produktif (19-49 tahun). Responden menjadi “money boy” dengan alasan karena kebutuhan ekonomi 30% (9/30), kebutuhan biologi 6,7% (2/30), dan keduanya 86,7% (19/30). Sebagian besar responden (83,3%) berorientasi biseksual dengan aktivitas seksual berisiko. Status HIV pada komunitas gigolo Surakarta menggunakan Determine-HIV-1/2 didapatkan hasil positif sejumlah 10% (3/30). Pemeriksaan nested PCR HIV-int pada sampel seropositif didapatkan hasil negatif. Simpulan Penelitian: Penelitian ini menunjukkan bahwa gigolo di Surakarta rentan terinfeksi HIV. Oleh karena itu, perlu dilakukan intervensi dalam pencegahan, diagnosis, dan terapi HIV pada komunitas tersebut.

(5)

commit to user

v

Hafriliantika Ramadhani, G0008217, 2011, Status of Human Immunodeficiency Virus (HIV) Among Community of Male Sex Workers in Surakarta Based on Determine-HIV-1/2 and Nested PCR HIV-int.

Objective: This study aimed to obtain the preliminary data about epidemiology of HIV in male sex workers in Surakarta.

Methods: In total, 30 male sex workers in Surakarta were enrolled in the study by quota sampling method in May-June 2011. After signed the informed consent the respondents were interviewed and their blood were retrieved. The blood samples were then fractionated, aliquoted, and kept frozen to be further analyzed. The fresh plasma aliquot was used for detection of anti-HIV-1/2 by Determine-HIV-1/2. The serological positive samples were then extracted for nucleic acid, followed by cDNA synthesis, and amplified for part of HIV integrase gene by nested PCR. Results: All the male sex workers involved in the present study were on productive age (19-49 years old). Respondents became "money boy" due to economic needs 30% (9/30), biological needs 6.7% (2/30), and both of reasons 86.7% (19/30). Most of respondents (83.3%) had bisexual orientation with risky sexual activities. HIV infection was detected in three out of thirty respondents based on Determine-HIV-1/2. Nested PCR examination of HIV-int obtained negative results.

Conclusion: The present results indicate that the male sex workers in Surakarta are vulnerable to acquire HIV infection. Therefore, interventions to prevent, diagnose, and treat HIV infections among this population is needed.

(6)

commit to user

vi

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan karunia-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Status Human

Immunodeficiency Virus (HIV) pada Komunitas Gigolo Surakarta

menggunakan Determine-HIV-1/2 dan Nested PCR HIV-int” dengan baik. Laporan penelitian ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tulisan ini tidaklah dapat diselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR FINASIM, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Afiono Agung Prasetyo, dr., P.hD., selaku pembimbing utama. 3. Yulia Sari, S.Si., M.Si., selaku pembimbing pendamping. 4. Hudiyono, Drs., M.S., selaku penguji utama.

5. Mujosemedi, Drs., M.Sc., selaku anggota penguji. 6. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku ketua tim skripsi.

7. Kedua orang tua saya (Hadi Santoso dan Supratikmiasih) serta adik saya (Handy Ilham Prahasto) atas dukungan dan doanya selalu.

8. Rekan-rekan tim penelitian payung (Wike Astrid Cahayani, Sofina Kusnadi, Denny Adriansyah, dan Tenri Ashari) atas kerjasamanya yang solid selama penelitian.

9. Staf Laboratorium Biomedik dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah turut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diharapkan. Penulis berharap semoga penyusunan skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.

Surakarta, Desember 2011 Hafriliantika Ramadhani

(7)

commit to user vii LEMBAR PERSETUJUAN ... ii PERNYATAAN... iii ABSTRAK ... iv ABSTRACT ... v PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka ... 5

1. Human Immunodeficiency Virus (HIV) ... 5

2. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia ... 9

3. Komunitas Pekerja Seks Komersial Pria (Gigolo) ... 10

B. Kerangka Pemikiran ... 12

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 13

A. Jenis Penelitian ... 13

B. Lokasi Penelitian ... 13

C. Subjek Penelitian ... 13

D. Teknik Sampling ... 13

E. Alur Kerja Penelitian ... 14

F. Alat dan Bahan ... 14

G. Cara Kerja ... 16

H. Analisis Data ... 21

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 22

BAB V PEMBAHASAN ... 27

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 36

A. Simpulan ... 36

B. Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

(8)

commit to user

viii

Tabel 1. Rekomendasi WHO untuk Strategi Pemeriksaan HIV Berdasarkan Tujuan Pemeriksaan dan Prevalensi Infeksi pada Populasi Sampel .. 7 Tabel 2. Data Sosiodemografik Responden Penelitian ... 22

(9)

commit to user

ix

Gambar 1. Diagram Riwayat Aktivitas Seksual Responden Penelitian ... 32 Gambar 2a. Hasil Pemeriksaan Anti-HIV Positif pada Komunitas Gigolo

Surakarta ... 24 Gambar 2b. Hasil Pemeriksaan Nested PCR HIV-int pada Sampel Anti-HIV

Positif ... 24 Gambar 3. Perkembangan Penyakit pada Infeksi HIV-1 Typical Progressor,

LNTP dan Rapid Progressor Berdasarkan Hitung Sel T CD4+ dan Viremia ... 31 Gambar 4. Faktor Virus, Genetik dan Imunologi Terkait Kontrol Jangka

(10)

commit to user

x Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Riwayat Perilaku Seksual Responden Penelitian

Lampiran 3. Riwayat Aktivitas Seksual Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Pasangannya

(11)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome

(HIV/AIDS) merupakan salah satu tantangan utama dalam kesehatan. Jumlah orang terinfeksi HIV di dunia diperkirakan sebesar 34 juta jiwa dan 1,8 juta jiwa di antaranya meninggal akibat AIDS (UNAIDS, 2011). Di Indonesia, jumlah kasus HIV dilaporkan meningkat pesat setiap tahunnya dan tercatat 26.483 kasus hingga tahun 2011 (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Pengobatan saat ini dengan antiretroviral

therapy (ART) pada dasarnya dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien HIV

positif. Akan tetapi, masalah terkait infeksi oportunistik, imunodepresi yang berat, kegagalan terapi, maupun ketidakpedulian pasien terhadap status HIV positif mendorong upaya lebih lanjut dalam penanggulangan HIV (Podzamczer et al., 2008). Oleh karena itu, pendekatan yang efektif dan efisien dengan deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penyebaran HIV ke tahap yang lebih parah.

Upaya deteksi HIV merupakan salah satu kunci epidemiologi untuk mengetahui pola dan karakteristik infeksi HIV yang berkembang di Indonesia. Pola distribusi AIDS menunjukkan persentase yang tinggi pada dewasa muda, yaitu sebesar 46,4% (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Budaya bebas telah mempengaruhi gaya hidup kaum muda sehingga berdampak pada peningkatan faktor risiko infeksi HIV

(12)

commit to user

(Sigarlaki, 2008). Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran infeksi HIV di antaranya seks bebas dan penggunaan narkotika suntik (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).

Di antara beberapa komunitas yang berisiko tinggi terhadap transmisi HIV, gigolo merupakan komunitas yang paling rentan karena dimungkinkan memiliki jaringan seksual yang luas dengan populasi lainnya (Bimbi, 2007). Selain pada komunitasnya sendiri, risiko transmisi HIV pada gigolo dapat terjadi dengan pasangan nonkomersial karena perilaku seks yang tidak aman (Rietmeijer et al., 1998). Sebagian gigolo juga dilaporkan sebagai pengguna narkotika suntik sehingga berpotensi meningkatkan penyebaran infeksi HIV pada komunitas lainnya (Belza, 2005; Estcourt et al., 2000). Namun demikian, komunitas gigolo sulit ditemui. Terbukti belum adanya data dari pemerintah yang melaporkan prevalensi gigolo secara keseluruhan di Indonesia, termasuk di Surakarta.

Untuk mengetahui status HIV pada komunitas gigolo terkait epidemiologinya, diperlukan deteksi HIV. Skrining HIV dapat dilakukan secara serologi menggunakan tes cepat, salah satunya Determine-HIV-1/2, yang memiliki spesifitas dan sensitivitas tinggi (van den Berk et al., 2003). Pemeriksaan lanjutan berbasis molekuler dapat digunakan untuk mendeteksi RNA HIV secara kualitatif maupun kuantitatif. Salah satu gen utama HIV yang dapat dideteksi yaitu integrase (int), yang berperan menghasilkan enzim untuk memasukkan cDNA HIV pada DNA sel yang terinfeksi (Brooks et al., 2005). Penelitian ini dilakukan dengan mengamplifikasi sebagian regio int dari genom HIV yang terkonservasi (Ceccherini-Silberstein et al., 2009).

