• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV. Analisis Data

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab IV. Analisis Data"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Bab IV

Analisis Data

4.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus dari peneliti adalah perilaku masyarakat Kota Salatiga terhadap pengambilan keputusan pembelian produk di restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris dimana perilaku tersebut ditinjau dari faktor budaya, sosial, pribadi dan motivasi internal. Maka dari itu agar persoalan dan tujuan penelitian di bab sebelumnya terjawab, responden yang ditunjuk dalam penelitian ini adalah masyarakat Kota Salatiga yang pernah dan sampai saat ini masih mengkonsumsi produk di restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris.

4.2 Hasil Analisis

Dari data yang sudah diolah (lampiran 2) dengan menggunakan teknik analisis yang disampaikan oleh Miles dan Huberman didalam Sugiyono (2013) dan statistik deskriptif dengan bantuan software SPSS 22 , dapat dianalisis guna menjawab persoalan penelitian sebagai berikut:

4.2.1 Faktor budaya mendorong perilaku konsumen masyarakat Kota Salatiga dalam membeli produk restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris.

Faktor budaya dapat mendorong perilaku responden dalam melakukan pembelian produk di restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris. Dalam penelitian ini, dari tiga indikator pembentuk faktor budaya yaitu persepsi, etnis dan kelas sosial. Dari ketiga indikator tersebut, hanya indikator persepsi yang mendorong responden dimana diketahui sebesar 66,7% (lampiran 3, tabel 4.1.1) dari total responden berpendapat bahwa restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris lebih terkesan mahal (50%, lampiran 3, tabel 4.1.1.1), menarik (8%), tempatnya lebih bagus (8%), keren (8%), elegan (8%) dan ada yang menyatakan kekinian (17%), seperti yang dikatakan oleh salah seorang responden bernama Ibu Dwi Fenny Arifiana (28 tahun, karyawan):

(2)

“Kalau kita tahu artinya it’s oke gitu lho, menurut saya sih ndak masalah mau pakai bahasa Inggris atau mau pakai bahasa Indonesia ya gitu. Cuma memang kalau untuk dilihat secara trendnya lebih bonafit yang menggunakan bahasa Inggris. Kalau orang sekarang lebih kelihatan kekinian. Sama kayak misalnya pekerjaan saya ahli meracik kosmetik kebetulan, sama saat menjualkan produk menggunakan bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia, orang lebih cenderung memilih bahasa Inggris karena lebih menjual gitu dan orang lebih tertarik dengan itu sama kalau makan juga seperti itu walaupun sama – sama nasi putih tapi kalau dibikin steam rice lebih kelihatannya ada sesuatu yang baru. Biasa nasi putih diluar Rp 2.000 kalau disitu bisa Rp 6.000 1 piringnya.”

Dari penjelasan responden dapat dianalisis bahwa responden pergi ke restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris akan membuat responden terkesan kekinian. Dikarenakan persepsi kekinian, telah mendorong responden agar bersedia mengeluarkan biaya lebih untuk membeli produk tersebut. Namun berbeda dengan 33,3% (lampiran 3, tabel 4.1.1) dari total responden dimana mayoritas adalah para manula usia 40 tahun keatas, ditemukan bahwa faktor budaya tidak memberikan dorongan dalam melakukan pembelian produk restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris. Menurut para responden, yang paling penting saat membeli produk di restoran atau kafe adalah rasa dan tempat (Seperti yang disampaikan oleh Ibu Emy Budi Rahayu (54 tahun, wiraswasta):

“Saya suka restoran yang biasa saja. Soalnya saya cari makanan yang sesuai dengan selera lidah saya. Kalau ndak selera yang ndak mau. Terus terang saya tidak menyukai dengan masakan yang menunya berbahasa Inggris, karena saya orang jawa ya sukanya masakan jawa.

4.2.2 Faktor sosial mendorong perilaku konsumen masyarakat Kota Salatiga dalam membeli produk restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris.

Faktor sosial memiliki peranan yang paling besar mendorong responden untuk membeli produk di restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa

(3)

Inggris. Indikator dalam faktor sosial adalah kelompok acuan (teman dan keluarga). Teman memiliki peranan yang penting dalam pengambilan keputusan pembelian. Dalam penelitian ini sebesar 72% (lampiran 3, tabel 4.2.1) dari total responden menyatakan bahwa teman memberikan dorongan untuk membeli produk di restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris atas dasar rekomendasi atau ajakan dan 28% sisanya dikarenakan dorongan dari keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden bernama Ratna Diah Utari (15 tahun, pelajar) yang menerima ajakan dari temannya:

“Awalnya mikir – mikir dulu, punya uang atau tidak, punya waktu atau tidak. Namun akhirnya mau karena 1 butuh makan, 1 juga kasian kalau ditolak. Kasian teman kalau ditolak terus. Antara butuh dan kasian, 60% kasian.”

