• Tidak ada hasil yang ditemukan

Boks: Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Boks: Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Boks:

Boks:

Boks:

Boks:

Boks:

Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor

Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor

Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor

Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor

Peluang, Tantangan dan Hambatan Pengembangan Ekspor

DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006

DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006

DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006

DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006

DIY: Sebelum dan Setelah GempaTektonik 27 Mei 2006

Berdasarkan asesmen Bank Indonesia terhadap perekonomian DIY tahun 2005, diperoleh gambaran bahwa kegiatan ekspor di DIY nampaknya belum banyak berperan dalam mendorong pertumbuhan dan perkembangan ekonomi DIY. Bahkan pada tahun 2005, komponen lainnya dari sisi permintaan, termasuk didalamnya net-ekspor, memberikan andil negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Seperti halnya perekonomian nasional, roda perekonomian DIY lebih banyak didorong oleh konsumsi masyarakat, yang berasal dari kuatnya tarikan permintaan masyarakat dari luar DIY, yakni wisatawan domestik serta mahasiswa dan pelajar.

Secara empiris sesungguhnya kinerja ekspor DIY relatif baik, bahkan pada tahun 2005 mampu tumbuh sebesar 17,34%. Namun memasuki tahun 2006, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, Pemerintah Propinsi DIY hanya menargetkan pertumbuhan ekspor sebesar 6,00%. Penentuan angka tersebut didasari atas pertimbangan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) 1 Oktober 2005, rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang selanjutnya akan menyebabkan lonjakan biaya produksi, sehingga akan menekan jumlah produksi dan marjin keuntungan eksportir. Bersamaan dengan itu, biaya produksi meningkat dan daya beli masyarakat menurun yang pada gilirannya menurunkan permintaan domestik. Ditambah lagi, kondisi ekonomi DIY sempat terpuruk akibat gempa 27 Mei 2006 dan nilai ekspor DIY pada semester I tahun 2006 turun sebesar US$8 juta dibandingkan dengan tahun lalu.

Berangkat dari kondisi tersebut di atas, nampaknya perlu diupayakan strategi terobosan dalam upaya meningkatkan kinerja ekspor DIY, sekaligus mengupayakan agar ekspor dapat berperan sebagai motor penggerak perekonomian DIY. Pemahaman tentang permasalahan ekspor dapat ditindaklanjuti dengan berbagai upaya dan menelurkan kebijakan daerah yang sesuai, sehingga diharapkan dapat menjadi stimulus peningkatan kinerja ekspor, yang pada gilirannya dapat mendorong roda perekonomian dan menciptakan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat di wilayah ini.

Berangkat dari fenomena tersebut di atas, Bank Indonesia Yogyakarta tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka memperoleh informasi lebih banyak dan kajian lebih dalam, komprehensif mengenai peluang, tantangan dan hambatan pengembangan ekspor DIY dengan melakukan kajian terhadap kondisi sebelum dan setelah gempa. Penelitian ini melibatkan Penelitian dan Pengembangan Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Responden yang berhasil dikumpulkan adalah sebanyak 250 responden yang terdiri dari 128 eksportir, 6 importir, 6 Pembeli produk-produk ekspor (buyers), 8 perusahaan transportasi dan kargo, 5 maskapai penerbangan, 43 unsur pemerintah, 27 unsur perbankan, 7 pengelola bandara dan 20 asosiasi pengusaha/eskportir/ pengrajin.

(2)

Identifikasi Komoditas Unggulan dan Potensial

Untuk mengidentifikasi mana komoditas ekspor unggulan, potensial, dan unggulan digunakan alat analisis multidimensional scaling. Dengan menggunakan analisis ini komoditas ekspor DIY dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi jenis komoditas yaitu komoditas potensial, komoditas unggulan dan komoditas non unggulan.

Dengan menggunaan analisis time series data bulanan dan mengamati trend komoditas, serta pola musiman (seasonal), penelitian dapat mengidentifikasi komoditas layak ekspor DIY meliputi produk kulit, produk tekstil, produk kayu, produk kerajinan tanah liat dan batu.

