EDISI 13
EDISI 13
Syawal 1442H Mei 2021Buletin Jumat
IKHTISAR:
Salah satu latar belakang dari kemunduran demokrasi di Indonesia adalah bagaimana kalangan Islam moderat yang seharusnya menjadi penjaga jangkar demokrasi berpotensi memuat nilai-nilai yang bertolak belakang, seperti sikap pro terhadap aktor dan nilai-nilai antidemokrasi. (hal. 2-4) Pemerintah Indonesia perlu mengembangkan diplomasi beragam jalur atau multi-track diplomacy jika ingin mendorong penyelesaian masalah hak asasi manusia dan kemanusiaan di Palestina. Diplomasi memerlukan peran aktif pemerintah Indonesia beserta seluruh komponen masyarakat sipil. (hal. 5-9)
Iklim demokrasi yang dengan susah payah diraih, kini berada dalam titik terendah. Tanda kemunduran terbaru adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengemban agenda reformasi dan demokratisasi, yaitu pemberantasan korupsi. (hal 10-12)
Forum Belajar Jumʼatan Tentang Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Keadilan Sosial
Islam dan Masa Depan
Demokrasi di Indonesia
Sejak didirikan pada 2012,
Public Virtue selalu berkomitmen
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi. Terima kasih telah
mendukung kami. Mari dukung
keberjalanan program ini dengan
berdonasi ke:
Anda juga bisa melakukan
“donasi tulisan”
Bantu pejuang keadilan sosial!
Mari berzakat lewat
kitabisa.com/zakatprogresif.
Kirimkan naskah dengan tema demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial sepanjang 300-600 kata ke info@virtue.or.id untuk dimuat di Buletin Jumʼat.Bersama kita tingkatkan mutu demokrasi kita. Salam kebajikan!
Islam dan Masa Depan
Demokrasi di Indonesia
Khutbah Jumʼat, 28 Mei 2021 | Oleh: Joko Arizal
Beberapa tahun belakangan ini, sebagaimana dirilis secara rutin oleh The
Economist Intelligence Unit, indeks
demokrasi berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mengalami tren penurunan. Khusus Indonesia, sejak 2006 hingga kini, kualitas demokrasi Indonesia pada 2020 berada pada posisi paling rendah di angka 6,30 dari skala 0-10. Ini adalah skor terburuk selama era pascareformasi. Dan Indonesia secara konsisten pula berada di level flawed democracy (demokrasi cacat), dari 4 kategori: full democracy, flawed
democracy, hybrid regime, dan authoritarianism.
Dari sisi peringkat, Indonesia belum mampu keluar dari peringkat 60-an dari
160-an negara yang terindeks. Bahkan, negara kita tercinta ini berada di bawah negara-negera tetangga, seperti Malaysia, Filipina, dan Timor Leste. Kondisi ini tentu amat memilukan.
Di samping The Economist, Freedom House juga merilis secara tahunan indeks demokrasi dan kebebasan sipil. Posisi Indonesia tak lebih mengenaskan dari laporan The Economist, yaitu di angka 59 dari skala 0-100. Untuk status demokrasi, Indonesia berada pada semi-consolidated
democracy. Sementara pada status
kebebasan sipil, Indonesia berada di level
partly free (setengah bebas) dari 3 kategori: free, partly free dan not free. Sejak 2013, status
memuat nilai-nilai yang bertolak belakang dengan demokrasi, seperti sikap pro terhadap aktor dan nilai-nilai antidemokrasi.
Dua nilai yang saling bertentangan ternyata bisa hadir serempak dalam tubuh Muhammadiyah dan NU. Kenyataan ini menunjukkan dua ormas ini tampak begitu piawai memainkan posisinya, baik dalam aras demokrasi maupun otoriter; kapan menggunakan nilai yang sejalan dengan demokrasi dan nilai antidemokrasi. Kepiawaian beradaptasi dalam dua sistem yang saling bertolak-belakang memiliki pertautan dengan sejauhmana keberadaan aktor atau sistem itu mampu mengakomodir kepentingan ideologis dan material mereka. Jika relasinya dengan negara dapat menguntungkannya, maka mereka mendukung negara dengan nilai demokrasi. Pun bila kelompok antidemokrasi, seperti kalangan Islamis dan otokrat, memenuhi kepentingannya, mereka juga menjalin aliansi.