Pernyataan yang demikian juga di ungkapkan oleh responden bernama Purwanto (41 tahun, wiraswasta):

“Menghormati teman wae (aja), dijak yo gelem (diajak ya mau). Neg ora gelem nko tinggal (Kalau tidak mau nanti ditinggal teman).”

Namun berbeda ceritanya dengan pengalaman rekomendasi dari teman yang dialami oleh Ibu Dwi Fenny Arifiana yang mengungkapkan bahwa teman dari beliau kerap memberikan rekomendasi restoran atau kafe baik yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris maupun tidak melalui pertukaran informasi dengan teman beliau.

“Selama ini sih ada yang dari saya sendiri, ada yang saya lihat dari browsing, ada yang dari teman rekomendasi. Kebetulan teman – teman saya teman – teman jauh, kita sering bertukar – tukar foto, jadi dari situ kita juga lihat oh ini lho menunya dan dari foto itu bisa memberikan kita gambaran.

Selain dorongan dari teman, keluarga juga memberikan dorongan dalam bentuk ajakan seperti yang dinyatakan oleh responden yang bernama Giovanni Juliani Putri (22 tahun, pelajar):

“Ya ada sedikit banyaknya ada dari ceceku gitu (kakak perempuan). Ngajak bareng makan ke situ.”

(4)

4.2.3 Faktor pribadi mendorong perilaku konsumen masyarakat Kota Salatiga dalam membeli produk restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris.

Indikator dari faktor pribadi yang mendorong pengambilan keputusan responden untuk membeli produk di restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris adalah gaya hidup dan pekerjaan. Sebesar 61% (lampiran 3, tabel 4.3.1) dari total responden menyatakan bahwa pergi ke restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris dikarenakan ada dorongan dari indikator gaya hidup dan 6% menyatakan tuntutan pekerjaan. Sebesar 42% (lampiran 3, tabel 4.3.2) responden yang menganggap sebagai gaya hidup berargumen bahwa hal tersebut dikarenakan yang dicari dari restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris adalah rasa nyaman dari segi suasana. Kemudian 25% dikarenakan harganya yang dianggap pas dikantong, 17% dikarenakan pelayannya yang dianggap lebih sopan, lalu 17% sisanya dikarenakan senang dengan produk yang ditawarkan. Giovanni Juliani Putri (22 tahun, pelajar) adalah responden yang menyatakan bahwa pergi ke restoran atau kafe yang menggunakan nama produk bahasa Inggris telah menjadi gaya hidupnya dikarenakan oleh faktor suasana dan pelayanan yang menurut responden nyaman. Berikut yang dikatakan oleh responden tersebut:

“ Tertarik sama makanannya ditempat itu, nyaman sama tempatnya, gak kayak yang pinggir jalan kalau restoran itu. Pelayanannya lebih sopan, kebanyakan yang pinggir jalan cuek.”

Berbeda dengan salah seorang responden bernama Yohanes Michael (21 tahun, pelajar) yang menyatakan bahwa pergi ke restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris disebabkan oleh kondisi restoran atau kafe saat ini kebanyakan menggunakan nama produk berbahasa Inggris.

“Because now 80% of the all restaurant use english menu. So if i go to new restaurant, i never try before and i read in the menu and the menu is from english. Eighty percent of restaurant now use english not indonesian.”.

Yohanes Michael menceritakan bahwa saat ini hampir 80% restoran yang ia temui selalu menggunakan bahasa Inggris untuk pilihan menunya. Bahkan restoran atau kafe yang baru ia kunjungi pun menunya selalu menggunakan bahasa Inggris berbeda

(5)

dengan tempat makan yang tidak menggunakan menu seperti contohnya warung makan mie ayam yang ia ceritakan.

Kemudian tuntutan pekerjaan juga mendorong salah seorang responden, yakni Ibu Dwi Fenny Arifiana yang menceritakan karena klien yang harus ditemui adalah kebanyakan orang asing, maka harus menyesuaikan dengan selera klien dan salah satunya sering bertemu dengan klien di restoran atau kafe yang menggunakan nama produk bahasa Inggris.

