• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK

GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA

DI SUMATERA UTARA

SKRIPSI

ANDRI JUWITA SITORUS

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(2)

RINGKASAN

ANDRI JUWITA SITORUS. D14104021. 2008. Studi Keragaman Fenotipe dan Pendugaan Jarak Genetik Kerbau Sungai, Rawa dan Silangannya Di Sumatera Utara. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Cece Sumantri, M. Agr.Sc Pembimbing Anggota : Ir.Anneke Anggraeni M.Si. PhD.

Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi mengenai keragaman fenotipe dan menduga jarak genetik kerbau sungai, rawa dan silangan (Murrah x rawa) di Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2007 di Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat dan Tapanuli Utara di Provinsi Sumatera Utara. Data merupakan data primer ukuran tubuh dan pengamatan sifat kualitatif pada 49 ekor kerbau sungai yaitu kerbau Murrah (15 jantan dan 34 betina), 20 ekor kerbau silangan (2 jantan dan 18 betina) serta 51 ekor kerbau rawa (12 jantan dan 39 betina).

Karakteristik morfologi yang diamati adalah sifat kualitatif yaitu warna kulit, garis kalung (chevron) dan warna kaki serta sifat kuantitatif berupa ukuran-ukuran tubuh yaitu tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada dan lebar dada. Data sifat kuantitatif distandarisasi terhadap umur (3,1-4,0) tahun, lokasi (kabupaten) dan jenis kelamin (betina). Data kemudian dianalisis untuk mendapatkan rataan, simpangan baku, koefisien keragaman dan persentase heterosis. Jarak genetik diperoleh dengan melakukan analisis diskriminan pada data morfometrik. Matriks jarak genetik yang diperoleh digunakan untuk membuat dendogram (pohon filogenetik). Data sifat kualitatif diolah untuk mendapatkan persentase dengan menggunakan rumus frekuensi relatif.

Hasil analisis menunjukkan bahwa secara umum ukuran tubuh kerbau rawa diketahui lebih kecil daripada kerbau sungai (Murrah) dan silangan baik jantan maupun betina (P<0,01). Kerbau Murrah jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar (P<0,01) daripada kerbau rawa kecuali pada ukuran lingkar dada. Kerbau sungai Murrah betina memiliki ukuran tubuh yang hampir sama dengan silangan kecuali pada ukuran dalam dada dan lingkar dada. Ukuran lingkar dada dan dalam dada kerbau silangan lebih besar (P<0,05) daripada kerbau Murrah. Keragaman ukuran tubuh yang relatif tinggi adalah pada kerbau rawa (3,86-21,69%). Efek heterosis diketahui terjadi pada seluruh kerbau silangan. Ukuran tubuh kerbau jantan silangan memiliki persentase heterosis yang relatif lebih tinggi daripada kerbau betina.

Sebagian besar kerbau rawa yang diamati berwarna abu-abu (92,16%) dan dalam jmlah kecil terdapat warna abu-abu gelap. Keseluruhan kerbau rawa memiliki chevron serta stocking. Variasi warna pada kerbau Murrah adalah hitam 75,51% dan coklat 24,49%. Seluruh kerbau Murrah tidak memiliki chevron. Stocking putih ditemukan pada kerbau Murrah dengan frekuensi yang cukup besar (36,74%). Variasi sifat kualitatif kerbau silangan merupakan variasi sifat kerbau rawa dan kerbau sungai dengan kecenderungan kemiripan sifat yang mengarah pada sifat kerbau sungai.

Hasil analisis diskriminan dari sifat morfologi tubuh menunjukkan bahwa kerbau rawa dan sungai merupakan kelompok bangsa yang berbeda, sementara

(3)

kerbau silangan dan Murrah memiliki banyak kemiripan ukuran tubuh. Ukuran-ukuran tubuh yang membedakan ketiga bangsa kerbau adalah Ukuran-ukuran lebar pinggul, lingkar dada dan tinggi pinggul dan tinggi pundak. Kerbau rawa dan sungai (Murrah) memiliki jarak genetik paling jauh, sebaliknya kerbau sungai dan kerbau silangan memiliki jarak genetik paling dekat. Dendogram jarak genetik menunjukkan bahwa kerbau sungai dan silangan memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Kerbau rawa dan sungai memiliki hubungan kekerabatan yang jauh. Hasil penelitian ini mendukung pendapat sebelumnya bahwa kerbau rawa dan sungai didomestikasi dari nenek moyang yang berbeda.

Kata-kata kunci: kerbau sungai, rawa, silangan, fenotipe, morfometrik, jarak genetik.

(4)

ABSTRACT

Study on Phenotypic Variation and Estimation of Genetic Distance among River, Swamp and Crossbred Buffaloes in North Sumatera

Sitorus, A., C. Sumantri, dan A. Anggraeni

The objectives of this research were to study the variation of qualitative traits and morphological characteristics and to estimate genetic distances among river (Murrah), swamp and crossbred buffaloes in North Sumatera. A total of 120 buffaloes from different areas including 49 river buffaloes, 51 swamp buffaloes and 20 crossbreds were identified for their qualitative traits and measured for their quantitative traits. Genetic distance was estimated using a discriminant analysis. Morphometrical measurements of the river buffaloes were observed much higher than swamp buffaloes (P<0,01) but it was almost similar to crossbreds for some body measurements. Chest depth and chest width of river buffaloes were higher than crossbreds (P<0,05). The similarities of body measurements were found at a lower level in swamp buffaloes than the two others. Heterosis effect was found in all body measurements of crossbreds. Almost all of the swamp buffaloes had a gray coat color while 75,51% of river buffaloes had black coat color. Variation of coat colors in crossbreds was the variation of both swamp and river buffaloes. Canonical analysis showed that there were many similarities between the river buffaloes and crossbreds. The dendogram based on the genetic distance showed a large difference between river buffaloes and swamp buffaloes. This result demonstrated that both of river and swamp buffaloes were domesticated from different ancestor. Lower difference of the genetic distance was found between riverian and crossbreds. Thus, it might be considered that they have a high similarity compared to swamp buffaloes.

Keywords: river buffalo, swamp buffalo, crossbred buffalo, phenotype, morphometrics, genetic distance

(5)

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK

GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA

DI SUMATERA UTARA

ANDRI JUWITA SITORUS D14104021

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK

GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA

DI SUMATERA UTARA

Oleh

ANDRI JUWITA SITORUS D14104021

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 31 Maret 2008

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Cece Sumantri M.Agr.Sc Ir. Anneke Anggraeni M.Si. PhD. NIP. 131 624 187 NIP. 080 124 356

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah. M.Sc.Agr NIP. 131 955 531

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 5 November 1986. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak H. Sitorus dan Ibu N. Silitonga.

Pendidikan dasar diselesaikan selama 6 tahun (1992-1998) di SDN 066664 Medan. Pendidikan Menengah Pertama diselesaikan pada tahun 2001 di SLTP Trisakti 2 Medan. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan selama tiga tahun (2001-2004) di SMA Negeri 5 Medan.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama melalui jalur USMI pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa di Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam Komisi Pelayanan Siswa Unit Kegiatan Mahasiswa Persekutuan Mahasiswa Kristen IPB dan menjadi tenaga pengajar Pendidikan Agama Kristen Protestan di SMA Negeri 5 Bogor.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah melimpahkan berkat dan perlindungan yang tak terhingga sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Peternakan di Institut Pertanian Bogor.

Saat ini kerbau masih belum termanfaatkan secara maksimal walaupun sudah ada upaya di beberapa daerah di Indonesia untuk memaksimalkan pemanfaatannya. Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi dengan ternak kerbau yang cukup tinggi. Populasi kerbau di Sumatera Utara lebih tinggi daripada populasi sapi namun belum ada usaha yang nyata untuk meingkatkan kualitas dan kuantitasnya. Informasi dasar mengenai keadaan kerbau di Sumatera Utara masih belum lengkap. Skripsi ini bertujuan untuk melengkapi informasi dasar mengenai karaktristik fenotipe kerbau yang terdapat di Sumatera Utara. Hasil penelitian ini diharap dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk menyusun program pemuliaan dan pengembangan kerbau di Sumatera Utara.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari pembaca akan membantu penyempuraannya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan terutama pengembangan peternakan di Indonesia.

Bogor, Maret 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN... i

ABSTRACT... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... x

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Kerbau... 3 Kerbau Sungai... 4 Kerbau Murrah... 5 Kerbau Rawa... 6

Kerbau Silangan (Murrah x Rawa)... 6

Kerbau di Indonesia ... 8

Kerbau di Sumatera Utara... 9

Keragaman Kerbau di Indonesia... 11

Keragaman Fenotipe ... 11 Keragaman Produksi... 12 Jarak Genetik ... 13 Analisis Diskriminan ... 14 Pohon Filogenetik... 15 METODE... 17

Lokasi dan Waktu ... 17

Materi... 17 Ternak ... 17 Peralatan... 18 Analisis Data... 19 Sifat Kualitatif... 19 Sifat Kuantitatif... 19

Analisis Data Keragaman Morfometrik... 20

Metode ... 21

Pengamatan Sifat-sifat Kuallitatif... 21

(10)

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 23

Pengamatan Sifat Kualitatif Kerbau ... 24

Warna Kulit... 24

Garis Kalung (Chevron)... 26

Warna Kaki ... 27

Pengamatan Ukuran Tubuh Kerbau... 29

Perbandingan Morfometrik Kerbau Jantan ... 29

Perbandingan Morfometrik Kerbau Betina... 31

Perbandingan Morfometrik Kerbau ... 32

Pendugaan Jarak Genetik... 34

Peubah Pembeda Jenis Kerbau ... 34

Nilai Campuran Fenotipik antar Jenis Kerbau... 35

Peta Penyebaran Jenis Kerbau ... 36

Penentuan Jarak Genetik dan Dendogram antar Jenis Kerbau... 38

KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

Kesimpulan ... 40

Saran ... 41

UCAPAN TERIMA KASIH ... 42

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

11. Ukuran Tubuh Kerbau di Indonesia... 8

22. Populasi Kerbau di Sumatera Utara ... 10

33. Ukuran Tubuh Kerbau Rawa di Indonesia... 12

44. Performa Produksi Kerbau pada Beberapa Daerah di Indonesia .... 13

55. Jumlah Ternak Berdasarkan Umur yang Diamati ... 18

66. Jumlah Ternak yang Diamati per Kabupaten... 18

77. Variasi Warna Kulit Kerbau... 24

88. Variasi Garis Kalung (Chevron) Kerbau... 27

99. Variasi Warna Kaki Kerbau ... 28

10. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Persentase Heterosis Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau Jantan yang Telah Dikoreksi terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten), Umur (3,1-4,0 Tahun) ... 30

11. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Persentase Heterosis Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau Betina yang Telah Dikoreksi terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten), Umur (3,1-4,0 Tahun) ... 32

12. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Persentase Heterosis Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau yang Telah Dikoreksi terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten), Umur (3,1-4,0 Tahun) dan Jenis Kelamin (Betina) ... 33

13. Total Struktur Kanonikal Kerbau... 34

14. Persentase Kesamaan Fenotipik dalam Jenis dan antar Jenis Kerbau Sungai (Murrah), Rawa dan Silangan ... 36

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Peta Sumatera Utara... 17

2. Ukuran-Ukuran Tubuh Kerbau... 22

3. Variasi Warna pada Kerbau Rawa... 25

4. Variasi Warna pada Kerbau Murrah... 25

5. Variasi Garis Kalung (Chevron) pada Kerbau... 26

6. Variasi Warna Kaki Kerbau... 28

7. Plot Kanonikal Penyebaran Kerbau... 37

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Uji-t (α =95%) Ukuran-Ukuran Tubuh Kerbau ... 47 2. Hasil Analisis Uji-t (α =95%) Ukuran-Ukuran Tubuh Kerbau Jantan . 48 3. Hasil Analisis Uji-t (α =95%) Ukuran-Ukuran Tubuh Kerbau Betina. 49 4. Uji Nyata Kuadrat Jarak Genetik... 49 5. Tabel Data... 50

(14)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Kecukupan daging dalam negeri diharapkan terpenuhi pada tahun 2010. Target tersebut akan dapat dicapai dengan memanfaatkan sumberdaya genetik lokal terutama sapi potong, sapi perah dan kerbau. Daging asal ruminansia besar paling banyak disumbangkan oleh sapi potong, diikuti oleh kerbau dan sapi perah (sapi jantan dan betina afkir). Total sumbangan daging sapi mencapai 18,80 persen dari total konsumsi daging nasional (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Secara umum daging tersebut walaupun berasal dari ketiga jenis ternak yang berbeda, di pasar hanya dikenal sebagai daging sapi. Dengan demikian diperlukan perhatian untuk pengembangan kerbau agar dapat berkontribusi lebih besar dalam pemenuhan kebutuhan daging dalam negeri baik sebagai komplemen atau substitusi daging sapi.

Kerbau mempunyai keistimewaan dibandingkan sapi yaitu dapat hidup di kawasan yang relatif sulit. Saat ini kerbau masih belum termanfaatkan secara maksimal walaupun sudah ada upaya di beberapa daerah di Indonesia untuk memaksimalkan pemanfaatannya. Pemanfaatan utama ternak kerbau sampai saat ini adalah sebagai sumber protein hewani berupa daging dan sebagai hewan pekerja membajak sawah.

Data statistik populasi kerbau di Indonesia tahun 2006 menunjukan adanya tiga propinsi yang memiliki populasi ternak kerbau yang terbesar. Tiga propinsi tersebut adalah NAD, Sumatera Utara dan Sumatera Barat dengan jumlah populasi berturut-turut 340.031, 261.308 dan 211.008 ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Sebagian besar populasi ternak kerbau dari jumlah total sebesar 2.128.491 pada tahun 2006 diusahakan di peternakan rakyat dengan manajemen pemeliharan tradisional dan kualitas genetik yang rendah.

Kerbau dapat berkembang dalam rentang agroekositem yang luas, oleh sebab itu kerbau dapat ditemukan hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Terdapat dua bangsa kerbau yang dipelihara di Indonesia yaitu kerbau rawa dan sungai. Kerbau sungai hanya terdapat di Sumatera Utara dengan populasi yang terbatas dan biasa dipelihara untuk produksi susu (Diwyanto dan Subandrio, 1995). Pengembangan kerbau di Sumatera Utara memiliki potensi yang besar untuk memenuhi kebutuhan daging dan susu regional Sumatera Utara. Haloho dan Yufdi (2006) menyatakan

(15)

bahwa sekitar 40% pemenuhan kebutuhan daging di Sumatera Utara diperoleh dari daging kerbau.

Pengembangan kerbau secara umum harus disertai dengan perbaikan manajemen pemeliharaan dan peningkatan mutu genetik. Peningkatan mutu genetik kerbau baik sebagai penghasil daging atau penghasil susu perlu dilakukan agar diperoleh kerbau-kerbau yang unggul. Peningkatan mutu genetik dapat dilakukan dengan pemuliaan yaitu seleksi atau persilangan. Kebijakan pemuliaan yang diambil harus sesuai dengan keadaan kerbau saat ini. Oleh sebab itu, diperlukan berbagai informasi mengenai karakteristik dan keragaman fenotipe kerbau di Indonesia. Studi keragaman fenotipe dapat dilakukan untuk mengetahui keragaman genetik kerbau. Jarak genetik dapat digunakan sebagai informasi kekerabatannya. Penelitian-penelitian dasar mengenai keragaman dan karakteristik morfologi perlu dilakukan agar diperoleh data yang valid sehingga kebijakan pemuliaan dapat dilakukan.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi keragaman fenotipe serta menduga jarak genetik kerbau sungai, rawa dan silangannya melalui ukuran-ukuran tubuh. Hasil penelitan ini akan bermanfaat untuk mengetahui keragaman genetik kerbau di Sumatera Utara yang akhirnya dapat digunakan sebagai sumber informasi untuk melakukan kebijakan program pemuliaan kerbau di Sumatera Utara.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA Kerbau

Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovinae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau Water Buffalo yang terdapat saat ini berasal dari spesies Bubalus arnee. Spesies kerbau lainnya yang masih liar adalah Bubalus mindorensis, Bubalus depressicornis dan Bubalus caffer (Hasinah dan Handiwirawan, 2006). The Water Buffalo Co-operative (2007) menyatakan bahwa terdapat dua spesies kerbau yaitu kerbau liar Afrika atau African Buffalo (Syncerus) dan Asian Buffalo (Bubalus). Kerbau Asia terdiri dari dua sub species yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau domestik (Bubalus bubalis) terdiri dari dua tipe yaitu kerbau rawa dan kerbau sungai. Kerbau rawa adalah kerbau tipe pedaging sedangkan kerbau sungai merupakan kerbau tipe perah. Taksonomi kerbau (Bubalus bubalis) menurut Fahimuddin (1975) adalah sebagai berikut : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Arthiodactyla Famili : Bovidae Genus : Bos

Sub genus : Bubaline

Spesies : Bubalus bubalis

Kerbau sungai (river buffalo) adalah kerbau yang biasa digunakan sebagai ternak perah dan memiliki kebiasaan berkubang pada air jernih. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau sungai banyak terdapat di India, Pakistan, Mesir, dan daerah Mediterania. Kerbau rawa (swamp buffalo) tersebar dalam jumlah yang besar di daerah Asia Tenggara. Ciri-ciri kerbau rawa menurut Fahimuddin (1975) adalah berwarna keabu-abuan, leher terkulai dan memiliki tanduk besar yang mengarah ke belakang. Kerbau rawa memiliki kebiasaan berkubang pada lumpur. Kerbau rawa biasanya digunakan sebagai penghasil daging dan hewan kerja.

Kerbau diketahui memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan sapi. Diwyanto dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau dapat hidup di kawasan yang relatif sulit dalam keadaan pakan yang kurang baik. Kerbau juga dapat berkembangbiak dalam rentang agroekosistem yang luas dari daerah yang basah

(17)

sampai daerah yang relatif kering. Di beberapa negara kerbau dikembangbiakkan terutama untuk produksi susu dan bahan baku produk olahan susu karena kadar lemak susu kerbau lebih tinggi daripada sapi.

Kerbau Sungai

Kerbau sungai tersebar dari India sampai ke Eropa. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau sungai merupakan ternak besar dengan lingkar badan yang lebih kecil, dada yang dalam dan bentuk tanduk yang bervariasi sesuai dengan bangsa dan tipenya Beberapa bangsa kerbau sungai India yang diketahui adalah Jaffarabadi, Surati atau Surti, Murrah, Kundhi, Nili, Ravi, Nagpuri, Parlakimedi dan Toda. Kerbau sungai bangsa Murrah adalah kerbau sungai yang telah dikenal secara luas karena mampu berkembangbiak dengan baik di negara-negara yang mengimpornya. National Research Council (1981) menyatakan bahwa kerbau sungai Eropa sering disebut juga sebagai kerbau Mediterania yang biasanya dikembangkan di Italia untuk penghasil susu.

Fahimudin (1975) menjelaskan bahwa kerbau sungai Asia umumnya memiliki badan dan muka yang relatif panjang, kaki yang panjang dan ramping serta perkembangan ambing yang baik. Bentuk dan panjang tanduk kerbau sungai bervariasi sesuai dengan ciri bangsanya. Terdapat dua variasi umum dari tanduk kerbau sungai. Variasi pertama adalah tipe sirkuler dengan panjang dan derajat lingkar yang berbeda. Tipe lainnya biasanya lebih lurus dengan kecenderungan lekukan ke bawah dan naik ke atas pada bagian ujungnya. Secara umum kerbau sungai memiliki kulit yang berwarna hitam. Warna kekuningan dan coklat juga ditemukan namun dalam jumlah yang kecil. Cockrill (1974) menyatakan bahwa warna normal bulu kerbau sungai adalah hitam dengan bercak putih pada dahi, wajah dan ekor.

Kerbau sungai biasa digunakan sebagai ternak perah, pedaging dan kerja. Pemanfaatan kerbau sungai sebagai ternak perah dan kerja lebih umum dilakukan. Variasi sifat produksi kerbau sungai sangat besar. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa bobot badan jantan kerbau sungai jantan adalah sekitar 300-700 kg dan betina 250-650 kg dengan tinggi pundak 120-150 cm (jantan) dan 115-135 cm (betina). Produksi susu rata-rata kerbau sungai adalah 500-2.500 liter per laktasi selama 9-10 bulan laktasi.

(18)

Kerbau Murrah

Kerbau Murrah adalah kerbau sungai yang sangat penting dan sangat efisien dalam menghasilkan susu. Kerbau Murrah dipelihara terutama untuk produksi susu di Thailand, Filipina dan Cina. Di Indonesia kerbau Murrah dipelihara oleh masyarakat keturunan India di daerah Sumatera Utara sebagai penghasil susu (Diwyanto dan Subandrio, 1995).

Ciri-ciri umum kerbau Murrah menurut Mason (1974b) adalah berwarna hitam dengan muka bercak putih pada muka, mempunyai ujung ekor berwarna putih dan tanduk yang pendek. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa warna coklat atau bhurra merupakan variasi lain dari warna kerbau Murrah yang terdapat dalam jumlah kecil. Warna coklat ditemukan sebanyak 30% dalam populasi kerbau Murrah dan diduga bersifat resesif (Mason, 1974b).

Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa bentuk tanduk adalah karakteristik yang paling spesifik pada kerbau Murrah. Tanduk tumbuh ke arah belakang dan ke atas lalu membentuk lingkaran memutar ke dalam dengan bentuk spiral. Kepala kerbau Murrah betina biasanya kecil dan lebih terbentuk daripada kerbau jantan. Dahi luas dan agak menonjol, muka memiliki tanda putih di dahi dan lubang hidung terpisah jauh. Telinga kerbau Murrah kecil, tipis dan tergantung. Mason (1974b) menambahkan bahwa bagian kaki belakang dan pinggang kerbau Murrah lebih besar dibandingkan bagian depannya. Pinggul kerbau Murrah luas dan tertutup halus. Ambing berkembang baik pada kerbau betina. Kerbau Murrah memiliki puting yang panjang, terpisah simetris dan baik. Secara umum puting bagian belakang lebih panjang daripada puting bagian depan.

Mason (1974b) menyatakan bahwa kerbau Murrah jantan dewasa memiliki berat badan 450-800 kg dan kerbau betina sekitar 350-700 kg. Kerbau Murrah jantan dan betina memiliki tinggi pundak sekitar 142 cm dan 133 cm dengan panjang badan 151 cm (jantan) dan 149 cm (betina). Tinggi pundak kerbau Murrah jantan dan betina menurut Fahimuddin (1975) masing-masing adalah 142,2 cm dan 132,2 cm dengan panjang badan 149,8 cm dan 147,2 cm. Ukuran lingkar dada kerbau Murrah jantan dan betina menurut Fahimudin (1975) berturut-turut adalah 220,7 cm dan 218,4 cm. Mason (1974b) menyatakan ukuran lingkar dada yang lebih besar yaitu 223 cm dan 220 cm. Puslitbang Peternakan (2006) melaporkan bahwa bobot badan

(19)

kerbau Murrah betina pada umur 2,5-4 tahun mencapai 407 kg sedangkan jantan mencapai 507 kg. Halgberg dan Lind (2003) menyatakan bahwa rata-rata produksi susu kerbau Murrah selama 294 hari laktasi adalah 1.764 kg per laktasi.

Kerbau Rawa

Kerbau rawa banyak terdapat di daerah Asia Tenggara. Kerbau ini tampak lebih liar dibandingkan dengan kerbau tipe sungai. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa merupakan kerbau yang pendek, gemuk dan bertanduk panjang. Kerbau rawa memiliki konformasi tubuh yang berat dan padat. Mason (1974b) menyatakan bahwa kerbau rawa memiliki tubuh dan kaki yang pendek, perut yang luas dan leher yang panjang.

Kerbau rawa biasanya berwarna abu-abu dengan warna yang lebih cerah pada bagian kaki. Selain itu warna yang lebih terang yang menyerupai garis kalung juga terdapat di bawah dagu dan leher. Kerbau rawa tidak pernah berwarna coklat atau abu-abu coklat sebagaimana kerbau sungai (Cockrill, 1974). Ciri-ciri dari bagian muka adalah dahi datar, muka pendek, moncong luas dan terdapat bercak putih di sekitar mata. Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau rawa atau kerbau lumpur memiliki tanduk melengkung ke belakang. Biasanya kerbau rawa digunakan sebagai ternak kerja dan penghasil daging.

Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa kerbau rawa jantan memilik bobot dewasa 500 kg dan kerbau betina 400 kg dengan tinggi pundak jantan dan betina adalah 135 dan 130 cm. Penelitian Chantalakhana (1981) menyatakan kerbau rawa dewasa di Indonesia memiliki tinggi rata-rata 127-130 cm untuk kerbau jantan dan 124-125 cm pada kerbau betina.

Kerbau Silangan (Sungai x Rawa)

Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa persilangan antara kerbau rawa dengan kerbau sungai (rawa x Murrah) akan menghasilkan silangan yang tidak menentu (polimorfisme) atau sulit diprediksi hasilnya. Diwyanto dan Subandrio (1995) menyebutkan bahwa hasil silangan kerbau sungai dan rawa diduga akan menghasilkan kerbau yang steril karena adanya perbedaan jumlah kromosom maupun bentuk kromosom tetuanya.

Perbedaan jumlah kromosom kerbau rawa dan sungai mengakibatkan abnormalitas kromosom pada kerbau silangannya. Kerbau rawa memiliki 48

(20)

kromosom sedangkan kerbau sungai memiliki 50 kromosom. Persilangan antara keduanya mengasilkan keturunan dengan jumlah kromosom 49. Kromosom ke empat kerbau silangan (F1) tidak memiliki pasangan dan berukuran lebih besar daripada ukuran kromosom kerbau rawa dan kerbau sungai (Chavananikul et al., 1994b). Persilangan F2 menghasikan kerbau dengan tiga variasi kariotipe yaitu 48, 49 dan 50 kromosom. Abnormalitas kromosom pada kerbau silangan tidak mempengaruhi fertilitas namun dipercaya mengakibatkan penurunan daya reproduksi terutama pada kerbau jantan. Hilmi (1991) melaporkan bahwa Kerbau jantan silangan yang memiliki 75% darah kerbau sungai dan 49 kromosom dilaporkan memiliki konsentrasi sperma yang rendah dan tingkat abnormalitas sperma yang tinggi. Hal ini senada dengan penelitian Chavananikul (1994) yang menunjukkan bahwa kerbau jantan silangan dengan 49 kromosom menghasilkan sperma dengan jumlah dan motilitas yang rendah.

Secara fenotipik kerbau silangan tampak seperti kerbau sungai. Perbedaan yang tampak jelas adalah bentuk tanduk dan perubahan warna pada beberapa bagian tubuh. Mason (1974a) menyatakan bahwa persilangan antara kerbau rawa dengan kerbau sungai umum dilakukan di Thailand. Anak hasil silangan menurunkan sifat warna hitam dari kerbau tipe sungai. Performa intermediet tampak pada konformasi tubuh dan tanduk. Fahimuddin (1975) menyatakan bahwa persilangan kerbau Murrah hitam dengan kerbau rawa abu-abu menghasilkan anak yang berwarna hitam tanpa chevron dan stocking. Sifat-sifat fenotipik kerbau silangan dipengaruhi oleh persentase darah dari tetuanya. Diwyanto dan Subandrio (1995) menyatakan bahwa perbedaan kariotipe diketahui tidak mempengaruhi fenotipik sifat kualitatif kerbau silangan.

Mason (1974a) menyatakan bahwa silangan kerbau Murrah dengan kerbau crosbred Filipina memiliki badan yang lebih berat dan tinggi pada saat lahir serta rataan pertumbuhan yang lebih baik daripada rataan kedua tertuanya. Mason (1974a) lebih lanjut menjelaskan bahwa anak pertama hasil silangan menghasilkan susu yang lebih banyak daripada rataan produksi tetuanya. Penelitian lain yang diadakan oleh Momongan et al. (1989) menunjukkan bahwa anak pertama hasil silangan kerbau rawa dan Murrah di Filipina menghasilkan produksi susu yang sama dengan kerbau Murrah. Silangan kerbau Murrah dan rawa memiliki ukuran tubuh yang lebih tinggi

(21)

daripada kerbau rawa Filipina (Suba et al., 1992). Pengukuran tubuh pada kerbau silangan yang dilakukan Amano et al. (1981) menunjukkan bahwa pada umur yang sama kerbau silangan Indonesia memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari kerbau rawa dan cenderung mendekati ukuran kerbau Murrah. Penelitian terhadap kerbau silangan di Sumatera Utara menunjukkan bahwa kerbau silangan memiliki pertumbuhan yang lebih baik daripada kerbau rawa (Diwyanto dan Subandrio, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2006) terhadap kerbau silangan di Sumatera Utara juga menunjukkan hasil yang sama yaitu bobot badan kerbau silangan lebih tinggi daripada kerbau rawa dan hampir sama dengan bobot badan kerbau Murrah.

Tabel 1. Ukuran Tubuh Kerbau di Indonesia.

(cm)

Rawa Sungai Silangan

Ukuran Tubuh Betina Jantan Betina Betina (3 tahun)* Jantan (11tahun)* Tinggi Pundak Tinggi Pinggul Dalam Dada Panjang Badan Lebar Dada Lebar Pinggul Lingkar Dada 122,7 123,8 72,7 132,2 39,2 51,8 185,6 127,1 120,6 64,9 140,4 42,9 53,8 190,0 132,3 130,7 75,4 133,8 44,3 60,2 121,1 120,3 64,8 110,0 32,8 47,9 168,0 132,0 135,6 75,9 129,4 28,0 52,2 181,0 Sumber : Amano et al. (1981)

Keterangan : * n = 1 ekor

Kerbau di Indonesia

Direktorat Jenderal Peternakan (2006) melaporkan pada tahun 2006 terdapat sebanyak 2.201.111 ekor kerbau di Indonesia. Tiga propinsi yang memiliki populasi kerbau terbesar adalah Nanggroe Aceh Darussalam (340.031 ekor), Sumatera Utara (261.308 ekor) dan Sumatera Barat (211.008 ekor). Persentase pertumbuhan populasi kerbau per tahun dari tahun 2002 sampai tahun 2006 di masing-masing propinsi tersebut adalah -3,340% (NAD), 0,125% (Sumatera Utara) dan -5,325% (Sumatera Barat). Bangsa kerbau yang terdapat di Indonesia pada umumnya adalah kerbau rawa

(22)

yang menyebar di seluruh daerah di Indonesia kecuali Propinsi Gorontalo yang dilaporkan tidak memiliki ternak kerbau. Selain kerbau rawa, di Indonesia juga terdapat kerbau sungai dari bangsa Murrah yang biasa dipelihara oleh masyarakat keturunan India di Sumatera Utara.

Data populasi kerbau di Indonesia yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Peternakan (2006) menunjukkan bahwa rataan pertumbuhan populasi kerbau dari tahun 2002 sampai tahun 2006 di Indonesia adalah sekitar -7,90%. Laju pertumbuhan populasi kerbau yang terbesar adalah di Propinsi Maluku Utara (40,99%) meskipun populasinya rendah (16.560 ekor pada tahun 2006). Provinsi Sumatera Utara mengalami pertumbuhan populasi kerbau hanya sekitar 0,125%. Hal ini menunjukkan bahwa laju pertambahan populasi kerbau di Sumatera Utara sangat kecil.

Kerbau di Sumatera Utara

Haloho dan Yufdi (1995) menyatakan bahwa ternak kerbau di Sumatera Utara memiliki peranan penting antara lain untuk pemenuhan kebutuhan daging, hewan kerja, alat transportasi pertanian, dan acara adat. Diwyanto dan Subandrio (1995) menyatakan bahwa bangsa kerbau yang terdapat di Sumatera Utara adalah kerbau rawa dan kerbau sungai (Murrah). Direktorat Jenderal Peternakan (2007) melaporkan bahwa produksi daging kerbau terbanyak pada tahun 2007 adalah di Sumatera Utara yaitu sebanyak 7.133 ton. Kerbau juga biasa digunakan untuk pemenuhan kebutuhan susu meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Kerbau pada umumnya dipelihara dengan cara tradisional intensif dengan mengandalkan pakan dari padang penggembalaan dan limbah pertanian (Haloho dan Yufdi, 2006).

Populasi kerbau terbanyak di Sumatera Utara menyebar pada Kabupaten Tapanuli Selatan dan Simalungun (Tabel 2). Rataan pertumbuhan populasi yang tertinggi di Sumatera Utara adalah pada Kabupaten Binjai (30,31%) Rata-rata pertambahan populasi kerbau per tahun di Sumatera Utara tahun 2002 sampai tahun 2005 adalah 0,03%. Laju pertumbuhan populasi pada tahun 2002, 2003 dan 2004 bertutut-turut adalah 0,3%, 0,6%, dan 0,67%. Laju pertumbuhan populasi negatif terjadi pada tahun 2005 yaitu -1,42%. Data Direktorat Jenderal Peternakan tahun 2007 menunjukkan bahwa laju pertumbuhan produksi daging kerbau rata-rata di Sumatera Utara tahun 2006 sampai 2007 adalah sebesar 0,82%. Data-data ini

(23)

mengindikasikan ketidakseimbangan produksi dan konsumsi daging kerbau di Provinsi Sumatera Utara.

Tabel 2. Populasi Kerbau di Sumatera Utara (ekor)

Tahun No Kabupaten / Kota 2001 2002 2003 2004* 2005** Rataan pertambahan populasi per tahun (%) 1 N i a s 1.370 1.376 1.426 1.435 1.444 1,35 2 Nias Selatan - - - - - -3 Mandailing Natal 4.000 4.014 4.176 4.202 4.409 2,56 4 Tapanuli Selatan 54.125 54.314 54.790 55.135 60.948 3,15 5 Tapanuli Tengah 14.475 14.526 12.643 12.722 12.617 -3,21 6 Tapanuli Utara 29.745 29.849 20.189 20.136 19.777 -8,38 7 Humbahas - - 8.772 8.827 11.313 -8 Toba Samosir 35.460 35.584 25.652 25.813 20.882 -10,28 9 Samosir - - 10.114 10.177 10.143 -10 Labuhan Batu 2.330 2.338 1.391 1.702 1.610 -8,8 11 Asahan 12.680 12.724 12.781 12.861 4.713 -15,71 12 Simalungun 41.330 41.495 36.214 36.442 39.833 -0,91 13 Dairi 7.929 7.954 11.073 11.143 11.362 10,82 14 Pakpak Bharat - - 2.850 2.868 2.887 -15 Karo 17.745 18.008 21.609 21.745 24.718 9,44 16 Deli Serdang 29.538 29.613 16.971 17.078 15.312 -12,04 17 Serdang Bedagai - - 11.131 11.201 7.438 -18 Langkat 7.370 7.396 7.433 7.489 8.362 3,36 19 Sibolga 0 0 0 0 0 -20 Tanjung Balai 0 0 48 48 48 -21 Pematang Siantar 157 160 189 199 175 2,87 22 Tebing Tinggi 290 296 275 277 279 -0,95 23 Medan 268 270 609 695 293 2,33 24 Binjai 126 127 92 289 98 -5,56 25 P. Sidempuan - - 945 951 1.011 -Jumlah 259.138 260.044 261.673 263.435 259.672 0,05

Sumber : Dinas Peternakan Sumatera Utara (2006) Keterangan : * Angka Perbaikan

(24)

Keragaman Kerbau di Indonesia

Noor (2000) menyatakan bahwa keragaman fenotipe disebabkan oleh adanya keragaman genetik, lingkungan dan interaksi antara keduanya. Falconer dan Mackay (1996) menjelaskan bahwa keragaman genetik dapat terjadi karena adanya proses mutasi akibat seleksi, perkawinan silang atau bencana alam yang dapat berakibat hilang atau hanyutnya gen. Pembentukan ragam genetik merupakan gabungan ragam gen aditif dan keragaman gen non aditif (Griffiths et al., 1999).

Variasi merupakan ciri-ciri umum yang terdapat di dalam sebuah populasi. Keragaman terjadi tidak hanya antar bangsa tetapi juga dalam satu bangsa yang sama, antar populasi maupun di dalam populasi antara individu tersebut. Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa keragaman pada kerbau dapat dilihat dari ciri-ciri fenotipe, produksi dan molekuler. Keragaman fenotipe merupakan parameter yang dapat diamati atau terlihat secara langsung seperti tinggi dan berat tubuh, warna dan pola warna tubuh, pertumbuhan tanduk serta sifat-sifat kualitatif lainnya. Keragaman produksi dapat diketahui dari indikator sifat-sifat produksi seperti bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertumbuhan bobot badan, sifat-sifat karkas, produksi susu maupun sifat-sifat reproduksinya. Polimorfisme biokimia dan molekuler merupakan cara yang dalam mengetahui keragaman genetik kerbau.

Keragaman Fenotipe

Puslitbang Peternakan (2006) melaporkan bahwa sebagian besar kerbau yang ada di Indonesia adalah jenis kerbau rawa dengan keragaman yang cukup besar. Di samping itu terdapat jenis kerbau sungai dalam jumlah kecil yang hidup di Sumatera Utara yang dikenal sebagai kerbau Murrah. Terdapat kecenderungan bahwa populasi dan mutu genetik kerbau nasional menurun dari tahun ke tahun karena sistem perkawinannya tidak menentu. Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa kerbau rawa dan sungai memiliki perbedaan pokok dalam hal bentuk dan warna. Selain adanya perbedaan dalam besarnya tubuh, diduga ada kecenderungan perbedaan sub grup berdasarkan daya tahannya terhadap panas atau kegemarannya terhadap air.

Keragaman fenotipik dan genetik kerbau rawa di Indonesia cukup besar. Tingginya keragaman performa kerbau disebabkan karena tidak adanya seleksi dan kondisi manajemen yang berbeda. Kerbau rawa di Indonesia menurut Amano et al.

(25)

(1981) mempunyai tiga macam pola warna yaitu abu-abu, putih dan belang. Diwyanto dan Subandrio (1995) menyatakan bahwa warna belang pada kerbau rawa di Indonesia antara lain adalah kerbau belang di punggung di Pulau Sumba dan belang hitam putih di Sulawesi Selatan. Variasi warna belang di Pulau Sumba adalah belang hitam besar, belang merah, belang hitam-merah di punggung dan belang-belang kecil. Ukuran-ukuran tubuh juga dapat digunakan untuk mengetahui keragaman performa fenotipik kerbau rawa di Indonesia (Tabel 3).

Puslitbang Peternakan (2006) melaporkan bahwa pengamatan terhadap tanduk pada 170 ekor kerbau Murrah di Sumatera Utara menunjukkan bahwa terdapat 82% kerbau dengan bentuk tanduk melingkar ke atas, 6% mengarah ke bawah dan 11% bentuk tanduk kombinasi antara kerbau Murrah dan kerbau rawa. Puslitbang Peternakan (2006) lebih lanjut menjelaskan bahwa kerbau hasil persilangan yang diamati pada umumnya berwarna hitam dan berbulu panjang.

Tabel 3. Ukuran Tubuh Kerbau Rawa di Indonesia

(cm)

Daerah di Indonesia Tinggi pundak Panjang badan Lingkar Dada

Bogor Mangan Pekalongan Kudus Priangan Sumatera Barat (betina umur 3-5 tahun)* 116-129 120-131 123-131 125-130 - 124 130,5-150,6 - 141-155 132-140 132-156 125 170,7-190,8 - 169-184 183-195 165-201 181

Sumber : Hasinah dan Handiwirawan (2006) * Bamuamalim et al. (2006) Keragaman Produksi

Hasinah dan Handiwirawan (2006) menyatakan bahwa indikator yang dapat digunakan untuk menilai keragaman produksi kerbau antara lain bobot lahir, bobot sapih, bobot dewasa, laju pertumbuhan bobot badan, sifat karkas, produksi susu maupun sifat-sifat reproduksi. Keragaman yang tinggi pada sifat produksi kerbau menggambarkan tingginya keragaman genetik dan pola pemeliharaan. Hasil penelitian Puslitbang Peternakan (2006) menunjukkan bahwa pada umur 2,5-4 tahun ukuran tubuh kerbau jantan Murrah di Sumatera utara lebih besar daripada kerbau

(26)

betina yaitu mencapai 407 kg pada betina dan 507 kg pada jantan. Umur pertama beranak pada kerbau Murrah sekitar 3,5 tahun dan selang beranak sekitar 1,5 tahun. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa kerbau Murrah di Sumatera Utara pada umumnya memperlihatkan keragaman bobot badan dan ukuran tubuh relatif besar (Puslitbang Peternakan, 2006). Keragaman produksi kerbau rawa di beberapa daerah di Indonesia ditampilkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Performa Produksi Kerbau pada Beberapa Daerah di Indonesia.

Indikator Kalsel Jabar Sumbar Sumsel Jatim NTB** Sulsel

Umur beranak pertama (bulan) Lama bunting (hari) Calving interval (hari) Bobot lahir (kg) Jantan Betina Bobot sapih (kg) Jantan Betina Karkas (%) Produksi susu (kg/hari) 44-48 318-327 427-439 33 31 136 123 44 - 33 295-330 620-767 - - - - - - 48 330-365 730-912 25-30 35-38 123* 117* - 4,1* 44,7 351 600-900 18.2 14,5 - - - - 48 330-340 687 - 16-18 - - - - 43 300 19 18 92 85 - - 38 360 548 30-35 25-30 - - - -

Sumber : Hasinah dan Handiwirawan (2006) * Bamuamalim et al. (2006)

** Arman (2006)

Jarak Genetik

Jarak populasi dalam klasifikasi atau pengelompokkan ternak menggambarkan perbedaan nilai suatu ciri antara kelompok ternak yang dibandingkan (Ridley, 1991). Karakeristik yang dapat digunakan untuk mengukur jarak dalam pengelompokan adalah ciri morfologi, kariotipe, karakteristik biokimia, fisiologi, tingkah laku, ekologi dan biogeografi (Wiley, 1981).

Jarak genetik adalah statistika yang menyimpulkan sejumlah perbedaan genetik yang diamati antar populasi atau spesies yang diamati (Freeman dan Herron, 2004). Jarak genetik adalah tingkat perbedaan genomik antar populasi atau spesies yang diukur oleh beberapa kuantitas numerik (Nei, 1987). Parameter-parameter genetik yang digunakan untuk mengukur jarak antar populasi dapat digunakan untuk

(27)

menggambarkan jarak genetik antar populasi tersebut. Pengukuran jarak untuk karakter kuantitatif yang paling sering digunakan adalah statistik Mahalanobis (D2).

Nei (1987) menyatakan bahwa pengukuran paling sederhana dari jarak genetik diberi nama Jarak Genetik Minimum (Dm) dan dimaksudkan untuk mengukur jumlah minimum dari perbedaan kodon per lokus. Perbedaan antar Jarak Genetik Minimum (Dm), Jarak Genetik Standar (D), dan Jarak Genetik Maksimum (D’) pada ras lokal dalam satu spesies pada umumnya sangat kecil dan dari semua pengukuran tersebut terdapat penyelesaian yang sama tentang diferensiasi genetik dari populasi. Pengujian jarak standar dapat dilakukan dengan uji jarak minimum jika terdapat perbedaan yang signifikan dari jarak minimun data tersebut. Analisis pada tingkat DNA seperti analisis polimorfisme protein darah akan memberikan hasil yang lebih akurat untuk menentukan jarak genetik.

Amano et al. (1981) melakukan penelitian terhadap 23 lokus protein darah pada kerbau rawa dan kerbau sungai di Indonesia. Heterosigositas dari lokus yang diuji pada kerbau lumpur berkisar antara 7,3 sampai 9,9%. Berdasarkan analisis jarak genetik diperoleh hasil bahwa kerbau rawa dan kerbau sungai di Indonesia merupakan populasi yang berbeda dan mempunyai jarak genetik yang jauh, sehingga diasumsikan bahwa kerbau rawa dan kerbau sungai didomestikasi dari nenek moyang yang berbeda.

Analisis Diskriminan

Afifi dan Clark (1996) menyatakan bahwa analisis diskriminan digunakan untuk mengklasifikasikan individu-individu ke dalam dua atau lebih kelompok (populasi) berdasarkan pengukuran-pengukuran tertentu. Populasi data yang digunakan diketahui dengan jelas dan tiap-tiap individu merupakan bagian dari salah satu populasi tersebut. Analisis diskriminan sering juga disebut sebagai analisis diskiminan linier sesuai dengan metode Fisher dan analisis kanonikal (Wiley, 1981). Analisis diskriminan linier merupakan analisis diskriminan yang melibatkan dua kelompok populasi sedangkan analisis kanonikal digunakan untuk menguji lebih dari dua kelompok populasi.

Wiley (1981) menyatakan bahwa analisis diskriminan dirancang untuk meminimalkan variasi dalam kelompok dan memaksimalkan variasi antar kelompok sehingga akan diperoleh pemisahan yang terbaik. Gazpers (1992) menyatakan bahwa

(28)

analisis diskriminan dapat dipergunakan untuk memperoleh jarak Mahalanobis (D2) antar kelompok dan mengetahui variabel-variabel penciri yang membedakan kelompok-kelompok populasi yang ada. Analisis diskriminan juga dapat digunakan sebagai kriteria pengelompokan berdasarkan perhitungan statistik terhadap kelompok yang telah diketahui dengan jelas pengelompokannya. Afifi dan Clark (1996) menjelaskan bahwa kriteria pengelompokkan berguna untuk mengetahui data-data yang dikelompokkan dalam suatu populasi yang sesungguhnya secara statistik berada pada kelompok populasi yang lain.

Pohon Filogenetik

Freeman dan Herron (2004) mendefenisikan pohon filogenetik sebagai diagram estimasi yang menggambarkan hubungan asal-usul atau nenek moyang dan keturunan dari spesies atau populasi. Pohon filogenetik disebut juga sebagai pohon evolusi. Wiley (1981) menyebutkan bahwa pohon filogenetik menggambarkan hubungan silsilah antar organisme atau populasi dalam sebuah diagram. Pohon filogenetik menyajikan gambar yang mewakili aliran evolusi dari spesies atau individu yang lebih dahulu sampai spesies atau populasi yang terbaru.

Pohon filogenetik pada awalnya hanya menggambarkan hubungan spesies dan taxa atau kumpulan kelompok organisme yang lebih besar dengan menggunakan garis untuk mewakili spesifikasi yang terjadi (Wiley, 1981). Dendogram dan cladogram merupakan pohon filogenetik yang seluruhnya menggambarkan hubungan evolusioner spesies atau populasi. Wiley (1981) menyatakan bahwa dendogram adalah diagram bercabang yang memuat hubungan antar spesies atau populasi berdasarkan pada beberapa kriteria tertentu. Cladogram menurut Freeman dan Herron (2004) merupakan pohon evolusi yang dibuat dengan menyertakan pengaruh-pengaruh synapomorphies atau pemisahan spesies (populasi) karena terjadinya perubahan dari sifat-sifat awal. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi karena mutasi, seleksi dan genetic drift. Wiley (1981) mendefenisikan cladogram sebagai pohon filogenetik yang dirancang sesuai dengan peristiwa sejarah yang terjadi terhadap spesies atau populasi tersebut.

Nei (1981) menyatakan bahwa metode yang umum digunakan untuk merancang pohon filogenetik adalah dengan menggunakan matriks jarak genetik dan maximum parsimony methods. Konstruksi pohon filogenetik dengan metode matriks

(29)

jarak genetik dapat dilakukan dengan lebih luas sebab jarak genetik dapat diperoleh dengan melakukan pengamatan pada beberapa parameter. Metode maximum parsimony pada umumnya lebih terbatas penggunannya dalam konstruksi pohon filogenetik sebab menggunakan data sekuen asam amino atau nukleotida.

Ridley (1991) menyatakan bahwa terdapat dua statistik jarak filogeni yaitu jarak ciri terdekat dan jarak ciri rata-rata. Jarak rata-rata terdekat secara berurutan akan membentuk kelompok dengan menggabungkan subkelompok yang memiliki ciri terdekat sedangkan jarak ciri rata-rata akan membentuk subkelompok dengan jarak terdekat rata-rata. Nei (1981) menyatakan bahwa metode UPGMA (Unweighted Pair-Gruop Method with Arithmetic Mean) merupakan metode perancangan dendogram dengan menggunakan jarak rata-rata.

(30)

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Juli sampai dengan Agustus 2007. Pengumpulan data dilakukan di Kotamadya Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tapanuli Utara Provinsi Sumatera Utara. Letak masing-masing lokasi pengumpulan data disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Peta Sumatera Utara

Materi Ternak

Keseluruhan ternak yang diamati adalah sebanyak 120 ekor. Data pengukuran tubuh merupakan data primer yang terdiri dari 49 ekor kerbau sungai yaitu kerbau Murrah (15 ekor jantan dan 34 ekor betina), 20 ekor kerbau silangan F1 (2 ekor jantan dan 18 ekor betina) serta 51 ekor kerbau rawa (12 ekor jantan dan 39 ekor

(31)

betina). Umur kerbau ditentukan berdasarkan informasi peternak. Catatan umur juga digunakan pada tempat yang melakukan pencatatan. Data umur kerbau yang diamati ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Jumlah Ternak Berdasarkan Umur yang Diamati.

Umur (Tahun) Murrah (ekor) Silangan (ekor) Rawa (ekor) 1,0-2,0 2,1-3,0 3,1-4,0 4,1-5,0 5,1-6,0 6,1-7,0 7,1-8,0 8,1-9,0 9,1-10,0 15,0 12 13 15 11 12 13 12 1- 1- 11 5 1 7 2 - 1 4 - - - 13 16 25 14 11 11 1- 1- 11 1- Total 49 20 51

Tabel 6. Jumlah Ternak yang Diamati per Kabupaten

Lokasi (Kabupaten) Murrah (ekor) Silangan (ekor) Rawa (ekor) Deli Serdang Serdang Bedagai Tapanuli Utara Langkat Kotamadya Medan 38 2 5 - 4 15 4 1 - - - 17 32 2 - Total 49 20 51 Peralatan

Alat yang digunakan untuk mengukur ukuran-ukuran tubuh kerbau antara lain pita ukur dan tongkat ukur. Alat tulis dan lembar data digunakan untuk mencatat hasil pengamatan dan pengukuran.

(32)

Analisis Data Sifat Kualitatif

Sifat kualitatif yang diamati adalah warna kulit, garis kalung putih (chevron) dan warna kaki. Sifat kualitatif dinalisis menggunakan frekuensi relatif dengan formula sebagai berikut:

Σ Sifat A Frekuensi relatif sifat A =

N x 100%

Keterangan : A = salah satu sifat kualitatif pada populasi kerbau yang diamati N = total sampel kerbau yang diamati

Sifat Kuantitatif

Data sifat kuantitatif berupa ukuran-ukuran tubuh dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan lokasi. Sebelum dianalisis data distandarisasi terhadap umur (3,1-4 tahun) dan lokasi (kabupaten). Standarisasi dilakukan dengan menggunakan rumus :

Xi Peubah ukuran tubuh terstandarisasi =

Xj

(Xj)

Keterangan:

Xi = rataan peubah ukuran tubuh yang digunakan sebagai standar

X j = rataan peubah ukuran tubuh yang akan distandarisasi

X j = peubah ukuran tubuh yang akan distandarisai

Data yang telah distandarisasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan rataan, simpangan baku, dan koefisien keragaman berdasarkan Walpole (1982), yaitu:

X = n Xi n i

=1 1 ) ( 1 2 − − =

n X Xi s n n = ×100% X s KK Keterangan : X = rata-rata s = simpangan baku

Xi = ukuran ke-i dari peubah x

n = jumlah sampel yang diambil dari populasi KK = koefisien keragaman

Persentase efek heterosis kerbau silangan dihitung berdasarkan Hardjosubroto (2001).

Psilangan – Ptetua Persentase heterosis =

Ptetua

(33)

Keterangan : Psilangan = rataan ukuran tubuh silangan Ptetua = rataan ukuran tubuh tetua

Untuk membandingkan kelompok kerbau antar tipe dilakukan uji-t dengan menggunakan rumus Walpole (1982) sebagai berikut:

) 1 ( ) ( ) 1 ( ) ( ) ( 2 2 2 21 2 1 1 2 1 1 2 1 − − + − − − =

n n X X n n X X X X t j j h Keterangan : th = nilai t hitung 1

X = rataan sampel pada kelompok ke-1 2

X = rataan sampel pada kelompok ke-2

X1j = nilai pengamatan ke-j pada kelompok pertama

X2j = nilai pengamatan ke-j pada kelompok kedua

n1 = jumlah sampel pada kelompok ke-1

n2 = jumlah sampel pada kelompok ke-2

Analisis Data Keragaman Morfometrik

Jarak genetik ditentukan dengan menggunakan fungsi diskriminan sederhana (D2). Analisis diskriminan dilakukan menggunakan peubah tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada dan lebar dada. Data ukuran tubuh yang telah distandarisasi terhadap umur dan lokasi kemudian distandarisasi terhadap jenis kelamin betina. Fungsi diskriminan yang digunakan adalah melalui pendekatan jarak Mahalonobis seperti yang dijelaskan oleh Nei (1987) yakni dengan menggabungkan matriks peragam antara peubah dari masing-masing kerbau yang diamati menjadi sebuah matriks. Statistik D2-Mahalanobis dihitung dengan rumus berdasarkan Gazpersz (1992).

(

k

) (

G k

)

k

X

X

S

X

X

D

2

=

'

−1

Keterangan :

D2 = nilai statistik Mahalanobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik antara dua populasi kerbau

i

X = vektor nilai rataan pengamatan dari populasi ke-i

j

X = vektor nilai rataan pengamatan dari populasi ke-j SG-1 = invers matriks peragam gabungan

Analisis Diskriminan dilakukan dengan menggunakan program SAS Ver 6,12 untuk mendapatkan jarak genetik dan kanonikal. Dendogram atau pohon filogenetik

(34)

dibuat berdasarkan matriks jarak genetik dengan metode UPGMA menurut Nei (1987). Konstruksi dendogram dibuat dengan program MEGA 3 (Kumar et al., 1993).

Metode Pengamatan Sifat-Sifat Kualitatif

Peubah sifat-sifat kualitatif kerbau yang diamati meliputi:

1. Warna kulit. Warna kulit dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu hitam, coklat, dan abu-abu.

2. Garis kalung putih/chevron. Garis kalung (chevron) dikategorikan tidak ada, tunggal di bagian atas, tunggal di bagian bawah, tunggal di bagian bawah dan bercabang, double (di bagian atas dan bawah), dan double dengan bagian bawah bercabang.

3. Warna kaki. Warna kaki yang diidentifikasi adalah warna abu muda, abu-abu, putih, hitam dan coklat.

Pengukuran Bagian Tubuh

Bagian-bagian tubuh kerbau yang diukur adalah tinggi pundak, tinggi pinggul, lebar pinggul, panjang badan, lingkar dada, dalam dada dan lebar dada. Seluruh ukuran tubuh diukur dalam satuan cm. Bagian-bagian tubuh yang diukur antara lain:

1. Tinggi pundak merupakan jarak tertinggi pundak melalui belakang scapula tegak lurus ke tanah diukur dengan menggunakan tongkat ukur

2. Tinggi pinggul adalah jarak tertinggi pinggul secara tegak lurus ke tanah, diukur dengan menggunakan tongkat ukur

3. Lebar pinggul diukur menggunakan tongkat ukur sebagai jarak lebar antara kedua sendi pinggul

4. Panjang badan merupakan jarak garis lurus dari tepi tulang Processus spinocus sampai dengan benjolan tulang lapis (Os ischium), diukur dengan tongkat ukur. 5. Lingkar dada diukur melingkar tepat dibelakang scapula menggunakan pita ukur 6. Dalam dada merupakan jarak antara titik tertinggi pundak dan tulang dada,

(35)

7. Lebar dada adalah jarak antara penonjolan sendi bahu (Os scapula) kiri dan kanan, diukur dengan pita ukur

Gambar 2. Ukuran-Ukuran Tubuh Kerbau Keterangan: 1 : Tinggi pundak 2 : Tinggi pinggul 3 : Lingkar dada 4 : Lebar dada 5 : Dalam dada 6 : Panjang badan 7 : Lebar pinggul

(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Pemerintah Propinsi Sumatera Utara (2008) menyatakan bahwa Sumatera Utara merupakan propinsi di sebelah utara pulau Sumatera yang secara administratif berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam di sebelah barat laut dan Provinsi Sumatera Barat serta Riau di sebelah tenggara. Sebelah timur laut Propinsi Sumatera Utara berbatasan dengan Selat Malaka sedangkan sebelah barat daya berbatasan dengan Samudera Hindia. Propinsi Sumatera Utara terdiri dari 7 kotamadya dan 11 kabupaten dengan luas wilayah 70.787 km2.

Kota Medan secara geografis terletak di antara 2027'-2047' lintang utara dan 98035'-98044' bujur timur. Kota Medan berada di bagian Utara Propinsi Sumatera Utara dengan topografi miring ke arah Utara dan berada pada ketinggian tempat 2,5-37,5 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kota Medan adalah 265,10 km2 dengan jumlah penduduk 1.899.327 jiwa. Kabupaten Deli Serdang merupakan kabupaten yang mengelilingi kota Medan. Secara geografis Kabupaten Deli Serdang terletak di antara 2057'-3016' lintang utara dan 97052'-98045' bujur timur. Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang adalah 2.394,62 km2 dengan jumlah penduduk 1.463.031 jiwa. Kabupaten Serdang Bedagai merupakan Kabupaten pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang yang terletak di antara 2057' - 3016' lintang utara dan 97052' - 98045' bujur timur. Kabupaten Serdang Bedagai memiliki luas 1.900,22 km2 dengan jumlah penduduk 579.499 jiwa. Kabupaten Langkat berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam di sebelah barat laut dan terletak di antara 30 14'-140 13 lintang utara dan 97052'-98045' bujur timur. Luas wilayah Kabupaten Langkat adalah 6.263,29 km2 dengan jumlah penduduk 926.069 jiwa. Kabupaten Tapanuli Utara terletak 1200 m di atas permukaan laut. Secara geografis Kabupaten Tapanuli Utara terletak di antara 1020'-2041' lintang utara dan 980-99015' bujur timur. Kabupaten Tapanuli Utara memiliki luas wilayah 364.557.79 Ha dan jumlah penduduk sebanyak 155.648 jiwa (Pemerintah Propinsi Sumatera Utara, 2008)

(37)

Pengamatan Sifat Kualitatif Kerbau Warna Kulit

Pengamatan warna kulit kerbau disajikan pada Tabel 7. Kerbau rawa yang diamati memiliki warna abu-abu sebanyak 92,16% dan 7,84% berwarna abu-abu gelap. Hasil ini diperkuat oleh penelitian Amano et al. (1981) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat gen pengontrol warna putih dan belang pada kerbau rawa di Sumatera Utara. Warna abu-abu diketahui dikendalikan oleh adanya gen D. Gen D bersifat dominan dan diduga d adalah gen resesif. Warna abu-abu pada kerbau rawa diduga tidak dipengaruhi oleh granula pigmen (Searle et al., 1968).

Tabel 7. Variasi Warna Kulit Kerbau

Jenis Kerbau Warna Kulit Persentase Kemungkinan genotipe* Sungai (n = 49 ekor) Rawa (n = 51 ekor) Silangan (n= 20 ekor) Hitam Coklat Abu-abu Abu-abu gelap Hitam Coklat Abu-abu 75,51 24,49 92,16 7,84 70,00 25,00 5,00 aaB_C_D_E_ aabbC_D_E_ A_B_C_ddE_ A_B_C_D_E_ aaB_C_D_E_ aabbC_D_E_ A_B_C_ddE_ Keterangan :

A : Gen pengontrol sifat agouti B : Gen pengontrol warna hitam C : Gen pengontrol warna putih D : Gen pengontrol warna abu-abu E : Gen pengontrol warna merah * : Sumber (Searle et al., 1968)

Kerbau sungai (Murrah) pada umumnya berwarna hitam pekat. Warna kulit kerbau Murrah berdasarkan hasil penelitian adalah 75,51% warna hitam dan 24,49% berwarna coklat. Keadaan ini mendekati pernyataan Mason (1974a) bahwa frekuensi warna coklat pada kerbau Murrah dapat mencapai 30%. Searle et al. (1968) menyatakan bahwa warna hitam pada kerbau sungai diketahui disebabkan adanya lokus non-agouti (aa) dan gen B. Warna coklat dikendalikan oleh gen b yang diduga merupakan sifat resesif dari gen B.

(38)

Warna abu-abu Warna abu-abu gelap

Gambar 3. Variasi Warna pada Kerbau Rawa

Warna hitam Warna coklat

Gambar 4. Variasi Warna pada Kerbau Murrah

Kerbau silangan menunjukkan variasi warna dari kerbau Murrah dan kerbau rawa. Frekuensi warna hitam pada kerbau silangan terdapat sebanyak 70%, warna coklat 25% dan abu-abu 5%. Tingginya frekuensi warna hitam pada kerbau silangan menunjukkan bahwa kebanyakan kerbau silangan berwarna sama dengan kerbau Murrah. Pengamatan Azmi et al. (1989) pada sifat kualitatif kerbau silangan menunjukkan bahwa hasil persilangan kerbau sungai hitam dan kerbau rawa abu-abu (F1) seluruhnya berwarna hitam. Mason (1974a) menunjukkan bahwa alel warna putih dan abu-abu pada kerbau berada pada lokus yang berbeda dengan gen pengontrol warna hitam. Warna hitam akan muncul pada kerbau dalam keadaan gen B_wwR_ , warna coklat akan muncul pada keadaan rr sedangkan abu-abu akan muncul pada keadaan bbww. Chavananikul et al. (1994a) dan Azmi et al. (1989) menunjukkan bahwa warna kerbau silangan dipengaruhi oleh persentase darah dari tetuanya. Semakin banyak persentase darah rawa (75%), maka kerbau silangan akan memiliki warna abu-abu sebaliknya semakin banyak darah sungai (75%) maka kerbau silangan akan berwarna hitam.

(39)

Garis Kalung (Chevron)

Garis kalung (chevron) merupakan ciri spesifik dari kerbau rawa. Hasil pengamatan terhadap chevron ditampilkan pada Tabel 8. Garis kalung (chevron) ditemukan pada seluruh kerbau rawa, sebagian kecil kerbau silangan dan tidak ada pada kerbau Murrah. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terdapat lima variasi garis kalung yaitu tunggal di bagian atas, tunggal di bagian bawah, tunggal di bagian bawah dan bercabang, double yaitu di leher bagian atas dan bawah, serta double dengan bagian bawah yang bercabang. Hasil analisis kualitatif terhadap chevron menunjukkan bahwa variasi chevron pada kerbau sangat beragam. Variasi chevron dengan frekuensi terbesar adalah double yaitu satu di leher dan satu lagi di bawahnya (Tabel 8). Jenis chevron ini terdapat sebanyak 47,06% pada kerbau rawa dan 5% pada kerbau silangan.

Double (bawah bercabang) Tunggal (bawah)

Tunggal (bawah) bercabang Double (atas dan bawah)

Tidak ada

(40)

Tabel 8. Variasi Garis Kalung (Chevron) Kerbau

Jenis kerbau Jenis Chevron Persentase Sungai (n= 49 ekor) Rawa (n=51 ekor) Silangan (n=20 ekor) Tidak ada Tunggal (atas) Tunggal (bawah)

Tunggal (bawah), bercabang Double (atas dan bawah) Double (bawah bercabang) Tidak ada

Double (atas dan bawah)

100,00 1,96 23,53 1,96 47,06 25,49 95,00 5,00

Chiangmai dan Chavananikul (1996) menyatakan bahwa sifat-sifat kualitatif yaitu warna kulit, warna bulu dan chevron pada kerbau silangan tidak dipengaruhi oleh keadaan kariotipe tetapi dipengaruhi oleh persentase darah yang diperoleh dari tetuanya. Penelitian Chiangmai dan Chavananikul (1996) terhadap 1.237 ekor kerbau silangan menunjukkan bahwa chevron hanya terdapat sebanyak 60% pada kerbau silangan yang memiliki darah Murrah sebanyak 25% dan 25% pada silangan yang memiliki 75% darah Murrah. Keberadaan garis kalung (chevron) pada kerbau diduga bersifat resesif (Chavananikul et al., 1994a). Sifat chevron menurut Searle et al. (1968) diturunkan oleh gen pengontrol warna white marking yang akan menampilkan pola warna putih di sekitar leher dalam keadaan gen resesif.

Warna Kaki

Variasi warna kaki pada kerbau dalam pengamatan dan frekuensinya ditampilkan pada Tabel 9. Warna kaki kerbau Murrah yang diteliti umumnya hitam yakni sama dengan warna tubuhnya. Warna kaki putih ditemukan sebanyak 36,74% dan coklat sebanyak 18,36%. Warna hitam dan coklat pada kaki kerbau Murrah merupakan warna yang sama dengan warna tubuhnya.

Frekuensi warna abu-abu muda pada warna kaki kerbau rawa ditemukan dalam jumlah besar yaitu sebanyak 94,12% dan warna abu-abu hanya terdapat sebanyak 5,88%. Frekuensi ini hampir sama dengan frekuensi warna kulit. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa seluruh kerbau rawa memiliki warna kaki yang lebih muda daripada warna tubuhnya.

(41)

Warna hitam Warna coklat

Warna putih Warna abu-abu terang

Warna abu-abu

Gambar 6. Variasi warna kaki kerbau Tabel 9. Variasi Warna Kaki Kerbau

Jenis Kerbau Warna Kaki Persentase

Sungai (n = 49 ekor) Rawa (n = 51 ekor) Silangan (n = 20 ekor) Hitam Coklat Putih Abu-abu muda Abu-abu Hitam Coklat Putih Abu-abu muda 5,00 44,90 18,36 36,74 94,12 5,88 40,00 25,00 30,00

(42)

Warna kaki kerbau pakan variasi warna kerbau rawa dan kerbau Murrah. Proporsi warna kaki kerbau silangan mendekati persentase warna kaki kerbau Murrah. Frekuensi warna kaki kerbau silangan menunjukkan bahwa 95%

Rataan dan simpangan baku ukuran tubuh kerbau jantan disajikan pada Tabel

10. Jumlah kerbau jan ai (Murrah) 15 ekor,

ataan ukuran tubuh di antara ketiga

Murrah jantan yang diamati adalah 132,04 cm dan 132,84 cm sementara tinggi p

rena terjadinya seleksi negatif terhadap kerbau rawa. Ukuran tubuh kerbau jantan silangan dalam

silangan meru

variasi tersebut sama dengan variasi warna kaki kerbau Murrah. Searle et al. (1968) menyatakan bahwa selain garis chevron, gen pengontrol white marking juga mengontrol sifat warna kaki pada kerbau. Pola pewarisan sifat gen white marking diduga bersifat resesif dan mirip dengan pewarisan sifat white stocking pada sapi Bali.