(13)

commit to user

Prosedur ini secara akurat dapat mendeteksi infeksi HIV secara dini. Produk PCR hasil penelitian skripsi ini nantinya dapat dianalisis secara molekuler dalam penelitian payung epidemologi molekuler Human Blood Borne Viruses di Indonesia yang dilakukan melalui kerjasama antara Laboratorium Mikrobiologi FK UNS, Laboratorium Biomedik FK UNS, dan Division of Virology Faculty of Medicine

Tottori University Japan. Penelitian yang dilakukan pada skripsi ini merupakan tahap

deteksi HIV pada komunitas gigolo di Surakarta, tidak pada tahap analisis molekuler.

B. Perumusan Masalah

Bagaimanakah status Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada komunitas gigolo Surakarta menggunakan Determine-HIV-1/2 dan Nested PCR HIV-int?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan jangka pendek penelitian dengan judul “status Human

Immunodeficiency Virus (HIV) pada komunitas gigolo Surakarta menggunakan Determine-HIV-1/2 dan Nested PCR HIV-int” adalah mendapatkan data awal tentang

status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta.

Tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah untuk membuat database epidemiologi molekuler dari berbagai komunitas berisiko tinggi terhadap transmisi HIV di Indonesia.

(14)

commit to user D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai epidemiologi HIV pada komunitas gigolo Surakarta.

2. Manfaat Aplikatif

Data awal penelitian ini sangat bermanfaat bagi para klinisi dan pemerintah terkait program pencegahan, diagnosis, dan pemberantasan penyakit menular akibat HIV di Indonesia. Penelitian ini juga merupakan sarana edukasi bagi gigolo sehingga diharapkan dapat meminimalisir perilaku yang berisiko tinggi terhadap penyebaran HIV.

(15)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Human Immunodeficiency Virus (HIV) a. Klasifikasi HIV

Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan famili Retroviridae,

subfamili Lentivirinae, dan genus Lentivirus. HIV memiliki dua tipe, HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe tersebut memiliki cara transmisi yang sama, tetapi berbeda asal, tingkat transmisi, dan distribusi geografis. HIV-1 merupakan tipe yang paling umum ditemukan di seluruh dunia, sedangkan HIV-2 terbatas di Afrika Barat. Dibandingkan HIV-1, HIV-2 menunjukkan progresi penyakit dan risiko penularan yang lebih rendah, serta periode latensi yang lebih lama (Entonu dan Agwale, 2007).

Berdasarkan analisis filogenetik, HIV-1 dibagi menjadi tiga grup, yaitu M (major), O (outlier), dan N (new). Grup M merupakan penyebab pandemi global dan subtipe HIV-1 yang telah ditemukan di antaranya A1-4, B, C, D, F1-2, G, H, J dan K (Taylor et al., 2008). Subtipe C murni dan bentuk rekombinannya dilaporkan berdampak pada pandemi di Afrika Selatan, Amerika Selatan, dan Asia. Subtipe lain seperti A, B, G, dan D menyebabkan infeksi HIV-1 dengan prevalensi masing-masing secara berurutan sebesar 12, 10, 6, dan 3%. Subtipe

(16)

commit to user

lain (F, H, J, K) secara bersama menyebabkan 0,94% infeksi HIV (Hemelaar et

al., 2006).

b. Pengorganisasian Genom HIV

Genom HIV merupakan RNA dengan panjang sekitar 9.200 pasang basa. HIV diketahui memiliki genom yang tersusun dari sembilan gen, yaitu satu gen katalitik (pol), dua gen struktural (gag dan env), dan enam gen regulator/aksesori (tat, rev, vif, vpr, vpu, dan nef) (Hosur dan Prashar, 2008). Pada regio gen pol terdapat gen pengkode enzim reverse transcriptase yang menyalin

complementary DNA (cDNA) dari RNA virus, protease yang memotong protein

inti selama perkembangan virus, dan integrase yang memfasilitasi integrasi cDNA virus ke dalam DNA inang (Cunninghan et al., 1997). Pada regio gag terdapat gen yang mengkode protein penyusun matriks, kapsid, dan nukleokapsid, sedangkan regio env mengkode gp41 dan gp 120. Gp41 merupakan glikoprotein transmembran yang berikatan dengan gp120 pada virus, sedangkan gp120 merupakan glikoprotein pada permukaan virus yang berikatan dengan reseptor permukaan sel (CD4). Gen HIV lainnya, yaitu gen regulator berfungsi mengkode protein yang mengontrol kemampuan HIV untuk menginfeksi sel, bereproduksi, dan menyebabkan penyakit (Hosur dan Prashar, 2008).

c. Cara Penularan HIV

Infeksi HIV dapat menular melalui hubungan seksual secara homoseksual maupun heteroseksual. HIV dapat ditemukan di cairan semen, serviks, dan

(17)

commit to user

vagina. Adanya infeksi menular seksual yang menimbulkan ulserasi di daerah genital juga meningkatkan risiko terjadinya infeksi HIV. Selain itu, penularan melalui darah dapat terjadi pada penerima transfusi dan pengguna narkotika suntik. Pada ibu yang terinfeksi, HIV dapat menular secara intrapartum, perinatal atau saat menyusui (Fauci et al., 2008).

d. Diagnosis HIV

World Health Organization merekomendasikan pemeriksaan standar dalam diagnosis HIV menggunakan uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV (WHO, 2006). Strategi pemeriksaan anti-HIV dapat dilakukan berdasarkan tujuan pemeriksaan dan prevalensi HIV pada populasi sampel (tabel 1).

Tabel 1. Rekomendasi WHO untuk Strategi Pemeriksaan HIV Berdasarkan Tujuan Pemeriksaan dan Prevalensi Infeksi pada Populasi Sampel

Tujuan Pemeriksaan Prevalensi Infeksi Strategi Pemeriksaan Transfusi/keamanan transplantasi Keseluruhan I

Surveilans > 10% I ≤ 10% II Diagnosis Tanda/gejala klinis infeksi HIV > 30% I ≤ 30% II Asimptomatik > 10% II ≤ 10% III (WHO, 2006).

Pada keadaan yang memenuhi dilakukannya strategi I, pemeriksaan hanya dilakukan satu kali. Apabila hasil pemeriksaan reaktif maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV. Hasil pemeriksaan yang nonreaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi (>99%). Strategi II dilakukan dua kali

(18)

commit to user

pemeriksaan. Jika pada pemeriksaan pertama didapatkan nonreaktif, maka dilaporkan hasil negatif. Serum pada pemeriksaan pertama dengan hasil reaktif dilanjutkan pemeriksaan kedua menggunakan metode yang berbeda. Apabila hasil pemeriksaan kedua juga reaktif, disimpulkan terinfeksi HIV. Jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah nonreaktif, maka pemeriksaan harus diulang. Apabila hasil tetap tidak sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate. Strategi III dilakukan tiga kali pemeriksaan. Apabila hasil pemeriksaan pertama, kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien terinfeksi HIV. Hasil pemeriksaan yang tidak sama menunjukkan indeterminate apabila pasien yang diperiksa memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular HIV. Apabila terjadi pada orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai nonreaktif (WHO, 2006).

Hasil indeterminate pada individu asimptomatik dapat didiagnosis dengan pemeriksaan sampel kedua yang diambil setelah minimal dua minggu dari sampel pertama. Jika sampel kedua juga diperoleh hasil indeterminate, perlu dilakukan pemeriksaan konfirmasi. Jika hasilnya juga indeterminate, tindak lanjut mungkin diperlukan (3, 6, 12 bulan). Jika hasil tetap indeterminate setelah 1 tahun, penilaian terhadap antibodi HIV negatif (WHO, 1997).

Pemeriksaan serologi dapat dilakukan berbasis enzyme immunoassay,

particle agglutination, maupun tes cepat. Di antara teknik yang digunakan

(19)

commit to user

Salah satu contoh tes cepat yang tersedia yaitu Determine® HIV-1/2. Kit ini

dapat mendeteksi antibodi HIV secara kualitatif pada serum, plasma, maupun darah manusia dengan spesifitas 99,6% dan sensitivitas 99,4% (van den Berk et

al., 2003).

Secara kualitatif maupun kuantitatif, pemeriksaan HIV dapat dilakukan dengan PCR untuk mendeteksi RNA HIV di dalam partikel virus yang terdapat di plasma. Hasil positif mengindikasikan terjadinya replikasi virus. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan apabila hasil pemeriksaan konfirmasi dengan Western

Blot menunjukkan hasil yang kurang jelas (Fearon, 2005).

2. Epidemiologi HIV/AIDS di Indonesia

Tantangan yang dihadapi pemerintah dalam penanggulangan HIV semakin kompleks karena kasus AIDS yang semakin meningkat. Berdasarkan laporan kumulatif dari 33 provinsi di Indonesia, jumlah penderita AIDS sebesar 26.483 jiwa. Dari jumlah tersebut, perbandingan antara laki-laki dan perempuan berkisar 3:1 (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Cara penularan kasus AIDS yang dilaporkan melalui hubungan heteroseksual (54,8%), pengguna narkotika suntik (36,2%), lelaki seks dengan lelaki (2,9%), perinatal (2,8%), transfusi darah (0,2%) dan tidak diketahui (3%) (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Hubungan seksual dan narkotika dapat saling berpengaruh dalam penyebaran HIV. Penelitian Pisani et al. (2003) menunjukkan bahwa 85% di antara pengguna narkotika suntik (553/650) menggunakan jarum yang telah

(20)

commit to user

digunakan sebelumnya oleh pengguna lainnya. Risiko transmisi HIV semakin meluas akibat aktivitas seks bebas yang dilakukan oleh komunitas tersebut. Sebagian besar pengguna narkotika suntik berhubungan seksual aktif, 48% memiliki pasangan yang banyak, dan 40% berhubungan dengan wanita pekerja seks. Penggunaaan kondom secara konsisten dilaporkan hanya 10% (Pisani et al., 2003).