“Kadang ketemu dengan client seperti itu, kalau clientnya sebagai tamu kita sih bisa kita arahkan ke masakan - masakan Indonesia, tapi kalau kita diundang sebagai tamunya, kebanyakan saya berhubungan dengan orang-orang luar (asing) jadi otomatis menyesuaikan dengan selera mereka.” Gaya hidup dapat terungkap dari aktivitas, minat dan opini seseorang (Kotler dan Keller, 2007). Dari penjelasan yang dinyatakan oleh responden bahwa pergi ke restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris merupakan bagian dari gaya hidup, ditemukan terungkap dikarenakan opini para responden. Opini adalah pendapat – pendapat seseorang yang diucapkan sehingga bisa diketahui perilaku dan pola pikirnya (Joseph Plumer, 1974 didalam Angga Sandy Santoso, 2013). Kemudian dari temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa faktor budaya dalam hal ini persepsi, telah mempengaruh faktor pribadi khususnya pada indikator gaya hidup yang terungkap melalui opini.

4.2.4 Faktor motivasi internal mendorong perilaku konsumen masyarakat Kota Salatiga dalam membeli produk restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris.

Faktor motivasi internal juga memberikan dorongan cukup besar kepada konsumen sebelum membeli suatu produk. Secara sederhana, motivasi dapat digambarkan sebagai tenaga pendorong yang berasal dari dalam diri individu yang membuat mereka bertindak (Schiffman&Kanuk, 2008). Tenaga pendorong itu bisa berbentuk keinginan tahuan konsumen untuk mencoba membeli atau mengkonsumsi suatu produk yang mereka anggap asing dan patut dicoba. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa para responden memiliki motif coba – coba untuk pergi ke restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris. Motif coba-coba tersebut diakibatkan

(6)

oleh rasa penasaran yang dialami oleh para responden. Seperti salah satunya yang dikatakan oleh Yohanes Michael (21 tahun, pelajar):

“Ya ingin coba – coba karena seperti Koinonia orang bule kesana semua, makanan import semua makanan dan bahan import dari luar negeri dan pasti taste-nya berbeda dengan restoran biasa.”

Dari penjelasan yang disampaikan oleh Yohanes Michael dapat disimpulkan bahwa motif ia pergi ke Koinonia karena ia ingin mencoba sebuah makanan yang menurutnya asing dan patut dicoba. Namun sebesar 77,8% (lampiran 3, tabel 4.4.1) dari total responden diketahui motif yang mereka miliki adalah motivasi yang dipicu dari luar. Dorongan dari luar tersebut berupa iklan di media sosial, kemudian lokasi restoran atau kafe dan rekomendasi dari orang. Berbeda dengan motivasi yang dimiliki oleh Bapak Slamet Riyadi dan Ibu Dwi Fenny Arifiana yang menyatakan memiliki hobi kuliner sehingga saat ditanya apa motivasi internal yang mendorong beliau untuk membeli produk restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris, Ibu Dwi Fenny Arifiana menjawab:

“Kebetulan saya suka fotografi, saya suka foto makanan kebanyakan, kalau memang lightningnya bagus saya foto kalau lightningnya biasa - biasa saja tidak akan saya foto. Karena itu akan jadi file saya tersendiri untuk bisa meng-updating ke teman-teman saya.”

Ibu Dwi Fenny Arifiana pergi ke restoran atau kafe yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris dikarenakan salah satu hobinya yakni kuliner dan fotografi makananan. Hobinya tersebut secara tidak langsung telah mendorong beliau untuk berkunjung keberbagai restoran atau kafe baik yang menggunakan nama produk berbahasa Inggris maupun tidak.

Referensi

Dokumen terkait

Para PNS lingkungan Kecamatan dan Kelurahan wajib apel pagi setiap hari senin di Halaman Kantor Kecamatan Kebayoran Baru, dan akan diberikan teguran kepada yang tidak ikut apel

Penggantian Biaya Wajar dan Biasa yang dibebankan oleh Rumah Sakit untuk kunjungan Dokter Umum dan/atau Dokter Spesialis yang timbul selama Tertanggung menjalani Rawat Inap di

WLD2 Bulak Banteng-Dukuh Kupang PP

Sertifikasi ini berlaku untuk jam tangan yang sudah dirakit penuh, setelah mesin jam ditutup dengan cangkang, menjamin kinerja superlatif di pergelangan tangan dalam hal

Saat ini, kami sedang melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh kecacingan terhadap kadar zat kekebalan tubuh atau antibodi yang disebut dengan imunoglobulin

Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain, seperti fobia sosial (misalnya terjadi saat mengalami situasi sosial yang ditakuti), fobia spesifik (misalnya

signifikan terhadap nilai perusahaan. Besar kecilnya hutang yang dimiliki perusahaan tidak terlalu diperhatikan oleh investor, karena investor lebih melihat

Tenaga ahli profesional yang dimaksud adalah pendamping desa, tenaga teknik, dan tenaga ahli pemberdayaan masyarakat desa (Permendes No.3/2015 Psl. Meskipun tenaga ahli