• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian dialek geografi yang dipandang erat relevansinya dengan penelitian dialek geografi terhadap kebervariasian isolek di Kabupaten Nagekeo, sebagaimana tampak dalam deskripsi berikut ini.

2.1.1 Penelitian Bahasa Sasak di Pulau Lombok

Penelitian dialektologi di Indonesia pada mulanya dipelopori oleh A. Teeuw terhadap bahasa Sasak di Pulau Lombok pada tahun 1951. A. Teeuw melakukan penelitian secara sinkronis terhadap bahasa Sasak di Pulau Lombok dengan menerapkan metode lapangan yang pernah digunakan di daerah Vionnaz (Swis) pada tahun 1880 oleh Jules Louis Gillieron dari aliran Perancis (Ayatrohaedi, 1979:22).

Hasil penelitian Teeuw ini diterbitkan dengan judul Dialect Atlas van Lombok (Atlas Dialek Pulau Lombok). Keunggulan metode penelitian lapangan yang telah dibuktikan oleh Teeuw di Pulau Lombok kemudian diikuti oleh peneliti-peneliti lainnya hingga mewarnai penelitian-penelitian dialek geografi di Indonesia selanjutnya sampai sekarang ini.

(2)

Relevansi yang dapat ditarik dari penelitian Teeuw di Pulau Lombok (1951) terhadap penelitian ini ialah kesamaan memilih dan menetapkam metode penelitian lapangan sebagai metode utama dalam pengumpulan data pada berbagai titik pengamatan sebagai lokasi penelitian.

2.1.2 Penelitian Dialek Geografi Bahasa Nagekeo

Penelitian terhadap bahasa Nagekeo dalam bentuk skripsi telah dilakukan oleh Pita (1984). Penelitian terhadap bahasa Nagekeo yang dilakukan oleh Pita pada tahun 1984 itu hanya menggunakan 200 kosa kata dasar Swadesh pada 19 desa dari seluruh wilayah bahasa Nagekeo. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa:

a) Berdasarkan analisis wujud variasi fonetis, dalam bahasa Nagekeo terdapat sembilan dialek, yaitu:

(1) Dialek Toto, (6) Dialek Nage Barat, (2) Dialek Lambo, (7) Dialek Mundemi, (3) Dialek Nage Utara, (8) Dialek Maunori, dan (4) Dialek Nage Tengah, (9) Dialek Mauponggo (5) Dialek Nage atau dialek Boawae.

b) Berdasarkan analisis wujud variasi leksikal, bahasa Nagekeo dapat dikelompokkan menjadi dua dialek, yaitu: 1) Dialek Raja, 2) Dialek Boawae. a. Relevansi yang dapat ditarik dari penelitian Pita (1984) terhadap penelitian ini

(3)

(1) Pemilihan dan penetapan lokasi penelitian pada penelitian terdahulu hanya dengan 19 desa dari seluruh wilayah bahasa Nagekeo ternyata kurang memberikan gambaran nyata tentang keragaman isolek dalam Bahasa Nagekeo yang sebenarnya dan belum memberikan informasi yang maksimal tentang jumlah dialek dan subdialek yang sesungguhnya ada dalam Bahasa Nagekeo.

Oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis ini memperbanyak jumlah instrumen penelitian berupa kosa kata dasar Swadesh menjadi 1.000 kosa kata dasar dan sebaran titik pengamatan diperluas mencapai 50 titik pengamatan di seluruh wilayah Bahasa Nagekeo dengan harapan kekurangan yang terdapat pada penelitian terdahulu terjawab secara memadai dalam penelitian ini. (2) Berdasarkan analisis wujud variasi leksikal, hasil penelitian ini memberikan

gambaran yang lebih memadai tentang jumlah dialek dan subdialeknya dalam bahasa Nagekeo, yaitu penulis berhasil menemukan 19 dialek dengan subdialeknya; seperti yang dideskripsikan berikut ini:

(1) Dialek Boawae dengan subdialek sebagai berikut: a) Subdialek Rawe,

b) Subdialek Kelewae. c) Subdialek Rowa, (2) Dialek Munde

(3) Dialek Dhawe

(4)

(5) Dialek Lambo (6) Dialek Dhereisa (7) Dialek Rendu (8) Dialek Ndora

(9) Dialek Jaduro (Raja, Wudu, Gero) (10) Dialek Kelimado

(11) Dialek Kotakeo dengan Beda Wicara Ladolima (12) Dialek Lejo dengan Subdialek Wolokisa

(13) Dialek Aewoe (14) Dialek Kotagana

(15) Dialek Wolowae (Dialek Toto) dengan subdialek sebagai berikut: (a) Subdialek Utetoto

(b) Subdialek Watumite.