Tantangan Pasca Gempa

Berdasarkan hasil survei pada para ekspotir, kerusakan paling yang paling parah adalah Bangunan (35,16%), disusul kemudian Pasar Output (34,38%) dan Sarana Usaha Pendukung (12,50%). Sementara itu 14,84% responden menyatakan tidak mengalami kerusakan yang parah.

Pasca gempa bumi ternyata sebagian besar proses produksi masih berjalan. Berdasarkan hasil survei pada para ekspotir, proses produksi masih berjalan walaupun tidak dengan kapasitas penuh sebanyak 63,28%, sedangkan yang berjalan normal seperti sebelum gempa sebesar 26,56%. Namun demikian, ada juga proses produksi yang berhenti sementara untuk dilakukan perbaikan sebesar 5,47%.

Hambatan Ekspor

Masalah utama yang dihadapi produsen produk ekspor ini dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku ini, yaitu terbatasnya ketersediaan bahan baku dan jarak dengan sumber bahan baku yang relatif jauh. Dalam masalah tenaga kerja, 35% responden menyatakan bahwa masalah yang

mereka hadapi dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja adalah tidak terampilnya tenaga kerja, diikuti dengan mahalnya biaya tenaga kerja, kecilnya minat, dan kombinasi dari berbagai masalah ini.

Beberapa masalah non bahan baku yang dihadapi oleh para eksportir DIY, yaitu (a) transportasi, (b) jalur yang sulit diakses, (c) pungutan liar, (d) gangguan keamanan, (e) lainnya. Respon terbanyak yang diberikan oleh para eksportir adalah transportasi merupakan kendala lain yang dihadapi selain pemenuhan bahan baku. Respon ini wajar mengingat produsen produk ekspor mendatangkan bahan baku dari daerah lain, oleh karena itu ketersediaan sarana transportasi menjadi sangat penting.

Dalam bidang pemasaran, masalah yang dihadapi adalah terkait dengan banyaknya pesaing, serta masalah kemampuan bahasa Inggris sebagai suatu hambatan dalam melakukan negosiasi terkait dengan pemasaran di luar negeri.

Masalah utama yang dihadapi oleh maskapai penerbangan dan perusahaan transportasi lainnya adalah meningkatnya harga bahan bakar. Sejak adanya kenaikan harga bahan bakar beberapa waktu lalu, industri penerbangan dan angkutan darat secara keseluruhan sebenarnya mengalami masalah yang tidak kecil dalam hal biaya operasional. Selain itu, kalangan maskapai penerbangan merasakan mahalnya biaya perawatan alat transportasi.

Peluang Ekspor

Kendati gempa tektonik pada bulan Mei 2006 telah menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi banyak pelaku bisnis di DIY, ternyata masih banyak eksportir yang melihat besarnya peluang untuk menggarap pasar global. Dari total 128 eksportir, 30,5% mengaku peluang pasar ekspor sangat besar, bahkan 57% melihat peluang ekspor besar. Hanya 12,5% berpendapat peluang menggarap pasar internasional kecil dan sangat kecil.

(3)

Lima prediktor utama peluang ekspor adalah persentase produk yang diekspor, daya saing di luar negeri, jumlah pekerja, daya saing di dalam negeri, dan besarnya omset. Tiga variabel lain, yaitu ada tidaknya biaya ekstra, persentase input yang diimpor, dan perhatian pemda memiliki nilai koefisien yang jauh lebih kecil, artinya daya penjelas terhadap peluang ekspor jauh lebih kecil dibanding kelima prediktor utama.

Respon Kebijakan

Sejak tanggal 29 Maret 2006, Departemen Perdagangan (Depdag) menerbitkan 8 (delapan) Peraturan Menteri Perdagangan yang antara lain berkaitan dengan penyederhanaan perizinan, pengawasan, pengendalian dan penataan di sektor perdagangan. Survei menunjukkan bahwa hanya 33,3% responden yang mengetahui, sedang mayoritas tidak tahu menahu mengenai reformasi kebijakan yang dicanangkan oleh Menteri Perdagangan.

Penyebab ketidaktahuan tersebut adalah belum ada sosialisasi dari pemerintah pusat (52,8%), belum ada juklat/juknisnya (25%), sisanya karena berbagai alasan lainnya. Temuan ini merupakan masukan yang berharga bagi pemerintah pusat, khususnya Menteri Perdagangan, tentang pentingnya sosialisasi ke daerah-daerah untuk setiap perubahan kebijakan. Selain itu, perubahan kebijakan tanpa diikuti juklak/juknis yang jelas membuat implementasi kebijakan di tingkat daerah menjadi tersendat-sendat.

