• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA PEMBINAAN KEPRIBADIAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI KELURAHAN SUDIROPRAJAN KOTA SURAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POLA PEMBINAAN KEPRIBADIAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DI KELURAHAN SUDIROPRAJAN KOTA SURAKARTA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

POLA PEMBINAAN KEPRIBADIAN DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

DI KELURAHAN SUDIROPRAJAN KOTA SURAKARTA Novia Wahyu Wardhani1

noviawahyu@mail.unnes.ac.id

Abstrak: Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak keanekaragaman

mulai diantaranya etnis, agama, ras dan golongan. Keanekaragaman disatu sisi merupakan modal social dan modal cultural yang sangat bernilai bagi bangsa ini namun disisi lain keanekaragaman juga dapat menjadi pemicu konflik yang berpotensi menyebabkan disintegrasi bangsa. Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki banyak keanekaragaman walaupun didominasi oleh masyarakat Jawa khususnya di Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Adapun pola-pola pembinaan kepribadian yang terjadi pada kampung-kampung multi etnis dalam mengelola keanekaragaman sebagai sebuah modal sosial dan modal kultural bagi bangsa Indonesia agar tidak terjadi konflik dan disintegrasi.

Kata kunci: Pembinaan, Kepribadian, dan Multikultural

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memiliki banyak keanekaragaman mulai dari suku, agama, ras, dan golongan. Selain itu setiap suku, agama, ras, dan golongan memiliki nilai dan norma yang berbeda. Kompleksitas masyarakat yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan horizontal inilah yang menggambarkan keanekaragaman bangsa ini.

Keanekaragaman telah membawa dampak bagi Indonesia. Keanekaragaman merupakan hal yang dapat memberikan dampak positif dan negatif. Keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia selain menghadirkan dampak yang positif ternyata juga memiliki dampak yang negatif. Dampak positif dari keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia adalah memperkaya

modal sosial dan modal budaya sedangkan dampak negatif dari keanekaragaman tersebut adalah munculnya konflik yang menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa.

Dampak negatif tersebut tidak akan terjadi apabila terdapat pengelolaan keanekaragaman yang baik. Pengelolaan tersebut meliputi penghargaan terhadap keanekaragaman, adanya keseimbangan pengembangan keanekaragaman, dan pembinaan kepribadian masyarakat melalui pendidikan multikultural.

Banyak contoh konflik yang dapat dilihat yang terjadi di Indonesia akibat pengelolaan keanekaragaman yang tidak baik. Mulai dari tahun 1998 kasus Poso, tahun 2000 adanya kasus di Ambon dan di Papua, tahun 2001 kasus Sampit, dan yang terbaru tahun 2012 adalah kasus di Sampang dan di Lampung. Semua contoh

(2)

kasus tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan suku, agama, ras, dan golongan. Pengelolaan terhadap perbedaan dengan demikian adalah hal yang penting untuk segera dilakukan sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila untuk membentuk manusia yang berKetuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, berkerakyatan, dan berkeadilan.

Pembinaan kepribadian masyarakat melalui pendidikan multikultural merupakan salah satu hal yang penting dalam mencegah terjadinya konflik yang ditimbulkan dari adanya keanekaragaman. Pembinaan kepribadian disini dapat diartikan sebagai menumbuhkan rasa menghargai, menghormati, dan mau menerima perbedaan. Individu yang memiliki ketiga hal tersebut mampu menempatkan dirinya pada situasi-situasi yang memicu konflik akibat perbedaan. Pembinaan kepribadian dapat dilakukan melalui keluarga, masyarakat (paguyuban dan perkumpulan), dan sekolah.

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki banyak keanekaragaman khususnya etnis. Hal ini dapat dilihat dari adanya tempat tinggal etnis diantaranya Pasar Kliwon yang didominasi etnis Arab. Selanjutnya daerah Sampangan yang sebagian warganya adalah etnis Madura. Kemudian etnis Tionghoa yang banyak bertempat tinggal di Sudiroprajan. Meskipun begitu namun ada harmonisasi hubungan yang bergulir antar etnis tersebut sejak zaman dahulu dengan etnis dominan yang ada di Surakarta yaitu Jawa khususnya di kelurahan Sudiroprajan. Toleransi antar

etnis tersebut di Surakarta didasari oleh adanya sikap menerima, menghargai, dan membangun kebersamaan atas berbagai perbedaan. Penelitiuan ini ingin menjawab pertanyaan tentang bagaimana sejarah multikulturalisme di Sudiroprajan dan pola pembinaan kepribadian sehingga tercipta masyarakat multikultural?

