• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFIKASI DIRI SEBAGAI INTERNAL BUFFER TERHADAP BURNOUT. Fereshti Lailani. Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid Surakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFIKASI DIRI SEBAGAI INTERNAL BUFFER TERHADAP BURNOUT. Fereshti Lailani. Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid Surakarta"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

EFIKASI DIRI SEBAGAI INTERNAL BUFFER TERHADAP BURNOUT

Fereshti Lailani

Program Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Sahid Surakarta e-mail: fereshti_xt@yahoo.com

ABSTRACT

Burnout is a psychological response to work stress that is characterized by emotional exhaustion, depersonalization, and reduced feeling of personal accomplishment (low personal accomplishment). This paper intends to explain one of the variables that the results of some studies have shown to have a role in burnout , which is self – efficacy. Self-efficacy is the beliefs about one’s ability to accomplish specific tasks. Self-efficacy affects employees’ level to effort and persistence when learning difficult tasks. A number of research study was found that perceived sense of self-efficacy was correlated with perceived burnout : the lower the sense of self-efficacy more was perceived burnout. The individuals having low self-efficacy have not much control of their behavior and actions. They are more vulnerable to burnout.

(2)

Abstract

Burnout merupakan respon psikologis terhadap stres kerja yang dicirikan dengan adanya kelelahan emosional, depersonalisasi, dan berkurangnya penghargaan terhadap diri sendiri. Paper ini bermaksud untuk menjelaskan salah satu variabel yang menurut hasil beberapa penelitian menunjukkan adanya peran terhadap burnout, yaitu efikasi diri. Efikasi diri adalah keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk menjalankan tugas tertentu. Efikasi diri mempengaruhi tingkat usaha dan ketahanan individu dalam menghadapi tugas yang sulit. Beberapa studi penelitian menemukan bahwa perasaan terhadap efikasi diri berhubungan dengan burnout : semakin rendah perasaan efikasi diri seseorang maka akan semakin mudah mengalami burnout. Individu yang memiliki efikasi diri rendah tidak dapat mengontrol perilaku dan tindakannya. Mereka akan mudah terserang burnout.

(3)

PENDAHULUAN

Perkembangan dan kemajuan dalam bidang industri telah memberikan pengaruh bagi perkembangan dan kemajuan di bidang jasa pelayanan kemanusiaan (human service), seperti jasa pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, perbankan dan lain lain.Persaingan yang ketat dalam industri jasa telah membuat masing-masing organisasi saling berlomba dan berorientasi memberikan pelayanan yang bermutu dan memuaskan masyarakat pengguna jasa. Untuk mencapai kualitas pelayanan yang bermutu, organisasi tersebut akan menuntut kualitas kerja yang bermutu kepada para individu pekerja dalam organisasi tersebut.Kualitas pelayanan akan sangat ditekankan karena akan sangat menentukan keberhasilan dan keberlangsungan organisasi tersebut, terutama bagi organisasi yang berorientasi profit.Tingginya tuntutan dan harapan kepada pekerja jasa

pelayanan kemanusiaan (human service), baik dari pihak organisasi yang mempunyai kepentingan untuk memenuhi standar kualitas pelayanan kepada masyarakat yang akhirnya dapat memberi keuntungan bagi organisasi tersebut, namun juga tuntutan dari masyarakat yang menuntut adanya mutu pelayanan yang sebaik-baiknya. Tuntutan dan harapan ideal kepada

pekerja jasa pelayanan

kemanusiaandapat menjadi beban tersendiri dan berpeluang bagi timbulnya stres.Pekerja jasa pelayanan kemanusiaan (human service) seperti pekerja sosial, perawat, guru, customer service, polisi, dan lain-lain, merupakan pekerjaan yang langsung berhubungan dengan pengguna jasa pelayanan sehingga beresiko menghadapi stresor yang dapat menguras energinya. Jenis pekerjaan tersebut tidak hanya menguras energi fisiknya, namun juga menguras energi pikiran dan emosinya. Karena dalam proses kerjanya banyak menuntut

(4)

adanya keterlibatan emosional sehingga lebih berpeluang mengalami stres akibat pekerjaannya.