Transmisi HIV juga dilaporkan terjadi pada pembuatan tato yang tidak aman. Seniman tato menggunakan berbagai macam peralatan seperti pisau, jarum jahit, tinta tulis, atau klontongan plastik kosong dari pena. Salah satu metode pembuatan tato, disebut “puck method”, dilakukan menggunakan jarum tunggal yang dipakai bergantian dan tidak disterilkan. Pembuatan tato dengan cara tersebut sangat berisiko bagi penularan HIV (UNAIDS, 2008).

Setiap tahunnya, prevalensi HIV di Indonesia semakin meningkat sehingga dikatakan saat ini Indonesia telah memasuki tahapan epidemi terkonsentrasi. Sasaran penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014 yaitu tercapainya cakupan program pada minimal 80% populasi kunci yang mencakup pengguna narkotika suntik, wanita pekerja seks, lelaki seks dengan lelaki, dan pasangannya (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010).

3. Komunitas Pekerja Seks Komersial Pria (Gigolo)

Wacana tentang prostitusi pada umumnya terfokus pada pekerja seks wanita. Seks komersial yang dilakukan oleh pria biasanya tidak diakui sebagai

(21)

commit to user

prostitusi, namun lebih dianggap sebagai perilaku yang tidak wajar (Scott, 2005). Sejak semakin dikenal, gigolo diketahui menunjukkan perilaku seksual berisiko yang relatif tinggi, terutama pada gigolo yang melakukan seks komersial untuk memperoleh kebutuhan dasar atau terlibat dalam obat terlarang (Estep et al., 1992). Namun demikian, komunitas tersebut cenderung tidak terjangkau oleh upaya sosialisasi pencegahan HIV yang dilakukan pemerintah. Hal ini terbukti dari surveilans pada kelompok berisiko tinggi di Indonesia yang dilaporkan oleh pemerintah hanya mencakup wanita pekerja seks dan pasangannya, pengguna narkotika suntik, lelaki seks dengan lelaki, dan waria (Komisi Penanggulangan AIDS, 2007).

Penelitian pada komunitas gigolo pernah dilakukan di Jakarta oleh Pisani et

al. (2004) yang melaporkan prevalensi HIV sebesar 3,6% (90/250). Pada

komunitas gigolo tersebut, aktivitas seksual berisiko dan hubungan biseksual merupakan perilaku yang umum dilakukan. Tingkat penggunaan kondom pada seks komersial diketahui sebesar 56,5%, sedangkan seks dengan pasangan nonkomersial hanya 25,4%. Data juga menunjukkan jaringan seksual yang dilakukan dengan pasangan komersial pria secara anal (76,8%) maupun oral (70,4%), nonkomersial pria (32%), waria (5%), gigolo lain (12%), wanita secara komersial (36%), wanita secara nonkomersial (78%), dan wanita pekerja seks (23%) (Pisani et al., 2004).

Sebagian gigolo homoseksual menjalani kehidupan biseksual sehingga kehidupannya yang menyimpang tertutupi oleh kehidupan heteroseksual yang

(22)

commit to user

sesuai dengan nilai-nilai masyarakat. Amirkhanian et al. (2001) melaporkan bahwa sebagian besar gigolo merupakan biseksual dengan frekuensi hubungan seksual yang tinggi pada pria maupun wanita.

Perilaku seks berisiko merupakan interaksi yang dinamis antara gigolo dan pasangannya dengan alasan antara lain kepercayaan, kepuasan, pengetahuan tentang transmisi HIV, dan pilihan ekonomi (Okal et al., 2009). Terkait faktor ekonomi, gigolo jalanan lebih menunjukkan kehidupan dengan kesulitan ekonomi. Peningkatan stres tersebut cenderung menyebabkan gigolo tidak peduli menjaga keamanan seks dengan pasangannya karena ketakutan kehilangan sumber pendapatan (Smith dan Seal, 2008).

B. Kerangka Pemikiran

Riwayat perilaku seksual

Riwayat penggunaan narkotika suntik Riwayat pemakaian tato/tindik

Riwayat lain yang mungkin berkaitan (Komisi Penanggulangan AIDS, 2010; UNAIDS, 2008)

Deteksi molekuler HIV-int Skrining serologi HIV

Komunitas gigolo

Sampel anti-HIV (+) Sampel anti-HIV ()

(23)

commit to user BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat eksploratif dengan pendekatan cross sectional.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi dan Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah pekerja seks komersial pria (gigolo) di Surakarta. Subjek yang bersedia menandatangani surat persetujuan menjadi partisipan studi dan informed consent dilibatkan dalam penelitian yang dilakukan pada Mei-Juni 2011.

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah quota sampling dengan jumlah 30 responden. Responden yang bersedia menandatangani surat persetujuan menjadi partisipan dan informed consent dianamnesis secara terstruktur (kuesioner terlampir pada lampiran 1). Data anamnesis diarsipkan dalam perekam suara untuk dianalisis. Selanjutnya, darah responden diambil untuk pemeriksaan HIV.

(24)

commit to user E. Alur Kerja Penelitian

F. Alat dan Bahan 1. Alat Penelitian

- Centrifuge (Eppendorf, Hamburg, Jerman) - Thermocycler (Eppendorf, Hamburg, Jerman)

- Micropipette (P1000, P200, P10) (Gilson, Middleton, WI) Anamnesis:

- Data sosiodemografik - Riwayat perilaku seksual - Riwayat penggunaan

narkotika suntik - Riwayat pemakaian

tato/tindik

- Riwayat lain yang mungkin berkaitan Komunitas gigolo

Data awal status HIV pada komunitas gigolo di Surakarta

Sampel darah

Isolasi asam nukleat Skrining dengan Determine® HIV-1/2 Pemeriksaan Nested PCR Sintesis cDNA Elektroforesis Sampel anti-HIV (+) Sampel anti-HIV ()

(25)

commit to user - Vortex (Thermo Fisher Scientific, Worcester, MA) - Inkubator (Memmert, Schwabach, Jerman)

- Waterbath (Thermo Fisher Scientific, Worcester, MA) - Deepfreezer (New Brunswick Scientific, Edison, NJ)

- Apparatus elektroforesis (chamber, comb, dan power supply) (BioRad, Los Angeles, CA)

- Gel documentation (BioRad, Los Angeles, CA) - Autoclave (Hirayama, Saitama, Jepang)

- Refrigerator (Sharp, Osaka, Jepang)

- Class II safety cabinet (ESCO, Portland, OR)

- Digital scale (Mettler Toledo, Greifensee, Switzerland) - Magnetic stirrer (Biomega, Redding, CA)

- Rak microtube - Gelas beker 2. Bahan Penelitian

- Sampel plasma darah

- Filter tips (10 l, 200 l, dan 1000 l) - Microcentrifuge tube 1,5 ml

- PCR tube dan PCR cap

- Polypropylene (PP) tube 15 ml, 50 ml - Sarung tangan

(26)

commit to user - Masker

- Ethidium bromide (EtBr)

- Agarose dalam Tris-Acetate-EDTA (TAE) - Ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) 10 mM - Etanol 70%, 96%

- Bufer Tris-EDTA (TE) pH 8,5 - RNAse DNAse pyrogen free water - Desinfektan

- Determine® HIV-1/2 (Inverness Medical, Tokyo, Japan) - Kit PureLink™ Viral RNA/DNA (Invitrogen, Carlsbad, CA)

- Kit SuperScript® III First-Strand Synthesis SuperMix (Invitrogen, Carlsbad, CA)

- Kit Platinum® PCR SuperMix (Invitrogen, Carlsbad, CA)

G. Cara Kerja

1. Preparasi Sampel

Darah responden yang diambil difraksinasi sehingga terbentuk lapisan plasma. Plasma dibagi menjadi beberapa aliquot. Sebagian aliquot digunakan untuk pemeriksaan serologi HIV menggunakan Determine® HIV-1/2 (Inverness

(27)

commit to user 2. Pemeriksaan Serologi HIV

Prosedur pemeriksaan Determine® HIV-1/2 (Inverness Medical) dilakukan

dengan cara memasukkan sampel plasma sebanyak 50 l ke tempat sampel, ditunggu 15-60 menit, lalu hasil pemeriksaan dibaca. Jika tampak dua garis (kontrol dan sampel) maka anti-HIV positif, jika tampak satu garis pada kontrol dan tidak tampak garis pada sampel maka anti-HIV negatif, jika kontrol tidak tampak garis maka kit tidak dapat digunakan (Inverness Medical, 2009).