Bentuk aliansi Muhammadiyah dan NU bersama kalangan Islamis terejawantahkan dalam tiga kasus yang ditengahkan Menchik: pertama, Ahmadiyah tahun 2000-an; kedua, persidangan kasus penodaan agama oleh Ahmadiyah di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010; dan ketiga, persekusi Ahok. Terhadap kasus Ahmadiyah, survey Menchik menunjukkan tingginya angka penolakan elit Muhammadiyah dan NU: pelarangan mendirikan rumah ibadah sebanyak 74%, pelarangan menjadi gubernur Jakarta 67%, dan larangan mengajar matematika di pesantren sebanyak 48%. Pada kasus Ahok, dua ormas ini juga bersekutu dengan kalangan antidemokrasi untuk melawan penistaan agama. Kasus itu mencuat menjadi isu nasional juga tidak lepas dari peran Maʼruf Amin, ulama NU terkemuka dan ketua MUI, yang merupakan tokoh kunci menempatkan Ahok sebagai penista meski sebelumnya, dari 2006 hingga 2013,
Indonesia pernah berada di level free.
Pertanyaannya kemudian, apa yang melatarbelakangi kemunduran dan stagnasi demokrasi di Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan itu, barangkali kita dapat melacak ke berbagai temuan penelitian. Setidaknya, dalam empat tahun terakhir ini, riset yang mengulas regresi demokrasi di Indonesia cukup ramai. Misalnya, tentang bangkitnya populisme Islam dan menguatnya konservativisme agama, menguatnya oligarki yang membajak demokrasi, sikap otoriter, represi dan despotisme penguasa. Namun, dari berbagai penyumbang melorotnya mutu demokrasi, saya lebih condong mengangkat studi yang dilakukan Jeremy Menchik dengan tajuk “Moderate Muslims
and Democratic Breakdown in Indonesia”.
Selama ini, kita selalu mengasosiasikan kalangan Islam moderat, dalam hal ini Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, sebagai penjaga jangkar demokrasi di Indonesia. Hal ini tidaklah keliru. Studi Robert Hafner dalam Civil Islam dan Saiful Mujani di Muslim Moderat menunjukkan bahwa Muhammadiyah dan NU memiliki peranan yang sangat signifikan dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Studi ini juga mematahkan sejumlah asumsi beberapa ilmuwan yang menyangsikan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi. Justru, dari pengalaman Indonesia, Islamlah yang menopang keberlangsungan demokrasi. Namun, tulisan Menchik, tampaknya, menjungkir-balikkan asumsi sebagian besar pengkaji Muhammadiyah dan NU yang hanya menilik peran dua ormas ini sebagai penopang lajunya transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Menchik, dengan agak berbeda, menunjukkan bahwa dua ormas ini juga
siapa saja, tak terkecuali di kalangan Islam moderat.
Barangkali, kita agak sedikit meradang dengan temuan studi yang menempatkan dua ormas Islam moderat sebagai penyumbang regresi demokrasi di Indonesia. Lebih-lebih, di masa-masa kenduri demokrasi (pemilu, pilpres, pilkada), dua ormas ini nampaknya tak pernah luput digunakan sebagai alat politik segelintir elite. Bahkan, dalam proses penentuan jabatan publik pun, ia memiliki andil yang signifikan. Karenanya, upaya membangun meritokrasi, good and clean
government, nampaknya kian terabaikan.
Dari temuan riset tersebut, setidaknya, ia menjadi alarm, evaluasi dan kritik konstruktif untuk mengubah wajah dua ormas ini yang sedikit tercoreng. Sebab, wajah Islam Indonesia cukup signifikan ditentukan bagaimana ekspresi keislaman Muhammadiyah dan NU. Jika hal ini dibiarkan dan semakin menjadi-jadi, maka tak menutup kemungkinan masa depan demokrasi di Indonesia akan semakin suram.
hingga ia terjungkal dari gubernur Jakarta. Sementara di Muhammadiyah, Amien Rais berteriak lantang supaya negara menjatuhkan hukuman pada Ahok.