Stres di tempat kerja merupakan keadaan yang tidak bisa dihindari. Kenyataan menunjukkan ada individu yang bisa bertahan dan mengatasi situasi yang menekan tersebut, namun adan juga yang tidak bisa bertahan. Stres yang berkepanjangan dapat memperburuk kondisi emosional, fisik, dan mental, yang kemudian dapat mengakibatkan kelelahan fisik dan mental karena terkurasnya energi untuk menghadapi stres yang terus-menerus. Stres kerja yang terjadi secara terus-menerus dan dengan intensitas yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya burnout.

Burnout merupakan suatu bentuk ketegangan psikologis yang secara spesifik dihubungkan dengan stres yang kronis dari hari ke hari dan ditandai dengan kelelahan fisik, emosional, dan mental (Etzion, 1984), di mana sering

dijumpai pada orang yang terlibat pada situasi atau pekerjaan yang menuntut keterlibatan emosional (Pines dan Aronson, dalam Etzion,1984). Situasi tersebut terutama sekali berkaitan dengan profesi yang berhubungan dengan pelayanan kemanusiaan (human service) karena profesi tersebut membutuhkan energi fisik, emosi, dan mental, serta penuh dengan tekanan dan tuntutan emosional.

Burnout mempunyai dampak buruk terhadap performansi kerja yang pada akhirnya mengakibatkan produktivitas menurun. Golembiewsky (dalam Farhati, 1996) mengatakan bahwa akibat negatif burnout dapat muncul dalam bentuk berkurangnya kepuasan kerja, meningkatnya stres kerja, partisipasi berkurang, ketelitian berkurang, performansi memburuk, produktivitas rendah serta gangguan fisik dan mental

Burnout tidak hanya berakibat negatif pada individu, seperti depresi, perasaan gagal, kelelahan, dan hilangnya

(5)

motivasi, tetapi juga berakibat negatif pada organisasi, seperti tingkat absensi, turnover, dan menurunnya produktivitas kerja (Van Dierendonk et al., 1998).

Menurut Schaufeli dan Buunk (1996) ada beberapa variabel individu yang mempengaruhi stres yang dialami individu. Salah satunya adalah efikasi diri.Efikasi diri merupakan penilaian atau persepsi subjektif individu terhadap kemampuan dirinya untuk mengorganisir dan memutuskan tindakan yag dibutuhkan untuk mencapai tipe performansi yang diinginkan (Bandura, 1986). Penilaian tersebut bersifat subjektif karena menekankan pada keyakinan individu sebagai hasil persepsinya tentang kemampuan yang dimilikinya. Keyakinan ini menentukan bagaimana individu berperilaku, berpikir, dan bagaimana reaksi emosionalnya pada situasi tertentu. Efikasi diri yang tinggi akan menjadi motivasi yang kuat bagi individu untuk bertindak lebih persisten

dan terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas. Efikasi diri juga berkaitan dengan keberanian untuk mengambil keputusanberindak serta mempunyai peranan penting dalam mengarahkan perilaku untuk mencapi tujuan yang diharapkan.

Efikasi diri menunjukkan besarnya keyakinan individu terhadap kemampuan melakukan sesuatu untuk mengendalikan atau mengatasi keadaan yang menekan. Perasaan mampu mengontrol suatu keadaan dapat mengurangi akibat negatif dari tekanan, sehingga orang yang mempunyai efikasi diri tinggi cenderung mengalami stres yang lebih rendah pada situasi tersebut (Jex dan Bliese, 1999). Bandura (1997) menambahkan bahwa reaksi lari dari masalah yang dihadapi, seperti tekanan kerja, mengakibatkan terjadinya burnout, sedangkan bentuk coping lari dari masalah dipengaruhi oleh efikasi diri yang rendah.

(6)

BURNOUT

1. Pengertian Burnout

Definisi burnout yang paling sering digunakan adalah definisi dari Maslach dan Jackson (dalam Schaufeli dan Buunk, 1996). Burnout didefinisikan sebagai tiga komponen sindrom kelelahan emosional (emotional exhaustion), depersonalisasi (depersonalization), dan rendahnya penghargaan terhadap kemampuan diri sendiri (low personal accomplishment) (dalam Jackson et al, 1986; Schaufeli dan Buunk, 1996; Van Dierendonck, 1998). Kelelahan emosional diartikan sebagai habisnya sumber-sumber emosional. Depersonalisasi diartikan sebagai perkembangan sikap negatif, sinis, dan tidak mempunyai perasaan kepada orang lain. Rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri diartikan sebagai kecenderungan untuk mengevaluasi kinerjanya secara negatif.

Etzion (1984) mendefinisikan burnout sebagai ketegangan psikologis

yang secara spesifik berkaitan dengan stres kronis yang dialami individu dari hari ke hari dan ditandai dengan keadaan kelelahan fisik, emosional, dan mental. Lebih lanjut Etzion (dalam Schaufeli dan Buunk, 1996) mengemukakan bahwa proses terjadinya burnout ini berjalan dengan pelan dan tanpa disadari, sehingga individu tiba-tiba merasa kelelahan.

Pines dan Aronson (dalam Schaufeli dan Buunk, 1996) mengemukakan bahwa burnout merupakan keadaaan kelelahan fisik, emosional, dan mental yang disebabkan oleh keterlibatan pada situasi yang menuntut secara emosional dan berlangsung lama.

Burnout menjadi sebuah fenomena penting dan dianggap sebagai ancaman yang serius terutama bagi orang-orang yang bekerja pada sektor jasa (Schaufeli et al., dalam Van Dierendonk et al., 1998) seperti pekerja sosial, perawat, guru, pengacara, physicians, polisi, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang banyak

(7)

melakukan kontak dengan orang lain yang membutuhkan pertolongan (Jackson et al, 1986).

Burnout pada human service terjadi pada orang yang bekerja dengan memberikan bantuan dan pelayanan terhadap kebutuhan orang lain. Stresor interpersonal dan keterlibatan emosional menjadi karakteristik pada pekerjaan tersebut (Tjondronegoro, 2003).

2. Dimensi dan Simtom Burnout Freudenberger (dalam As’ad dan Soetjipto, 2000) secara khusus menyoroti aspek kelelahan psikis, frustrasi, dan ketidakmampuan untuk memberi penghargaan yang tinggi terhadap pekerjaannya sebagai bentuk fenomena burnout.

Menurut Maslach, penemu Maslach Burnout Inventory, (dalam Schaufeli dan Janczur,1994; Schultz dan Schultz, 1994; Colff dan Rothman, 2009), terdapat tiga dimensi burnout, yaitu :

a. Kelelahan emosional (emotional exhaustion)

Yaitu habisnya sumber-sumber emosional dari dalam individu yang ditandai dengan perasaan frustrasi, putus asa, sedih, perasaan jenuh, mudah tersinggung, mudah marah tanpa tahu penyebabnya, mudah merasa lelah, tertekan, dan perasaan terjebak dalam pekerjaan.

b. Depersonalisasi (depersonalization) Yaitu kecederungan individu untuk menjauhi lingkungan sosialnya, bersikap negatif, sinis, apatis, tidak berperasaan, tidak peduli terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya.

c. Rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri (low personal accomplishment)

Yaitu suatu tendensi individu untuk mengevaluasi kinerjanya secara negatif. Individu yang menilai rendah dirinya sering mengalami ketidakpuasan terhadap hasil kerja

(8)

sendiri serta merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.

Leatz dan Stolar (dalam As’ad dan Soetjipto, 2000) mengemukakan bahwa burnout pada seseorang ditandai oleh empat kondisi, yaitu :

a. Kelelahan fisik (physical exhaustion)

Yaitu kelelahan yang ditandai dari mudahnya seseorang merasa lelah, mudah menderita sakit kepala, mudah merasa mual, mengalami perubahan pola makan dan tidur, dan merasa terkuras tenaganya secara berlebihan

b. Kelelahan emosional (emotional exhaution)

Yaitu dimensi yang ditandai dengan munculnya depresi, frustrasi, merasa terpenjara oleh pekerjaannya, apatis, mudah sedih, dan merasa tidak berdaya.

c. Kelelahan mental (mental exhaution)

Yaitu berupa prasangka negatif dan sinis terhadap orang lain dan berpandangan negatif terhadap diri sendiri serta pekerjaannya.

d. Rendahnya perasaan mampu mencapai sesuatu yang berarti dalam hidup (low personal accomplishment).

Yaitu kondisi yang ditandai oleh ketidakpuasan terhadap diri sendiri, pekerjaannya, kehidupannya, dan ada perasaan belum mampu mencapai sesuatu yang berarti selama hidup.

Menurut Golembiewsky et al. (dalam As’ad dan Soetjipto, 2000), pendekatan Maslach dan Jackson ini memiliki kesamaam dengan pendekatan yang dikemukakakn oleh Leatz dan Stolar. Dimensi kelelahan fisik dan psikis tercakup dalam satu dimensi yaitu dimensi kelelahan emosional. Sedangkan dimensi kelelahan mental

(9)

diformulasikan ke dalam konsep depersonalisasi. Konsep burnout menurut Leatz dan Stolar dalam hal rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri dapat dikatakan sama dengan konsep ketiga dari Maslach dan Jackson. Dari ketiga dimensi tersebut, kelelahan emosional merupakan simtom utama dari burnout (Schaufeli dan Bunnk, 1996; Van Dierendonck, 1998). Namun menurut Schaufeli dan Janczur (1994), dari hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa elemen utama burnout adalah kelelahan emosional dan depersonalisasi.Lee dan Ashforth (dalam Schultz dan Schultz, 1994) mengemukakan bahwa kelelahan emosional dan depersonalisasi berkaitan erat dengan stres.

3. Akibat Negatif Burnout

Burnout tidak hanya berakibat negatif pada individu saja, seperti depresi, perasaan gagal, kelelahan, dan hilangnya motivasi, tetapi juga berkibat negatif pada organisasi, seperti tingkat

absensi, turnover, dan menurunnya produktivitas kerja (Van Dierendonck, 1998).

Schaufeli dan Buunk (1996) mengelompokkan manifestasi burnout, sebagai dampak dari adanya burnout, dalam enam kategori utama,yaitu : a. Manifestasi mental

Tipikal penderita burnout akan mengalami kelelahan emosi, serta merasa hampa dan terjebak. Simtom yang berkaitan dengan depresi merupakan simtom yang paling menonjol seperti merasa tertekan, tidak berdaya , tidak ada harapan, dan merasa tidak berarti. Perasaan negatif tersebut dapat membuat rendahnya harga diri pada penderita burnout.

Individu yang menderita burnout memiliki toleransi yang rendah terhadap frustrasi, mudah marah, menjadi sensitif, berperilaku memusuhi dan curiga tidak hanya pada resipien tapi juga kepada kolega dan atasan.Simtom kognitif yang dapat terjadi ialah tidak

(10)

mampu berkonsentrasi, pelupa, kesulitan dalam membuat keputusan.

b. Manifestasi fisik

Keluhan fisik sering timbul seperti sakit kepala, mual, sakit pada otot-otot terutama pada punggung, masalah seksual, gangguan tidur, hilangnya nafsu makan. Manifestasi fisik yang tipikal adalah keletihan yang kronis. Gangguan fisik yang sering pula terjadi adalah menderita flu yang tidak kunjung sembuh.

c. Manifestasi perilaku

Manifestasi perilaku individu terutama disebabkan oleh meningkatnya level of arousal seperti hiperaktivitas, perilaku kasar. Meningkatnya konsumsi stimulan seperti kopi dan alkohol. d. Manifestasi sosial

Problem interpersonal dalam lingkkungan kerja dapat terjadi terhadap resipien, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang mengalami burnout dapat membawa problem di tempat kerja ke rumah. Tipikal individu

yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak sosial (withdrawl) dan lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.

e. Manifestasi sikap

Sikap negatif yang berkembang dapat terjadi pada hubungan interpersonal dan pada pekerjaan atau organisasi. Sikap negatif pada hubungan interpersonal seperti dehumanisasi, tidak berperasaan (callous), memisahkan diri (detached), acuh tak acuh (indifferent), sinis (synical) terhadap resipien, merupakan karakteristik yang paling sering muncul pada penderita burnout.

Sikap negatif terhadap pekerjaan atau organisasi yang sering muncul adalah hilangnya motivasi intrinsik individu seperti semangat, antusiasme, minat, dan idealisme. Individu yang mengalami burnout merasa tidak dihargai oleh organisasiatau rekan kerjanya. Individu menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan akhirnya menjadi suka mengkritik dan

(11)

tidak mempercayai pihak manajemen, rekan kerja, maupun supervisor.

Menurut Cherniss dan Feudenberger (dalam Schultz dan Schultz, 1994), individu yang mengalami burnout akan mengalami kelelahan emosional, apatis, murung, mudah marah, dan merasa bosan. Individu cenderung mencari kesalahan pada semua aspek yang ada di lingkungan kerjanya, termasuk pada rekan kerjanya, dan bersikap negatif kepada orang lain, serta kualitas kerjanya menurun. Schultz dan Schultz (1994) menambahkan, sikap negatif yang dapat berkembang adalah individu cenderung bersikap kaku pada pekerjaan, mengikuti peraturan dan prosedur kerja dengan terpaksa karena mereka mengalami kelelahan untuk bersikap fleksibel terhadap pendekatan-pendekatan alternatif.

f. Manifestasi organisasi

Burnout dapat memperburuk kualitas kerja individu (Cherniss dan

Freudenberger, dalam Schultz dan Schultz, 1994) bahkan dapat menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan, turnover, dan juga absen, serta rendahnya produktivitas kerja (Schaufeli dan Buunk, 1996)

Jaffe dan Scott (dalam Sulistyantini, 1997) mengatakan bahwa burnout dapat menimbulkan masalah bagi organisasi atau perusahaan karena simtom burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen dan kinerja menurun, frustrasi, penurunan semangat kerja, turnover, hilangnya dedikasi dan kreativitas individu. Simtom ini sering juga disertai dengan munculnya simtom fisik.

4. Perbedaan antara Burnout dan Stres

Pengertian burnout tidak sama dengan stres dan tekanan kerja. Schaufeli dan Buunk (1996) mengemukakan bahwa ada beberapa perbedaan penting antara stres kerja dan burnout. Stres kerja merupakan suatu

(12)

proses adaptasi sementara terhadap tekanan di lingkungan kerja yang disertai gejala mental dan fisik. Dalam kadar tertentu, stres kerja bermanfaat bagi peningkatan performansi individu. Berbeda dengan burnout yang merupakan tahapan akhir dari ketidakmampuan individu beradaptasi dengan tekanan dari lingkungan kerja, berupa tidak adanya kesesuaian antara tuntutankerja dan kemampuam individu, serta stres kerja yang lama dialami individu (Brill dalam Schaufeli dan Buunk, 1996).

Menurut Maslach (dalam Schaufeli dan Buunk, 1996), perbedaan konseptual antara burnout dan stres adalah bahwa pada burnout terjadi perubahan sikap dan perilaku yang negatif terhadap resipien, serta pada pekerjaan dan organisasi, sedangkan pada stres kerja tidak disertai perubahan sikap dan perilaku.

Konsep burnout sering overlap dengan depresi. Depresi adalah suatu

keadaan yang ditandai dengan penurunan semangat, kemarahan, perasaan tidak memiliki harapan, simtom fisik, dan ketidak mampuan bekerja. Sedangkan pada individu yang mengalami burnout masih dapat bekerja sehari-hari (Tjondronegoro, 2003). Burnout bukanlah kondisi yang bersifat temporal. Burnout terjadi secara bertahap, perlahan, dan menetap dalam jangka waktu yang lama.

EFIKASI DIRI

1. Pengertian Efikasi Diri

Bandura mendefinisikan konsep efikasi diri sebagai persepsi subjektif individu terhadap kemampuan dirinya untuk mengorganisir dan melakukan sejumlah tindakan atau perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu atau untuk menjalankan tugas tertentu (Bandura, 1986; Vrugt, 1996). Efikasi diri tidak menggambarkan kemampuan yang sebenarnya, tetapi terkait dengan keyakinan yang dimiliki individu.

(13)

Penilaian efikasi diri mencakup keyakinan individu bahwa ia memiliki kemampuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan dalam keadaan yang tidak mengenakkan (Bandura, 1986). Hal ini berarti bahwa persepsi terhadap efikasi diri meliputi keyakinan individu bahwa suatu masalah dapat diatasi dan ia mampu mengendalikan situasi yang mengganggu. Keyakinan tersebut menimbulkan perasaan mampu mengendalikan masalah secara efektif.

Efikasi diri tidak sama dengan karakteristik kepribadian (Vrugt, 1996). Karakteristik kepribadian merupakan karakteristik yang stabil yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang dalam berbagai situasi. Menurut Gist dan Mitchel (dalam Juwarni, 2001), berbeda dengan self esteem, efikasi diri bukan merupakan karakteristik kepribadian yang bersifat menetap. Efikasi diri yang tinggi pada suatu

aktivitas belum tentu menandakan efikasi yang tinggi pada aktivitas lain.

Bandura (dalam Jex dan Godanowski, 1992; Jex dan Bliese, 1999; Lunenburg, 2011) memperjelas lagi bahwa efikasi diri ini menggambarkan keyakinan individu berkenaan dengan kemungkinan bahwa suatu tindakan atau perilaku tertentu dapat dilakukan. Keyakinan efikasi diri berkisar pada hubungan antara suatu tugas tertentu dan tingkat hasil yang dicapai dalam menjalankan tugas-tugas tersebut (Bandura, dalam Vrugt, 1996).

2. Pengaruh Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997), efikasi diri dapat mempengaruhi kemampuan manusia dalam mengorganisir secara efektif dan menyelaraskan keterampilan kognitif, sosial, emosional, dan perilaku yang dimiliki untuk mencapai berbagai maksud.

Efikasi diri dapat mempengaruhi mekanisme perilaku individu. Individu

(14)

mempunyai kecenderungan menghindari tugas dan situasi yang dirasa di luar kemampuannya, namun akan menjalankan suatu aktivitas atau perilaku yang dirasa mampu untuk dilakukan dan memberikan akibat yang diinginkan (Bandura, 1986). Lebih lanjut Bandura (1997) mengemukakan bahwa efikasi diri mempengaruhi proses berpikir, level motivasi, dan kondisi perasaan, yang semuanya berperan terhadap jenis performansi yang dilakukan. Individu dengan efikasi diri rendah pada suatu tugas tertentu akan cenderung menghindari tugas tersebut. Mereka akan merasa sulit untuk memotivasi diri dan mereka akan melemahkan usahanya atau menyerah pada permulaan rintangan. Mereka mempunyai aspirasi dan komitmen yang lemah untuk tujuan yang mereka pilih. Dalam memandang situasi, mereka cenderung lebih memperhatikan kekurangan mereka, keluar biasaan tugas, dan akibat tidak baik atau

kegagalan. Dengan kata lain, mereka cenderung fokus pada hal negatif dan pada kegagalan, tidak fokus pada keberhasilan dan sikap optimis

Efikasi diri juga mempengaruhi fungsi individu dalam kaitannya dengan pekerjaan (Bandura, 1997). Individu yang mempunyai efikasi diri tinggi akan lebih besar usahanya dalam bekerja dan mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan oleh pekerjaannya sehingga akan memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Motivasi kerja mereka lebih kuat dan produktivitasnya tinggi sehingga menguntungkan perusahaan.

Efikasi diri yang tinggi akan menjadi motivasi yang kuat bagi individu untuk bertindak lebih persisten (gigih) dan terarah, terutama apabila tujuan yang hendak dicapai merupakan tujuan yang jelas (Bandura, 1997). Efikasi diri juga berkaitan dengan keberanian untuk mengambil keputusan bertindak dan mempunyai peranan

(15)

penting dalam mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan tertentu.

Efikasi diri juga mempengaruhi besar usaha dan ketahanan individu dalam menghadapi kesulitan (Bandura, 1997; Lunenburg, 2011). Individu dengan efikasi diri tinggi memandang tugas-tugas sulit sebagai tantangan untuk dihadapi daripada sebagai ancaman untuk dihindari. Mereka mempunyai komitmen yang tinggi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Mereka akan menginvestasikan tingkat usaha yang tinggi dan berpikir strategis untuk mengatasi kegagalan. Mereka memandang kegagalan sebagai kurangnya usaha untuk mencapai keberhasilan. Mereka akan secara cepat memulihkan perasaan mampu, setelah mengalami kegagalan.

Wood dan Bandura (dalam Juwarni, 2001) mengemukakan bahwa keyakinan terhadap efikasi diri akan berpengaruh terhadap pengaturan motivasi diri, proses berpikir, kondisi

perasaan, dan perilaku. Keyakinan terhadap efikasi diri juga menentukan seberapa besar usaha yang akan dikerahkan, seberapa lama individu akan bertahan dan berusaha keras dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta seberapa besar tingkat stres yang dialami ketika menghadapi tuntutan lingkungan yang menekan (Bandura, 1986).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa efikasi diri dapat mempengeruhi kemampuan individu dalam mengorganisir secara efektif dan menyelaraskan keterampilan kognitif, sosial, emosional, dan perilaku yang dimiliki untuk mencapai hasil atau tujuan yang diinginkan. Efikasi diri ini akan mempengeruhi pola pikir, level motivasi, reaksi emosional, serta besarnya usaha dan ketahanan dalam menghadapi rintangan maupun stresor, yang semua itu mempunyai peran pada performansi atau perilaku individu.

(16)

3. Dimensi Efikasi Diri

Menurut Bandura (1997; dalam Greenberg dan Baron, 2000; Lunenburg, 2011), efikasi diri memiliki tiga dimensi yang menjadi komponen dasar penilaian atau persepsi individu terhadap efikasi dirinya. Efikasi diri setiap individu berbeda-beda atas dasar ketiga dimensi tersebut dan mempunyai implikasi pada perilaku individu. Ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut :

a. Dimensi tingkat kesulitan tugas (level/magnitude)

Dimensi level (Greenberg dan Baron menggunakan istilah “magnitude”) merupakan dimensi yang berhubungan dengan tingkat kesulitan tugas, dimana individu yakin dapat mengatasinya. Dimensi ini juga mempunyai impliksi pada pemilihan perilaku yang akan dicoba. Individu akan mencoba melakukan tugas-tugas tertentu yang dianggap mampu untuk dilakukan dan akan menghindari situasi atau

perilaku yang dipersepsikan di luar batas kemampuannya.

b. Dimensi kekuatan dan kemantapan keyakinan (strength)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dan keyakinan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang kuat dan mantap akan mendorong individu tetap gigih atau persisten dalam usahanya, walaupun mungkin belum memiliki pengalaman-pengalaman yang menunjang. Sebaliknya, pengharapan yang lemah dan ragu-ragu akan mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak menunjang. Dimensi ini berkaitan dengan kekuatan penilaian tentang kecakapan individu yang mengacu pada derajat kemampuan individu terhadap keyakinan atau harapannya. Individu meyakini bahwa dirinya dapat menjalankan tugas pada derajat tertentu.

(17)

c. Dimensi keluasan bidang tugas (generality)

Generality merupakan dimensi yang berhubungan dengan luas bidang tugas atau tingkah laku di mana individu merasa yakin terhadap kemampuannya. Dimensi ini mengacu pada variasi situasi di mana penilaian tentang efikasi dapat diungkapkan. Luasnya efikasi diri pada satu situasi atau satu tugas dapat diterapkan pada situasi lain atau tugas lain. Ada individu yang mampu pada beberapa aktivitas tugas yang beragam, namun ada juga individu yang hanya mampu pada tugas yang terbatas pada suatu aktivitas dan situati tertentu.

Dimensi kekuatan dan kemantapan keyakinan (strength) biasanya berkaitan langsung dengan dimensi tingkat kesulitan tugas (level/magnitude), yaitu makin tinggi taraf kesulitan tugas maka makin lemah keyakinan yang dirasakan untuk dapat

menyelesaikan suatu tugas. Efikasi diri yang lemah mudah dihancurkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung, sedangkan individu yang mempunyai efikasi diri kuat akan meningkatkan usahanya meskipun mengalami banyak kesulitan dan rintangan. Semakin kuat efikasi diri individu maka akan semakin bagus daya tahannya terhadap rintangan dan lebih tinggi kemungkinannya untuk melakukan aktivitas dengan sukses.

Penilaian efikasi diri dapat berbeda-beda pada individu. Perbedaan ini dipengaruhi oleh penilaian individu terhadap ketiga dimensi tersebut. Ketiga dimensi tersebut yang akan membentuk kekuatan efikasi diri individu dan memiliki implikasi penting pada performansi atau perilaku.

4. Sumber-Sumber Efikasi Diri Penilaian efikasi diri terbentuk dan berkembang berdasarkan informasi yang diterima individu. Bandura (1997;

(18)

mengemukakan bahwa keyakinan individu atas efikasi dirinya dapat dibentuk dan dipelajari melalui informasi dari empat sumber efikasi diri, yang meliputi :

a. Pencapaian prestasi (enactive mastery)

Pencapaian prestasi merupakan sumber efikasi diri yang paling berpengaruh karena menjadi bukti yang paling otentik apakah seseorang dapat melakukan suatu tugas dengan sukses atau tidak.Pencapaian prestasi ini dapat menjadi indikator kemampuan seseorang. Keberhasilan yang dicapai dalam melakukan suatu tugas dapat meningkatkan keyakinan atau penilaian terhadap efikasi diri.Sebaliknya, kegagalan dapat menurunkan efikasi diri seseorang, terutama jika kegagalan terjadi sebelum perasaan efikasi diri terbentuk dengan kuat.

