• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Ruang Bermukim di Kampung Kapitan Palembang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perubahan Ruang Bermukim di Kampung Kapitan Palembang"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 141

Perubahan Ruang Bermukim di Kampung Kapitan Palembang

Irma Indriani

irmaaa_dani@y ahoo.com

Program Studi A rsitektur, F akultas Teknik, U niv ersitas Tridinanti Palembang

Abstrak

Permukiman kelompok pendatang (diaspora) yang terpisah menciptakan batas dengan kelompok lain. Kampung Kapitan memperlihatkan batas bermukim yang kabur antara kelompok etnis Cina dan pribumi, sehingga akan diteliti apa ruang yang terjadi antara kelompok pendatang dan pribumi di Kampung Kapitan dan bagaimana pembentukan ruang tersebut terjadi. Penelitian mencoba mengungkap struktur sosial yang mempengaruhi perubahan evolutif yang terjadi pada permukiman etnis dalam teori strukturasi. Pendekatan penelitian bersifat kualitatif, dengan metode grounded research, penelitian dilakukan tanpa membuat hipotesis. Temuan penelitian adalah kemungkinan strukturasi dalam kelompok masyarakat dapat berubah dan membawa penyesuaian. Wilayah kampung yang terkunci/tertutup bagi kelompok di luarnya akhirnya terbuka ruangnya bagi kelompok lain. Struktur kelompok berubah dipengaruhi oleh rentang waktu interaksi, struktur awal kelompok, dan motif. Permukiman seperti ini mengalami perubahan sistem sosial yang berdampak pada formasi spasial bermukim.

Kata-kunci : diaspora, permukiman, ruang, strukturasi

Pendahuluan

Kota-kota di Indonesia mempunyai kawasan yang dihuni oleh kelompok masyarakat dari satu etnis. Dan salah satunya adalah kampung Cina atau pecinan. Hal ini terjadi akibat proses diaspora bangsa Cina yang ditandai dengan banyaknya pedagang dan pekerja kontrak yang menyebar ke luar tanah Cina ke kawasan Asia Tenggara dan bagian dunia lain, termasuk ke Indonesia. Hal ini terjadi terlebih dengan adanya pengaruh besar para pedagang Cina. Dalam bermukim ada kelompok masyarakat yang berpindah (Tuan, 1977: 142), dengan tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya dan mencari tempat menetap yang lebih baik. Kelompok tersebut tetap membawa sifat budaya dari tanah asalnya. Keterikatan dengan tanah asalnya merupakan sifat umum manusia dan tingkat keterikatannya tergantung pada budaya dan periode sejarah asalnya. Diaspora dalam penelitian ini adalah mengenai apa yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat pendatang di sebuah tempat dan penyesuaian mereka dengan tempat bermukim dan masyarakat pribumi (Cohen, 2008). Kampung Kapitan adalah sebuah permukiman etnis Cina di Palembang yang ditandai dengan bangunan rumah panggung milik keturunan Tionghoa dari masa kolonial. Bangunan inti di Kampung Kapitan terdiri atas tiga rumah, merupakan bangunan yang paling besar dan menghadap ke arah Sungai Musi. Pemilik rumah utama adalah bapak Tjoa Kok Lin atau pak Kohar, keturunan kedua belas marga Tjoa yang mewarisi rumah utama dan rumah abu (rumah batu). Rumah utama berbentuk limas. Rumah-rumah lain dibangun oleh Kapitan untuk menampung keluarga besarnya. Bentuk rumah-rumah tersebut persegi panjang, dengan sebuah ruang terbuka di tengahnya. Ruang permukiman kampung berkembang secara fisik dengan bertambahnya dengan rumah-rumah kecil yang mengisi ruang pekarangan di antara rumah besar. Penghuninya adalah penduduk setempat atau pribumi. Permukiman informal ini berkembang dalam keadaan yang memberi kesempatan bagi adanya dorongan kebutuhan sebagian masyarakat yang membutuhkan rumah dan

(2)

B 142 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

keterbatasan ekonomi mereka. Kondisi yang saling menyokong dari penghuni rumah utama dan rumah-rumah tambahan itu, secara sosial dan ekonomi, memungkinkan penghuni rumah-rumah kecil akan tetap bertahan lama.