KAJIAN PUSTAKA Masyarakat multikultural

Menurut C.W. Watson (1998) dalam bukunya multikulturalism, membicarakan masyarakat multikultural adalah membicarakan tentang masyarakat negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam kesederajatan. Masyarakat multikultural memang bukanlah masyarakat yang homogeny namun memiliki karakteristik heterogen. Masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud antara lain, keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit, rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam sebuah masyarakat multikultural harus ada pola hubungan yang saling menghargai, menghormati, toleransi, dan mau menerima perbedaan karena jika tidak maka sangat mungkin terjadi konflik baik

(3)

vertikal maupun horizontal yang dapat menimbulkan konflik dan disintegrasi.

Indonesia merupakan Negara yang masyarakatnya multikultural. Hal ini terbukti di Indonesia memiliki banyak terdapat etnis atau suku yang memiliki banyak perbedaan baik dari budaya, nilai, dan norma. Perbedaan ini dapat dilihat dari perbedaan bahasa, norma, agama, pandangan hidup, pola tingkah laku dan lain-lain. Dalam perbedaan tersebut Indonesia menyadari dan menerima dengan memasukkan nilai kemanusiaan dan persatuan. Bahkan semboyan negarpun Bhineka Tunggal Ika sudah menyatakan bahwa Indonesia kaya akan keanekaragaman namun tetap menjunjung persatuan yanitu Indonesia.

Konsepsi Tentang Masyarakat Multikultural dijelaskan oleh J.S. Furnivall (1967) sebagai masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas (kelompok) yang secara kultural dan ekonomi terpisah-pisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda-beda satu sama lainnya. Dengan demikian, berdasarkan konfigurasi (susunannnya dan komunitas etnisnya) masyarakat majemuk dibedakan menjadi empat kategori, yaitu: a. Masyarakat majemuk dengan

komposisi seimbang

b. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan

c. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan

d. Masyarakat majemuk dengan fragmentasi

Masyarakat multikultural juga memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan masyarakat homogeny. Hal ini dijelaskan

oleh Pierre L. Vanden Berghe yang menyebutkan sifat-sifat dari masyarakat multikultural adalah sebagai berikut : a. Terjadinya segmentasi dalam bentuk

kelompok-kelompok yang sering kali memiliki sub-kebudayaan yang satu sama lain berbeda.

b. Memiliki struktur sosial yang berbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer.

c. Kurang mengembangkan consensus di antara para anggotanya terhadap nilai-nilai yang bersifat dasar.

d. Secara relative, sering kali mengalami konflik-konflik di antara kelompok yang satu dangan kelompok yang lainnya.

e. Secara relative, integritas social tumbuh di atas paksaan dan ketergantungan di dalam bidang ekonomi.

f. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok-kelompok yang lainnya.

Masyarakat multikultural sama halnya dengan masyarakat majemuk. Masyarakat majemuk oleh Nasikun (2004) dikatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang menganut berbagai system nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa sehingga para anggotanya kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain. Jadi masyarakat majemuk dan masyarakat

(4)

multikultural haruslah memiliki rasa menghargai perbedaan.

Kemudian dipertegas oleh Clifford Geertz (1973) yang menyebut konsep masyarakat majemuk sebagai ”masyarakat pluralistik”. Masyarakat Plural setidak-tidaknya ditandai oleh ikatan-ikatan primodial yang dapat diartikan dengan budaya pencitraan atau “penandaan” yang diberikan (given), diantaranya: Ras, Bahasa, Daerah/ wilayah Geografis, Agama, dan Budaya. Sifat atau cirri inilah yang menjadikan didalam masyarakat multikultural tersebut berpotensi menimbulkan konflik dan disintegrasi.

Melihat adanya perbedaan dalam masyarakat multikultural maka orang-orang yang berada dalam kondisi tersebut harus memiliki sifat dan sikap sebagai berikut:

a. Pengakuan terhadap adanya perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam bermasyarakat. b. Adanya penghormatan dan

penghargaan terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang mayoritas maupun minoritas.

c. Adanya toleransi dalam keanekaragaman dan perbedaan, baik sebagai individu maupun kelompok.

Sedangkan sikap yang harus dihindari dalam hubungannya dengan masyarakat multikultural adalah:

a. Primordialisme

Primordialisme artinya perasaan kesukuan yang berlebihan. Anggapan bahwa suku bangsanya sendiri yang paling unggul, maju, dan merupakan sikap yang tidak boleh dikembangkan di masyarakat yang multikultural. Apabila

sikap ini ada dalam diri warga suatu bangsa, maka kecil kemungkinan mereka untuk bisa menerima suku bangsa yang lain yang berbeda.

b. Etnosentrisme

Etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain. Sikap mengunggulkan diri sendiri dan meremehkan keberadaan yang lain yang berbeda darinya mampu menyebabkan disintegrasi.

c. Diskriminatif

Diskriminatif adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap membeda-bedakan perlakuan akibat perbedaan itu merupakan hal yang harus dihindari dalam masyarakat multikultural karena akan mengakibatkan konflik akibat ketidak adilan.

d. Stereotip

Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Stereotip merupakan sikap yang salah yang harus dibuang jauh-jauh jika ingin menjaga dan mempertahankan masyarakat multikultural dengan baik.

Poin-poin yang harus dimiliki dan dihindari inilah yang nantinya akan menjadikan pembinaan kepribadian dalam masyarakat multi etnis dapat berjalan dengan lancar.

(5)

Multikulturalisme

Multikulturalisme memiliki banyak definisi yang intinya pada penerimaan dan penghargaan terhadap keanekaragaman dan perbedaan. Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007). Selanjutnya Blum mengatakan Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lubis, 2006:174). Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007). Modood mengatakan bahwa masyarakat multikultural tidak sekedar penyesuaian budaya traditional atas kebutuhan warga imigran dan warga minoritas seperti kebebasan individu di dalam kelompoknya tetapi Masyarakat Multikultural dipahami sebagai kesetaraan individu dan masyarakat dalam demokrasi yang berusaha beradaptasi secara positif bukan merusak, persatuan dan persamaan

identitas masyarakat dan nasional (Zamroni, 2008). Modood mengatakan bahwa masyarakat multikultural tidak sekedar penyesuaian budaya traditional atas kebutuhan warga imigran dan warga minoritas seperti kebebasan individu di dalam kelompoknya tetapi Masyarakat Multikultural dipahami sebagai kesetaraan individu dan masyarakat dalam demokrasi yang berusaha beradaptasi secara positif bukan merusak, persatuan dan persamaan identitas masyarakat dan nasional (Zamroni, 2008).

Banyak usaha yang telah dilakukan pemerintah Kota Surakarta dalam menjaga harmonisasi hubungan antar etnis sebagai masyarakat multikultural yang ada di Kota Surakarta baik melalui organisasi, paguyuban, perkumpulan, tokoh-tokoh masyarakat, maupun melalui sekolah. Melalui pola pembinaan kepribadian inilah harapan adanya harmonisasi kehidupan antar etnis dan suku dapat terealisasi.

Pendidikan multikultural

Pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai suatu rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu, kelompok maupun negara (Banks & Banks, 2001). Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan

(6)

multikultural dapat berlangsung dalam

setting pendidikan formal atau informal,

langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Aly, 2005).

Dari beberapa definisi tersebut diketahui bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang harus ada dalam masyarakat yang plural sebagai penjaga hubungan keharmonisan dalam perbedaan. Pendidikan itu sangat diperlukan terutama oleh negara Indonesia yang kaya akan keanekaragaman dan perbedaan.

Dalam konteks implementasinya di Indonesia, pendidikan multilkultural itu dapat dilihat atau diposisikan sebagai berikut.

a. Sebagai falsafah pendidikan

Sebagai falsafah pendidikan yaitu pandangan bahwa kekayaan keberagaman budaya Indonesia hendaknya dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk mengembangkan dan meningkatkan sistem pendidikan dan kegiatan belajar-mengajar di Indonesia guna mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur (berbarkat) dan bahagia dunia akhirat.

b. Sebagai pendekatan pendidikan Sebagai pendekatan pendidikan yaitu penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan yang kontekstual, yang memperhatikan keragaman budaya Indonesia. Nilai budayadiyakini mempengaruhi pandangan, keyakinan,

dan perilaku individu (pendidik dan peserta didik), dan akan terbawa ke dalam situasi pendidikan di sekolah dan pergaulan informal antar individu, serta mempengaruhi pula struktur pendidikan di sekolah (kurikulum, pedagogi dan faktor lainnya).

c. Bidang kajian dan bidang studi

Sebagai bidang kajian dan bidang studi yaitu disiplin ilmu yang dibantu oleh sosiologi dan antropologi pendidikan menelaah dan mengkaji aspek-aspek kebudayaan, terutama nilai-nilai budaya dan perwujudannya (norma, etiket atau tatakrama, adat-istiadat atau tradisi dan lain-lain mencakup “manifestasi budaya” agama) untuk/dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan. Hasil telaah dan kajian ini akan dapat menjadi bidang studi yang diajarkan secara operasional (dan kontekstual) kepada para calon pendidik yang mungkin akan berhadapan dengan keragaman budaya (tidak harus untuk semua). Sebaliknya, “proses pendidikan yang multikultural” itu pun harus juga terus dikaji, ditelaah baik efektivitas dan efisiensinya, maupun dan terutama kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi Indonesia, dan ketepatan sesuai dengan hakekatnya (Zamroni, 2011; Amirin, 2012).

Maliki mengatakan pendidikan multikultural di Indonesia hendaknya dilakukan dengan memperhatikan perspektif pengelolaan pluralisme budaya yang ada di masyarakat, yang pada tataran teoritik terdapat dua perspektif, yaitu: a. Pendekatan convensionalism

Pendekatan ini mengakui keanekaragaman identitas budaya. Dalam hal ini masing-masing entitas budaya

(7)

diberi hak membawa simbol-simbol dan lambang yang mereka milikike ranah publik. Konsep kesatuan dalam hal ini distruktur oleh keragaman budaya atau yang dikenal dengan unity in diversity. b. Perspektif deconvensionalism

Perspektif dalam hal ini harus ada penataan pengelolaan simbol-simbol askribtif di ruang publik. Simbol dan lambang-lambang yang direpresentasikan identitas atau budaya partikular tidak boleh di bawa ke ranah publik. Dalam interelasi dengan publik hanya diperbolehkan memakai lambang atau simbol-simbol bersama. Konsep kesatuan kemudian dikenal dengan unity without

diversity (Maliki, 2010: 263).

Berdasarkan kajian diatas maka peran sekolah adalah sebagai pendukung proses internalisasi nilai-nilai multikultural yang ada dalam keluarga dan masyarakat. Tanpa adanya dukungan sekolah sebagai embrio dari masyarakat maka tujuan dari pembentukan kepribadian untuk menjaga keharmonisan hubungan antar etnis dengan segala perbedaannya tidak akan berjalan dengan baik.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian kualitatif yang disajikan berupa data deskriptif. Peneliti berperan sebagai intrumen penelitian yang mengamati, mencatat, dan mendokumentasikan keadaan di Sudiroprajan. Langkah-langkah penelitian menggunakan model interaktif yang diawali dengan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau

verifikasi (Miles dan Huberman, 1992:22).

Alat pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik keabsahan data menggunakan Teknik Triangulasi yang dilakukan dengan langkah-langkah membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara dan dokumentasi dan pengecekan penemuan hasil penelitian. Prosedur penelitian ini meliputi tahap pembuatan rancangan, pelaksanaan penelitian, dan penyusunan laporan.

PEMBAHASAN

Sejarah Multikultural di Kota Surkarta Melihat sejarah kehidupan masyarakat sejak tahun 1746 dimana pada tahun tersebut lahirlah Kota Surakarta sejak saat itulah kondisi harmoni multikultural sudah terlihat dalam struktur tata kota. Hal ini ditunjukkan dengan kebijakan settlement atau penetapan tempat tinggal yang dilakukan secara harmonis, yang mencakup lingkungan dalam keraton maupun luar keraton. misalnya Kampung Mangkubumen yang merupakan tempat tinggal Gusti Pangeran Arya Mangkubumi, Kampung Jayadiningratan sebagai tempat tinggal Tumenggung Jayadiningrat (lihat Sajid,

Babad Sala). Demikian pula dengan

peraturan untuk etnis di luar Jawa, yang diantaranya bertempat tinggal di Pasar Kliwon yang didominasi etnis Arab, Sampangan sebagai tempat tinggal etnis Madura, Kebalen sebagai tempat tinggal etnis Bali, Banjaran sebagai tempat tinggal etnis Banjar, sedang etnis Tionghoa bertempat tinggal di Balong, Samaan, Mijen, Kepanjen.

(8)

Pada masa sekarang ini ternyata Surakarta tetap menjadi kota yang multikultur hal ini diungkapkan oleh Nurhadiantomo bahwa mayoritas penduduk Surakarta adalah suku Jawa, selebihnya terdiri dari etnis Cina, keturunan Arab, keturunan India, suku Madura, Banjar, Sunda, Minang dan lain-lan (Nurhadiantomo, 2006: 15).

Namun tidak dipungkiri dari banyaknya etnis tersebut banyak gesekan konflik yang dialami. Mulyadi dkk sebagaimana dikutip oleh Rahardjo, (2005: 111) mengatakan bahwa Solo telah mengalami konflik sosial sebanyak 11 kali yang dimulai sejak jaman pemerintah kolonial Belanda. Sebanyak 7 kali di antaranya adalah peristiwa rasial anti etnis Cina, misalnya ketika Sarikat Islam (SI) yang dipimpin oleh Haji Samanhudi melakukan perlawanan terhadap dominasi etnis Cina dalam perdagangan batik (1913); kerusuhan anti Cina yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda etnis Cina dengan pemuda etnis Jawa (1980); dan kerusuhan Mei 1998 yang dipicu oleh krisis politik di tingkat pusat menjelang berakhirnya kekuasaan pemerintah Orde Baru.

Pola Pembinaan Kepribadian di Sudiroprajan

Gambar 1. Faktor yang mempengaruhi pemahaman multikulturalisme

Pola pembinaan kepribadian menghargai, menghormati, dan toleransi ada dalam tiga pola yaitu dalam masyarakat melalui kebersamaan, dalam keluarga melalui percontohan dari kedua orang tua yang rata-rata hasil dari kawin campur, dan dari sekolah melalui implementasi pendidikan multikultural di lingkungan sekolah.

Pertama, bagi warga kampung,

kebersamaan, gotong royong dan toleransi menjadi faktor penting yang mempererat hubungan antar warga. Kebersamaan ini sering kali terbangun melalui bentuk-bentuk interaksi yang secaraekonomi tidak produktif, semacam ‘jagongan,’ (duduk

ngobrol santai) di ‘cakruk’ (pos

ronda),tetapi sebenarnya dapat menghilangkan sekat-sekat yang mungkin ditimbulkan oleh perbedaan keturunan dan agama. Forum-forum lain yang dirasakan dapat memupuk kebersamaan adalah arisan, rapat RT, dan kegiatan bersama dalam merayakan hari-hari besar, semacam ulang tahun kemerdekaan, lebaran, natal, dan imlek. Dalam acara-acara seperti ini dapat dilihat sangat eratnya rasa kekeluargaan dan gotong royong seperti halnya jika aka nada ulang tahun kemerdekaan maka masyarakat bekerjasama untuk membersihkan dan menata kampong. Begitu juga rasa saling menghormati, menghargai, dan toleransi tercermin dalam peringatan hari raya lebaran, natal, dan imlek misalnya adanya grebeg sudiro saat hari raya imlek yang diikuti semua masyarakat tanpa memandang perbedaan semua melebur jadi satu kegembiraan.

Kedua, Pola pembinaan dalam

(9)

multikultur yaitu keluarga hasil kawin campur. Di kelurahan Sudiroprajan ada yang dinamakan kawin ampyang yaitu kawin beda etnis jawa-cina. Pola pembinaan didalam keluarga dapat dilihat dari bagaimana orang tuanya memberikan contoh dalam hal menghargai, dan menerima perbedaan inilah yang kemudian turut mempererat keharmonisan hubungan multikultur di daerah tersebut

Ketiga, Pola pembinaan

kepribadian di lingkungan sekolah. Meskipun secara tidak langsung dtidak berdampak signifikan namun iklim pendidikan multikultural di sekolah-sekolah di kelurahan Sudiroprajan telah

mendukung pemahaman

multikulturalisme siswa. Meskipun tidak secara eksplisit ada dalam pembelajaran namun pendidikan multikulturan

SIMPULAN

Masyarakat multikultural merupakan masyarakat yang memiliki cirri keanekaragaman dan perbedaan namun terdapat harmonisasi hubungan yang baik diantara masyarakatnya. Dalam membentuk masyarakat multikultural yang harmonis ada hal-hal yang harus dimiliki oleh para individu-individu maupun kelompok dalam menghadapi perbedaan yaitu adanya rasa saling menghargai, menghormati, toleransi, dan mau menerima perbedaan. Adapun hal-hal yang harus dihindari dalam hubungan antar masyarakat multikultural antara lain : primodialisme, etnosentris, diskriminatif, dan stereotip. Dalam menjaga keharmonisan hubungan adapun pola-pola pembinaan yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat, dan sekolah dalam

membentuk masyarakat multikultural yang baik.

DAFTAR RUJUKAN

Aly, A. 2005. “Pendidikan Multikultural

dalam Tinjauan Pedagogik”.

Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural

sebagai Seni Mengelola

Keragaman, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan

Perubahan Sosial (PSB-PS).

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Sabtu, 8 Januari 2005. Amirin, Tatang M. 2012. Implementasi

Pendekatan Pendidikan

Multikultural Kontekstual Berbasis Kearifan Lokal Di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasidan Aplikasi. Volume 1,

Nomor 1, Juni, 2012.

Azra, Azyumardi. 2007. “Identitas dan

Krisis Budaya, Membangun

MultikulturalismeIndonesia”,http:/ /www.kongresbud.budpar.go.id/58

%20ayyumardi%20azra.htm.

Banks, James A dan Banks, C.A.M. (Eds). 2001. Handbook of Research on

multikultural Education. New

York: MacMillan.

Harahap, Ahmad Rivai. 2004.

“Multikulturalisme dan

Penerapannya dalam

pemeliharaan kerukunan Umat Beragama”.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Deskontruksi

Epistemologi Modern. Jakarta:

Pustaka Indonesia Satu.

Miles, Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data

(10)

Metode-Metode Baru. Jakarta: UI

Press.

Zamroni. 2008. Multikultural Education:

Philosophy, Policy and practice vol. 1 A Reader. Yogyakarta:

Graduate Program The State University of Yogyakarta.

Zamroni. 2011. Pendidikan Demokrasi

Pada Masyarakat Multikultural.

Referensi

Dokumen terkait

We present a dressed-atom theory of a four-level, double-A atomic configruation interacting with a strong laser light which induces a superposition of two lower states.. The presence

An HTAP system would also have to work across multiple storage engines, because, typically, HTAP systems have to support both transactional (write-heavy, with large

Menurut UU No 20 tahun 2008, entitas kecil dan menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha

Dengan kata lain, Kinerja manajemen bank dalam menghasilkan aspek profitabilitas dapat diukur melalui rasio Return On Assets (ROA) yang merupakan indikator terhadap

Pendapatan Pendaftaran Per 31 Juli 2017 Bimbel Newton. No Nama Tanggal

• Menjalankan tugas lain yang diarahkan oleh Pengetua / PK HEM dari semasa ke semasa.. J AWATANKUASA BIMBINGAN DAN KAUNSELING

“ Bahasa di sini berbeda, jadi aku harus berbahasa Indonesia terus setiap hari 24 jam full jika berkomunikasi dengan orang lain yang jelas berbeda budaya gini tapi lama-lama

Dengan adanya sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan YangMaha Esa”, maksud dari para pendiri republik ini yang berasal dari golongan agama tetap terakomodir. Kepemimpinan