Bagaimana dengan doing business di DIY dilihat dari besarnya biaya dan lama mengurus perijinan? Untuk membuka usaha di seluruh kabupaten dan kota di DIY setidaknya harus memiliki 4 ijin usaha di luar IMB (Ijin Mendirikan Bangunan). Pertama, SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan). Kedua, SIUI (surat Ijin Usaha Industri. Ketiga, TDP (Tanda Daftar Perusahaan). Keempat,

HO (Ijin Gangguan). Untuk bergerak dalam bidang ekspor-impor, perusahaan juga harus mengurus SKA (Surat Keterangan Asal) dan API (Angka Pengenal Impor) di Dinas Perindagkop Propinsi DIY. Khusus untuk eksportir, mereka harus mengurus SKA (Surat Keterangan Asal) atau Certificate of Origin di Pemda Propinsi. Khusus untuk importir, mereka harus mengurus API (Angka Pengenal Impor) di Pemda Propinsi. Sebenarnya apabila berbagai ijin tersebut dapat disederhanakan menjadi hanya satu ijin saja, sebutlah namanya business license, maka lamanya proses perijinan dan biaya mengurusnya bisa lebih efisien. Ketika hal ini ditanyakan kepada semua responden, 77,8% menyatakan setuju, 12,7% tidak setuju, dan sisanya tidak tahu. Yang menjawab setuju tentunya karena akan mempercepat proses perijinan dan menggairahkan iklim bisnis di DIY. Yang tidak setuju besar kemungkinan karena konsekuensinya akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan pemda dari berbagai ijin ini.

Kepada semua kelompok responden ditanyakan mengenai bagaimana persepsinya mengenai respon Pemda, baik propinsi maupun kabupaten/kota, di DIY dalam menangani rekonstruksi bisnis pascagempa? Secara umum menjawab 45,6% lambat dan 17% sangat lambat. Dengan kata lain, hampir 63% responden mengakui lambatnya proses rekonstruksi bisnis pascagempa. Hanya 22,2% yang menjawab cepat atau sangat cepat, sedang sisanya tidak tahu.

Hasil wawancara mendalam dengan para pejabat dan birokrat daerah memberikan alasan di balik lambannya proses rekonstruksi bisnis. Pertama, para birokrat takut mengambil inisiatif kebijakan sebelum juklak/juknis turun. Kedua, adanya ketergantungan pembiayaan rekonstruksi dengan dana DIPA dari pemerintah pusat. Ketiga, birokrat tidak lincah bergerak karena mereka atau keluarga dekatnya juga banyak yang menjadi korban gempa.

(4)

Strategi Pemulihan Ekonomi dan Pengembangan Ekspor

Semua stakeholders di DIY sepakat bahwa prioritas pemulihan ekonomi DIY pascagempa adalah: pertama, akselerasi pemulihan UKM; kedua, permudah akses permodalan; ketiga, perlu lebih proaktif melakukan promosi perdagangan; keempat, permudah prosedur perijinan; kelima, fasilitasi pameran di dalam maupun luar negeri; keenam, baru langkah lainnya yang dirasakan perlu. Strategi pengembangan ekspor DIY harus terintegrasi dengan strategi pengembangan industri DIY. Setidaknya ada dua langkah strategis yang bisa diusulkan, yaitu demand pull strategy dan supply push strategy. Langkah strategi tersebut harus didukung kebijakan yang padu, sehingga diperlukan langkah sinkronisasi dan harmonisasi kebijakan dari tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

Berdasarkan temuan-temuan penting dalam penelitian ini, tim peneliti merekomendasikan beberapa rencana tindak yang sebaiknya dilakukan oleh para stakeholders di DIY sebagai berikut : 1. Pemerintah Pusat

a. Departemen Perindustrian : pengembangan dan bantuan teknologi.

b. Departemen Perdagangan : menjaga ketersediaan bahan baku, menjaga kestabilan harga dan memfasilitasi proses mendapatkan hak paten.

c. Kementerian Negara UKM dan Koperasi : peningkatan kemampuan SDM, meningkatkan aksesibilitas permodalan di luar lembaga keuangan.