Di samping studi Menchik, “The Myth of
Pluralism”, studi Burhanuddin Muhtadi, juga
amat menohok mengkritik warga NU yang cenderung bersikap intoleran terhadap kelompok minoritas agama. Misalnya, warga NU bereaksi melawan kelompok seperti FPI, HTI ketika kelompok-kelompok ini mengancam kepentingan NU. Warga NU juga tak sepenuhnya setuju kalau rumah ibadah agama lain berada di lingkungannya. Itu artinya konstruksi istilah “intoleran” yang selalu dilekatkan kepada kelompok-kelompok yang beseberangan dengan dua ormas ini tampak tak sepenuhnya adil. Konstruksi itu menghadirkan oposisi biner di mana kalangan ormas Islam moderat pasti toleran dan kalangan lainnya berada dalam posisi intoleran. Padahal, kondisinya tidak sesederhana itu: bersifat hitam-putih. Sikap toleran dan intoleran bisa menghinggapi siapa saja, tak terkecuali di kalangan Islam
Apalagi, baru-baru ini, karya Ahmet
Kuru, “Islam, Otoritarianisme,
Ketertinggalan”, memancangkan
aliansi ulama dan penguasa sebagai
sebab utama kemunduran Islam,
terutama di negara-negara
mayoritas muslim di Timur Tengah.
Ulama tidak lagi independen. Ia
hanya kepanjangan tangan dan
pemberi legitimasi teologis bagi
penguasa. Namun, sayangnya, Kuru
tidak memotret kondisi di Indonesia.
Tapi, kalau tesis Kuru ini dipakai
untuk mendedah Indonesia,
kecenderungan ke arah sana
(kemunduran Islam) mungkin saja
terjadi.
Di samping sikapnya dalam
mendukung aktor dan nilai
antidemokrasi, Muhammadiyah
dan NU juga menjalin politik
patronase. Misalnya, dukungan
penuh NU atas Maʼruf Amin, aktor
yang menghadirkan intoleransi
massa terhadap Ahmadiyah dan
menjatuhkan Ahok, menghasilkan
jalin patronase dengan pemerintah
Jokowi. Kondisi-kondisi inilah yang
alih-alih memperkuat demokrasi,
justru sikap Muhammadiyah dan
NU sebagai representasi Islam
moderat/wasathiyah perlahan
meruntuhkan tatanan demokrasi
Indonesia.
Solidaritas Indonesia untuk Rakyat
di Wilayah Pendudukan Israel
Oleh: Majelis Taklim Hilful Fudhul (Public Virtue Research Institute, PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Departement Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Kitabisa.com, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara)
Diskusi 1: Situasi Terkini Pelanggaran
HAM di Wilayah Pendudukan Israel
atas Palestina
Jakarta, 21 Mei 2021. Persoalan pendudukan
kawasan Palestina oleh Israel tengah menghangat beberapa waktu terakhir. Konflik diangkat di dalam konferensi bertema “Solidaritas Indonesia bagi Rakyat di Wilayah Pendudukan Israel atas Palestina” pada Jumat, (21/5/2021).
Konferensi ini menghadirkan sejumlah pembicara berkelas, yakni 1) Dina Sulaeman, Pakar Timur Tengah dan Hubungan Internasional, dosen UNPAD; 2) Makarim Wibisono, Pelapor Khusus PBB untuk Palestina dan Ketua Komisi Hak Azasi
Manusia PBB ditahun 2005; 3) Siti Ruhaini Dzuhayatin, mantan Ketua Komisi HAM Kerjasama Organisasi Islam dan OKI 2012-2014, yang saat ini menjadi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden; dan 4) Parid Ridwanuddin, Peneliti Isu Keadilan Iklim di Indonesia for Global Justice (IGJ), Dosen Universitas Paramadina, dan Jamaʼah Majelis Taʼlim Hilful Fudhul.
Terdapat berbagai ulasan yang didiskusikan, antara lain upaya pelurusan sejarah yang disampaikan oleh Dina Sulaeman. Dalam ulasannya, Dina berkesimpulan bahwa Israel seringkali melanggar Resolusi PBB, mengangkangi perjanjian damai internasional. Dina bahkan menyebut kondisi yang terjadi
bukan konflik yang imbang, tapi lebih berupa pendudukan dari satu komunitas terhadap komunitas lain. “Yang terjadi adalah settler colonialism dan ini adalah masalah penjajahan,” ujar Dina.
Dina juga mengingatkan bahwa ini bukan konflik antara Hamas dan Israel. Karena, yang berjuang untuk pembebasan Palestina adalah banyak kelompok dengan caranya masing-masing. Ini menunjukkan tanda bahwa isu Palestina adalah isu kemanusian, bukan isu agama.
Sementara itu, Makarim Wibisono mengungkapkan temuan-temuan yang didapatkan selama dia menjabat sebagai Pelapor Khusus PBB untuk Palestina. Ia mengatakan Israel melakukan pelanggaran HAM berat pada warga Palestina. Misalnya, penangkapan warga Palestina tanpa alasan yang jelas dan penahanan yang terus diperpanjang tanpa proses peradilan, sehingga rakyat Palestina menderita.
“Ada pemuda Palestina yang hanya karena
badannya tegap dan lincah, dia ditangkap begitu saja. Banyak yang ditangkap tanpa alasan. Lalu, batas penahanan yang hanya dua minggu, diperpanjang hingga dua tahun,” tutur Makarim Wibisono. Diskriminasi lain yang ditemukannya adalah pembatasan gerak warga Palestina dengan menerapkan check point di sejumlah wilayah yang diterapkan militer Israel di dalam wilayah Palestina.
Makarim juga mengungkapkan, walaupun memiliki kewenangan sebagai pelapor khusus (special rapporteur) PBB, ia tetap tidak diberi izin masuk ke kawasan Palestina. Hal itu juga terjadi pada semua pelapor khusus sebelum dia. Menariknya, tutur Makarim, ia pernah punya pengalaman untuk diberikan izin guna memasuki kawasan Palestina dengan syarat mengungkapkan statemen di depan Pers yang menguntungkan pihak Israel,“Jika masuk ke kawasan Palestina, saya diminta berjanji bersedia memberi press interview. Saat itu saya harus mengatakan tiga hal: pertama, tindakan (penyerangan) Israel dilakukan semata-mata karena ada serangan roket dari Hamas. Kedua, serangan roket Hamas dilakukan dari tempat yang padat penduduk sipil. Ketiga, oleh karena itu Israel melakukan tindakan (penyerangan)-nya sebagai self-defense,” terangnya. Sehingga, lanjut Makarim, ia batal masuk ke kawasan Israel karena persyaratan itu, yang bertentangan dengan temuan fakta di lapangan. Dan situasi hari ini, apa yang dilakukan Israel telah menjurus pada apartheid di Palestina.
Sementara itu, Siti Ruhaini Dzuhayatin, mantan Ketua Komisi HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI), dan mantan Staf Khusus Presiden, menegaskan solusi yang paling ideal menurut OKI adalah solusi untuk dua negara atau yang lebih sering dikenal dengan two state solution. “Walaupun tidak ideal, namun two state
solution adalah suara official OKI,” kata Siti
Dina juga menegaskan, “Isu agama
mengemuka dalam konflik Israel –
Palestina karena dalam fakta
sejarahnya, sejak awal, Israel
membawa-bawa isu agama, untuk
menjustifikasi apa yang hingga saat
ini dilakukan. Misalnya, tentang
tanah yang dijanjikan. Bahkan
dalam sidang resmi PBB saja,
perwakilan Israel sengaja membawa
dan membacakan isi kitab suci
tentang tanah yang dijanjikan itu.
Namun, tugas kita adalah tidak
terjerumus dalam hate speech dan
konflik agama, kita perlu kembali ke
akar masalahnya, yakni penjajahan
(settler colonialism),” pesan Dina.
Ruhaini Dzuhayatin.
Walaupun begitu, ia tidak memungkiri bahwa ada ganjalan dari internal Liga Arab. “Misalnya, antara kelompok Saudi dan kelompok bulan sabit Syiah Iran,” ujarnya. Ia melanjutkan, sejak awal konflik Israel-Palestina telah melibatkan negara-negara Arab. Selain itu, ada pula hubungan diplomatik antara anggota OKI dengan Israel yang membuat pergeseran sikap terhadap konflik Palestina-Israel ini.
Parid juga berpandangan kekejaman Israel terhadap Palestina juga terlihat dari perspektif ekologi lain, misalnya dari pemindahan pabrik berbahaya bagi lingkungan ke kawasan pemukiman warga Palestina. Pembangunan tembok pembatas oleh Israel, berdasarkan laporan jaringan internasional, sebenarnya bertujuan untuk pembangunan pusat-pusat industri yang lagi-lagi mengancam ekosistem alam Palestina.
Di sesi akhir, Makarim Wibisono kembali mengungkapkan, tantangan yang menjadi hambatan atas penyelesaian konflik antara lain: pertama, perbedaan pendapat tentang status Yerusalem dalam pandangan Palestina dan Israel yang masing-masing
mengklaim sebagai tempat kitab suci. “Dulu pernah ada alternatif: kota dikuasai bersama, atau menjadi international city, yang dikelola secara internasional,” kata dia.
Kedua, dalam pandangan Israel, warga Palestina yang berpindah ke luar negeri untuk mengungsi tidak bisa dijadikan warga negara Palestina kembali jika terjadi perdamaian. Ketiga, persoalan batas wilayah. Israel tidak menyepakati untuk mengembalikan wilayah Palestina yang diduduki Israel. Padahal, dalam hal ini, apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah pendudukan wilayah. Keempat adalah penguasaan air. Pihak Israel menuntut agar penguasaan air dimiliki oleh mereka. Bahkan, rencana pengeboran pun harus dilaporkan pada pihak Israel. Dampaknya, Palestina mengalami krisis air. Para narasumber bersepakat bahwa pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dan Israel tidak akan mengubah situasi apa pun. Pengalaman negara-negara yang telah membuka hubungan diplomatik dengan Israel menunjukkan tidak adanya perubahan sikap Israel pada Palestina, tidak ada kemerdekaan dan perlindungan bagi warga Palestina, yang ada hanyalah menguntungkan negara pihak yang membuka hubungan diplomatik itu. Maka, langkah pemerintah sudah tepat. Makarim mengusulkan, ke depannya, dorongan nasional dan internasional penting terus disuarakan, gencatan senjata menunjukkan bahwa tekanan internasional bisa menghentikan Israel. Masih ada harapan untuk Palestina, sebagaimana terhapusnya apartheid di Afrika Selatan atas desakan dunia internasional.
Terakhir, Dina Sulaeman memuji sikap yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia untuk Palestina dalam forum-forum dunia selama ini. Dina juga mengatakan dukungan moral dan bantuan dana dari
Selain itu, diskusi ini juga
menghadirkan pandangan dari
perspektif ekologis yang disampaikan
oleh pembicara Parid Ridwanuddin.
“Israel mencemari tanah-tanah
Palestina dengan menggunakannya
sebagai tempat pembuangan.
Diperkirakan dari 80 persen sampah
yang dihasilkan pemukiman Israel
dibuang di Tepi Barat. Berbagai
industri dan tentara Israel juga
membuang sampah beracun di tanah
Palestina,” ujarnya.
Indonesia sendiri belum maksimal. Hal itu dikarenakan dalam peta politik yang dibangun Dinna, Indonesia berada jauh di luar konflik langsung. “Indonesia tidak berada di pusat lingkaran, melainkan berada di luar yang relatif jauh. Karena keberadaan Indonesia tidak langsung berkenaan dengan keseharian mereka,” katanya.
Pandangan berbeda disampaikan oleh Staf Ahli Bidang Hubungan Antar Lembaga, Kementerian Luar Negeri, Muhsin Syihab. Menurutnya, justru Indonesia memiliki peran strategis mulai tahun 80-an dan dukungan Indonesia pada Palestina berlangsung hingga saat ini. “Indonesia juga mendorong keanggotaan penuh di PBB dengan aktif di dalam Komite Palestina, termasuk menjadi Ketua/Wakil Ketua Biro, serta rutin memberikan bantuan kemanusiaan,” ujar Muhsin Syihab.
Ia mengungkapkan peran Indonesia di PBB yang disampaikan Menlu Retno Marsudi dalam Pertemuan MU PBB mengenai Palestina, pada 20 Mei 2021. Indonesia mendorong tiga hal prinsipil: penghentian kekerasan segera, memastikan bantuan kemanusiaan dan perlindungan rakyat, dan melanjutkan proses negosiasi yang kredibel.
masyarakat Indonesia senantiasa sampai dan diterima masyarakat Palestina. Lanjutnya, “Berdonasi pada lembaga-lembaga yang sudah diketahui kredibilitasnya sangat dianjurkan.” Dina juga menyayangkan beredarnya berita hoaks di media sosial bahwa sumbangan tak sampai, yang justru berpotensi menurunkan dukungan pada Palestina.