(16) Dialek Oja dengan Subdialek Tendarea

(17) Dialek Kotowuji dengan Subdialek Mbaenuari (18) Dialek Romba

(19) Dialek Riti – Woko (Riti – Wokodekororo)

(3) Penentuan atau pemilihan informan dalam penelitian ini mempertimbangkan aspek jumlah informan. Dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang menetapkan informan tunggal; informan yang dipilih pada setiap daerah pengamatan selain persyaratan umum yang dianut semua peneliti dialektologi, dalam penelitian ini dipilih dua sampai tiga orang informan pada setiap daerah

(5)

pengamatan, yaitu satu orang sebagai informan kunci; dan dua sampai tiga orang sebagai informan pendamping untuk menemukan konsistensi ranah yang diasumsi. Artinya, sebelum peneliti meninggalkan daerah pengamatan atau daerah penelitian, data-data yang masih dipandang belum sesuai dengan tujuan penelitian dilakukan validitasi data dengan cara memeriksa kembali semua instrumen penelitian yang telah dikembalikan oleh para informan kunci dengan cara menguji kembali data itu bersama informan pendamping.

(4) Jumlah kosa kata dalam instrumen penelitian terdahulu yang dipandang belum memadai untuk menjaring data variasi leksikon dan variasi fonetis, yaitu hanya berjumlah 200 kosa kata dasar Swadesh pada penelitian Pita (1984); dalam penelitian ini instrumen itu diperbanyak jumlah medan maknanya menjadi 23 medan makna dan diperluas wujud pengungkapan aspek kehidupan masyarakat dari 23 medan makna itu menjadi 1.000 kosa kata sesuai dengan realitas bahasa masyarakatnya. Dibandingkan dengan penelitian terdahulu, dalam penelitian ini penggunaan instrumen terhadap kebervariasian isolek Bahasa Nagekeo ini berpedoman pada kuesioner Pusat Bahasa yang dimodifikasi dan diperluas sesuai dengan kondisi kebervariasian bahasa Nagekeo sebagai objek penelitian.

2.1.3 Penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumba

Penelitian dialek geografi juga dilakukan dalam Bahasa Sumba di Provinsi Nusa Tenggara Timur oleh A.A.Putra (2007).

(6)

Ada dua macam metode penyediaan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu (1) metode simak, (2)metode cakap dengan tekhnik cakap semuka,yaitutekhni penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan wawancara dengan informan.

Selanjutnya untuk menganalisis data, Putra (2007) menerapkan tiga macam metode analisis, yaitu (1) Metode Padan digunakan untuk menganalisis data kebahasaan khususnya unsur-unsur yang berkognat dan tidak berkognat; (2) Metode Berkas Isoglos untuk menganalisis variasi fonologis dan variasi leksikal; (3) metode dialektometri, baik dialektometri fonologis maupun dialektometri leksikal.

Berdasarkan penghimpunan berkas isoglos dan penggabungan penghitungan dialektomteri, baik secara fonologis maupun secara leksikal, Putra menemukan bahwa dalam bahasa Sumba terdapat lima dialek, yaitu:

(1) Dialek Mauralewa-Kambera terdiri atas empat subdialek, yakni: a) Subdialek Mamboro, c) Subdialek Lewa, dan b) Subdialek Umbu Ratu Nggai, d) Subdialek Kambera; (2) Dialek Wano Tana terdiri atas dua subdialek, yakni:

a) Subdialek Wanokaka dan b) Subdialek Katiku Tana;

(3) Dialek Waijewa-Louli terdiri atas dua subdialek, yakni: a) Subdialek Waijewa, dan

b) Sudialek Louli;

(7)

a) Subdialek Kodi Bokolo dan b) Subdialek Kodi Mbangedo; dan (5) Dialek Lamboya.