3. Isolasi Asam Nukleat

Isolasi asam nukleat menggunakan kit PureLink™ Viral RNA/DNA (Invitrogen), sesuai dengan protokol pada kit:

a. Persiapan lysate

Protokol persiapan lysate untuk volume sampel 200 l dilakukan dengan menambahkan 25 l Proteinase K, 200 l cell-free sample, dan 200 l Lysis Buffer (berisi 5,6 g Carrier RNA) ke dalam microcentrifuge tube, dan dicampur menggunakan vortex selama 15 detik. Selanjutnya, lysate diinkubasi pada suhu 56oC selama 15 menit. Setelah diinkubasi, etanol 96% sebanyak 250 l ditambahkan, dicampur dengan vortex 15 detik, dan diinkubasi selama 5 menit pada suhu ruangan.

b. Prosedur purifikasi

Purifikasi dilakukan dengan menambahkan lysate ke Viral Spin Column dalam tabung koleksi. Column disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm selama 1

(28)

commit to user

menit. Tabung koleksi yang berisi supernatan dibuang, Viral Spin Column diletakkan ke dalam Wash Tube baru, dan dilakukan pencucian dengan Wash

Buffer (W5) sebanyak 500 l. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm

selama 1 menit, dan cairan yang tertampung dibuang. Pencucian diulangi sebanyak 1 kali. Spin column disentrifugasi pada kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit untuk membuang sisa Wash Buffer. Selanjutnya, spin column diletakkan pada 1.7

ml Recovery Tube bersih dan dielusi menggunakan RNAse DNAse pyrogen free water 50 l. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu ruangan selama 1 menit dan

disentrifugasi pada kecepatan 14.000 rpm selama 1 menit untuk mengelusi asam nukleat. Recovery Tube ini telah berisi asam nukleat virus murni sehingga spin

column dapat dibuang. Asam nukleat dapat disimpan pada suhu -80oC atau

digunakan untuk tahap selanjutnya (Invitrogen, 2006). 4. Sintesis cDNA

Sintesis cDNA dari RNA yang telah diisolasi dilakukan dengan kit

SuperScript® III First-Strand Synthesis SuperMix (Invitrogen) sesuai protokol kit.

Sebelum digunakan, masing-masing komponen dilakukan spin down dan suhu

thermal cycler diatur menjadi 65oC. Asam nukleat 6 l, primer (random hexamers

50 ng/μL) 1 l, dan Annealing Buffer 1 l dicampur dalam PCR tube, kemudian diinkubasi pada suhu 65oC selama 5 menit dan 4oC selama 1 menit. Setelah diinkubasi, campuran ditambahkan 2X First-Strand Reaction Mix sebanyak 10 l, dan SuperScript® III/RNaseOUT™ Enzyme Mix sebanyak 2 l. Sampel dicampur

(29)

commit to user

dengan pipet, lalu dilakukan spin down. Selanjutnya, campuran diinkubasi pada suhu 50oC selama 50 menit. Reaksi diakhiri pada suhu 85oC selama 5 menit, lalu didinginkan pada suhu 4oC. Hasil reaksi sintesis cDNA dapat disimpan pada suhu -20ºC, atau langsung digunakan untuk PCR (Life Technologies, 2010).

5. Amplifikasi gen integrase dengan Nested PCR

Aplikasi nested PCR terdiri atas dua tahap. Regio gen pol yang mengkode sekuen integrase (Pol-IN; posisi 4493-4780 pada HIV-1HXB2; GenBank Accession

Number:AY180121–AY180130) diamplifikasi pada tahap pertama dengan primer

unipol 5 (5’-TGG GTA CCA GCA CAC AAA GGA ATA GGA GGA AA-3’) dan unipol 6 (5’-CCA CAG CTG ATC TCT GGC CTT CTC TGT AAT AGA CC-3’), selanjutnya pada tahap kedua digunakan primer unipol 1 (5’-AGT GGA TTC ATA GAA AGC AGA AGT-3’) dan unipol 2 (5’-CCC CTA TTC CTT CCC CTT CTT TTA AAA-3’) (Ndembi et al., 2003).

PCR I dimulai dengan menyesuaikan Platinum® PCR SuperMix (Invitrogen) pada suhu kamar, lalu spin down setiap komponen. Selanjutnya, cDNA 4,5 l ditambahkan pada campuran reaksi PCR yang terdiri dari Platinum®

PCR SuperMix 22,5 l, primer forward (unipol 5) 10 M, dan primer backward

(30)

commit to user PCR I diatur sebagai berikut:

Tahapan Suhu Waktu Siklus Denaturasi awal 94oC 2 menit 1x Denaturasi 94oC 30 detik

45x

Annealing 45oC 30 detik

Elongasi 72oC 1 menit Elongasi akhir 72oC 10 menit 1x

PCR II dilakukan dengan menambahkan produk PCR I sebanyak 2,5 l pada campuran reaksi PCR yang terdiri dari Platinum® PCR SuperMix 22,5 l, primer

forward (unipol 1) 10 M, dan primer backward (unipol 2) 10 M. PCR II diatur

dengan tahapan berikut:

Tahapan Suhu Waktu Siklus Denaturasi awal 94oC 2 menit 1x Denaturasi 94oC 30 detik

45x

Annealing 55oC 30 detik

Elongasi 72oC 1 menit Elongasi akhir 72oC 10 menit 1x

6. Analisis Produk PCR dengan Elektroforesis

Analisis produk PCR dilakukan dengan elektroforesis menggunakan agarose 1,5% dalam bufer TAE 0,8x. Untuk membuat 200 ml larutan agarose 1,5%, diperlukan 3 gr agarose dan ditambahkan buffer TAE 0,8x sampai 200 ml. Selanjutnya, agarose dicairkan. Larutan diaduk dengan magnetic stirrer dalam

(31)

commit to user

keadaan panas, kemudian didinginkan hingga suhu 55ºC sebelum dituangkan. Larutan ditambahkan EtBr hingga mencapai konsentrasi 0,5 g/ml, diaduk menggunakan magnetic stirrer, lalu dituangkan ke dalam cetakannya. Larutan didiamkan pada suhu kamar selama 15-20 menit, kemudian sisir diambil secara hati-hati. Gel diletakkan ke dalam bak elektroforesis, lalu bak digenangi (sampai cukup tergenang) dengan bufer TAE 0,8x. DNA molecular weight markers (0,05-10 kbp) 5 μl dan masing-masing produk PCR 3 μl yang telah dicampur dengan

loading dye dimasukkan ke dalam sumuran. Elektroforesis dilakukan pada

tegangan 100 volt selama 30 menit (Prasetyo, 2011).

H. Analisis Data

Data hasil penelitian status HIV pada komunitas gigolo terkait faktor risikonya akan dilaporkan dan dianalisis secara deskriptif.

(32)

commit to user BAB IV

HASIL PENELITIAN

Data penelitian diperoleh dari 30 gigolo di Surakarta pada Mei-Juni 2011. Responden penelitian berusia antara 19-49 tahun yang menunjukkan rentang usia produktif, dengan rata-rata 30,5 tahun. Data lengkap riwayat sosiodemografi dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Data Sosiodemografik Responden Penelitian

Riwayat Jumlah (%) Usia (tahun) 19-29 30-39 40-49 16/30 (53,3%) 10/30 (33,3%) 4/30 (13,3%) Etnis Jawa 28/30 (93,3%) Luar Jawa 2/30 ( 6,7%) Pendidikan ≤ SD SMP SMA Kuliah 6/30 (20,0%) 11/30 (36,7%) 12/30 (40,0%) 1/30 ( 3,3%) Status pernikahan Menikah Tidak menikah 9/30 (30,0%) 21/30 (70,0%) Status pekerjaan selain gigolo

Bekerja Tidak bekerja

21/30 (70,0%) 9/30 (30,0%) Pendapatan per bulan (Rp)

< 1.000.000 1.000.000-3.000.000 > 3.000.000 20/30 (66,7%) 9/30 (30,0%) 1/30 ( 3,3%) Alasan menjadi gigolo

Kebutuhan ekonomi Kebutuhan biologi

Kebutuhan ekonomi dan biologi

9/30 (30,0%) 2/30 ( 6,7%) 19/30 (63,3%) 22

(33)

commit to user 0 5 10 15 20 25 30 28 15 17 19 11 10 8 9 7 12 6 6 Jum la h Respo nd

en Gigolo yang berhubungan

seksual (berdasarkan jenis pasangan)

Hubungan seks tanpa perlindungan (kondom) Berdasarkan perilaku seksualnya, didapatkan data 83,3% (25/30) responden berorientasi biseksual, 13,3% (4/30) homoseksual, dan 3,3% (1/30) heteroseksual (lampiran 2). Usia pertama kali berhubungan seksual dilakukan saat usia kurang dari 10 tahun sejumlah 3,3% (1/30), 10-18 tahun sejumlah 50% (15/30), dan lebih dari 18 tahun sejumlah 46,7% (14/30). Sebagian besar responden [86,7% (26/30)] telah menggunakan kondom sebagai pelindung dalam berhubungan seksual. Responden yang telah menggunakan kondom tersebut memiliki alasan penggunaan kondom antara lain karena kesadaran memakai pengaman 38,5% (10/26), ketersediaan 42,3% (11/26), dan permintaan pasangan seksual 19,2% (5/26). Walaupun responden mengaku telah menggunakan kondom, riwayat tersebut diketahui tidak konsisten yang tergantung dari pasangan seksualnya (gambar 1).