2. Pemerintah Propinsi DIY

a. Gubernur DIY: melakukan koordinasi antar dinas di tingkat propinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota dalam pengembangan ekspor dan kemudahan perijinan satu atap satu pintu.

b. Disperindagkop : pengembangan sarana dan prasarana, (seperti : showroom yang representatif, menyediaan situs informasi/ website), mengembangkan layanan informasi bisnis dan informasi kebijakan industri dan perdagangan, termasuk layanan administrasi usaha dan pemasaran (khususnya ekspor) ditujukan untuk memberikan kemudahan dan keringanan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan informasi dan layanan, serta promosi produk-produk ekspor baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

c. Balai Latihan Kerja (BLK) : penguatan balai-balai pengembangan industri.

d. Dinas Kimpraswil : pengembangan sarana dan prasarana, seperti : sarana penunjang jalur distribusi/transportasi, termasuk pengembangan jalur penerbangan internasional, terminal kargo dan pergudangan, serta pengembangan kawasan industri.

e. Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) : merencanakan grand strategy pengembangan ekspor dan industri di DIY serta mengkoordinasikan perencanaan antar kabupaten dan kota di DIY.

3. Pemerintah Kabupaten/Kota

a. Bupati/Walikota : melakukan koordinasi antar dinas di tingkat Kabupaten/Kota. b. Disperindagkop/ Dinas Perekonomian/ Dinas

P2KPM/Disperindakoptam : pengembangan sarana dan prasarana, (seperti : showroom yang representatif dan menyediakan situs informasi/website) dan mengembangkan layanan informasi bisnis dan informasi kebijakan industri dan perdagangan, termasuk layanan administrasi usaha dan pemasaran (khususnya ekspor) ditujukan untuk memberikan kemudahan dan

(5)

keringanan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan informasi dan layanan. c. Dinas Perijinan dan dinas lain yang terkait

dengan perijinan : deregulasi perijian seperti: penyederhanaan prosedur dan penggabungan berbagai macam ijin menjadi satu ijin usaha dengan biaya yang transparan. 4. Bank Indonesia : kemudahan untuk membuka Bank Koresponden, kemudahan untuk membiayai aktivitas ekspor dan membantu mempercepat pemulihan UKM, BPR dan eksportir pasca gempa.

5. Asosiasi : pengembangan Business Development Services (BDS), seperti : kegiatan konsultasi dan

pendampingan manajemen (teknis produksi, riset pasar, pemasaran, keuangan, pengembangan usaha), pelatihan, pengembangan desain dan jasa informasi. 6. Lembaga Keuangan : mempermudah akses

permodalan bagi UKM dan pelaku ekspor serta memperlancar pembiayaan ekspor dan memperluas jaringan bank koresponden di luar negeri.

7. Maskapai dan Transportasi : memberikan kemudahan dalam pengurusan ekspor.

8. Bandara : menyediakan fasilitas pergudangan yang memadai dengan biaya terjangkau.

Referensi

Dokumen terkait

Kemungkinan yang masuk akal terhadap kedua pernyataan di atas yaitu terjadinya persaingan harga yang cukup tinggi di antara perusahaan-perusahaan dalam industri tekstil sehingga

SIAU TAGULANDANG BIARO SELAKU KUASA PENGGUNA ANGGARAN,. STENGLY LANGI, S.STP

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengidentifikasi wilayah yang telah mengalami kerawanan pangan dengan menggunakan pendekatan kebutuhan pokok masyarakat

KEPALA DINAS PEKERJAAN UM UM selaku PENGGUNA

Teori ini memfokuskan pada perubahan struktur ekonomi di LDCs yang mengalami transformasi dari pertanian tradisional ke sector industry sebagai penggerak utama

Mengingat pentingnya hubungan antara saat trakeostomi dengan lama penggunaan ventilasi mekanik dan lama perawatan intensif selain mortalitas maka

NO NAMA/ AIAMAT PA/ KPA PAKET PEKERJAAN LOKASI PAGU ANGGARAN SUMBER DANA KETERANGAN..

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai