• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Sekolah Menengah Atas Negeri 1 (SMAN1) Bogor merupakan satu-satunya Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) di Kota Bogor yang beralamat di Jl Ir H Juanda No 16 Kelurahan Paledang, Kecamatan Kota Bogor Tengah, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat (Anonim 2006). Sekolah ini dikepalai oleh Drs H Agus Suherman. Tenaga pengajar terdiri dari 56 orang guru tetap, dan 14 orang guru tidak tetap. Sarana dan prasarana yang dimiliki yaitu tanah dan halaman sekolah dengan status milik Negara dan memiliki luas tanah 3 135 meter persegi, lapangan olahraga dan upacara 480 meter persegi dan pagar 30 meter. Gedung bangunan sekolah yang dimiliki status milik Negara dengan luas bangunan 1 619 meter persegi. Bangunan terdiri dari satu ruang kepala sekolah, satu ruang tata usaha, satu ruang guru, dua ruang perpustakaan, satu ruang Bimbingan Konseling (BK), satu ruang dapur, 18 ruang Kelas, satu ruang laboratorium komputer, dua ruang laboratorium Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dua ruang musholla, delapan ruang Organisasi Intra Sekolah (OSIS), tujuh ruang sanitasi, satu lokal kantin sekolah, satu ruang koperasi, satu ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS), satu ruang gedung, satu ruang penjaga sekolah, satu ruang laboratorium bahasa, satu ruang broadcast, dan satu ruang seni.

Kegiatan ekstrakurikuler terdiri dari ekstrakurikuler akademik dan non akademik. Ekstrakurikuler akademik meliputi kegiatan komputer, Kelompok Ilmiah Remaja, Praktikum IPA, dan kelompok Bahasa Inggris. Kegiatan ekstrakurikuler non akademik meliputi pembinaan terhadap Tuhan YME, pembinaan berbangsa dan bernegara, pembinaan pendidikan pendahuluan bela Negara, pembinaan kepribadian dan budi pekerti luhur, pembinaan berorganisasi, pendidikan politik dan kepemimpinan, pembinaan keterampilan kewirausahaan, pembinaan kesegaran jasmani dan daya kreasi, pembinaan persepsi, apresiasi dan kreasi seni. Kegiatan ekstrakurikuler non akademik dilaksanakan melalui wadah Organisasi Intra Sekolah (OSIS), Dewan Keluarga Masjid (DKM), Kelompok Ilmiah Remaja (KIR), Pecinta Alam (PA), Palang Merah Remaja (PMR), Pramuka, Olah Raga dan Seni, serta perkumpulan bela diri.

Kurikulum yang diterapkan pada SNBI menggunakan kurikulum 2004 plus dengan penambahan jam pelajaran MIPA untuk pengembangan penelitian ilmiah. Bahasa pengantar yang digunakan berupa 40 persen bahasa Inggris untuk Kelas X, 60 persen untuk Kelas XI, dan 80 persen untuk Kelas XII. Sarana

(2)

dan prasarana yang disediakan untuk Kelas Rintisan Bertaraf Internasional adalah ruang belajar memakai Air Conditioner (AC), sarana belajar berbasis Information and Communication Technology (ICT) seperti laptop terhubung internet, Liquid Crystal Display (LCD), Overhead Projektor (OHP), Laboratorium komputer, bahasa, fisika, kimia, dan biologi.

Keunggulan SMAN 1 adalah terletak pada kualitas sumberdaya manusia atau siswa yang masuk ke sekolah. Batas nilai ebtanas murni (NEM) terendah yang dapat diterima di sekolah ini pada setiap tahun adalah tertinggi di Kota Bogor. Pada tahun 2007, Pass In Grade SMAN 1 Bogor adalah 28,13 dari total nilai 30 yang berasal dari tiga mata ajaran yaitu Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris . Sebagian besar siswa berasal dari keluarga yang mampu dengan tingkat pendidikan orang tua rata-rata tinggi (lulusan atau pernah menempuh Perguruan Tinggi). Potensi unggulan lainnya adalah SMAN 1 memiliki lokasi sekolah yang strategis.

Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) adalah suatu program pendidikan yang bertujuan agar sekolah memiliki budaya untuk terus menerus melakukan peningkatan mutu layanan pendidikan, meningkatkan mutu pembelajaran dan standar kompetensi bertaraf internasional, dan agar siswa mendapatkan pengakuan dan perlakuan sama dengan sekolah internasional lain di dunia untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri (Dinas Pendidikan 2005). Pada tahun 2006 terdapat seratus sekolah yang menyelenggarakan program ini yang tersebar di seluruh Indonesia. Di Kota Bogor, program SNBI baru dilaksanakan di SMAN 1.

Program SNBI mengintegrasikan kurikulum nasional dengan kurikulum internasional. Proses belajar mengajar menggunakan metode yang bervariasi dan menekankan pada contectual teaching learning yang merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi ajar dengan situasi dunia nyata siswa, yang dapat mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan. Salah satu bentuknya adalah outdoor teaching misalnya ke museum. Jam belajar per hari pada Kelas ini juga lebih lama dibandingkan dengan Kelas biasa karena terdapat tambahan jam belajar untuk mata pelajaran MIPA .

(3)

Karakteristik Individu Jenis Kelamin

Contoh pada penelitian ini berjumlah 73 orang dengan proporsi 36 orang Kelas X dan 37 orang Kelas XI. Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan baik pada Kelas X (66.7%) maupun XI (67.6%).

Tabel 2 Sebaran contoh Kelas X dan XI berdasarkan jenis kelamin (n=73)

Jenis Kelamin Kelas X Kelas XI

n % n %

Laki-laki 12 33.3 12 32.4

Perempuan 24 66.7 25 67.6

Total 36 100.0 37 100.0

Umur

Umur contoh termasuk ke dalam kategori remaja yang berkisar antara 15-18 tahun. Menurut Monks (1987) fase remaja yang berkisar antara 15-15-18 tahun disebut fase remaja pertengahan. Pada remaja pertengahan biasanya sudah mulai mengembangkan cara berpikir yang lebih baik, mulai melakukan peran-peran orang dewasa dan berpandangan realistik. Tabel 3 menjelaskan bahwa persentase terbesar umur contoh pada Kelas X yaitu 16 tahun (61.1%), sedangkan pada Kelas XI yaitu 17 tahun (70.3%). Sebaran contoh berdasarkan umur contoh disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan umur (n=73) Umur (Tahun) Kelas X n % n Kelas XI %

15 6 16.7 1 2.7 16 22 61.1 4 10.8 17 8 22.2 26 70.3 18 0 0.0 6 16.2 Total 36 100.0 37 100.0 Min 15 15 Max 17 18 Rata-rata ± SD 16.01 ±0.6 17.0 ±0.6

Tujuan Hidup dan Cita-cita

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa sebagian besar contoh baik Kelas X (83.3%) maupun XI (97.3%) mempunyai tujuan hidup dan cita-cita yang dianggap sangat penting. Sebagian besar contoh (91.8%) menganggap sangat penting untuk mempunyai cita-cita meneruskan ke perguruan tinggi. Menuntut ilmu hingga perguruan tinggi menjadi tujuan terbesar contoh. Prinsip-prinsip yang berhubungan dengan etos kerja yang baik seperti

(4)

belajar rajin agar nilainya bagus, belajar keras dan tekun, serta beraktivitas di sekolah dengan baik dianggap penting bahkan sangat penting oleh lebih dari separuh contoh.

Proporsi terbesar contoh juga menganggap sangat penting tujuan hidup yang berhubungan dengan kebaikan budi pekerti yang meliputi berbakti pada orangtua dan guru, bertanggung jawab atas perbuatannya, dan berteman dengan baik. Adapun tujuan hidup yang berkaitan dengan kemapanan status sosial seperti menabung dan hidup hemat juga dianggap penting oleh lebih dari separuh contoh (53.4%). Proporsi terbesar contoh (36.9%) menganggap sangat penting menghindari masalah di sekolah, sedangkan sepertiga contoh (35.6%) menyatakan hidup bersenang-senang adalah kurang penting. Sebaran contoh berdasarkan tingkat tujuan dan cita-cita dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan tujuan dan cita-cita (n=73)

Pernyataan A B C D E Persentase (%) 1. Meneruskan ke perguruan tinggi 0.0 0.0 0.0 8.2 91.8 2. Belajar yang rajin agar nilainya bagus 0.0 1.4 9.6 57.5 31.5 3. Bekerja keras dan belajar tekun 0.0 0.0 11.0 43.8 45.2 4. Beraktivitas disekolah dengan baik 0.0 1.4 9.6 52.1 37.0 5. Berbakti pada orangtua dan guru 0.0 0.0 1.4 38.4 60.3 6. Bertanggung jawab atas perbuatan kita 0.0 0.0 2.7 38.4 58.9 7. Berteman yang baik 0.0 0.0 2.7 38.4 58.9 8. Menghindari masalah disekolah 2.7 2.7 24.7 32.9 37.0 9. Hidup bersenang-senang 15.1 35.6 27.4 20.6 1.4 10.Menabung dan hidup hemat 0.0 0.0 12.3 53.4 34.3 Keterangan: A:Tidak penting B:Kurang penting C:Cukup penting D:Penting E:Sangat penting.

Apabila skor tujuan/cita-cita dikategorikan menjadi tiga, maka persentase terbesar contoh baik Kelas X maupun Kelas XI menganggap tujuan hidup menjadi sangat penting. Hal ini dapat dikatakan bahwa contoh telah memiliki tujuan dan orientasi yang jelas mengenai hal-hal yang penting untuk dilakukan di masa depan. Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara tujuan hidup contoh kedua Kelas.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan tingkat tujuan dan cita-cita (n=73) Tujuan Hidup dan Cita-cita Kelas X Kelas XI

n % n % Tidak Penting (<24) 0 0.0 0 0.0 Cukup Penting (24-37) 6 16.7 1 2.7 Sangat Penting (>37) 30 83.3 36 97.3 Total 36 100.0 37 100.0 Min 34 36 Max 48 48 Rata-rata ± SD 42.4 ±4.0 42.0 ±2.8 p-value 0.679

(5)

Uang Saku

Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase terbesar uang saku per bulan contoh baik pada Kelas X maupun XI berada pada kisaran Rp 300 001-450 000. Rata-rata uang saku per bulan yang diterima contoh Kelas XI lebih tinggi (Rp 460 945.95) dibandingkan dengan uang saku per bulan Kelas X (Rp 441 527.78). Hal ini diduga kegiatan dan kebutuhan Kelas XI lebih besar dibandingkan Kelas X. Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara uang saku contoh kedua Kelas.

Tabel 6 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan besarnya uang saku per bulan (n=73)

Uang saku Bulanan Siswa (Rupiah) Kelas X Kelas XI n % n % 150 000-300 000 13 36.1 8 21.6 300 001-450 000 14 38.9 12 32.4 450 001-600 000 5 13.9 12 32.4 >600 001 4 11.1 5 13.5 Total 36 100.0 37 100.0 Min 200 000 150 000 Max 1 500 000 750 000 Rata-rata ± SD 441 527.8 ±239 096.0 460 945.9 ±175 846.5 p-value 0.693 Karakteristik Keluarga Umur Orangtua

Tabel 7 berikut ini menjelaskan sebaran contoh berdasarkan umur orangtua. Tabel 7 Sebaran contoh Kelas X dan XI berdasarkan umur orangtua (n=73)

Umur Orangtua (Tahun) Kelas X Kelas XI

n % n % Ayah 36-40 0 0.0 0 0.0 41-45 13 37.1 12 33.3 46-50 18 51.4 16 44.4 51-55 2 5.7 8 22.2 56-60 2 5.7 0 0.0 Total 35 100.0 36 100.0 Min 41 42 Max 60 55 Ibu 36-40 10 27.8 5 13.5 41-45 18 50.0 22 59.5 46-50 7 19.4 6 16.2 51-55 1 2.8 4 10.8 Total 36 100.0 37 100.0 Min 37 36 Max 51 52

(6)

Proporsi terbesar contoh memiliki ayah yang berumur 46-50 tahun (51.4% Kelas X dan 44.4% Kelas XI), dan ibu yang berumur 41-45 tahun (50.0% Kelas X dan 59.5% Kelas XI). Sebagian besar contoh Kelas X dan Kelas XI mempunyai orangtua yang berada pada kelompok umur produktif yaitu pada rentang umur antara 36-55 tahun. Umur ayah contoh yang berada pada kelompok umur lansia (lebih dari 55 tahun) ditemukan pada contoh Kelas X yaitu 5.7 persen, sedangkan pada contoh Kelas XI tidak ditemukan umur ayah yang lanjut usia.

Pendidikan Orangtua

Pendidikan formal merupakan segala sesuatu (proses belajar mengajar) yang diupayakan untuk mengubah segenap perilaku seseorang (Gunarsa dan Gunarsa, 2004). Pendidikan orang tua dikelompokkan menjadi delapan tingkat, yaitu tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP, tamat SMA, D3, S1, S2, dan S3. Berdasarkan pada Tabel 8, dapat dilihat bahwa pendidikan ayah contoh pada Kelas XI lebih tinggi (S2) dibandingkan Kelas X (S1). Hal ini berbeda dengan tingkat pendidikan ibu. Persentase terbesar pendidikan tertinggi ibu contoh baik pada Kelas X maupun Kelas XI yaitu S1.

Tabel 8 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan pendidikan orangtua

Pendidikan Orangtua Kelas X Kelas XI

n % n % Ayah 0 0.0 0 0.0 Tidak Sekolah 0 0.0 0 0.0 Tamat SD 0 0.0 0 0.0 Tamat SMP 0 0.0 0 0.0 Tamat SMA 3 8.3 1 2.8 D3 2 5.6 1 2.8 S1 11 30.6 13 36.1 S2 10 27.8 14 38.9 S3 10 27.8 7 19.4 Total 36 100.0 36 100.0 Ibu Tidak Sekolah 0 0.0 0 0.0 Tamat SD 0 0.0 0 0.0 Tamat SMP 2 5.6 1 2.7 Tamat SMA 8 22.2 9 24.3 D3 5 13.9 6 16.2 S1 14 38.9 13 35.1 S2 3 8.3 7 18.9 S3 4 11.1 1 2.7 Total 36 100.0 37 100.0

(7)

Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan tingkat pendidikan orangtua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang yang memiliki pendidikan formal yang tinggi dan bekerja, tingkat partisipasi pada segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas sekolah anaknya lebih banyak dibandingkan dengan orangtua yang berpendidikan rendah. Hal ini secara tidak langsung akan berpengaruh pada prestasi belajar anak karena orangtua berperan sebagai sumber pengetahuan/disiplin, pengembangan karir, memberikan fasilitas belajar dan pembentukan karakter anak.

Pekerjaan Orangtua

Pekerjaan ayah contoh pada Kelas X lebih bervariasi daripada Kelas XI. Kategori pekerjaan ayah contoh terdiri dari PNS, pegawai BUMN, TNI/Polri, pegawai swasta, wiraswasta, dan lainnya seperti dokter, bankir, direktur keuangan, arsitek developer, konsultan, dan notaris. Tabel 9 menunjukkan bahwa proporsi terbesar ayah contoh bekerja sebagai PNS (45.7% Kelas X dan 50.0% Kelas XI).

Proporsi terbesar ibu contoh pada kedua Kelas tidak bekerja atau sebagai ibu rumahtangga (Tabel 9). Selebihnya sebagai PNS, pegawai BUMN, pegawai swasta, wiraswasta, dan lainnya seperti psikolog dan notaris. Ibu masa kini disamping mengurus rumahtangga, juga sibuk bekerja diluar rumah, baik di organisasi maupun bekerja untuk menambah pendapatan keluarga (Santoso & Karyadi 1986, diacu dalam Tanmella 2002).

Tabel 9 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan pekerjaan orangtua Pekerjaan Orangtua Kelas X Kelas XI

n % n % Ayah PNS 16 45.7 18 50.0 Pegawai BUMN 4 11.4 0 0.0 TNI/Polri 1 2.9 0 0.0 Pegawai Swasta Wiraswasta Lainnya 7 3 4 20.0 8.6 11.4 12 2 4 33.3 5.6 11.1 Total 35 100.0 36 100.0 Ibu PNS 14 38.9 11 29.7 Pegawai BUMN 1 2.8 1 2.7 Pegawai Swasta 2 5.6 0 0.0 Wiraswasta 5 13.9 1 2.7 Ibu Rumahtangga 14 38.9 22 59.5 Lainnya 0 0.0 2 5.4

(8)

Total 36 100.0 37 100.0

Pendapatan Keluarga

Salah satu faktor yang penting pada kehidupan keluarga adalah keadaan sosial ekonomi, yang berpengaruh pada kehidupan mental dan fisik individu yang berada dalam keluarga. Berdasarkan Tabel 10 dapat diketahui bahwa pendapatan keluarga pada kedua Kelas menyebar normal dengan kisaran Rp 1 000 001 sampai lebih dari Rp 6 000 000. Persentase terbesar pendapatan keluarga kedua Kelas yaitu terletak pada kisaran Rp >6 000 000 (47.2% untuk Kelas X dan 40.5% untuk Kelas XI). Besarnya pendapatan yang diperoleh keluarga berhubungan dengan pendidikan akhir orangtua dan mempengaruhi interaksi dalam keluarga. Adanya kondisi keluarga yang memiliki tingkat pendapatan tinggi menyebabkan orangtua memperlakukan anak dengan lebih perhatian, penghargaan, pujian untuk berbuat baik yang mengikuti peraturan, dan latihan dari penanaman nilai moral (Gunarsa & Gunarsa 2000).

Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan keluarga contoh pada kedua Kelas. Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per bulan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan pendapatan keluarga per bulan (n=73)

Pendapatan Keluarga(Rupiah/Bulan) Kelas X Kelas XI

n % n % <1 000 001 0 0.0 0 0.0 1 000 001-2 000 000 6 16.7 6 16.2 2 000 001-3 000 000 4 11.1 6 16.2 3 000 001-4 000 000 5 13.9 6 16.2 4 000 001-5 000 000 2 5.6 1 2.7 5 000 001-6 000 000 2 5.6 3 8.1 >6 000 000 17 47.2 15 40.5 Total 36 100.0 37 100.0 Besar Keluarga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi jumlah anggota keluarga contoh terbesar sebanyak empat orang yang terdiri dari orangtua dan dua orang anak. Merujuk pada standar BKKBN, maka dapat dikatakan bahwa proporsi terbesar contoh s(55.6% pada Kelas X dan 48.7% Kelas XI) berasal dari keluarga kecil (BKKBN, 1997).

Semakin banyak anggota keluarga maka jumlah interaksi interpersonal yang terjadi akan semakin banyak dan kompleks (Guhardja, Puspitawati, Hartoyo

(9)

& Hastuti 1992). Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara besar keluarga contoh kedua Kelas.

Tabel 11 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga (orang) Kelas X n % Kelas XI n %

Kecil (≤4) 20 55.6 18 48.7 Sedang (5-6) 15 41.7 18 48.7 Tinggi (>6) 1 2.8 1 2.7 Total 36 100.0 37 100.0 Min 3 3 Max 9 7 Rata-rata ± SD 4.5 ±1.1 4.6 ±0.8 p-value 0.583

Interaksi dalam Keluarga Hubungan Contoh dengan Ayahnya

Hubungan yang terjadi antara contoh dengan ayah didasari oleh perasaan dan perilaku saling menyayangi, menolong atau membentak dan berlaku kasar atau berlaku kasar antara satu dengan lainnya (Tabel 12). Pada penelitian ini ada dua dimensi yang mendasari hubungan antara orangtua dan anaknya yaitu dimensi kehangatan dan kekasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi terbesar contoh melaporkan adanya hubungan yang baik dengan ayahnya. Sepertiga contoh (36.6%) menyatakan bahwa ayahnya cukup mempedulikan masalah yang dihadapi walaupun jarang sekali berbuat sesuatu yang membuat contoh merasa dicintai (39.4%). Selain itu, 35.2 persen contoh menyatakan jarang sekali mendiskusikan dan membantu apabila contoh membutuhkan sesuatu (39.4%).

Hubungan yang baik antara ayah dan anaknya menyebabkan adanya hubungan timbal balik yang baik juga antara anak dan ayahnya. Kondisi tersebut terlihat dari perilaku contoh dalam hal memberikan kepedulian, mencintai dengan hangat, mendiskusikan sesuatu, dan membantu pekerjaan atau sesuatu. Hubungan antara contoh dan ayah menunjukkan bahwa proporsi terbesar contoh cukup mempedulikan (40.9%), melakukan sesuatu yang membuat ayah merasa dicintai (60.6%), dan mendiskusikan sesuatu (35.2%) kepada ayahnya meskipun jarang sekali membantu ayah (45.1%).

Dimensi kekasaran yang mengarah pada tindakan penolakan, dan kekasaran dari orangtua kepada anak disajikan pada Tabel 12. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa kurang dari setengah jumlah contoh jarang sekali mendapatkan perlakuan dan hubungan yang keras dan kasar dari

(10)

ayahnya. Hal ini tercermin dari proporsi terbesar contoh yang menyatakan bahwa ayahnya jarang sekali marah-marah dan cukup mengkritik (45.1%), membentak (47.9%), dan bertengkar (39.4%). Sebagian besar contoh (78.9%) menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah memukul ataupun menampar. Proporsi terbesar contoh menyatakan bahwa ayahnya jarang sekali marah-marah, membentak (47.9%), dan bertengkar (39.4%), dan cukup mengkritik (45.1%). Sebagian besar contoh (78.9%) menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah memukul ataupun menampar. Adanya hubungan timbal balik antara ayah dan anak yaitu kekasaran yang dilakukan ayah menyebabkan adanya hubungan kekasaran pula yang dilakukan contoh. Tabel 12 menjelaskan bahwa contoh jarang sekali marah-marah (39.4%), dan mengkritik (36.6%) ayahnya. Lebih dari separuh contoh (63.4%) tidak pernah membentak ayahnya dengan marah, dan bertengkar dengan ayah (47.9%). Hampir seluruh contoh (98.6%) tidak pernah memukul atau menampar ayahnya.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan hubungan ayah dan contoh (n=71)

Pernyataan Persentase (%)

A B C D E

Perlakuan Ayah kepada Contoh Dimensi Kehangatan

1. Ayah mempedulikan masalah yang sedang

saya hadapi 23.9 26.8 36.6 12.7 0.0

2. Ayah berbuat sesuatu yang kemudian

membuat saya merasa dicintai 18.3 39.4 29.6 11.3 1.4 3. Ayah mendiskusikan sesuatu dengan saya

sehingga saya merasa dihargai 21.1 35.2 28.2 12.7 2.8

4. Ayah membantu saya bila saya perlu sesuatu 38.0 39.4 15.5 7.0 0.0 Dimensi Kekasaran

1. Ayah marah-marah pada saya 8.5 45.1 26.8 14.1 5.6

2. Ayah mengkritik perbuatan saya 1.4 16.9 45.1 32.4 4.2 3. Ayah membentak saya dengan marah 21.1 47.9 19.7 11.3 0.0

4. Ayah bertengkar dengan saya 35.2 39.4 15.5 8.5 1.4

5. Ayah memukul atau menampar saya 78.9 18.3 2.8 0.0 0.0 Perlakuan Contoh kepada Ayah

Dimensi Kehangatan

1. Saya mempedulikan masalah yang sedang

ayah hadapi 11.3 29.6 40.9 15.5 2.8

2. Saya berbuat sesuatu yang kemudian

membuat ayah merasa dicintai 5.6 21.1 60.6 11.3 1.4 3. Saya mendiskusikan sesuatu dengan saya

sehingga ayah merasa dihargai 8.5 39.4 35.2 15.5 1.4 4. Saya membantu ayah bila ayah perlu sesuatu 19.7 45.1 29.6 4.2 1.4 Dimensi Kekasaran

1. Saya marah-marah pada ayah 28.2 39.4 25.4 5.6 1.4

2. Saya mengkritik perbuatan ayah 16.9 36.6 29.6 15.5 1.4

(11)

4. Saya bertengkar dengan ayah 47.9 33.8 8.5 8.5 1.4

5. Saya memukul atau menampar ayah 98.6 1.4 0.0 0.0 0.0 Keterangan: A: Tidak pernah, B: Jarang sekali, C: Cukup, D: Sering, E: Selalu

Secara umum, hubungan yang banyak dilakukan antara contoh dan ayahnya yaitu dalam hal saling membantu apabila memerlukan sesuatu (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan yang dilakukan keduanya (Lampiran 2a). Perlakuan ayah kepada contoh yang memiliki skor terkecil yaitu dalam hal mendiskusikan sesuatu yang membuat contoh merasa dihargai (dimensi kehangatan), dan memukul atau menampar contoh (dimensi kekasaran), sedangkan perlakuan contoh kepada ayahnya yang memiliki skor terkecil yaitu dalam hal berbuat sesuatu sehingga ayah merasa dicintai (dimensi kehangatan), dan memukul atau menampar ayah (dimensi kekasaran).

Lampiran 2a menunjukkan bahwa perlakuan ayah kepada contoh baik dalam hal dimensi kehangatan maupun kekasaran memiliki total skor yang lebih tinggi daripada perlakuan contoh kepada ayahnya. Hal ini memiliki arti bahwa ayah lebih menunjukkan perlakuan yang baik kepada contoh meskipun intensitas mengkritiknya lebih besar dibandingkan contoh. Apabila contoh dikelompokkan menjadi tiga golongan maka lebih dari separuh contoh (71.4% Kelas X dan 66.7% Kelas XI) memiliki hubungan yang baik dengan ayahnya. Hal ini diartikan bahwa contoh merasakan hubungan dengan ayahnya saling menghargai, peduli, membantu jika kesulitan, dan tidak pernah memukul atau menampar. Selain itu, 28.6 persen contoh Kelas X dan 30.6 persen Kelas XI berada pada kategori cukup baik. Artinya adalah contoh cukup dapat berinteraksi dengan ayahnya. Namun, masih terdapat contoh yang memiliki interaksi yang kurang baik. Hal ini diartikan bahwa contoh merasa dengan ayahnya kurang saling membantu, kurang saling menghargai, tidak peduli, kadang-kadang ayah marah, memukul, dan membentak. Hasil uji statistik menyatakan terdapat perbedaan yang signifikan antara hubungan ayah dan contoh kedua Kelas.

Interaksi yang terjalin dengan baik diduga berhubungan dengan pendidikan formal yang ditempuh ayah contoh. Gunarsa dan Gunarsa (2004) menyatakan tingkat pendidikan orangtua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi interaksi antara orangtua dan anak dalam lingkungan keluarga. Sebaran contoh berdasarkan tingkat hubungan ayah dan contoh terlihat pada Tabel 13 berikut.

(12)

Tabel 13 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat hubungan dengan ayah dan contoh (n=71)

Hubungan Ayah dan Contoh Kelas X Kelas XI

n % n % Kurang Baik (18-42) 0 0.0 1 2.8 Cukup Baik (43-66) 10 28.6 11 30.6 Baik (67-90) 25 71.4 24 66.7 Total 35 100.0 36 100.0 Min 46 42 Max 88 80 Rata-rata ± SD 70.2±8.6 65.8 ±9.0 p-value 0.040

Hubungan Contoh dengan Ibunya

Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain. Peran seorang ibu untuk pengasuhan anak sangat besar dalam pemberian simulasi mental. Hubungan ibu-anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan kehangatan ibu terhadap contoh tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh ayah contoh. Ibu lebih banyak melakukan sesuatu yang membuat contoh merasa dipedulikan (50.7%), dan dicintai (37.0%) dibandingkan yang dilakukan oleh ayah kepada contoh. Sebaliknya, hampir separuh contoh menyatakan bahwa ibunya sering mendiskusikan sesuatu sehingga contoh merasa dihargai (42.5%), dan membantu contoh (45.2%) meskipun 43.8 persen contoh menyatakan ibunya cukup marah-marah dan sering mengkritik (48.0%). Sebesar 45.2 persen contoh jarang sekali dibentak dan bertengkar oleh ibunya. Lebih dari separuh contoh (72.6%) menyatakan ibunya tidak pernah memukul atau menamparnya. Hampir separuh contoh cukup peduli (42.5%), dan berbuat sesuatu yang membuat ibu merasa dicintai (46.6%). Sepertiga contoh sering mendiskusikan sesuatu (37.0%), dan membantu ibu (45.2%). Hampir dari separuh contoh (49.3%) jarang sekali marah-marah, dan mengkritik ibunya (38.4%). Proporsi terbesar contoh (56.2%) tidak pernah membentak, dan bertengkar (34.2%) dengan ibunya. Seluruh contoh (100.0%) tidak pernah memukul ataupun menampar ibunya. Secara umum, tidak terdapat perbedaan antara hubungan ibu kepada contoh dengan hubungan ayah kepada contoh. Namun dalam dimensi kehangatan, ibu

(13)

memiliki skor tertinggi dalam mempedulikan masalah yang sedang dihadapi contoh dibandingkan ayah. Selain itu, perlakuan ibu kepada contoh juga memiliki total skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ayah kepada contoh baik dalam dimensi kehangatan maupun kekasaran (Lampiran 2b). Hal ini menunjukkan bahwa ibu memiliki hubungan yang baik dengan contoh terutama dalam hal mempedulikan dan membantu contoh meskipun sering mengkritik perbuatan yang dilakukan contoh. Sebaran contoh berdasarkan pernyataan interaksi dengan ibunya terdapat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan interaksi dengan ibu (n=73)

Pernyataan Persentase (%)

A B C D E

Perlakuan Ibu kepada Contoh Dimensi Kehangatan

1. Ibu mempedulikan masalah yang sedang

saya hadapi 0.0 5.5 15.1 28.8 50.7

2. Ibu berbuat sesuatu yang kemudian

membuat saya merasa dicintai 1.4 2.7 17.8 41.1 37.0 3. Ibu mendiskusikan sesuatu dengan saya

sehingga saya merasa dihargai 2.7 5.5 21.9 42.5 27.4 4. Ibu membantu saya bila saya perlu

sesuatu 1.4 4.1 8.2 45.2 41.1

Dimensi Kekasaran

1. Ibu marah-marah pada saya 4.1 28.8 43.8 21.9 1.4 2. Ibu mengkritik perbuatan saya 2.7 11.0 35.6 48.0 2.7 3. Ibu membentak saya dengan marah 8.2 45.2 27.4 16.4 2.7 4. Ibu bertengkar dengan saya 23.3 39.7 21.9 13.7 1.4 5. Ibu memukul atau menampar saya 72.6 19.2 6.9 1.4 0.0 Perlakuan Contoh kepada Ibu

Dimensi Kehangatan

1. Saya mempedulikan masalah yang sedang

ibu hadapi 1.4 6.9 42.5 30.1 19.2

2. Saya berbuat sesuatu yang kemudian

membuat ibu merasa dicintai 1.4 8.2 46.6 31.5 12.3 3. Saya mendiskusikan sesuatu dengan ibu

sehingga ibu merasa dihargai 1.4 8.2 35.6 37.0 17.8 4. Saya membantu ibu bila ibu perlu sesuatu 0.0 2.7 35.6 45.2 16.4

Dimensi Kekasaran

1. Saya marah-marah pada ibu 19.2 49.3 19.2 11.0 1.4 2. Saya mengkritik perbuatan ibu 16.4 38.4 32.9 12.3 0.0 3. Saya membentak ibu dengan marah 56.2 27.4 9.6 6.9 0.0

4. Saya bertengkar dengan ibu 34.3 35.6 19.2 9.6 1.4 5. Saya memukul atau menampar ibu 100.0 0.0 0.0 0.0 0.0 Keterangan: A: Tidak pernah, B: Jarang sekali, C: Cukup, D: Sering, E: Selalu

Tabel 15 menjelaskan bahwa lebih dari separuh contoh (72.2% pada Kelas X dan 62.2% pada Kelas XI) memiliki hubungan yang baik dengan ibunya. Hal ini berarti bahwa contoh memiliki hubungan baik dengan ibunya. Hal ini diartikan bahwa contoh merasakan hubungan dengan ibunya saling menghargai,

(14)

peduli, membantu jika kesulitan, dan tidak pernah memukul atau menampar. Sebesar 25.0 persen contoh Kelas X dan 37.8 persen Kelas XI berada pada kategori cukup baik. Artinya adalah contoh cukup dapat berinteraksi dengan ibunya. Namun, masih terdapat contoh yang memiliki interaksi yang kurang baik. Hal ini menggambarkan bahwa contoh kurang dapat berinteraksi dengan ibunya. Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hubungan contoh dengan ibunya pada kedua kelas. Sebaran contoh berdasarkan tingkat hubungan contoh dengan ibunya terlihat pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat hubungan

dengan ibunya (n=73)

Hubungan Ibu dan Contoh Kelas X Kelas XI

n % n % Kurang Baik (18-42) 1 2.8 0 0.0 Cukup Baik (43-66) 9 25.0 14 37.8 Baik (67-90) 26 72.2 23 62.2 Total 36 100.0 37 100.0 Min 31 47 Max 81 83 Rata-rata ± SD 69.2±10.6 68.1 ±9.3 p-value 0.634

Hubungan Ayah dengan Ibu

Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi pembinaan anak-anaknya. Hubungan yang baik di dalam keluarga antara ayah, ibu, dan anak-anak akan terjalin apabila komunikasi berjalan dengan baik (Effendi et al 1995, diacu dalam Kunarti 2004). Proporsi terbesar contoh menunjukkan adanya hubungan yang mendukung antara ayah dan ibu. Hasil penelitian memberikan informasi bahwa interaksi yang selalu dilakukan oleh orangtua contoh berupa kepedulian dan penghargaan. Ayah sedikit lebih mempedulikan masalah yang sedang dihadapi ibu (49.3%) dibandingkan ibu (40.9%). Namun separuh contoh menyatakan bahwa ibu (50.7%) lebih banyak mendiskusikan sesuatu kepada ayah dibandingkan ayah kepada ibu (46.5%). Separuh contoh (50.7%) juga menyatakan bahwa ibu selalu berbuat sesuatu yang membuat ayah merasa dicintai meskipun ayah sering melakukan hal tersebut kepada ibu (39.4%).