Gambar 1. Diagram Riwayat Aktivitas Seksual Responden Penelitian Berdasarkan Jenis Pasangannya

(34)

commit to user

Berdasarkan hasil pemeriksaan serologi menggunakan tes cepat Determine® HIV-1/2, didapatkan anti-HIV positif sejumlah 10% (3/30) sampel. Pemeriksaan lanjutan dengan nested PCR yang mengamplifikasi sebagian regio integrase, didapatkan hasil negatif pada ketiga sampel HIV seropositif tersebut. Visualisasi hasil pemeriksaan serologi dan molekuler dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2a. Hasil Pemeriksaan Anti-HIV Positif Menggunakan Determine-HIV-1/2 (tampak dua garis pada lingkaran merah)

Gambar 2b. Hasil Pemeriksaan Nested PCR HIV-int (1: Lambda/Hind III Marker; 2:

φX174/Hae III Marker; 3: kontrol positif HIV-int 288 bp; 4: sampel 1; 5: sampel 2; 6:

(35)

commit to user

Berdasarkan hasil wawancara didapatkan data bahwa ketiga responden HIV seropositif tidak memiliki riwayat penggunaan suntik bersama dan transfusi darah. Responden juga tidak memiliki riwayat tinggal di lembaga koreksional. Salah satu responden (AK1911053106) mengaku tidak mengetahui cara penularan dan pencegahan HIV. Responden tersebut berusia 45 tahun dan tidak menikah. Dalam hal perilaku seksual, responden berorientasi homoseksual dengan aktivitas anal

intercourse dan seks oral. Usia pertama kali berhubungan seksual dilakukan sejak

usia 15 tahun. Riwayat aktivitas seks komersial pernah dilakukan dengan WNA lebih dari 100 orang dengan frekuensi 4-5 kali seminggu, dan tidak pernah memakai kondom. Aktivitas seks komersial dengan pria dilakukan dengan lebih dari 100 orang, frekuensi 1-3 kali seminggu, dan kadang-kadang memakai kondom. Saat usia 18 tahun, responden juga pernah melakukan tindik secara tidak steril.

Responden kedua (AK1911052601) berusia 32 tahun dan tidak menikah. Sejak usia 10 tahun, responden merupakan pengguna narkotika (jenis ganja dan sabu) selama sekitar 10 tahun. Riwayat tato dan tindik juga pernah dilakukan secara tidak steril dan bergantian. Dalam hal perilaku seksual, responden berorientasi homoseksual dengan aktivitas seksual anal receptive, anal insertive, dan orogenital. Usia pertama kali berhubungan seksual dilakukan sejak usia 8 tahun. Aktivitas seks komersial dengan pria pernah dilakukan dengan jumlah lebih dari 500 orang, frekuensi 2-3 kali seminggu dengan riwayat penggunaan kondom kadang-kadang. Responden mengaku seringkali melakukan pesta seks. Secara nonkomersial, responden berhubungan seksual dengan 1 pasangan pria, frekuensi sering, dan tidak

(36)

commit to user

pernah memakai kondom. Responden juga mengaku pernah berhubungan dengan pengguna narkotika jenis sabu.

Responden seropositif HIV ketiga (AK1911052605) berusia 19 tahun. Usia pertama kali berhubungan seksual dilakukan sejak 16 tahun. Pada riwayat perilaku seksual, responden berorientasi biseksual dengan aktivitas seksual anal intercourse,

vaginal intercourse, dan orogenital. Riwayat aktivitas seks komersial dilakukan

(37)

commit to user BAB V PEMBAHASAN

Komunitas gigolo merupakan kelompok populasi yang kecil dan cenderung menyembunyikan hubungan seksual komersialnya. Tidak seperti pekerja seks wanita, gigolo seringkali menyamarkan identitasnya sehingga dapat berhubungan seks bebas tanpa stigma yang melekat padanya (Shinde et al., 2009). Namun demikian, komunitas ini memiliki peran yang relevan dalam transmisi HIV pada kalangannya sendiri maupun jaringan komunitas berisiko lainnya yang lebih luas (Pisani et al., 2004).

Data penelitian ini menunjukkan epidemiologi HIV pada komunitas gigolo Surakarta. Berdasarkan pemeriksaan serologi, 10% (3/30) responden menunjukkan hasil anti-HIV positif. Keseluruhan responden HIV seropositif tersebut tidak memiliki risiko penularan melalui penggunaan narkotika suntik maupun transfusi darah. Penularan HIV kemungkinan terjadi akibat perilaku seksual yang berisiko. Hal ini sesuai dengan data Depkes RI (2011) yang melaporkan bahwa risiko penularan tertinggi kasus HIV/AIDS di Indonesia terjadi melalui hubungan seksual (Kementerian Kesehatan RI, 2011).

Berdasarkan riwayat perilaku seksual pada penelitian, responden diketahui berorientasi homoseksual 13,3% (4/30), heteroseksual 3,3% (1/30), dan biseksual 83,3% (25/30). Penularan melalui hubungan homoseksual maupun heteroseksual

(38)

commit to user

merupakan risiko tinggi karena HIV dapat ditemukan pada cairan semen dan vagina (Fauci et al., 2008).

Aktivitas seksual yang dilakukan oleh responden HIV seropositif antara lain

anal intercourse (3/3), vaginal intercourse (1/3), dan orogenital (3/3). Pada hubungan

homoseksual, risiko transmisi HIV pada aktivitas seksual anal receptive diketahui lebih tinggi karena dapat menyebabkan trauma pada membran mukosa anus yang tipis dan mudah robek. HIV juga dapat ditularkan melalui vaginal intercourse pada hubungan heteroseksual. Transmisi HIV dapat terjadi melalui paparan cairan semen yang terinfeksi pada mukosa vagina, serviks, dan endometrium. Selain itu, adanya infeksi pada mukosa juga meningkatkan risiko penularan HIV. Aktivitas seksual lainnya yaitu seks oral, dilaporkan sangat jarang terjadi transmisi HIV karena di dalam saliva terdeteksi faktor antivirus endogen yang dapat mencegah infeksi HIV. Namun hal ini tidak berarti seks oral merupakan perilaku yang aman. Aktivitas

orogenital dilaporkan dapat terjadi transmisi HIV (Fauci et al., 2008).

Dalam penelitian ini, salah satu responden HIV seropositif mengaku tidak mengetahui cara penularan dan pencegahan HIV. Responden diketahui berorientasi homoseksual dengan aktivitas seks komersial yang berisiko dilakukan dengan pasangan pria lebih dari 100 orang tanpa menggunakan perlindungan. Dalam hal ini, pengetahuan tentang faktor risiko dan pencegahan penularan HIV berpengaruh penting terhadap penyebaran infeksi HIV (Shinde et al., 2009). Oleh karena itu, edukasi kepada komunitas gigolo merupakan hal yang penting untuk mencegah penularan HIV akibat perilaku berisiko.

(39)

commit to user

Berdasarkan usia pertama kali berhubungan seksual, sebagian besar responden 16/30 (53,3%) terlibat dalam aktivitas seksual sejak usia kurang dari 18 tahun, termasuk ketiga responden HIV seropositif, bahkan salah satu responden HIV seropositif mengaku telah berhubungan seksual sejak usia 8 tahun. Hubungan seks bebas sejak usia muda telah terbukti berisiko tinggi terinfeksi HIV. Hal ini berkaitan dengan frekuensi hubungan yang sering dan jumlah pasangan seksual yang banyak (Bassichetto et al., 2008).

Penelitian ini juga menunjukkan data tingkat penggunaan kondom oleh responden yang seringkali tidak konsisten. Hubungan seks tanpa perlindungan cenderung meningkat dengan pasangan nonkomersial dibandingkan secara komersial (data pada gambar 1 hasil penelitian). Hal ini sesuai dengan data lain bahwa pria dengan hubungan saling suka (nonkomersial) cenderung memilih seks tanpa perlindungan karena alasan kesenangan dan kepercayaan (Smith dan Seal, 2008). Bagaimanapun juga, jenis pasangan, daya tarik terhadap pasangan seksual dan jenis aktivitas seksual berpengaruh terhadap penggunaan kondom (Shinde et al., 2009).

Komunitas gigolo berpotensi menyebarkan infeksi HIV pada komunitas lain. Telah diketahui bahwa gigolo memiliki jaringan seksual yang luas, baik dengan pria atau wanita pekerja seks komersial maupun nonkomersial (Pisani et al., 2004). Terlebih lagi, pada komunitas gigolo Surakarta ini didapatkan riwayat hubungan seksual bersama (pesta seks) sebesar 33,3% (10/30).