Kelompok masyarakat menentukan ruang mereka secara fisik dan metafisik, yang menghasilkan ruang yang heterogen, dan berakibat pada wujud arsitektur yang beragam. Ketika kelompok etnis memutuskan memiliki dan memakai ruang, mereka akan melakukan proses agar kelompok etnis lain mengerti keberadaan mereka (Smith, 1990). Arsitektur muncul sebagai alat menyampaikan pesan tersebut dan menjadi penanda ruangnya. Pemilik ruang akan menjadi posesif terhadap ruangnya dan membatasi aksesibilitas individu dari etnis lain. Penelitian yang pernah dilakukan menemukan bahwa potensi ruang eksklusif di sebuah kota berdampak pada konflik. Pada perkembangannya ruang eksklusif kelompok mengalami perubahan kualitas yang mungkin berpotensi memicu konflik ruang atau sebaliknya (Hastijanti, 2005: 2). Sales dkk (2009) menemukan bahwa komunitas Cina di sebuah pecinan menjadi eksklusif bagi mereka baik secara batas, kegiatan maupun jejaring yang dibuat. Lingkungan kawasan dapat memberi mereka identitas dan menjadi simbol kekuatan etnis terhadap penduduk pribumi. Terdapat persepsi masyarakat pribumi Indonesia terhadap karakter umum etnis Cina (Rahardjo, 2005: 785). Mereka adalah etnis yang terpisah, yakni etnis Cina, dan posisi mereka diuntungkan dalam struktur sosial di bawah pemerintahan kolonial Belanda sehingga ini menjadi faktor penting mereka kini menjadi kekuatan ekonomi dominan dan mereka merupakan kelompok yang hanya peduli kepada kepentingan mereka sendiri, khususnya kepentingan ekonominya.

Tetapi ada kemungkinan ruang eksklusif kelompok etnis tidak menimbulkan konflik terjadi b ila kondisi tertentu terpenuhi, misalnya bagaimana ruang bersama antar ruang tinggal kelompok mempunyai kemungkinan potensi baik dan buruk bagi penghuninya. Mengacu pada dua pendapat, pertama, dari Smith (1990, dalam Hartijanti, 2005: 2) yang menyatakan bahwa konflik adalah hasil yang tak terelakkan dari proses perubahan formasi ruang. Pendapat lain oleh Edmun Leach dalam Sibley (1995, dalam Hartijanti 2005: 3) yang menyatakan kondisi yang lebih baik bisa terjadi. Menurutnya dinamika dapat membentuk ruang eksklusif tanpa konflik dengan menghilangkan salah satu faktor pencetusnya. Proses yang terjadi merupakan proses evolutif, terjadi perlahan dan dalam waktu yang lama. Dan perubahan ruang sosial dapat terjadi karena pengaruh kestabilan atau perubahan sistem sosial dalam permukiman yang terjadi karena adanya proses strukturasi.

Kajian Pustaka

Untuk memahami apa dan bagaimana perbedaan permukiman Kampung Kapitan dalam membentuk ruang bermukim antar pendatang dan pribumi akan digunakan teori strukturasi. Teori tersebut melihat bahwa kemantapan ataupun perubahan sosial terjadi karena pengaruh timbal balik antara struktur dalam masyarakat dan agen/aktor, baik individu maupun kelompok. Selain itu bagaimana kelompok pendatang beradaptasi dan berasimilasi dalam tindakan atau kegiatan mereka di tempat yang mereka datangi terkait dengan beberapa pendekatan teoritis tentang diaspora dan dikaitkan dengan ruang sosial Levebre (1991, 1974).

Giddens (1984) menyatakan bahwa proses dan tertib sosial berlangsung tidak hanya bergantung pada individu (tatanan mikro) saja maupun masyarakat dengan sistem sosialnya (tatanan makro) saja, tapi karena adanya pertautan (linkage) antara mikro dan makro, subjek dan objek. Teori strukturasi mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan sosial terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran seseorang dengan munculnya sistem sosial yang stabil. Dualitas yang terjadi antara agen dan struktur di dalam praktik sosial (social practices) yang berulang dan terpola dalam ruang dan waktu, lalu praktik sosial yang terus berulang oleh pelaku individu yang mereproduksi struktur tersebut.