Hampir separuh contoh (46.5%) menyatakan bahwa ayah selalu membantu ibu, sedangkan ibu jarang sekali membantu ayah bila memerlukan sesuatu. Hampir separuh contoh menyatakan ayah cukup marah-marah kepada ibu (43.7%), dan sebaliknya (45.1%). Ayah juga cukup mengkritik (47.9%) dan membentak ibu (52.1%) meskipun proporsi terbesar contoh menyatakan bahwa

(15)

ibu tidak pernah mengkritik (45.1%) dan jarang membentak ayah (59.2%). Sebagian besar contoh menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah bertengkar dengan ibu (88.7%), begitu pula dengan ibu (93.0%). Lebih dari separuh contoh menyatakan bahwa ayahnya tidak pernah memukul atau menampar ibu (56.3%), dan hampir seluruh ibu (93.0%) tidak pernah memukul atau menampar ayah. Secara umum, skor tertinggi hubungan yang terjadi antara ayah dan ibu yaitu dalam hal saling mempedulikan masalah yang sedang dihadapi (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan (dimensi kekasaran). Namun pada perlakukan ibu kepada ayah, skor tertinggi juga terdapat dalam hal membantu ayah jika memerlukan sesuatu. Hal ini menunjukkan hubungan yang baik antara ayah dan ibu meskipun total skor pada dimensi kehangatan sedikit lebih tinggi ibu daripada ayah (Lampiran 2c).

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan hubungan ayah dengan ibu (n=71)

Pernyataan Persentase (%)

A B C D E

Perlakuan Ayah kepada Ibu Dimensi Kehangatan

1. Ayah mempedulikan masalah yang sedang

ibu hadapi 1.4 1.4 21.1 26.8 49.3

2. Ayah berbuat sesuatu yang kemudian

membuat ibu merasa dicintai 1.4 2.8 28.2 39.4 28.2 3. Ayah mendiskusikan sesuatu dengan ibu

sehingga ibu merasa dihargai 2.8 2.8 18.3 29.6 46.5 4. Ayah membantu ibu bila ibu perlu sesuatu 1.4 4.2 15.5 32.4 46.5

Dimensi Kekasaran

1. Ayah marah-marah pada ibu 7.0 25.4 43.7 22.5 1.4 2. Ayah mengkritik perbuatan ibu 0.0 35.2 47.9 9.9 7.0 3. Ayah membentak ibu dengan marah

4. Ayah bertengkar dengan ibu 5. Ayah memukul atau menampar ibu

0.0 88.7 56.3 26.8 2.8 21.1 52.1 5.6 18.3 15.5 0.0 1.4 5.6 2.8 2.8

Perlakuan Ibu kepada Ayah Dimensi Kehangatan

1. Ibu mempedulikan masalah yang sedang

ayah hadapi 1.4 5.6 21.1 31.0 40.9

2. Ibu berbuat sesuatu yang kemudian

membuat ayah merasa dicintai 2.8 2.8 15.5 38.0 40.9 3. Ibu mendiskusikan sesuatu dengan ayah

sehingga ayah merasa dihargai 1.4 4.2 11.3 32.4 50.7 4. Ibu membantu ayah bila ayah perlu

sesuatu 8.5 46.5 38.0 7.0 0.0

Dimensi Kekasaran

1. Ibu marah-marah pada ayah 5.6 26.8 45.1 21.1 1.4 2. Ibu mengkritik perbuatan ayah 45.1 40.9 14.1 0.0 0.0

3. Ibu membentak ayah dengan marah 16.9 59.2 19.7 4.2 0.0 4. Ibu bertengkar dengan ayah 93.0 4.2 2.8 0.0 0.0

(16)

Keterangan: A: Tidak pernah, B: Jarang sekali, C: Cukup, D: Sering, E: Selalu

Apabila hubungan variabel ayah dan ibu contoh dikelompokkan menjadi tiga kategori, maka hasil menunjukkan bahwa proporsi terbesar orangtua contoh (80.0% Kelas X dan 72.2% Kelas XI) memiliki interaksi yang baik dengan rata-rata skor 74.1 pada Kelas X dan 71.0 pada Kelas XI (Tabel 17). Hal ini berarti bahwa terjadi interaksi yang baik antar kedua orangtua contoh. Selain itu, 20.0 persen contoh Kelas X dan 27.8 persen Kelas XI berada pada kategori cukup baik. Artinya adalah orangtua contoh cukup berinteraksi antara keduanya, sedangkan interaksi yang kurang baik tidak terjadi pada kedua orangtua contoh. Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hubungan orangtua contoh kedua Kelas.

Tabel 17 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat interaksi ayah dan ibu pada (n=71)

Interaksi Ayah dan Ibu Kelas X Kelas XI

n % n % Kurang Baik (18-42) 0 0.0 0 0.0 Cukup Baik (43-66) 7 20.0 10 27.8 Baik (67-90) 28 80.0 26 72.2 Total 35 100.0 36 100.0 Min 58 48 Max 84 89 Rata-rata ± SD 74.1±7.1 71.0 ±10.3 p-value 0.144 Kualitas Hubungan

Hubungan kasih sayang antara orangtua dan anak akan mendekatkan anak dengan orangtuanya, memudahkan orangtua memberikan hadiah dan hukuman yang sepadan jika anak berbuat tidak baik. Anak juga akan lebih mudah menerima nilai-nilai orangtua dan menirunya (Gunarsa & Gunarsa, 2004).

Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa secara umum separuh contoh pada dasarnya puas dan puas sekali terhadap keadaan hubungan antara ayah, ibu, dan antara orangtua contoh. Proporsi terbesar contoh pada dasarnya memiliki kategori hubungan yang memuaskan (49.3% dengan ibu dan 43.8% dengan ayah), dan membahagiakan (46.6% dengan ibu dan 43.8% dengan ayah). Selain itu, contoh juga menilai bahwa 52.1 persen puas dan 54.8% bahagia mengenai hubungan antara ayah terhadap ibunya. Kualitas hubungan yang memiliki skor terbesar yaitu contoh merasa bahagia dengan keadaan hubungan dengan ibunya, sedangkan skor terkecil terletak pada rasa puas contoh terhadap hubungan yang terjadi dengan ayahnya. Secara keseluruhan, kualitas hubungan yang paling tinggi terletak pada hubungan antara contoh dan

(17)

ibunya, selanjutnya antara ayah dan ibu, dan terakhir dengan ayahnya (Lampiran 2d). Sebaran contoh berdasarkan kualitas hubungan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kualitas hubungan (n=73)

Pernyataan Persentase (%)

A B C D 1. Seberapa puaskah hubungan antara anda dan ibu

anda? 1.4 6.9 49.3 42.5

2. Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan

hubungan anda dengan ibu anda? 1.4 6.9 45.2 46.6 3. Seberapa puaskah hubungan antara anda dan ayah

anda? 5.5 8.2 43.8 42.5

4. Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan

hubungan anda dengan ayah anda? 4.1 8.2 43.8 43.8 5. Seberapa puaskah hubungan antara ayah dan ibu

anda? 2.7 6.9 38.4 52.1

6. Seberapa bahagiakah anda dengan keadaan

hubungan ayah dengan ibu anda? 5.5 5.5 34.3 54.8 Keterangan: A: Sangat tidak puas/tidak bahagia B: Pada dasarnya tidak puas/tidak bahagia, C:

Pada dasarnya puas/bahagia, D: Puas/bahagia sekali

Tabel 19 menjelaskan bahwa lebih dari separuh contoh (66.7% Kelas X dan 54.1% Kelas XI) memiliki kualitas hubungan yang tergolong puas dengan orangtuanya dan rata-rata skor Kelas X sedikit lebih besar (20.1) dibandingkan Kelas XI (19.9). Artinya contoh merasa puas/bahagia terhadap hubungannya dengan orangtuanya. Contoh merasa bahwa orangtuanya telah memenuhi kebutuhan secara fisik maupun secara psikologis dengan baik. Selain itu, 33.3 persen contoh Kelas X dan 37.8 persen contoh Kelas XI merasa cukup puas/bahagia terhadap hubungan dengan orangtuanya. Hal ini berarti baik ayah maupun ibu cukup memenuhi kebutuhan contoh baik secara fisik maupun psikologis. Namun, masih terdapat beberapa contoh yang tidak puas/bahagia dengan hubungannya dengan ayah dan ibu. Hal ini menandakan bahwa orangtua tidak dapat memenuhi kebutuhan contoh baik secara fisik maupun psikologis (Tabel 19). Hasil uji statistik menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kualitas hubungan contoh pada Kelas X dan Kelas XI. Tabel 19 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat kualitas

hubungan (n=73)

Kualitas Hubungan Kelas X Kelas XI

n % n % Tidak puas/bahagia (6-12) 0 0.0 3 8.1 Cukup puas/bahagia (13-18) 12 33.3 14 37.8 Puas/bahagia (19-24) 24 66.7 20 54.1 Total 36 100.0 37 100.0 Min 13 10 Max 24 24 Rata-rata ± SD 20.1±3.1 19.9 ±4.1 p-value 0.775

(18)

Berdasarkan uji beda Mann Whitney dalam pengukuran variabel interaksi dalam keluarga, terdapat perbedaan yang nyata positif antara interaksi ayah dan ibu dalam hal kehangatan, kekasaran, keeratan hubungan, komunikasi, dan interaksi antara orangtua dengan contoh. Hal ini menunjukkan bahwa contoh merasakan kehangatan, dan berinteraksi lebih banyak kepada ibu dibandingkan kepada ayah (Tabel 20).

Tabel 20 Rata-rata skor ayah dan ibu dalam berinteraksi dengan keluarga Variabel Interaksi dalam keluarga Nilai Rata-rata Uji Beda

t (p) Ayah Ibu

Kehangatan orangtua kepada contoh 14.9 16.4 .01**

Kehangatan contoh kepada orangtua 13.7 14.4 .11

Kekasaran orangtua kepada contoh 18.4 17.2 .03*

Kekasaran contoh kepada orangtua 21.0 20.6 .36

Kualitas hubungan orangtua dengan contoh 6.5 6.7 3.33

Interaksi contoh dengan orangtua 117.2 124.1 .02* ** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed).

* korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed).

Berdasarkan laporan contoh diketahui bahwa ibu lebih memberikan pengasuhan yang dilandasi kehangatan lebih tinggi daripada ayah. Tabel 20 menjelaskan bahwa rata-rata interaksi contoh dengan ibu (skor rata-rata=124.1) adalah lebih tinggi dan signifikan (p<0.05) dibandingkan interaksi contoh dengan ayah (skor rata-rata 117.2). Hal ini dapat diartikan bahwa interaksi antara contoh dan ibu lebih baik dibandingkan interaksi antara contoh dan ayah. Interaksi tersebut meliputi tingginya rata-rata nilai kehangatan ibu kepada contoh, dan rendahnya kekasaran ibu kepada contoh. Hal ini dikarenakan ibu adalah orang terdekat dan orang yang melahirkan dan merawat anaknya sampai dewasa. Selain itu, ibu memiliki kesempatan bersama dengan anak yang lebih tinggi dibandingkan dengan ayah yang merupakan bagian dalam keluarga yang bertugas sebagai pencari nafkah. Hal ini mendukung pernyataan Puspitawati (2006) bahwa kontribusi peran pengasuhan yang dilakukan oleh ibu mempunyai keistimewaan yang lebih besar dibandingkan dengan peran pengasuhan yang dilakukan ayah.

(19)

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam keberhasilan seseorang dibandingkan dengan IQ. Kecerdasan emosional yang tinggi dapat membantu menghadapi berbagai macam kejadian yang tidak terduga dalam kehidupannya. Hal ini sangat menolong dalam melakukan penyelesaian dengan lingkungan dan orang lain (Goleman 1995).

Kecerdasan emosional menurut Goleman (1995) meliputi mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan seni membina hubungan. Adanya kesadaran akan perasaan diri sendiri sewaktu perasaan itu terjadi dibutuhkan dalam mengenali emosi diri. Kesadaran berarti waspada baik terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati. Tabel 21 menjelaskan bahwa contoh lebih stabil dalam mengenali emosi diri. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa proporsi terbesar contoh dapat mengetahui kekuatan (38.4%) dan kelemahan (43.8%) emosi yang ada pada dirinya, mengerjakan sesuatu dengan benar (52.1%) , dan mempunyai kualitas bagus dalam dirinya (45.2%).

Contoh cenderung dapat mengelola emosi meskipun agak sulit untuk mengontrol dan marah ketika dikecewakan teman. Namun sepertiga contoh (38.4%) dapat menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan amarahnya ketika sedang bad mood dan lebih dari separuh contoh (54.8%) berusaha menyesuaikan diri walaupun terkadang agak berat. Begitu pula dalam hal memotivasi diri, proporsi terbesar contoh (35.6%) tidak malu meminta nasihat kepada orangtua dalam memecahkan masalah sehingga merasa yakin dengan diri sendiri. Proporsi terbesar contoh dapat mengenali emosi orang lain dan dapat membina hubungan dengan baik. Proporsi terbesar contoh suka berteman dengan siapa saja (50.7%), dan mengucapkan salam ketika berangkat ke sekolah (75.3%). Pengendalian emosi dilakukan bukan dengan menekan emosi melainkan mampu menyalurkan emosi dan mengalihkan suasana hati melalui kegiatan positif seperti nonton, membaca buku, aerobik, makan makanan kegemaran, pergi berbelanja, mencoba untuk melihat permasalahan dari sudut pandang baru, dan menolong orang lain (Goleman 1999).

Nilai tertinggi dalam mengenali emosi diri terletak dalam hal mengetahui kelemahan emosi, sedangkan terendah dalam hal mengerjakan sesuatu dengan benar. Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki kemampuan mengenali emosinya dengan baik terutama dalam mengetahui kelemahan emosinya

(20)

meskipun dalam hal mengerjakan sesuatu dengan benar dilakukan cukup baik. Contoh memiliki nilai yang tinggi dalam hal menyesuaikan diri walupun agak berat dalam hal mengelola emosi, sedangkan nilai terkecil dalam hal marah ketika dikecewakan oleh teman. Hal ini berarti bahwa contoh memiliki kemampuan dalam mengelola emosi terutama dalam menyesuaikan diri, meskipun mudah marah jika dikecewakan oleh teman.

Goleman (1999) menyatakan bahwa memotivasi merupakan salah satu dasar kecerdasan emosional yang akan meningkatkan keberhasilan dalam segala bidang suatu kumpulan perasaan antusiasme, gairah, dan keyakinan diri dalam mencapai prestasi. Nilai tertinggi pada penelitian ini dalam hal motivasi terletak pada masalah yang dihadapi semakin membuat contoh tidak dapat mengenali dirinya sendiri, sedangkan nilai terendah terletak pada jadwal agenda harian yang dimiliki contoh. Hal ini menunjukkan bahwa contoh kurang dapat termotivasi dalam hal menghadapi masalah dan memiliki agenda harian.

Nilai empati tertinggi yang dilakukan contoh dalam hal menghormati teman yang beribadah, sedangkan nilai terendah terletak dalam hal membuang sampah pada tempatnya. Hal ini menunjukkan jiwa toleransi antar umat beragama sangat baik dilakukan oleh contoh meskipun empati terhadap kebersihan kurang baik. Seni membina hubungan yang paling tinggi dilakukan contoh yaitu dalam hal mengucapkan salam kepada orangtua ketika akan berangkat ke sekolah, sedangkan yang paling kecil dalam hal memulai suatu pembicaraan terhadap orang dewasa. Hal ini berarti bahwa contoh memiliki kemampuan membina hubungan yang baik dengan oranglain, terutama dalam mengucapkan salam kepada orangtua meskipun cukup baik dalam memulai suatu pembicaraan dengan oranglain (Lampiran 2e). Secara keseluruhan, kecerdasan emosional yang paling tinggi dilakukan sebagian besar contoh yaitu kemampuan empati dan paling rendah dalam hal memotivasi diri (Lampiran 3). Sebaran contoh berdasarkan pernyataan kecerdasan emosional terletak pada Tabel 21.

(21)

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan emosional

Pernyataan Persentase (%)

A B C D E

Mengenali Emosi Diri

1. Saya merasa tidak mempunyai kekuatan untuk

mengubah hal-hal yang penting dalam hidup saya 1.4 8.2 24.7 38.4 27.4 2. Saya selalu mengerjakan sesuatu dengan benar 0.0 4.1 52.1 42.5 1.4 3. Saya merasa punya kualitas bagus 1.4 9.6 34.3 45.2 9.6 4. Saya dapat memahami dan mengenali diri saya

sendiri 1.4 1.4 21.9 50.7 24.7

5. Saya mengetahui kelemahan emosi saya 1.4 6.9 16.4 43.8 31.5

Mengelola Emosi Diri

1. Saya dapat mengontrol emosi saya 1.4 8.2 50.7 31.5 8.2 2. Dimanapun saya berada, saya berusaha untuk

menyesuaikan diri walaupun terkadang agak berat 0.0 2.7 12.3 54.8 30.1 3. Saya bertindak dan bersikap positif 0.0 4.1 52.1 42.5 1.4 4. Saya akan menghindari hal-hal yang dapat

menimbulkan amarah saya muncul ketika sedang bad

mood 0.0 6.9 28.8 38.4 26.0

5. Ketika dikecewakan oleh teman, saya akan marah

kepadanya 5.5 24.7 39.7 28.8 1.4

Motivasi

1. Saya tidak malu untuk minta nasihat pada orangtua

dalam memecahkan masalah-masalah saya 2.7 12.3 27.4 35.6 21.9 2. Masalah yang saya hadapi membuat saya semakin

tidak dapat mengenali diri saya 1.4 8.2 28.8 41.1 20.6 3. Saya sangat yakin pada diri saya sendiri 1.4 5.5 34.3 43.8 15.1 4. Saya tidak pernah berhenti belajar sampai mengerti 0.0 12.3 42.5 37.0 8.2 5. Saya memiliki jadwal agenda harian yang akan

dilakukan setiap harinya 17.8 32.9 30.1 11.0 8.2

Empati

1. Saya membantu nenek menyeberang jalan 9.6 0.0 1.4 0.0 89.0 2. Saya membuang sampah ditempat sampah 15.1 0.0 11.0 0.0 74.0 3. Saya memberi bantuan keuangan kepada teman

yang membutuhkan sesuai kemampuan 0.0 0.0 6.9 0.0 93.2 4. Saya tidak ambil pusing jika teman saya membentuk

kelompok 0.0 0.0 1.4 0.0 98.6

5. Saya menghormati teman yang beribadah 2.7 0.0 30.1 0.0 67.1

Seni Membina Hubungan

1. Mudah sekali bagi saya untuk memulai suatu

pembicaraan dengan orang dewasa 2.7 19.2 26.0 38.4 13.7 2. Saya selalu mengucapkan salam kepada orangtua

ketika akan berangkat ke sekolah 0.0 0.0 4.1 20.6 75.3 3. Saya suka berteman dengan siapa saja 2.7 0.0 8.2 38.4 50.7 4. Saya orang yang sangat menyenangkan dan

gampang diajak kerjasama 1.4 4.1 23.3 52.1 19.2 5. Saya bisa menyimpan rahasia teman 1.4 15.1 45.2 38.4 0.0 Keterangan: A: Saya sama sekali tidak seperti itu, B: Kemungkinan besar saya tidak seperti itu C:

Saya antara seperti itu dan tidak seperti itu, D: Kemungkinan besar saya seperti itu E: Saya selalu seperti itu

(22)

Sebagian besar contoh (88.9% Kelas X dan 78.4% Kelas XI) memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Hal ini berarti bahwa contoh memiliki kemampuan yang baik dalam mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, berempati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Selain itu, terdapat 11.1 persen contoh Kelas X dan 21.6 persen Kelas XI yang memiliki kecerdasan emosional sedang. Hal ini menunjukkan bahwa contoh memiliki kemampuan yang cukup baik dalam mengenali emosi, mengelola emosi, memotivasi diri, berempati, dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional yang rendah tidak ditemukan pada contoh baik Kelas X maupun Kelas XI. Rata-rata kecerdasan emosi contoh Kelas X (102.0) lebih tinggi dari Kelas XI (98.6). Namun hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara kecerdasan emosi keduanya.

Tabel 22 Sebaran contoh Kelas X dan Kelas XI berdasarkan tingkat kecerdasan emosional (n=73)

Kecerdasan Emosional Kelas X Kelas XI

n % n % Rendah (25-58) 0 0.0 0 0.0 Sedang (59-91) 4 11.1 8 21.6 Tinggi (92-125) 32 88.9 29 78.4 Total 36 100.0 37 100.0 Min 78 75 Max 120 115 Rata-rata ± SD 102.0±10.3 98.6 ±8.8 p-value 0.127

Hubungan Antar Variabel

Hubungan Karakteristik Individu dengan Interaksi Anak dalam Keluarga

Berdasarkan uji korelasi Spearman yang dilakukan untuk melihat hubungan karakteristik individu dengan interaksi anak dalam keluarga, terdapat hubungan antara tujuan hidup dan cita-cita dengan interaksi yang terjadi antara ibu dan contoh (Lampiran 5a). Semakin tinggi tujuan hidup dan cita-cita anak di masa yang akan datang maka interaksi anak dengan ibu semakin baik.

Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain. Peran seorang ibu untuk pengasuhan anak sangat besar dalam pemberian simulasi mental. Hubungan ibu-anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

(23)

Hubungan Karakteristik Keluarga dengan Interaksi Anak dalam Keluarga

Karakteristik keluarga contoh meliputi umur ayah dan ibu, tingkat pendidikan ayah dan ibu, jenis pekerjaan ayah dan ibu, pendapatan keluarga per bulan, dan besar keluarga. Interaksi anak dalam keluarga terdiri dari pengasuhan yang bersifat warmth support, dan kualitas hubungan orangtua.

Berdasarkan hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur ayah dan ibu dengan interaksi anak dalam keluarga. Tetapi umur ayah, dan tingkat pendidikan ayah memiliki hubungan yang positif dengan umur ibu, dan tingkat pendidikan ibu. Hal ini menunjukkan homogenitas yang dimiliki contoh tinggi sehingga tidak cukup varian untuk membuktikannya.

Tabel 23 Hasil uji korelasi Spearman karakteristik keluarga dengan interaksi anak dalam keluarga

** korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed). * korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed).

Hubungan Interaksi Anak dalam Keluarga dengan Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional ditentukan oleh kepribadian yang dibawa sewaktu lahir (genetik), dan dibentuk juga oleh interaksi-interaksi dengan orangtua dan lingkungannya. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa hubungan antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, kualitas hubungan, dan interaksi anak dalam keluarga mempunyai hubungan yang nyata positif dengan kecerdasan emosional. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi hubungan antara ayah dan contoh, hubungan antara ibu dan contoh, kualitas hubungan, dan interaksi yang dilakukan dalam keluarga maka kecerdasan emosionalnya akan semakin baik (Lampiran 5c).

Variabel Umur Ayah Umur Ibu Pddkn Ayah Pddkn Ibu Pdptn Orangtua Besar keluarga Interaksi Keluarga

Umur Ayah Umur Ibu .61** Pendidikan Ayah -.00 .11 Pendidikan Ibu .11 .18 .61** Pendapatan Orangtua -.07 -.18 .08 .22 Besar keluarga -.08 -.05 .02 -.17 .09 Interaksi Keluarga -.03 .00 .05 -.03 .21 -.08

(24)

Interaksi sosial yang pertama kali dialami oleh anak adalah hubungan anak dengan ibunya, kemudian meluas dengan ayah dan anggota keluarga yang lain. Dalam pemberian stimulasi mental pada anak maka peran seorang ibu untuk pengasuhan anak sangat besar. Interaksi ibu-anak sebagai suatu pola perilaku yang mengikat ibu dan anak secara timbal balik yang mencakup berbagai upaya keluarga secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

Interaksi keluarga yang semakin baik, maka kecerdasan emosional yang terbentuk akan baik. Keluarga yang harmonis dan saling berinteraksi antara orangtua dan anak serta adanya kasih sayang dan kebersamaan dalam keluarga, akan memberikan suatu lingkungan yang kondusif bagi kecerdasan emosional anak (Gunarsa dan Gunarsa 2004).

Hal ini mendukung pernyataan Gottman & DeClaire (1998) bahwa kecerdasan emosional cenderung meningkat dengan meningkatnya interaksi yang terjadi dengan orangtua. Schikendanz (1995), diacu dalam Megawangi (2004) menyatakan bahwa anak yang hidup dalam lingkungan keluarga yang aman dan bahagia maka akan mampu berkembang dengan baik, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan di luar keluarga terutama di lingkungan sekolah.

Pembahasan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan interaksi anak dalam keluarga dengan kecerdasan emosional siswa kelas bertaraf internasional. Penelitian ini menempatkan contoh sebagai seorang remaja yang menjadi anggota dari suatu organisasi baik organisasi keluarga, organisasi sekolah maupun organisasi dari suatu kumpulan pemuda. Pemahaman akan peran dan fungsi remaja baik sebagai anak maupun sebagai pelajar didekati melalui sistem interaksi dan pendekatan teori ekosistem dalam keluarga (Bronfenbrenner 1981).

Bronfenbrenner (1981) menyajikan model pandangan dari segi ekologi dalam memahami proses sosialisasi pada anak. Model tersebut menempatkan posisi anak pada pusat di dalam model yang secara langsung dapat berinteraksi dengan lingkungan yang berada disekitarnya yang meliputi lingkungan mikrosistem, mesosistem, dan makrosistem. Lingkungan mikrosistem merupakan lingkungan terdekat dengan anak berada, meliputi keluarga, sekolah, teman

(25)

sebaya, dan tetangga. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan mesosistem yang berupa hubungan antara lingkungan mikrosistem satu dengan mikrosistem yang lainnya, misalnya hubungan antara lingkungan keluarga dengan sekolahnya, dan hubungan antara lingkungan keluarga dengan teman sebayanya. Lingkungan yang lebih luas disebut lingkungan exosistem yang merupakan lingkungan anak tidak secara langsung mempunyai peran secara aktif , misalnya lingkungan keluarga besar atau lingkungan pemerintahan. Akhirnya lingkungan yang paling luas adalah lingkungan makrosistem yang merupakan tingkatan paling luas yang meliputi struktur sosial budaya suatu bangsa secara umum.

Hasil penelitian menemukan adanya hubungan yang signifikan antara cita-cita dengan hubungan antara contoh dengan ibunya yang akhirnya akan mempengaruhi kecerdasan emosional. Hal ini memberikan bukti bahwa semakin tinggi cita-cita yang ingin dicapai maka akan semakin baik pula hubungan yang dilakukan contoh kepada ibunya. Selain itu terdapat hubungan tidak langsung dari karakteristik sosial ekonomi orangtua seperti tingginya pendidikan ayah dan ibu yang berhubungan erat dengan semakin tingginya tingkat pendapatan keluarga. Tidak adanya hubungan antara karakteristik keluarga dengan interaksi anak dalam keluarga dikarenakan sampel yang digunakan homogen atau tidak terdapat perbedaan antara Kelas X dan XI. Tingginya tingkat pendapatan keluarga akan berdampak pada baiknya fungsi sosialisasi dan pengasuhan yang dilakukan orangtua. Hal ini kemudian akan berdampak pada kualitas hubungan antara orangtua dan anak, yang akhirnya akan berpengaruh pada kecerdasan emosional anak.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi pembinaan anak-anaknya. Secara umum, skor tertinggi hubungan yang terjadi antara ayah dan ibu yaitu dalam hal saling mempedulikan masalah yang sedang dihadapi (dimensi kehangatan), dan mengkritik perbuatan (dimensi kekasaran). Namun pada perlakuan ibu kepada ayah, skor tertinggi juga terdapat dalam hal membantu ayah jika memerlukan sesuatu. Perlakuan ayah kepada contoh baik dalam hal dimensi kehangatan maupun kekasaran memiliki skor yang lebih tinggi daripada perlakuan contoh kepada ayahnya. Secara umum, tidak terdapat perbedaan antara hubungan ibu kepada contoh dengan hubungan ayah kepada contoh. Pada dimensi kehangatan, ibu memiliki skor tertinggi dalam mempedulikan masalah yang

(26)

sedang dihadapi contoh dibandingkan ayah. Selain itu, perlakuan ibu kepada contoh juga memiliki total skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan ayah kepada contoh baik dalam dimensi kehangatan maupun kekasaran.

Hasil penelitian Puspitawati (2006) mengindikasikan orangtua yang berkompeten adalah yang melakukan pengasuhan dengan hangat dan mendukung, menghargai anaknya, mencintai anaknya, melakukan kegiatan bersama, menanyakan pendapat, dan membantu memecahkan masalah bersama. Gaya pengasuhan yang dilakukan baik oleh ibu maupun ayah merupakan variabel mediator antara keadaan sosial-ekonomi keluarga dan tingkat kecerdasan emosional pelajar di SMK TI dan SMU. Jadi karakteristik orangtua yang kompeten dalam penelitian ini adalah orangtua yang mampu melakukan pengasuhan dengan penuh kehangatan dan dukungan, mempedulikan masalah yang sedang dihadapi, mencintai anaknya, menghargai anaknya, mendiskusikan sesuatu, dan membantu menyelesaikan masalah.

Keluarga merupakan sumber institusi paling awal dan paling kuat dalam mensosialisasikan anak-anaknya. Pengasuhaan yang diberikan ibu memberi hubungan yang erat dengan kecerdasan emosional. Pengasuhan ibu dan ayah mempunyai hubungan yang signifikan dalam meningkatkan kecerdasan emosional. Hal ini konsisten dengan pernyataan Puspitawati (2006) yang menyatakan bahwa keluarga merupakan sumber institusi paling awal dan paling kuat dalam mensosialisasikan anak-anaknya, baik pelajar laki-laki di SMK-TI maupun pelajar perempuan di SMK-TI dan SMU sesuai dengan nilai-nilai keluarga dan norma masyarakat yang dianut.

Merujuk pada pendekatan teori ekologi keluarga/teori system, apabila salah satu subsistem terganggu, maka berakibat pada terganggunya sub-sistem lainnya. Pengasuhan yang cenderung mengarah pada hubungan yang baik antara ayah dan contoh, ibu dan contoh, dan interaksi yang terjadi dalam keluarga akan memiliki kualitas hubungan yang baik. Akhirnya apabila orangtua mendampingi dan membimbing anaknya dengan baik, maka akan mempengaruhi tingginya kecerdasan emosional anak. Jadi dapat dikatakan bahwa apabila orangtua dapat mengoptimalkan peranannya dalam menjalankan fungsi pengasuhan yang baik, maka anak akan mampu menguasai dan mengontrol emosinya. Penelitian ini telah membuktikan Teori Bronfenbrenner (1981) bahwa outcome anak yang berupa kecerdasan emosional dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya khususnya lingkungan keluarga.

Gambar

Tabel 2  Sebaran contoh Kelas X  dan XI berdasarkan jenis kelamin (n=73)  Jenis Kelamin  Kelas X  Kelas  XI
Tabel 6  Sebaran contoh Kelas X dan Kelas  XI berdasarkan besarnya uang saku  per bulan (n=73)
Tabel 8  Sebaran contoh Kelas X dan Kelas  XI berdasarkan pendidikan  orangtua
Tabel 9  Sebaran contoh Kelas X dan Kelas  XI berdasarkan pekerjaan orangtua   Pekerjaan Orangtua  Kelas X  Kelas  XI
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hubungannya dapat dilihat dari pembelajaran Numbered Heads Together yang merupakan bagian dari model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada struktur khusus,

cukup kuat untuk mempengaruhi mereka, yang ada malah saya yang di pengaruhi, dan kadang kalau saya melakukan kesalahan atau melukai hati Tuhan, saya sangat sulit untuk

Kesiapan kerja sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantara faktor yang dianggap memiliki pengaruh yang signifikan yaitu motivasi kerja, bimbingan karier, dan prestasi

1) Peserta didik diminta mengamati tentang contoh gambar berkaitan dengan keunggulan ekonomi seperti gambar PT Freeport, pecan raya, batik, dan sebagainya. 2) Berdasarkan

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa indikator kemampuan komunikasi matematika yang diamati dalam penelitian ini adalah (1) siswa mampu menyatakan ide

Pada bab ini, Anda akan diajak untuk dapat memahami struktur atom, sifat-sifat periodik unsur, dan ikatan kimia, dengan cara memahami struktur atom berdasarkan teori atom

Patogen lain seperti Mycoplasma hominis, Haemophilus influenza, Streptococcus pyogenes, Bacteroides, yang berasal dari apendisitis atau diverkulitis

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara sumber informasi paling berkesan sebelum penyuluhan dengan tingkat pengetahuan santri mengenai