Aktivitas seksual berisiko pada gigolo juga terkait dengan riwayat pasangannya yang berstatus warga negara asing (WNA). Salah satu gigolo HIV seropositif

(40)

commit to user

mengaku pernah berhubungan dengan ratusan WNA dari berbagai negara di antaranya Perancis, Kanada, Australia, dan Malaysia. Frekuensi seksual dilakukan sekitar empat kali perminggu dengan tidak menggunakan pelindung. Serupa dengan data tersebut, Ford et al. (1995) melaporkan data gigolo di Bali dengan pasangan WNA. Aktivitas seksual berisiko dengan turis asing merupakan hal yang biasa dilakukan dengan riwayat penggunaan pelindung yang tidak konsisten (Ford et al., 1995).

Transmisi HIV juga dilaporkan dapat terjadi pada pembuatan tato/tindik yang tidak aman (UNAIDS, 2008). Infeksi HIV melalui tato/tindik dapat terjadi apabila peralatan yang digunakan terkontaminasi darah yang digunakan di antara pengguna tato/tindik. Pada penelitian ini, responden HIV seropositif memiliki riwayat tato (1/3), tindik (1/3), tato dan tindik (1/3). Dari riwayatnya, salah satu responden HIV seropositif menggunakan peralatan yang tidak steril dan dilakukan bergantian.

Pada penelitian ini, pemeriksaan serologi anti-HIV menunjukkan hasil positif pada 10% (3/30) sampel, namun pemeriksaan lanjutan dengan prosedur nested PCR HIV-int didapatkan hasil negatif. Hal ini terlihat pada analisis produk PCR menggunakan gel agarosa yang tidak terlihat keberadaan produk PCR. Hasil pemeriksaan negatif pada PCR bukan terjadi karena kesalahan teknis karena peneliti telah melakukan prosedur standar pemeriksaan laboratorium untuk menghindari kontaminasi. Peneliti juga telah mengulang prosedur pemeriksaan ekstraksi asam nukleat, sintesis cDNA, nested PCR, dan elektroforesis yang disertai dengan kontrol positif HIV-int (288 bp) dan HIV-gag (460 bp) (gambar 2b pada hasil penelitian).

(41)

commit to user

Responden dengan HIV seropositif tidak terdeteksi PCR kemungkinan dapat terjadi karena jumlah virus yang rendah. Fenomena ini tidak jarang, terbukti dari penelitian multicenter yang melaporkan 6,7% (36/426) pasien HIV seropositif menunjukkan viremia <500 kopi/ml serum walaupun tanpa terapi. Faktor prediktif viremia yang tidak terdeteksi meliputi kadar ambang RNA HIV yang rendah (≤ 3,76 log10 kopi/ml) (Madec et al., 2005).

Gambar 3. Perkembangan Penyakit pada Infeksi HIV-1 Typical Progressor, LNTP dan Rapid Progressor Berdasarkan Hitung Sel T CD4+ dan Viremia (Poropatich dan Sullivan, 2011)

Keterangan

Viremia typical progressor

Viremia Long Term Non-Progressor (LTNP) Viremia rapid progressor

Hitung sel CD4 typical progressor Hitung sel CD4 LTNP

(42)

commit to user

Gejala klinis infeksi HIV sangat bervariasi akibat interaksi kompleks antara virus, inang, dan lingkungan. Walaupun tingkat progresivitasnya bervariasi, sebagian besar orang yang terinfeksi HIV pada akhirnya akan berlanjut menjadi AIDS dalam 2-5 tahun (rapid progressor) hingga 10 tahun (typical progressor) (Chiodi, 2010). Namun, pada sebagian pasien HIV positif dengan jumlah sel T CD4+ dan CD8+ yang tetap tinggi tanpa terapi dapat mengalami perkembangan AIDS lambat (selama lebih dari 20 tahun). Pada kondisi ini dapat terjadi long-term nonprogressor (LTNP) yang menunjukkan viremia plasma <5000 kopi/ml atau elite/natural controller yang menunjukkan jumlah RNA HIV plasma secara terus-menerus <50 kopi/ml. Kelompok orang dengan LTNP diperkirakan 1% dari total populasi HIV di dunia dan

elite controller mungkin lebih sedikit (Saksena et al., 2007). Dibandingkan dengan rapid progressor dan typical progressor, LNTP seringkali bermanifestasi tanpa gejala

selama 10-20 tahun dengan hitung sel T CD4+ >500 sel/µl (Pantaleo dan Fauci, 1996). Grafik perkembangan infeksi HIV-1 dapat dilihat pada gambar 3.

Perkembangan HIV-1 nonprogresi dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yang saling terkait, yaitu virologi, genetik dan imunologi (gambar 4). Faktor virus dapat berpengaruh terhadap perkembangan penyakit yang lambat dikarenakan pelemahan strain HIV-1 akibat mutasi pada gen aksesori (nef, vpr, vif dan rev), dan gen struktural (gag dan env) sehingga menyebabkan berkurangnya infektivitas dan replikasi virus (Poropatich dan Sullivan, 2011).

Berdasarkan faktor genetik inang dalam kasus LTNP, ditemukan polimorfisme reseptor kemokin (CCR5, CXCR6, CCR2 dan CXCR1) dan kemokin (MIP-1α

(43)

commit to user

CCL3L1, dan RANTES). Reseptor kemokin secara normal terekspresi sangat rendah pada sel T CD4+, sebaliknya terekspresi tinggi pada sel T CD4+ yang teraktivasi. Polimorfisme pada reseptor kemokin menunjukkan pengurangan ekspresi pada sel T CD4+ sehingga mengalami perkembangan yang lambat menjadi AIDS (Kalinkovich

et al., 1999; Limou et al., 2010; Poropatich dan Sullivan, 2011; Vidal et al., 2005).

Gambar 4. Faktor Virus, Genetik dan Imunologi Terkait Kontrol Jangka Panjang Infeksi HIV-1 (Poropatich dan Sullivan, 2011)

Keterangan: C-C chemokine receptor type 5 (CCR5); C-X-C chemokine receptor type 6 (CXCR6); C-C chemokine receptor type 2 (CCR2); C-X-C chemokine receptor type 1 (CXCR1); macrophage inflammatory protein (MIP)-1α; C-C chemokine ligand 3-like 1 (CCL3L1); regulated upon activation, normal T-cell expressed, and secreted (RANTES);

stromal cell-derived factor 1 (SDF1); C-X-C chemokine receptor type 4 (CXCR4); apoplipoprotein B mRNA-editing, enzyme-catalytic, polypeptide-like 3G (APOBEC3G); Tripartite motif protein 5α (Trim5α); sel natural killer (NK); cluster of differentiation 4

(CD4)+ T cell; cluster of differentiation 8 (CD8)+ T cell; interferon (IFN)- γ; interleukin

(44)

commit to user

Kontrol terhadap infeksi HIV-1 juga dapat dipengaruhi oleh ligan alami yang berperan sebagai inhibitor kompetitif HIV-1, di antaranya ligan kemokin MIP-1α, CCL3L1, dan RANTES pada CCR5. Kemokin MIP-1α diketahui mampu menekan infeksi HIV-1 melalui desensitisasi dan penurunan ekspresi CCR5 pada permukaan sel (Piacentini et al., 2009). Ligan CCL3L1 dikenal sebagai agonis poten pada CCR5, dimana jumlah salinan CCL3L1 yang tinggi berpengaruh terhadap perkembangan HIV-1 yang lambat (Dolan et al., 2007; Gonzalez et al., 2005). Ligan RANTES mampu menghambat infeksi virus tropik R5. Hal ini terbukti dengan penelitian pada pria homoseksual HIV seropositif tipe progressor yang menunjukkan penurunan sensitivitas terhadap virus melalui netralisasi yang dimediasi RANTES (Koning et

al., 2003). Ligan lainnya, yaitu SDF1 sebagai ligan alami CXCR4, mampu

menghambat infeksi HIV-1 tropik X4 (Magierowska et al., 1999).

Antiretroviral endogen (APOBEC3G dan Trim5α) juga menyebabkan perkembangan lambat HIV-1. APOBEC3G merupakan cytidine deaminase yang menghambat integrasi HIV-1 pada DNA inang melalui mutasi berlebihan basa G→A pada cDNA virus sehingga terjadi stop codon prematur yang menyebabkan replikasi HIV-1 terhambat (Piacentini et al., 2009). Trim5α berperan pada fase post-cell-entry dengan menempel pada protein kapsid HIV-1 untuk menghambat replikasi virus (van Manen et al., 2008).

Berkaitan dengan faktor imunologi, perkembangan virus yang lambat dapat dipengaruhi oleh imunitas innate (alami/nonspesifik) maupun adaptive (didapat/spesifik). Pada imunitas alami, sel NK terbukti dapat memproduksi

(45)

commit to user

interferon (IFN)-γ dengan kadar lebih tinggi pada LTNP dibandingkan progressor dan individu yang tidak terinfeksi (Vieillard et al., 2010). Pada imunitas yang spesifik, sel T CD4+ dan sel T CD8+ berhubungan dengan perkembangan HIV-1 yang lambat. Pada respons sel T CD4+, LTNP menunjukkan fenotip CD4+IL-2+IFN-γ+ yang mengindikasikan respons sel T helper 1 yang kuat (Potter et al., 2007). Pada respons sel T CD8+, LTNP menunjukkan peningkatan cytotoxic T cell (CTL) spesifik terhadap sekuen terpelihara pada gen env, gag, dan pol sehingga dapat menurunkan jumlah virus pada controller HIV-1 (Poropatich dan Sullivan, 2011).