Diskusi 2: Sikap, Diplomasi Nasional
dan
Regional,
serta
Dukungan
Filantropi Global untuk Kemanusiaan
Jakarta, 22 Mei 2021. Pemerintah Indonesiaperlu mengembangkan diplomasi beragam jalur atau multi-track diplomacy jika ingin mendorong penyelesaian masalah hak asasi manusia dan kemanusiaan di Palestina. Diplomasi memerlukan peran aktif pemerintah Indonesia beserta seluruh komponen masyarakat sipil.
“Dari segi pemerintah, diplomasi meliputi peran Indonesia mengakhiri kejahatan kemanusiaan Israel lewat gencatan senjata hingga ratifikasi Statuta Roma, agar Indonesia dapat mendorong Mahkamah Pidana Internasional untuk mengusut kejahatan-kejahatan di sana,” kata pengurus Hilful Fudhul, Yuli Muthmainnah, saat menutup konferensi daring bertema “Solidaritas Indonesia bagi Rakyat di Wilayah Pendudukan Israel atas Palestina”, Sabtu, 22 Mei 2021.
Acara konferensi yang berlangsung sejak Jumat ini diselenggarakan Majelis Hilful Fudhul yang merupakan konsorsium lembaga kajian demokrasi Public Virtue, PSIPP ITB Ahmad Dahlan Jakarta, Departemen Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Kitabisa.com, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dalam kesempatan yang sama, pengamat hubungan internasional Synergy Policies, Dinna Prapto Rahardjo, mengatakan peran
Sementara itu, diplomasi multi-track juga memerlukan peran aktif
masyarakat sipil dalam hal kerja sama lintas batas dalam mendorong
langkah-langkah efektif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Masyarakat sipil meliputi organisasi
non-pemerintah, para pemerhati perdamaian, pegiat hak asasi manusia, hingga para agamawan. Selain mendorong solusi atas kejahatan kemanusiaan, terdapat kebutuhan mendesak berupa bantuan kemanusiaan.
“Agamawan dan para ulama harus memberikan pelayanan sebaik-baiknya pada umat manusia. Salah satunya mengamalkan nilai-nilai zakat sebagai filantropi untuk kemanusiaan. Dana yang diterima ini seluruhnya akan disalurkan ke Palestina sebagai korban korban perang,” kata Ketua Majelis Ulama Bidang Hubungan Luar Negeri dan Hubungan Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim, yang menjadi salah satu pembicara.
Arah kebijakan MUI adalah mendorong moderasi Islam (Islam washatiyah) dengan prinsip-prinsip memberikan pelayanan dan perlindungan kepada umat (khidmah dan
himayatul ummah), saling tolong menolong
(taáwun), adanya gerakan kemanusiaan (tansiqul harokah), serta kesamaan cara berpikir dan bertindak untuk visi kemanusiaan yang sama (taswiyatul
manhaj).
Di akhir acara, CEO Kitabisa.com, Alfatih Timur, menegaskan pentingnya peranan generasi muda untuk turut memberikan solidaritas pada mereka yang mengalami pelanggaran hak asasi manusia dan kemanusiaan di Palestina. “Manfaatkanlah teknologi, telepon genggam, untuk mengumpulkan orang-orang baik dalam menyalurkan bantuan kemanusiaan. Orang-orang baik tidak boleh kalah berisik. Salurkanlah dukungan kita,” kata Alfatih yang memimpin wadah penggalangan dana bersama Kitabisa yang telah berhasil mewadahi sumbangan uang miliaran rupiah dari kalangan masyarakat Indonesia.
Pelemahan KPK Semakin
Memundurkan Demokrasi
Indonesia
Rangkuman Diskusi “Weekend Talk”, 23 Mei 2021
Jakarta, 23 Mei 2021. Sejumlah kejadian di
Indonesia menunjukan tanda-tanda menurunnya demokrasi. Iklim demokrasi yang dengan susah payah diraih, kini berada dalam titik terendah. Tanda kemunduran terbaru adalah pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengemban agenda reformasi dan demokratisasi, yaitu pemberantasan korupsi.
Demikian kesimpulan diskusi “Regresi Demokrasi dan Masa Depan Reformasi”, yang digelar mengenang 23 Tahun Reformasi, Minggu (23/5/2021). Acara ini adalah kerja sama Public Virtue Research Institute (PVRI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Anti Korupsi
(Pukat) Universitas Gajah Mada (UGM), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) serta Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera.
“Asumsi dan harapan akan tercapainya demokrasi yang terkonsolidasi mulai pudar. Lembaga-lembaga demokrasi baru diambil alih oleh kepentingan antidemokrasi, sebagian di antaranya diinkubasi semasa Orde Baru, sebagian lain tumbuh di era Reformasi,” kata Ketua Dewan Pengurus Public Virtue Research Institute, Usman Hamid.
Ia mengatakan, demokrasi yang
diharapkan menguat malah mundur.
Ini ditandai dengan enam tanda
Ia mengatakan, ada berbagai sebab dibalik kemunduran demokrasi ini. Namun, setidaknya menurut dia, ada dua hal yang nampak melatarbelakangi hal tersebut, yakni orientasi pembangunan ekonomi, proyek investasi, infrastruktur dan industri ekstraktif. “Semua dilakukan demi masuknya investasi tanpa hambatan,” kata Usman yang juga merupakan Direktur Amnesty International Indonesia.
Pembicara lain, mantan Pimpinan KPK periode 2015-2019, Laode Syarief, membenarkan terjadinya regresi demokrasi. Ia menambahkan penyebab utamanya adalah kuatnya budaya korupsi di dalam momen pemilihan umum. “Betul, terjadi regresi demokrasi di Indonesia. Bagaimana tidak, setiap pemilihan pejabat publik selalu melibatkan uang haram,” kata Laode merujuk pada kasus penyuapan yang melibatkan pimpinan Mahkamah Konstitusi.
Direktur Eksekutif Kemitraan ini mengingatkan untuk tidak berharap muluk-muluk, apalagi sampai berharap akan lahirnya demokrasi yang berkualitas. “Jangan berharap demokrasi lahir dari pemilu yang jorok,” kata dia. “Diakui oleh Pak Menko, lebih dari 92 persen calon
kemunduran dalam lima tahun
terakhir. Pertama, menyusutnya
kebebasan sipil. Kedua,
menguatnya pemerintah pusat
melalui UU Cipta Kerja. Ketiga,
menurunnya akuntabilitas dan
peran oposisi partai politik.
Keempat, lemahnya supremasi
hukum dan HAM. Kelima,
penguasaan media oleh elit politik
pebisnis yang membela kepentingan
partisan. Keenam, polarisasi
masyarakat sipil akibat perbedaan
ideologis dan preferensi elektoral.
kepala daerah dibiayai cukong,” kata dia sambil merujuk statement Menkopolhukam, Mahfud MD.
Menurut dia, di dalam kondisi demikian, justru dibutuhkan peran aktif KPK. “Di sinilah KPK sangat penting agar tidak ada impunitas bagi para pejabat tinggi, untuk menegakkan demokrasi melalui penegakan hukum yang tidak pandang bulu,” ujarnya. Dalam kesempatan yang sama, Direktur PSHK Gita Putri Damayana menambahkan, upaya pelemahan KPK bukan hal baru di Indonesia karena telah terekam dalam sebelas tahun terakhir. “Pelemahan KPK bukan merupakan sesuatu yang baru, melainkan sudah pernah berlangsung sejak pertama tahun 2009, 2012, 2015, dan 2017, yang terjadi dari luar yang menimpa pegawai KPK,” kata dia.
Gita menyebutkan upaya pelemahan KPK yang terbaru adalah Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menyebabkan terdepaknya 75 pegawai KPK yang dikenal berintegritas tinggi. “75 pegawai KPK dengan rekam jejak dan integritas yang baik terjegal oleh TWK,” kata dia.
Tes tersebut dinilainya bermasalah dari dua sisi yakni, secara formal, di mana tes tersebut tidak pernah menjadi syarat terkait alih fungsi pegawai KPK menjadi ASN dan dari sisi materiil, di mana materi tes tersebut tidak relevan dengan tujuan pemberantasan korupsi.
Sementara itu, aktivis ICW, Lalola Easter Kaban, memaparkan temuan ICW yang menunjukkan minimnya prestasi pimpinan KPK saat ini. Ia merujuk proses hukum perkara korupsi suap PDI-P dengan KPU yang menguap, rekomendasi KPK atas FABA batu bara yang dikeluarkan dari limbah B3, SP3 tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim, hingga gagalnya KPK menggeledah dan menyita barang bukti perkara dugaan korupsi di Kalimantan
Selatan.
