• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Parameter Biologi

4. 1.1 Komposisi Jenis dan Kepadatan Makrozoobentos

Berdasarkan hasil pengamatan makrozoobentos pada 18 stasiun di sepanjang Sungai Musi bagian hilir selama 2 periode pada bulan April dan Juli 2007 secara keseluruhan terdapat 25 jenis yang termasuk ke dalam 6 kelas dan 3 filum (Lampiran 3).

Persentase Komposisi Taksa pada Bulan April 2007

Diptera 0.88% Polychaeta 3.89% Odonata 0.03% Gastropoda 0.75% Bivalvia 5.21% Crustacea 2.29% Oligochaeta 86.94%

Persentas Komposisi Taksa pada Bulan Juli 2007 Oligochaeta 87.74% Crustacea 1.99% Bivalvia 5.38% Gastropoda 0.91% Polychaeta 3.21% Odonata 0.02%, Diptera 0.73%

Gambar 9 Diagram perbandingan persentase komposisi makrozobentos pada bulan April dan Juli 2007.

Dari 6 kelas tersebut diatas, secara keseluruhan pengambilan sampel makrozoobentos pada bulan April 2007 terdapat 21 jenis terdiri 4 jenis yang termasuk ke dalam kelas Oligochaeta yaitu jenis Tubifex sp, Lumbriculus sp,

Haplotaxis sp, Branchiura sp, kelas Polychaeta terdapat 3 jenis yaitu Nereis sp, Nepthys cormuta dan Cossura sp, kelas Insecta terdapat 5 jenis yang terdiri dari Chironomous sp, Hydropsche sp, Polycentropus sp, Palpomya sp dan Gomphoides

sp, Kelas Gastropoda terdapat 6 jenis terdiri dari Bellamya javanica, Bellamya

sumatrensis, Melanoides tuberculata, Anentome sp, Pila ampullacea, Thiara sp.

kelas Pelecypoda terdiri dari 2 jenis yaitu Corbicula javanica, Anodonta woodiana dan kelas Crustacea ada 1 jenis yaitu Gammarus sp.

Pada pengambilan sampel makrozoobentos bulan Juli 2007 jumlah yang ditemukan juga sama ada 21 jenis. Komposisi jenis yang berbeda dengan bulan April 2007 adalah pada kelas Oligochaeta mempunyai 3 jenis dimana jenis

(2)

Branchiura sp tidak ditemukan di semua stasiun pengamatan, kelas Polychaeta

yang sebelumnya pada bulan April ditemukan 3 jenis, pada bulan Juli ditemukan 2 jenis baru yaitu Namalycastis sp dan Cirratulus sp sedangkan kelas Gastropoda berkurang menjadi 5 jenis yang terdiri dari Bellamya javanica, Bellamya

sumatrensis, Thiara sp, Melanoides tuberculata, dan Physa sp

0 1 2 3 4 5 6 7 Ju m la h Ta k s a t ing k a t G en u s Pu lo ke rt o G and us P re O gan Mus i M ua ra O ga n Am pe ra W ilm ar Pu sr i Ho kt on g S . K und ur PT SA P P. Bo ra ng SST Up an g Pr e S . C em ar a Se la t C em ar a P. Pa yu ng Tj . B uy ut Bulan April Bulan Juli

Gambar 10 Perbandingan jumlah genus pada bulan April dan Juli 2007.

Dari Gambar 10 dapat dibandingkan bahwa selama dua periode pengambilan pada bulan April dan Juli 2007 ditemukan adanya perbedaan jumlah taksa pada tingkat genus. Perbedaan jumlah genus tersebut ditemukan pada stasiun Pulokerto, Gandus, Pre Ogan, Musi kramasan, Sungai Kundur, Pulau Borang, Upang, Pre Selat Cemara, Selat Cemara, dan Pulau Payung. Adanya perbedaan jumlah komposisi taksa ini dapat disebabkan adanya perbedaan kedalaman pada saat pengambilan sampel, kekeruhan air, substrat dasar perairan, kecepatan arus, pengaruh bahan organik dan kandungan oksigen terlarut di dalamnya serta adanya perubahan kondisi lingkungan akibat kegiatan antropogenik yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis biota makrozoobentos tertentu.

Kelimpahan taksa pada tingkat genus di perairan hilir stasiun Sungai Musi berkisar 3 - 6 jenis untuk bulan April dan bulan Juli berkisar 4 - 7 jenis, ini menandakan bahwa tingkat kelimpahan taksa tersebut tergolong rendah dimana menurut Plafkin et al. (1989) bahwa total jumlah 0 sampai dengan 10 jenis yang ditemukan di suatu lokasi menunjukkan bahwa lokasi tersebut sudah mengalami gangguan yang berarti dan sebaliknya semakin baik kualitas air maka semakin tinggi keanekaragaman jumlah taksanya serta kondisinya akan semakin bagus, hal ini dapat dimaklumi karena keadaan umum lokasi stasiun yang berada di zona

(3)

dari hasil indeks Storet dimana rata-rata hampir semua stasiun kualitas airnya sudah mengalami pencemaran tingkat sedang sampai berat (Tabel 22).

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Komposisi Jenis (%) Pulokerto Gandus Pre Ogan Kramasan Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong S. Kundur PT SAP P. Borang SST Upang Pre S Cemara Selat Cemara P. payung Tj Buyut Tubifex sp Branchiura sp Haplotaxis sp Lumbriculus sp Nereis sp Nepthys cormuta Cossura sp Chironomous sp Palpomya sp Hydropsche sp Polycentropus sp Gomphoides sp Pila sp Thiara sp M. tuberculata Anentome sp Belamya sp C. javanica A. w oodiana Gammarus sp

Gambar 11 Persentase komposisi jenis makrozoobentos pada bulan April 2007.

Gambar 11 menunjukkan bahwa persentase komposisi jenis pada bulan April yang paling dominan dan melimpah, yang sering ditemukan adalah dari kelas Oligochaeta yaitu jenis Tubifex sp yang dapat ditemukan pada 15 stasiun kecuali tidak ditemukan pada stasiun Pulokerto, Pre Selat Cemara dan Selat Cemara, di mana persentase rata-rata kepadatan relatifnya dari 15 stasiun itu mencapai 68,41 % dari total jenis keseluruhan makrozoobentos yang lainnya, persentase tertingginya terdapat pada stasiun Musi Kramasan, Ampera dan Muara Ogan yaitu sebesar 98.56 %, 89,8 % dan 89,24 %. Jenis lain yang juga sering ditemukan adalah jenis Lumbriculus sp dan Nereis sp yang dapat ditemukan pada 12 stasiun, kemudian diikuti jenis Corbicula javanica yang dapat ditemukan pada 10 stasiun, dan jenis lain seperti Gammarus sp. banyak ditemukan stasiun yang mengarah ke daerah hypopotamal mulai dari stasiun Upang sampai ke stasiun Tanjung Buyut yang paling dekat ke arah estuaria. dan jenis yang lain bervariasi di setiap stasiun sesuai dengan karakteristik kondisi lingkungan perairan seperti Chironomous sp yang banyak ditemukan didaerah pemukiman padat penduduk dan lndustri. Komposisi jenis yang jarang ditemukan dan hanya ditemukan 1 individu pada 1 stasiun pengamatan saja yaitu jenis Pila sp dan Anentome sp, ditemukan pada stasiun Pulokerto, Anodonta woodiana ditemukan pada stasiun Pulau Payung,

Gomphoides sp ditemukan di stasiun PT. SAP dan Palpomya sp ditemukan di

(4)

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% Komposisi Jenis (%) Pulokerto Gandus Pre Ogan Kramasan Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong S. Kundur PT SAP P. Borang SST Upang Pre S Cemara Selat Cemara P. payung Tj Buyut Tubifex sp Polypedilum sp Haplotaxis sp Lumbriculus Nereis sp Nepthys cormuta Namalycastis sp Cossura sp Cirratulus sp Chironomous sp Hydropsche sp Polycentropus sp Gomphoides sp Physa sp Thiara sp M. tuberculata Belamya sp C. javanica A. w oodiana Gammarus sp

Gambar 12 Persentase komposisi jenis makrozoobentos pada bulan Juli 2007 .

Pada bulan Juli persentase jenis Tubifex sp juga masih merupakan komposisi jenis yang paling dominan dan melimpah di mana rata-rata persentase kepadatan relatifnya sebesar 71,64 % dari 15 stasiun yang ditemukan dan jenis ini hanya tidak ditemukan pada stasiun Upang, Selat Cemara dan Pulau Payung. Persentase tertinggi kepadatan Tubifex sp terdapat pada stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan dan Ampera yaitu sebesar 95,74 %, 95,59 % dan 90,88 %. Jenis yang juga sering ditemukan adalah jenis Nereis sp yang dapat ditemukan pada 13 stasiun pengamatan, diikuti dengan Lumbriculus sp ditemukan pada 12 stasiun, kemudian jenis Corbicula javanica ditemukan pada 11 stasiun, dan jenis lainnya adalah

Gammarus sp, jenis dari kelas Polychaeta seperti Nepthys cormuta serta Cossura

sp ditemukan pada stasiun di daerah hypopotamal yang mengarah ke daerah muara. Komposisi jenis yang jarang, dan hanya ditemukan pada satu stasiun saja adalah jenis Physa sp pada stasiun Musi Kramasan, Cirratulus sp dan Anondonta

woodiana di stasiun Pulau Payung, Haplotaxis sp pada stasiun Ampera, Polypedilum sp dan Gomphoides sp ditemukan di stasiun Pulokerto. Adanya

perbedaan komposisi jenis antar stasiun ini tergantung dari tipe substrat dasar perairan dan faktor antropogenik yang mempengaruhi lingkungan perairan.