Amplifikasi PCR diketahui sangat sensitif dan spesifik, namun aplikasinya untuk diagnosis infeksi HIV dapat terjadi kendala sehingga memungkinkan terjadinya negatif palsu (Cunningham et al., 2003; Friedrich et al., 2010; Schechter et al., 1991). Interaksi faktor virologi, genetik dan imunologi yang kompleks berdampak pada status klinis pasien sehingga pada orang tertentu dapat tidak terdeteksi pada pemeriksaan PCR secara kualitatif.

Pada penelitian ini, bukti secara serologi yang menunjukkan infeksi HIV dapat menjadi data awal yang menggambarkan status HIV pada komunitas gigolo Surakarta. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas gigolo Surakarta memiliki karakteristik dan perilaku yang rentan dalam penyebaran infeksi HIV.

(46)

commit to user BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Sebagain besar responden (83,3%) berorientasi biseksual dengan aktivitas seksual yang berisiko terhadap transmisi HIV.

2. Status HIV pada komunitas gigolo Surakarta menggunakan

Determine-HIV-1/2 didapatkan hasil positif sejumlah 10% (3/30).

3. Pemeriksaan nested PCR HIV-int pada sampel seropositif didapatkan hasil negatif.

B. Saran

1. Sebaiknya dilakukan monitoring pemeriksaan viral load dan CD4+ pada responden HIV seropositif untuk mengetahui perkembangan infeksi HIV. 2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor risiko terkait

perilaku berisiko pada komunitas gigolo dalam skala yang lebih luas.

3. Perlu diadakan tindakan surveilans lebih lanjut oleh pemerintah pada berbagai komunitas berisiko tinggi terhadap transmisi HIV di Surakarta sehingga dapat digunakan dalam program pencegahan, diagnosis, dan pemberantasan penyakit menular karena HIV.

(47)

commit to user DAFTAR PUSTAKA

Amirkhanian Y.A., Kelly J.A., Kukharsky A.A., Borodkina O.I., Granskaya J.V., Dyatlov R.V., McAuliffe T.L., et al. 2001. Predictors of HIV risk behavior among Russian men who have sex with men: an emerging epidemic. AIDS. 15:407-12.

Bassichetto K.C., Bergamaschi D.P., Oliveira S.M., Deienno M.C., Bortolato R., de Rezende H.V., Arthur T., et al. 2008. Elevated risk for HIV-1 infection in adolescents and young adults in São Paulo, Brazil. PLoS One. 3:e1423.

Belza M.J. 2005. Risk of HIV infection among male sex workers in Spain. Sex

Transm Infect. 81:85-8.

Bimbi D.S. 2007. Male prostitution: Pathology, paradigms, and progress in research.

J Homosex. 53:7-35.

Brooks G.F., Butel, J.S., Morse S.A. 2005. AIDS dan lentivirus. Dalam: Mikrobiologi

Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika, p: 292-312.

Ceccherini-Silberstein F., Malet I., D'Arrigo R., Antinori A., Marcelin A.G., Perno C.F. 2009. Characterization and structural analysis of HIV-1 integrase conservation. AIDS Rev. 11:17-29.

Chiodi F. 2010. New therapy to revert dysfunctional antibody responses during HIV-1 infection. J Clin Invest. HIV-120:38HIV-10-3.

Constantine N.T., Kabat W., Zhao R.Y. 2005. Update on the laboratory diagnosis and monitoring of HIV infection. Cell Res. 15:870-6.

Cunningham P., Marriott D., Harris C., Hancock S., Carr A., Cooper D. 2003. False negative HIV-1 proviral DNA polymerase chain reaction in a patient with primary infection acquired in Thailand. J Clin Virol. 26:163-9.

Cunninghan A.L., Dwyer D.E., Mills J., Montagnier L. 1997. Structure and function of HIV. In: Stewart G. Managing HIV. MJA, pp: 17-21.

Dolan M.J., Kulkarni H., Camargo J.F., He W., Smith A., Anaya J.M., Miura T., et

al. 2007. CCL3L1 and CCR5 influence cell-mediated immunity and affect

HIV-AIDS pathogenesis via viral entry-independent mechanisms. Nat Immunol. 8:1324-36.

Entonu P.E. dan Agwale S.M. 2007. A review of the epidemiology, prevention and treatment of human immunodeficiency virus infection in Nigeria. Braz J Infect

Dis. 11:579-90.

(48)

commit to user

Estcourt C.S., Marks C., Rohrsheim R., Johnson A.M., Donovan B., Mindel A. 2000. HIV, sexually transmitted infections, and risk behaviours in male commercial sex workers in Sydney. Sex Transm Inf. 76:294-8.

Estep R., Waldorf D., Marotta T. 1992. Sexual behavior of male prostitutes. In: Huber J., Schneide B.E. editors. The Social Context of AIDS. Newbury Park, CA: Sage, pp. 95-109.

Fauci A.S., Kasper D.L., Longo D.L., Braunwald E., Hauser S.L., Jameson J.L., Loscalzo J. 2008. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Harrison’s Principle of Internal Medicine 17th Edition. USA:

McGraw-Hill.

Fearon M. 2005. The laboratory diagnosis of HIV infections. Can J Infect Dis Med

Microbiol.16:26-30.

Ford K., Wirawan D.N., Fajans P., Thorpe L. 1995. AIDS knowledge, risk behaviors, and factors related to condom use among male commercial sex workers and male tourist clients in Bali, Indonesia. AIDS. 9:751-9.

Friedrich B., Li G., Dziuba N., Ferguson M.R. 2010. Quantitative PCR used to Assess HIV-1 Integration and 2-LTR circle formation in human macrophages, peripheral blood lymphocytes and a CD4+ cell line. Virol J. 7:354.

Gonzalez E., Kulkarni H., Bolivar H., Mangano A., Sanchez R., Catano G., Nibbs R.J., et al. 2005. The influence of CCL3L1 gene-containing segmental duplications on HIV-1/AIDS susceptibility. Science. 307:1434-40.

Hemelaar J., Gouws E., Ghys P., Osmanov S. 2006. Global and regional distribution of HIV-1 genetic subtype dan recombinants in 2004. AIDS. 20:W13-23.

Hosur M.V., Prashar V. 2008. HIV-1 Protease crystallography at BARC. J. Indian

Inst. Sci. 88:95-105.

Inverness Medical. 2009. Determine® HIV-1/2.

http://www.determinetest.com/pdf/240373R2%20HIV1&2%20PI%20for%20C E.pdf. (20 Januari 2011).

Invitrogen. 2006. PureLink™ Viral RNA/DNA Kits for rapid, efficient purification of

viral nucleic acids from cell-free samples.

http://tools.invitrogen.com/content/sfs/manuals/purelink_viral_rna_dna_man.pd f. (12 Januari 2011).

Kalinkovich A., Weisman Z., Bentwich Z. 1999. Chemokines and chemokine receptors: role in HIV infection. Immunol Lett. 68:281-7.

(49)

commit to user

Kementerian Kesehatan RI. 2011. Laporan kasus HIV-AIDS di Indonesia triwulan 2

tahun 2011. http://www.aidsindonesia.or.id/download/LT2Menkes2011.pdf (6

Januari 2012).

Komisi Penanggulangan AIDS. 2007. Surveilans terpadu-biologis perilaku. http://www.aidsindonesia.or.id/surveilans-terpadu-biologis-perilaku-integrated-biological-behavioral-surveillance.html. (6 Januari 2012).

Komisi Penanggulangan AIDS. 2010. Strategi dan rencana aksi nasional

penanggulangan HIV dan AIDS 2010-2014.

http://www.aidsindonesia.or.id/repo/SRAN20102014.pdf. (7 Januari 2012). Koning F.A., Kwa D., Boeser-Nunnink B., Dekker J., Vingerhoed J., Hiemstra H.,

Schuitemaker H. 2003. Decreasing sensitivity to RANTES (regulated on activation, normally T cell-expressed and -secreted) neutralization of CC chemokine receptor 5-using, non-syncytium-inducing virus variants in the course of human immunodeficiency virus type 1 infection. J Infect Dis. 188: 864-72.

Life Technologies. 2010. SuperScript® III First-Strand Synthesis SuperMix.

http://tools.invitrogen.com/content/sfs/manuals/superscript_firststrandsupermix _man.pdf. (12 Januari 2011).

Limou S., Coulonges C., Herbec J.T., van Manen D., An P., Le Clerc S., Delaneau O., et al. 2010. Multiple-cohort genetic association study reveals CXCR6 as a new chemokine receptor involved in long-term nonprogression to AIDS. J

Infect Dis. 202:908-15.

