• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN

HIPOTESIS

A. Kajian Pustaka 1. Kajian Tentang Tunagrahita Ringan

a. Pengertian Tunagrahita Ringan

Ada beberapa istilah yang berbeda-beda untuk menyebut tunagrahita. Seperti yang dikemukakan oleh Ingals dalam Amin (1995: 20) berbagai istilah tersebut dalam bahasa Inggris diantaranya, “Mental retardation, mental dificiency, mentally defective, mentally handicapped, feeblemindedness, mental subnormality, amentia, and oligophrenia”. Selain itu dalam bahasa Indonesia kita sering menyebut dengan istilah lemah ingatan, lemah otak, lemah pikiran, cacat mental, terbelakang mental, dan tunagrahita (Amin, 1995). Berdasarkan perbedaan individual anak tunagrahita yang sangat bervariasi maka Wijaya (2013: 31),

“Penggolongan anak tunagrahita yaitu: tunagrahita ringan (mild mental retardation) memiliki IQ sekitar 55-69, tunagrahita sedang (moderate mental retardation) memiliki IQ sekitar 40-54, tunagrahita berat (severse mental retardation) memiliki IQ sekitar 20-39, dan tunagrahita sangat berat (profound mental retardation) memiliki IQ 20 ke bawah.”

Di Indonesia lebih dikenal dengan istilah tunagrahita ringan daripada moron atau debil yang berarti mampu didik. Tunagrahita ringan adalah suatu keadaan dimana tingkat intelegensi seseorang di bawah rata-rata dari orang kebanyakan. Batasan pengertian anak tunagrahita ringan telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang semuanya itu pada dasarnya mengandung pengertian yang hampir sama. Di bawah ini dikemukakan beberapa definisi anak tunagrahita ringan.

(2)

Tunagrahita ringan yaitu mereka yang termasuk kedalam kelompok IQ di bawah rata-rata yaitu berkisar antara 50-70. Meskipun kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat, namun mereka masih mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam pelajaran akademik, penyesuaian sosial dan kemampuan bekerja (Amin: 1995). Menurut Hource dan Martin dalam Wantah (2007: 10) mengemukakan bahwa, “Berdasarkan data menunjukkan bahwa kira-kira 85% dari anak retardasi mental tergolong retardasi mental ringan, memiliki IQ antara 50-75, dan mereka dapat mempelajari keterampilan, dan akademik mereka sampai kelas 6 SD”.

Wijaya (2013: 29-31) berpendapat bahwa, “Anak tunagrahita ringan atau yang disebut juga dengan tunagrahita mampu didik (educabie mentally retarded) adalah anak yang memiliki IQ 50-75 atau 75 dan masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak regular pada kelas 5 SD”. Anak tunagrahita ringan (dapat dididik) merupakan anak yang perkembangan mentalnya subnormal, mereka mengalami kesulitan dalam mengikuti program reguler di sekolah dasar namun masih memiliki potensi dalam pelajaran akademiknya dan usia mentalnya berkisar 8-12 tahun bisa belajar sampai kelas 6 SD serta masih mampu dididik untuk melakukan penyesuaian sosial (Munzayanah, 2011: 8-9). Menurut Somantri (2006: 86) menyatakan bahwa:

“Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil yang memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55 mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana dengan bimbingan dan pendidikan yang baik pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri namun mereka tidak dapat melakukan penyesuaian sosial secara independen”.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa anak tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai IQ antara 50-75 yang mana mengalami hambatan dalam hal akademik seperti membaca, menulis dan berhitung namun masih

(3)

dapat dididik maksimal setara dengan anak normal kelas 6 SD atau usia 12 tahun.

b. Faktor Penyebab Tunagrahita

Terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan seseorang atau anak mengalami ketunagrahitaan. Hain dan Harris dalam Wijaya (2013: 24-25) mengungkapkan beberapa penyebab, sebagai berikut: 1) Anomali dalam kromosom atau gen (misalnya sindrom Down,

sindrom Fragile X)

2) Kelahiran prematur (misalnya dimana kerusakan otak bisa terjadi akibat kekurangan oksigen)

3) Masalah kehamilan (ibu misalnya terkena rubella atau campak Jerman pada awal kehamilan, atau efek obat-alkohol)

4) Penyakit (misalnya meningitis atau campak) 5) Cedera (misalnya cedera otak diakusisi) 6) Lingkungan (misalnya trauma, memimpin)

Menurut Wantah (2007: 22-28) secara biologi dan faktor lingkungan yang menjadi penyebab keterbelakangan mental seperti yang diuraikan berikut ini:

1) Keturunan

Disebabkan oleh kelainan yang diwariskan oleh kelainan pada gen seperti fragille X syndrome yang merupakan kerusakan pada kromosom yang menentukan jenis kelamin, kerusakan salah satu gen seperti phenylketonuria (PKU), senyawa kimiawi bergugus keton yang tidak boleh ada di dalam sistem ekskresi tubuh manusia, pembawaan sejak lahir, dan kesalahan dari metabolisme. 2) Sebelum Lahir

Pada waktu hamil dengan usia kandungan 12 minggu ibu sering minum alkohol, infeksi atau penyakit seperti gangguan pada jaringan kelenjar, rubella, ibu hamil yang menderita tekanan darah tinggi (hypertension), keracunan pada darah (toxemia), dan menurunnya aliran oksigen pada janin.

(4)

3) Kerusakan pada Waktu Lahir

Proses melahirkan yang sulit sehingga harus menggunakan alat bantu yang dapat menarik kepala keluar dari rahim, kerusakan pada pembuluh syaraf, kelainan fisik dari kepala, otak, dan sistem saraf pusat.

4) Penyakit dan Luka-Luka pada Masa Kanak-Kanak

Anak terkena jenis penyakit seperti hyperthyroidism, whooping cough, chickenpox (cacar air), measles dan Hib (a bacterial infection), meningitis, radang otak (encephalitis), dan traumatik akibat pukulan atau goncangan keras pada kepala.

5) Faktor Lingkungan

Mengabaikan bayi dengan tidak memberikan rangsangan fisik dan mental yang diperlukan untuk perkembangan normal, kekurangan gizi, dan kondisi kehidupan yang tidak sehat.

Amin (1995: 62-70) membahas beberapa penyebab ketunagrahitaan, yaitu:

1) Faktor Keturunan

a) Kelainan Kromosom: terletak pada autosom (Langdon Down’s Syndrome dan Patau’s Syndrome), terletak pada gonosom (Kinefelter’s Syndrome dan Turner’s Syndrome)

b) Kelainan Gen: mutasi gen 2) Gangguan Metabolisme dan Gizi

a) Phenylketoniria: gangguan metabolisme asam amino

b) Gargoylism: kerusakan metabolisme saccharide yang menjadi tempat penyimpanan asam mucopolysaccharide di dalam hati, limpa kecil, dan otak

c) Cretinism: kelainan hypohyroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau segera setelah dilahirkan

3) Infeksi dan keracunan

a) Rubella: penyakit ibu hamil pada 12 minggu pertama kehamilan

(5)

b) Syphilis Bawaan

c) Syndrome Gravidity Beracun: lahir prematur, kerusakan janin karena zat beracun, berkurangnya aliran darah pada rahim dan plasenta

4) Trauma dan Zat Radioaktif

a) Trauma Otak: trauma pada kepala sehingga menimbulkan pendarahan intracranial yang mengakibatkan kecacatan pada otak biasanya disebabkan karena kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu (tang)

b) Zat Radioaktif: ketidaktepatan penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan pada 3-6 minggu kehamilan pertama

5) Masalah pada kelahiran

Kelahiran yang disertai hypoxia dan juga trauma mekanis pada kelahiran yang sulit.

6) Faktor Lingkungan (Sosial Budaya)

Ketidakseimbangan nutrisi/gizi dan kurangnya perawatan medis baik bagi anak maupun ibu hamil, kurang memeriksa diri secara teratur pada waktu hamil, kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsangan positif dalam masa perkembangan anak, dan masalah afeksi (kasih sayang) orang tua terutama ibu.

Menurut Kemis dan Rosnawati (2013: 15-17) mengemukakan beberapa faktor penyebab tunagrahita, diantaranya:

1) Generik: kerusakan/ kelainan Biokimiawi, Abnormalitas Kromosomal

2) Sebelum Lahir (Pre-Natal) a) Infeksi Rubella (cacar) b) Faktor Rhesus (Rh)

3) Kelahiran (Natal): yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran

(6)

4) Setelah Lahir (Post-Natal): akibat infeksi misalnya meningitis (peradangan pada selaput otak) dan problema nutrisi yaitu kekurangan gizi seperti kekurangan protein

5) Faktor sosio kultural atau sosial budaya lingkungan 6) Gangguan metabolisme/nutrisi

a) Phenylketonuria b) Gargoylisme c) Cretinisme

Lebih lanjut Kemis dan Rosnawati (2013: 15-17) mengungkapkan penyebab tunagrahita secara umum sebagai berikut: 1) Infeksi dan/atau intoxikasi

2) Rudapaksa dan/atau sebab fisik lain

3) Gangguan metabolisme, pertumbuhan atau gizi atau nutrisi 4) Penyakit otak yang nyata (kondisi setelah lahir/post-natal)

5) Akibat penyakit atau pengaruh sebelum lahir yang tidak diketahui 6) Akibat kelainan kromosomal

7) Gangguan waktu kehamilan (gestational disorders)

8) Gangguan pasca psikiatrik/gangguan jiwa berat (post psikiatrik disorders)

9) Pengaruh lingkungan

10)Kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan

Berdasarkan beberapa pendapat di atas mengenai faktor penyebab ketunagrahitaan, maka dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita tidak muncul secara tiba-tiba melainkan karena faktor-faktor tertentu yang terjadi sebelum kelahiran/pre natal (seperti: penyakit pada ibu yang berupa rubella, trauma ketika kehamilan, dan rhesus), pada waktu kelahiran/natal (seperti: penggunaan alat yang salah ketika proses melahirkan, kelahiran prematur, dan kelahiran yang dipaksa), serta pada waktu setelah kelahiran/post natal (seperti: trauma pada bayi karena terjatuh, kekurangan gizi, kekurangan protein, dan terpapar zat berbahaya).

(7)

c. Karakteristik Tunagrahita Ringan

Karakteristik merupakan suatu ciri khusus. Seperti halnya anak tunagrahita ringan yang memiliki ciri khusus dibanding anak pada umumnya. Apriyanto (2012: 33-38) mengungkapkan karakteristik tunagrahita baik secara umum maupun secara khusus bagi anak tunagrahita ringan serta karakteristik pada masa perkembangan, yaitu: 1) Karakteristik Umum

a) Kecerdasan: kapasitas belajarnya sangat terbatas terutama untuk hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan cara membeo (rote learning) bukan dengan pengertian. b) Sosial: dalam pergaulan mereka tidak dapat mengurus,

memelihara, dan memimpin diri. Ketika masih kanak-kanak mereka harus dibantu terus menerus, disingkirkan dari bahaya, dan diawasi waktu bermain dengan anak lain.

c) Fungsi-fungsi mental lain: mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, pelupa dan sukar mengungkapkan kembali suatu ingatan. Mereka menghindari berpikir, kurang mampu membuat asosiasi dan sukar membuat kreasi baru. d) Dorongan dan emosi: perkembangan dan dorongan emosi anak

tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaan masing-masing. Kehidupan emosinya lemah, mereka jarang menghayati perasaan bangga, tanggung jawab dan hak sosial.

e) Organisme: struktur dan fungsi organisme pada anak tunagrahita umumnya kurang dari anak normal. Dapat berjalan dan berbicara di usia yang lebih tua dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang indah, bahkan diantaranya banyak yang mengalami cacat bicara.

2) Karakteristik Khusus

Meskipun tidak dapat menyamai anak normal yang seusia dengannya, mereka masih dapat belajar membaca, menulis, dan

(8)

berhitung sederhana. Kecerdasannya berkembang dengan kecepatan antara setengah dan tiga perempat kecepatan anak normal dan berhenti pada usia muda. Mereka dapat bergaul dan mempelajari pekerjaan yang hanya memerlukan semi skilled. Pada usia dewasa kecerdasannya mencapai tingkat usia anak normal 9 dan 12 tahun.

3) Karakteristik pada Masa Perkembangan

a) Masa bayi: tampak mengantuk saja, apatis, tidak pernah sadar, jarang menangis, kalau menangis terus menerus, terlambat duduk, bicara, dan berjalan.

b) Masa kanak-kanak: anak tunagrahita ringan yang lambat (sukar memulai dan melanjutkan sesuatu, mengerjakan sesuatu berulang-ulang tetapi tidak ada variasi, penglihatannya tampak kosong, melamun, ekspresi muka tanpa ada pengertian) sedangkan anak tunagrahita ringan yang cepat (mereaksi cepat tetapi tidak tepat, tampak aktif sehingga memberi kesan anak ini pintar, pemusatan perhatian sedikit, hiperaktif, bermain dengan tangannya sendiri, cepat bergerak tanpa dipikirkan terlebih dahulu.

c) Masa sekolah: adanya kesulitan belajar hampir pada semua mata pelajaran (membaca, menulis, dan berhitung), prestasi yang kurang, kebiasaan kerja tidak baik, perhatian yang mudah beralih, kemampuan motorik yang kurang, perkembangan bahasa yang jelek, dan kesulitan menyesuaikan diri.

d) Masa puber: mengalami kesulitan dalam pergaulan dan mengendalikan diri, lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru, kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim serta tingkah laku yang kurang wajar dan terus menerus.

Menurut Amin (1995: 37) karakteristik anak tunagrahita ringan antara lain sebagai berikut:

(9)

1) Banyak yang lancar berbicara tapi kurang perbendaharaan kata 2) Mengalami kesukaran berpikir abstrak

3) Dapat mengikuti pelajaran akademik baik di sekolah biasa maupun di sekolah khusus

4) Pada umumnya umur 16 tahun baru dapat mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur 12 tahun

Mumpuniarti (2000: 41), mengemukakan ciri-ciri atau karakteristik anak tunagrahita yang diuraikan sebagai berikut:

1) Karakteristik fisik nampak seperti anak normal, hanya sedikit mengalami kelambatan dalam kemampuan sensomotorik.

2) Karakteristik psikis sukar berfikir abstrak dan logis. Kurang memiliki kemampuan analisa, asosiasi lemah, kurang mampu mengendalikan perasaan, mudah dipengaruhi, kepribadian kurang harmonis karena tidak mampu menilai baik dan buruk.

3) Karakteristik sosial mereka mampu bergaul, menyesuaikan di lingkungan yang tidak terbatas pada keluarga saja, namun ada yang mampu mandiri dalam masyarakat, mampu melakukan pekerjaan yang sederhana dan melakukannya secara penuh sebagai orang dewasa. Kemampuan dalam bidang pendidikan termasuk mampu didik.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak tunagrahita ringan terbagi menjadi tiga, yaitu: karakteristik fisik, sosial dan mental. Dalam hal fisik secara umum hampir sama dengan anak normal pada umumnya sehingga akan susah diidentifikasi dari fisiknya, dalam hal sosial sedikit mengalami hambatan dalam melakukan interaksi dengan orang lain, dalam hal mental lebih muda dari usia kronologisnya dan biasanya mulai terlihat ketika sudah masuk sekolah.

d. Usaha Pencegahan Terjadinya Tunagrahita

Berbagai alternatif upaya pencegahan terjadinya tunagrahita yang disarankan menurut Apriyanto (2012: 48-49), antara lain sebagai

(10)

berikut: penyuluhan genetik, diagnostik prenatal, imunisasi, tes darah, melalui program keluarga berencana, tindakan operasi, sanitasi lingkungan, pemeliharaan kesehatan, dan intervensi dini. Lebih lanjut Kemis dan Rosnawati (2013: 17) menyebutkan usaha pencegahan terjadinya anak tunagrahita yaitu: diagnostik prenatal, imunisasi, tes darah, pemeliharaan kesehatan, sanitasi lingkungan, penyuluhan genetik, tindakan operasi, program keluarga berencana, dan intervensi dini.

Menurut Dasiemi (1997: 143) mengemukakan tiga tahap pencegahan ketunagrahitaan, yaitu:

1) Mengusahakan untuk mengurangi kasus baru.

2) Mengusahakan untuk menemukan kasus sedini mungkin dan pengobatan secepat mungkin.

3) Mengurangi fungsi tubuh yang rusak

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan usaha pencegahan terjadinya tunagrahita itu ada dua cara yaitu dari dalam dan dari luar. Pencegahan dari dalam, bisa dengan melakukan pemeliharaan kesehatan secara rutin dan menjaga pola hidup sehat. Sementara itu pencegahan dari luar, bisa dengan melakukan imunisasi, program keluarga berencana, tes darah pra nikah, penyuluhan maupun sesegera mungkin melakukan deteksi dini dan pengobatan secepat mungkin.

e. Hambatan Tunagrahita Ringan

Perkembangan fungsi intelektual anak tunagrahita yang rendah dan disertai dengan perkembangan perilaku adaptif yang rendah pula akan berakibat langsung pada kehidupan mereka sehari-hari. Hambatan yang dihadapi tersebut secara umum dikemukakan oleh Rochyadi dalam Apriyanto (2012: 49-51) sebagai berikut:

1) Hambatan belajar: dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya dibutuhkan kemampuan mengingat, memahami, dan mencari hubungan sebab akibat. Keadaan seperti ini sulit dilakukan oleh

(11)

anak tunagrahita karena sulit dalam berpikir abstrak sehingga harus menggunakan objek yang konkrit.

2) Hambatan penyesuaian diri: anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami dan mengartikan norma lingkungan.

3) Gangguan bicara dan bahasa: terdapat hubungan yang positif antara rendahnya kemampuan kecerdasan dengan kemampuan bicara yang dialami, lebih serius lagi dari gangguan bicara adalah gangguan bahasa yang mana kesulitan dalam memahami dan menggunakan kosakata serta kesulitan dalam memahami aturan sintaksis dari bahasa yang digunakan.

4) Hambatan kepribadian: anak tunagrahita memiliki ciri kepribadian yang khas, berbeda dari anak pada umunya tergantung dari faktor yang melatarbelakanginya.

Menurut Amin (1995: 41-50) mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan hambatan yang dihadapi anak tunagrahita dalam konteks pendidikan, di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Kesulitan dalam kehidupan sehari-hari: berkaitan dengan kesehatan dan pemeliharaan diri.

2) Kesulitan belajar: kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik, mencari metode yang tepat, kemampuan berpikir abstrak yang terbatas, dan daya ingat lemah.

3) Penyesuaian diri: berkaitan dengan kesulitan dalam hubungan dengan kelompok maupun individu di sekitarnya.

4) Penyaluran ke tempat kerja: berkaitan dengan keterbatasannya, banyak anak tunagrahita yang bergantung pada orang lain dalam hal ekonomi dikarenakan tidak mendapat penyaluran ke tempat kerja.

5) Gangguan kepribadian dan emosi: berkaitan dengan penampilan yang tingkah laku sehari-hari.

6) Pemanfaatan waktu luang: berkaitan dengan perilaku anak tunagrahita yang cenderung hiperaktif atau justru hipoaktif

(12)

sehingga dapat berakibat fatal jika waktu luangnya tidak dimanfaatkan sebaik mungkin.

Masalah ataupun hambatan yang dihadapi anak tunagrahita ringan menurut Astati (2001: 10) bahwa permasalahan anak tunagrahita ringan secara khusus dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Penyesuaian diri

2) Pemeliharaan diri 3) Kesulitan belajar 4) Pekerjaan

Berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hambatan anak tunagrahita ringan cukup kompleks mulai dalam hal belajar, penyesuaian diri, pemanfaatan waktu luang, pemeliharaan diri, kepribadian dan emosi, pekerjaan, serta bicara dan bahasa.

2. Kajian Tentang Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Tunagrahita Ringan

a. Pengertian Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia

Menurut KBBI kosakata adalah perbendaharaan kata, atau kata saja, leksikon adalah kekayaan kata yang dimiliki oleh (terdapat dalam) suatu bahasa. Penguasaan kosakata dapat dibedakan ke dalam penguasaan yang bersifat reseptif dan produktif, kemampuan untuk memahami dan mempergunakan kosakata. Kridalaksana dalam Akhadiah (1992: 40) mengemukakan bahwa kosakata sama dengan leksikon, yaitu:

1) Komponen bahasa yang memuat semua informasi tentang makna pemakaian kata dalam bahasa.

2) Kekayaan kata yang dimiliki seorang pembicara, penulis atau suatu bahasa.

3) Daftar kata yang disusun seperti kamus, tetapi dengan penjelasan yang singkat dan praktis.

(13)

Menurut Soedjito (1992: 11) yang dimaksud dengan kosakata adalah:

1) Semua kata yang terdapat dalam suatu bahasa

2) Kata yang diakui seseorang atau kata-kata yang dipakai oleh segolongan orang di lingkungan yag sama.

3) Kata-kata yang dipakai dalam ilmu pengetahuan. 4) Seluruh morfem dalam semua bahasa.

5) Daftar sejumlah kata dan frase dari suatu bahasa yang disusun secara alfabetis disertai batasan dan keterangan.

Lebih lanjut Keraf (2004: 80) mengatakan bahwa, “Kosakata adalah keseluruhan kata yang berada dalam ingatan seseorang yang segera akan menimbulkan reaksi bila didengar atau dibaca”. Menurut Zuchdi (1997: 3-7) penguasaan kosakata adalah kemampuan seseorang untuk mengenal, memahami, dan menggunakan kata-kata dengan baik dan benar dengan mendengar, berbicara, membaca dan menulis.

Sementara itu, Nurgiyantoro (2001: 213) menyatakan bahwa, “Penguasaan kosakata adalah kemampuan untuk mempergunakan kata-kata, kemampuan untuk memahami diwujudkan dalam kegiatan membaca dan menyimak, sedangkan kemampuan mempergunakan diwujudkan dalam kegiatan menulis dan berbicara.” Menurut Purwo dalam Yunisah (2007: 11) mengemukakan bahwa, “Penguasaan kosakata merupakan ukuran pemahaman seseorang terhadap kosakata suatu bahasa dan kemampuan yang menggunakan kosakata tersebut baik secara lisan maupun tertulis.” Lebih lanjut Djiwandono (2008: 43) mengemukakan penguasaan kosakata dapat dibedakan dalam penguasaan aktif-produktif (kosakata yang telah dikuasai dan dipahami dapat digunakan oleh pembelajar bahasa secara wajar tanpa ada kesulitan dalam berkomunikasi atau berbahasa) dan pasif-reseptif (kosakata yang telah dikuasai hanya dapat dipahami oleh pembelajar bahasa dari ungkapan bahasa orang lain tapi tidak mampu

(14)

menggunakan kosakata secara wajar dalam berkomunikasi atau berbahasa).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penguasaan kosakata merupakan kemampuan seseorang dalam mengenal, memahami, maupun menggunakan kata-kata dalam kehidupan sehari-hari baik secara lisan maupun tertulis.

b. Penguasaan Kosakata Bahasa Indonesia Anak Tunagrahita Ringan

Kosakata dalam pelajaran bahasa Indonesia sangat penting peranannya, karena dengan penguasaan kosakata yang cukup akan memperlancar siswa dalam berkomunikasi serta mempermudah siswa dalam pembuatan kalimat secara baik dan benar. Nurgiyantoro (2001: 154) menjelaskan bahwa, “Untuk dapat melakukan kegiatan komunikasi dengan bahasa, diperlukan penguasaan kosakata dalam jumlah yang memadai. Penguasaan kosakata yang lebih banyak lebih memungkinkan kita untuk menerima dan menyampaikan informasi yang lebih luas dan kompleks”. Selanjutnya Tarigan (2011: 14) memaparkan bahwa, “Berbicara mengenai hubungan kosakata dan kemampuan mental juga erat kaitannya dengan kemampuan mental, maka prinsipnya kita telah memasuki wilayah hubungan bahasa dan pikiran”.

Anak tunagrahita ringan meskipun usia kronologisnya sekitar sembilan tahun, namun usia mentalnya masih setara dengan anak usia lima tahun. Menurut Musfiroh (2008: 48) berpendapat bahwa,

“Pada saat anak usia lima tahun telah mampu menghimpun kurang lebih 3000 kata. Kata-kata yang dimiliki anak usia prasekolah meliputi kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan. Anak usia prasekolah sudah mampu menggunakan kata benda dengan tepat walaupun masih mengalami kebingungan pada kata-kata ulang dan kata berimbuhan. Pertumbuhan kosakata anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar anak, semakin banyak kata yang diperoleh anak dari lingkungan maka semakin banyak pula kosakata yang dimiliki anak”.

(15)

Menurut Hallahan dan Kauffman dalam Mangunsong (2014: 135) mengemukakan bahwa anak tunagrahita secara umum mengikuti tahap perkembangan bahasa seperti anak normal hanya saja terlambat sehingga dalam hal penguasaan kosakatanya juga relatif tertinggal dengan anak normal seusianya. Selain itu, self regulation (kemampuan mengatur tingkah laku) pada anak tunagrahita sangat buruk padahal antara self regulation dengan perkembangan bahasa saling berhubungan karena banyak yang berdasarkan pada dasar-dasar ilmu bahasa.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa penguasaan kosakata bahasa Indonesia anak tunagrahita ringan setara dengan anak normal usia lima tahun (prasekolah) yaitu sekitar 3000 kata atau bisa kurang dari itu yang meliputi kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan tergantung dengan hal yang melatarbelakanginya sehingga dalam hal penguasaan kosakata anak tunagrahita berbeda-beda antara satu dengan yang lain.

c. Perluasan Kosakata

Sebelum memperluas kosakata perlu mengetahui berbagai jenis kosakata sesuai dengan kategorinya. Menurut Tarigan (2011: 3) jenis kosakata dapat dikategorikan sebagai berikut:

1) Kosakata Dasar, yaitu kata-kata yang tidak mudah berubah atau sedikit sekali kemungkinannya dipungut dari bahasa lain. Diantaranya yang termasuk kosakata dasar adalah sebagai berikut: a) Istilah kekerabatan, yaitu: ayah, nenek, kakek, anak, paman,

bibi, mertua, dan sebagainya.

b) Nama-nama bagian tubuh, yaitu: kepala, rambut, lidah, dan sebagainya.

c) Kata ganti (diri, petunjuk), yaitu: saya, kamu, dia, kami, mereka, ini, itu, sini, sana, dan sebagainya.

d) Kata bilangan, yaitu: satu, dua, sepuluh, seratus, seribu, sejuta, dan sebagainya.

(16)

e) Kata kerja, yaitu: makan, minum, lari, tidur, dan sebagainya. f) Kata keadaan, yaitu: suka, duka, lapar, haus, dan sebagainya. g) Kosakata benda, yaitu: tanah, udara, air, binatang, matahari,

dan sebagainya.

2) Kosakata aktif dan pasif, yaitu aktif (sering dipakai dalam berbicara atau menulis, seperti: hati, jiwa) dan pasif (jarang atau bahkan tidak pernah dipakai namun biasanya digunakan dalam istilah puitisisasi, seperti: kalbu, sukma).

3) Bentukan kosakata baru, muncul disebabkan adanya sumber dalam bahasa (kosakata swadaya bahasa Indonesia sendiri) dan sumber luar bahasa (pungutan dari bahasa daerah atau bahasa asing). 4) Kosakata umum dan khusus

Kosakata umum adalah kosakata yang meluas ruang lingkup pemakaiannya dan dapat menaungi berbagai hal, sedangkan kosakata khusus adalah kata tertentu, sempit, dan terbatas dalam pemakaiannya.

5) Makna denotasi (sebenarnya) dan konotasi (makna yang timbul dari pendengar atau pembaca dalam menstimuli atau meresponnya) 6) Kata tugas, dapat bermakna jika dirangkaikan dengan kata lain dan

hanya memiliki arti gramatikal seperti ke, karena, dan, dari. 7) Kata benda

Diklasifikasikan dalam tiga segi, yaitu: semantis (mengacu pada manusia, binatang, benda, dan konsep atau pengertian), sintaksis (diikuti oleh kata sifat dan dapat diikuti kata “bukan”), morfologi (terdiri atas bentuk dasar dan turunan).

Kosakata harus terus menerus diperbanyak dan diperluas sesuai dengan tuntutan usia dan perkembangan masyarakat sehingga dapat dengan mudah berkomunikasi dengan orang lain. Semua tingkatan usia tersebut mengandung berbagai macam cara seseorang agar dapat memperluas kosakatanya, Keraf (2004: 67-72) mengemukakan cara memperluas kosakata melalui berbagai cara, yaitu sebagai berikut:

(17)

1) Proses belajar: dilakukan di lembaga pendidikan yang mana pendidik melalui pelajaran bahasa dan mata pelajaran lainnya memperkenalkan bermacam-macam istilah yang baru.

2) Konteks: merupakan lingkungan yang dimasuki sebuah kata baik lisan maupun tertulis yang mana pengertian kata diperoleh tergantung ketajaman dalam memahami teks karena kata yang sama dapat menghasilkan makna yang berbeda.

3) Kamus, kamus sinonim, dan tesaurus: tiga macam buku referensi yang khusus disusun untuk membantu setiap orang dalam memperluas pengetahuan kosakatanya. Kamus merupakan daftar kata beserta batasan pengertian yang sedang berlaku atau yang tidak berlaku lagi, kamus sinonim untuk membedakan konotasi atau sugesti yang ditimbulkan oleh kata-kata yang tampaknya mempunyai arti yang sama tetapi tidak dapat saling melengkapi, sedangkan tesaurus adalah sebuah khasanah kata untuk keperluan sendiri.

4) Menganalisa kata: analisa terhadap bagian-bagian kata yang selalu muncul dalam bentuk-bentuk gabungan sehingga dengan mengingat dasar katanya maka semua kata yang menggunakan dasar tadi dapat diduga maknanya secara tepat.

Lebih lanjut Keraf (2004: 65-67) membagi tingkat perluasan kosakata menjadi tiga masa, yaitu:

1) Masa Kanak-Kanak

Perluasan kosakata pada anak-anak lebih ditekankan kepada kosakata, khususnya kesanggupan untuk nominasi gagasan-gagasan yang konkret. Ia hanya memerlukan istilah untuk menyebutkan kata-kata secara terlepas atau pendeknya ia ingin mengetahui tentang semua yang dilihat, dirasakannya atau didengarnya setiap hari.

(18)

2) Masa Remaja

Pada waktu anak mulai menginjak bangku sekolah, proses tadi masih berjalan terus ditambah dengan proses yang sengaja

diadakan untuk menguasai bahasanya dan memperluas

kosakatanya. Proses yang sengaja diadakan ini adalah proses belajar, baik melalui pelajaran bahasa maupun melalui mata pelajaran lainnya.

3) Masa Dewasa

Pada proses yang meningkat dewasa, kedua proses tadi berjalan terus. Proses perluasan berjalan lebih intensif karena sebagai seseorang yang dianggap matang dalam masyarakat, ia harus mengetahui berbagai hal, bermacam-macam keahlian dan keterampilan dan harus pula berkomunikasi dengan anggota masyarakatnya mengenai semua hal itu.

Selanjutnya dijelaskan oleh Nurgiyantoro (2001: 216) ada dua macam kosakata yaitu kosakata pasif adalah kosakata untuk penguasaan reseptif, kosakata yang hanya untuk dipahami dan tidak untuk dipergunakan. Kosakata aktif adalah kosakata untuk penguasaan produktif, kosakata yang dipergunakan untuk menghasilkan bahasa dalam kegiatan berkomunikasi.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perluasan maupun penguasaan kosakata tidak terjadi begitu saja secara tiba-tiba. Semuanya melalui proses dari mulai kanak-kanak sampai dewasa dengan melalui berbagai cara agar dapat menghasilkan bahasa dalam kegiatan berkomunikasi, salah satunya menggunakan proses belajar.

d. Pengajaran Kosakata Bahasa Indonesia Anak Tunagrahita Ringan

Pengajaran kosakata bahasa Indonesia untuk anak tunagrahita ringan tentulah berbeda dengan anak normal pada umumnya sehingga harus memperhatikan karakteristik anak tunagrahita ringan itu sendiri.

(19)

Dalam hal teknik pengajaran koskata untuk anak tunagrahita ringan menurut Tirtonegoro (1987: 14) memaparkannya sebagai berikut: 1) Perlahan-lahan, kalau anak belum memahami bahan yang

diajarkan, guru harus bersedia meremidinya.

2) Dengan menggunakan contoh yang konkrit (memakai media) tetapi tidak sampai mematikan abstraksi anak.

3) Harus banyak menggunakan latihan-latihan.

4) Harus banyak menggunakan metode dramatisasi dan demonstrasi. Lebih lanjut menurut Hastuti (1979: 14) mengemukakan teknik pengajaran kosakata adalah sebagai berikut:

1) Menciptakan suasana yang sesuai dengan situasi untuk dapat mengenal kata- kata semakin banyak.

2) Latihan mengisi teka teki silang.

3) Menambah kalimat berdasarkan arah gerak ke depan atau ke belakang.

4) Dengan teori bertanya menggunakan kata-kata tanya.

5) Dengan menyusun kata-kata kacau atau menyusun kalimat kacau agar kata- kata tersebut menjadi teratur dan bermakna.

6) Mencari padan kata, lawan kata, persamaan kata atau akronim.

Menurut Tarigan (2011: 22-23) “Ujian (testing) merupakan suatu teknik pengajaran kosakata yang sangat berguna dan untuk menjabarkan cara menguji kosakata yaitu dapat menggunakan identifikasi, pilihan berganda, menjodohkan, dan memeriksa”. Pendekatan pengajaran bahasa pada anak tunagrahita yang dikemukakan oleh Sellin dalam Wijaya (2013: 92-100) adalah sebagai berikut:

1) Pendekatan Sosiolinguistik

Dimana seorang pendidik lebih memprioritaskan pembentukan perilaku bahasa siswanya yang dapat dipahami dengan baik oleh lawan bicaranya, daripada memprioritaskan ketepatan lafal atau struktur kalimatnya.

(20)

2) Pendekatan Behaviorisme

Memandang bahasa sebagai perilaku yang dapat diperoleh melalui prosedur operant. Selain itu perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan.

3) Pendekatan Psikolinguistik

Menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan, dan intervensi guru.

4) Pendekatan Etologi

Menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi.

Prinsip pengajaran bahasa, Miller dan Yoder dalam Wijaya (2013: 95) menganjurkan empat prinsip, yaitu:

1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi.

2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya. 3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung.

4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.

Akhadiah dkk (1992: 51) memaparkan ada beberapa langkah-langkah dalam pengajaran kosakata, yaitu:

1) Menentukan tujuan untuk pokok bahasan yang akan diberikan, mencakup kompetensi dasar dan indikator.

2) Mengembangkan bahan pengajaran sesuai dengan indikator yang ingin dicapai. Selain itu, sebaiknya menyiapkan bahan latihan yang menunjang pencapaian tujuan tersebut.

3) Merencanakan kapan menyampaikannya, bagaimana caranya, bagaimana cara memotivasi atau mengaktifkan siswa. Untuk penyampaian pokok bahasan kosakata, sebaiknya menggunakan metode penugasan, latihan, tanya jawab, widyawisata.

4) Menyuruh siswa mengerjakan latihan. Bahan-bahan latihan dapat berupa:

(21)

a) Siswa disuruh menjelaskan kata umum yang telah dibuat guru dengan kata-kata sendiri.

b) Siswa disuruh melengkapi kalimat dengan kata yang tepat dari kata yang telah disediakan.

c) Siswa disuruh membuat kalimat dengan menggunakan kata-kata umum. Kata-kata-kata umum tersebut dapat berasal dari buku pelajaran ataupun dibuat oleh guru.

5) Untuk mengetahui atau mengukur sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai, guru dapat menggunakan tes formatif. Tes formatif dibuat berdasarkan indikator yang telah ditetapkan dan dapat dilakukan secara lisan ataupun tertulis.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pengajaran kosakata bahasa Indonesia anak tunagrahita ringan harus memperhatikan berbagai aspek yang berbeda dari anak lain pada umuumnya seperti teknik pengajarannya yang harus menggunakan sesuatu yang nyata (konkrit), menggunakan pendekatan yang disesuaikan masing-masing anak tunagrahita, prinsip-prinsip yang harus dijalankan oleh pendidik seperti pemberian reward ketika anak mengalami kemajuan sedikit apapun itu, dan langkah-langkah yang disesuaikan dengan siswa maupun kurikulumnya.

3. Kajian Tentang Media Permainan Teka-Teki Silang Bergambar a. Media

1) Pengertian Media Pembelajaran

Menurut Sadiman dalam Sukiman (2012: 27) “Media berasal dari bahasa Latin yang merupakan bentuk jamak dari medium yang secara harfiah berarti ‘perantara’ atau ‘pengantar’ yaitu perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan”. Schramm dalam Fathul dan Nailur (2011: 64) mengemukakan bahwa, “Media pembelajaran adalah teknologi pembawa pesan yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran”.

(22)

Menurut Yani dan Caryoto (2013: 35), “Media pembelajaran adaptif adalah media pembelajaran yang dibuat dan digunakan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan peserta didik/siswa berkebutuhan khusus (ABK). Artinya yang menyesuaikan adalah medianya terhadap kebutuhan proses pembelajaran ABK”.

“Media pembelajaran merupakan salah satu komponen dari sistem pengajaran yang menjadi faktor dominan untuk menunjang berhasilnya proses belajar mengajar. Media pembelajaran digunakan guru untuk membantu mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan, selain itu agar kegiatan belajar mengajar yang berlangsung antara guru dan siswa tidak membosankan dan menimbulkan minat serta memberi rangsangan untuk belajar” (Wijaya, 2013: 114-115).

Pengertian media instruksional menurut Rohani dalam Rolina (2012: 2) adalah, “Sarana komunikasi yang digunakan dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan instruksional yang efektif dan efisien melalui perangkat keras maupun lunak”. Lebih lanjut Sudjana dan Rivai dalam Rolina (2012: 4) menyatakan, “Media instruksional merupakan alat bantu mengajar yang termasuk dalam komponen metodologi penyampaian pesan untuk mencapai tujuan instruksional (belajar mengajar)”. Sementara itu, Sukiman (2012: 85) mengemukakan bahwa “Media pembelajaran berbasis visual adalah media pembelajaran yang menyalurkan pesan lewat indera pandang/ penglihatan”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran adalah suatu alat maupun teknologi yang digunakan sebagai perantara antara pendidik dan peserta didik yang berkebutuhan khusus dalam kegiatan belajar mengajar guna membantu mempermudah pemahaman siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan serta berlangsung dengan cara menyenangkan dan tidak membosankan sehingga akan meningkatkan minat belajar siswa.

(23)

2) Fungsi Media Pembelajaran

Media pembelajaran memiliki beberapa fungsi untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Sadiman dkk dalam Yani dan Caryoto (2013: 35-36) mengemukakan bahwa secara umum media pendidikan mempunyai kegunaan sebagai berikut:

a) Memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu bersifat verbalistik (dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan belaka) b) Mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan daya indra

c) Dengan menggunakan media pendidikan secara tepat dan bervariasi dapat diatasi sikap pasif anak didik sehingga dalam hal ini media berguna untuk:

(1) Menimbulkan kegairahan belajar

(2) Memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara anak didik dan lingkungan

(3) Memungkinkan anak didik belajar sendiri-sendiri menurut kemampuan dan minatnya

(4) Membantu mengatasi kesulitan guru dalam memberikan pelayanan belajar kepada siswa

Menurut Daryanto (2013: 10-12) fungsi media dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut:

a) Menyaksikan benda yang ada atau peristiwa yang terjadi pada masa lampau dengan perantaraan gambar, potret, slide, dan video.

b) Mengamati benda/peristiwa yang sukar dikunjungi, baik karena jaraknya jauh, berbahaya, atau terlarang.

c) Memperoleh gambaran yang jelas tentang benda/hal-hal yang sukar diamati secara langsung karena ukurannya yang tidak memungkinkan baik karena terlalu besar atau terlalu kecil. d) Mendengar suara yang sukar ditangkap dengan telinga secara

(24)

e) Mengamati dengan teliti binatang-binatang yang sukar diamati secara langsung karena sukar ditangkap.

f) Mengamati peristiwa-peristiwa yang jarang terjadi atau berbahaya untuk didekati.

g) Mengamati dengan jelas benda-benda yang mudah rusak/sukar diawetkan.

h) Dengan mudah membandingkan sesuatu.

i) Dapat melihat secara cepat suatu proses yang berlangsung secara lambat.

j) Dapat melihat secara lambat gerakan-gerakan yang berlangsung secara cepat.

k) Mengamati gerakan-gerakan mesin/alat yang sukar diamati secara langsung.

l) Melihat bagian-bagian yang tersembunyi dari suatu alat.

m) Melihat ringkasan dari suatu rangkaian pengamatan yang panjang/lama.

n) Dapat menjangkau audien yang besar jumlahnya dan mengamati suatu objek secara serempak.

o) Dapat belajar sesuai dengan kemampuan, minat, dan temponya masing-masing.

Menurut Arsyad dalam Wijaya (2013: 115-116) menjelaskan bahwa, “Media pembelajaran dapat memenuhi tiga fungsi utama apabila media itu digunakan untuk perorangan, kelompok atau kelompok pendengar yang besar jumlahnya yaitu: a) memotivasi minat atau tindakan, b) menyajikan informasi, dan c) memberi instruksi”. Sementara itu Kemp & Dayton dalam Sukiman (2012: 42-43) menyebutkan fungsi media pembelajaran, yaitu:

a) Penyampaian pembelajaran menjadi lebih baku b) Pembelajaran bisa lebih menarik

c) Pembelajaran menjadi lebih interaktif d) Waktu pembelajaran dapat dipersingkat

(25)

e) Kualitas hasil belajar dapat ditingkatkan

f) Pembelajaran dapat diberikan kapan dan di mana diinginkan g) Menumbuhkan sikap positif peserta didik

h) Meringankan peran guru dalam menjelaskan materi pelajaran Berdasarkan penjabaran di atas, dapat disimpulkan bawa fungsi dari media pembelajaran itu beragam mulai dari memperjelas penyajian; mengatasi keterbatasan ruang, waktu dan indra; mengatasi sikap pasif pada peserta didik; memberi instruksi; dan memotivasi minat belajar peserta didik.

3) Klasifikasi Media Pembelajaran

Media pembelajaran diklasifikasikan berdasarkan tujuan pemakaian dan karakteristik jenis media, menurut Gagne dalam Daryanto (2013: 17), “Media diklasifikasi menjadi tujuh kelompok, yaitu benda untuk didemonstrasikan, komunikasi lisan, media cetak, gambar diam, gambar bergerak, film bersuara, dan mesin belajar”. Lebih lanjut menurut Allen dalam Daryanto (2013: 18), “Terdapat sembilan kelompok media, yaitu: visual diam, film, televisi, objek tiga dimensi, rekaman, pelajaran terprogram, demonstrasi, buku teks cetak, dan sajian lisan”.

Menurut Yani dan Caryoto (2013: 39) Klasifikasi media pembelajaran dibagi menjadi 3, yaitu:

a) Media auditif: yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, recorder, cassette, dan piringan hitam.

b) Media visual: hanya mengandalkan indra penglihatan, seperti gambar, film, slide, dan cetakan.

c) Media audiovisual: yang mempunyai unsur suara dan gambar. Sanaki dalam Wijaya (2013: 118-119) berpendapat ada beberapa jenis media yang sering digunakan dalam pembelajaran, antara lain:

(26)

a) Media cetak: jenis media yang paling banyak digunakan dalam proses belajar yang mempunyai bentuk bervariasi mulai dari buku, brosur, leaflet, tudi guide, jurnal dan majalah.

b) Media pameran: memiliki bentuk dua dan tiga dimensi, seperti poster, grafis, malia dan model.

c) Media yang diproyeksikan: seperti overhead transparan, slide suara, dan film strip.

d) Rekaman audio: banyak digunakan dalam pembelajaran bahasa asing, Al-Quran dan latihan-latihan yang bersifat verbal.

e) Video dan VCD: gambar bergerak yang disertai dengan unsur suara dapat ditayangkan melalui media video dan video compact disk (VCD).

f) Komputer: sebagai media pembelajaran, komputer memiliki kemampuan yang sangat luar biasa dan komputer mampu membuat proses belajar menjadi interaktif.

Wargo dalam Hasnida (2014: 37) mengklasifikasikan media pembelajaran kedalam tiga tahapan, yaitu:

a) Media manipulative: segala benda yang dapat dilihat, disentuh, didengar, dirasakan, dan dimanipulasikan.

b) Media pictorial: manipulasi dari media sebenarnya yang diimplementasikan dalam bentuk gambar.

c) Media symbolic: diberikan pada anak yang memiliki tingkat pemahaman yang cukup matang karena berupa grafik, rumus, maupun lambang operasional.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa klasifikasi media pembelajaran dapat dibedakan menjadi beberapa jenis yaitu media yang berbentuk audio (suara), visual (gambar), maupun audiovisual (suara dan gambar) yang masing-masing dapat dijabarkan lagi menjadi berbagai macam media baik yang cetak maupun animasi.

(27)

b. Media Permainan

1) Pengertian Permainan Bahasa

Fathul dan Nailur (2011: 32) berpendapat mengenai permainan bahasa adalah cara mempelajari bahasa melalui permainan yang bertujuan memperoleh kesenangan dan melatih keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan sastra) serta unsur-unsur bahasa (kosakata dan tata bahasa). Menurut Ismail (2006 : 88), “Permainan yang dapat mengembangkan bahasa anak dapat berupa bermain khayal atau pura-pura, seperti bermain peran (dramatis). Selain itu juga dapat berupa permainan kata, bercerita dan kata berirama yang sederhana”.

Lebih lanjut Lwin dalam Rolina (2012: 43-44) mengatakan bahwa, alat permainan edukatif pengembangan bahasa anak usia dini yang reseptif salah satunya adalah TTS. Sementara itu, Soeparno (1988: 61) mengemukakan bahwa, “Permainan bahasa pada hakikatnya adalah suatu aktivitas untuk memperoleh suatu keterampilan bahasa tertentu dengan cara yang menggembirakan”.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian permainan bahasa adalah suatu permainan edukatif yang mempelajari mengenai bahasa baik yang berupa keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis, dan sastra) maupun unsur bahasa (kosakata dan tata bahasa) yang dikemas dalam suatu permainan dengan tujuan selain mendapat kesenangan juga bermanfaat mengembangkan aspek kebahasaan dalam diri anak.

2) Tujuan Permainan Bahasa

Permainan bahasa yang diintegrasikan dalam pengajaran seharusnya mempunyai beberapa tujuan, seperti yang diungkapkan oleh Fathul dan Nailur (2011: 40-44) yaitu:

(28)

b) Menambah kefasihan dan kepercayaan diri siswa. c) Menyediakan konteks pembelajaran.

d) Alat mengikis rasa bosan.

e) Sebagai alat pemulihan, pengukuhan, dan pengayaan.

Permainan bahasa termasuk dalam permainan edukatif, seperti yang diungkapkan Zaman dalam Rolina (2012: 8-9) yang memiliki fungsi/tujuan untuk:

a) Menciptakan situasi bermain (belajar) yang menyenangkan bagi anak dalam proses pemberian perangsangan indikator kemampuan anak.

b) Menumbuhkan rasa percaya diri dan membentuk citra diri anak yang positif.

c) Memberikan stimulus dalam pembentukan perilaku dan pengembangan kemapuan dasar melalui pembiasaan.

d) Memberikan kesempatan untuk bersosialisasi, berkomunikasi dengan teman sebaya.

Lebih lanjut Soetjiningsih dalam Rolina (2012: 11) mengatakan bahwa permainan edukatif memiliki fungsi dan tujuan, yaitu:

a) Mengembangkan aspek fisik, yaitu kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang atau merangsang pertumbuhan fisik anak. b) Mengembangkan bahasa, dengan melatih berbicara,

menggunakan kalimat yang benar.

c) Mengembangkan aspek kognitif, yaitu dengan pengenalan suara, ukuran, bentuk, dan warna.

d) Mengembangkan aspek sosial, khususnya dalam hubungannya dengan interaksi antara ibu dan anak, keluarga dan masyarakat.

Selain itu Ismail (2006: 121-149) merumuskan tujuan permainan edukatif, yaitu:

a) Untuk mengembangkan konsep diri. b) Untuk mengembangkan kreativitas.

(29)

c) Untuk mengembangkan komunikasi. d) Mengembangkan aspek fisik dan motorik. e) Mengembangkan aspek sosial.

f) Mengembangkan aspek emosi dan kepribadian. g) Mengembangkan aspek kognisi.

h) Mengasah ketajaman penginderaan.

i) Mengembangkan keterampilan olahraga dan menari.

Berdasarkan apa yang telah dirumuskan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan permainan bahasa adalah selain untuk bersenang-senang dan menghilangkan rasa bosan juga bertujuan untuk mengembangkan ranah bahasa pada anak seperti merangsang interaksi verbal, menambah kefasihan dan kepercayaan diri, membentuk citra diri yang positif, menstimulus dalam membentuk perilaku yang positif, berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya, serta mengembangkan kreativitas.

c. Teka-Teki Silang Bergambar

1) Pengertian Teka-Teki Silang Bergambar

“Teka-teki silang adalah sebuah permainan kata dimana kata-kata dicocokkan dengan mendatar dan menurun dalam sebuah pola dari pasangan angka-angka yang biasanya digunakan dengan diagram empat persegi panjang” (Soeparno, 1988: 28). Lebih lanjut Soeparno (1988: 72) mengatakan bahwa teka-teki silang merupakan salah satu bentuk permainan bahasa yang digunakan sebagai teknik untuk melatih, membina dan mengembangkan penguasaan kosakata. Media yang diperlukan dalam permainan ini adalah gambar. Kemudian terdapat kotak-kotak berwarna putih. Pada sebagian kotak diberi nomor yang mengindikasikan nomor jawaban. Kotak-kotak tersebut harus di isi dengan huruf-huruf. Susunan huruf-huruf tersebut baik secara horisontal maupun vertikal dan akan membentuk kata yang merupakan jawaban dari

(30)

pertanyaan. Pertanyaan mendatar ditulis mendatar dan pertanyaan menurun ditulis menurun.

Menurut Milliande (2011: 20), “Teka-teki silang adalah permainan dimana sebuah rangka segiempat, angka dilengkapi dengan kata-kata baik mendatar dan menurun dengan jawaban yang sesuai dengan kuncinya”. Hidayat dalam Mirzandani (2012: 307) menjelaskan,

”Teka-teki silang atau disingkat TTS adalah suatu permainan di mana kita harus mengisi ruang-ruang kosong (berbentuk kotak putih) dengan huruf-huruf yang membentuk sebuah kata berdasarkan petunjuk yang diberikan. Petunjuknya biasa dibagi ke dalam kategori 'mendatar' dan 'menurun' tergantung arah kata-kata yang harus diisi”.

Suwandi (2010: 31) menerangkan, “Teka-teki silang adalah soal-soal yang berupa kalimat tebakan atau gambar yang tempat isian jawabannya kotak-kotak yang saling bertumpuk atau bersilangan antara satu dan yang lain serta dapat berfungsi pengasah otak/ kecerdasan”. Menurut Lightner (2007: 53-63) menjelaskan bahwa,

“Teka-teki silang adalah permainan kata dimana kata-kata yang disesuaikan dengan kunci/definisi disampaikan dan dicocokkan sesuai dengan segi empat dan di isi satu huruf pada setiap kotaknya, dan kata-kata telah disusun secara horizontal atau vertikal sehingga sebagian besar untuk huruf terdiri dari dua kata”.

Media Teka-teki silang dapat bervariasi dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit tergantung pada tingkatan siswa pada tingkat dasar. Menurut Marinda (2011: 25-26) teka-teki silang sederhana yang dapat diberikan antara lain:

a) Dari gambar ke kata (from picture to words): mengidentifikasi gambar ke dalam kata-kata.

b) Setengah Teka-Teki Silang (half-crosswords): siswa bekerja dalam dua kelompok.

(31)

c) Teka-teki Terjemahan (Translation Crosswords): kuncinya diberikan dengan bahasa ibu mereka dan jawabannya dalam bahasa target atau vice versa.

d) Teka-teki Sederhana (Simple Crosswords): mengisi segiempat yang kosong dengan memikirkan, menjawab atau menemukan definisi dari kata kunci yang diberikan.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa Teka-teki silang bergambar merupakan pengembangan dari permainan teka-teki silang (TTS) pada umumnya yang sering kita jumpai. Namun terdapat variasi dalam hal petunjuk jawaban yang awalnya berupa tulisan ataupun kata-kata singkat kemudian dimodifikasi/diganti dengan sebuah gambar. Variasi tersebut bertujuan agar siswa atau seseorang yang belum dapat membaca tulisan pada petunjuk jawaban yang tersedia juga dapat melakukan permainan TTS sebagai suatu media yang digunakan untuk siswa dalam belajar mengenai kosakata, membaca, pengucapan, dan menulis.

2) Penyusunan Teka-Teki Silang Bergambar

Dalam menyusun teka-teki silang bergambar ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti langkah, syarat, pedoman, maupun pelaksanaanya. Berikut ini hal-hal yang perlu dilakukan dalam menyusun teka-teki silang bergambar menurut beberapa pendapat, diantaranya:

Soeparno (1988: 72) mengemukakan bahwa langkah-langkah menyusun TTS adalah sebagai berikut:

a) Pertama-tama kita buat kotak-kotak.

b) Kotak-kotak tersebut kita isi dengan jawaban.

c) Setiap kotak yang berisikan huruf pertama dari setiap kata kita

beri nomor.

(32)

e) Setelah semua pertanyaan tersusun, kotak-kotak yang tidak terisi tulisan kita tutup dengan warna hitam atau dihilangkan.

f) Langkah selanjutnya ialah menghapus semua huruf yang ada

dalam setiap kotak.

g) Langkah terakhir ialah memindahkan ke kertas lain yang lebih

bersih untuk selanjutnya kita perbanyak dengan memfotokopi sesuai dengan keperluan.

Menurut Suwandi (2010: 32) untuk membuat teka-teki silang dapat dilakukan langkah-langkah atau pedoman-pedoman sebagai berikut:

a) Buatlah kotak-kotak bersusun dan berjajar yang saling bertautan. b) Buatlah dan isikan kata-kata mengenai istilah dalam materi yang

sedang diajarkan dan beri nomor atau angka disetiap kata pertama. c) Susunlah soal atau pertanyaan yang sesuai dengan jawaban yang

sudah ditulis sebelumnya.

d) Setelah soal dan jawaban selesai dibuat, pada kotak-kotak yang masih kosong berilah arsiran atau warna sebagai tanda tidak terpakai.

e) Setelah semuanya siap, hapuslah jawaban atau istilah yang pertama dibuat dalam kotak, sehingga yang tersisa adalah soal yang berfungsi untuk pertanyaan.

Marinda (2011: 23-24) mengemukakan pada tingkat dasar teka-teki silang yang sederhana bisa diberikan dengan beberapa persyaratan yaitu sebagai berikut:

a) Kata dan kalimat yang digunakan dalam teka-teki silang harus dibuat secara tersusun sehingga tantangan bisa dibaca oleh para siswa.

b) Teka-teki silang harus memberikan kesempatan banyak untuk para siswa dalam mempraktikkan dan mengulang kata.

(33)

c) Permainan harus diberikan dengan berbagai macam cara, sehingga para siswa tidak akan bosan dengan permainannya dan mereka akan termotivasi untuk mencoba setiap macamnya. Dalam pelaksanaan teka-teki silang, Zaini, Bermawy, dan Sekar (2008: 71) mengungkapkan strategi pelaksanaan TTS adalah sebagai berikut:

a) Tulislah kata-kata kunci, terminology atau nama-nama yang berhubungan dengan materi yang telah anda berikan.

b) Buatlah kisi-kisi yang dapat dengan kata yang telah dipilih (seperti dalam teka-teki silang) hitamkan bagian tidak diperlukan.

c) Buat pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya adalah kata-kata yang telah dibuat atau dapat juga hanya membuat pertanyaan-pertanyaan mengarah kepada kata-kata tersebut.

d) Bagikan teka-teki ini kepada peserta didik. Bisa individu atau kelompok.

e) Batasi waktu mengerjakan.

f) Beri hadiah kepada kelompok atau individu yang mengerjakan paling cepat dan benar.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa langkah dalam menyusun maupun pelaksanaan teka-teki silang bergambar adalah:

a) Membuat kotak-kotak bersusun dan berjajar yang saling bertautan.

b) Tentukan kata kunci jawaban yang berhubungan dengan materi dan beri nomor.

c) Hitamkan bagian kotak yang tidak diperlukan.

d) Susun pertanyaan mendatar dan menurun sesuai dengan nomor yang berupa gambar berwarna.

e) Perbanyak teka-teki silang bergambar dengan memfotocopy sesuai keperluan.

(34)

f) Bagikan kepada peserta didik baik individu maupun kelompok untuk dikerjakan.

g) Jangan lupa beri tahu terlebih dahulu cara permainannya. h) Batasi waktu pengerjaan.

i) Beri reward pada individu maupun kelompok yang mengerjakan paling cepat dan benar.

3) Kelebihan dan Kelemahan Teka-Teki Silang Bergambar

Dalam sebuah media pembelajaran yang berupa permainan pastilah disamping memiliki kelebihan pasti juga memiliki kelemahan termasuk juga permainan teka-teki silang bergambar. Untuk kelebihan dari teka-teki silang bergambar menurut Nagaraj dalam Nufitriana (2013: 28) permainan kosakata dan teka teki silang, bermanfaat untuk perluasan kosakata. Pelajar akan mencoba untuk berpikir semua kata-kata yang mereka ketahui dan mencoba untuk melengkapi tugas tersebut.

Menurut Mirzandani (2012: 307) manfaat teka-teki silang adalah meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik sebab dalam mengisi teka-teki silang kondisi pikiran yang jernih, rileks dan tenang akan membuat memori otak kuat, sehingga daya ingat pun meningkat. Selain itu permainan teka-teki silang ini membuat kita berfikir dan juga mencari dan menemukan jawaban dengan menyenangkan tapi kadang membingungkan dalam memecahkan teka-teki tersebut. Lebih lanjut Mirzandani (2012: 315) menjelaskan kelebihan dari teka-teki silang bergambar yaitu bersifat santai dan lebih mengedepankan persamaan dan perbedaan kata, sehingga baik sebagai sarana peserta didik untuk latihan di kelas yang diberikan oleh guru yang tidak monoton hanya berupa pertanyaan-pertanyaan baku saja.

Menurut Soeparno (1988: 30), “Teka-teki silang berguna untuk memperkaya kosakata stenografi (tulisan pendek/singkat) siswa dimana mereka tidak hanya belajar banyak kosakata tetapi

(35)

mereka juga menikmatinya.” Hal tersebut berhubungan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mirzandani pada tahun 2012 yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Membaca Kata Melalui Media Teka-Teki Silang Bergambar Bagi Anak Tunagrahita Ringan kelas V di SLB Bina Nagari Solok Selatan” menunjukkan bahwa teka-teki silang bergambar dapat meningkatan kemampuan membaca kata yang ada huruf (b, m, p) di awal, tengah dan akhir kata. Berdasarkan hasil yang terlihat dari grafik menunjukkan bahwa kemampuan membaca kata siswa tunagrahita ringan kelas V sebelum diberi perlakuan cenderung rendah sedangkan setelah diberi perlakuan menunjukkan peningkatan dari yang sebelumnya.

Marinda (2011: 27) dalam beberapa penelitian, teka-teki silang juga dapat menjadi sebuah terapi yang bermanfaat secara medis dan psikologis, yaitu:

a) Secara psikologis, orang dengan kebiasaan mengisi teka-teki silang disinyalir memiliki keteraturan perasaan, ketelitian dan memiliki keuletan. Analisis logisnya, mencari jawaban dan menyusun huruf demi huruf pada kolom-kolom teka-teki silang memang membutuhkan keuletan dan kesabaran. Rasa penasaran dalam mencari jawaban dari teka-teki akan menjadi motivasi untuk terus mencari dan mencoba hingga kolom demi kolom terisi. Kepenasaranan itu yang menuntun untuk lebih ulet dan teliti mengisikan jawaban.

b) Secara medis, manfaat didalam mengisi teka-teki silang yaitu mampu meningkatkan fungsi kerja otak manusia dan mencegah kepikunan dini. Teka-teki silang dapat dikategorikan sebagai silmutan yang berfungsi mengelola sterss dan menghubungkan saraf-saraf otak yang terlelap. Sifat “fun” tapi tetap “learning” dari teka-teki silang memberikan efek menyegarkan ingatan, sehingga fungsi kerja otak kembali optimal karena otak dibiasakan untuk terus belajar dengan santai. Kondisi pikiran

(36)

yang jernih, rileks dan tenang akan membuat memori otak kuat, sehingga daya ingat pun meningkat.

Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Nurfitriana pada tahun 2013 yang berjudul “Media Teka-Teki Silang Bergambar dalam Pembelajaran Kosakata Bahasa Jerman” menunjukkan bahwa media teka-teki silang bergambar efektif dalam meningkatkan hasil belajar dan motivasi belajar kosakata bahasa Jerman siswa di SMA Negeri 1 Sewon. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah kualitatif yang berupa deskripsi untuk mengetahui (1) penggunaan media teka-teki silang bergambar dalam pembelajaran kosakata bahasa Jerman, (2) kelebihan dan kelemahan media teka-teki silang bergambar dalam pembelajaran kosakata bahasa Jerman dan bagaimana cara mengatasinya.

Menurut Suwandi (2010: 32) menyatakan, “Umumnya kegiatan ini (teka-teki silang) banyak disenangi siswa karena dalam permainan ini memang ada unsur kesenangan, tantangan dan saling merangsang untuk menemukan jawaban”. Fathonah dan Sugiharto (2013: 75) menyebutkan kelebihan penggunaan TTS yaitu dalam proses belajar mengajar siswa menjadi lebih aktif dan kreatif dalam kegiatan kelompok karena dalam penggunaan TTS, siswa berusaha terampil dalam membuat TTS. Selain itu, pada penggunaan media TTS pengerjaan soalnya dituntut teliti, maka media TTS lebih merangsang siswa berpikir kritis dan kreatif daripada media kartu yang hanya mencari pasangan kartu, serta penyajian TTS yang berupa kotak-kotak yang saling berhubungan sehingga merangsang daya nalar siswa dan mengembangkan intuisi siswa dalam menjawabnya sehingga lebih lama diingat oleh siswa. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Babayemi, J.O dan Akinsola, M.K pada tahun 2014 yang berjudul “Effects of Crossword-Picture Puzzle Teaching Strategy and Mental Ability

(37)

on Students’ Achievement in Basic Science in Southwestern Nigeria” menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara perlakukan (teka-teki silang bergambar) dengan kemampuan mental terhadap prestasi ilmu dasar siswa SMP di Nigeria. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen quasi pretes posttes. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa siswa yang diberi perlakuan dengan menggunakan teka-teki silang bergambar lebih tinggi daripada siswa yang diajar menggunakan pembelajaran konvensional.

Berikut kelebihan beserta kelemahan TTS menurut Mashuri (2010: 27-29) kelebihannnya adalah:

a) Bersifat memberikan penguatan (reinforcement).

b) Permainan merupakan media maupun strategi pengajaran yang dapat dipakai dalam proses belajar mengajar. Aktifitas yang dilakukan para siswa bukan saja aktifitas fisik tetapi juga mental.

c) Permainan dapat dipakai untuk membangkitkan kembali kegairahan belajar siswa yang mulai bosan.

d) Materi yang dikomunikasikan lewat permaianan biasanya mengesan, sehingga sukar dilupakan.

e) TTS relatif murah dan mudah didapatkan atau disiapkan.

f) Cara bermainnya termasuk mudah yaitu dengan mengisi jawaban dari pertanyaan yang tersedia baik vertikal maupun horizontal.

Berikut kelemahan TTS adalah:

a) Permaianan biasanya menimbulkan suara gaduh, hal ini jelas menggangu kelas yang berdekatan.

b) Kata-kata yang dibentuk cenderung pendek.

c) Untuk membentuk isi jawaban dari TTS yang saling berhubungan memerlukan pengetahuan perbendaharaan kata yang banyak.

(38)

Selain itu, Wijayanti dalam Ermawati (2014: 23) mengungkapkan kelemahan TTS yang lain yaitu:

a) Pembuatan soal lebih sulit karena baik jawaban maupun jumlah kotak yang tersedia harus tepat.

b) Faktor ketelitian dan ketepatan sangat menentukan dalam pengisian TTS karena huruf-huruf dalam jawaban saling berkaitan satu sama lainnya, sehingga dapat mempengaruhi jawaban yang lain baik dalam kolom maupun baris.

c) Jika siswa dapat menjawab salah satu soal dengan benar, maka dapat dijadikan acuan untuk menjawab soal yang lainnya karena sudah ditemukan satu atau beberapa huruf kunci.

Berdasarkan penjelasan mengenai kelebihan dan kelemahan dari teka-teki silang bregambar di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: a) Kelebihan

(1) Dapat memperluas kosakata. (2) Meningkatkan daya ingat. (3) Siswa menjadi aktif.

(4) Menyenangkan, tidak membosankan dan tidak monoton. (5) Murah dan mudah digunakan.

(6) Membangkitkan minat belajar siswa. b) Kelemahan

(1) Kata yang dibentuk cenderung pendek.

(2) Menimbulkan suara gaduh sehingga menggangu kelas lain. (3) Sulitnya pembuatan soal karena jawaban dan jumlah kotak

harus tepat.

(4) Perlu ketelitian dan ketepatan karena dapat mempengaruhi jawaban yang lain baik dalam kolom maupun baris.

(5) Memerlukan pengetahuan perbendaharaan kata yang banyak. (6) Terkadang membingungkan.

(39)

B. Kerangka Berpikir

Sekaran dalam Sugiyono (2013: 60) mengemukakan bahwa kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori dihubungkan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Kerangka berpikir merupakan penalaran untuk sampai pada hipotesis.

Anak tunagrahita ringan memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan anak normal pada umumnya, karena karakteristik anak tunagrahita ringan yang mengalami gangguan intelektual sehingga dalam berpikir mengalami hambatan dan mengalami keterbatasan dalam ingatan maupun dalam hal berbahasa, salah satunya yaitu penguasaan kosakatanya yang relatif rendah jika dibandingkan anak normal seusianya. Penguasaan kosakata siswa dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam dan dari luar. Penguasaan dari dalam meliputi motivasi diri, inisiatif diri, maupun adanya rasa untuk selalu berkembang. Dari luar meliputi proses pembelajaran di sekolah, cara pengajaran guru, maupun media yang digunakan dalam pembelajaran. Media pembelajaran ada banyak jenis dan macamnya, salah satunya adalah teka-teki silang bergambar yang mana penggunaan media teka-teki silang bergambar tersebut merupakan seperangkat pendukung materi untuk membantu meningkatkan kosakata bahasa Indonesia pada anak yang merupakan faktor dari dalam luar siswa.

Kegiatan pembelajaran dalam hal ini merupakan kegiatan belajar sambil bermain yang cocok diterapkan pada anak tunagrahita ringan kelas III SLB pada setiap mata pelajaran menyesuaikan dengan materi yang sedang diajarkan. Dengan permainan berupa teka-teki silang bergambar yang memuat gambar berwarna mengenai berbagai hal terkait kosakata sehari-hari yang dikemas dalam bentuk permainan diharapkan anak akan antusias dalam melakukan kegiatan, sehingga tujuan yang diharapkan peningkatan kosakata bahasa Indonesia pada anak tunagrahita ringan melalui media teka-teki silang bergambar akan tercapai.

Berdasarkan uraian pemikiran tersebut, maka dapat digambar dalam bentuk kerangka pemikiran sebagai berikut:

(40)

Bagan 2.1 Alur Kerangka Berpikir

C. Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah, sehingga harus diuji secara empiris untuk mendapatkan kebenarannya (Sugiyono, 2013: 96). Suatu penelitian didalamnya terdapat hipotesis yang merupakan pedoman karena data yang dikumpulkan adalah data yang berhubungan dengan variabel-variabel yang dinyatakan dalam hipotesis tersebut.

Pembelajaran bahasa Indonesia materi kegiatan anggota keluarga bagi anak tunagrahita ringan kelas III di SLB C Setya Darma Surakarta dengan hasil maksimal 10

Pembelajaran belum menggunakan media permainan teka-teki silang bergambar

Pembelajaran menggunakan media permainan teka-teki silang bergambar Penguasaan kosakata bahasa Indonesia anak

tunagrahita ringan materi kegiatan anggota keluarga maksimal sampai 10 rendah

Penguasaan kosakata bahasa Indonesia anak tunagrahita ringan materi kegiatan anggota

(41)

Berdasarkan pada tinjauan pustaka dan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan, maka peneliti mengajukan hipotesis sesuai dengan penelitian yang akan dilakukan, yakni “Media permainan teka-teki silang bergambar berpengaruh terhadap peningkatan kosakata bahasa Indonesia anak tunagrahita ringan kelas III di SLB-C Setya Darma Surakarta tahun ajaran 2015/2016”.

Referensi

Dokumen terkait

In measuring phase the sequences (i.e. patterns) of HO and LAU zones can be determined and stored in database on each road. There are operating solutions and IPRs based

Tabel 2 Perbandingan output paket AMV 2.0 dengan output SAS, Minitab, dan SPSS menggunakan metode blackbox Fungsi di AMV 2.0 Perangkat Lunak Hasil Perbandingan output

Jika Grup mengurangi bagian kepemilikan pada entitas asosiasi atau ventura bersama tetapi Grup tetap menerapkan metode ekuitas, Grup mereklasifikasi ke laba rugi proporsi

Penelitian mengenai pengaruh gelombang mikro terhadap tubuh manusia menyatakan bahwa untuk daya sampai dengan 10 mW/cm2 masih termasuk dalam nilai ambang batas aman

Dari data hasil simulasi perbandingan antara sistem CDMA-OFDM pada jumlah chip kode PN 4, 8 dan 16 dengan 4 pengguna, dalam grafik unjuk kerja sistem terlihat

Data hasil pretes dan postes yang telah diperoleh akan dianalisis untuk melihat bagaimana efektivitas model pembelajaran reflektif untuk meningkatkan pemahaman

Kami juga akan memberikan dukungan dan pantauan kepada yang bersangkutan dalam mengikuti dan memenuhi tugas-tugas selama pelaksanaan diklat online. Demikian

dalam berkomunikasi dengan manajerya maka produktivitas kinerjanya yang dihasilkan akan kurang memuaskan bahkan komunikasi tersebut kurang efektif karena jika manajer