• Tidak ada hasil yang ditemukan

JADILAH PASUKAN BERANI HIDUP!

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JADILAH PASUKAN BERANI HIDUP!"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

3

JADILAH ‘PASUKAN BERANI HIDUP’ !

Sekali waktu, semasa belia, saya sangat terkesan atas nasihat seorang Dhammaduta, yang ditunjukkan pada seorang rekan se-Dhamma. Persoalannya, rekan tadi begitu berputus asa karena bertubi-tubinya kesulitan dalam hidupnya dan karena betapa redup kehidupannya. Nasihat Dhammaduta tadi sederhana, namun sangat mengena “Jadilah Pasukan Berani Hidup”. Hidup jelas lebih sulit daripada hanya sekadar mati. Maka, berbanggalah kalau bisa menjadi “Pasukan Berani Hidup!”

Puluhan tahun kemudian, nasihat ini menggelitik saya untuk menulis tulisan ini.

GEMPA DALAM KEHIDUPAN

Tak dapat disangkal lagi bahwa tuntutan hidup pada zaman modern ini terkadang demikian berat dan menghimpit hingga memunculkan demikian banyak persoalan yang rumit dan saling berkaitan. Sebagai seorang Buddhis yang senantiasa “melek-kehidupan”, sangat kita sadari bahwa demikianlah hakikat kehidupan yang senantiasa dicengkeram ‘Samsara’. Ketika beranjak dewasa dan terjun ke masyarakat, kesulitan demi kesulitan mulai dirasakan menghadang setiap insan. Ambil saja contoh dari sekeliling kita, para pelajar saat ini dituntut berprestasi berlebihan hingga di luar batas kemampuan mereka. Di Jepang, angka bunuh diri di antara para anak sekolah dan remaja ternyata sangat tinggi, disebabkan tuntutan zaman tersebut. Ketika menamatkan

(4)

4

kuliah, persoalan lowongan kerja kemudian menghadang. Lapangan kerja yang demikian terbatas terasa sangat menyesakkan hidup. Setelah bekerja pun, perjuangan berat harus dilalui, yakni harus melewati masa percobaan sekian bulan yang sangat menegangkan, karena senantiasa dikejar “hantu target” dan “setan omzet”. Persaingan sehat manapun tidak akan berjalan terus, manusia kemudian dinomori, bukan sebagai martabatnya lagi. Kaitan semua ini mengarah pada frustrasi perasaan terkucil, penelantaran keluarga, patah hati, dan “broken home”. Inilah yang saya umpamakan sebagai “gempa” dalam kehidupan kita masing-masing. “Gempa”-nya sendiri bisa kecil bisa pula besar, namun ketahanan terhadap “gempa” tersebut berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain. Mereka yang tidak tahan “gempa” kemudian menjerumuskan diri kedalam hal-hal yang tidak diinginkan, seperti minuman-keras, kekerasan, narkotika, kenakalan remaja, bunuh-diri. Bertumpu dari masalah di atas, persoalan kita kemudian adalah: “ Bagaimana caranya agar kita mempunyai ketahanan terhadap ’gempa kehidupan ini’?”

HAKIKAT “SUKA” DAN “DUKA” : SUATU KENYATAAN.

Sebelum berani menjawab pertanyaan di atas, saya mengajak para pembaca untuk membahas beberapa segi dalam agama Buddha yang saya kira cukup relevan dengan pertanyaan di atas. Segi-segi tersebut, seperti di bawah ini, dapat kita jadikan bahan acuan untuk menjawab pertanyaan di atas.

(5)

5 Keadaan saat ini bukanlah akhir.

Kesalahan besar yang dilakukan oleh mereka yang sedang berada di puncak kemalangan atau kesedihan ialah mereka menganggap atau berpikir bahwa saat ini atau kejadian ini adalah akhir segala-galanya. Dengan demikian, semuanya akan dirasakan buntu. Mereka akan berpikir, “Tamatlah riwayatku” atau “Habislah karirku”. Kesunyatan tentang “Anicca” mengajar kita bahwa segala sesuatu yang terdiri atas paduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Hal ini tidak hanya mencakup benda-benda, namun juga keadaan/kondisi. Oleh karena itu, sebenarnya tidak ada kemalangan yang kekal. Demikian pula tiada keuntungan yang kekal. Ada satu cerita Cina kuno yang menjadi favorit saya, yang saya tidak bosan-bosan menjadikannya “bekal” pada setiap kali saya terpaksa “menasehati” kawan-kawan ataupun “menguliahi” mahasiswa -mahasiswa saya bila mereka sedang dirundung kemalangan atau kegagalan. Ceritanya begini:

Konon dahulu kala di daratan Cina ada satu keluarga petani miskin yang terdiri dari suami, istri dan sorang putra yang menjelang dewasa. Mereka menyandarkan hidupnya pada seekor kuda yang setiap hari digunakan untuk mengumpulkan kayu bakar, untuk kemudian dijual ke kota. Pada suatu hari kemalangan besar menimpa mereka, kuda sandaran hidup mereka terlepas dari kandangnya. Kabut keputus-asaan menyelimuti rumah mereka. Betapa tidak, kini mereka tidak dapat lagi mengumpulkan serta membawa kayu bakar ke kota dan itu berarti tak ada uang membeli beras lagi. Semua tetangga mereka turut prihatin atas musibah ini,

(6)

6

namun apa daya karena mereka semua juga adalah petani miskin. Tetapi keesokan paginya mereka semua terbangun karena suara gaduh derap langkah kuda. Apa yang terjadi? Ternyata kuda mereka kembali ke rumah dengan diikuti delapan ekor kuda liar dari hutan. Dengan sigap, sang petani dibantu putranya membukakan kandang kuda mereka. Jadilah mereka sekarang petani dengan jumlah kuda terbanyak di desa. Semua tetangga turut berbahagia karena keberuntungan petani ini. Keesokan harinya, sang pemuda putra petani tadi ingin mencoba menjinakkan salah satu dari kuda baru mereka. Namun malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kuda baru tersebut sedemikian liarnya sehingga menghempaskan putra petani itu. Terjadilah musibah, kakinya patah. Kembali seluruh tetangga seakan turut meratapi kemalangan mereka. Cerita belum berakhir sampai disini. Keesokan harinya seluruh penduduk desa kembali dibangunkan oleh derap langkah kaki kuda, tetapi saat ini yang datang adalah serombongan tentara kerajaan yang membawa titah raja untuk mobilisasi umum. Negara membutuhkan tentara-tentara baru untuk dipaksa ke medan-perang. Kepanikan segera melanda dusun, kaum ibu meraung panik, kaum ayah berusaha menyogok para petugas. Betapa tidak, ke medan-perang berarti mati dan tidak akan pernah kembali lagi. Sorenya, setelah para petugas berlalu, disela-sela raungan ibu, tampak sang petani kita ini sedang mengucapkan syukur karena anak tunggalnya selamat. Putranya tidak bisa diterima menjadi tentara karena kakinya patah, padahal dalam waktu tak sampai sebulan kakinya akan sembuh seperti sediakala. Dialah orang yang paling berbahagia di kampungnya.

Nah, di manakah batas antara sial dan mujur? Di manakah batas antara malapetaka dan nasib baik? Malapetaka

(7)

7

kadang-kadang merupakan awal kegembiraan. Sebaliknya, suka-cita malah sering menjadi awal bencana. Sewaktu masih bertugas di Sydney-Australia, saya sempat mengikuti suatu berita mengenai kejadian tragis yang menimpa suatu keluarga yang tinggal di pinggiran kota. Riwayat seluruh anggota keluarga tersebut dihabisi oleh gang perampok. Persoalannya, kepala keluarga tersebut baru saja memenangkan undian berhadiah (semacam SDSB) dan kawanan perampok menduga uang hadiah undian tadi masih disimpan di rumah. Nah bukankah awal duka cita dalam kasus ini adalah suka cita? Kedua keadaan yang saling berlawanan ini hanya merupakan dua permulaan mata uang yang sama.

Penanggung jawab satu-satunya adalah kita sendiri.

Selama puluhan tahun, bidang kedokteran telah mengetahui bahwa rasa cemas atau stress ternyata merupakan penyebab beberapa penyakit, baik jasmani maupun rohani. Bahkan, tidak mustahil bahwa penyakit-penyakit ini malah lebih merugikan daripada keadaan yang dicemaskan. Contoh sederhana, Si A mendapat serangan jantung dan harus dirawat di rumah sakit dengan biaya jutaan rupiah. Penyebabnya hanya rasa risau atas kerugiannya yang ratusan ribu rupiah. Dengan kata lain, “kerugian karena akibat” malah lebih besar daripada “kerugian karena sebab”. Oleh karena itu, mengapa kita tidak menyiapkan mental untuk menerima risiko terberat sebab rasa pasrah akan menimbulkan ketenangan batin. Tepat resep Dr. Dale Carnegie, penulis buku “best seller” di Amerika sekitar tahun 70-an berjudul “How of Stop Worrying and Start Living”, berikut : “Untuk menghilangkan cemas, tentukanlah batas kerugian sendiri”. Saya kenal seorang kawan-pengusaha yang menghadapi ancaman kerugian dalam usahanya. Namun, sikapnya menolongnya dari rasa cemas

(8)

8

karena ia berpikir, “Kalau toh perusahaan saya bangkrut, akibat paling buruk adalah saya kembali jadi karyawan seperti sebelum mulai berusaha sendiri”. Kesimpulan dari pembicaraan kita di bagian ini ialah, “Semuanya berhubungan dengan karmanya sendiri. Pikullah tanggung jawabmu sendiri”. Anda akan merasa tenteram bila berpendirian demikian. Resapilah bagian paritta Brahma Pharana berikut ini:

Sabbe satta (Semua mahkluk)

Kammassakka (Memiliki karmanya sendiri)

Kammadayada (Mewarisi karmanya sendiri)

Kammayoni ( Lahir dari karmanya sendiri)

Kammabandhu ( Berhubungan dengan karmanya sendiri)

Kammapatisarana (Terlindung oleh karmanya sendiri)

Yam kamma karissanti (Apapun karma yang diperbuatnya)

Kalyanam va papakam va (Baik atau buruk)

Tassa dayada bhavissanti (Itulah yang akan diwarisinya)

Keadaan sekarang bukanlah yang terburuk.

