• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Blended Learning

Secara etimologi istilah blended learning terdiri dari dua kata blended dan learning. Kata blend berarti campuran, bersama untuk meningkatkan kualitas agar bertambah baik (Zhao, 2008), atau formula suatu penyelarasan kombinasi atau perpaduan. Sedangkan learning memiliki makna umum yakni belajar. Dengan demikian blended learning sepintas mengandung makna yaitu pola pembelajaran yang mengandung unsur percampuran atau penggabungan antara satu pola dengan pola lainnya. Zhao (2008) menyampaikan bahwa yang dicampurkan adalah dua unsur utama, yakni pembelajaran di kelas (classroom lesson) dengan online learning.

Pada perkembangannya yang lebih dikenal adalah istilah blended e-learning dibandingkan dengan blended e-learning. Kedua istilah tersebut merupakan isu pendidikan terbaru dalam perkembangan globalisasi dan teknologi blended e-learning. Zhao (2008) menjelaskan bahwa isu mengenai blended e-learning sulit untuk didefinisikan karena merupakan sesuatu yang baru. Blended e-learning yaitu penggabungan aspek blended e-learning yang termasuk web-based instruction, streaming video, audio, synchronous and asychronous communication atau aspek terbaik pada aplikasi teknologi informasi blended e-learning, yang dipadukan dengan kegiatan tatap muka. Blended e-learning adalah kombinasi atau

(2)

penggabungan pendekatan aspek blended e-learning yang berupa web-based instruction, video streaming, audio, komunikasi synchronous dan asynchrounous dalam jalur blended learning system LSM dengan pembelajaran tradisional tatap-muka termasuk metode dan teori belajar mengajar (Rosenberg, 2001).

2.2 Karakteristik Blended e-Learning

Karakteristik blended e-learning adalah merupakan sumber suplemen dengan menggunakan pendekatan tradisional juga mendukung lingkungan belajar virtual melalui suatu lembaga dan rancangan pembelajaran yang mendalam pada saat perubahan tingkatan praktik pembelajaran dan pandangan tentang semua teknologi digunakan untuk mendukung pembelajaran. Penerapan suatu model pembelajaran harus berdasarkan teori belajar yang cocok untuk proses pembelajaran agar kelangsungan proses tersebut dapat sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan (Rosenberg, 2001).

Individual learning dalam teori ini berarti pelajar adalah peserta yang aktif, dapat membangun pengetahuan mereka sendiri, secara subjektif, dinamis dan berkembang. Kemudian memproses dan memahami suatu informasi, sehingga pelajar memilik pembelajarannya sendiri. Pelajar membangun pengetahuan mereka berdasarkan atas pengetahuan dari pengalaman yang mereka alami sendiri. Teori belajar berikutnya yang melandasi model blended e-learning adalah teori belajar kognitf. Pendekatan kognitif menekankan bagan sebagai satu struktur pengetahuan yang diorganisir (Gagne & Griggs, 2005) dimana Bloom mengindentifikasi enam tingkatan belajar kognitif yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, dan sintesis.

(3)

2.3 Pengembangan Model Blended e-Learning

Secara terminologis maka blended e-learning menekankan pada penggunaan internet (Rosenberg, 2001) yaitu menekankan bahwa blended e-learning merujuk pada penggunaan teknologi internet untuk mengirimkan serangkaian solusi yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Dalam pendidikan, blended e-learning memiliki makna sebagai berikut (Zhao, 2008) yaitu :

 Blended e-learning merupakan penyampaian informasi, komunikasi, pendidikan, pelatihan-pelatihan tentang materi keguruan, baik substansi materi pelajaran maupun ilmu pendidikan secara online.

 Blended e-learning menyediakan seperangkat alat yang dapat memperkaya nilai belajar secara konvensional (kajian terhadap buku teks, CD-ROM, dan latihan berbasis komputer) sehingga dapat menjawab tantangan perkembangan globalisasi.

 Blended e-learning tidak berarti menggantikan model belajar konvesional di dalam kelas, tetapi memperkuat model belajar tersebut melalui pengayaan content dan pengembangan teknologi pendidikan.

 Kapasitas amat bervariasi tergantung pada bentuk isi dan cara penyampaiannya. Makin baik keselarasan antar content dan alat penyampaian dengan gaya belajar, maka akan lebih baik kapasitas siswa sehingga akan memberikan hasil yang lebih baik.

(4)

 Memanfaatkan jasa teknologi elektronik, dimana guru dan siswa, siswa dan sesama siswa atau guru dan sesama guru dapat berkomunikasi dengan relatif mudah tanpa dibatasi oleh hal-hal yang protokoler.

 Memanfaatkan keunggulan komputer (digital media dan komputer networks).