Dari hasil dendrogram analisis kluster pada bulan April 2007 (Gambar 13) terdapat dua pengelompokkan besar hubungan antara kelimpahan dengan stasiun yaitu kelompok yang pertama adalah kelompok yang kepadatannya rendah yang terdiri dari Stasiun Pulokerto, Selat Cemara, Tanjung Buyut, Pre Selat Cemara, Pulau Payung, Gandus, Pulau Borang dan SST Pulau Burung, Upang, Pre Ogan,

(5)

Sungai Kundur, PT. SAP, Wilmar dan Ampera, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang kepadatannya tinggi terdiri dari Stasiun Musi Kramasan, Hoktong, Pusri dan Muara Ogan. Pada kelompok pertama kepadatan totalnya berkisar dari

yang terkecil 30 ind/m2 pada stasiun Pulokerto sampai dengan yang tertinggi pada

stasiun Ampera 515 ind/m2. Pada kelompok yang kedua kepadatan totalnya

berkisar 1007,5 ind/m2 pada stasiun Pusri dan tertinggi pada stasiun Muara Ogan

yaitu 1557,5 ind/m2.

Diagram pohon untuk variabel Jarak Euclidean Pertalian Tunggal

0 100 200 300 400 500

Jarak pertalian

Muara OganPusri.

Hoktong

Musi.kramasanAmpera

Wilmar PT.SAP

S.Kundur/M.komringPre Ogan

Upang

SST.P.BurungPulau Borang

Gandus Pulau Payung Pre S.Cemara

Tanjung BuyutSelat Cemara

Pulokerto

Gambar 13 Dendogram analisis kluster hubungan kepadatan makrozoobentos dengan stasiun pengambilan sampel pada bulan April 2007.

Diagram Pohon untuk Variabel Jarak Euclidean Pertalian Tunggal

0 200 400 600 800 1000 1200

Jarak Pertalian Musi.kramasanHoktong

Muara OganAmpera Wilmar S.Kundur/M.komringPT.SAP Pusri. Pre OganGandus Pulau PayungSelat Cemara

Upang SST.P.BurungPre S.Cemara Tanjung BuyutPulau Borang Pulokerto

Gambar 14 Dendogram analisa kluster hubungan kepadatan makrozoobentos dengan stasiun pengambilan sampel pada bulan Juli 2007.

Gambar 14 hasil analisis kluster dendogram menunjukkan bahwa pada bulan Juli 2007 juga terdapat tiga pengelompokkan besar hubungan antara kepadatan

(6)

dengan stasiun yaitu kelompok yang pertama adalah kelompok yang kepadatannya rendah yang terdiri dari stasiun Pulokerto, Pulau Borang, Tanjung Buyut, Pre Selat Cemara, SST. Pulau Burung, Upang, Selat Cemara, dan Pulau Payung, kelompok kedua adalah kelompok yang kepadatannya sedang yang terdiri dari stasiun Gandus, Pre Ogan, Pusri, PT. SAP, Sungai Kundur, dan Wilmar sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok yang kepadatannya tinggi terdiri dari stasiun Ampera, Muara Ogan, Hoktong, dan Musi Kramasan. pada kelompok pertama

kepadatan totalnya berkisar dari yang terkecil stasiun Pre Selat Cemara 90 ind/m2

sampai dengan Stasiun Upang 155 ind/m2, untuk kelompok kedua kepadatannya

berkisar mulai dari 250 ind/m2 pada stasiun Gandus sampai pada stasiun Wilmar

535 ind/m2 dan pada kelompok yang ketiga berkisar 767,5 ind/m2 pada stasiun

Ampera dan tertinggi pada stasiun Musi Kramasan yaitu 3405 ind/m2.

Perbandingan kepadatan antar stasiun pada bulan April dan Juli 2007 tersebut tersaji pada Gambar 15.

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 Kepadat a n To ta l (I nd/ m 2 ) Pu lo ke rt o G an dus P re O gan M us i K ra m as an M uar a Og an Am pe ra W ilm ar Pu sr i Ho kt on g S. Ku nd ur PT SAP P. Bo ra ng SS T Up an g Pr e S. C em ar a S el at C em ar a P. Pa yu ng Tj. B uy ut Bulan April Bulan Juli

Gambar 15 Kepadatan total makroozobentos pada bulan April dan Juli 2007. Secara keseluruhan kepadatan jenis makrozoobentos yang tinggi selama 2 kali pengambilan sampel pada bulan April dan Juli 2007 terdapat pada stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan, Hoktong, Pusri, Ampera, Wilmar dan Sungai Kundur dibandingkan pada stasiun lainnya hal ini disebabkan keadaan lokasi stasiun tersebut adalah mewakili daerah pemukiman padat penduduk dan pusat pasar tradisional seperti Ampera, Musi Kramasan, Muara Ogan dan daerah industri seperti pabrik karet Hoktong, pabrik pupuk urea Pusri, pabrik kopi Wilmar, dan Pertamina dekat Sungai Kundur. Dengan adanya hubungan dengan kondisi lingkungan di stasiun yang mendapat pengaruh antropogenik berupa masukan limbah dan bahan organik maka akan menimbulkan kondisi lingkungan yang

(7)

tercemar kemudian diikuti tingginya jumlah makrozoobentos yang berukuran kecil sehingga ini akan mempengaruhi kepadatan total hampir seluruh stasiun pengamatan, dari hasil pengamatan diketahui bahwa 84,03 % yang mendominasi di daerah tersebut adalah jenis Tubifex sp, sebagaimana di ketahui bahwa kelas Oligochaeta seperti Tubifex sp merupakan jenis yang mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap pencemar terutama bahan organik yang tinggi dan tahan pada kandungan oksigen yang rendah, hal ini mengambarkan bahwa adanya pencemaran bahan organik yang ada di daerah tersebut walaupun kadar oksigen terlarutnya masih mendukung kehidupan makrozoobentos, sehingga kepadatannya cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Menurut Hawkes (1979) meningkatnya kandungan bahan organik di perairan maka akan meningkatkan pula jenis-jenis yang tahan terhadap perairan tercemar salah satunya adalah jenis

Tubifex sp. Di samping itu juga tingginya tingkat kepadatan ini disebabkan oleh

substrat dasar perairan di daerah potamal yang cenderung didominasi oleh tipe substrat berlumpur yang salah satunya disebabkan kecepatan arusnya tidak terlalu deras dibandingkan dengan arus yang berada di bagian hulu sehingga kebanyakkan yang ditemukan adalah jenis makrozoobentos yang dominan hidup di substrat berlumpur yang mempunyai tipe cara makan bersifat deposit feeders seperti jenis cacing Oligochaeta dan Polychaeta serta Filter feeders seperti jenis Pelecypoda (Bivalvia). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Wilhm (1975) yang menyatakan bahwa sifat substrat dasar perairan dan penambahan bahan pencemar ke dalam air berpengaruh terhadap kelimpahan, komposisi serta tingkat keanekaragamannya, dimana kepadatan jenis deposit feeders akan maksimal pada substrat yang berlumpur karena kandungan organiknya tinggi.

4.1.2 Indeks Komunitas Ekologi

Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada suatu lingkungan tertentu yang saling berinteraksi dan membentuk tingkat tropik. Konsep komunitas penting di dalam ekologi dan relevan digunakan untuk menganalisa kondisi suatu lingkungan karena komposisi dan karakteristik dari komunitas merupakan indikator yang sangat baik untuk menunjukkan kondisi lingkungan dimana komunitas tersebut berada. Lima karakteristik struktur komunitas adalah keanekaragaman, dominasi, kelimpahan relatif, bentuk dan struktur pertumbuhan serta struktur trofik (Krebs 1989).

(8)

Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) dan indeks biotik Hilsenhoff (HBI) merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan perairan dan kestabilan komunitas berdasarkan komponen biologis. Kondisi lingkungan suatu perairan dikatakan baik atau stabil apabila diperoleh indeks keanekaragaman dan keseragaman yang tinggi, dan indeks dominansi yang rendah. Indeks keseragaman berkorelasi positif dengan indeks keanekaragaman, dimana indeks keseragaman menunjukkan besarnya keseimbangan komposisi dan jumlah individu yang dimiliki oleh setiap genus atau spesies yang menggambarkan keanekaragaman jenis makrozoobentos di suatu kawasan sedangkan indeks dominansi menggambarkan besarnya tingkat dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya dalam suatu kawasan yang menyebabkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman. Menurut Legendre dan legendre (1983), Jika keanekaragaman (H’) sama dengan nol maka komunitas akan terdiri atas spesies tunggal. Nilai keanekaragaman (H’) akan mendekati maksimum jika semua spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan pola penyebaran pada masing-masing spesies.

Tabel 11 Nilai indeks ekologi pada bulan April 2007

No. Stasiun Indeks Dominansi (C) Indeks keanekaragaman (H') Indeks Modifikasi

(April 2007) Keseragaman Indeks

(E) HBI 1. Pulokerto 0.20 2.42 0.93 5.65 2. Gandus 0.29 2.18 0.84 6.61 3. Pre Ogan 0.54 1.24 0.53 7.38 4. Musi Keramasan 0.97 0.12 0.07 7.95 5. Muara Ogan 0.80 0.62 0.31 7.77 6. Ampera 0.81 0.62 0.26 7.78 7. Wilmar 0.42 1.59 0.62 7.17 8. Pusri 0.86 0.48 0.21 7.84 9. Hoktong 0.80 0.66 0.28 7.76 10. Sungai Kundur 0.62 1.13 0.49 7.53 11. PT. SAP 0.57 1.24 0.54 7.42 12. Pulau Borang 0.56 1.36 0.52 7.30 13. SST. P. Burung 0.52 1.48 0.57 7.31 14. Upang 0.39 1.62 0.69 5.70

15. Pre Selat Cemara 0.43 1.54 0.66 5.40

16. Selat Cemara 0.46 1.29 0.82 4.80

17. Pulau Payung 0.25 2.16 0.83 5.72

(9)

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 Pu lo ke rt o G an dus Pr e O gan M usi K e ra m asan M ua ra O gan Am pe ra W ilm ar Pu sr i H o kt ong S u ngai K un dur PT. S A P P ul au B or ang SS T. P . Bu ru n g U p ang Pr e S e la t Ce m ar a Se la t Ce m ar a Pu la u P a yu n g T a nj un g B u yut Inde k s H ' da n D 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Inde k s E da n H B I (C) (H') (E) HBI

Gambar 16 Hubungan ke empat indeks ekologi pada bulan April 2007.

Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman yang tinggi terdapat di stasiun Pulokerto, Tanjung Buyut, Pulau Payung, Gandus yang berkisar antara 2,16 – 2,42 dan nilai indeks keseragamannya juga tinggi berkisar 0,83 – 0,93 sedangkan nilai indeks dominansinya tergolong rendah yang berkisar 0,20 - 0,29, hal ini menunjukkan bahwa kondisi komunitas lingkungan perairan di stasiun tersebut cukup stabil. Nilai keanekaragaman yang tinggi juga menunjukkan jenis makrozoobentos yang lebih beragam dimana jumlah taksanya lebih banyak dan menunjukkan ada hubungannya dengan kondisi lingkungannya, semakin tinggi keanekaragaman berarti kondisi lingkungannya semakin baik dan komunitasnya tergolong stabil.

Nilai indeks keanekaragaman yang paling rendah terdapat di stasiun muara Musi Kramasan, Pusri, Muara Ogan, Ampera, dan Hoktong yang berkisar 0,12 – 0,66 kemudian juga dikuti dengan rendahnya nilai indeks keseragaman di bawah 0,50 yaitu berkisar antara 0,07 – 0,31, sedangkan nilai indeks dominansinya cukup tinggi yang berkisar antara 0,80 - 0,97, hasil analisis indeks dominansi ini sejalan dengan hasil analisis indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman dimana nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman yang rendah biasanya diikuti dengan nilai indeks dominansi yang tinggi begitu juga sebaliknya. Tingginya nilai indeks dominansi ini disebabkan tingginya jumlah jenis makrozoobentos yang berukuran kecil sehingga ini akan mempengaruhi beberapa individu jenis yang lainnya atau dengan kata lain mendominasi sehingga mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan ekosistem yang kemungkinan disebabkan adanya gangguan secara alami atau kegiatan antropogenik yang menimbulkan tekanan lingkungan, sehingga hanya beberapa jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup seperti

(10)

halnya jenis Tubifex sp yang mempunyai kisaran toleransi hidup yang tinggi terhadap bahan pencemar, hal ini dapat terlihat bahwa jenis makrozoobentos pada stasiun yang mempunyai nilai HBI yang tinggi dan nilai indeks keanekaragaman rendah seperti pada daerah muara Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera dan Pusri dimana yang mendominasi adalah dari kelas Oligochaeta yaitu Tubifex sp dan Lumbriculus sp. Salah satu penyebab lain kecilnya nilai indeks keanekaragaman adalah tipe substrat yan bertipe liat berlumpur karena menurut Koesbiono (1979) dasar perairan yang berupa pasir atau sedimen halus merupakan lingkungan yang kurang baik bagi hewan bentos selain tipe dari jenis

deposit feeders dimana pada substrat halus kandungan oksigennya tidak begitu

banyak akan tetapi kandungan nutrien berlimpah.

Pada stasiun Pre Selat Cemara dan Selat Cemara walaupun komposisi taksanya rendah yaitu 5 jenis dan 3 jenis namun nilai indeks keanekaragamannya sedang 1,54 dan 1,29 sedangkan untuk nilai indeks keseragamannya tinggi yaitu 0,66 dan 0,82 serta nilai indeks dominansi tergolong rendah sampai sedang dibawah 0,50 yaitu 0,43 dan 0,46 hal ini dipengaruhi pola penyebaran dan kepadatan yang merata sehingga tidak ada jenis yang terlalu mendominasi di samping itu juga dipengaruhi oleh keadaan karakteristik habitat dan substrat dasar perairannya yang bertipe substrat lempung berliat dan lempung sehingga dapat disimpulkan bahwa rendah jumlah taksa yang ditemukan belum tentu kondisi lingkungannya kurang baik tetapi juga bisa dipengaruhi oleh faktor lainnya. Menurut Odum (1971) penilaian tercemar tidaknya suatu ekosistem tidak sedemikian mudah terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang stabil dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau juga tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada perairan tersebut.

Tabel 12 Nilai indeks ekologi pada bulan Juli 2007

No. Stasiun Indeks Indeks Indeks Modifikasi

( Juli 2007) Dominansi keanekaragaman Keseragaman Indeks

(C) (H') (E) HBI 1. Pulokerto 0.28 2.19 0.78 5.75 2. Gandus 0.71 0.89 0.39 7.68 3. Pre Ogan 0.74 1.07 0.41 7.59 4. Musi Keramasan 0.92 0.72 0.31 7.90 5. Muara Ogan 0.93 0.25 0.13 8.07 6. Ampera 0.83 0.56 0.24 7.81 7. Wilmar 0.41 1.56 0.60 7.37 8. Pusri 0.54 1.32 0.57 7.65

(11)

Lanjutan Tabel 12

No. Stasiun Indeks Indeks Indeks Modifikasi

( Juli 2007) Dominansi (C) Keanekaragaman (H') Keseragaman (E) Indeks HBI 9. Hoktong 0.88 0.43 0.18 7.85 10. Sungai Kundur 0.9 1.01 0.39 7.53 11. PT. SAP 0.66 1 0.43 7.59 12. Pulau Borang 0.48 1.46 0.63 6.87 13. SST. P. Burung 0.48 1.59 0.61 7.06 14. Upang 0.32 1.87 0.72 4.40

15. Pre Selat cemara 0.37 1.71 0.66 5.75

16. Selat Cemara 0.29 1.89 0.81 4.57 17. Pulau Payung 0.24 2.23 0.79 4.80 18. Tanjung Buyut 0.28 2.06 0.80 5.83

0 0.5 1 1.5 2 2.5 Pu lo ke rt o G and us P re O gan Mu si K er ama sa n M uar a O gan A m per a Wi lm ar Pu sr i H ok tong S ungai K undur PT . SA P P ul au B or ang SS T . P . Bu ru ng Up an g Pr e S el at c em ar a Se la t C em ar a P ul au P ay ung T anj ung B uy ut Indek s H' , E , da n D 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 In d e k s HBI (C) (H') (E) HBI

Gambar 17 Hubungan ke empat indeks ekologi pada bulan Juli 2007.

Gambar 17 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman yang tinggi dapat ditemukan di stasiun Pulau Payung, Pulokerto, Tanjung Buyut, yang berkisar antara 2,06 – 2,23, tingginya nilai indeks keanekaragaman ini disebabkan hampir meratanya jumlah individu dalam stasiun tersebut. Di samping itu juga pada ketiga stasiun ini mempunyai nilai indeks keseragamannya tinggi yang berkisar 0,78 – 0,80, semakin tinggi nilai indeks keseragaman suatu perairan (mendekati 1) maka kelimpahan pada masing-masing jenis cukup merata dan tidak ada kecenderungan spesies tertentu yang mendominasi dan ini terlihat pada nilai indeks dominansinya tergolong rendah yang berkisar 0,24--0,28, Hal ini menunjukkan kondisi lingkungan perairan di stasiun tersebut masih cukup baik belum memperlihatkan tekanan ekologis dan komunitas tergolong stabil.

Nilai indeks keanekaragaman yang rendah terdapat di stasiun Muara Ogan, Hoktong, Ampera, Musi Kramasan dan Gandus, yang berkisar 0,25–0,89, kemudian juga dikuti dengan rendahnya nilai indeks keseragaman berkisar antara 0,13–0,39, sedangkan nilai indeks dominansinya cukup tinggi yang berkisar antara

(12)

0,71-0,93, Tingginya nilai indeks dominansi menggambarkan kondisi perairan tidak stabil dan kemungkinan tercemar sehingga mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan ekosistem yang dapat disebabkan adanya tekanan atau gangguan dari lingkungan, sehingga hanya beberapa jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup seperti halnya Tubifex sp yang mempunyai kisaran toleransi hidup yang tinggi terhadap bahan pencemar. Hal ini dapat terlihat bahwa jenis makrozoobentos pada stasiun yang mempunyai nilai indeks keanekaragaman rendah dan nilai indeks HBI yang tinggi seperti pada daerah Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera dan Pusri yang mendominasi adalah dari kelas Oligochaeta yaitu jenis Tubifex sp dan jenis Lumbriculus sp. Kecenderungan dominasi yang tinggi tersebut diduga terkait erat dengan kecenderungan prilaku kelas Oligochaeta untuk membentuk kelompok dan koloni.

4.1.3 Modifikasi Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI)

Indeks biotik Hilsenhoff adalah indeks yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan berdasarkan biota perairan. Dalam modifikasi indeks ini, jenis-jenis hewan makrozoobentos mempunyai nilai toleransi yang berbeda-beda yang menggambarkan daya tahan spesies tersebut terhadap tingkat kualitas air. Semakin tinggi nilai toleransi yang dimiliki suatu spesies makrozoobentos maka hewan tersebut tergolong ke dalam jenis yang toleran terhadap kondisi perairan yang ekstrim, seperti pencemaran bahan organik (Hilsenhoff 1988).

Tabel 13 Kategori kualitas air berdasarkan nilai HBI

No. Stasiun April 2007

Kategori

kualitas air Juli 2007

Kategori kualitas air

1 Pulokerto 5.65 Sedang 5.75 Sedang

2 Gandus 6.61 Agak buruk 7.68 Sangat buruk 3 Pre Ogan 7.38 Sangat buruk 7.59 Sangat buruk 4 Musi Keramasan 7.95 Sangat buruk 7.90 Sangat buruk 5 Muara Ogan 7.77 Sangat buruk 8.07 Sangat buruk 6 Ampera 7.78 Sangat buruk 7.81 Sangat buruk

7 Wilmar 7.17 Buruk 7.37 Sangat buruk

8 Pusri 7.84 Sangat buruk 7.65 Sangat buruk 9 Hoktong 7.76 Sangat buruk 7.85 Sangat buruk 10 Sungai Kundur 7.53 Sangat buruk 7.53 Sangat buruk 11 PT. SAP 7.42 Sangat buruk 7.59 Sangat buruk

12 Pulau Borang 7.30 Sangat buruk 6.87 Buruk

13 SST. P. Burung 7.31 Sangat buruk 7.06 Buruk

14 Upang 5.70 Sedang 4.40 Baik

15 Pre Selat Cemara 5.40 Sedang 5.75 Sedang

16 Selat Cemara 4.80 Baik 4.57 Baik

17 Pulau Payung 5.72 Sedang 4.80 Baik

(13)

Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai HBI pada dua kali pengambilan sampel di beberapa stasiun terdapat variasi perbedaan kualitas air menjadi menurun seperti di stasiun Gandus dan Wilmar yang sebelumnya dikategorikan agak buruk dan buruk menurun menjadi sangat buruk begitu juga pada stasiun Tanjung Buyut dimana pada bulan April kualitas airnya sedang menurun menjadi agak buruk. Selain perubahan kualitas air yang menurun juga ada perubahan yang kualitas airnya meningkat pada bulan Juli yaitu pada stasiun Upang dan Pulau Payung yang kriterianya buruk dan sedang meningkat menjadi kualitas air yang baik.