Pengamatan Ukuran Tubuh Kerbau Perbandingan Morfometrik Kerbau Jantan

tan yang diamati adalah kerbau sung silangan 2 ekor dan kerbau rawa 12 ekor. R

kelompok yang diamati menunjukkan adanya perbedaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerbau jantan silangan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan kerbau sungai (Murrah) dan rawa. Kerbau sungai memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada kerbau rawa kecuali pada ukuran lingkar dada.

Ukuran tubuh kerbau Murrah hasil penelitian lebih kecil dari ukuran tubuh yang dinyatakan oleh Mason (1974b). Rataan tinggi pundak dan panjang badan kerbau

undak dan panjang badan menurut Mason (1974b) adalah 142 cm dan 151 cm. Ukuran lingkar dada kerbau Murrah jantan (185,30 cm) yang diamati juga lebih kecil daripada ukuran lingkar dada rata-rata menurut Fahimudin (1975) yaitu 220,7 cm. Hasil ini menunjukkan bahwa kerbau Murrah jantan di Sumatera Utara memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil daripada kerbau Murrah jantan yang diukur tiga dekade sebelumnya. Hal ini diduga karena terjadinya seleksi negatif yaitu pemotongan kerbau-kerbau yang memiliki ukuran tubuh yang besar.

Penelitian Amano et al. (1981) menunjukkan bahwa rataan ukuran tubuh kerbau rawa jantan di Indonesia (Tabel 1) cenderung lebih besar daripada kerbau rawa jantan hasil penelitian di Sumatera Utara. Hal ini diduga ka

(43)

peneliti

Jenis Kerbau

an diketahui lebih besar daripada ukuran tubuh kerbau silangan berdasarkan penelitian Amano et al. (1981) yang ditampilkan pada Tabel 1. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya peluang yang cukup baik bagi pengembangan kerbau silangan di Sumatera Utara.

Tabel 10. Rataan, Simpangan Baku, Koefisien Keragaman dan Persentase Heterosis Ukuran-ukuran Tubuh Kerbau Jantan yang Telah Dikoreksi terhadap Perbedaan Lokasi (Kabupaten) dan Umur (3,1-4,0 Tahun).

Ukuran Tubuh X ± s KK Heterosis

(cm) (%) (%) T Pundak Murrah Silangan Rawa 132,04 inggi ebar Pinggul anjang Badan alam Dada ebar Dada ingkar Dada n n n n n 129,90A 20 140,4 07 2,7 4,98x10-6 10-5 10-5 10-5 10-5 10-5 5,17 0,99 7,52 A±5,460 144,50B±0,001 126,38C±4,940 5,80 6,92x10-6 3,90 11,83 Tinggi Pinggul L P D L L Murrah Silangan Rawa Murrah Silanga Rawa Murrah Silanga Rawa Murrah Silanga Rawa Murrah Silanga Rawa Murrah Silanga Rawa ±3,5 B 0 9 ±0, C 125,56 ±5,450 155,60A±4,850 160,00B±0,001 C 148,59 ±1,880 132,87A±5,540 132,49B±0,004 A 129,50 ±5,160 172,98A±4,560 182,70B±0,004 C 167,76 ±3,060 143,02A±3,830 146,50B±0,002 C 138,72 ±3,270 185,30A±10,080 214,00B±0,007 A 182,16 ±8,600 0 4,30 8,70 1,66x 3,80 4,10 3,01x 3,90 6,20 4,83x 4,50 8,90 4,30x 8,40 5,80 3,27x 4,70 19,98 1 1 1 3,77 1 16,47

K f sup g berbed sam ng-mas ran

tubuh men rbedaan ) atau (P<0,01

Keseragama an-ukuran mbarkan tingginya kesamaan

morfom atu k dan i u an tub ng

menyusun konform ntuk tubu raga kuran tubuh kerbau

jantan disa jantan

menunj

eterangan: Huru erskrip yan unjukkan pe

a pada k lom yango yang nyata (P<0,05

a untuk masi sangat nyata

ing uku ).

n ukur tubuh mengga

etrik su kelompo rendahnya varias kuran-ukur uh ya asi be h. Koefisien ke man u

jikan pada Tabel 10. Perhitungan koefisien keragaman pada

ukkan bahwa ukuran tubuh kerbau silangan memiliki keragaman terendah atau lebih seragam (4,98x10-6-4,83x10-5%) dibandingkan kerbau Murrah dan rawa. Hal ini disebabkan karena jumlah sampel kerbau silangan yang digunakan sangat

(44)

sedikit (2 ekor), sehingga diduga tidak mewakili keadaan yang sesungguhnya. Koefisien keragaman ukuran tubuh paling tinggi ditemukan pada kerbau sungai yaitu 2,70-8,90%. Ukuran tubuh kerbau Murrah dan rawa dan secara umum lebih seragam pada tinggi pinggul (2,70% dan 4,30%) dan panjang badan (4,10% dan 3,90%) sebaliknya keragaman relatif tinggi pada ukuran lebar dada (8,90% dan 8,40%). Kerbau silangan jantan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar daripada kerbau sungai dan rawa. Hal ini diduga disebabkan karena adanya efek heterosis. Efek heterosis yang terdapat pada seluruh peubah ukuran tubuh menunjukkan bahwa kerbau silangan memiliki rataan ukuran tubuh yang lebih besar daripada rataan

dan lingkar dada. Ukuran (202,59±7,81 cm) kerbau sungai lebih

inggi pada peubah lebar dada dan lebar

tubuh kerbau silangan betina ukuran tubuh tetuanya (Tabel 10). Seluruh ukuran tubuh kerbau silangan jantan mendapat pengaruh heterosis yang cukup tinggi kecuali pada ukuran panjang badan. Persentase heterosis terbesar adalah pada ukuran dalam dada (17,52%) sedangkan yang terkecil adalah pada ukuran panjang badan (0,99%).

Perbandingan Morfometrik Kerbau Betina

Rataan dan simpangan baku ukuran tubuh kerbau betina disajikan pada Tabel 11. Kerbau sungai (Murrah) betina secara umum memiliki ukuran tubuh yang tidak berbeda dengan silangan kecuali pada ukuran dalam dada

dalam dada (75,90±4,85 cm) dan lingkar dada

besar daripada ukuran dalam dada (73,03±2,53 cm) dan lingkar dada (196,54±9,58 cm) kerbau silangan. Seluruh peubah ukuran tubuh kerbau rawa diketahui lebih kecil dari kerbau sungai dan silangan (P<0,05).

Koefisien keragaman masing-masing jenis kerbau ditampilkan pada Tabel 10. Koefisien keragaman yang tinggi menggambarkan semakin kecilnya tingkat kesamaan ukuran tubuh. Tabel 11 menunjukkan bahwa secara umum koefisien keragaman ukuran tubuh kerbau betina t

pinggul serta rendah pada variabel tinggi pinggul. Berdasarkan perhitungan diketahui bahwa ukuran tubuh kerbau sungai relatif lebih beragam (3,20-10,90%) daripada kerbau silangan (2,50-7,00%) dan rawa (3,30-6,90%).

Efek heterosis menggambarkan persentase keunggulan silangan dibandingkan dengan kedua tetuanya. Efek heterosis yang terdapat pada seluruh ukuran tubuh menunjukkan bahwa kerbau silangan memiliki rataan ukuran tubuh yang lebih besar daripada rataan tetuanya. Persentase heterosis ukuran

Gambar

Tabel 2. Populasi Kerbau di Sumatera Utara (ekor)  Tahun No Kabupaten /  Kota 2001 2002 2003 2004* 2005** Rataan  pertambahan populasi per  tahun (%) 1  N i a s  1.370  1.376 1.426 1.435 1.444  1,35 2   Nias Selatan  -  - - - -   -3   Mandailing  Natal  4.
Gambar 1. Peta Sumatera Utara
Tabel 5. Jumlah Ternak Berdasarkan Umur yang Diamati.
Gambar 2. Ukuran-Ukuran Tubuh Kerbau  Keterangan:  1  : Tinggi pundak  2  : Tinggi pinggul  3  : Lingkar dada   4  : Lebar dada  5  : Dalam dada  6  : Panjang badan  7  : Lebar pinggul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Ukuran tubuh kelompok kerbau betina dan jantan umur ≤ 2, 2 – 4 dan ≥ 4 tahun di Kecamatan Sajira hampir sama dengan Cibadak, tetapi lebih besar bila dibandingkan dengan

Hasil pengukuran peubah tubuh pada ayam umur 28 minggu disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ayam pelung jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan ke

Hasil pengukuran peubah tubuh pada ayam umur 28 minggu disajikan pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ayam pelung jantan mempunyai ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan ke

Tabel 4 menunjukkan bahwa berat badan kerbau rawa yang ada di Kalimantan Selatan termasuk dalam kisaran berat kerbau lumpur yaitu untuk jantan 500 kg dan betina 400 kg. Ukuran

Ukuran morfometrik tubuh kerbau betina pada populasi Sumut lebih besar (P &lt; 0,01) bila dibandingkan dengan populasi Banten, Kalsel, NAD dan Sulsel, tetapi

Seperi halnya pada tinggi pundak dan tinggi pinggul, baik jantan dan betina untuk ketiga umur memperlihatkan bahwa kerbau di Panti memiliki ukuran sedikit lebih besar terhadap