 Menggunakan bahan ajar bersifat mandiri (self learning materials) yang dapat diakses oleh guru dan siswa kapan saja dan di mana saja bila yang bersangkutan memerlukannya.

 Memanfaatkan jadwal pembelajaran, kurikulum, hasil kemajuan belajar dan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pendidikan lainnya yang dapat diakses setiap saat.

Haughey (dalam Yuhetty & Hardjito, 2004) menjelaskan mengenai pengembangan blended e-learning bahwa terdapat tiga kemungkinan dalam pengembangan sistem pembelajaran berbasis internet, yaitu:

 Web course adalah penggunaan internet untuk keperluan pendidikan, dimana peserta didik dan pengajar sepenuhnya terpisah dan tidak diperlukan adanya tatap muka.

 Web centric course adalah penggunaan internet yang memadukan antar belajar jarak jauh dan tatap muka (konvesional).

 Web enhanced course adalah pemanfaatan internet untuk menunjang peningkatan kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas.

(5)

2.4 Prosedur Blended Learning dalam Pembelajaran

Peningkatan kualifikasi tenaga pengajar merupakan salah satu prioritas pemerintah Indonesia. Untuk itu pemerintah menggiatkan program pengajaran yang berbasis pada teknologi informasi dan komunikasi dengan menggunakan internet sebagai media utama, dan tatap muka dilakukan hanya beberapa kali pada program residensial, selebihnya menggunakan program e-learning. Keberhasilan sistem pembelajaran jarak jauh yang menggunakan e-learning sebagai alat utama, sangat menentukan model learning management system (LMS) yang dikembangkan. Model blended e-learning merupakan kombinasi dari beberapa pendekatan pembelajaran yaitu pembelajaran konvensional berupa tatap muka dan e-learning berbasis internet (Yuhetty & Hardjito, 2004).

Gagne dan Griggs (2005) mengemukakan mengenai kriteria belajar yang efektif yaitu melibatkan pembelajaran dalam proses belajar; mendorong munculnya keterampilan untuk belajar mandiri; meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pembelajar; dan memberi motivasi untuk belajar lebih lanjut. Haughey (dalam Yuhetty & Hardjito, 2004) mengemukakan bahwa tutor dalam pelaksanaan tugasnya memiliki peran yang berfungsi sebagai motivator; fasilitator; sebagai pembimbingan dan evaluator; pengembangan materi pelajaran; pengelola proses belajar mengajar; dan agen pembaharuan. Di samping itu, tugas tutor selaku pengajar meliputi fungsi sebagai informator, organisator, motivator, pengarah, inisiator, transmiter, fasilitator, mediator, dan evaluator.

Konsep tutorial adalah suatu proses pemberian bantuan dan bimbingan belajar dari seseorang kepada orang lain, baik secara perorangan maupun kelompok. Dalam konsep ini, tutorial merupakan layanan belajar yang

(6)

memungkinkan terjadinya proses pembelajaran dengan karakteristik yang berbeda, seperti dosen yang berfungsi sebagai fasilitator kegiatan belajar bukan sebagai pengajar. Jenis tutorial yang umumnya dilakukan adalah tutorial on-line (Yuhetty & Hardjito, 2004). Model tutorial on-line adalah model tutorial yang menggunakan jaringan komputer. Materi diberikan dalam bentuk naskah tutorial yang dapat diakses dimana saja tanpa harus bertatap muka dengan tutor. Dalam model ini, tutor harus mempersiapkan naskah tutorial yang memungkinkan terjadinya interaksi antar tutor dan siswa. Selain itu, partisipasi secara aktif dari siswa juga sangat diperlukan karena mempengaruhi nilai akhir tutorial.

2.5 Learning Style

Gaya belajar atau learning style adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang siswa dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berpikir, dan memecahkan soal (Nasution, 2008). Gaya belajar juga dapat diartikan sebagai cara yang cenderung dipilih seseorang untuk menerima informasi dari lingkungan dan memproses informasi tersebut. Gaya belajar juga merupakan preferensi siswa terhadap proses atau aktivitas di dalam pembelajaran.

DePorter dan Hernacki (2006) mengemukakan bahwa secara umum gaya belajar terbagi menjadi tiga kategori bagian yang biasa dikenal dengan VAK (Visual / penglihatan, Auditori / Pendengaran, dan Kinestetik / Gerakan). Kemampuan yang dimiliki otak dalam menyerap, mengelola dan menyampaikan informasi, cara belajar individu dapat di bagi ke dalam tiga kategori. Ketiga kategori tersebut adalah cara belajar visual, auditorial dan kinestetik yang ditandai dengan ciri-ciri perilaku tertentu. Pengkategorian ini tidak berarti bahwa individu

(7)

hanya yang memiliki salah satu karakteristik cara belajar yang lain. Pengkategorian ini hanya merupakan pedoman bahwa individu hanya memiliki salah satu karakteristik yang paling menonjol sehingga ketika mendapatkan rangsangan yamg sesuai dalam belajar maka akan memudahkan untuk menyerap pelajaran.