Selain stasiun tersebut diatas, kategori kualitas air semuanya tergolong sangat buruk baik pada bulan April maupun Juli 2007 yaitu pada stasiun Pre Ogan, Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera, Pusri, Hoktong, Sungai Kundur, PT.SAP, Pulau Borang dan SST. Pulau Burung hal ini kemungkinan adanya pengaruh antropogenik dan tata guna lahan di sekitar badan Sungai Musi di wilayah stasiun tersebut seperti adanya industri sehingga kemungkinan menerima limbah pencemaran lebih tinggi dari pada stasiun yang tergolong agak buruk sampai baik. Hal ini juga di dukung oleh komposisi jenis makrozoobentosnya di semua wilayah stasiun tersebut yang sebagian besar didominasi oleh kelas Oligochaeta jenis

Tubifex sp dan Lumbriculus sp yang merupakan jenis toleran terhadap pencemaran

terutama bahan organik dan tahan pada gas oksigen terlarut yang rendah sedangkan jenis yang intoleran yang ditemukan sangat sedikit sekali yaitu

Gomphoides sp.

Tabel 14 Hubungan kriteria Ika-Storet dengan indeks biotik pada bulan April 2007

April 2007 IKA-Storet Shanon Wiener Modifikasi Indeks

Biotik Hilsenhoff

No. Stasiun Nilai Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori

1. Pulokerto -18 Sedang 2.42 Tinggi 5.65 Sedang 2. Gandus -18 Sedang 2.18 Tinggi 6.61 Agak buruk 3. Pre Ogan -18 Sedang 1.24 Sedang 7.38 Sangat buruk 4. Musi Keramasan -36 Buruk 0.12 Rendah 7.95 Sangat buruk 5. Muara Ogan -40 Buruk 0.62 Rendah 7.77 Sangat buruk 6. Ampera -36 Buruk 0.62 Rendah 7.78 Sangat buruk 7. Wilmar -36 Buruk 1.59 Sedang 7.17 Buruk 8. Pusri -36 Buruk 0.48 Rendah 7.84 Sangat buruk 9. Hoktong -36 Buruk 0.66 Rendah 7.76 Sangat buruk 10. Sungai Kundur -22 Sedang 1.13 Sedang 7.53 Sangat buruk 11. PT. SAP -12 Sedang 1.24 Sedang 7.42 Sangat buruk 12. Pulau Borang -16 Sedang 1.36 Sedang 7.30 Sangat buruk 13. SST. P. Burung -16 Sedang 1.48 Sedang 7.31 Sangat buruk

14. Upang -4 Baik 1.62 Sedang 5.70 Sedang

15. Pre S. Cemara -22 Sedang 1.54 Sedang 5.40 Sedang 16. Selat Cemara -22 Sedang 1.29 Sedang 4.80 Baik 17. Pulau Payung -26 Sedang 2.16 Tinggi 5.72 Sedang 18. Tanjung Buyut -18 Sedang 2.30 Tinggi 5.24 Sedang

(14)

Tabel 15 Hubungan kriteria Ika-Storet dengan indeks biotik pada bulan Juli 2007

Juli 2007 IKA-Storet Shanon Wiener Modifikasi Indeks

Biotik Hilsenhoff

No. Stasiun Nilai Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori

1. Pulokerto -18 Sedang 2.19 Tinggi 5.75 Sedang 2. Gandus -32 Buruk 0.89 Rendah 7.68 Sangat buruk 3. Pre Ogan -36 Buruk 1.07 Sedang 7.59 Sangat buruk 4. Musi Keramasan -36 Buruk 0.72 Rendah 7.90 Sangat buruk 5. Muara Ogan -36 Buruk 0.25 Rendah 8.07 Sangat buruk 6. Ampera -36 Buruk 0.56 Rendah 7.81 Sangat buruk 7. Wilmar -36 Buruk 1.56 Sedang 7.37 Sangat buruk 8. Pusri -36 Buruk 1.32 Sedang 7.65 Sangat buruk 9. Hoktong -36 Buruk 0.43 Rendah 7.85 Sangat buruk 10. Sungai Kundur -36 Buruk 1.01 Sedang 7.53 Sangat buruk 11. PT. SAP -18 Sedang 1.00 Sedang 7.59 Sangat buruk 12. Pulau Borang -18 Sedang 1.46 Sedang 6.87 Buruk 13. SST. P. Burung -36 Buruk 1.59 Sedang 7.06 Buruk 14. Upang -18 Sedang 1.87 Sedang 4.40 Baik 15. Pre S Cemara -18 Sedang 1.71 Sedang 5.75 Sedang 16. Selat Cemara -26 Sedang 1.89 Sedang 4.57 Baik 17. Pulau Payung -26 Sedang 2.23 Tinggi 4.80 Baik 18. Tanjung Buyut -54 Buruk 2.06 Sedang 5.83 Agak buruk

Tabel 14 dan 15 menunjukkan bahwa bahwa pada ke 18 stasiun pengukuran memperlihatkan variasi perbedaan dan kesesuaian antara metode indeks Storet, indeks Shanon-Wiener dan indeks HBI, terdapat kesesuaian yang lebih antara metode IKA-Storet dengan indeks HBI dibandingkan dengan indeks Shanon Wiener. perbedaan tersebut dikarenakan pada indeks HBI memperhatikan tingkat kepekaan jenis terhadap kondisi lingkungan perairannya di mana setiap spesies memiliki nilai toleransi sesuai dengan tingkat kepekaannya terhadap perubahan lingkungan perairan dan dari hasil yang ditemukan di dominasi jenis yang toleran sehingga mempengaruhi kategori penilaian yang kebanyakkan tergolong ke dalam kriteria buruk dan sangat buruk dibandingkan dengan indeks Shanon-Wiener yang hanya berupa parameter keanekaragaman jenis saja tanpa memperhatikan tingkat kepekaan jenis terhadap kondisi lingkungan perairannya. Menurut Odum (1971). Penilaian tercemar tidaknya suatu ekosistem tidak hanya melihat hubungan keanekaragaman dalam komunitasnya saja tetapi tergantung juga dari jenis individu dan fungsi aliran energi yang terdapat di suatu perairan.

Pada bulan April terdapat kesesuaian hubungan antara indeks Storet, indeks HBI, indeks Shanon Wiener dimana terdapat kesamaan kriteria kualitas air pada 10 stasiun antara indeks Storet dengan indeks HBI dan antara indeks Storet terhadap indeks Shanon Wiener sehingga apabila digabungkan ketiga komponen penilai

(15)

indeks kualitas air ke dalam suatu dendrogram analisis pengelompokkan berdasarkan analisis kluster tersaji pada Gambar 18 sebagai berikut :

Diagram Pohon untuk Variabel Jarak Euklidean Pertalian Tunggal Muara O gan Wilmar Pu sr i H oktong Ampera Musi K ramasan Pre O gan G andus S S T .P .B urung P ulau B orang PT. SAP S .K undur/M.komring P ulau P ayung Upang Se la t Ce ma ra Pr e S. Ce ma ra T anjung B uyut Pu lo ke rt o 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Jarak P e rtalian

Gambar 18 Dendrogram analisis kluster pengelompokkan stasiun berdasarkan hubungan 3 indeks kualitas air pada bulan April 2007.

Dari hasil dendrogram analisis kluster diatas disimpulkan bahwa pada bulan April 2007 kategori kualitas airnya dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok besar yaitu tercemar berat terdapat di stasiun Muara Ogan, Wilmar, Pusri, Hoktong, Ampera, dan Musi Kramasan, tercemar sedang terdapat di stasiun, Sungai Kundur, PT.SAP, SST. Pulau Burung, Pulau Borang, Pre Ogan dan Gandus serta tercemar ringan terdapat di stasiun Upang, Pulau Payung, Selat Cemara, Pre Selat Cemara Tanjung Buyut dan Pulokerto.

Pada bulan Juli 2007 juga terdapat kesesuaian hubungan indeks Storet, indeks HBI, indeks Shanon Wiener dimana terdapat 13 stasiun yang sama antara indeks Storet dengan indeks HBI dan 12 stasiun yang sama antara indeks Storet terhadap indeks Shanon Wiener sehingga apabila digabungkan ketiga komponen penilai indeks kualitas air ke dalam suatu dendrogram pengelompokkan analisis kluster (Gambar 19) yang dapat disimpulkan bahwa pada bulan Juli kategori kualitas airnya dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok besar yaitu tercemar berat pada stasiun Muara Ogan, Hoktong, Ampera, Musi Kramasan, Pusri, Sungai Kundur dan Pre Ogan, tercemar sedang terdapat pada stasiun Gandus, Wilmar,

(16)

Pulau Borang, SST. Pulau Burung PT. SAP dan Tanjung Buyut serta tercemar ringan pada stasiun Upang, Selat Cemara, Pulau Payung, Pre Selat Cemara dan Pulokerto.

Diagram Pohon untuk Variabel Jarak Euklidean Pertalian Tunggal Pu sr i Muara O gan H oktong Ampera Musi K ramasan S .K undur/M.komring P re O gan T anjung B uyut PT. SAP S S T .P .B urung P ulau B orang Wilmar G andus Se la t Ce ma ra U pang Pr e S. Ce ma ra P ulau P ayung Pu lo ke rt o 0 2 4 6 8 10 12 14 Jarak P e rtalian

Gambar 19 Dendrogram analisis kluster pengelompokkan stasiun berdasarkan hubungan 3 indeks kualitas air pada bulan Juli 2007.

Diagram Pohon ntuk Variabel Jarak Euklidean Pertalian Tunggal

Wilmar

Muar

a Ogan Pusri Hoktong Amper

a Mus i Kr amas an Tanjung Buy u t SST. P .B ur ung Pulau Bor ang PT.SAP S. Kundur /M. ko mr ing Pr e Ogan Gandus Selat Cemara U pang Pulau Pay ung Pre S.Cemara Pulokerto 0 2 4 6 8 10 12 Ja ra k Pe rta lia n

Gambar 20 Dendrogram analisis kluster pengelompokkan stasiun berdasarkan hubungan 3 indeks kualitas air pada bulan April dan Juli 2007.

(17)

Apabila dihubungkan dengan 2 kali periode pengambilan berdasarkan gabungan pengelompokkan analisis kluster indeks kualitas air pada bulan April dan Juli 2007 maka akan dapat ditemukan suatu tren pola pengelompokkan stasiun berdasarkan sumber pencemarnya ke dalam 3 kategori kualitas air yaitu kelompok pertama ; tercemar berat mulai dari stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera, Wilmar, Pusri, sampai Hoktong dimana daerah ini merupakan daerah kawasan industri dan pemukiman padat penduduk yang berada dekat pusat kota yang terdiri dari industri besar seperti pabrik semen, pabrik pupuk urea, Pertamina, beberapa pabrik pengolahan karet (crumb rubber), pabrik kopi dan pusat pasar tradisional 16 ilir sehingga sumber limbah dari berbagai kegiatan antropogenik dan aktivitas industri menyebabkan turunnya mutu kualitas air menjadi buruk menyebabkan komunitas biota air di lingkungan perairan tersebut tidak stabil dan terganggu hal ini ditandai dengan adanya nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman yang rendah, kepadatan tinggi, serta nilai indeks dominansinya yang tinggi yang di dominasi oleh jenis Oligochaeta seperti Tubifex sp serta dicirikan dengan tingginya beberapa parameter seperti amonia, nitrit, klorida diatas ambang baku mutu yang

ditetapkan dan kandungan BOD5, COD yang juga cukup tinggi dibandingkan

dengan beberapa stasiun yang lainnya, hal ini menandakan bahwa di lokasi tersebut mengalami pencemaran berat atau mengalami gangguan besar dimana menurut Plafkin et al. (1989) kriteria kondisi biologi lingkungan yan tercemar berat

adalah tidak ditemukannya jenis EPT (Ephemeroptera, Plecoptera dan

Trichoptera), jenis yang toleran mendominasi, kepadatan organismenya tinggi yang didominasi dari 1 atau 2 taksa saja.

Kelompok kedua ; tercemar sedang terdapat di stasiun Pulokerto, Pulau Borang, PT.SAP, Pre Selat Cemara, Gandus, Pre Ogan, SST. Pulau Burung dan Tanjung Buyut dimana daerah ini sudah jauh dari pusat kota sehingga tidak terlalu banyak terdapat pemukiman padat penduduk dan kawasan industri, sumber pencemar industri di kawasan ini seperti pabrik karet (crumb rubber) yang banyak terdapat di Gandus dan Pre Ogan, pabrik minyak goreng di PT. SAP dan pabrik tekstil dan Pulp di stasiun Pulau Borang dan SST. Pulau Burung, limbah domestik serta Pertamina di Stasiun Sungai Kundur sedangkan sumber yang lainnya kemungkinan berasal dari akumulasi pencemaran limbah pertanian lahan kering dan persawahan yang masuk dalam perairan yang terbawa oleh limpasan air sungai sehingga mutu kualitas airnya turun menjadi sedang seperti pada stasiun Tanjung Buyut. Hal ini dapat ditandai dengan rata-rata nilai indeks

(18)

keanekaragamannya sedang dan nilai indeks dominansinya rendah sampai sedang serta kepadatannya rendah sampai sedang dan juga ditandai sudah munculnya kelompok dari jenis EPT seperti spesies fakultatif Hydropsche sp, dominasi dari jenis toleran spesies seperti Tubifex sp sudah berkurang, dicirikan dengan adanya nilai amonia, nitrit, klorida yang tinggi dan nilai TDS yang tinggi di stasiun Pre Ogan dan Tanjung Buyut.

Kelompok ketiga ; tercemar ringan terdapat di stasiun Pulokerto, Upang, Selat Cemara, Pre Selat Cemara dan Pulau Payung, stasiun ini kecuali Pulokerto merupakan stasiun yang jauh dari pusat kota dan mengarah ke arah hypopotamal (muara) sumber pencemarnya kemungkinan dari limbah pertanian dan akumulasi dari bagian hulunya karena cakupan daerahnya semakin luas. Komunitas pada daerah ini tergolong masih stabil, dimana pada stasiun Selat Cemara dan Pre Selat Cemara merupakan stasiun referensi yang kondisi habitatnya masih cukup baik untuk mendukung kehidupan biota perairan. Hal ini ditandai dengan nilai indeks dominansi yang rendah, kepadatannya sedang serta didominasi oleh Gammarus sp jenis yang mengindikasikan adanya pemulihan air bersih (self Purification) di daerah tersebut (mulai stasiun Upang sampai Pulau Payung).

Adanya daerah yang tercemar ringan di daerah yang mengarah ke arah muara (stasiun Upang sampai stasiun Pulau Payung) dibandingkan dengan staisun sebelumnya disebabkan karena adanya beberapa sebab diantaranya adanya bahan pencemar dari stasiun yang banyak terdapat aktivitas antropogenik yang ditransportasikan dalam jarak yang sangat jauh dan membutuhkan waktu sehingga dalam perjalanannya dipengaruhi oleh stabilitas perairan, sifat fisik dari bahan pencemar dan kecepatan aliran dari perairan tersebut serta kondisi hidrodinamika yang berbeda pada daerah yang dilaluinya yang berkaitan dengan perbedaan model pencampuran (mixing), penyebaran (dispersion), laju penguraian dan pengenceran serta laju reaerasi (difusi oksigen di permukaan air) menyebabkan air terpurifikasi sehingga kualitas air di stasiun yang mengarah ke arah muara menjadi lebih baik dibandingkan dengan stasiun yang berada dekat kota Palembang disamping itu juga dikarenakan karakteristik Sungai Musi yang kompleks yang juga mengalami pasang surut dua kali dalam sehari mempengaruhi gelombang untuk mempercepat perairan melakukan proses purifikasi.

(19)

4.1.4 Pola Sebaran Jenis Makrozoobentos

Pola penyebaran dalam komunitas dipengaruhi oleh adanya perubahan lingkungan dimana komunitas tersebut berada, selain itu pola sebaran biota dalam komunitas juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu substrat yang merupakan habitat suatu spesies, ketersediaan makanan dalam bentuk detritus dan partikel tersuspensi, pengaruh faktor ekologis seperti faktor fisika, kimia dan lingkungan serta strategi adaptasi dan interaksi biologis antar populasi yang terdapat dalam komunitas perairan tersebut. Untuk mengetahui bagaimana pola penyebaran jenis spesies dalam suatu komunitas digunakan indeks pola penyebaran Morisita dan kemudian diuji kebenarannya dengan menggunakan uji statistika yaitu sebaran chi

square. Terdapat 2 pola penyebaran makrozoobentos di perairan Sungai Musi

bagian hilir yaitu pola yang bersifat mengelompok dan pola yang bersifat seragam seperti tersaji pada Tabel 16 dan 17 sebagai berikut :

Tabel 16 Pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan April 2007

Jenis Organisme

(Periode April 2007) Id X2 Hitung Pola Sebaran

Tubifex sp 2,54 4013,55 Mengelompok

Branchiura sp 9 34 Mengelompok

Haplotaxis sp 9 4 Mengelompok

Lumbriculus sp 2,43 264,62 Mengelompok

Nereis sp 1,25 34,04 Mengelompok

Nephtys cormuta 4,13 173,82 Mengelompok

Cossura sp 2,17 23 Mengelompok Chironomous sp 2,17 32,28 Mengelompok Palpomya sp 6 27 Mengelompok Hydropsche sp 1,28 19 Mengelompok Polycentropus sp 1,28 19 Mengelompok Gomphoides sp 0 17 Seragam

Pila ampullacea 0 17 Seragam

Thiara sp 18 51 Mengelompok

Melanoides tubeculata 6 27 Mengelompok

Anentome sp 0 17 Seragam

Belamya sp 5,25 80,75 Mengelompok

Corbicula javanica 2,57 275,83 Mengelompok

Anodonta woodiana 0 17 Seragam

Gammarus sp 4,56 273,43 Mengelompok

Tabel 16 menunjukkan bahwa terdapat 2 pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan April 2007 yaitu bersifat mengelompok dan bersifat seragam. Pola seragam dimiliki oleh jenis Gomphoides sp, Pila ampullacea, Anentome sp dan

(20)

Tabel 17 Pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan Juli 2007 Jenis Organisme (Periode Juli 2007) Id X2 Hitung Pola Sebaran Tubifex sp 3,66 10240,40 Mengelompok Haplotaxis sp 3 34 Mengelompok Lumbriculus sp 2,45 196,98 Mengelompok Nereis sp 1,59 48,66 Mengelompok Namalycastis sp 3 23 Mengelompok

Nephtys cormuta 3,43 214,56 Mengelompok

Cossura sp 3 23 Mengelompok Cirratulus sp 0 17 Seragam Chironomous sp 2,22 41,57 Mengelompok Polypedillum sp 3 34 Mengelompok Hydropsche sp 3,6 30 Mengelompok Polycentropus sp 0 14 Seragam Gomphoides sp 0 17 Seragam Physa sp 18 34 Mengelompok Thiara sp 7,2 41,8 Mengelompok

Melanoides tubeculata 9,42 67,57 Mengelompok

Belamya sp 3,58 84,33 Mengelompok

Corbicula javanica 2,70 427,86 Mengelompok

Anodonta woodiana 3,58 84,33 Mengelompok

Gammarus sp 3,51 240,8 Mengelompok

Tabel 17 menunjukkan bahwa pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan Juli 2007 juga terdapat 2 pola yaitu bersifat mengelompok dan bersifat seragam. Pola seragam dimiliki oleh jenis Cirratulus sp, Polycentropus sp, Gomphoides sp dan jenis yang lainnya adalah mengelompok.