Lola membeberkan data latar belakang profesi pelaku Korupsi KPK tahun 2020 yang didominasi kalangan swasta sebanyak 39 persen, disusul DPR dan ASN masing-masing 17,2 persen, kepala daerah 9,7 persen, BUMN 8,6 persen, dan penegak hukum 4,3 persen. “Memang, saat ini di KPK banyak kasus swasta, dan berbeda dengan di kejaksaan di mana yang paling banyak adalah kasus ASN,” katanya.
“Sebagai negara yang menjalankan transisi demokrasi, kita punya kebutuhan untuk mengonsolidasi demokrasi. Namun, yang lebih kuat adalah oligarki. Oligarki ini lebih kuat dan lebih cepat melakukan konsolidasi, mulai dari pelemahan KPK, UU Cipta Kerja, Revisi UU Pertambangan, sentralisasi kekuasaan pusat kembali melalui UU Cipta Kerja yang disusun cepat. Itu menunjukkan kuatnya kepentingan yang bermain adalah memberikan perlindungan bagi oligarki,” ujar Totok.
Sementara itu, Ketua PUKAT UGM
Pusat Totok Dwi Diantoro
menyatakan, kondisi demokrasi saat
ini sangat terancam. Ia mengatakan
bahwa upaya pelemahan KPK
melalui revisi UU dan yang lain,
lahirnya UU Cipta Kerja, juga UU
Minerba telah melemahkan
demokrasi dan menunjukkan
kuatnya peran kelompok oligarki
di Indonesia.
Shalat Jumʼat Virtual di Masjid Jamiʼ Virtual Hilful Fudhul (Public Virtue) akan
diadakan melalui wadah virtual, yaitu Zoom Meeting atau Google Meet.
Shalat Jumʼat akan dimulai dengan pembukaan, pembacaan/penyampaian
khutbah oleh khatib dan dilanjutkan dengan pelaksanaan shalat Jumʼat
berjamaah yang dipimpin oleh seorang imam secara virtual via Zoom Meeting.
Para jamaah shalat diwajibkan untuk menyimak dan mendengarkan khutbah
yang disampaikan oleh khatib, karena khutbah merupakan salah satu syarat
wajib sahnya shalat Jumʼat.
Pelaksanaan
1.
2.
3.
Hari dan Waktu Pelaksanaan
Setiap Jum’at
Pukul 11.30 – 13.30 WIB
Saat pelaksanaan shalat Jumʼat, para jamaah (makmum) wajib menghadap kiblat dan mendengarkan suara imam, serta mengikuti setiap gerakan shalat imam yang tampak di layar monitor laptop/notebook/komputer/ponsel.
Jadwal Acara 11.30 - 11.45 WIB
11.45 – 12.00 WIB
Pelaksana
Jamaah memasuki ruang virtual Muhammad Haikal dan
Ainun Dwiyanti
Muqaddimah/prolog Usman Hamid
12.06 – 12.10 WIB Bilal adzan pertama KH. Rodilansah Bilal berdiri sambil menghadap jamaah
(layar monitor) KH. Rodilansah
Bilal mengalihkan acara (memberikan
tongkat) kepada khotib dan berdoa KH. Rodilansah
Susunan Acara
12.10 – 12.35 WIB Khotib mengucapkan salam Ust. Joko Arizal
Ust. Joko Arizal
Ust. Joko Arizal
Ust. Joko Arizal
Bilal adzan kedua KH. Rodilansah
Khutbah pertama
Bilal melantunkan sholawat KH. Rodilansah
Khutbah kedua
Iqomat KH. Rodilansah
12.35 – 12.45 WIB Sholat berjamaah
12.45 – 13.15 WIB Ramah tamah dengan jamaah
(tanya jawab) Ust. Joko Arizal
Host: Usman Hamid – KH. Rodilansah
Informasi Pelaksanaan Shalat Jumʼat Virtual 17 Syawal 1442 H / 28 Mei 2021
Imam & Khatib:
Ust. Joko Arizal
Tema:
Islam dan Masa Depan Demokrasi di Indonesia Bilal: KH. Rodilansah Takmir: Usman Hamid Muhammad Haikal Ainun Dwiyanti Miya Irawati Pradhana Adimukti Parid Ridwanuddin Indah Ariani Hatib Rahmawan Raafi Ardikoesoema Abduh Hisyam Anindya
Pengarah
& Tim Pelaksana
KH. Mukti Ali Qusyairi, KH. Rodilansah, Usman Hamid, Andar Nubowo, Syafieq Alilha, Anita Wahid, KH. Wawan Gunawan Abdul Wahid