Pelaku (agent) dalam strukturasi adalah orang-orang yang konkret yang terus berperan dalam tindakan dan peristiwa. Struktur merupakan aturan (rules) dan sumber daya (sources) yang terbentuk dari dan membentuk perulangan praktik sosial. Sehingga alur dualitas agen-struktur tersebut terletak pada struktur sosial merupakan hasil (outcomes) dan sekaligus sumber (sources).

(3)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 143 Giddens mengelompokkan struktur dalam tiga kelompok struktur besar dalam masyarakat, yaitu:

1. Struktur signifikasi (signification), yaitu sebuah struktur yang mendasarkan pada skema “aturan” simbolik, penyebutan, pemaknaan dan wacana.

2. Struktur dominasi (domination), mengacu pada skema aturan penguasaan atas orang (politik) atau barang dan jasa (ekonomi) dapat berupa dominasi ekonomi maupun politik.

3. Struktur legitimasi (legitimation), terlihat dari kepatuhan masyarakat kepada institusi atau individu karena kedudukan atau label yang melegitimasi kekuasaannya terhadap masyarakat.

Persoalan Penelitian

Masyarakat pribumi yang masuk, menetap dan hidup di area permukiman kelompok etnis Cina, membedakan cara hidup masyarakat pendatang kampung ini dengan keadaan pecinan di tempat atau mungkin negara lain. Penelitian yang dilakukan di Pecinan London menunjukkan bahwa masyarakatnya membuat perbedaan etnis antara pendatang dan masyarakat pribumi menciptakan batas bermukim (Sales, 2009). Dalam Kampung Kapitan saat ini terlihat batas bermukim etnis Cina dan pribumi kabur. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah ruang yang terjadi antara

kelompok pendatang dan pribumi di Kampung Kapitan dan bagaimana pembentukan ruang tersebut terjadi? Penelitian ini meliputi pengamatan terhadap manusia, kegiatan dan

ruang yang terjadi. Lingkup penelitian untuk pengamatan tersebut adalah ruang permukiman di area rumah-rumah utama/besar pendatang dan rumah-rumah masyarakat pribumi di dalam Kampung Kapitan karena rumah besar tersebut adalah bangunan awal perkembangan kampung.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini berkonsentrasi pada perubahan struktur dalam komunitas dan implikasinya pada perubahan ruang. Penelitian mencoba mengungkap struktur sosial yang mempengaruhi perubahan evolutif yang terjadi pada permukiman etnis. Bagaimana structure, agent dan agency berproses dalam sebuah komunitas majemuk yang berdampak pada perubahan ruang. Temuan penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk melengkapi gagasan dalam kajian permukiman perkotaan tentang pemeliharaan kondisi masyarakat kota yang plural.

Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan bertujuan mengungkap makna di balik fenomena sosial tentang ruang permukiman etnis. Dalam hal ini diperlukan data yang menggambarkan fakta terkini tentang proses perubahan pada pemukim, dan ruang yang terbentuk. Data yang tepat dikumpulkan untuk tujuan itu diperoleh dengan meluangkan waktu di lapangan mencari akses, rapport, dan insider perspective. Pendekatan penelitian yang akan dilakukan bersifat kualitatif, yang merupakan suatu metode untuk mengekplorasi dan memahami makna yang oleh sejumlah individu atau sekelompok orang, terkait dengan masalah dan fokus penelitian. Persoalan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah pembentukan/perubahan ruang yang terjadi seiring dengan proses strukturasi pada kelompok pendatang dan pribumi. Proses penelitian meliputi pengajuan pertanyaan dan prosedur-prosedur,

Gambar 1. Skema dualitas struktur (sumber: Giddens, 1984, diolah kembali)

STRUKTUR signifikasi dominasi legitimasi

(sarana-sarana) Skema

interpretasi fasilitas norma

komunikasi kekuasaan n

sanksi

(4)

B 144 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

pengumpulan data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data kualitatif, dan menafsirkan makna data (Creswell, 2009: 4-5). Metode yang dipilih adalah grounded research, penelitian dilakukan tanpa membuat hipotesis. Penelitian dilaksanakan langsung ke dalam situasi yang diteliti, lalu dianalisis. Argumen dan tesis dirumuskan di akhir penelitian. Studi kasus dipilih agar dapat menjawab pertanyaan ‘mengapa’ yang berkonsentrasi pada fenomena actual pada waktu pelaksanaan penelitian (Yin, 1994: 13-14). Studi kasus dipakai untuk penelitian sosial yang tercakup dalam masalah-masalah permukiman. Dengan pendekatan ini, diharapkan dapat ditemukan hal-hal yang terjadi dalam kondisi kontekstualnya (Creswell, 2009: 20). Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.

Hasil dan Pembahasan

Sejarah menetapnya etnis Cina di Indonesia dimulai dengan berlayarnya bangsa ini ke Asia Tenggara dengan beberapa pola migrasi, yaitu trader pattern, coolie pattern, sojourner pattern, dan descent and remigrant pattern (Anggraeni, 2010: 205-206). Lalu dari sumber berita Cina (Ying Yai Sheng Lan) dapat diketahui bahwa etnis Cina yang ada di Palembang berasal dari Canton (kota Chang -chou atau Ch’uan-chou). Hubungan kerjasama yang sudah sangat panjang dapat menjelaskan bila masyarakat dari masing-masing etnis telah terbiasa dan menerima sekaligus mengadaptasi budaya keduanya. Palembang sudah dikenal para penguasa negeri Cina sejak lama dan para penguasa tersebut membina hubungan baik dengan raja-raja di wilayah kerajaan Sriwijaya. Dalam bingkai waktu ratusan tahun sudah terjadi kerjasama antara orang Cina dan pribumi Palembang yang terjadi di kota Palembang.

Kemunculan pembentukan kampung dimulai dengan diijinkannya sebagian warga etnis Cina pilihan untuk tinggal di darat membentuk permukiman khusus etnis Cina di masa pemerintahan kolonial Belanda. Seorang tokoh Cina di kawasan ini diangkat dan diberi pangkat kapitan (atau kapiten) yang bertugas mengatur dan memungut pajak dari warga Cina. Pemisahan geografis juga membawa ke pemisahan sosial dan ekonomi. Kemudian dengan semakin kuatnya kekuasaan Belanda posisi sosial masyarakat Cina di kampung ini bergeser menjadi masyarakat kelas menengah yang menjembatani posisi penjajah dan masyarakat pribumi. Mereka diposisikan menjadi kelas menengah, diberi mandat menjadi penarik pajak dan penguasa pelabuhan (Anggraeni, 2010: 207).

Runutan ringkas sejarah di atas memperlihatkan satu episode kehidupan sosial sebagai dasar yang saya pakai untuk mengidentifikasi unsur-unsur struktur, ruang-waktu dan sistem kemasyarakatan (Giddens, 2011: 303). Ruang sosial Kampung Kapitan di dalam perkembangan kota Palembang diproduksi dalam tiga dimensi konteks spasial yang saling terhubung secara dialektik. Ketiganya muncul secara spasial, terproduksi oleh kelompok masyarakat etnis Cina dan terreproduksi menjadi sistem sosial dalam rentang waktu yang mereka jalani di kota Palembang. Dualitas struktur dan tindakan yang menghasilkan ketiga dimensi spasial Kampung Kapitan di awal terbentuknya kampung dapat dijelaskan sebagai berikut. Aktor - aktor yang terlibat dalam sistem sosial kawasan Kampung Kapitan selama periode pembentukan kampung oleh pemerintahan kolonial Belanda sampai sebelum masuknya permukiman pribumi ke dalam Kampung Kapitan adalah etnis Cina, pemerintahan kolonial, dan kelompok pribumi. Uraian berikut akan meninjau struktur yang berangkat dari titik bahasan diaspora masyarakat etnis Cina di Kampung Kapitan, sebagai aktor yang diamati, terhadap aktor-aktor yang berinteraksi dengan mereka.

Signifikasi antara etnis Cina, pribumi dan pemerintah

Di masa kolonial Belanda, praktik sosial yang berkembang dalam masyarakat kota Palembang memunculkan signifikasi tentang ‘Cina’. Kata ini berkembang sebagai penanda yang memaknai etnis Cina sebagai kelompok yang terpisah, arogan, dan meremehkan kaum pribumi. Kelompok ini dianggap selalu berekonomi kuat dan pelit terhadap kelompok masyarakat lain. Perlakuan istimewa yang diterima dari pemerintahan kolonial, turut menandai adanya ‘ancaman’ bagi kelompok pribumi. Reaksi terhadap kesenjangan sosial ini adalah kemudian kaum pribumi memandang rendah kelompok Cina dan menolak bersosialisasi dengan mereka, bahkan menentang.

(5)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 145 Di lain pihak, pemaknaan positif juga melekat pada signifikasi ‘Cina’. Baik pemerintah maupun pribumi memandang bahwa etnis ini identik dengan sifat kerja keras dan kemampuan berdagang yang baik. Dan anggapan ini membuat sikap kelompok-kelompok lain tersebut memanfaatkan keunggulannya. Pemerintah Belanda menangkap ini sebagai potensi untuk dimanfaatkan menjadi perpanjangan tangan melakukan hal-hal yang berhubungan dengan rakyat, seperti pemungutan pajak dan penguasaan pelabuhan. Struktur ini juga membuat kelompok Cina dianggap bisa diandalkan dan bisa diajak kerjasama menyangkut kegiatan ekonomi dan bisnis.

Selain itu, ada signifikasi lain yang muncul di dalam masyarakat. Seorang Cina dengan jabatan ‘Kapitan’ dan kelompoknya (pengikutnya) terlibat dalam perdagangan, hubungan dengan pemerintahan, dan kerjasama dengan etnis lain, sebagai bentuk praktik meruang etnis Cina (spatial practices). Signifikasi ‘Kapitan’ dari etnis Cina bermakna berbeda bagi pribumi yakni bermakna status atau posisi yang dekat dengan pemerintahan kolonial dan mempunyai kedudukan istimewa dan lebih baik dari kelas masyarakat pada umumnya, seperti golongan pribumi. Signifikasi ‘Kapitan’ dimaknai berbeda oleh sebagian lain dari pribumi, yang memungkinkan untuk menempatkan diri mereka berada dalam ‘satu’ kelas dengan etnis Cina yang berkedudukan‘dekat’ dengan pemerintah. Pemaknaan ini membuat seseorang atau masyarakat menganggap akan lebih mudah berurusan dengan pemerintah melalui perantara kapitan. Sebaliknya, pihak pemerintah seakan mendapatkan media penghubung yang bisa menjembatani urusan-urusan dengan masyarakat kawasan yang dijajahnya melalui ‘Kapitan’.

Toleransi dan adaptasi menjadi cara masyarakat etnis Cina Palembang dalam kebertahanan mereka menghadapi kekuasaan pemerintahan. Tercermin bagaimana dalam waktu yang lama dan melewati beberapa pergantian pemerintahan, etnis ini tetap hidup di tempat ini, dan dapat mengambil peran yang berbeda-beda. Generasi awal kedatangan etnis ini di Palembang, mereka adalah pedagang, dan sebagian memilih menetap. Di masa kekosongan kekuasaan karena runtuhnya kerajaan Sriwijaya sempat kekuasaan wilayah dipegang oleh pemimpin beretnis Cina (Groeneveldt, 2009: 89). Kemudian di masa kolonial, mereka menjadi kelas menengah dan pemimpin mereka menerima tanggung jawab sebagai pejabat pemerintah. Toleransi dan adaptasi berangsur muncul dari sebagian etnis Cina terhadap masyarakat pribumi yang menganggap mereka orang asing. Walau ada kesenjangan sosial ekonomi dengan kelompok pribumi, kelompok ini lebih bisa membina hubungan dengan orang pribumi dan memperantarai pelaksanaan kebijakan pemerintah kolonial. Konteks pengalaman dan lamanya etnis Cina tinggal di Kampung Kapitan dan praktik sosial yang terulang membuat peran Kampung Kapitan tidak saja sebagai ruang secara fisik tapi juga fungsional terhadap aktor-aktor yang memanfaatkan ruang kampung. Sehingga di masa ini, Kampung Kapitan menjadi contoh ruang etnis Cina yang benar-benar ada (representational spaces) terhadap kota Palembang.

Struktur signifikasi dipahami berkaitan dengan dominasi dan legitimasi (Giddens, 2011: 39). Dominasi menjadi kapasitas aktor untuk memanfaatkan sumber daya, baik alokatif maupun otoritatif. Siginifikasi dan legitimasi antara kelompok Cina dan pribumi mempengaruhi gugus struktur dominasi etnis. Dengan otoritasnya di dalam Pecinan, Kapitan, termasuk keluarga dan kelompoknya, dengan sumber-sumber daya posisi, kekuasaan, dan properti (ekonomi, tanah, dan bangunan) yang dimilikinya menunjukkan dominasi terhadap masyarakat di kelas lebih rendah, yaitu kelompok pribumi. Dengan dominasi kekuatan ekonomi (kekayaan dan properti) dan politik (sebagai pejabat pemerintah), etnis Cina mengendalikan kelompok pribumi yang mereka pilih untuk bekerja kepada mereka dan menentukan batas/aturan bagi kelompok pribumi ‘bawahan’nya. Kelompok pribumi yang bekerja didominasi secara ekonomi untuk keberlangsungan hidup mereka.

Hubungan etnis Cina dan pemerintah juga memperlihatkan struktur dominasi masing -masing. Dominasi kekuasaan pemerintah terhadap rakyat jajahan, termasuk kelompok Cina, berperan dalam menentukan aturan atau hukum dalam tataran sosial. Termasuk di antaranya, pemerintah mengatur pembagian kelas sosial masyarakat untuk tujuan tertentu (pemecahbelahan dan kemudahan pengendalian). Tindakan ini terwujud dalam perbedaan perlakuan dan pemisahan permukiman berdasarkan suku, tingkat ekonomi dan status sosial. Demikian juga legitimasi kehadiran dan

(6)

B 146 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

‘kekuasaan’ orang Cina secara alamiah berkembang. Dan hal tersebut terjadi di masa ini, dengan peran mereka yang secara politis etnis Cina mempunyai kewenangan (otoritatif) dan kekuatan ekonomi yang bisa dimanfaatkan untuk menguasai orang lain. Produksi dan reproduksi praktik-praktik sosial berdampak pada formasi ruang bermukim di Kampung Kapitan. Hubungan pendatang dan pribumi yang saling melengkapi terbina dengan masuknya penghuni pribumi ke dalam kampung. Dalam kurun waktu enam puluh tahun terakhir, sejak mulai bertinggalnya kelompok etnis pribumi berdampingan dalam kampung Cina, struktur masing-masing pihak berubah.

Ruang Bermukim: Zona dalam Kampung Kapitan

Bila dibagi dalam tiga tahapan perubahan ruangnya, di dua puluh tahun pertama, terdapat tiga rumah yang dihuni orang pribumi, baik sifat huniannya milik maupun menumpang. Dua keluarga yang rumahnya ‘menempel’ di rumah besar Kapitan, masuk ke dalam kawasan atas ajakan pemilik rumah besar untuk membantu dan menemani keluarga rumah besar.

Di sini tergambarkan, di awal masuknya pemukim pribumi, bagaimana efektivitas dominasi ekonomi (kekayaan, pendapatan, serta kendali terhadap barang dan jasa) dan kekuasaan politik tidak hanya bergantung pada pemilihan sumber daya, tapi juga pada penggunaan sumber daya yang ada secara efektif untuk memperoleh kepatuhan (Adrain dalam Ode, 2012: 45). Dari hasil wawancara, perubahan ruang yang terjadi adalah karena berawal pada perubahan kondisi ekonomi keluarga. Rumah panggung kuno kelompok rumah milik keluarga akhirnya beralih menjadi milik pribumi. Desakan ekonomi dan pilihan hidup di daerah lain membuat anak keturunan kapitan dan keluarganya melepaskan rumah mereka. Masuknya dua keluarga yang lain di kampung ini, atas faktor kedekatan hubungan kepala keluarga dengan mereka. Keberadaan keluarga ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tenaga tambahan untuk pekerjaan-pekerjaan domestik di rumah besar. Dan di masa ini juga telah dibangun satu masjid kecil untuk keperluan ibadah. Hal ini menunjukkan gagasan bahwa segenap kemampuan internal kelompok diaspora tidak terkait dengan faktor peluang maupun hambatan yang mereka hadapi (Misbach, 2012: 13). Dengan demikian ketika sebuah kelompok memiliki motivasi dan mampu untuk bekerjasama dengan kelompok lain, tidak ada penghalang ataupun fasilitas dari luar kelompok tersebut yang mempengaruhi keberhasilan proses yang mereka lakukan. Dalam kondisi masyarakat di Kampung Kapitan, hal ini terlihat selama proses berpikir dan pengambilan tindakan mereka untuk beradaptasi dan melibatkan kelompok etnis lain ke dalam praktik sosial kelompok mereka.

Signifikasi antara etnis Cina dan pribumi

Apakah faktor kedekatan hubungan dengan pemilik mempengaruhi jarak posisi rumah seorang pribumi dengan pemilik rumah besar? Dari wawancara dan pengamatan, didapatkan bahwa signifikasi kepercayaan dan hubungan yang baik membuat kepala keluarga rumah besar mengijinkan

(7)

Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 147 rumah-rumah awal berada dekat (di lantai dasar rumah utama dan di bawah rumah abu). Penghuni rumah adalah orang yang sudah dikenal baik dan diajak masuk ke dalam teritori kampung.Pertambahan rumah-rumah orang pribumi berikutnya, juga memperlihatkan faktor ini. Rumah kedua, yang terletak di bawah rumah besar, dihuni oleh keponakan pemilik. Sedangkan pendatang pribumi biasa (tanpa pertemanan dengan penghuni rumah besar) berada pada jarak yang lebih jauh (seperti yang ditunjukkan gambar 2 dan 3). Sebaliknya walau dominasi kelompok beretnis Cina terhadap properti di kampung tetap ada, praktik sikap yang baik dan penerimaan etnis Cina atas etnis pribumi membuat kedua pihak dapat bekerjasama dengan baik.

Pihak etnis Cina tetap bertanggungjawab dalam pemeliharaan dan semua properti kampung dan etnis pribumi mendukung dengan sumber daya tenaga. Struktur awal masing -masing etnis yang membuat segregasi di antara mereka, tidak lagi menjadi sumber daya yang diterapkan dengan ketat. Kelompok etnis Cina dan pribumi dapat memahami dan menerima keberadaan budaya dan kondisi kelompok masyarakat masing-masing. Dengan perjalanan interaksi mereka yang lama dan keterbiasaan atas kehadiran satu sama lain membangun praktik – praktik sosial baru bagi komunitas ‘baru’ mereka yang nampak pada tradisi kampung dan perubahan makna keluarga etnis Cina.

Dan di pihak kaum pribumi, adat untuk tetap tinggal bersama atau dekat dengan orangtua ketika sudah berkeluarga tetap terlihat dalam praktik keluarga-keluarga pribumi. Hal tersebut terlihat di tahapan dua puluh tahun kedua (1970-1990) dan ketiga (1990-2010). Penambahan rumah yang dihuni pribumi terjadi karena adanya generasi kedua yang berkeluarga dan berumah di dekat orangtuanya dengan menyewa. Penambahan ruang bagi rumah-rumah berpenghuni pribumi tidak terhambat mengingat mereka memang sebagian adalah orang yang memang tumbuh di tempat yang sama. Sedangkan anggota keluarga lain yang tidak mendapat ruang di kampung, tinggal di kawasan sekitar kampung juga(Gambar 4).

Gambar 3 Dua rumah orang pribumi pertama di Kampung Kapitan (Sumber: Penulis, 2015)

Gambar 4 Perkembangan proses asimilasi ruang di Kampung Kapitan (sumber: Dokumentasi penulis, 2015)

(8)

B 148 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017

Kesimpulan

Permukiman yang terbentuk oleh kelompok pendatang seperti Kampung Kapitan awalnya bersifat terpisah dari permukiman kelompok pribumi. Ketika interaksi yang lebih intens terjadi, kemungkinan strukturasi dalam kedua kelompok dapat berubah dan membawa mereka pada penyesuaian satu sama lain. Wilayah kampung yang terkunci/tertutup bagi kelompok di luarnya akhirnya terbuka ruangnya bagi kelompok lain. Kemampuan (agency) kedua kelompok untuk berbaur dipengaruhi oleh rentang waktu interaksi, struktur awal masing-masing kelompok, dan motif. Dalam permukiman seperti ini sistem sosial baru terjadi di bawah pengaruh struktur dan praktik tiap kelompok masyarakatnya. Bila kedua pihak berangkat dari motif untuk menjalani kehidupan yang selaras, maka akan muncul signifikasi yang berdampak pada pengelolaan sumber-sumber daya mereka dalam praktik-praktik untuk mewujudkan motif tersebut. Perubahan sosial yang terjadi berdampak pada formasi spasial kampung.

Kondisi di Kampung Kapitan tidak bisa mewakili permukiman etnis Cina lainnya di Indonesia mengingat perbedaan karakter sosial etnis Cina dan pribuminya. Juga belum diketahui apakah komposisi jumlah anggota satu kelompok masyarakat mempengaruhi kekuatan dominasinya terhadap kelompok lain. Dan ke depannya bila terjadi perubahan dalam besaran jumlah penduduk satu kelompok apakah akan mengubah/menggeser cara kerjasama mereka.

Daftar Pustaka

Anggraeni, D. (2010). From China to Indonesia and to Australia: Two Stories of Struggle for Acceptance. Jurnal Kajian Wilayah Vol.1 No. 2, 203-220

Cohen, R. (2008). Global Diasporas An Introduction, 2ND Edition. Seattle: University of Washington Press Creswell, J.W. (2009). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California:

Sage Publications, Inc.

Giddens, A. (2011). The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial (Adiloka Sarjono. Penerjemah), cetakan keempat. Yogyakarta: Penerbit Pedati

Groeneveldt, W.P. (2009). Nusantara dalam Catatan Cina (Judul Asli: Notes on the Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Sources). Depok: Komunitas Bambu

Hastijanti, R.A.R. (2005). Proses Pembentukan Ruang Eksklusif pada Permukiman Masyarakat Plural. Surabaya: ITS

Missbach, A. (2012). Politik Jarak Jauh Diaspora Aceh Suatu Gambaran tentang Politik Separatis di Indonesia (Judul asli: Separatist Conflict in Indonesia: The Long-Distance politics of the Acehnese Diaspora). Yogyakarta: Penerbit Ombak

Ode, M.D.L. (2012). Etnis Cina Indonesia dalam Politik: Etnis Cina Pontianak dan Singkawang di Era Reformasi 1998-2008. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia

Rahardjo, T. (2005). Kebijakan Pemerintah tentang Etnis Cina. Dialogue JIAKP, Vol. 2 No. 2, Mei 2005, 780-802 Sales, Rosemary et.al. (2009). London’s Chinatown: Diaspora, Identity, and Belonging. London: The Social

Research Centre

Schmid, C. (2008). Henri Lefebvre’s Theory of the production of space: towards a three-dimensional dialectic dalam Goonewardena, K., (2008) Space, Difference, Everyday Life: Reading Lefebvre. New York and London: Rouledge, 27-45

Smith, D. M. (1990). Introduction: The Sharing and Dividing of Geographical Space dalam Shared Space, Divided Space, eds: Chisholm, Michael and Smith, David M., Unwin Hyman Ltd

Tuan, Yi-Fu. (2007). Where is Home dalam Housing and Dwelling Perspectives on Modern Domestic Architecture, ed. Lane, B.M. New York: Routledge, 408-415

Gambar

Gambar 1. Skema dualitas struktur  (sumber: Giddens, 1984, diolah kembali)
Gambar 2 Proses “Asimilasi’  secara spasial di Kampung Kapitan Palembang
Gambar 4  Perkembangan proses asimilasi  ruang di Kampung Kapitan  (sumber: Dokumentasi penulis, 2015)

Referensi

Dokumen terkait

Heteroskedastisitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari model residual pada suatu pengamatan ke pengamatan yang

Media adalah alat bantu pengajaran dalam kegiatan belajar mengajar yang digunakan untuk menyampaikan pesan atau informasi (Djamarah Syaiful. Wahana dari sumber pesan

Kosaseh

Teknik substitusi atau ganti merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk mengganti salah satu unsur satuan lingual bahasa Sasak yang dianalisis.. Unsur yang diganti

Dalam industri agribisnis kelapa sawit sistem informasi berbasis web yang terintegrasi dari kegiatan on farm hingga off farm dan mudah diakses dengan user (stake holder

pasien dapat menyebutkan 4 tindakan kep spesifik pasca operasi, 4 risiko pasca operasi dan 3 tanda-tanda infeksi. • Setelah dilatih selama 3 hari,

[r]

Berdasarkan difraktogram yang diperoleh dari XRD, dapat dilihat perubahan yang terjadi akibat proses penumbuhan PANi pada permukaan zeolit yang ditunjukan pada Gambar 1 dan