Pola penyebaran yang bersifat mengelompok terjadi karena jenis-jenis yang ditemukan berada dalam jumlah yang banyak dan mendominasi pada suatu area. Pola hidup mengelompok di duga berkaitan erat antar spesies dan saling berhubungan. Sifat mengelompok ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kondisi lingkungan, tipe substrat, kebiasaan makan dan cara mereka berproduksi, hal inilah yang membuat mereka hidup bergerombol. Dari 2 kali pengambilan sampel makrozoobentos terlihat bahwa pola sebaran mengelompok ini kebanyakkan berasal dari kelas Oligochaeta dan Polychaeta yang cenderung berkelompok dan berkoloni hal ini dipengaruhi oleh tipe cara makan dan tipe substrat dasar perairan, Menurut APHA (1989) pada dasar perairan yang relatif homogen, maka organismenya cenderung mengelompok. Di Sungai Musi bagian hilir pada dasar perairannya relatif sama didominasi oleh substrat berlumpur sehingga cocok bagi kelas tersebut yang bersifat deposit feeders.

Penyebaran yang bersifat mengelompok ini memiliki kecenderungan dalam berkompetisi dengan jenis lainnya, terutama dalam hal makanan serta memiliki sifat

(21)

mobilitas yang rendah sehingga sukar menyebar dan berpindah tempat. Pola

penyebaran mengelompok merupakan respon terhadap lingkungan yang kurang mendukung karena adanya perbedaan faktor fisika dan kimia yang terdapat pada masing-masing stasiun, sehingga organisme tersebut berkelompok mencari habitat yang sesuai (Nybakken 1992). Pola penyebaran yang bersifat seragam kemungkinan dapat disebabkan adanya pengaruh komposisi pasir yang rendah di stasiun yang terdapat jenis yang pola sebarannya bersifat seragam selain itu juga disebabkan kurangnya cadangan makanan di lokasi tersebut. Menurut Odum (1993), pola penyebaran seragam dapat terjadi dimana persaingan diantara individu sangat keras sehingga akan mendorong pembagian ruang untuk habitat bentos. Sebenarnya jenis pola sebaran seragam sangat jarang ditemukan, seragam disini dapat diartikan sebagai seragam dengan pola sebaran acak yakni di dalam sebaran jenis yang acak terdapat jenis-jenis yang seragam sebarannya.

4.1.5 Spesies Bioindikator

Setiap spesies mempunyai batas antara toleransi terhadap suatu faktor yang ada di lingkungan berdasarkan teori Shelford (Odum 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga dan sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit. Perbedaan batas toleransi antara dua jenis populasi terhadap faktor lingkungan mempengaruhi kemampuan berkompetisi, jika sebagian akibat suatu pencemaran limbah industri terhadap suatu lingkungan adalah berupa penurunan kadar oksigen terlarut dalam air maka spesies yang mempunyai toleransi terhadap kondisi itu akan meningkatkan populasinya karena spesies kompetisinya berkurang (Sastrawijaya 1991). Dari Lampiran 4 makrozoobentos yang dapat dijadikan sebagai bioindikator adalah sebagai berikut :

a. Makroozobentos yang bersifat intoleran

Makrozoobentos yang bersifat intoleran adalah makrozoobentos yang mampu hidup dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai pada perairan yang kaya bahan organik atau tercemar, kelompok ini tidak dapat berkembang dengan baik apabila terjadi penurunan kualitas lingkungan

(22)

(Wilhm 1975). Jenis yang bersifat intoleran beberapa diantaranya jenis yang berasal dari kelompok EPT yaitu dari kelas trichoptera, jenis Polycentropus sp dan

Hydropsche sp yang persentase dominannya ditemukan pada stasiun yang kondisi

lingkungan masih sedkit lebih baik dibandingkan dengan stasiun yang lainnya, ini ditemukan di stasiun Pulokerto, Pre Selat Cemara, dan di stasiun Gandus pada bulan April, rendahnya kehadiran dari kelompok EPT dapat mengindikasikan adanya kondisi lingkungan perairan yang menurun atau tercemar. Menurut Mackie (1998) bahwa beberapa jenis makrozoobentos dari kelompok EPT adalah jenis yang membutuhkan kualitas air dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi diatas 50 % dan tingkatan tropiknya diatas mesotropik.

Kelimpahan untuk kelompok EPT (Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera) sangat rendah hanya ditemukan di beberapa stasiun yang jumlah jenis dan individu sedikit 1 atau 2 saja. Kecuali pada bulan Juli di stasiun Pulokerto ditemukan 3 individu dari 1 jenis saja, untuk stasiun yang lainnya kelompok EPT ditemukan pada stasiun Gandus, Pre Ogan dan stasiun yang mengarah ke zona

hypopotamal mulai stasiun PT. SAP sampai dengan Pre Selat Cemara. Pada bulan

April ditemukan pada stasiun Pulokerto ada 4 individu dari ordo Trichoptera yang terdiri dari 2 famili yaitu Hydropsche sp dan Polycentropus sp, stasiun Gandus ada 2 individu yaitu jenis Hydropsche sp, dan untuk jenis lainnya ditemukan 1 individu saja di 4 stasiun yang mengarah kearah hypopotamal yaitu stasiun Pulau Borang, SST, Upang Jaya, Pre Selat Cemara dan Selat Cemara.

Untuk jenis Plecoptera dan Ephemeroptera tidak ditemukan pada saat 2 kali pengambilan sampel hal ini dikarenakan kedua jenis itu merupakan jenis yang bersifat intoleran atau sensitif terhadap pencemaran dan habitatnya cenderung di air bersih sedangkan selama 2 pengambilan sampel air sungainya berwarna keruh kecoklatan, Menurut Plafkin et al. (1989) bahwa semakin tinggi keanekaragamannya maka kondisi biologinya semakin bagus. Dari hasil ini dapat dilihat tren bahwa kelompok EPT dijumpai di awal zona epipotamal dan kemudian muncul lagi di zona yang mengarah hypopotamal hal ini berkaitan dengan kualitas air dan kondisi biologi yang agak baik di stasiun awal seperti di stasiun Pulokerto dan dari mulai baik lagi di daerah stasiun Upang sampai Selat Cemara yang menandakan kondisi airnya sudah mulai mengalami purifikasi sedangkan untuk stasiun yang ada di daerah metapotamal cenderung tidak ditemukan jenis dari kelompok EPT hal ini dikarenakan di wilayah tersebut telah mengalami tekanan berat akibat banyaknya pengaruh antropogenik seperti limbah industri dan

(23)

pemukiman padat penduduk yang ada di sekitar perairan Sungai Musi bagian hilir. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketidak hadiran dari kelompok EPT di dalam suatu perairan sungai mengindikasikan bahwa sungai tersebut telah tercemar, sehingga kelompok EPT dapat dijadikan salah satu indikator adanya gangguan terhadap lingkungan perairan sungai.

b. Makrozoobentos yang bersifat fakultatif

Makrozoobentos yang bersifat fakultatif merupakan makrozoobentos yang mampu hidup dalam kisaran kondisi lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok yang intoleran, jenis ini ditemukan pada kelompok Bivalvia (Pelecypoda) jenis Corbicula javanica yang cukup sering ditemukan di setiap stasiun mulai dari stasiun yang kondisi lingkungan baik sampai pada stasiun yang kondisi kualitas air menurun ini menandakan bahwa jenis ini mempunyai kisaran hidup yang luas sehingga digolongkan ke dalam kriteria spesies fakultatif karena dapat bertahan terhadap pada perairan yang banyak bahan organik dan mampu bertahan terhadap stressor pada tingkat tertentu. Menurut Mackie (1998) kelompok kelas Bivalvia, Gastropoda dan Amphipoda dapat dimasukan jenis kelompok yang fakultatif. Jenis lainnya dari kelompok Gastropoda yaitu jenis Bellamya javanica dan

Bellamya sumatrensis yang juga banyak ditemukan pada stasiun yang tercemar,

kemudian dari kelas Amphipoda jenis Gammarus sp, banyak ditemukan pada daerah yang kualitas airnya tidak terlalu tercemar yang mengarah ke zona

hypopotamal menuju daerah estuaria yaitu mulai dari stasiun upang sampai daerah

Pulau Payung dimana jenis Tubifex sp tidak mendominasi lagi dan dibeberapa stasiun jenis ini mempunyai persentase dominasi yang tinggi. Menurut Sastrawijaya (1991) bahwa zona yang mempunyai banyak Gammarus-nya dianggap sebagai zona pertama kembalinya fauna yang biasa terdapat pada air bersih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis ini dapat dijadikan sebagai indikator purifikasi

(Self-Purification) perairan Sungai Musi bagian hilir.

c. Makrozoobentos yang bersifat toleran

Makrozoobentos yang bersifat toleran adalah makrozoobentos yang dapat hidup dan berkembang pada kisaran toleransi yang sangat luas, artinya kelompok ini sering dijumpai di perairan yang tercemar atau berkualitas buruk dimana umumnya kelompok ini peka terhadap berbagai bentuk dan tekanan serta

(24)

kelimpahannya terus bertambah di perairan yang tercemar bahan organik (Wilhm 1975). Jenis yang bersifat toleran di perairan hilir Sungai Musi yakni dari kelas Oligochaeta jenis Tubifex sp dan Lumbriculus sp dimana kedua jenis ini merupakan jenis yang paling dominan ditemukan di hampir setiap stasiun hal ini disebabkan karena Sungai Musi pada bagian hilir cenderung didominasi substrat yang berlumpur sehingga kebanyakkan yang ditemukan adalah jenis makrozoobentos yang dominan hidup di substrat berlumpur dan mempunyai tipe cara makan bersifat

Deposit feeders seperti jenis cacing Oligochaeta dan Polychaeta sebagaimana di

ketahui bahwa kelas Oligochaeta seperti Tubifex sp merupakan jenis cacing yang ujung anteriornya selalu terbenam di dasar perairan seperti lumpur, berwarna merah, pink, kadang terbungkus suatu selubung (pipa) yang ujung posteriornya dilambaikan untuk memperoleh oksigen sehingga tahan pada kandungan oksigen yang rendah serta mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap pencemar terutama kandungan bahan organik yang tinggi hal ini mengambarkan bahwa adanya pencemaran bahan organik yang ada di daerah tersebut sehingga kepadatannya cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Menurut Hawkes (1979) meningkatnya kandungan bahan organik di perairan maka akan meningkatkan pula jenis-jenis yang tahan terhadap perairan tercemar salah satunya adalah jenis Tubifex sp.

Jenis yang lain adalah kelas Polychaeta yang juga dikenal sebagai organisme yang toleran terhadap tekanan lingkungan seperti kandungan oksigen terlarut rendah, kontaminasi organik dan polusi sampah sehingga dapat dijadikan sebagai indikator yang tertekan (EPA 1986). Jenis tersebut adalah Nereis sp yang juga sangat banyak ditemukan di beberapa stasiun terutama di stasiun yang mengarah ke arah estuaria. Menurut Lardicci dan Castelli (1985) jenis Nereis sp memiliki kemampuan menyerap bahan organik terlarut, mampu beradaptasi terhadap perubahan salinitas, toleran terhadap kandungan oksigen rendah, dan konsentrasi logam berat serta perubahan suhu yang ekstrim. Jenis toleran yang lainnya yaitu pada kelompok Chironomidae jenis Chironomous sp dimana dari beberapa literatur yang di dapat jenis ini mempunyai kisaran sebaran wilayah yang luas dan Menurut Sastrawijaya (1991) jenis Chironomous sp tergolong sebagai indikator pencemaran berat dan dapat hidup pada kondisi oksigen yang terbatas seperti di daerah yang mengalami pencemaran organik tinggi.

Sebenarnya ditemukan juga jenis yang mempunyai toleransi terhadap pencemaran tinggi dari beberapa literatur yang didapat misal Physa sp yang tahan

(25)

terhadap pencemaran panas (termal) diatas 30oC yang di temukan di stasiun Musi

Kramasan yang mengalami tekanan berat dan Anodonta woodiana di stasiun Pulau Payung namun jenis ini hanya ditemukan 1 individu di 1 stasiun saja sehingga belum bisa dijadikan referensi sebagai spesies indikator di Sungai Musi yang mengindikasikan adanya suatu pencemaran. Dimana menurut Helllawel 1986, diacu dalam Rosenberg dan Resh (1993) bahwa suatu takson dapat dikatakan sebagai indikator, jika takson tersebut berstatus eksklusif dengan frekuensi kehadiran minimal 50 %. Spesies indikator menurut Wittig 1993, diacu dalam Mhatre dan Pankhurst (1996) adalah organisme, bagian dari suatu organisme atau masyarakat suatu organisme (komunitas) yang menyediakan informasi tentang kondisi lingkungan baik sebagian atau secara keseluruhan di dalam suatu kawasan. Menurut Hellawell (1986) bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme bioindikator adalah ; a) mudah di identifikasi, b) tersebar secara kosmopolit, c) kelimpahan dapat dihitung, d) variabilitas ekologi dan genetiknya rendah, e) ukuran tubuh relatif besar, f) mobilitas terbatas dan masa hidupnya relatif lama dan g) terintegrasi dengan kondisi lingkungan.

(26)

4.2 Karakteristik Parameter Fisika-kimia Perairan Sungai Musi Bagian Hilir Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan suatu oraganisme baik baik langsung maupun tidak langsung. Faktor lingkungan tersebut dapat bersifat fisika, kimia maupun biologi. Untuk memperjelas pengaruh dari faktor fisika dan kimia terhadap kualitas perairan Sungai Musi bagian hilir dan makrozoobentos, maka perlu adanya kajian sebagai berikut :

4.2.1 Parameter Fisika Perairan Suhu

Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Oleh karena itu suhu merupakan salah satu faktor fisika perairan yang sangat penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan. Secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan disperse hewan air (Nontji 1984).

Suhu air pada perairan Sungai Musi bagian hilir berkisar antara 29 sampai

dengan 32oC. Pada bulan April suhu terendah ditemukan pada stasiun Pulokerto,

Pre Ogan, Musi Kramasan dan Muara Ogan yaitu 29 oC dan suhu yang tertinggi

didapatkan pada stasiun Pulau Borang dengan suhu 30,83oC, sedangkan pada

bulan Juli yang terendah terdapat pada stasiun SST. Pulau Burung dengan suhu

29oC dan suhu yang tertinggi terdapat di stasiun Pulau Payung dengan suhu 32 oC,

tingginya suhu di stasiun daerah ini kemungkinan besar dikarenakan daerah ini berada di wilayah estuaria dekat muara sehingga muncul perbedaan ketinggian dari permukaan laut dimana pada umumnya suhu udara daerah dataran rendah lebih tinggi dibandingkan dataran tinggi.

Penyebab lain dikarenakan adanya pengaruh dari pasang surut air laut dan salinitas yang menyebabkan naiknya suhu perairan. Di samping itu juga adanya variasi nilai suhu tersebut kemungkinan besar disebabkan adanya perbedaan waktu pengukuran sampel air, suhu yang relatif rendah didapatkan pada pengukuran sampel pada waktu pagi hari sedangkan suhu yang tinggi didapatkan pada pengukuran sampel air pada siang hari sehingga intensitas sinar matahari yang masuk ke dalam badan air lebih tinggi. Namun demikian kisaran suhu rata -rata dari setiap stasiun menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi dan

(27)

perbedaannya relatif homogen tidak berbeda jauh, hal ini disebabkan karena semua pengambilan sampel air hanya dilakukan di lapisan permukaan air sampai batas zona eufotik sehingga tidak terlihat kisaran suhu berdasarkan strata vertikal dari kolom air.

Gambar 21 menunjukkan bahwa rata-rata suhu pada bulan Juli lebih tinggi dibandingkan pada bulan April hal ini dikarenakan pada bulan Juli masih termasuk periode bulan kering (musim kemarau) sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air menjadi lebih tinggi dan menyebabkan suhu air menjadi lebih hangat dibandingkan pada bulan April yang termasuk ke dalam periode bulan basah (musim hujan) yang menyebabkan intensitas curah hujan tinggi pada bulan tersebut sehingga suhu air sungai dipengaruhi oleh air hujan yang suhunya relatif lebih dingin dan secara tidak langsung akan mempengaruhi suhu air pada saat pengukuran pada bulan April.

27.50 28.00 28.50 29.00 29.50 30.00 30.50 31.00 31.50 32.00 S uhu ( oC e lc iu s ) Pu lo ke rt o G andu s P re O gan M . K ram as an M ua ra O gan A m per a W ilm ar Pu sr i Ho kt on g S . K undur PT S AP P . B or ang SS T .P. Bu ru n Upang Pr e S. C ema ra Se la t C ema ra P . pa yu ng Tj g. B uy ut Bulan April 2007 Bulan Juli 2007

Gambar 21 Kisaran fluktuasi nilai suhu pada bulan April dan Juli 2007.

Keberadaan suhu di perairan selain mempengaruhi kelarutan-kelarutan gas dalam air juga mempengaruhi metabolisme organisme biota akuatik salah satunya adalah makrozoobentos. Dari kisaran rata-rata nilai suhu tersebut, suhu di perairan Sungai Musi bagian hilir berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 termasuk stabil dan masih memenuhi peruntukkan baku mutu untuk semua kelas serta masih dapat mendukung pertumbuhan dan proses metabolisme makrozoobentos. Menurut

Welch (1980) bahwa suhu diatas 35 – 40 oC merupakan lethal temperature bagi

(28)

Kecepatan Arus

Kecepatan arus Sungai Musi bagian hilir berkisar mulai dari 0,06 m/dtk sampai dengan 1,49 m/dtk dan apabila kecepatan arus pada bagian kiri, tengah dan kanan sungai diratakan maka nilai fluktuatif rata-rata kecepatan arus pada bulan April berkisar 0,13 - 0,97 m/dtk dan pada bulan Juli berkisar 0,12 -0,71 m/dtk. Menurut Mason (1993) bahwa perairan yang mempunyai arus > 1 m/dtk dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat deras, perairan dengan arus > 0,5– 1 m/dtk dikategorikan sebagai arus deras, kecepatan arus 0,25– 0,5 m/dtk dikategorikan sebagai arus sedang, kecepatan arus 0,1– 0,25 m/dtk di kategorikan arus lambat dan kecepatan arus < 0,1 m/dtk dikategorikan arus sangat lambat. Berdasarkan kategori tersebut diatas maka nilai rata-rata kecepatan arus perairan Sungai Musi pada bagian hilir termasuk dalam kategori berarus sangat lambat sampai dengan berarus deras.

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 0.60 0.70 0.80 0.90 1.00 Ke c e p a ta n Ar u s ( m /s ) P ul ok er to G an du s P re O ga n M . K ra mas an M uara O ga n A m pe ra W ilm a r P us ri H okto ng S . K un du r P T S A P P . B or an g S S T. P .Bur un U pang P re S .Cem ar S elat C em a ra P . p ay ung T j. Buy ut Bulan April 2007 Bulan Juli 2007

Gambar 22 Rerata kecepatan arus Sungai Musi pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 22 menunjukkan bahwa kecepatan arus pada bulan April lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Juli hal ini dikarenakan pada bulan April masih termasuk ke dalam periode bulan basah (musim hujan) sehingga jumlah dan debit air yang masuk ke dalam badan air sungai lebih tinggi yang akan mempengaruhi laju kecepatan arus menjadi lebih cepat, hal ini dapat terlihat pada stasiun Ampera, Pre Ogan, Pre Selat Cemara, Selat Cemara dan Pulau Payung dimana pada saat pengukuran arus terjadi pasang tinggi pada stasiun tersebut. Pada bagian tengah sungai di beberapa stasiun pengukuran kecepatan arus dikategorikan ke dalam arus sangat deras seperti pada stasiun Ampera, Sungai Kundur, Pre Selat Cemara dan Pulau Payung.