Madec Y., Boufassa F., Rouzioux C., Delfraissy J.F., Meyer L. 2005. Undetectable viremia without antiretroviral therapy in patients with HIV seroconversion: an uncommon phenomenon? Clin Infect Dis. 40:1350-4.

Magierowska M., Theodorou I., Debrė P., Sanson F., Autran B., Riviėre Y., Charron D., et al. 1999. Combined genotypes of CCR5, CCR2, SDF1, and HLA genes can predict the long-term nonprogressor status in human immunodeficiency virus-1-infected individuals. Blood. 93:936-41.

Ndembi N., Habakkuk Y., Takehisa J., Takemura T., Kobayashi E., Ngansop C., Songok E., et al. 2003. HIV type 1 infection in pygmy hunter gatherers is from contact with Bantu rather than from nonhuman primates. AIDS Res Hum

Retroviruses. 19:441-5.

Okal J., Luchters S., Geibel S., Chersich M.F., Lango D., Temmerman M. 2009. Social context, sexual risk perceptions and stigma: HIV vulnerability among male sex workers in Mombasa, Kenya. Cult Health Sex.11:811-26.

(50)

commit to user

Pantaleo G., Fauci A.S. 1996. Immunopathogenesis of HIV infection. Annu Rev

Microbiol. 50;825-54.

Piacentini L., Biasin M., Fenizia C., Clerici M. 2009. Genetic correlates of protection against HIV infection: the ally within. J Intern Med. 265:110-24.

Pisani E., Dadun, Sucahya P.K., Kamil O., Jazan S. 2003. Sexual behavior among injection drug users in 3 indonesian cities carries a high potential for HIV spread to noninjectors. J Acquir Immune Defic Syndr. 34:403-6.

Pisani E., Girault P., Gultom M., Sukartini N., Kumalawati J., Jazan S., Donegan E. 2004. HIV, syphilis infection, and sexual practices among transgenders, male sex workers, and other men who have sex with men in Jakarta, Indonesia. Sex

Transm Infect. 80:536-40.

Podzamczer D., Barros C., Berenguer J., Gutiérrez F., Iribarren J.A., Miró J.M., Molina J.P., et al. 2008. Treatment of opportunistic infections in adolescent and adult patients infected with the human immunodeficiency virus during the era of highly active antiretroviral therapy. Enferm Infecc Microbiol Clin. 26:356-79.

Poropatich K., Sullivan D.J. 2011. Human immunodeficiency virus type 1 long-term progressors: the viral, genetic and immunological basis for disease non-progression. J Gen Virol. 92:247-68.

Potter S.J., Lacabaratz C., Lambotte O., Perez-Patrigeon S., Vingert B., Sinet M., Colle J.H., et al. 2007. Preserved central memory and activated effector memory CD4+ T-cell subsets in human immunodeficiency virus controllers: an ANRS EP36 study. J Virol. 81:13904-15.

Prasetyo AA. 2011. Teknik Biologi Molekular Dasar. Surakarta: LPP UNS dan UNS Press, p: 70.

Rietmeijer C.A., Wolitski R.J., Fishbein M., Corby N.H., Cohn D.L. 1998. Sex hustling, injection drug use, and non-gay identification by men who have sex with men: Associations with high-risk sexual behaviors and condom use. Sex

Trans Dis. 25:353-60.

Saksena N.K., Rodes B., Wang B., Soriano V. 2007. Elite HIV controllers: myth or reality? AIDS Rev. 9:195-207.

Schechter M.T., Neumann P.W., Weaver M.S., Montaner J.S., Cassol S.A., Le T.N., Craib K.J., et al. 1991. Low HIV-1 proviral DNA burden detected by negative polymerase chain reaction in seropositive individuals correlates with slower disease progression. AIDS. 5:373-9.

(51)

commit to user

Scott J.G. 2005. How Modern Governments Made Prostitution a Social Problem:

Creating a Responsible Prostitute Population. New York: Edward Mellen

Press.

Shinde S., Setia M.S., Row-Kavi A., Anand V., Jerajani H. .2009. Male sex workers: Are we ignoring a risk group in Male sex workers: Are we ignoring a risk group in Mumbai, India? Indian J Dermatol Venereol Leprol 75:41-6.

Sigarlaki H.G. 2008. Characteristics and knowledge about HIV/AIDS and drug abuse associated with inmates education level within prison populations in Singkawang, West Borneo in 2006. Acta Med Indones. 40:129-34.

Smith M.D., Seal D.W. 2008. Sexual behavior, mental health, substance use, and hiv risk among agency-based male escorts in a small U.S. city. Int J Sex Health. 19: 27-39.

Taylor B.S., Sobieszczyk M.E., McCutchan F.E., Hammer S.M. 2008. The challenge of HIV-1 subtype diversity. N Engl J Med. 358:1590-602.

UNAIDS. 2008. Perempuan dan HIV dalam lingkungan lapas.

http://www.unodc.org/documents/hiv-aids/UNODC_UNAIDS_2008_

Perempuan_dan_HIV_dalam_Lingkungan_Lapas_-_BI.pdf. (4 Februari 2011). UNAIDS. 2011. World AIDS day report 2011.

http://www.unaids.org/en/media/unaids/contentassets/documents/unaidspublica tion/2011/JC2216_WorldAIDSday_report_2011_en.pdf. (7 Januari 2012). van den Berk G.E.L., Frissen P.H.J., Regez R.M., Rietra P.J.G.M. 2003. Evaluation

of the rapid immunoassay Determine HIV 1/2 for detection of antibodies to human immunodeficiency virus types 1 and 2. J Clin Microbiol. 41:3868-9. van Manen D., Rits M.A., Beugeling C., van Dort K., Schuitemaker H., Kootstra

N.A. 2008. The effect of Trim5 polymorphisms on the clinical course of HIV-1 infection. PLoS Pathog. 4:e18.

Vidal F., Vilades C., Domingo P., Broch M., Pedrol E., Dalmau D., Knobel H., et al. 2005. Spanish HIV-1-infected long-term nonprogressors of more than 15 years have an increased frequency of the CX3CR1 249I variant allele. J Acquir

Immune Defic Syndr. 40:527-31.

Vieillard V., Fausther-Bovendo H., Samri A., Debrė P., French Asymptomatiques ȧ Long Terme (ALT) ANRS-CO15 Study Group. 2010. Specific phenotypic and functional features of natural killer cells from HIV-infected long-term nonprogressors and HIV controllers. J Acquir Immune Defic Syndr. 53:564-73.

(52)

commit to user

WHO. 1997. Revised recommendation for the selection and use of HIV antibody

tests.http://www.who.int/diagnostics_laboratory/publications/en/Selection_HIV

_tests.pdf. (6 Januari 2012).

WHO. 2006. Standard operating procedures for diagnosis of HIV infection. http://www.searo.who.int/en/Section10/Section17/Section53/Section367_1129. htm. (28 Desember 2011).

Gambar

Tabel 1.   Rekomendasi WHO untuk Strategi Pemeriksaan HIV Berdasarkan  Tujuan Pemeriksaan dan Prevalensi Infeksi pada Populasi Sampel .
Gambar 1.   Diagram Riwayat Aktivitas Seksual Responden Penelitian .......... 32  Gambar 2a
Tabel  1.  Rekomendasi  WHO  untuk  Strategi  Pemeriksaan  HIV  Berdasarkan  Tujuan Pemeriksaan dan Prevalensi Infeksi pada Populasi Sampel
Tabel 2. Data Sosiodemografik Responden Penelitian
+5

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Imam Bukhari dalam Sahihnya, Kitab Al- Buyu’, bab Tahmrin no 2019.. promosi para pemasar adalah untuk meyakinkan target pelanggan bahwa barang dan jasa yang ditawarkan

Nakon što je naposljetku nametnut visoki porez na sve proizvode bazirane na konoplji (izuzev proizvoda od sjemenki i vlakana) te je zabrana zakonodavstva sve više ograničavala

Rancangan pesawat terbang tanpa awak atau Unmanned Aerial Vehicle (UAV) berbasis quadcopter yang digabungkan dengan sistem penyemprotan untuk kegiatan pertanian yaitu

- Stroma terbentuk oleh jaringan epitel retikuler yang tersusun oleh sel epitel retikuler (beda sama lien dan nodus limfatikus. Timus jaringan epitel retikuler, kalo

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa baik pada kondisi pertama (pembuatan keputusan etis bila dilema etis dihadapi oleh orang lain) dan pada kondisi kedua

Bahagian Kewangan PTJ/UPP semak had nilai perolehan Bahagian Kewangan PTJ/UPP semak dokumen C Melebihi RM20ribu sehingga RM50ribu Melebihi RM50ribu sehingga RM500ribu

Letak perbedaan topik penelitian ini dengan topik penelitian yang telah dilakukan sebelumnya adalah penelitian ini lebih melihat hubungan dukungan sosial dari

'enanaman tanaman anggrek&#34; disesuaikan dengan si)at hidup tanaman anggrek&#34; yaitu:.. Anggrek +phytis adalah anggrek yang menupang pada batang%pohon lain tetapi