Gaya belajar menunjukkan cara seorang individu dalam memproses informasi dengan tujuan mempelajari dan menerapkannya. Vermunt (1992) menggunakan istilah gaya belajar sebagai keseluruhan dari tiga domain yaitu proses kognisi dan afeksi terhadap materi, model belajar mental, dan orientasi belajar. Orientasi belajar diartikan sebagai keseluruhan domain yang memuat tujuan, intensi, motif, harapan, sikap dan ketertarikan mengenai individu terhadap proses belajar.

Beberapa ahli membagi gaya belajar melalui perspektif yang bervariasi sehingga didapatkan varian‐varian pembagian gaya belajar. DePorter dan Hernacki (2006) membagi gaya belajar individu berdasarkan jenis tampilan informasi yang diberikan kepada siswa menjadi tiga kategori, yaitu: (1) gaya visual yang menjelaskan individu lebih menyukai memproses informasi melalui penglihatan, (2) auditori yang menyukai informasi melalui pendengaran, dan (3) kinestetik yang menyukai informasi melalui gerakan, praktek atau sentuhan.

2.6 Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi adalah dorongan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengejar dan mencapai tujuan (Newstrom & Davis, 1997). Corsini (2002) mendefinisikan motivasi berprestasi sebagai kebutuhan untuk mengatasi rintangan

(8)

dan menguasai tantangan yang sulit. Menurut Sukmadinata (2005), motivasi berprestasi adalah motif untuk berkompetisi baik dengan dirinya atau dengan orang lain dalam mencapai prestasi yang tertinggi. Motivasi berprestasi adalah motivasi intrinsik untuk mencapai yang terbaik untuk diri sendiri dan tidak mengikuti motif yang dimiliki orang lain. Sedangkan menurut Henson dan Eller (1999), motivasi berprestasi didefinisikan sebagai tindakan dan perasaan yang dihubungkan dengan mencapai standar internal dari kesempurnaan.

Chaplin (2006) berpendapat bahwa motivasi berprestasi mempunyai empat pengertian. Pertama, kecenderungan memperjuangkan kesuksesan atau memperoleh hasil yang sangat didambakan. Kedua, keterlibatan ego dalam suatu tugas. Ketiga, pengharapan untuk sukses dalam melaksanakan suatu tugas. Keempat, motif untuk mengatasi rintangan-rintangan atau berusaha melaksanakan secepat dan sebaik mungkin pekerjaan-pekerjaan yang sulit. Jadi motivasi berprestasi adalah kecenderungan seseorang untuk berjuang demi kesuksesan penampilannya, mengevaluasi kembali standar yang dimilikinya agar dapat terus maju, serta dapat menikmati kesuksesan yang telah didapatkan.

Motivasi berprestasi adalah penggerak psikis dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar, dan memberikan tujuan pada kegiatan belajar demi tercapainya suatu tujuan tertentu (Sukmadinata, 2005). Menurut Kusuma (2002) motivasi berprestasi adalah dorongan seseorang untuk mengerjakan suatu tugas dengan sebaik-baiknya karena kebutuhan yang didasarkan pada kerangka acuan keberhasilan. McClelland dan Atkinson (Slavin, 1997) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah kecenderungan secara umum untuk berjuang dalam mencapai sukses dan untuk

(9)

menentukan bagaimana cara untuk mencapai kesuksesan suatu kegiatan. Murray (Alwisol, 2004) berpendapat bahwa motivasi berprestasi adalah kecenderungan seseorang untuk menyelesaikan sesuatu yang sulit dan menarik, menguasai, mengatasi rintangan, mencapai standar, dan berbuat sebaik mungkin agar dapat bersaing mengungguli orang lain.

2.7 Jenis-jenis Motivasi

Lepper, Greene, dan Nisbett (Santrock, 2001) membagi motivasi menjadi dua bagian besar yaitu motivasi instrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah kecenderungan alamiah untuk mencari dan menaklukkan semua tantangan dengan kemampuan yang kita punyai yang kita dapat dari hasil latihan dan kemampuan pribadi. Pada motivasi instrinsik, individu meraih kesuksesan atau prestasi untuk memperoleh rasa puas akan penguasaan dan pembelajaran materi. Motivasi instrinsik meliputi faktor keingintahuan, tantangan, usaha, dan pengendalian diri, sedangkan motivasi ekstrinsik meliputi faktor di luar diri seperti hukuman dan hadiah atau penghargaan (Santrock, 2001).

Sejalan dengan pendapat di atas, Gottfried, Renninger, Hidi, dan Krapp (dalam Slavin, 1997) mengatakan bahwa motivasi belajar tergantung kepada dua aspek, yaitu: instrinsic incentive dan extrinsic incentive. Instrinsic incentive adalah apabila siswa menyukai belajar tentang topik tertentu seperti serangga, dinosaurus, atau orang-orang terkenal dalam sejarah dan hanya membutuhkan sedikit dorongan atau hadiah untuk melakukan kegiatan tersebut. Extrinsic incentive adalah apabila penghargaan atau hadiah terhadap suatu kegiatan seperti peringkat yang bagus, pujian, dan lain-lain adalah hal yang membuat anak menjadi termotivasi untuk belajar.

(10)

Motivasi ekstrinsik adalah ketika melakukan sesuatu karena takut akan hukuman, menyenangkan orang lain, dan mendapatkan penghargaan. Individu dengan motivasi ekstrinsik berusaha untuk berprestasi karena adanya hadiah yang akan mereka peroleh apabila mereka melakukannya dengan baik sedangkan akan memperoleh hukuman apabila hasil kerja mereka jelek atau buruk.

Brunner (Steinberg, 2005) menyatakan bahwa karena motivasi instrinsiklah keinginan untuk belajar dapat bertahan, maka motivasi instrinsiklah yang dapat membuat efek yang signifikan dibandingkan dengan motivasi eksternal. McClelland dan Atkinson (dalam Slavin, 1997) menyatakan bahwa motivasi terdiri dari 3 jenis yaitu motivasi afiliasi, motivasi berkuasa, dan motivasi berprestasi. Motivasi afiliasi adalah kebutuhan untuk bergaul. Jika kadar motivasi afiliasi seseorang tinggi, artinya kita selalu berusaha menjaga hubungan baik pertemanan. Motivasi berkuasa adalah keinginan kita mengatur orang atau institusi tertentu. Motivasi ketiga dan yang paling berpengaruh pada kinerja siswa adalah motivasi berprestasi (need for achievement). Jika seseorang mempunyai need for achievement yang tinggi, ia cenderung punya prestasi tinggi. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Uyun (1998) yang menyatakan bahwa faktor yang memegang peranan penting dalam pengembangan prestasi akademik adalah motivasi berprestasi.

2.8 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

Santrock (2001) mengemukakan mengenai beberapa hal yang mempengaruhi motivasi yaitu faktor biologis, faktor kognitif, dan faktor lingkungan sosial. Faktor biologis adalah faktor yang meliputi bagaimana otak

(11)

kita berproses terhadap motivasi dan kerja hormon-hormon dalam tubuh seseorang yang akan mempengaruhi apa dan bagaimana motivasi yang dialami oleh individu. Faktor kognitif menurut Petri (Santrock, 2001) adalah kepercayaan terhadap kemampuan kita untuk melakukan sesuatu dengan baik dan pengaharapan akan kesuksekan yang akan kita raih akan membantu kita untuk lebih santai, berkonsentrasi dengan lebih baik, dan belajar dengan efektif, hal-hal itulah yang menimbulkan motivasi yang tinggi dalam belajar. Faktor lingkungan sosial mencakup lingkungan tempat tinggal yang mempengaruhi seseorang akan termotivasi atau tidak. Santrock (2001) menyatakan bahwa ada 3 faktor yang membuat seseorang dapat termotivasi untuk berprestasi, yaitu goal setting, planning, dan monitoring. Goal setting dapat membuat seseorang lebih terarah dalam mencapai impian, individu lebih disiplin, dan mempertahankan ketertarikan (interest).

Bandura dan Schunk (Santrock, 2001) menemukan bahwa individu yang mempunyai prestasi yang tinggi membuat tujuan (goals) yang spesifik, jangka waktu pendek, dan menantang dirinya. Perencanaan (planning) sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan. Dalam planning siswa dibantu oleh pengajar atau gurunya untuk membuat rencana bagaimana siswa mencapai tujuan awal yang sudah dibuatnya, guru juga berperan dalam mengatur waktu secara efektif, mengatur prioritas, dan mengorganisasinya (Santrock, 2001). Eccles, Wigfield, dan Schiefele (Santrock, 2001) menyatakan bahwa membuat goal setting serta merencanakannya saja tidak cukup. Memonitor atau mengawasi bagaimana rencana berjalan dan terus mengevaluasi tujuan yang dibuat adalah juga hal yang sangat penting. Santrock (2001) mengatakan bahwa penting bagi siswa untuk

(12)

melakukan self-monitoring terhadap seluruh rencana yang sudah dibuatnya dengan bantuan guru agar para siswa dapat lebih bertanggungjawab terhadap perilakunya sendiri.

Penelitian Zimmerman, Bonner, dan Kovach (Santrock, 2001) menemukan bahwa individu yang berprestasi memonitor sendiri semua rencana yang sudah dibuatnya dan mengevaluasi setiap kemajuan yang terjadi dalam goal setting mereka lebih banyak daripada individu dengan prestasi yang rendah. McClelland & Atkinson (Slavin, 1997) berpendapat bahwa ada dua hal yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Pertama, aspek yang berasal dari lingkungan individu itu sendiri dan kedua adalah hal-hal yang berkaitan dengan keluarga, yaitu pola asuh, harapan orang tua terhadap anaknya, hubungan antar anggota keluarga, besar-kecilnya keluarga, dan tingkat sosio-ekonomi keluarganya.

Guru juga memiliki peran dalam meningkatkan motivasi berprestasi siswa. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), guru berperan dalam mengembangkan motivasi berprestasi siswa yang dapat dilakukan melalui cara guru berinteraksi dengan siswa. Variasi dalam mengajar sangat diperlukan oleh siswa karena siswa merespon secara berbeda terhadap cara mengajar, dan kelas biasanya lebih menarik jika siswa saling berdiskusi, mengerjakan suatu proyek, dan mendemonstrasikan keahliannya.

Persaingan yang sehat dengan teman sebaya juga dapat mempengaruhi motivasi berprestasi siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Ryan (Papalia, Olds, & Feldman, 2008), menemukan bahwa siswa yang mempunyai teman yang berprestasi tinggi cenderung memiliki prestasi tinggi pula. Jenis kelamin ikut mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Remaja lelaki biasanya lebih

(13)

termotivasi pada bidang matematika dan olahraga, sedangkan remaja putri lebih termotivasi pada bidang bahasa, membaca, dan kegiatan sosial (Santrock, 2001).

Menurut Harold dan Eccles (Huffman, Vernoy & Verney, 2000), terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang, yaitu:

1) Lingkungan tempat proses belajar mengajar berupa lingkungan sekolah termasuk para guru, teman-teman di sekolah, sarana dan prasarana di sekolah akan mempengaruhi motivasi berprestasi individu. Para guru yang dapat menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, seperti memberikan perhatian, sikap optimis dan mendorong individu untuk berprestasi serta memberikan umpan balik terhadap pekerjaan individu sangat berperan dalam menumbuhkan motivasi berprestasi bagi individu. Selain itu, teman yang memiliki sikap positif terhadap belajar serta sarana dan prasarana yang baik seperti keadaan ruangan kelas yang baik dapat mempengaruhi motivasi berprestasi individu.

2) Lingkungan tempat individu dibesarkan yang menekankan pentingnya sikap inisiatif, kompetitif dan keuletan akan menumbuhkan motivasi berprestasi pada individu. Selain itu, anak-anak yang didorong untuk mengandalkan dirinya sendiri dan berusaha sendiri terlebih dahulu sebelum meminta pertolongan dari orang lain serta diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan yang penting bagi dirinya, akan menumbuhkan motivasi berprestasi yang tinggi. Sebaliknya, orang tua yang cenderung selalu membuatkan keputusan bagi anaknya akan menghasilkan anak dengan motivasi berprestasi rendah.

(14)

3) Pengalaman akan kesuksesan dan kegagalan akan mempengaruhi motivasi berprestasi individu. Individu yang berhasil pada suatu tugas cenderung lebih terpacu untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik lagi. Individu yang pernah mengalami kegagalan kemudian berusaha lagi dan ternyata berhasil akan mempengaruhi motivasi berprestasi individu, karena akan memberikan kepuasan bagi individu.

4) Pengalaman masa lalu dapat menyebabkan tinggi rendahnya kecenderungan berprestasi pada individu. Hal ini diperoleh dan dipelajari pada masa anak-anak awal, terutama melalui interaksi dengan orang tuanya. Pada umumnya, anak yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memiliki orang tua yang menghargai keberhasilannya dan mendorong kemandirian.

5) Meniru perilaku orang lain terutama meniru perilaku orang tua sebagai model biasa dilakukan oleh anak, sehingga sering terjadi bahwa orang tua dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan mempunyai anak yang memiliki motivasi yang kuat berprestasi. Pada umumnya, anak akan belajar meniru perilaku orang tua dan orang lain yang berperan besar dalam hidupnya termasuk kebutuhannya untuk berprestasi.

6) Kecemasan merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam motivasi berprestasi yang dimiliki individu. Kecemasan yang tinggi yang dirasakan oleh individu dapat menurunkan motivasi berprestasi sebaliknya kecemasan yang rendah memiliki nilai yang positif sebab dapat meningkatkan motivasi berprestasi pada individu.