(29)

Pasang Surut

Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya permukaan air laut sebagai akibat adanya gaya tarik menarik benda-benda diangkasa, terutama bulan dan matahari terhadap massa air di bumi. Bulan mempunyai peranan yang lebih besar dari pada matahari dalam menentukan pasang surut (Bishop diacu dalam Adriman 1995).

Hasil perhitungan MSL (means sea level) dengan menggunakan data pasang surut dari PT. Pelindo di area ambang luar pada bulan April dan Juli menunjukkan bahwa tipe pasang surut Sungai Musi bagian hilir adalah bersifat campuran, antara pasang harian tunggal dan pasang harian ganda (Gambar 23 dan Gambar 24).

Gambar 23 Pasang surut hilir Sungai Musi (ambang luar) pada bulan April 2007.

(30)

Pola harian tunggal berarti dalam 24 jam terjadi satu kali pasang dan satu kali surut, sedangkan pola harian ganda berarti dalam 24 jam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut.

Kedalaman

Dari pengukuran kedalaman Sungai Musi pada bagian hilir di setiap stasiun yang dilakukan pada tepi kiri, kanan dan tengah badan air didapatkan bahwa kedalamannya berkisar 0,55 - 20,7 meter. Nilai kedalaman pada setiap stasiun sangat bervariasi, adanya variasi perbedaan kedalaman pada setiap stasiun pada bulan April dan Juli disebabkan karena tidak tepatnya pengukuran pada titik yang sebelumnya, hal ini dikarenakan beberapa faktor salah satunya adalah posisi kapal dimana pada saat air surut kapal tidak dapat mencapai tepi sungai. tepi sungai yang dalam baik kiri maupun kanan didapatkan pada stasiun di sekitar wilayah kota Palembang seperti stasiun Ampera, Pusri, Hoktong, PT. SAP, hal ini dikarenakan di beberapa stasiun tersebut terdapat kegiatan pengerukan sungai untuk keperluan industri maupun sebagai tempat berlabuhnya kapal, sedangkan pada bagian tepi Sungai Musi di sekitar daerah Banyuasin di beberapa stasiun sudah mengalami pendangkalan baik di tepi kiri maupun di tepi kanan badan sungai, hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat sedimentasi akibat erosi pinggir sungai yang kebanyakkan lahannya sudah berubah menjadi lahan pertanian.

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00 K e da la m a n ( m ) Pu lo ke rt o G a nd us Pr e Og an M . K ra m as an M u ar a O g an Am p e ra Wi lm a r Pu sr i Ho k ton g S . K und ur PT SA P P. B o ra n g SS T .P. B u ru n g Upa n g Pr e S. C e mar a Se la t C e m a ra P . pa y u ng Tj . Bu y u t Bulan April 2007 Bulan Juli 2007

Gambar 25 Rerata kedalaman stasiun di Sungai Musi bagian hilir.

Gambar 25 menunjukkan bahwa rata-rata kedalaman tertinggi terjadi pada bulan April 2007 hal ini disebabkan karena pada bulan tersebut intensitas curah

(31)

hujan lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli yang menyebabkan volume air di badan sungai lebih banyak sehingga di beberapa stasiun kedalamannya lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli.

Kecerahan, Total Padatan Tersuspensi dan Padatan Terlarut

Kecerahan, kekeruhan muatan padatan tersuspensi merupakan parameter yang saling berkaitan dimana peningkatan konsentrasi muatan padatan tersuspensi akan meningkatkan kekeruhan air dan sebaliknya mengurangi tingkat

kecerahannya. Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya

untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu, dari hasil

pengukuran kecerahan untuk setiap masing-masing stasiun berkisar 15 cm – 35 cm (Gambar 30), nilai kecerahan tersebut menunjukkan bahwa perairan Sungai Musi bagian hilir dikategorikan ke dalam perairan yang keruh hal ini terlihat pada waktu pengukuran sampel di badan air bahwa airnya berwarna coklat keruh dan menurut Boyd (1990) perairan yang tergolong jernih kecerahannya mencapai 40 cm. Kecerahan dipengaruhi oleh warna air, kekeruhan dan penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air. Kecerahan suatu perairan disebabkan oleh tingkat kekeruhan di mana semakin keruh suatu perairan maka tingkat kecerahannya semakin rendah. Kekeruhan terutama disebabkan adanya partikel tanah seperti lumpur, plankton dan partikel terlarut yang dapat mengendap sehingga menghalangi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam badan perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan. Rendahnya nilai kecerahan di Sungai Musi bagian hilir ini disebabkan oleh tingginya nilai padatan tersuspensi (Gambar 30) yang berasal dari sedimen yang terbawa oleh arus dari bagian hulu sungai dan air hujan erosi pinggiran sungai, aktivitas penggalian pasir serta padatnya transportasi kapal yang ada di bagian hilir sungai.

Total partikel tersuspensi (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter 1 µm) yang tertahan pada kertas saring milipore dengan ukuran diameter pori-pori 0,45 µm. Nilai TSS menggambarkan seberapa besar jumlah bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan.

(32)

0 50 100 150 200 250 300 350 Pu lo ke rt o G and us Pr e O ga n M . K ram as an M uar a O gan Am pe ra Wi lm ar Pu sr i Ho kt on g S. Ku nd ur P T SAP P. Bo ra ng SS T .P .B ur un g U pan g Pr e S. C em ar a Se la t C em ar a P. p ay un g Tj . B uy ut TS S ( m g /l ) da n K e c e ra ha n (cm ) TSS April TSS Juli Kecerahan April Kecerahan Juli 0 300 600 900 1200 1500 1800 2100 2400 2700 3000 3300 3600 3900 4200 4500 Pu lo ke rt o G andu s P re O gan M . K ram as an M uar a O gan Am pe ra Wi lm ar Pu sr i Ho kt on g S . K un dur PT SAP P. B or an g S S T .P .B ur un g U pan g Pr e S. C em ar a Se la t C em ar a P. p ay un g Tj g. B uy ut TD S ( m g /l ) d an K e cer ah an ( cm ) TDS April TDS Juli Kecerahan April Kecerahan Juli

Gambar 26 Grafik perbandingan kisaran nilai, TSS, TDS dan kecerahan pada bulan April dan Juli 2007.

Dari hasil pengukuran nilai TSS, menunjukkan bahwa nilai TSS periode bulan April dan Juli untuk masing-masing stasiun berkisar antara 14 mg/l sampai dengan

296 mg/l (Gambar 26). Rata-rata nilai tersebut belum melampaui ambang batas

baku mutu lingkungan yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada PP. No. 82 Tahun 2001 untuk kepentingan perikanan yaitu masih lebih rendah dari 400 mg/l. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi dapat tersaji pada Tabel 18 dibawah ini.

Tabel 18 Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai TSS

Nilai TSS (mg/l) Pengaruh terhadap Kepentingan Perikanan 25 Tidak berpengaruh

25-80 Sedikit berpengaruh

81-400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber : Alabaster & Lloyd 1982, diacu dalam Effendi 2003.

Gambar 30 menunjukkan bahwa pada bulan April rata-rata nilai TSS-nya lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli hal ini disebabkan karena pada bulan April masih tergolong dalam periode musim hujan sehingga sumber air banyak berasal dari bahan-bahan tersuspensi koloid dan bahan tersuspensi yang berukuran besar seperti partikel halus tanah serta zat-zat yang tererosi dari daratan yang terhanyut oleh ar hujan melalui limpasan air (run-off) yang masuk ke dalam badan perairan di samping itu juga banyaknya bahan atau zat dari bagian hulu sungai yang terbawa oleh arus yang deras ke bagian hilir sungai, menyebabkan tingkat kekeruhannya menjadi lebih tinggi.

Gambar

Gambar 12    Persentase komposisi jenis makrozoobentos pada  bulan Juli 2007  . Pada bulan Juli persentase jenis Tubifex sp juga masih merupakan komposisi  jenis yang paling dominan dan melimpah di mana rata-rata persentase kepadatan  relatifnya sebesar 71
Gambar 16  Hubungan ke empat indeks ekologi pada bulan April 2007.
Gambar 17   Hubungan ke empat indeks ekologi pada bulan Juli 2007.
Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai HBI pada dua kali pengambilan sampel di  beberapa stasiun terdapat variasi perbedaan kualitas air menjadi menurun seperti  di stasiun Gandus dan Wilmar yang sebelumnya dikategorikan agak buruk dan  buruk menurun menjadi san
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan Keperawatan Berkelanjutan Perawat Indonesia diperlukan oleh perawat guna merencanakan pengembangan dirinya sebagai upaya untuk meningkatkan mutu keprofesiannya,

Kehilangan tutupan karang dan kehilangan kelompok fungsional (bentuk tumbuh) karang mempunyai pengaruh yang besar terhadap penurunan indeks resiliensi. Kedua komponen

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, tentang analisis perhitungan dan pelaporan secara e-Filing pajak penghasilan pasal 21 atas gaji

Soup sayuran dan minuman Brown Rice jangan dikonsumsi bersamaan, harus berselang lebih dari 15 menit (kalau tidak, khasiatnya akan berkurang). Saat merebus soup sayuran

Manajemen risiko lingkungan di Puskesmas adalah penerapan manajemen risiko untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh aktifitas atau kegiatan di Puskesmas pada

Pencapaian kinerja Sekretariat Ditjen PEN pada tahun 2017 tidak terlepas dari koordinasi yang baik antara Sekretariat Ditjen PEN dengan masing- masing unit Eselon II di lingkungan

Berdasarkan beberapa definisi diatas dapat simpulkan bahwa perancangan sistem informasi akuntansi penjualan konsinyasi adalah merancang atau mendesain sistem yang

Bab ini berisikan uraian teoritis secara umum dimana akan diuraikan mengenai peranan Dalihan Natolu dalam pelaksanaan perkawinan adat Batak Toba, dalam bab ini juga dibahas