• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tahun 2002 Korea Selatan mengenakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) terhadap produk kertas tertentu (uncoated wood free printing paper) yang diimpor dari Indonesia. Pengenaan tersebut terjadi karena Korea Selatan menuduh empat perusahaan Indonesia dalam Sinar Mas Grup (PT. Indah Kiat Pulp & Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp & Mills, PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, dan April Pine Paper Trading Pte Ltd.) yang melakukan ekspor kertas diduga telah melakukan tindakan dumping. Akibatnya, dikenakannya tarif BMAD oleh Pemerintah Korea Selatan terhadap berbagai perusahaan kertas Indonesia tersebut yang berdampak pada kerugian materiil dan penurunan jumlah ekspor kertas Indonesia ke Korea Selatan. Pengenaan BMAD tersebut menyebabkan harga kertas Indonesia di Korea Selatan menjadi mahal dan berdampak terhadap penurunan permintaan kertas asal Indonesia.

Namun pada tahun 2005, Panel Dispute Settlement Body (DSB) WTO memutuskan bahwa Indonesia memenangkan sengketa ini karena pihak Korea Selatan dianggap mengenakan BMAD yang melanggar aturan anti-dumping WTO dan berbagai perusahaan Indonesia dianggap tidak bersalah. Dapat dipahami WTO memperbolehkan adanya dumping terhadap perdagangan, selama dumping tersebut tidak menyebabkan kerugian material terhadap industri di negara pengimpor. Pembolehan terhadap dumping ini sejalan dengan aturan Pengecualian terhadap Prinsip Most-favoured Nations (MFN) dan National Treatment tentang barang oleh WTO. Larangan terhadap dumping hanya berlaku apabila negara pengekspor telah terbukti melalui berbagai penelitian dan perhitungan menyebabkan kerugian “material injury terhadap established industry. Di samping itu, pengenaan tuduhan dumping dalam kaitannya produk tertentu, seperti like product (produk sejenis dan/atau serupa) harus dijelaskan dengan tepat, karena dapat menentukan keputusan DSB WTO terhadap sebuah kasus. Dalam hal ini, penyamaan sebuah produk dengan produk lain oleh Korea Selatan dianggap WTO tidak dapat diterima sehingga menyebabkan Indonesia mendapatkan kemenangan.

Salah satu perhatian utama penulis adalah ketika Indonesia kembali melakukan gugatan pada 2010 berupa mengadukan kembali ke WTO berupa retaliasi (kebijakan

(2)

2 balasan). Hal ini dilakukan Pemerintah Indonesia karena Korea Selatan tidak segera menaati keputusan akhir yang dikeluarkan Panel DSB WTO sebanyak dua kali, yakni tahun 2005 dan 2007. Akan tetapi, secara tiba-tiba Korea Selatan sepakat untuk menghentikan pungutan BMAD pada Oktober 2010. Dalam hal ini terdapat hal yang menarik untuk diketahui lebih dalam upaya Indonesia merespon tindakan Korea Selatan yang terkesan sengaja untuk tidak menjalankan keputusan WTO sejak 2005, namun berubah pada tahun 2010.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan pertanyaan rumusan masalah, yaitu: “Bagaimana Pemerintah Indonesia melakukan diplomasi dan negosiasi agar Pemerintah Korea Selatan mematuhi keputusan hasil akhir Panel DSB WTO hingga pada akhirnya dapat ditaati sepenuhnya pada tahun 2010?”

C. Tinjauan Pustaka

Dalam membahas upaya diplomasi penyelesaian sengketa perdagangan melalui WTO dalam konteks kasus anti-dumping, dapat diketahui bahwa topik ini belum banyak dikaji secara mendalam. Penelitian yang telah dilakukan lebih banyak berfokus penggunaan

anti-dumping sebagai mekanisme yang merugikan negara berkembang dan diplomasi

perdagangan yang telah dilakukan Indonesia, tanpa banyak menyinggung upaya dan proses penyelesaian sengketa itu sendiri. Pada tahap ini, dapat ditarik pemahaman bahwa upaya diplomasi penyelesaian sengketa perdagangan dalam WTO cenderung dianggap sebagai bagian dari proses yang secara lebih umum dalam rangka penyelesaian hingga implementasi hasil sengketa.

Salah satu kajian yang berkaitan dengan topik bahasan ini dilakukan oleh Peter Van den Bossche1, dumping dapat diartikan sebagai suatu tindakan menjual sebuah barang ke pasar negara lain dengan harga lebih murah daripada harga normal barang tersebut (Merujuk Pasal II:(1) GATT WTO). Praktek dumping diperkenankan bagi para anggota WTO, akan tetapi jika terjadi sebuah kondisi yang merugikan dan untuk melindungi kepentingan industri domestik dari kebijakan dumping negara lain, anggota WTO diperbolehkan melakukan tindakan tertentu. Larangan terhadap dumping hanya berlaku apabila negara pengekspor telah terbukti melalui berbagai penelitian dan perhitungan menyebabkan kerugian “material

(3)

3

injury” terhadap established industry. Penilaian harga yang lebih murah dibandingkan negara

asalnya diperhitungkan apabila memenuhi salah satu dari tiga ketentuan, yaitu: harga yang dijual di negara lain lebih murah dari harga pasar di domestiknya, harga yang dijual di negara lain lebih murah dari harga produksi ditambahkan dengan biaya lain, dan harga yang dijual di negara lain lebih murah dari harga yang ada di negara ketiga. Kemudian, anti-dumping merupakan kebijakan yang digunakan negara anggota WTO dalam merespon adanya kegiatan

dumping yang merugikan (Merujuk Pasal VI GATT WTO dan Anti-Dumping Code 1994).

Dalam hal ini setiap negara dapat mengenakan Biaya Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk melindungi industri dalam negerinya sesuai dengan perhitungan tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut, negara anggota WTO juga harus memiliki aturan atau regulasi turunan yang mengatur tentang anti-dumping di negaranya masing-masing. Akan tetapi, pengenaan BMAD oleh sebuah negara yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal VI GATT WTO dan Anti-Dumping Code 1994 dapat ditentang oleh negara yang melakukan eskpor melalui prosedur pengelesaian sengketa dalam DSB WTO. Dalam praktiknya, sebuah dan/atau bebeberapa negara dapat mengajukan keberatan terhadap kebijakan ekonomi dan perdagangan negara apabila bertentangan dengan ketentuan WTO melalui mekanisme dalam DSB WTO. Tercatat lebih dari 300 permasalahan sengketa telah diselesaikan dalam DSB WTO dalam delapan tahun pertama sejak berdirinya WTO.

Peter Van den Bossche turut memberikan pembahasan tentang Like product atau dalam pengertiannya barang sejenis, namun tidak harus ‘serupa’ tetapi juga tentang penentuan mengenai sifat dan sejauh mana hubungan kompetitif antara barang sejenis tersebut terhadap pasar domestik negara tertentu, seperti misalnya sejauh mana barang-barang tersebut bersaing, sehingga mengakibatkan dianggap sebagai ‘barang-barang sejenis’ (Merujuk Pasal I:(1), Pasal III:(2), dan Pasal III:(4) GATT WTO). Tetapi, biasanya penentuan barang sejenis tersebut ditentukan secara kasus per kasus dalam WTO. Beberapa faktor yang sering menjadi sifat penentu dan sejauh mana hubungan kompetitif antar barang tersebut, diantaranya: karakteristik fisik barang tersebut, kebiasaan dan pilihan konsumen terhadap barang tersebut, kegunaaan akhir dari barang tersebut, dan klasifikasi tarif internasional dari barang tersebut.

(4)

4 Selanjutnya dalam penelitian oleh Sarah J. Marsh2 mencoba menunjukkan bahwa

dumping dan anti-dumping merupakan strategi dan praktek penting untuk mengalahkan

kompetitor dalam perdagangan internasional. Hal ini penting guna melindungi kepentingan domestik yang biasanya berlawanan dengan kepentingan global, terutama dalam melakukan proteksi terhadap industri tertentu dalam negeri. Penelitian tersebut mengungkap fakta bagaimana panjang dan lamanya proses penentuan dumping dan anti-dumping sebuah komoditas yang dapat mencapai 10-14 bulan, karena tidak hanya sebatas berdasarkan petisi saja tetapi juga memerlukan investigasi. Proses investigasi itu justru biasanya dilakukan setelah penerapan kebijakan anti-dumping yang telah berdampak pada penurunan jumlah ekspor dari negara yang memberikan tuduhan adanya dumping.

Kajian relevan lain juga dapat ditemukan dalam tulisan Inge Nora Neufeld (2001)3 yang memberikan wawasan mengenai adanya mekanisme anti-dumping dan countervailing dalam WTO justru dapat merugikan negara-negara berkembang karena dapat menjatuhkan tingkat kompetitivitas dari sebuah negara. Bagi negara berkembang, ketika dituduhkan melakukan kegiatan dumping akan mengalami pelemahan daya saing, diantaranya: rusaknya pangsa pasar ekspor komoditas tertentu, berkurangnya permintaan ekspor, menjatuhkan kompetitivitas negara pengekspor, dan proses penyelesaian anti-dumping membutuhkan biaya besar maupun waktu lama. Penelitian tersebut juga mencoba memaparkan apabila dalam perhitungan dumping memiliki ambiguitas dan celah yang digunakan negara-negara maju dalam menyalahgunakan mekanisme anti-dumping dan countervailing sebagai cara untuk ‘mengalahkan’ negara berkembang.

Penelitian lain oleh James Rude and Jean-Philippe Gervais4 turut menjelaskan jika dalam praktek perhitungan dumping seringkali multi tafsir dan dikenakan secara sepihak terutama dalam kasus produk alam yang menyebabkan adanya bias konsep dalam penentuan kerugian. Kontroversi penentuan dumping tersebut cenderung disebabkan oleh manipulasi dan miskalkulasi dalam perhitungan biaya produksi dari sebuah negara, utamanya produk perkebunan dan pertanian. Penelitian ini mengungkapkan kecenderungan bahwa jika sebuah negara melakukan ekspor yang lebih murah dibandingkan dalam negeri negara pengimpor

2 Sarah J. Marsh, 'Creating Barriers for Foreign Competitors: A Study of the Impact of Anti-Dumping Actions on the

Performance of U.S. Firms', Review of Agricultural Economics, Strategic Management Journal, Vol. 19, No. 1, 1998, p. 25-37.

3 Inge Nora Neufeld, 'Anti-Dumping And Countervailing Procedures – Use Or Abuse? Implications For Developing

Countries', Policy Issues In International Trade And Commodities Study Series, No. 9, 2001, P. 03-23.

4 James Rude and Jean-Philippe Gervais, 'Biases in Calculating Dumping Margins: The Case of Cyclical Products', Review of Agricultural Economics, Vol. 31, No. 1, 2009, p. 122-142.

(5)

5 dengan harga yang dibawah rata-rata, negara tersebut ‘otomatis’ akan dituduh melakukan

dumping, padahal hal itu bisa saja terjadi karena kondisi tertentu (promosi, tata penjualan

grosir, dan fluktuasi tertentu).

Terkait diplomasi perdagangan Indonesia, Sudirman Haseng5 menjelaskan apabila pemerintah memiliki peranan sangat besar terkait perdagangan internasional dengan negara lain. Dalam hal ini Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan kemajuan Indonesia dalam perdagangan internasional, namun terdapat pembagian tugas, yakni: Kementerian Luar Negeri lebih banyak dalam kerjasama perdagangan secara politik, sementara Kementerian Perdagangan melakukan diplomasi melalui negosiasi dengan negara sahabat maupun organisasi internasional yang memiliki permasalahan dengan Indonesia dalam kaitannya permasalahan teknis perdagangan.

Kajian lain oleh Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia6 menegaskan Indonesia memiliki kepentingan besar dalam memperjuangkan peningkatan perdagangan internasional dalam upaya mencapai kesejahteraan bagi semua pihak, termasuk konsumen, produsen, dan ekportir maupun importir. Besarnya pasar dunia dapat meningkatkan perdagangan Indonesia melalui kegiatan ekspor dan impor tentunya memerlukan diplomasi secara bilateral, regional, dan multilateral. Kementerian Perdagangan sebagai perwakilan Pemerintah Indonesia bertugas melakukan diplomasi perdagangan untuk melakukan negosiasi untuk memperjuangkan kepentingan nasional. Kajian ini juga memandang pentingnya keterlibatan diplomasi secara maksimal oleh Kementerian Perdagangan dalam forum internasional, seperti dalam WTO. Hal ini mengingat Indonesia telah menjadi anggota WTO sejak tahun 1995 dan telah dikenal sebagai salah satu negara berkembang yang konsisten memperjuangkan kepentingannya dalam pasar terbuka dunia.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian tersebut diperoleh gambaran besar adanya sengketa perdagangan internasional, yaitu: melalui persengketaan kasus dumping, negara maju cenderung menggunakan mekanisme tersebut untuk memenangkan persaingan. Meskipun demikian, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan memiliki tugas dan tanggung jawab besar untuk melakukan diplomasi perdagangan guna menyelesaikan berbagai permasalahan. Hal tersebut penting agar dapat dipahami apabila perdagangan internasional tidak selamanya menguntungkan dan negara berkembang harus dapat

5 Sudirman Haseng, Pasar Afrika Dibanjiri Produk Indonesia, Kementerian Luar Negeri Indonesia, Jakarta, 2008, p. 14. 6 Erwidodo dan Deny Wachyudi Kurnia, Tata Perdagangan Dunia dan Upaya Indonesia Memacu Ekspor Hasil Pertanian,

(6)

6 berpartisipasi lebih dalam menyuarakan kepentingannya. Dalam hal ini, penulis berupaya untuk mengeksplorasi upaya diplomasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, baik dari sisi proses struktural maupun negosiasi yang berlangsung.

D. Landasan Konseptual

Penulis akan menggunakan kerangka konseptual berupa diplomasi perdagangan, Teori Linkage, dan Teori Bargaining. Konsep diplomasi perdagangan digunakan sebagai kerangka besar dalam menjelaskan proses yang dilakukan oleh Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan domestiknya dengan Korea Selatan. Lalu, teori linkage berupaya mengklasifikasi proses-proses teknis yang terjadi dalam berbagai perundingan dan negosiasi antara kedua negara yang memungkinkan Indonesia dapat ‘menekan’ Korea Selatan agar segera tunduk untuk menyelesaikan sengketa yang ada. Sementara pendekatan

bargaining sebagai tolok ukur untuk menjelaskan posisi Indonesia dibandingkan dengan

Korea Selatan dalam kasus sengketa ini.

1. Diplomasi Perdagangan

Menurut Susan Strange7, seiring dengan adanya perkembangan pada dunia internasional yang mendorong terjadinya perubahan struktural di berbagai negara, dari sebelumnya memiliki ekonomi yang cenderung tertutup, menjadi berorientasi pasar dan bertumpu pada ekspor. Perubahan ini terjadi akibat adanya internasionalisasi produksi dan penyebaran industrialisasi yang menyebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat internasional tentang fleksibilitas ekonomi dan perekonomian berbasis pasar yang efisien. Perubahan tersebut kemudian mendorong banyak negara untuk melakukan diplomasi yang di dalamnya terdapat tawar-menawar dan negosiasi untuk lebih terbuka terhadap ekonomi global dan juga melindungi kepentingan nasionalnya pada saat yang bersamaan.

Kishan S. Rana8 menjelaskan jika diplomasi sebagai sebuah proses negosiasi oleh sebuah negara dalam berhubungan dengan negara maupun organisasi internasional dapat digunakan untuk mencapai kepentingan ekonomi nasionalnya, diantaranya: investasi, perdagangan, dan interaksi ekonomi ekonomi lainnya. Diplomasi tersebut dapat melibatkan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Perdagangan, perwakilan diplomatik dan

7 Susan Strange, 'States, Firms and Diplomacy', International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-) Vol. 68,

No. 1, 1992, p. 1-15.

8 Kishan S. Rana, 'Economic Diplomacy: The Experience Of Developing States', The New Economic Diplomacy: Decision-Making and Negotiation in International Economic Relations, Ashgate Publishing, Hampshire, 2007, p. 201.

(7)

7 perdagangan, maupun aktor non negara dalam tingkatan bilateral, regional, maupun multilateral hingga pada akhirnya dapat mencapai tujuan ekonomi nasional.

Salah satu bagian dari diplomasi adalah diplomasi ekonomi dan perdagangan. Diplomasi ekonomi tidak hanya memungkinkan adanya agenda diplomatik dalam integrasi pasar, tetapi juga perubahan struktur diplomasi yang menjadikan sebuah negara dapat memainkan perananan lebih besar dalam negosiasi, promosi, advokasi, dan pelaksanaan kebijakan. Secara garis besar, diplomasi ekonomi merupakan bagian dari diplomasi yang dilakukan oleh aktor-aktor negara yang digunakan untuk mencapai tujuan dan kepentingan ekonomi sebuah negara di luar negeri, disamping tentunya guna mengamankan ekonomi domestik dalam suatu sistem internasional yang anarkis. Sementara diplomasi perdagangan merupakan cara dan konseptual baru dalam diplomasi, kaitannya dengan hubungan perdagangan internasional dan agenda perdagangan global. Ini merupakan tanggapan atas perekonomian dunia yang diatur oleh seperangkat institusi ekonomi bernama WTO.

John S. Odell9 menyatakan melalui diplomasi perdagangan, sebuah negara dapat melakukan perundingan dengan negara-negara lain untuk mengejar kepentingan ekonomi nasionalnya secara maksimal atas persengketaan yang terjadi yang memungkinkan adanya negosiasi dan hasil yang didapatkan dari forum WTO.

Sementara Donna Lee10 berpendapat jika studi diplomasi perdagangan memberikan pemahaman tentang proses yang terjadi dalam WTO dan cara kerja dari lingkungan institusional dalam perundingan WTO, utamanya bagi negara berkembang yang menggunakan WTO sebagai forum untuk mengupayakan kepentingannya dalam strategi diplomatik guna melakukan penyetaraan dengan negara maju. Diplomasi perdagangan juga memungkinkan isu domestik dan perubahan struktur ekonomi politik menjadi pertimbangan penting, karena sebelum melakukan negosiasi pada level internasional sebuah negara harus mengakomodasi dan memperhatikan kebutuhan dalam negerinya. Hal ini menggambarkan bagaimana karakter yang kompleks dan dinamis dari diplomasi perdagangan yang terus berubah seiring dengan perkembangan dunia internasional.

Kishan11 menambahkan bahwa tidak hanya berupa kebijakan ekonomi, diplomasi perdagangan juga dapat berupa ketika sebuah negara meresepon situasi dan kondisi perdagangan internasional yang membutuhkan perananan negara guna mengamankan

9 John S. Odell, Negotiating the World Economy, Cornell University Press, Ithica, 2000, p. 80-241.

10 Donna Lee and Brian Hocking, ‘Economic Diplomacy’, The International Studies Encyclopedia, Vol. II, 2010, p. 1216-1227. 11 Kishan S. Rana, 'Introduction: The Role of Embassies', Economic Diplomacy: India Experience, Consumer Unity & Trust

(8)

8 kepentingan nasional. Diplomasi tersebut kemudian akan menjadi identitas dan bagian melekat atas kebijakan internasional dengan menggunakan kepentingan dalam negeri sebagai dasar utamanya. Respon ini juga dapat digunakan dalam melakukan manajemen atas kegiatan eksternal ekonomi pada WTO. Melalui WTO, negara dapat meningkatkan kapasitasnya dalam melakukan diplomasi dan negosiasi. Bagi negara berkembang, diplomasi perdagangan memungkinkan negaranya dapat menyuarakan lebih besar terhadap kepentingan nasional dan isu-isu yang berkembang.

Roy12 turut mengemukakan bila ekonomi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari diplomasi kontemporer mengingat ekonomi dapat mempengaruhi kebijakan lainnya, bahkan seiring meningkatnya ketergantungan antar negara terkait ekonomi mapun perdagangan menyebabkan ekonomi menjadi salah satu sektor utama. Ekonomi saat ini juga tidak hanya digunakan sebagai tujuan nasional tetapi juga sebagai standar keberhasilan pembangunan sebuah negara, ternyata juga membutuhkan adanya diplomasi. Ringkasnya, sebuah negara tidak dapat mencapai kepentingan ekonominya secara maksimal dengan otomatis apabila tidak melakukan upaya politik melalui diplomasi dengan negara lain maupun organisasi internasional. Penerapan diplomasi dapat dilakukan menurut Roy berupa diplomasi perdagangan dalam perundingan di WTO yang memungkinkan sebuah negara dapat memperjuangkan kepentingannya dan menyelesaikan sengketa yang terjadi agar dapat meningkatkan perekonomian dan perdagangannya.

Relasinya dengan kasus sengketa dengan Korea Selatan dan diplomasi Indonesia, penulis menggunakan analisa dengan menggunakan diplomasi perdagangan karena berkaitan dengan teori studi tersebut, yang menunjukkan forum WTO digunakan oleh Indonesia digunakan untuk memperjuangkan kepentingan ekonomi nasionalnya secara maksimal. Di samping itu, Pemerintah Indonesia juga menggunakan saluran negosiasi secara bilateral melalui Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dengan Korea Selatan dan pihak perusahaan kertas Indonesia. Diplomasi dan negosiasi perdagangan dilakukan Indonesia dengan melakukan advokasi dan berbagai proses lainnya untuk menunjukkan posisi Indonesia dan memberikan penekanan terhadap Korea Selatan agar segera mematuhi keputusan akhir DSB WTO sejak tahun 2005.

(9)

9

2. Teori Linkage

Menurut Joseph Frankel (1972)13, pendekatan Linkage menunjukkan setiap urutan dari prilaku sebuah negara yang berasal dari satu sistem yang direaksikan satu sama lain. Melalui linkage memungkinkan keterkaitan antara politik domestik dan politik internasional dengan memperhatikan nilai-nilai dalam konteks politik, ekonomi, bahkan militer, akan tetapi pengambilan keputusan tetap didasarkan pada kepentingan dalam negeri. Morton Kaplan14 berpandangan linkage dalam politik internasional dapat menjadi arena bagi sebuah negara untuk melakukan interakasi dengan negara lain guna menyelesaikan konflik diantara mereka yang dapat diselesaikan secara hubungan bilateral, namun membutuhkan adanya pemerintahan yang kuat dan terintegrasi dalam sistem politik internasional. Kedua tokoh di atas menekankan bahwa dalam melakukan negosiasi antar negara seringkali cukup sulit untuk memulai, mempertahankan, hingga memenangkan yang tentunya membutuhkan tehnik. Adanya teori linkage menjelaskan hubungan dan hal-hal yang dapat mempengaruhi maupun menentukan hasil dari proses negosiasi yang didasarkan pada lingkungan internasional baik dalam konteks bilateral maupun regional untuk mendapatkan tujuan politik sebuah negara.

Dalam dunia hubungan internasional, linkage mulai dipopulerkan dan dijalankan oleh Presiden Amerika Serikat Richard Nixon yang berupaya menggabungkan berbagai isu / permasalahan secara bersama-sama agar dapat melakukan penekanan dan memenangkan negosiasi dengan negara lain, utamanya terhadap Uni Soviet pada masa itu. Seiring perkembangan interdepedensi antar negara dalam sistem politik internasional, pendekatan

linkage menjadi semakin sering digunakan banyak negara untuk merumuskan kebijakan dan

mencapai tujuan dengan merujuk pada kepentingan domestik dan internasional secara bersamaan. Seperti dalam penjelasan Powell (1993)15 melalui penggunaan model Guns and

Butter, bahwa pada interaksi dunia internasional sebuah negara tidak hanya bertanggung

jawab terhadap keseimbangan dunia melainkan juga tetap memperhatikan kebutuhan dalam negeri. Hal inilah yang kemudian dapat digunakan negara tertentu dalam melakukan diplomasi dengan negara lain untuk mendapatkan tujuan tertentu dengan memperhatikan dan

13 Joseph Frankel, Contemporary International Theory and Behaviour of State, Free Press, New York, 1972. 14 Morton Kaplan dalam James N. Rosenau, “Towards the study of National –International linkages”, Linkage

Politics, The Free Press, New York, 1969, p. 330-335.

15 Robert Powell dalam Bruce Bueno de Mesquita and Alastair Smith, "Domestic Explanations of International

(10)

10 menggabungkan isu-isu lainnya dalam konteks kepentingan dalam negeri kemudian menggunakannya dalam negosiasi internasional.

Lebih lanjut menurut paparan Brian Bow16, linkage dapat menjadi taktik dalam melakukan penyelesaian bersama terhadap kasus sengketa tertentu, dengan berupaya meningkatkan posisi tawar sebuah negara, utamanya dalam hal perdagangan. Setidaknya

linkage dapat digunakan dengan dua tujuan, diantaranya: meningkatkan kemungkinan

pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan dan memberikan penekananan agar negara lain yang berpartisipasi di dalamnya berkomitmen terhadap isi kesepakatan. Linkage dikenal pula sebagai hubungan koersif yang memungkinkan adanya solusi untuk memecahkan kebuntuan dan meningkatkan posisi tawar sebuah negara pada suatu kasus tertentu. Ini dapat terjadi karena mengikat atau menambahkan dengan isu-isu lain, yang dapat ‘memaksa’ agar terjadi perubahan kebijakan negara lain karena menghadapi beberapa pilihan yang sulit.

Linkage juga dapat merubah peta asimetris hubungan dalam konteks perundingan, yang dapat

digunakan untuk ‘meningkatkan ruang’ guna mengejar kepentingan yang lebih besar dalam proses diplomasi internasional. Hal tersebut karena linkage memberikan tekanan psikologis terhadap negara mitra yang sebelumnya secara provokatif merugikan negara tertentu, menjadi berpikir ulang dan dapat melunak hingga dapat mengikuti kebutuhan negara tersebut. Penulis sangat setuju dengan pemikiran Brian ini karena memiliki hubungan dengan kasus dumping antara Indonesia dan Korea Selatan. Indonesia dapat dikatakan telah menggunakan linkage, karena Korea Selatan yang awalnya seperti mengulur waktu dalam penyelesaian sengketa ini, namun secara tiba-tiba setuju untuk menaati keputusan DSB WTO.

Secara umum, terdapat empat jenis linkage yang banyak dikemukakan oleh para ahli dalam hubungan internasional, yaitu: keterkaitan isu, masalah hubungan, interaksi faktor-faktor domestik maupun internasional, dan hubungan antar aktor atau lembaga.17

1) Jenis linkage pertama tentang keterkaitan isu merupakan upaya sebuah negara untuk menggabungkan area isu yang berbeda sehingga memiliki daya tawar yang lebih besar guna mencapai tujuan utamanya. Misalnya, penggunaan bantuan ekonomi atau sanksi untuk meningkatkan kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) dari negara-negara non-demokratik.

16 Brian Bow, The Politics of Linkage: Power, Interdependence, and Ideas in Canada-US Relations, UBC Press,

Toronto, 2009, p. 1-24.

17 Hung-Der Fu and Win-Cian Lin, The Linkage Problems And Solutions In Global Environmental Governance:

(11)

11 2) Jenis kedua merupakan masalah hubungan bahwa negara-negara harus dapat menghadapi tantangan dengan lebih menekankan hubungan antar isu yang ada seiring dengan pengaruh globalisasi dan interdepedensi setiap negara. Contohnya, masing-masing negara harus memiliki langkah-langkah komprehensif dalam menyelesaikan isu yang saling terkait, diantaranya: ekonomi, lingkungan, dan politik. Dalam hal ini, terdapat korelasi yang erat dengan penelitian penulis, bahwa Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan cenderung melakukan strategi dan praktek linkage dengan menggunakan isu-isu lain secara komprehensif untuk ‘memaksa’ Korea Selatan mematuhi keputusan DSB WTO.

3) Jenis linkage ketiga mengenai menghubungkan faktor-faktor domestik dan internasional yang dilakukan oleh negara dengan menggunakan faktor dalam negeri untuk mempengaruhi politik luar negerinya dan kedua faktor tersebut saling mempengaruhi. Seperti, penggunaan hubungan bilateral untuk memperjuangkan kepentingan dalam negeri dalam interaksi antar negara pada semua tingkatan.

4) Jenis terakhir ialah hubungan aktor atau lembaga dengan membangun jaringan kelompok antar pemerintah, gerakan sosial, organisasi, dan lembaga-lembaga lain. Misalnya, adanya kelompok lingkungan dan kelas menengah dari metropolitan, Organisasi Perdagangan Dunia, Organisasi Kesehatan Dunia, kelompok lingkungan regional dan PBB, organisasi Non-pemerintah, dan perusahaan multinasional yang melakukan advokasi sesuai tujuan kelompok atau lembaga masing-masing.

Guna memahami bagaimana linkage dapat mempengaruhi kesepakatan, Haas (1980)18 mengindentifikasi linkage dalam hal keterkaitan isu menjadi tiga jenis, diantaranya: taktis, substantif, dan fragmentasi antara taktis dan substantif.

1) Linkage Taktis terjadi ketika isu-isu yang dikaitkan tidak koheren secara intelektual antara satu sama lain. Hal ini terjadi karena isu linkage cenderung digunakan dalam permainan kekuasaan untuk meningkatkan konflik saat negosiasi yang menyebabkan tidak ada keterkaitan antar isu yang dilibatkan.

18 Ernst Haas, “Why Collaborate? Issue-Linkage and International Regimes”, International Organization, 1980,

(12)

12 2) Linkage Substantif memiliki hubungan antar isu utamanya dalam hal masalah intelektual yang menjadi penguat untuk mencapai tujuan akhir linkage itu sendiri, yaitu: membantu negara untuk mencapai tingkatan yang tidak terjangkau kerjasama yang sudah ada hingga dapat meningkatkan hubungan antar negara. Berkaitan dengan penelitian penulis, kecenderungannya yang terjadi adalah Pemerintah Indonesia menggunakan pendekatan linkage substantif dengan juga menggunakan isu perdagangan guna melakukan penekanan terhadap Korea Selatan.

3) Linkage Fragmentasi digunakan terjadi ketidakpastian atas distribusi manfaat dari kerjasama yang telah ada. Fragmentasi linkage terjadi antara taktis dan substantif karena interaksi antar negara turut terfragmentasi yang menuntut setiap negara dapat meningkatkan kepentingannya atau tetap dalam perjanjian yang ada.

Hubungannya dengan kasus sengketa Indonesia-Korea Selatan yang diselesaikan melalui WTO, terjadi kecenderungan apabila Pemerintah Indonesia melakukan penyelesaian negosiasi dengan menggunakan pendekatan linkage melalui penggunaan isu-isu lain di luar sengketa guna memberikan penekanan kepada Korea Selatan agar dapat mematuhi keputusan DSB WTO yang sudah ada. Hal ini akibat kegagalan stuktural multilateral WTO untuk memastikan Korea Selatan untuk menaati keputusan akhir sengketa, yang membutuhkan adanya pendekatan ‘tambahan’ secara bilateral oleh Pemerintah Indonesia utuk melakukan lobi-lobi politik guna mencapai kepentingan nasional. Selain itu, tindakan proteksionisme Korea Selatan dengan menuduh secara sepihak berbagai perusahaan kertas Indonesia telah melakukan praktek dumping dan cenderung tidak segera mematuhi keputusan akhir Panel DSB WTO sangat merugikan produsen kertas dalam negeri Indonesia. Wajar apabila kemudian Pemerintah Indonesia berupaya memperjuangkan kepentingan domestiknya dengan menggunakan strategi linkage berupa penggunaan isu perdagangan lainnya, guna ‘menekan’ Korea Selatan agar tidak secara provoatif terus-menerus merugikan kepentingan Indonesia, melainkan dapat melunak dan segera menaati keputusan DSB WTO yang ada.

(13)

13

3. Teori Bargaining

Dalam pola hubungan internasional beberapa dekade terakhir, terdapat peranan penting dari pendekatan bargaining. Adanya teori ini memungkinkan sebuah negara dapat membuat penawaran dan tuntutan secara bersamaan, dan negara lainnya dapat menerima atau menolak (take-it-or-leave-it game). Hal ini dapat terjadi karena bargaining memungkinkan adanya posisi yang lebih tinggi dari sebuah negara dibandingkan negara lainnya dengan menggunakan ketergantungan yang bersifat strategis, yang menyebabkan dalam negosiasi perundingan sebuah aktor negara dapat memiliki posisi tawar yang lebih dominan.

Menurut Thomas Schelling19, tinggi rendahnya posisi tawar bergantung pada tingkatan kredibilitas ancaman dan situasi yang ada sehingga dapat membatasi pilihan pihak lain yang dapat memaksa untuk setuju dalam kesepakatan. Pendekatan bargaining juga perlu memperhatikan kepentingan dari aktor internasional dan kepentingan dari dalam negeri itu sendiri, yang pada akhirnya memiliki posisi tawar yang menguntungkan. Kesatupaduan kepentingan domestik penting untuk dilakukan terlebih dahulu, karena apabila sebuah negara tidak dapat menyatukan tuntutan domestik menjadi satu suara, maka hal ini dapat melemahkan posisi tawar dari negosiator suatu negara dalam negosiasi internasional.

Berdasarkan David A. Lake20 terdapat beberapa inti dari teori bargaining, yakni: Pertama teori ini berasumsi bahwa negara adalah aktor kesatuan. Dalam berbagai negosiasi dan diplomasi dengan negara lain, aktor politik dalam negeri sebuah negara memiliki peranan penting dalam mendong negara tersebut dalam keterlibatan konflik maupun penyelesaian. Para kelompok kepentingan yang ada dalam domestik perlu mendapatkan pemahaman agar dapat dijadikan sebagai sebuah satu kesatuan yang tidak hanya satu suara dalam kepentingan internasional, tetapi juga di tingkat domestik itu sendiri.

Kedua, teori bargaining dapat dimodelkan dalam model permainan dua pemain yang saling merespon satu sama lain. Akan tetapi, adanya perbedaan informasi dapat menyebabkan perbedaan dalam sikap merespon tindakan lain yang menyebabkan posisi asimetris dapat mudah berubah. Terdapat pentingnya informasi-informasi yang cukup dan valid yang dapat digunakan sebagai basis untuk menentukan tindakan selanjutnya. Apabila informasi yang ada terbatas dan tidak valid, maka posisi tawar sebuah negara dapat menjadi lemah. Di samping itu, adanya pergantian pemerintahan dan negosiator dapat menjadi

19 Thomas Schelling, The Strategy of Conflict, Harvard University Press, Cambridge, 1960. 20 David A. Lake, Two Cheers for Bargaining Theory, Cornell University Press, 2009, p. 07-51.

(14)

14 ancaman, karena apabila tidak ada perubahan kebijakan dapat digunakan oleh pihak lawan untuk melemahkan posisi tawar suatu negara.

Ketiga, teori bargaining berasumsi bahwa konflik berakhir apabila terjadi penyelesaian. Namun, tidak jarang kemudian konflik dapat berulang ataupun terjadi pada kasus lainnya, yang kemudian perlu menjadi perhatian untuk menambahkan poin-poin tambahan dalam kerangka perundingan ketika telah terjadi proses penyelesaian.

Terakhir, pendekatan bargaining menekankan bahwa negara bertindak rasional berdasarkan pertimbangan dan pilihan yang ada. Apabila terdapat banyak pilihan yang ada, maka dapat digunakan oleh sebuah negara untuk ‘menggertak’ negara lain guna mendapatkan kepentingan yang lebih besar. Di sisi lain, adanya bias informasi dapat menyebabkan bias dalam keputusan, yang justru dapat merugikan aktor negara itu sendiri. Di samping itu, persepsi dari pihak pengambil keputusan juga perlu menjadi perhatian karena menentukan posisi tawar dari negara itu. Dalam hal ini, pendekatan bargaining dapat menjelaskan bagaimana posisi tawar Indonesia yang lebih tinggi karena Korea Selatan tidak memiliki basis data dan informasi yang kuat guna membuktikan bahwa Indonesia melakukan praktek

dumping, namun sebaliknya Korea Selatan harus segera menaati keputusan DSB WTO

karena bias keputusan yang ada merugikan kepentingan domestik Indonesia.

Terdapat bermacam-macam posisi dari bargaining dalam proses negosiasi, antara lain: Distributive Bargaining, Integrative Bargaining, Attitudinal Structuring, dan

Intraorganizational Bargaining.

Pertama, posisi tawar distributif lebih banyak berfokus pada penyelesaian konflik penyelesaian yang diawali oleh adanya proses permusuhan antar aktor. Selanjutnya dilakukan proses penyelesaian melalui meja perundingan antara aktor-aktor yang berkonflik. Lalu, posisi tawar integratif merupakan proses penyelesaian permasalahan secara bersama yang tidak mengikutsertakan adanya konflik kepentingan yang dilakukan dengan membuat solusi bersama saling menguntungkan secara kolaboratif. Proses ini dilakukan melalui meja perundingan, namun lebih berfokus pada brainstorming antar para pihak.

Kemudian, Attitudinal Structuring Bargaining cenderung berupaya melakukan pembangunan kepercayaan antara para aktor yang menyebabkan adanya perubahan sikap dan relasi diantara mereka. Upaya yang dilakukan juga menggunakan perundingan tetapi juga mengikutsertakan hal-hal lainnya di luar tujuan awal. Biasanya dalam jenis posisi tawar ini melibatkan struktur informal sebagai pola bargaining dan dapat mempengaruhi jalannya negosiasi maupun pola hubungan yang ada.

(15)

15 Terakhir, posisi tawar intraorganisasi dihasilkan melalui konsensus bersama antara masing-masing pihak, akan tetapi dihasilkan di luar meja perundingan awal karena melibatkan organisasi lain di luar pihak-pihak yang ada sehingga seringkali lebih kompleks.

Kaitannya dengan kasus sengketa antara Indonesia dan Korea Selatan adalah Pemerintah Indonesia memilki posisi bargaining yang lebih besar karena Indonesia memiliki data yang cukup dan terbukti valid dalam DSB WTO yang kemudian ditambahkan dengan strategi linkage yang dijalankan guna menekan Korea Selatan agar segera mencabut keputusan pengenaan BMAD terhadap ekspor produk-produk kertas Indonesia. Adanya pertimbangan untuk melakukan tindakan retaliasi terhadap komoditas impor yang berasal dari Korea Selatan turut menjadi modal besar bagi Indonesia agar negara tersebut segera menaati keputusan Panel DSB WTO.

E. Argumen Utama

Pemerintah Indonesia cenderung melakukan diplomasi agar Pemerintah Korea Selatan mematuhi keputusan hasil akhir Panel DSB WTO melalui penggunaan strategi linkage dalam serangkaian negosiasi yang dilakukan. Indonesia menggunakan strategi linkage berupa pernyataan rencana pengenaan retaliasi terhadap komoditas selain kertas asal Korea Selatan dan mengenakan BMAD pada seluruh produsen kertas negara tersebut secara bersamaan. Strategi linkage ini sebagai respon Indonesia menyikapi kekecewaannya atas dua kali kemenangan dari Korea Selatan dalam sidang Panel DSB WTO, namun negara tersebut tidak segera melaksanakan hasil yang ada.

Dalam menjalankan setiap negosiasi, Indonesia selalu menekankan agar Korea Selatan segera mencabut pengenaan BMAD terhadap perusahaan-perusahaan Sinar Mas Grup dan konsisten melakukan rencana akan meminta otorisasi kepada WTO untuk menjalankan retaliasi. Pemerintah Indonesia juga secara tiba-tiba berani mengenakan BMAD terhadap semua perusahaan kertas Korea Selatan dengan persentase yang besar, guna memberikan pesan yang kuat bahwa Indonesia serius untuk melindungi kepentingan dalam negerinya.

F. Jangka Waktu Penelitian

Tema penelitian ini mencakup pembahasan tentang upaya Indonesia dalam menyikapi ketidakpatuhan Korea Selatan dalam putusan Panel DSB WTO. Rentang waktu yang akan menjadi objek penelitian penulis adalah berkisar tahun 2003-2010. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pembahasan dari tahun sebelumnya dan/atau setelahnya jika memang

(16)

16 terdapat kasus terkait sengketa ini sebagai bahan referensi untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian ini selagi sumber tersebut relevan dengan penelitian ini.

G. Metodologi Penelitian

Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, maka penulis akan menggunakan dua data, yakni: data primer dan sekunder. Data primer akan penulis dapatkan langsung berasal dari sumbernya. Dalam hal ini karena kasus yang dipilih merupakan sengketa yang diproses dan diputuskan dalam WTO, maka penulis akan menggunakan data primer dari Request for Consultation dan Panel Report tentang Korea —

Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia (Dispute No: DS312).

Data ini akan penulis dapatkan langsung dari laman resmi WTO21 dengan menggunakan dokumen resmi WTO yang disebarluaskan, kemudian diunduh penulis untuk selanjutnya dilakukan pendalaman dan analisis.

Sementara data sekunder digunakan berbagai sumber yang memiliki kaitan tentang kasus ini, antara lain: studi pustaka melalui literatur buku, jurnal, artikel, dan media massa. Penulis akan menggunakan data sekunder untuk mengetahui perkembangan terakhir melalui sumber internet dan juga literatur lainnya yang juga membahas kasus-kasus lain mengenai

dumping, like product, dan anti-dumping sehingga dapat membandingkan dan memperkaya

tulisan penulis secara komprehensif.

Dalam teknik analisis data, penulis menggunakan analisis data yang didasarkan pada data primer dan sekunder yang sudah ada. Analisis ini akan berupaya mengurutkan fakta-fakta yang didapatkan kemudian dihubungkan dengan teori dan aturan WTO. Kemudian dijelaskan bagimana penyebab, alasan, akibat, dan pelanggaran oleh Korea Selatan terhadap aturan WTO. Analisis ini akan menjelaskan mengapa dan bagaimana kondisi yang terjadi pada kasus ini dihubungkan dengan analisis ilmu sosial dengan memperhatikan banyak hal.

21 WTO, ‘Dispute Settlement: Dispute Ds312 Korea — Anti-Dumping Duties On Imports Of Certain Paper From Indonesia,’ WTO (daring), 29 Mei 2015, <https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds312_e.htm>, diakses pada 05

(17)

17

H. Sistematika Penulisan Tesis

Penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang permasalahan yang akan dibahas, rumusan masalah, tinjauan pustaka, landasan konseptual, argumentasi utama, metode penelitian, jangkauan penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua merupakan bab pembahasan akan menjelaskan tentang pentingnya komoditas kertas bagi Indonesia dan bagaimana proses rangkaian negosiasi diplomasi Indonesia-Korea Selatan dalam DSB WTO maupun secara hubungan bilateral kedua negara. Lebih lanjut, penulis juga akan menjelaskan aktor-aktor yang ikut serta dalam setiap perundingan. Penulis juga akan memberikan gambaran posisi Indonesia yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat dibandingkan Korea Selatan.

Bab ketiga akan menganalisis tentang bagaimana diplomasi Pemerintah Indonesia dalam menekan Korea Selatan hingga dapat mematuhi keputusan DSB WTO, utamanya melalui proses negosiasi antar kedua negara. Bab ini pula akan menjelaskan posisi setiap negara saat penggunaan strategi linkage, baik dari Indonesia maupun Korea Selatan. Penulis juga akan membandingkan dengan perubahan sikap yang dilakukan oleh Korea Selatan dalam menyelesaikan sengketa perdagangan ini pasca dijalankan strategi linkage oleh Indonesia.

Bab keempat merupakan bab kesimpulan akan menjelaskan tentang penjelasan secara menyeluruh tentang analisis yang sudah disampaikan pada bab sebelumnya serta akan dijelaskan pula mengenai kesimpulan akhir skripsi ini yang akan menjawab pertanyaan rumusan masalah. Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat pada atau digunakan sebagai pembanding penelitian-penelitian yang dilakukan di masa mendatang.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dari Grafik pengujian permeabilitas laboratorium untuk campuran 10% abu sekam padi, didapatkan hasil kesimpulkan yang sama bahwa semakin lama waktu pengujian nilai

Sesuai dengan tugas utama UPT Balai Informasi Teknologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yaitu melaksanakan pengembangan, pelayanan informasi teknologi dan

Pada ultrafiltrasi diamati nilai fluksi permeat dan rejeksi dengan parameter tekanan transmembran, kecepatan alir (kecepatan crossflow ) dan konsentrasi umpan

Pada multifragmentary complex fracture tidak terdapat kontak antara fragmen proksimal dan distal setelah dilakukan reposisi. Complex spiral fracture terdapat dua atau

Oleh karena itu, peristiwa turunnya Al Qur’an selalu terkait dengan kehidupan para sahabat baik peristiwa yang bersifat khusus atau untuk pertanyaan yang muncul.Pengetahuan

Pengelolaan risiko kredit dalam Bank juga dilakukan dengan melakukan proses analisa kredit atas potensi risiko yang timbul melalui proses Compliant Internal

Makalah ini bertujuan untuk mengkaji proses koreksi terrain dan contoh penerapannya pada citra Landsat TM; Kemudian artikel tentang “Perbandingan Teknik Orthorektifikasi Citra