Relevansi yang dapat ditarik dari penelitian Putra (2007) terhadap penelitian ini ialah:

(1) Metode pengumpulan data yang digunakan oleh Putra (2007) dipertimbangkan dan digunakan juga dalam penelitian ini, yaitu:

(a) Metode simak, yaitu metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara menyimak pemakaian bahasa Nagekeo secara lisan dari informan dengan tekhnik simak.

(b) Metode cakap dengan tekhnik cakap semuka, yaitu metode penyediaan data yang dilakukan dengan cara mengadakan wawancara dengan informan. (2) Penelitian Putra (2007) terhadap Bahasa Sumba menggunakan metode

dialektometri untuk menganalisis data, baik untuk dialektometri fonologis maupun dialektometri leksikal, sedangkan dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan metode dialektometri leksikal.

2.2 Konsep

Beberapa konsep penting yang memandu penulis memahami gagasan-gagasan pokok dalam penelitian ini, dijelaskan berikut ini.

(8)

2.2.1 Isolek

Kridalaksana (1988:82), dalam makalahnya yang berjudul Masalah Metodologi dalam Rekonstruksi ‘Bahasa Melayu Purba’, mendefinisikan isolek sebagai bentuk yang statusnya entah bahasa entah dialek. Selain itu, Mahsun (1995:11) dalam bukunya Dialektologi Diakronis Sebuah Pengantar, mengatakan bahwa isolek digunakan sebagai istilah netral untuk perbedaan dialek atau bahasa.

2.2.2 Isoglos dan Berkas Isoglos

Isoglos didefinisikan sebagai sebuah garis imajiner yang diterakan di atas sebuah peta bahasa (bdk. Keraf, 1984:161, dan bdk. pula Lauder, 1990:117). Melalui isoglos dapat diperoleh gambaran, daerah-daerah mana yang menggunakan unsur-unsur kebahasaan yang serupa (baik secara leksikon maupun secara fonologis) dan sekaligus memberikan gambaran daerah yang menggunakan unsur kebahasaan yang serupa lainnya (bdk. Lauder, 1990:7). Di samping pengertian isoglos seperti yang dikemukakan di atas, Chambers dan Trudgill (1980:104) memberikan batasan bahwa isoglos merupakan garis yang menyatukan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan gejala kebahasaan yang serupa dengan daerah-daerah pengamatan yang lain yang juga menggunakan unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan.

Istilah isoglos disebut juga (garis) watas kata, yaitu garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan itu yang berbeda yang dinyatakan di dalam peta bahasa (Ayatrohaedi, 1979:5). Jadi,

(9)

isoglos merupakan suatu garis imajiner yang ditarik di atas peta bahasa untuk memisahkan gejala kebahasaan berdasarkan variasi yang berbeda.

Garis watas kata itu oleh Hans Kurath (1974:24) seorang dialektolog dari Amerika, disebut juga dengan istilah heteroglos yaitu garis pada peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa yang berbeda antara satu daerah ujar dengan daerah ujar yang lain. Menyimak perbedaan sudut pandang penggunaan kedua istilah di atas, dalam penelitian ini digunakan istilah isoglos.

Batasan atau pengertian isoglos di atas mengandung pengertian membedakan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan gejala kebahasaan yang serupa dengan daerah-daerah pengamatan lain yang juga menggunakan gejala kebahasaan yang serupa pula. Jadi, sebenarnya isoglos berfungsi untuk menunjukkan adanya ketidaksamaan atau perbedaan dalam menggunakan unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan. Untuk memperjelas hal di atas berikut akan ditampilkan sebuah peragaan yang dikutip dari Chambers dan Trudgill (1980:104).

A

A

Garis isoglos A menyatukan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan Δ dan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan O. Dengan kata lain, garis isoglos A

Δ

Δ

Δ

Δ

Δ

Δ

Δ

О

Δ

О

Δ

О

(10)

tersebut membedakan dua kelompok daerah pengamatan yang menggunakan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda.

Setelah semua peta telah dibubuhi isoglos, maka selanjutnya membuat berkas isoglos (Lauder, 1990:119-120) dengan cara: 1) mengelompokkan peta-peta peragaan itu berdasarkan pola isoglosnya. 2) menyalin semua isoglos dari suatu kelompok tertentu atau acak pada sebuah peta dasar yang memuat daerah-daerah pengamatan. 3) penghimpunan isoglos itu menghasilkan berkas isoglos. Kumpulan beberapa isoglos yang membentuk satu berkas disebut berkas isoglos (bundle of isoglosses).

2.2.3 Dialek

Panitia Atlas bahasa-bahasa Eropa mendefinisikan, dialek ialah sistem kebahasaan yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat lainya yang bertetangga yang mempergunakan sistem yang berlainan tetapi erat hubunganya (Ayatrohaedi, 1979:1).

Istilah dialek berasal dari kata Yunani dialektos, pada mulanya dipergunakan di dalam literatur Yunani dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani ada perbedaan-perbedaan kecil di dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak sampai menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Ciri utama dialek ialah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, dkk., 1967:69); Ayatrohaedi, 1979:1).

(11)

Selain ciri utama di atas, terdapat pula dua ciri lain yang dimiliki dialek (Ayatrohaedi, 1979:2; bdk. pula Meillet, dkk. , 1967:69), yaitu:

(1) Dialek ialah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip satu lainnya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama.

(2) Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.

2.2.4 Variasi Dalam Dialektologi

Variasi (variation) yaitu ujud pelbagai manisfestasi bersyarat maupun tak bersyarat dari suatu satuan (Kridalaksana, 2001:225). Dipandang dari dimensi geografi, perubahan atau perbedaan yang disebut variasi ada yang terjadi secara teratur dan ada pula yang terjadi secara sporadis.

Variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang relevan dalam penelitian ini meliputi dua aspek, yaitu variasi yang berkenaan dengan variasi leksikon dan variasi fonologis.

1) Variasi Leksikon

Menurut Mahsun (1995:54) yang dimaksudkan variasi atau perbedaan leksikon, jika leksem-leksem yang digunakan untuk merealisasikan suatu makna yang sama itu tidak berasal dari satu etimon prabahasa. Misalnya, dalam bahasa Perancis terdapat kata-kata yang digunakan untuk merealisasikan makna ’ayam jago’, yaitu gallus, pullus, faisan, vicare, dan coq.

(12)

Pengkajian perbedaan leksikon dilakukan berdasarkan pada pertimbangan bahwa bidang ini cukup menentukan dalam pengelompokan variasi atau perbedaan bahasa, sebagaimana dikatakan oleh Chambers dan Trudgill (1980:46, dan bdk. Grijns, 1976: 10). Selanjutnya, pemilihan variasi atau perbedaan leksikon dilakukan berdasarkan pertimbangan bahwa unsur leksikon merupakan unsur yang paling mudah berubah di dalam bahasa mana pun. Di samping itu, bidang leksikon adalah satuan bahasa yang paling mudah dipisahkan. Dari semua aspek kebahasaan yang saling bersinggungan antarbahasa atau dialek, leksikon memegang peranan paling utama. Hal ini sejalan dengan pendapat yang mengatakan bahwa leksikon mencerminkan adanya perubahan sosiokultural, selain itu leksikon menyimpan strukur berpikir suatu budaya atau cermin dari konsep-konsep budaya (Lauder, 1993:41).

Selanjutnya, variasi atau perbedaan bahasa bidang leksikon sebagai ciri pembeda bahasa atau dialek dalam penelitian ini dilakukan deskripsi secara sinkronis.

2) Variasi Fonologis

Menurut Mahsun (1995:23), yang dimaksudkan variasi atau perbedaan fonologi yaitu variasi yang berkenaan dengan perbedaan fonetik. Deskripsi variasi atau perbedaan unsur-unsur kebahasaan pada tataran fonologi yang dijadikan objek kajian dalam penelitian ini hanya ditekankan pada perbedaan fonem-fonem segmental.

(13)

Pada prinsipnya, secara dialek geografis variasi atau perbedaan yang terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu dianggap sebagai perbedaan fonologis jika leksem-leksem itu merupakan realisasi dari satu makna yang terdapat di antara daerah-daerah pengamatan. Menurut Mahsun (1995:24) suatu variasi atau perbedaan dapat ditentukan sebagai variasi atau perbedaan fonologis, apabila:

a) variasi atau perbedaan yang terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu muncul secara teratur,

b) variasi atau perbedaan di antara leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu hanya terjadi pada satu atau dua bunyi yang sama urutannya.

Terhadap variasi atau perbedaan fonologis, hasil perbandingan variasi atau perbedaan yang terdapat pada leksem-leksem yang menyatakan makna yang sama itu ialah mengetahui sebaran geografis kaidah-kaidah perubahan bunyi yang ditemukan pada daerah- daerah pengamatan itu.

2.2.5 Sifat Kajian

Kajian dialektologi yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat sinkronis. Artinya, aspek sinkronik (synchronic) itu didasarkan pada peristiwa penggunaan bahasa yang terjadi dalam suatu waktu atau masa yang terbatas; yaitu unsur bahasa yang digunakan sekarang ini oleh masyarakat pendukungnya. Hal ini sejalan dengan esensi dari dialektologi sinkronis yaitu bidang linguistik yang menyelidiki

(14)

kebervariasian bahasa pada berbagai dialek pada waktu tertentu (Kridalaksana, 2000: 129, 198; bdk. pula Mahsun, 1995:13-14; bdk, Djajasudarma, 1993:7; Nothofer, 1981:6-7; dan Dhani, 1991:11).

2.3 Landasan Teori

Hingga saat ini penerapan teori dalam penelitian dialektologi dikenal ada tiga teori (Chambers dan Peter Trudgill, 1980: 37--45), yaitu:

1) Teori dialektologi yang didukung oleh teori lingustik tradisional.

2) Teori dialektologi yang didukung oleh teori linguistik struktural.

3) Teori dialektologi yang didukung oleh teori linguistik generatif Penelitian dialek geografis terhadap bahasa Nagekeo yang dilakukan ini mengacu pada 2 teori sebagai landasan kerja ilmiah, yaitu: (1) Teori dialektologi yang didukung oleh teori lingustik tradisional (selanjutnya disebut Teori Dialektologi Tradisional), (2) Teori Dialektologi yang didukung oleh teori linguistik struktural (selanjutnya disebut Teori Dialektologi Struktural).

Kedua teori tersebut di atas diuraikan berikut ini. Teori dialektologi tradisional yang didukung oleh teori lingustik tradisional

1) Teori Dialektologi Tradisional

Teori Dialektologi Tradisional digunakan untuk mengkaji variasi leksikon yang terjadi dalam Bahasa Nagekeo. Prinsip dasar teori dialektologi tradisional

(15)

ialah variasi unsur-unsur kebahasaan dalam tataran leksikon tidak dapat diterangkan hubungan perubahan fonem-fonem antara satu kata dengan kata yang lainnya, meskipun kata-kata itu mengacu kepada makna yang sama. Hal ini disebabkan oleh kenyataan lingual bahwa perbedaan-perbedaan fonem yang membangun struktur kata yang bervariasi secara leksikal itu bukanlah akibat dari proses fonologis maupun proses morfologis (bdk. Chambers, 1980:37 dan 174) melainkan karena daya inovasi dan diferensiasi guyub tutur di lingkungan tertentu.

Perbedaan-perbedaan leksikon antara satu lokasi dengan lokasi lainnya umumnya dipengaruhi oleh latar belakang sosial masyarakatnya sehingga setiap daerah secara manasuka memberikan nama yang berbeda-beda terhadap satu benda atau hal yang mengacu kepada makna yang sama. Pemberian nama yang berbeda terhadap suatu konsep yang sama muncul sebagai akibat dari pandangan yang berbeda-beda dari masyarakatnya terhadap benda atau hal itu sesuai dengan zat, wujud, sifat, keadaan, atau pun kegunaan dan sebagainya. Demikian juga, pengaruh latar belakang budaya daerah yang terpisah secara geografis antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat lainnya sehingga para dialektolog melihat bahasa itu sebagai suatu refleksi kebudayaan dari masyarakat (bangsa) itu dari masa ke masa. Hal ini terjadi karena variasi yang muncul dalam bahasa masyarakat (bangsa) itu merupakan akibat dari variasi kebudayaan yang mempengaruhi bahasa tersebut (bdk. Putra, 2007:44).

(16)

Teori dialektologi tradisional mementingkan sejarah kata baik bentuk maupun maknanya (band. Ayatrohaedi 1979: 29). Namun dalam penelitian ini tidak diuraikan sejarah kata, tetapi hanya mendeskripsikan variasi leksikon yang ada dalam Bahasa Nagekeo. Berdasarkan uraian variasi leksikon itu selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menentukan hubungan lek-lek antar titik pengamatan, serta untuk mengelompokkan dialek-dialek dan subdialek-subdialek yang terdapat dalam Bahasa Nagekeo.

2) Teori Dialektologi Struktural.

Teori dialektologi Struktural digunakan untuk mengkaji variasi fonologis yang terjadi dalam Bahasa Nagekeo.

Weinreich yang dapat dipandang sebagai pelopor dialektologi struktural menyatakan bahwa dialektologi struktural membedakan pelbagai tipe perbedaan fonetis sesuai dengan efeknya terhadap struktur fonologis dari dialek-dialek tertentu (Allen dan Linn ed., 1986: 20--24). Dikatakannya bahwa dialektologi struktural harus memperhatikan relasi struktural pada setiap dialek dan fungsi unsur-unsur fonetik dalam sistemnya sendiri (Petyt, 1980: 121; Kurath, 1972: 30).

Lebih lanjut, dikatakan oleh Weinreich bahwa tugas dialektologi struktural adalah meneliti sistem-sistem bahasa dalam satu kesatuan sistem. Maksudnya, sistem-sistem bahasa yang merupakan bagian dari sistem bahasa yang lebih besar tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi harus dilihat dalam satu kesatuan sistem. Kesatuan sistem yang lebih besar yang mengatasi sistem-sistem yang

(17)

lainnya disebut diasistem atau supersistem, sedangkan sistem bawahannya yang lebih kecil disebut subsistem (Allan dan Linn ed., 1986: 22). Subsistem ini merupakan dialek dari supersistem, sedangkan diasistem itu dapat dipakai sebagai petunjuk jalan bagi para linguist dan para dialektolog untuk mengungkapkan kenyataan-kenyataan lingual tentang hubungan antara variasi-variasi fonologis tersebut (Chambers dan Trudgill, 1980:41).Jadi ada hubungan hiponimi antara diasistem dan subsistem (Allen dan Linn ed., 1986: 22). Pandangan Weinreich di atas sesungguhnya mau mengatakan bahwa dialektologi struktural mencermati perbedaan struktur bahasa, khususnya perbedaan struktur fonologis, perbedaan realisasi fonem, dan perbedaan insidental fonem (Kurath, 1972).

F. de Sausurre, tokoh linguistik struktural lainya yang terkenal dengan karyanya yang berjudul ”Memoire sur le system primitif des langue indo-europeennes” (Catatan tentang sistem vokal purba dalam bahasa-bahasa Indo- Eropa) mengajukan hipotesis bahwa vokal-vokal panjang berasal dari vokal pendek dan vokal luncuran (Sausurre, 1988).

Prinsip-prinsip linguistik struktural di atas diiterapkan untuk membahas variasi fonologis dalam Bahasa Nagekeo.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh pemberian corrective feedback pada pekerjaan rumah terhadap perubahan miskonsepsi siswa

Betonisasi Jalan Antar Desa Karangsari– Karangtowo-Dukun Karangtengah Kabupaten Demak.. Satuan Kerja Perangkat Daerah : Kecamatan Karangtengah

PENYESUAIAN JENJANG JABATAN FUNGSIONAL GURU BUKAN PNS TAHUN

Mobile Suit Gundam dengan menggunakan pendekatan analisis semiotika dari Roland Barthes yang nantinya akan digunakan untuk membongkar dan mengungkap makna konotasi

Isi modul ini : Ketakbebasan Linier Himpunan Fungsi, Determinan Wronski, Prinsip Superposisi, PD Linier Homogen Koefisien Konstanta, Persamaan Diferensial Linier Homogen

04 Jumlah publikasi pada jurnal nasional yang terakreditasi di bidang teknologi roket, satelit, dan penerbangan 05 Jumlah rumusan kebijakan di bidang teknologi roket, satelit

Kebera- daan patogen CVPD pada bibit tidak cukup dengan melihat gejala saja karena bakteri mungkin sudah ada, tetapi belum menampakkan gejala, apalagi gejala

Consumer acceptance of electronic commerce: integrating trust and risk with the technology acceptance model. Punya Aplikasi Ini Pembayaran Lebih Praktis Tanpa Perlu