Semasa di SMP, saya memiliki sebuah agenda kecil terbitan Kanisius. Di dalamnya ada “kata-kata emas” yang saat ini selalu saya kisahkan pada anak-anak, “Jangan mengeluh karena tak punya sepatu sebelum melihat orang yang tak punya kaki”. Memang, tidak banyak orang yang “melihat ke bawah”. Pada umumnya, orang “melihat ke atas” untuk membandingkan sukses dalam kehidupannya sendiri, lalu kemudian menargetkan diri. Keserakahan (lobha) menyebabkan orang senantiasa terlalu berorientasi pada

(9)

9

orang-orang yang lebih kaya, lebih sukses, lebih licik sekalipun. Nyonya Anu (bukan nama sebenarnya) memimpikan mempunyai seperangkat perhiasan rancangan Piere Cardin seperti milik Nyonya Ani ( juga bukan nama sebenarnya), yang bukan imitasi seperti miliknya saat ini. Si Sial merasa terlalu lama menduduki jabatan tukang sapu, bukan jadi tukang gudang seperti si Mujur. Akibatnya, banyak orang, karena pengalaman hidupnya (antara lain karena gagal mencapai target hidupnya) ataupun pengaruh sekitarnya, sering merasa terlalu kecil di dalam lingkungannya. Mereka lalu cenderung menarik diri dari pergaulan. Padahal, dengan demikian, mereka malah semakin terkucil. Terjadilah “lingkaran setan” yang semakin menjerumuskan orang tersebut. Padahal, tidak sedikit orang di dunia ini yang meraih sukses dalam hidupnya setelah menggeluti bidang yang terbatas sesuai dengan kemampuannya. Masalahnya hanya, dapatkah kita memanfaatkan peluang yang ada atau terbatas itu. Ungkapan yang sangat tepat adalah: “Bila keadaan hanya menyediakan jeruk, buatlah air jeruk”. Bila kita dapat menerima pandangan bijaksana seperti diatas, kita akan selalu dapat mensyukuri keadaan yang kita terima. Ini sesuai dengan ajaran Sang Buddha dalam Manggala Sutta bahwa merasa puas dan berterima kasih adalah satu berkah utama.

Bagi para pembaca yang senang akan peribahasa, saya tuliskan beberapa peribahasa Buddhis yang berhubungan dengan hal di atas.

Santutthi Paranam Dhanam – Contentment is a greatest wealth.

(Rasa puas adalah kekayaan terbesar).

Tutthi Sukha Ya Itaritarena – To be satisfied with one’s own is the cause of happiness.

(10)

10

(Kepuasan pada apa yang dimiliki adalah penyebab kebahagiaan).

Salabham Natimanneya – Don’t under estimate your own gains.

(Janganlah memandang rendah kemampuan sendiri).

RESEP TAHAN GEMPA

Kembali kepada pokok pembahasan kita, bagaimana caranya agar tahan gempa? Bila pembaca cukup tanggap, jawabannya telah dapat pembaca temukan sendiri. Singkatnya, “Bila suka dan duka hanya permainan hidup; bila semua itu hanya karena ulah kita sendiri; dan bila kita mungkin telah menerima yang terbaik untuk kita, apa yang harus dicemaskan lagi? Kesimpulannya, yang dibutuhkan hanyalah sekadar kearifan dalam melihat segala sesuatu seperti apa adanya, sikap yang tak lain adalah Pengertian Benar (Samma ditthi). Bila kita menggunakan bahasa sehaari-hari, yang dibutuhkan adalah sikap realistis yang mencakup penilaian realitas hidup dan tentunya sikap realistis dalam menilai sikap diri sendiri. Sikap realistis kemudian akan mengajak kita untuk tidak bersikap pesimistis sebab ajaran kamma mengandung makna gairah atau tantangan untuk senantiasa memulai lagi segala sesuatu dengan lebih baik, dengan cara menimbun karma baik.

SIKAP SEIMBANG ADALAH KUNCINYA

Pengertian yang benar bahwa segala sesuatu tidaklah kekal, tiada sesuatu yang bisa dinikmati abadi, juga tidak ada kesedihan yang tak berakhir menyebabkan kita seharusnya siap menerima keadaan yang merupakan kebalikan suatu

(11)

11

keadaan saat ini. Ini adalah sikap yang paling bijaksana. Namun, dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terpesona oleh “nasib baik” atau “karunia” yang sedang membuai kita. Atau sebaliknya, kita kadang-kadang juga terlalu dihanyutkan oleh kesedihan. Padahal dengan bermodalkan pengertian dari cerita di atas, kita seharusnya tetap tegar, tidak terbawa arus. Ajaran Brahma Vihara mengajar kita agar bersikap Upekkha seimbang dalam segala hal. Dalam sebuah ceritera Jataka, terdapat sebuah syair:

Seperti sikap bumi tempat kita berpijak Apapun yang dilemparkannya

Apakah itu manis ataupun pahit

Acuh tak acuh ia menerima semuanya Begitulah hendaknya seorang siswa

Terhadap sikap membenci ataupun bersahabat Kebajikan ataupun kejahatan

Tetap tenang seimbang ia menerimanya Inilah dasar perkembangan ‘Upekkha’.

Saat ini kita hidup di dalam pergolakan dunia yang serba tak menentu. Gelombang keadaan selalu akan memainkan kehidupan kita. Oleh karena itu, keseimbangan batin sangat perlu dimiliki. Bila kehidupan kita masing-masing diumpamakan sebagai perahu, yang senantiasa diombang-ambingkan oleh gelombang kehidupan; gunakanlah Upekkha sebagai cadik perahu kehidupan tersebut. Oleh karena itu, “Jadilah Pasukan Berani Hidup”.

“Jadilah seperti harimau yang tak gentar dengan suara, jadilah seperti angina yang tak melekat pada jala, jadilah seperti teratai yang tak ternoda oleh lumpur tempatnya tumbuh mengembaralah seorang diri seperti badak”.

(12)
(13)

13

TIDAK INGIN LEBIH BAIKKAH?

Ketika Salhaka (seorang Brahmana) mencari “tanah suci”, yakni tempat yang belum pernah dipakai untuk perabuan mayat, ia terpaksa kecele karena Sang Buddha ternyata bersabda (sambil menunjuk tempat yang dipilih oleh Salhaka), sebagai berikut:

“Justru di tempat ini pernah diperabukan jasadnya Upasalhaka di zaman lampau, sekitar 40.000 tahun yang lalu. Sebenarnya, tidak ada suatu tempat di permukaan bumi ini, yang belum pernah di-pakai untuk penguburan”.

Apa yang terbayang dalam benak para pembaca dari pembicaraan sang Buddha dengan brahmana di atas. Jasad manusia (juga makhluk lain) pernah terbaring di setiap jengkal permukaan bumi. Sudah begitu banyakkah mayat yang pernah terbaring di muka bumi ini? Tapi, bukankah kematian memang hal yang pasti ! Habis perkara dan tidak ada persoalan lagi, bukan? Benar, Anda dan kita semua benar : “Kematian memang pasti”. Namun bagaimanakah kita sewaktu kita mulai hidup? Sudahkah kita belajar agar menjadi lebih bijaksana? Ataukah kita sekadar “numpang lewat” di kehidupan kali ini untuk kembali mengarungi samudera samsara lagi? Ataukah mungkin hidup kita malah lebih buruk lagi, terjebak dalam keterikatan dan terjerumus pada hal-hal yang semakin menjauhkan diri kita dari kebijaksanaan, seperti yang diumpamakan sebagai sapi jantan dalam Dhammapada ayat 152:

appassutayam puriso

balivaddo vajirati

mamsani tassa na vaddhati

panna tassa navaddhati

(14)

14

Orang yang tidak mau belajar akan menjadi tua seperti sapi jantan dagingnya bertambah, tetapi kebijaksanaannya tak berkembang.

KESEMENTARAAN HIDUP

Dengan pemahaman doktrin Anicca, kita menyadari bahwa ciri semua yang terbentuk dari perpaduan kondisi tidaklah kekal. Dari doktrin Dukkha, kita menyadari bahwa disitu semua tidak memuaskan; dalam doktrin Anatta, kita menyadari bahwa kita tidak mempunyai “kuasa” sedikitpun terhadap “diri” kita sendiri. Hidup kita dapat berakhir setiap saat tanpa seorangpun tahu kapan. Kepastiannya adalah seperti pepatah Yunani kuno: “Hari ini dia, besok engkau, dan lusa saya”. Namun, kerutinan dalam kehidupan sehari-hari membuat kita tidak menyadari hal itu. Hari-hari kita disita oleh kesibukan masing-masing dengan harapan untuk bertahan hidup ataupun untuk memperkaya diri. Bagi mereka yang semakin tertarik pada kesenangan duniawi, yang terpikir setiap hari adalah bagaimana agar bisa mengakali anak-istrinya; pendeknya, bagaimana agar bisa mengenyam kenikmatan duniawi sepuas mungkin. Padahal, tanpa kita sadari, waktu kita yang tersisa sudah semakin pendek, seperti disebutkan dalam Dhammapada ayat 235:

pandupalaso vadanisi

yama purisa pi ca tam upatthita

uyyo gamukkhe ca titthasi

patheyyampi ca tena vijatti

yang artinya:

Sekarang ini engkau bagaikan daun mengering layu, para utusan Yama (kematian) telah menantimu. Engkau telah berdiri di ambang pintu keberangkatan, namun engkau tidak memiliki bekal bagi perjalananmu.

HIDUP INI ADALAH KESEMPATAN EMAS

Buddha Dhamma mengajarkan bahwa terlahir serta hidup sebagai manusia adalah cara serta kesempatan yang terbaik untuk menimbun kusala kamma (karma baik). Kusala kamma tersebut akan menjadi “bekal”

(15)

15

kita untuk kembali mengarungi samudera “samsara”, melanglang buana di alam-alam kehidupan (setelah berakhirnya kehidupan kita sebagai manusia). Oleh karena itu, tepatlah kalau dikatakan bahwa hidup kita saat ini sebenarnya adalah kesempatan emas. Apalagi, teramat sulit terlahir (kembali) sebagai manusia. Sang Buddha menggambarkan betapa sulitnya terlahir kembali sebagai manusia (setelah terlahir di alam apaya) melalui perumpamaan sebagai berikut:

“Seandainya seseorang melemparkan gelang-gelang rotan yang biasanya dikalungkan pada ternak ke laut, lalu gelang-gelang tersebut hanyut ke tengah samudera yang sangat luas, terapung dipermainkan ombak serta arus. Lalu seandainya di tengah samudera itu pula menyelam seekor penyu buta yang muncul ke permukaan laut dan menyembul kepalanya melalui lubang gelang-gelang tadi? Para siswa menjawab: “Sangat kecil kemungkinannya serta sangat lama waktu kejadian tersebut baru bisa terjadi”. Sang Buddha lalu bersabda: “ Demikianlah, oh para siswa, namun memungkinkan untuk terlahir sebagai manusia adalah lebih sulit daripada kemungkinan si penyu buta menyembulkan kepalanya melalui gelang-gelang tadi”.

(Samyutta Nikaya V/457)

Di atas dikatakan bahwa terlahir di alam manusia (manusia bhumi) adalah kesempatan berbuat kusala kamma, sebab sangat sulit bagi para mahkluk hidup dalam penderitaan dan kesulitan menimbun jasa baik dalam kehidupan mereka. Mereka, para mahkluk yang berada di alam rendah hanya menerima segala akibat karma buruk (akusala kamma) mereka sendiri. Mereka senantiasa bagaikan setan yang menangis sedih karena dicengkeram kesakitan, kelaparan, dan kehausan yang sulit dibayangkan. Dapat dimengerti bahwa tak ada kesempatan berbuat baik bagi mereka. Mereka hanya bisa dikasihani serta hanya bisa menerima pancaran cinta kasih dari kita semua.

Nah bila kita telah eksis sebagai manusia mengapa tidak kita gunakan kesempatan ini? Mengapa harus kian terjebak? Mengapa harus lebih jauh dari kebijaksanaan? Rasanya tidaklah berlebihan bila seorang filsuf India 33 pernah berkata, “Bila hidup kita ini hanya untuk makan, tidur, membiak, kita

(16)

16

tidak lebih daripada seekor cacing”. Sebab, bukankah cacing juga hanya sekadar menghabiskan hidupnya untuk makan dan membiakkan diri, lalu mati. Alangkah sangat menyedihkan bila hidup kita ini hanya bagaikan hidup seekor cacing. Oleh karena itu, berbuatlah sesuatu, isilah kehidupan ini.

MENGAPA TIDAK BERHENTI?

Setiap insan mempunyai pandangan hidup yang berbeda mengenai makna hidup dan cara mengisi kehidupan ini, antara lain tergantung pada karma dan pengalaman masa lampaunya. Pandangan ini kemudian mempengaruhi setiap motivasi kehidupannya. Mengejar kesenangan hidup, menurut pendapat sebagian orang, memang mengasyikkan, kadang-kadang penuh tantangan, yang sekali lagi bagi beberapa orang justru lebih mengasyikkan. Di lain pihak tuntutan akan kesenangan hidup malah semakin menjadi-jadi, semakin canggih pula. Cara-cara dan jalan pintas agar cepat menikmati kesenangan hidup ikut ber”diversivikasi”, ada kejahatan computer, pemalsuan kartu kredit, pengedaran narkotika, kejahatan “Kerah-putih”, dan lain-lain yang kesemuanya baru dikenal pada era kita ini. Hal ini cenderung makin memudahkan kita terbius dan terperangkap untuk tetap menikmati “diversivikasi” kesenangan hidup, bila perlu melalui segala cara “canggih” yang telah ikut ber”diversivikasi” tersebut.

Singkatnya, tuntutan kesenangan hidup senantiasa bertambah dan lebih menantang setiap kali kita menurutinya dan dibuainya. Tapi, sampai kapan dan sampai di mana? Kapankah kepuasan tercapai, kapankah kesenangan mencapai puncak. Bila suatu target tercapai, target yang lebih menantang akan muncul.

Bertitik tolak dari pengertian kita di atas, mengapa kita tidak berusaha mulai memasang kendali diri? Bukankah hal yang sangat ironis, bila kita justru hanyut terbawa arus sewaktu kita harus berdiri kekar dan melangkah maju? Namun, bagaimana kita bisa melangkah maju, bila berhenti pun belum. Sewaktu Anggulimala? Berlari sekuatnya untuk mengejar Sang Buddha, Sang Buddha dengan kekuatan batinnya malah berjalan perlahan saja,

(17)

17

namun tetap tak tersusul. Maka dengan berang namun penuh tanda tanya, Anggulimala berteriak, “Hai, Pertapa berhentilah!”. Jawaban Sang Buddha yang sekaligus menjadi nasihat bagi Anggulimala (dan bagi kita semua) adalah sebagai berikut, “Hai, Anggulimala, saya sudah lama berhenti; dikau sendirilah yang belum juga berhenti.” Sang Buddha kemudian bersyair, “Sebagaimana biasa, Anggulimala, Aku telah berhenti karena Aku berbelas kasihan terhadap semua mahkluk, Dikaulah yang belum berhenti”.

Nah, apakah diri kita juga sudah (berusaha) berhenti, dari lobha, dosa, moha (ketamakan, kebencian, dan kebodohan batin), pula berhenti mengejar kenikmatan hidup yang tiada pernah terpuaskan itu?

PETUNJUK YANG LENGKAP

Sang Buddha berulang-ulang atau berkali-kali menegaskan bahwa “misi” Beliau ialah membebaskan manusia (dan mahkluk lain) dari belenggu samsara yang kita buat sendiri. Oleh karena itu, semua petunjuk Sang Buddha ditujukan untuk itu. Sang Buddha mengajarkan Kusala Kamma, mengajarkan Sila, menunjukkan Attha Ariya Magga. Petunjuk itu telah lengkap, jalannya telah jelas. Semuanya tergantung pada kita sendiri sebagai pelaksanaanya.

Memulai suatu yang bijaksana pada dasarnya tidaklah sulit, kita tidak usah muluk-muluk dengan segala macam hal yang sulit dilaksanakan. Untuk membuat diri kita bijaksana, kita tidak diharuskan untuk berlatih Vipassana, ataupun menjalankan Attha Sila. Kusala kamma bukanlah suatu sistematika dan prosedur. Setiap orang dapat memulai dengan cara masing-masing. Juga tidak perlu sulit-sulit mencari batasan antara Kusala kamma (perbuatan baik) dan Akusala kamma (perbuatan tidak baik). Wejangan Sang Buddha pada Rahula dalam Ambalatthika Rahulovada Suttanta secara sederhana menyebutkan bahwa perbuatan baik atau tidak baik dapat dilihat dari akibatnya. Bila berakibat baik pada orang lain dan diri sendiri, itu (adalah) perbuatan baik, demikian pula sebaliknya. Seseorang dapat mulai dengan yang paling sederhana, misalnya berdana. Dana yang menempati urutan pada

(18)

18

Dasa Paramita adalah cara yang terpuji untuk memulai dan melatih diri ber-Kusala kamma. Berdana pada dasarnya adalah jalan berbuat kebaikan yang paling sederhana. Dana tidak hanya berupa uang. Kita kenal Amisa Dana (berdana barang-barang), Dhamma Dana (berdana Dhamma misalnya mengajar Dhamma, memperbanyak buku Dhamma), dan Abhaya Dana (berdana dengan cara memaafkan dan tidak mendendam, serta membantu kehidpan mahkluk lain agar bebas dari bahaya). Selain itu, pada zaman sekarang ini, kesempatan berbuat baik sudah lebih beragam, dari yang sederhana misalnya menjadi donor-darah tetap sampai yang menggunakan teknologi misalnya mengumpulkan dana untuk orang miskin lewat televisi, yang semuanya belum ada pada zaman Sang Buddha. Oleh karena itu, pada dasarnya, kita semua tidak akan pernah kehabisan lahan untuk menanam kebaikan. Semuanya tergantung pada diri kita masing-masing.

Menurut Buddha Dhamma, ditinjau dari sudut moral, manusia dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni:

Manussa-peto, ialah kelompok manusia yang batinnya seperti mahkluk dari alam peta (alam setan). Mahkluk di alam peta terlahir karena sifat lobha yang sangat menonjol. Mereka (manussa-peto) dicengkram oleh ketamakan sehingga hidupnya sangat tamak dan kikir. Mereka akan melakukan apa saja untuk mengumpulkan kekayaan demi memuaskan ketamakannya.

Manussa-tirrachano, yakni kelompok manusia yang batinnya seperti binatang. Diandaikan demikian karena mereka tidak mempunyai hiri (rasa malu untuk berbuat salah) dan otappa (rasa takut pada akibat perbuatan tidak baik), seperti layaknya binatang. Manussa-tirrachano terlahir sebagai binatang disebabkan karena dorongan/ kekuatan moha (kebodohan batin). Karena batinnya gelap, kelompok manusia ini tidak mengenal rasa malu untuk berbuat jahat dan tidak takut akibat perbutan jahat mereka tersebut. Manussa-manuso, kelompok manusia inilah yang seharusnya menjadi teladan kita; mereka adalah kelompok yang mengenal sila. Dalam kehidupannya sehari-hari, mereka senantiasa berjuang mengikis lobha, dosa, dan moha dari batin mereka.

(19)

19

Nah, bisakah secara jujur kita menilai diri kita masing-masing? Di kelompok manakah kita berdiri? Apakah saya, dan Anda sudah berhak disebut “manusia”?

NIBBANA TIDAK DICAPAI DALAM SEMALAM

Kata-kata terakhir Sang Buddha sebelum mangkat adalah, “Handa dani bhikkave mamantayamivo, vajadhamma sankhara, appamadena sampadetha”, yang berarti: “Perhatikanlah kini, oh, pada bhikku, kami menasihatkan bahwa segala sesuatu (yang terbentuk sebagai perpaduan unsur-unsur/ sankhata) akan hancur kembali, oleh karena itu berjuanglah dengan sungguh-sungguh”.

Kehidupan suci tidak dapat dicapai dalam sesaat. Tidak ada seorangpun yang bisa mencapai Nibbana dalam semalam. Hal yang sia-sia malah kadang-kadang sangat ceroboh bila seseorang secara tiba-tiba berkeingan melepaskan keduniawian tanpa persiapan dan kecakapan untuk itu sebelumnya. Semuanya merupakan suatu tahapan belajar seperti sabda Sang Buddha yang tertulis dalam Dhammapada 239, seperti berikut:

anupubbena medhavi

thokam thokam khane khane kamaro rajatasseva

niddhame malamattano yang artinya:

Secara berangsur orang bijaksana membersihkan dirinya dari noda-noda kehidupan, bagaikan pengrajin perhiasan membersihkan perak sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu.

Yang jelas semuanya tergantung pada diri kita sendiri, namun semua kekuatan yang kita perlukan untuk memulai hidup yang baik telah ada di dalam diri kita sendiri, seperti sabda Sang Buddha dalam Dhammapada 103:

yo sahassam sahassena

(20)

yang a dalam dirinya adalah masing sesung dengan baik?” eka sa v artinya: “W pertemp a sendiri, h seorang Ole g, apaka gguhnya. n kembal ”. an ca jeyy ve sangam Walau seri uran, nam , maka se g penakluk eh karena ah kita Bila dem li menulis a mattnam majuttamo ibu kali se mun diba esungguhn k besar”. a itu, sek menjadi mikian h s judul di (Dr. Arya 20 m o eseorang anding ses nya dia y karang te “cacing” halnya, sa i atas: “M Tjahjadi, D dapat me seorang y yang men ergantung ”, “sapi aya ingin Mengapa DSA : Buddh enaklukka yang dap naklukkan pada dir jantan”, n mengak orang yan ha Cakkhu W an seribu at menak dirinya s ri kita m atau m khiri tulis ng (telah) Waisak 253 musuh klukkan sendiri masing-manusia san ini ) lebih 33/1989)

(21)

21

KITA INI APA?

Sewaktu terjadi penembakan atas diri Presiden John F. Kennedy di Dallas pada 23 November 1963, peluru yang mengenai kepala presiden mashyur ini menyebabkan bagian-bagian otak beliau berceceran terhambur di badan istrinya, Jackie, yang waktu itu duduk di sampingnya. Di samping keterkejutan yang luar biasa, dapat dimengerti bahwa rasa jijik kiranya terpaksa turut melanda Jackie, karena berlepotan benda putih kental bercampur darah segar, benda yang sebelumnya merupakan bagian dari badan, tepatnya isi kepala Presiden Kennedy, suaminya yang beberapa detik lalu masih tersenyum di sampingnya membalas lambaian tangan publik yang menyambutnya.

Sulit dibayangkan sebelumnya, betapa otak yang pernah berpikir keras untuk kesejahteraan bangsa dan Negara salah satu Negara adi-daya di dunia, bahkan otak yang pernah mampu menentukan sejarah dunia, ternyata hanyalah potongan-potongan benda tak berarti.

Tanpa bermaksud mengurangi rasa hormat pada beliau, marilah kita bersama merenungkan “Apa saja John Kennedy itu?” Setelah itu, dengan maksud turut belajar dari situasi di atas, marilah kita melangkah lebih lanjut mengembangkan pertanyaan itu dengan bertanya: “Kita ini apa?”

MANUSIA SEBAGAI SANKHATA-DHAMMA

Di kandungan ibu kita masing-masing, barulah menjadi janin bila ada gandha (calon janin, sebagai hasil pembuahan sel telur dan sel sperma kedua orang tua), yang kemudian dimasuki oleh gandhabha (kesadaran hidup), melalui proses patisandhi vinnana, yakni tersambungnya kembali

(22)

22

kesadaran hidup (patisandhi = tersambung – kembali, vinnana = kesadaran hidup). Kesemuanya ini terjadi secara alami karena daya/ tenaga karmis.

Lalu kita lahir sebagai nama-rupa (batin dan jasmani), yang bisa hidup berkat adanya system-sistem di dalam tubuh kita. Sistem tersebut antara lain, system pernafasan, sistema urat saraf dan otak, system peredaran darah, system pencernaan. Sistim-sistim tersebut haruslah lengkap serta dapat berfungsi sepenuhnya, demi eksisnya seorang manusia yang utuh. Di dalam tubuh kita terdapat pembuluh-pembuluh darah, persis seperti selang-selang di mobil untuk mengantarkan bahan bakar; ada urat saraf yang menghantarkan arus listrik untuk merangsang bagian-bagian tubuh untuk bekerja, persis seperti kabel-kabel yang ada di alat elektronik; ada lensa serta iris di mata kita persis yang ada pada kamera; ada selaput di telinga kita yang fungsi serta bekerjanya persis seperti “membran” di “loudspeaker”; ada cairan pelumas di persendian persis seperti minyak pelumas di mesin-jahit Anda, serta masih banyak sistim yang semuanya bekerja tak ubahnya seperti mesin. Di kamar-bedah di rumah sakit, seorang ahli kamar-bedah memang bekerja sebagai “tukang bengkel”; mereka memakai gergaji untuk menggergaji (amputasi) tulang lalu menggunakan kikir untuk menghaluskan ujung-ujung permukaan tulang, menggunakan palu untuk memasukkan serta mengeluarkan “pen” (logam yang dimasukkan ke tulang untuk menyambung tulang yang patah), juga memakai pelat serta sekrup untuk mendekatkan serta menyambung tulang-tulang yang retak atau patah, malah menyambung usus yang bocor tak ubahnya seperti menyambung ban sepeda. Saat ini malah mesin-mesin sudah banyak bisa menggantikan fungsi sistim tersebut; ada mesin pencuci darah untuk mengganti fungsi ginjal, ada jantung buatan, pula bongkol sendi yang sudah aus permukaannya sekarang sudah dapat diganti oleh logam. Apa kesimpulan atau maksud dari semua penggambaran di atas? Tidak lain ialah bahwa, tanpa bermaksud mengecilkan “harga manusia”, demikianlah keberadaan tubuh manusia, yang bagaimanapun hanyalah suatu sankhata. Tubuh kita tidak lain sekadar perwujudan kondisi-kondisi. Keberadaan seorang manusia sangat tergantung pada kondisi sistim-sistem ini, lalu pada gilirannya sistem itu sendiri ternyata sangat bergantung pada sistim yang lain,

(23)

23

juga tergantung pada sempurna atau tidaknya fungsi serta pembentukan sistim itu sendiri. Dengan demikian, resultante (hasil akhir) dalam wujud Nama-Rupa akan berbentuk lain bila kondisi-kondisi pembentukannya berbeda. Saya bukanlah saya bila salah satu sistim tersebut tidaklah seperti apa yang bekerja pada diri saya saat ini; Anda bukanlah Anda, bila otak Anda tidak ada sewaktu Anda lahir karena “Anda” tidak akan hidup lebih lama dari beberapa jam setelah lahir (serta tidak pernah membaca tulisan ini).

Kondisi yang dimaksud di atas tidak saja dalam bentuk materi pembentuknya, namun seperti diuraikan di atas bahwa sebagai layaknya suatu Upadinaka Sankhata, maka kondisi yang dominan dalam menentukan hasil akhir tadi adalah karma lampau masing-masing dari kita sendiri dalam manifestasi vinnana di atas. Semuanya adalah kondisi-kondisi. Dengan demikian, tidak ada “anugerah” dan “hukuman” yang menentukan wujud lahiriah seseorang. Demikian pula, tidak ada “penganugerah: serta “penghukum” yang memutuskan bagaimana wujud lahiriah seseorang.

MANUSIA SEBAGAI PANCA-KHANDHA

Dari sudut lain, pandangan Buddhis menguraikan tubuh kita pada apa yang disebut sebagai Panca-khandha, yang terdiri atas (satu kelompok) jasmani atau Rupa-khandha dan (empat kelompok) batin atau Nama-khandha. Marilah kita membicarakannya satu demi satu:

RUPA-KHANDHA DAN SISTIM TUBUH KITA

Berkat kewaskitaan-Nya, Sang Buddha dapat melihat bahwa badan jasmani (Rupa-Khandha) kita (juga semua benda) terdiri atas bagian-bagian yang sangat kecil yang tidak dapat diuraikan lagi, yang disebut paramatha. Paramatha tersebut merupakan bagian paramanu, yang dalam bahasa ilmu pengetahuan disebut atom. Menurut paham Buddhis, berdasar eksistensinya, tubuh kita terdiri atas empat paramatha, yang masing-masing adalah unsur Pathavi atau unsur padat, yang menyebabkan sesuatu bisa mengambil ruang

(24)

24

dan berbentuk; unsur Apo atau unsur cair; unsur Tejo atau unsur panas, yakni unsur yang melibatkan atau berhubungan dengan pembentukan energy, dan unsur Vayo atau unsur udara, sebagai manifestasi atau wakil unsur pergerakan. Biologi dan ilmu kedokteran cenderung menguraikan tubuh manusia atas dasar sistim-sistim seperti disebut diatas, antara lain dikarenakan kepentingan dunia kedokteran sendiri, aplikasinya kemudian adalah pada penerapan pengobatan. Di pihak lain, Buddhisme menguraikan tubuh atas Pancha-kandha, tentunya atas dasar nilai filosofis dan didasarkan pada kepentingan nilai-nilai agama itu sendiri. Dengan demikian, tidaklah benar pendapat bahwa cara Sang Buddha menguraikan tubuh kita, berdasar Panca-kandha (adalah) tidak tepat. Kedua cara penguraian (sains dan Buddhisme) adalah benar tergantung dari sudut mana kita menilainya dan memakai “kaca mata” apa kita melihatnya. Saya rasa, analogi yang paling tepat dapat kita bandingkan dengan persepsi (penyerapan) kita bila melihat semangkuk sayur asam. Seorang ahli tumbuh-tumbuhan (botanis) akan mengatakan bahwa sayur asam terdiri atas kacang-kacangan, sayur-sayuran, umbi-umbian, dan lain-lain, di pihak lain seorang ahli gizi akan melihat semangkuk sayur asam tersebut sebagai sumber vitamin B sekian unit, vitamin C sekian unit, dan seterusnya.

NAMA-KHANDA, SUATU URAIAN PROSES BATIN

Tak kalah menariknya uraian Sang Buddha tentang kelompok Nama, yang dengan kewaskitaan-Nya Sang Buddha melihat tahapan-tahapan proses batin sebagai berikut:

Vinnana atau kesadaran, yakni proses menyadari atau kognitif fiksi segala stimulus atau rangsangan fisik (melalui panca indera) dan mental atau batin yang datang atau timbul. Rangsangan fisik kemudian kita sadari sebagai suara (melalui telinga), sebagai cahaya (melalui mata), sebagai bau (melalui hidung), sebagai rasa (melalui lidah), sebagai sentuhan (melalui kulit), serta rangsangan mental (melalui batin). Indera kita, yang menurut paham Buddhis tidaklah berjumlah lima seperti pengertian “panca indera”, namun berjumlah

(25)

25

enam (ditambah satu indera batin), merupakan pintu gerbang hubungan kita dengan dunia sekeliling kita. Namun, stimulus mental dan fisik yang diterima baru data mentah, tanpa analisis lebih lanjut.

Sanna atau penyerapan (persepsi), yakni “interpretasi: terhadap suatu rangsangan atau stimulus yang masuk ke tubuh melalui satu di antara pintu indera kita. Pada tahapan ini, kita mengenal suara tertentu yang datang sebagai suara wanita (misalnya), warna tertentu yang kita lihat sebagai warna merah (misalnya), dan sebagainya.

Vedana atau perasaan, yakni segala perasaan atau sensasi yang timbul dari segala kesan yang timbul melalui pintu indera. Perasaan-perasaan yang timbul dari kesan-kesan tadi dapat menyenangkan, tidak menyenangkan, ataupun seimbang. Dengan sendirinya, perasaan atau sensasi yang timbul tergantung pada pengalaman seseorang sebelumnya pada rangsangan itu.

Sankhara atau reaksi atau status mental yang timbul setelah kita menyadari adanya rangsangan. Di dalam kitab-kitab Abhidhamma diuraikan lima puluh (kemungkinan) status mental yang mengikuti proses di atas. Reaksi seseorang juga dapat menyenangkan, tidak menyenangkan ataupun seimbang. Salah satu contoh atau manifestasi status mental ini adalah timbulnya kehendak (cetana).

Status mental inilah, yang merupakan godaan-godaan pikiran yang senantiasa menjebak ke keterikatan. Dengan sendirinya, sankharal reaksi yang timbul tergantung pada “stock” ingatan kita pada sensasi yang timbul.

SASARAN PEMAHAMAN

Bila Sang Buddha mengungkapkan Panca-khanda, yang kelihatannya sekadar membilah-bilah tubuh manusia, maka tentu ada maksudnya, sebab Sang Buddha tidaklah mengajarkan ilmu anatomi ataupun ilmu kedokteran. Seluruh ajaran Sang Buddha ditujukan pada usaha pencapaian Nibbana sebagai tujuan akhir umat Buddha. Oleh karenanya, pamahaman Panca-khandha mempunyai tujuan atau sasaran akhir pada

(26)

26

pencapaian Nibbana tersebut. Bagaimana hubungannya? Setelah merenungkan pokok-pokok bahasan di atas, lalu bila kita mempunyai kepekaan yang sama, akan terasa bahwa manfaat yang dapat diperoleh dari pemahaman Panca-khandha adalah sebagai berikut:

Usaha mengatasi kebanggaan diri yang berlebihan. Kebanggaan yang berlebihan terhadap bentuk jasmani (yang mungkin memang ganteng dan atletis bagi kaum pria ataupun molek dan semampai bagi kaum wanita) terbukti dalam banyak hal malah cenderung merugikan diri pemilik tubuh itu. Mereka yang penampilannya “aduhai” itu malah lebih banyak mengalami godaan-godaan yang menjerumuskan daripada yang biasa-biasa saja. Namun, bila pemilik jasmani senantiasa menyadari keterbatasan eksistensi (tubuh)-nya, dia akan senantiasa terlindung oleh “pengertian benar” ini. Kita hanya atau sekadar gabungan unsur-unsur Panca-khanda diatas, juga hanya atau sekadar Sankhata seperti yang diuraikan di atas, yang malah kadang-kadang (maaf) menjijikkan.

Semasa masih di bangku kuliah sebagaimana layaknya setiap mahasiswa kedokteran, penulis wajib melaksanakan praktikum di ruangan anatomi. Pada kesempatan itu, setiap mahasiswa dikenalkan pada bagian-bagian tubuh secara lebih mendalam. Mayat memang dibuka, diuraikan untuk maksud itu. Sewaktu melangkah ke pengenalan alat-alat dalaman (jerohan), sering para mahasiswa mengungkapkan perasaan yang sama serta berdampak pada tingkah yang sama, yakni kita pada umumnya dijangkiti perasaan jijik melihat makanan yang mengandung daging, sehingga selama berminggu-minggu kami pada umumnya menolak makan daging lagi, apalagi jerohan (isi perut). Betapa tidak, daging rendang di piring atau gajih di sop kikil tidak ada bedanya dengan yang kita lihat di perut manusia, pagi atau siang harinya di ruang praktikum. Nah, seperti itulah tubuh kita, tubuh saya dan tubuh Saudara.

Salah satu obyek meditasi Buddhis adalah Kayagatasati. Pemeditasi merenungkan dan merenungkan bagian tubuh ini. Maka, akan timbul dampak yang sama, yakni “kejijikan” untuk seterusnya melekat pada “diri”, yang lalu menanjak pada (no. 2) :

(27)

27

Pelepasan dari keterikatan pada diri sendiri. Menyadari keterbatasan eksistensi diri sendiri pada hakikatnya mengumpan kita untuk mencari sesuatu yang lebih “mutlak”, daripada sekadar menghabiskan waktu dengan memuaskan diri pada sesuatu yang sangat terbatas keberadaannya, seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha (Samyutta Nikaya XXII, 21/1):

Lima kelompok ini merupakan beban berat.

Manusia memanggul beban berat ini.

Mengangkat beban berat ini adalah penderitaan.

Meletakkannya adalah kebahagiaan. Ia, yang meletakkan beban ini,

Serta tidak mengangkat beban lain pula, Dengan melenyapkan kehausan,

Akan memperoleh Nibbana.

Sebagai usaha pembuktian kebenaran konsep Anatta, yakni dengan membuktikan tidak adanya “atta” atau “diri” yang dapat dipertanggung- jawabkan kelanggengannya, sebab yang disebut “diri” hanyalah gabungan unsur Panca-kandha diatas. Dengan kata lain, dengan memeriksa setiap unsur yang membangun “diri”, terbukti tidak satu pun di antara unsur tersebut yang diidentikkan sebagai “diri”. Dengan demikian, menurut paham Buddhis, apa yang kita anggap sebagai “diri” atau manusia hanyalah gabungan energy jasmani dan batin (baca: Panca-khanda) yang selalu berubah. Tepat, pendapat atau ajaran yang dituangkan oleh Buddhagosa dalam syairnya:

Hanya penderitaan yang ada, namun

tak ada si penderita.

Hanya ada perbuatan, namun

tak ada si pelaku.

(28)
(29)

29

SUDAH BERBAHAGIAKAH ANDA?

Sewaktu akan melepas Sangha, siswa-siswa-Nya, untuk mulai mengajarkan Dhamma ajaran-Nya, Sang Buddha bersabda:

“Pergilah kalian, duhai para Bhikku, demi untuk kebahagiaan manusia, demi cinta kasih terhadap dunia, demi kebaikan, keberuntungan dan kesejahteraan para dewa dan manusia. Duhai para Bhikku, siarkanlah Dhamma yang mulia. Ajarkanlah hidup yang suci, murni dan sempurna”.

Lalu, sekarang setelah lebih 2.500 tahun, apakah kita sebagai pewaris Buddha Dhamma tersebut telah berbahagia seperti yang diharapkan Sang Buddha?

Tentunya sangatlah wajar, kita mempertanyakan pada diri masing-masing: “Setelah mengetahui Dhamma, sudahkah kebahagiaan dicapai?”

BAHAGIA: KEINGINAN WAJAR

Bila setiap pembaca ditanya tentang keinginan dalam kehidupan ini, dapat dipastikan ke mana pun arah jawabannya akan mengacu pada kebahagiaan. Setiap insan ingin berbahagia dalam kehidupannya.

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha bersabda kepada siswa perumah tangga, seorang hartawan Anathapindika:

“Oh, perumah tangga, di dunia ini ada lima hal yang diinginkan menarik serta menyenangkan. Apakah lima keadaan tersebut? Tidak lain adalah usia panjang, kecantikan, kebahagiaan, nama harum dan kelahiran kembali di alam surga………..

Namun, kebahagiaan adalah sesuatu yang sangat berbeda pengertian dan penerimaannya oleh setiap insan. Ada orang yang merasa begitu bahagia setelah berhasil memiliki “credit card”, dia langsung merasa “bebas” (seperti kata iklan). Sebaliknya, ada juga orang yang merasa berbahagia dan bebas karena tidak merasa harus memiliki “credit card”.

(30)

30

Pula, kebahagiaan jelas tidak dapat diukur dari materi belaka. Sang direktur berdasi di atas Baby Benz-nya mungkin adalah orang yang paling tidak berbahagia karena, walau diatas mobilnya pun, ia masih harus menerima telepon (apalagi kalau berita itu berisi harga sahamnya turun). Sebaliknya, seorang petani lugu bisa tertidur pulas di atas bus walau panas dan berdesakan. Dia merasa paling berbahagia sebab berhasil menjual habis hasil ladangnya di kota.

Tentang kebahagiaan yang dapat dicapai oleh seorang perumah tangga, sang Buddha bersabda:

“Oh kepala keluarga, ada empat jenis kebahagiaan yang dapat dimiliki oleh seorang perumah tangga….. kebahagiaan karena memiliki kekayaan dalam kebutuhan hidup (Atthi Sukha), kebahagiaan karena dapat menggunakan kekayaan itu dengan baik (Bhoga Shuka), kebahagiaan karena tidak mempunyai hutang (Anana Sukha) serta kebahagiaan karena tidak ada yang harus disesalkan, karena senantiasa hidup dengan benar dan jujur (Annavajja Sukha).

Namun, apakah yang dapat dijanjikan oleh hidup ini? Apakah kebahagiaan dapat dicapai semudah menyentuh ujung jari sendiri? Kebahagiaan tidak dapat diperoleh seketika, kebahagiaan bukanlah “kopi instant”, yang bisa dihirup setiap saat. Malah, bukankah keinginan-berbahagia itu justru tidak menjadi perangkap ketidak-bahagiaan bila kebahagiaan itu justru tidak tercapai. Kebahagiaan juga tidak akan diperoleh dengan segala macam kaul. Dalam pembicaraan dengan Anathapindika di atas, Sang Buddha menyambung sebagai berikut:

Akan tetapi, oh perumah tangga, Saya tidak pernah mengajarkan bahwa lima hal tersebut dapat diperoleh dengan sekadar berdoa ataupun berkaul. Seandainya kelima hal di atas dapat diperoleh dengan sekadar berdoa dan atau berkaul, siapa pula yang tidak akan melakukannya?

(31)

31

BAHAGIA KARENA MENGERTI DHAMMA

Oleh karenanya, kebahagiaan (para perumah tangga) di atas tidaklah bersifat mutlak atau universal. Segala yang dimiliki tetap dirundung Annica, Dukka, dan Anatta. Selama kehidupan kita, tak terbilang masalah yang kita hadapi. Namun, sebenarnya kita terbiasa hanya mempersoalkan soal-soal kecil dalam kehidupan kita. Kita hanya merisaukan pajak, uang sekolah anak-anak, kerugian usaha yang tidak menguntungkan, dan sebagainya. Kadang-kadang itu semua malah membuat kita menangis, lalu bertahun-tahun kemudian kita melupakan kita menangis dikarenakan apa.

Sebenarnya, masalah kehidupan tiap mahkluk adalah bagai “gunung es”, yang tampak di permukaan laut sebagai bagian kecil, sedangkan yang berada di bawah permukaan laut adalah bagian yang jauh lebih besar. Kita hanya mempersoalkan masalah yang tampak dan tidak pernah melihat bagian yang tidak terlihat. Kita tidak melihat lautan “Samsara” terbentang di hadapan kita.

Lantas, “Samsara” mau diapakan? Sebagai hukum alam, Samsara adalah fenomena hidup yang tak dapat diapa-apakan lagi. Keadaan dunia dan ciri kehidupan tidak bisa diubah. Ancaman penderitaan tak dapat ditolak; kecelakaan, kerugian, gempa bumi, dimusuhi, difitnah, kehilangan orang yang dicintai, menderita sakit adalah keadaan yang dapat saja terjadi. Lalu, apa yang diajarkan oleh Sang Buddha, dengan kata lain apa yang diperbuat Dhamma untuk mengatasi hal itu? Tidak lain, hal yang dapat dilakukan ialah kita harus mengubah keadaan kita. Apa yang dapat kita perbuat adalah “menyetel” pandangan hidup kita. Dengan demikian, kita tidak menilai salah arti hidup ini. Kita tidak terbelai oleh segi-segi kehidupan kita masing-masing. Kita sadar bahwa hidup pada hakikatnya tidak menjanjikan apa-apa. Kita tidak melihat hidup ini tidak hanya dari satu sudut, kita tidak melihatnya hanya seperti melihat bulan dari bumi saja.

Dhamma-lah yang mengajarkan dan memperlihatkan kehidupan itu seperti apa adanya. Dengan demikian, mengerti Dhamma ajaran Sang Buddha

(32)

32

adalah kuncinya. Oleh karenanya, dengan mengerti Dhamma seharusnya kita telah berbahagia.

Bhikku S. Dhammika, bhikku kebangsaan Australia yang saat ini menetap di Singapura, menulis riwayat hidupnya. Sekali waktu, sewaktu beliau masih di Sri Lanka untuk mendalami agama Buddha, beliau dijenguk saudaranya dari Australia. Terkesan melihat kehidupan keseharian beliau, saudaranya tersebut bertanya :”Apakah Anda berbahagia?” Dapat dipahami, bahwa dengan bertempat tinggal di pondok kecil sederhana berkamar dua, tanpa listrik, tanpa air keran, kebahagiaan memang menjadi pertanyaan utama. Namun, dengan tegas, beliau tanpa ragu menjawab: “Yes, I am happy, very happy indeed” (Yah, saya berbahagia, sangat berbahagia). Beliau menjelaskan kebahagiaanya tersebut dapat dirasakannya atau diperolehnya karena apa yang didapatkannya dan diketahuinya dari Buddha Dhamma. Buddha Dhamma telah menjawab segala pertanyaan dalam hidupnya.

Demikian, kata Sang Buddha:

“Kebahagiaan yang tidak dapat dibandingkan dengan apapun adalah Kebahagiaan dalam Dhamma”.

MENGETAHUI ADALAH BAHAGIA

Bila kita berjalan di malam hari yang gelap, bisa dimengerti bahwa kita akan senantiasa tegang dan diliputi ketakutan karena tidak tahu sesuatu di depan kita; kita bisa terbentur tiang listrik atau terperosok ke jurang karena tidak melihat apa pun di depan kita. Mereka yang berjalan dan telah melihat sesuatu dihadapannya adalah senantiasa tenang. Mengetahui makna kehidupan ini lewat Dhamma bagaikan berjalan di malam gelap itu dengan dada yang lapang karena membawa obor. Obor itu adalah Dhamma. Orang yang mengerti Dhamma telah melihat semua permasalahan itu, dia telah punya “perisai” pengertian.

Dalam Dhammavibhaga diuraikan tentang Satta Sappurisadhamma, atau Tujuh Dhamma (dalam hal ini berarti kebenaran), yakni tujuh hal yang

(33)

33

telah bisa diketahui atau dimaklumi seseorang yang telah memiliki kebijaksanaan Dhamma, yakni:

Dhammannuta

Memaklumi sebab-sebab suatu kejadian (yang timbul), memaklumi suka-duka yang timbul tenggelam. Dia telah mengerti Anniva, Dukkha, dan Anatta. Dengan demikian, dia tidak akan “tidak mengerti” bila tiba-tiba kehilangan orang yang sangat dicintai. Bila dia mendapat keuntungan, dia bersyukur dan memahami bahwa ini adalah sementara; bila dia menderita kesusahan, ia berusaha memperbaiki karmanya. Dia bahagia, karena pengertian pada Akusalamula citta, dia dapat melihat jelas sumber penderitaan, dengan demikian senantiasa menghindarinya. Dia bahagia karena senantiasa (berusaha) tidak melekat pada kebendaan dan mengerti sebab-musabab. Dia bahagia karena mengetahui upaya benar (Sammapphadana), yang harus dilaksanakannya, sebagai yang termaktub dalam kitab Vibhaga, Abhidamma Pitaka, sebagai berikut:

Membasmi kejahatan (papa) yang sudah muncul Mencegah timbulnya kejahatan yang belum timbul Menimbulkan kebajikan (kusala) yang belum muncul

Mempertahankan atau mengembangkan kebajikan yang sudah muncul.

Atthannuta

Seorang yang mengerti Dhamma, yang mengetahui sebab-akibat suatu perbuatan, bahwa yang disebut hidup hanyalah potongan-potongan proses, suatu potongan sebab-akibat atau potongan Paticca Samupada. Dengan demikian, seorang yang mengerti Dhamma, mengerti di mana harus memotong, bilamana telah melihat bahwa perjalanan suatu proses tersebut mengarah ke hal yang negatif. Dia dapat melihat timbulnya dan memotong Phassa tidak baik yang timbul (pelajari 12 Nidana / Paticca Samupada). Dia bahagia karena dia mengerti bahwa yang dialaminya saat ini adalah hasil

(34)

34

karma lampau, pula bahwa ia dapat dan selalu punya kesempatan berbuat yang baik saat ini untuk berbahagia di masa mendatang.

Kebahagiaannya tampak atau dirasakan seperti kebahagiaan seorang petani yang memandang kebunnya yang ditanami-nya dengan bibit yang baik, dia yakin hasil kebunnya bakal cemerlang. Dalam kitab Dhammapada, Yamaka Vagga 18, tercatat sabda Sang Buddha, sebagai berikut:

“Dalam kehidupan ini, ia berbahagia; dalam kehidupan yang akan datang pun ia berbahagia. Dalam dua kehidupan itu, para pembuat kebajikan akan berbahagia. Dengan menyadari, bahwa: “Saya telah berbuat jasa kebajikan”, ia akan berbahagia dan ia akan berbahagia lagi apabila telah pergi ke Surga-Loka”.

Keyakinan pada hasil baik dari perbuatan kebaikan juga disebut sendiri oleh Sang Buddha dalam suatu percakapan Beliau dengan Sariputta sebagai berikut:

….. dan apakah empat kondisi batin yang luhur, yang dapat memberikan kebahagiaan saat kini yang dapat diperoleh sesuka hatinya? Seorang siswa memiliki keyakinan yang teguh pada Sang Buddha, keyakinan yang teguh pada Dhamma, dan keyakinan yang teguh pada Sangha, dia menjalankan kebajikan yang dipuji oleh para bijaksana-kebajikan yang utuh, tidak dilanggar, tanpa noda, tanpa cela, menuju pembebasan, sikapnya terpuji, tidak mudah terpengaruh, dan batinnya selalu sadar dan waspada…..

Dia berbahagia karena tidak merisaukan masa depan. Karena keyakinan bahwa ia senantiasa berbuat baik, ia akan dilindungi oleh karma baiknya sendiri bagi setiap insan dalam menyongsong kehidupan di masa depan.

Kebahagiaan dalam Dhamma adalah kebahagiaan sejati karena dilindungi kebajikan diri sendiri, bukan karena merasa “dilindungi” dan “dikasihani” oleh dewa-dewa atau “Tuhan”. Karma baik adalah “tabungan” yang tidak akan pernah kena devaluasi dan “safety box” yang tidak bisa dicuri.

(35)

35 Attannuta

Seorang yang mengerti Dhamma mengetahui keadaan dan kemampuan dirinya dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, dia dapat menempatkan dirinya dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Dia menyadari hakikat kekayaan, pengetahuan, dan kedudukan yang dimilikinya. Oleh karenanya, dia tidak akan semena-mena karenanya. Magga dan Sila yang dilaksanakannya menyebabkan dia senantiasa aman dalam kehidupan sosialnya.

Mattannuta

Dia mengetahui cara memperoleh kebutuhan hidup yang baik, tidak serakah, dan selalu mengambil sesuai kebutuhannya. Dia mengerti betapa tidak berfaedah dan merugikan “keserakahan” itu, dia mengerti hakikat benda-benda. Oleh karenanya, dia senantiasa bahagia karena tidak terikat pada ke-benda-an. Di saat dunia kegerlapan materi melanda peradaban kita, pengertian akan hal ini niscaya sangatlah menolong, menghindarkan seseorang dari keterjerumusan.

Kalannuta

Berdasar pengertian Dhamma yang dimilikinya, dia dapat secara bijaksana mengatur perannya. Dia mengetahui waktu yang tepat untuk melaksanakan sesuatu yang pantas untuk semua kegiatan duniawi serta rohani-nya.

Pengertiannya pada Jalan Tengah membuat ia dapat menyesuaikan kedudukan dan peranannya. Bila ia perumah tangga, ia dapat mengatur waktu untuk keluarga dan waktu untuk kekayaan batinnya.

(36)

36 Parisannuta

Seorang yang telah mendalami Dhamma, dengan kebijaksanaan yang dimilikinya, mengetahui tingkatan-tingkatan manusia, terutama dalam menerima ide-ide tentang kebijaksanaan. Ia mengerti tingkatan-tingkatan kemampuan penyerapan seseorang. Dia senantiasa menyesuaikan tutur-kata dan penampilannya sesuai orang yang dihadapinya. Pola berpikirnya sangatlah luas, dia melihat dan menilai segala sesuatu dengan bijaksana serta ber-wawasan Paramattha Sacca. Dia senantiasa berpikir positif, tidak dengan mudah menyalahkan seorang atau situasi. Dia mengerti bahwa keadaan ataupun watak setiap orang yang dihadapinya adalah “sebab-akibat”. Dia mengerti bahwa di dunia ini tidak ada seorang yang ingin dilahirkan bodoh, cacat, malas, angkuh, kudisan, miskin, rakus, tak berbakat, dan sebagainya. Dia pun mengerti bahwa keadaan yang tidak diinginkan di atas bisa saja dia alami sendiri pada kehidupan yang akan datang, sebagai kensekuensi hukum Kamma.

Puggalaparopannuta

Seorang yang mengerti Dhamma dapat membedakan orang-orang yang baik atau tidak baik untuk dijadikan sahabat. Dia juga bisa memaklumi tindak-tanduk seseorang, memaklumi sikap seseorang. Dengan demikian, dia tidak segera emosional menghadapi bermacam orang. Dia malah dengan mudah ber-welas asih pada orang yang menyakitinya karena pengertiannya pada tingkat-tingkat rohani seseorang.

BAHAGIA DAN MEMBAHAGIAKAN:

Selaras dengan hukum sebab-akibat, terbukti bahwa bahagia dan membahagiakan adalah suatu fenomena yang tak dapat dibantah.

Hukum sebab-akibat adalah hukum universal yang berlaku untuk semua fenomena, termasuk fenomena-fenomena dalam masyarakat. Seorang

(37)

37

yang berbahagia dalam kehidupannya dengan sendirinya tidak akan mengganggu orang sekelilingnya. Dia memberi supaya orang tidak mengambil. Dengan kata lain, kita menjadi seperti ini karena dibentuk oleh masyarakat, sebaliknya keberadaan kita adalah turut membentuk masyarakat. Bilamana Anda berbahagia, berkecukupan, Anda akan ikut membahagiakan orang lain karena Anda tidak akan mengganggu orang lain. Demikian pula bila tetangga Anda berbahagia dalam keluarganya, dia tidak akan mengganggu keluarga Anda, dan seterusnya. Ini sesuai hukum saling ketergantungan. Oleh karenanya, sabda Sang Buddha dalam Samyutta Nikaya 1:75, adalah sebagai berikut:

“Sabba disa anuparigamma cetasa Nevajjhaga piyataramattana kvaci Evam piyo putthu atta paresam Tasma na himse param attakamo’ti” yang artinya:

Bila kita mengarungi dunia dengan pikiran, maka kita menemukan bahwa diri sendirilah yang paling kita cintai. Karena tidak ada yang lebih dicintai oleh seseorang selain dirinya sendiri, maka perhatikan dan hormatilah orang lain seperti kamu mencintai dirimu sendiri.

Manusia sejati, menurut Buddha Dhamma, bagai perumpamaan di bawah ini: “Bagaikan telaga yang jernih dan kemilau airnya… yang sering didatangi orang untuk minum; demikianlah pula seorang yang baik dan berharga; dengan kebahagiaan yagn diperolehnya, ia tidak hanya membahagiakan diri sendiri, tetapi juga orang tua, isteri dan anak, pelayan dan pekerjanya, teman teman, sanak saudara dan orang lainnya. Dengan demikian kekayaannya dinikmati dan dimanfaatkan secara benar, bukan secara salah dan sia-sia.

(Samyutta Nikaya, I) Oleh karenanya:

Jadilah manusia sejati! Bawalah obor Dhamma!

(38)
(39)

39

MENGAPA SATIPATHANA ?

Saya mendambakan terbebas dari segala kebiasaan, sehingga

dapat melihat sesuatu yang baru, mendengar sesuatu

yang baru, merasa kan sesuatu yang baru.

G. Chr Lichtenberg (1742-1799)

Agar mudah mencerna tulisan ini, penulis mencoba metode pembahasan “masalah dan pemecahannya”. Untuk itu, tulisan ini diawali dengan mengemukakan beberapa kasus, sekadar contoh yang dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari.

Kasus I:

Sekali waktu di tanah air, pernah dua orang pemuka Buddhis bertengkar hebat selama bertahun-tahun, mereka saling menjelekkan satu sama lain, mereka saling melontarkan tuduhan satu sama lain, padahal keduanya pasti sudah sangat sering menasehati umat (lebih tepat Jemaah) masing-masing, agar jangan iri hati, agar senantiasa bercinta kasih, agar jangan berkata kasar, agar bersimpati dan sebagainya. Tapi, mengapa mereka sendiri masih berbuat demikian?

Kasus II:

Satu lagi, seorang guru yang senantiasa menjadi panutan masyarakat dan suri teladan murid-muridnya, baru-baru ini ketahuan membunuh istrinya sendiri, dan masih “sempat “ menjagal, memotong-motong tubuh isterinya menjadi beberapa bagian. Padahal, dia pasti tahu bahwa perbuatannya “dikutuk Tuhan”. Namun: “Mengapah toh terjadi demikian?”

(40)

40 Kasus III:

John Mc Enroe, si petenis urakan, walau telah menyadari kelemahannya sendiri yang sangat mudah marah, tetap juga membikin ulah di hampir setiap turnamennya. Walau telah bertekad untuk tidak emosional sebelum pertandingan, pada setiap turnamen tahu-tahu raketnya sudah dilemparnya karena kesal pada wasit.

Kasus IV:

Nyonya direktur, sahabat saya, sejak lama mengeluh kelebihan bobotnya, juga telah beberapa kali merencanakan diet. Namun, setiap kali bertandang ke rumah, dia menceritakan bahwa setiap malam sebelum tidur dia terpaksa memperbarui “tekad” dan “niat”-nya untuk betul-betul berdiet; sebab pada saat sebelum tidur itu, baru dia dapat menyadari apa saja yang sudah dilahapnya sepanjang hari, apakah itu dua potong paha ayam Kentucky Fried Chicken atau dua potong pizza di Pizza Hut, eh , yang kemudian mungkin ditambah lagi dua gelas sirup “Slim & Fit” untuk melengkapi “diet”-nya.

“SPONTANITAS” DAN “OTOMATISASI” TINDAKAN:

Contoh kasus di atas telah menjadi ciri kehidupan manusia pada umumnya: yakni selalu gagal menerapkan apa yang diketahuinya baik, juga gagal menghindari apa yang diketahuinya buruk atau tidak pantas dilaksanakan. Kita selalu saja tidak berhasil menerapkan rencana-rencana baik kita. Padahal, pada dasarnya, secara naluriah, kita semua telah tahu dan telah dapat membedakan yang baik dengan yang tidak baik, yang baik dilaksanakan dari yang seharusnya tidak dilaksanakan. Namun, pada praktiknya, kita tidak atau sukar sekali terhindar dari “otomatisasi tindakan”.

(41)

41

Semua berjalan secara otomatis karena terbiasa sehingga telah merupakann bagian hidup masing-masing.

Keadaan di atas pada era ini tambah diperburuk lagi karena kita terpaksa terperangkap pada gaya hidup era modern. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, kita turut terlibat ciri kehidupan modern saat ini, yakni “terburu-buru, tidak banyak pertimbangan, dan materialistik”. Stres dan ketegangan telah mewarnai hidup hampir setiap orang. Cobalah Anda berdiri di tepi jalan di pusat-pusat perdagangan, perhatikanlah wajah setiap orang yang lewat, semuanya serba terburu-buru, tegang dan emosional. Manusia terpaksa bertindak, berkata, dan berpikir terburu-buru. Waktu adalah uang, tidak ada waktu lagi untuk berpikir sehat sebelum bertindak. Yang dilaksanakan adalah kebiasaan dan kebiasaan.

Lobha (keserakahan), Moha (kegelapan bathin), dan Dosa (kebencian) sebagai sumber Akusala Kamma senantiasa “mengintip” serta tidak pernah kita lihat seperti apa adanya. Malapetaka kita sadari setelah terlambat karena telah terjadi.

Jadi pokok persoalan ialah kita tidak terbiasa memperhatikan semua yang kita (akan) laksanakan (baca: perbuat, pikirkan dan ucapkan). Namun, semua kebiasaan ini bukan tak punya pangkal, tepat seperti tersurat dalam Dhammapada: “Pikiranlah pelopor segala tindakan kita”.

Lalu terjadilah suatu rangkaian sebagai ungkapan di bawah ini: Tanamlah pikiran, maka anda akan menuai tindakan;

tanamlah tindakan, maka anda akan menuai kebiasaan;

tanamlah kebiasaan, maka anda akan menuai tabiat;

(42)

42

Bila menitik beratkan masalah pada pikiran saja, sampai di titik ini, kita juga tetap akan buntu sebab justru pikiran merupakan sesuatu yang sangat binal. Juga harus ada cara untuk melatih agar senantiasa terbiasa berpikiran baik

ESENSI “SATI PATTHANA”

Setelah menyadari bahwa segalanya terjadi karena “spontanitas” dan “otomatisasi”, bagaimana jalan keluarnya?

Sang Buddha, 2.500 tahun lalu dengan kebijaksanaannya melihat segala sumber masalah ini dan mengajarkan Satipatthana yang dilukiskan dalam Satipatthana Sutta sebagai berikut:

“Demikianlah yang saya dengar. Pada suatu waktu Sang Buddha berada di Kammasadamma diantara suku Kuru. Sang Guru suatu ketika bersabda: Hanya ada satu cara (Ekayano Maggo), untuk memurnikan mahkluk hidup (sattanam visuddhiya), untuk mengatasi kesedihan dan ratap (soka pariddavanam samatikkamaya), untuk menghancurkan kesengsaraan dan duka cita (dukkha domanassanam atthangamaya), untuk mencapai jalan mulia (nayassa adhigamaya), untuk mencapai Nibbana (nibbanassa sacchikiriyaya); yakni Empat dasar dari Satipatthana. Empat dasar itu, adalah perenungan (peristiwa-peristiwa) badaniah (kayanupassana), perenungan (peristiwa-peristiwa) perasaan (Vedananupassana), perenungan (peristiwa-peristiwa) kesadaran (Cittanupassana), serta perenungan terhadap bentuk pikiran (Dhammanupassana).”

Keempat pokok perenungan (perhatian) di ataslah yang disebut SATIPATTHANA. Sati diterjemahkan sebagai perhatian atau menyadari atau mawas diri (mindfulness atau awareness), sedangkan patthana diterjemahkan sebagai penerapan atau dasar-dasar (application, bases, foundations).

Untuk dapat mengerti empat dasar perenungan itu, penulis berusaha menerangkan secara sederhana, sebagai berikut:

(43)

43

1. Pada dasarnya, peristiwa mental atau jasmaniah apa pun yang kita alami tetap dapat di klasifikasikan sebagai salah satu dari obyek Satipatthana, yakni:

™ Kayanupassana (bila itu mengenai peristiwa badaniah), ™ Vedananupassana (bila itu peristiwa perasaan), serta

™ Cittanupassana (bila menyangkut kesadaran atau pikiran), lalu

™ Dhammanupassana (bila kita berhasil mengidentifikasi dan

mengklasifikasi bentuk-bentuk pikiran yang timbul, apakah itu sebagai salah satu di antara 5 rintangan – Nivarana atau salah satu dari 5 kelompok kemelekatan – Khandha atau salah satu di antara 6 indera – ayatana atau salah satu di antara 7 faktor penerangan – Bojjhanga ataupun salah satu di antara 4 kesunyatan mulia- Ariya Saccani).

2. Berangkat dari kenyataan di atas, bila kita senantiasa dapat menyadari, merenungkan dengan cara menganalisis segala sesuatu peristiwa badaniah dan jasmaniah dalam diri kita, itu secara pasti berarti kita senantiasa berada dalam keadaan waspada dan mawas diri.

3. Kesadaran terhadap keempat macam klasifikasi peristiwa (badani dan rohani) di atas ternyata dapat dilatih untuk dikembangkan. Usaha itulah, SATIPATTHANA.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada hal yang gaib dalam pelaksanaan SATIPATTHANA, semua berjalan sesuai hukum alam.

(44)

44

Kenyataan bahwa Sang Buddha sangat mengunggulkan dan mengandalkan pelaksanaan Satipatthana tercermin melalui pernyataan-pernyataan Sang Buddha sendiri sebagai berikut:

Sati (“perhatian”), Saya nyatakan, adalah segala bantuan (yang dibutuhkan). (Samyutta Nikaya, 46,59)

Semua masalah dapat diatasi dengan “perhatian”. (Anguttara Nikaya, 83)

Selain itu, Sati di dalam pembahasan-pembahasan Dhamma juga ditemui sebagai:

- Salah satu di antara Jalan berjalur delapan (Attha Ariya Magga)

- Unsur pertama Bodhipakkhiya-dhamma, yakin factor yang menuntun ke pencerahan

Maka dalam suatu ungkapan Sang Buddha menyatakan bahwa dengan menerapkan keempat pokok perenungan (baca: Sati) selama 7 tahun, seseorang dapat mencapai tingkat kesucian Arahat atau minimal tingkat Anagami.

Tidak terlepas dari tujuan-tujuan terminal di atas, manfaat-manfaat praktis yang dapat dicapai dengan melatih “perhatian” kita adalah sebagai berikut:

1. Dapat mengembangkan kebiasaan untuk “berhenti sejenak” dan “ber-instropeksi” sebelum bertindak ataupun berkata sesuatu. Dengan demikian, kita dapat terhindar dari kesulitan-kesulitan karena bertindak atau berkata yang dapat menyebabkan penyesalan kemudian.

(45)

45

2. Dapat mengatasi kebiasaan buruk, mengambil kesimpulan ataupun prasangka yang tak didasari kenyataan.

3. Memperoleh kewaspadaan diri yang baik dan dapat cepat mengenal emosi diri, dengan demikian dapat mengembangkan control emosi.

4. Dapat lebih mantus mengatasi ketakutan dan kecemasan serta dapat mengembangkan rasa syukur.

5. Mengatasi kebiasaan melamun atau penyesalan tentang masa lampau. 6. Menjadi lebih mawas diri dan terhindar dari kesalahan atau kekeliruan yang disebabkan oleh kecerobohan-kecerobohan.

7. Lebih sangkil dalam bertindak.

8. Lebih sehat badaniah dan rohaniah. Banyak penyakit mental dapat teratasi dengan meditasi.

8. Dapat mengatasi kejenuhan.

Buku-buku Dhamma terutama menghubungkan hasil-hasil di atas dengan pelaksanaan Satipatthana yang tidak formal (lihat bab berikut), yang justru lebih relevan untuk diterapkan oleh para awam atau para pemula.

Juga, dengan sendirinya dapat dipahami bahwa dari segi mental rohaniah, jelas meditasi dan Satipatthana mempunyai efek ganda. Pertama, menyehatkan rohani dalam arti meredakan emosi, dengan demikian menghindari penyakit-penyakit mental serta jasmani yang disebabkan oleh stress. Kedua, pelaksanaan Satipatthana dengan sendirinya meningkatkan kehidupan rohani kita dengan kata lain mendekatkan kita ke Nibbana.

SENI “MELIHAT” DAN “MEMPERLAMBAT” TINDAKAN

Nah setelah mengetahui masalah di atas dan mengetahui bagaimana seharusnya, kita terbentur pada masalah pokok kita: Bagaimana ber-Satipatthana, terutama bila kita telah telanjur terperangkap dalam gaya hidup zaman ini?

(46)

46

Citra sementara orang pada Agama Buddha terkadang sangat berat. Agama Buddha kadang diidentikkan dengan orang yang duduk bersemedi berjam-jam sampai bertahun-tahun, menahan godaan, dan sebagainya, padahal Buddhisme pada pelaksanaannya justru mengandung hal-hal yang sangat praktis, yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam tulisan ini, penulis mempersempit diri dengan hanya mengungkapkan segi-segi praktis dari Satipatthana dengan sasaran pada kehidupan awam sehari-hari.

Melatih “perhatian” memang idealnya melalui pelaksanaan meditasi formal, seperti yang dapat dikembangkan melalui Vipassanabhavana. Namun, latihan Satipatthana ternyata tidak mutlak harus dilaksanakan secara demikian serius, tidak harus di ruangan tertutup, di tempat dan waktu yang tetap, apalagi di dalam hutan. Tuntutan kehidupan modern tidak memungkinkan kita lagi melaksanakan seperti itu.

Namun, pada dasarnya kita dapat melatih perhatian (“Sati”) kita secara tidak formal pada segala keadaan. Sewaktu sedang dalam antrian, misalnya atau sedang duduk di ruang dokter menanti giliran Anda. Salah satu contoh: Dalam perjalanan mobil misalnya (asalkan bukan Anda pengemudinya), Anda bisa memusatkan perhatian pada masuk keluarnya napas Anda (melaksanakan Anapanasati sebagai salah satu bentuk Kayanupassana), sekaligus memperhatikan dan menyadari segala pikiran yang timbul maupun gagasan bisnis Anda yang timbul (melaksanakan Cittanupassana), lalu bila kebetulan Anda terpaksa mendengar umpatan orang lain di samping Anda, Anda menyadari perasaan yang timbul dari benak Anda (melaksanakan Vedananupassana), lalu terakhir menyadari peristiwa rohani atau jasmani itu sebagai apa adanya. Dalam hal ini, bila Anda merasa sedih ataupun gemas karena umpatan tersebut, Anda lalu mengenalnya sebagai Dhukka (dan Anda pun telah melaksanakan Dhammanupassana).

Dengan membiasakan diri “melihat” segala peristiwa badan dan rohani kita, serta “memperlambat” tindakan (dengan kata lain melatih “Satipatthana”

Referensi

Dokumen terkait

No Skor Kategori Frekuensi Persentase (%) 1.. Jurnal Edukasi Gemilang, Volume 3 No. Tetapi masih perlu ditingkatkan lagi pada pertemuan berikutnya. Refleksi, Berdasar hasil

dimana diperoleh nilai p = 0,046 (p < α), karena nilai p > α dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor genetik dengan kejadian Stunting pada

Skripsi yang berjudul " Peningkatan Rasa Ingin Tahu Dan Prestasi Belajar IPS Peristiwa Sekitar Proklamasi Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head

Kesimpulan dari penciptaan karya ini yaitu menjelaskan tentang menentukan strategi kreatif yang tepat bagi perusahaan Abi Denim untuk meningkatkan brand awareness

Model numeris yang dikembangkan dengan persamaan momentum tersebut dapat mensimulasikan wave set down pada perairan dalam, wave setup pada perairan dangkal, dispersi dan

Software System for Educational Institute (ETAP) dinyatakan GAGAL ITEM karena tidak ada peserta yang memasukkan penawaran pada ITEM tersebut. Demikian pengumuman ini dibuat

Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah persistensi laba, struktur modal, ukuran perusahaan dan alokasi pajak antar periode pada perusahaan manufaktur yang

Nilai PEFR abnormal terbanyak terdapat pada kelompok responden yang dengan keluhan respirasi batuk dan nyeri dada (100%), batuk, berdahak dan sesak napas (100%), batuk, sesak