7) Reaksi terhadap harapan dan tingkah laku orang tua akan mempengaruhi motivasi berprestasi individu. Orang tua yang menekankan harapan terhadap

(15)

anaknya agar selalu berusaha demi meraih kesuksesan dan memuji tingkah laku anak yang mengarah pada pencapaian prestasi akan mendorong anaknya untuk berprestasi. Namun apabila harapan orang tua terlalu tinggi tanpa melihat kemampuan anak, maka yang akan terjadi adalah perasaan takut gagal sehingga motivasi berprestasi anak menjadi rendah.

Sebaliknya, menurut Akbar dan Hawadi (2001) kurangnya hasrat untuk berprestasi pada anak disebabkan oleh tiga hal. Pertama, belajar di sekolah dalam kelompok dengan kurikulum yang sudah ditentukan dengan sistem nilai tertentu pula. Hal ini menyebabkan anak tidak lagi seorang diri, ia hanya merupakan satu dari sejumlah anak yang semuanya juga sama-sama membutuhkan perhatian dan mengikuti pelajaran yang telah terprogram. Kedua, cara memperoleh pengetahuan dan keterampilan dirasakan begitu majemuk dan memakan waktu. Dibutuhkan waktu, energi, konsentrasi, refleksi maupun pemikiran yang kritis berikut disiplin akademik. Bagi sebagian anak, hal ini akan membuat minatnya justru menghilang. Ketiga, motivasi secara umum, sebenarnya hanya terbatas dalam mensuplai energi. Merupakan hal yang sulit bagi anak untuk melakukan lebih dari satu kegiatan dalam waktu yang bersamaan.

2.9

Karakteristik

Individu

Yang

Memiliki

Motivasi

Berprestasi Tinggi

McClelland dan Atkinson (Slavin, 1997) menyebutkan bahwa terdapat lima karakteristik individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi. Pertama, individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi lebih memilih untuk bekerja dalam taraf kesulitan sedang yang menjanjikan kesuksesan. Mereka tidak suka

(16)

bekerja pada tugas yang mudah dimana tidak ada tantangan dan kepuasan pada kebutuhan motivasi berprestasinya. Mereka juga tidak suka pada tugas yang terlalu sulit, karena tingkat keberhasilannya dianggap rendah. Karakteristik individu seperti ini suka bersikap realistik terhadap tugas dan pekerjaannya. Karena itu mereka suka membuat perbandingan antara kemampuan dengan tuntutan yang diberikan kepada mereka. Kedua, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi menyukai tugas-tugas di mana performa mereka dapat dibandingkan dengan orang lain. Mereka juga menyukai feedback terhadap bagaimana cara mereka bekerja. Ketiga, individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi cenderung untuk gigih dalam bekerja yang berhubungan dengan karir atau yang memperlihatkan karakteristik personal. Mereka termasuk orang-orang yang selalu ingin menjadi yang terdepan. Keempat, ketika individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi sukses atau berhasil, mereka cenderung meningkatkan atau meninggikan level aspirasi mereka dengan cara yang realistis ketika mereka sukses atau berhasil. Akibatnya mereka akan lebih tertantang dalam tugas-tugas yang sulit. Kelima, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi gemar bekerja dalam situasi di mana mereka mempunyai kontrol terhadap hasil akhir (outcome) dari pekerjaan mereka, bukan tipe yang menyukai spekulasi.

Menurut Uyun (1998) terdapat beberapa ciri pada individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi, yaitu mempunyai keinginan untuk berprestasi sebaik-baiknya, mengadakan antisipasi yang terencana terhadap semua kegiatan yang dilakukan, mempunyai keinginan dan kreatif dalam mencapai cita-cita, mempunyai perasaan yang kuat dalam mencapai tujuan, tidak takut gagal dan berani menanggung resiko, dan mempunyai perasaan tanggung jawab personal.

(17)

Secara rinci McClelland dan Winter (Baharuddin & Wahyuni, 2007) menyatakan bahwa terdapat enam karakteristik yang membedakan individu yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi dan rendah. Pertama, individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan merasa bertanggung jawab atas tugas yang dikerjakannya dan tidak akan meninggalkan tugas itu sebelum ia menyelesaikannya. Kedua, individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi akan memilih tugas yang memiliki taraf resiko sedang (moderat). Ia tidak menyukai tugas dengan resiko yang sangat tinggi untuk mengalami kegagalan. Hal ini terjadi karena individu dengan motivasi berprestasi tinggi tidak terlihat akan bekerja keras untuk menyelesaikan tugas yang tidak akan menghasilkan perasaan sukses. Menurut Steers, Porter, dan Bigley (1996) hal ini terjadi karena individu lebih menyukai tugas yang sudah diperhitungkan resikonya. Ketiga, individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi cenderung kreatif dan kurang menyukai tugas atau pekerjaan rutin. Keempat, individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi adalah individu yang kreatif dan kurang menyukai pekerjaan yang rutin. Kelima, individu menyukai umpan balik yang diberikan orang lain atas pekerjaan yang telah dilakukan, sehingga individu akan memahami efektivitas usahanya dan terdorong untuk meningkatkannya. Keenam, individu dengan motivasi berprestasi yang tinggi selalu berusaha menunjukkan hasil kerja sebaik mungkin dengan tujuan agar meraih predikat yang terbaik.

(18)

2.10 Cara Meningkatkan Motivasi Berprestasi

Djamarah (2002) menyatakan bahwa terdapat beberapa cara untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa, yaitu menggairahkan anak didik untuk belajar, memberi harapan yang realistis, dan mengarahkan perilaku anak didik. Menggairahkan anak didik untuk belajar dilakukan dengan menghindari hal-hal yang monoton dan membosankan dalam memberikan tugas. Guru dapat mendiskusikan terlebih dahulu kepada siswa tugas seperti apa yang dikehendaki siswanya agar siswanya dapat lebih memahami dan mengerti materi yang diberikan oleh gurunya. Memberikan harapan yang realistis kepada siswa dapat dilakukan dengan cara memberikan pujian yang tidak berlebihan kepada siswa agar siswa dapat mempertahankan perilakunya yang baik dan tidak memberi hukuman yang terlalu keras kepada siswa, agar siswa dapat belajar dari kesalahan tetapi tidak membuatnya kehilangan rasa percaya diri. Mengarahkan perilaku dapat dilakukan dengan memberi tugas-tugas kepada siswa, membina hubungan yang baik dengan siswa baik di dalam maupun di luar kelas, memberi hukuman yang wajar, dan menegur dengan tidak dengan perkataan yang kasar dan keras.

Woolfolk (2004) menyatakan terdapat empat cara untuk meningkatkan motivasi berprestasi siswa. Pertama, situasi kelas harus terorganisir dan bebas dari gangguan baik dari dalam maupun dari luar kelas. Kedua, guru harus suportif. Guru tidak boleh menghukum, mengkritik, atau mempermalukan siswa karena kesalahannya di depan kelas, karena setiap siswa harus belajar menjadi lebih baik setelah melakukan kesalahan. Ketiga, tugas yang diberikan guru harus menantang tetapi masuk akal, agar siswa tidak kehilangan motivasi karena tugas yang diberikan terlalu sulit atau terlalu mudah. Keempat, kegiatan belajar mengajar

(19)

harus mempunyai makna, artinya guru harus dapat memastikan agar siswa tidak hanya mengingat dan menghafal tetapi juga mengerti dan memahami misalnya dengan memberikan contoh-contoh nyata dan sesederhana mungkin ketika memberikan materi. Hal-hal tersebut sesuai dengan pernyataan dari Steinberg (2005) yang menyatakan bahwa siswa akan melakukan yang terbaik ketika guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk belajar, memberikan umpan balik yang jelas, dan memberi pujian ketika siswa mengerjakan tugas dengan baik.

2.11 Studi Terdahulu

Penelitian Piret (2006) mengenai “Web-based learning or face-to-face teaching– preferences of Estonian Students” dilakukan di sekolah-sekolah yang ada di Estonia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa blended learning tidak dipengaruhi oleh letak daerah (rural atau urban), dan kaum pria maupun wanita tidak secara signifikan memilih web based learning atau distance learning.

Penelitian Azis (2013) mengenai “The Effectiveness Of Blended Learning, Prior Knowledge to The Understanding Concept In Economics” menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan kemampuan untuk mengerti konsep matematika antara kelas individu dan grup dengan menggunakan strategi blended learning, serta terdapat perbedaan signifikan pada kemampuan mengerti akan konsep matematika fungsi linear pada siswa yang high prior knowledge dengan siswa yang low prior knowledge. Di samping itu terdapat interaksi dalam strategi pembelajaran antara individual blended learning dan group blended learning, kemampuan prior knowledge untuk mengerti konsep matematika fungsi linear.

(20)

Penelitian Tanta (2010) mengenai “Pengaruh Gaya Belajar Terhadap Hasil Belajar Mahasiswa Pada Mata Kuliah Biologi Umum” menunjukkan bahwa gaya belajar secara signifikan berpengaruh terhadap hasil belajar mahasiswa, dimana 73 % hasil belajar mahasiswa ditentukan oleh gaya belajar mahasiswa itu sendiri.

Penelitian Carolina (2012) mengenai “Penerapan Strategi Active Learning Berbasis Web (Blended Learning) Dalam Upaya Menciptakan Pembelajaran Aktif Dan Pengaruhnya Terhadap Hasil Belajar” menunjukkan bahwa strategi active learning berbasis web (Blended Learning) mampu menciptakan pembelajaran aktif yang berkualitas dan berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa.

Penelitian Sjukur (2012) mengenai “Pengaruh Blended Learning Terhadap Motivasi Belajar dan Hasil Belajar Siswa di Tingkat SMK” menunjukkan bahwa terdapat perbedaan motivasi belajar siswa yang diajar dengan metode blended learning dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran konvensional, serta terdapat perbedaan hasil belajar dimana terdapat peningkatan motivasi belajar siswa akibat penerapan pembelajaran model blended learning.

Penelitian Hermawanto, Kusairi & Wartono (2013) mengenai “Pengaruh Blended Learning terhadap Penguasaan Konsep dan Penalaran Fisika Peserta Didik Kelas X” menunjukkan bahwa terdapat pengaruh blended learning terhadap penguasaan konsep fisika maupun terhadap penalaran fisika. Di samping itu, pembelajaran blended learning dapat meningkatkan penguasaan konsep dan penalaran fisika serta melatih peserta didik untuk lebih mandiri dan aktif.

Penelitian Sandi (2012) mengenai “Pengaruh Blended Learning terhadap Hasil Belajar Kimia Ditinjau dari Kemandirian Siswa” menunjukkan bahwa hasil belajar kimia siswa yang mengikuti blended learning lebih tinggi daripada hasil

(21)

belajar siswa yang mengikuti pembelajaran langsung, dan terdapat interaksi yang signifikan antara model pembelajaran dan kemandirian siswa terhadap hasil belajar kimia, dimana hasil belajar siswa dengan kemandirian tinggi yang mengikuti blended learning lebih baik daripada hasil belajar siswa yang mengikuti pembelajaran langsung, serta tidak terdapat perbedaan antara siswa dengan kemandirian rendah yang mengikuti kedua model pembelajaran tersebut.

Penelitian Novianto dan Subkhan (2015) mengenai “Pengaruh Minat Belajar, Motif Berprestasi Dan Kesiapan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa” menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh positif yang signifikan antara Minat Belajar, Motif Berprestasi dan Kesiapan Belajar terhadap Prestasi Belajar secara simultan sebesar 93,8%. Kontribusi parsial variabel bebas adalah 39,81% minat belajar, 17,55% motif berprestasi dan 27,56% kesiapan belajar. Ada pengaruh signifikan antara minat belajar, motif berprestasi dan kesiapan belajar terhadap prestasi belajar siswa baik secara simultan maupun parsial.

Penelitian Novitayati (2013) mengenai “Pengaruh Metode Blended Learning dan Self Regulated Learning Terhadap Hasil Belajar Kognitif IPS” menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara metode blended learning dan self regulated learning dalam mempengaruhi hasil belajar kognitif siswa, dimana melalui metode blended learning tersebut dapat meningkatkan self regulated siswa sehingga akhirnya meningkatkan hasil belajar kognitif siswa.

Penelitian Syarif (2012) mengenai “Pengaruh Model Blended Learning Terhadap Motivasi Dan Prestasi Belajar Siswa SMK” menunjukkan bahwa terdapat perbedaan signifikan antara motivasi dan prestasi belajar siswa yang menggunakan model blended learning dengan yang menggunakan model

(22)

face-to-face learning. Terdapat peningkatan motivasi dan prestasi belajar siswa secara signifikan akibat penerapan model blended learning, dan tidak terdapat interaksi pengaruh penerapan model pembelajaran dan motivasi terhadap prestasi belajar siswa.

Referensi

Dokumen terkait

Bila diberikan masalah budaya dan sosialisasi politik, mahasiswa mampu menyimpulkan definisi sosialisasi dan budaya politik, agen- agen sosialisasi politik,

Jadi jika pegawai kantor kelurahan memiliki kemampuan dalam mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan

(1) Detail dimensi elemen dan sistem fondasi, termasuk struktur penahan tanah lateral, harus dilakukan terhadap gaya gravitasi, gempa, angin, dan beban khusus baik dari struktur

Teknologi solatube sangat sesuai apabila diaplikasikan pada bangunan Eco-Rental Office, sebab sebuah gedung perkantoran membutuhkan penerangan yang tinggi untuk

Dalam teori the code of television John Fiske, Level yang ketiga adalah ideologi, pada level ketiga ini mencakup kode-kode representasi dihubungkan dan

Keadaan ini dapat dipertahankan apabila biaya-biaya dan harga jual adalah konstan, karena naik turunnya harga jual dan biaya akan mempengaruhi titik break event

Tujuan dari peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa Bina Nusantara jurusan Marketing Communication angkatan 2012

Penyusunan Rencana Kerja SKPD ( RENJA SKPD ) Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Tanah Bumbu Tahun 2017 masih banyak terdapat kekurangan, maka kami dengan kerendahan