Individu yang merasa yakin pada kemampuan dirinya, dalam melihat kegagalan lebih menekankan pada faktor

situasi, kurangnya usaha, atau strategi yang tidak tepat (Bandura, 1986). Kegagalan dianggap sebagai hasil dari strategi yang salah, bukan karena ketidakmampuan. Kegagalan yang berhasil diatasi melalui usaha, dapat secara perlahan membangkitkan kekuatan efikasi dirinya.

b. Pengalaman indvidu lain (vicarious experience)

Penilaian efikasi diri individu sebagian dipengaruhi oleh pengalaman orang lain yang dijadikan sebagai model. Proses modeling ini menjadi cara yang cukup efektif untuk memperkuat efikasi diri. Jika individu melihat orang lain dengan kemampuan yang hampir sama dengan dirinya dan ternyata dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, hal tersebut akan turut meningkatkan efikasi dirinya. Individu tersebut akan menganggap dirinya juga mampu untuk melakukan aktivitas yang sebanding. Individu meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain mampu melakukannya maka

(19)

dirinya juga memiliki kemampuan untuk melakukannya juga. Sebaliknya, jika individu melihat orang lain yangmempunyai kemampuan hampir sama mengalami kegagalan dalam melaksanakan suatu tugas, hal tersebut akan menurunkan keyakinan individu terhadap kemampuannya dan akan melemahkan usahanya (Brown dan Inoye, dalam Bandura, 1997).

Pengalaman keberhasilan orang lain akan berpengaruh pada individu tergantung pada beberapa hal, yaitu karakteristik model, kesamaan antara individu dengan model, tingkat kualitas tugas, keadaan situasi, dan keanekaragaman hasil yang mampu dicapai oleh model.

c. Persuasi verbal (verbal persuation) Persuasi verbal merupakan informasi yang bersifat verbal yang dapat memperkuat keyakinan individu bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai hasil tertentu. Individu yang diyakinkan secara verbal oleh

orang lain bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan suatu tugas dengan berhasil, akan membuat individu tersebut memobilisasi usaha yang lebih besar untuk mencapai keberhasilan dan meningkatkan kemampuan yang dimilikinya. Keyakinan pada kemampuan dirinya akan mendorong pengembangan skill dan perasaan efikasi diri.

d. Kondisi fisik dan emosional (physical and emotional state)

Sebagian penilaian individu terhdap kemampuannya didasarkan pada informasi somatik yang disampaikan melalui kondisi fisiologis dan emosional. Indikator somatik terhadap efikasi diri terutama relevan pada domain yang melibatkan pencapaian fisik, fungsi kesehatan, dan coping terhadap tekanan.

Dalam aktivitas yang melibatkan kekuatan dan stamina, individu akan membaca kelelahan dan rasa sakit yang dialaminya sebagai

(20)

indikator ketidakmampuan secara fisik. Kondisi perasaan individu juga mempunyai pengaruh terhadp penilaian efikasi diri dan mempunyai efek generalisasi yang luas pada berbagai fungsi. Menurut Bandura, ada empat cara utama untuk mengubah keyakinan terhadap efikasi diri yaitu meningkatkan status fisik mengurangi level stres dan kecenderungan emosi negatif, dan mengoreksi kesalahan interpretasi terhadap kondisi fisik.

PENUTUP

Burnout merupakan fenomena yang tidak terpisahkan dari stres kerja. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Schaufeli dan Buunk, 1996), stres kerja terjadi ketika kemampuan individu tidak lagi seimbang dengan tuntutan kerja. Brill (dalam Schaufeli dan Buunk, 1996) mengemukakan bahwa burnout merupakan tahapan akhir dari gangguan adaptasi yang dihasilkan dari ketidakseimbangan antara tuntutan kerja

dan kemampuan individu dan prosesnya terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama.

Perkembangan burnout dipengaruhi oleh cara coping individu terhadap stres (Schaufeli dan Buunk, 1996). Lazarus (dalam Juwarni, 2001) mengemukakan bahwa coping merupakan proses penilaian kognitif yang dimiliki individu. Penilaian kognitif tersebut menentukan tinggi rendahnya stres yang timbul dan reaksi individu terhadap stres. Perbedaan penilaian kognitif membuat besarnya tekanan dan reaksi terhadap stres pada masing-masing individu berbeda.

Efikasi diri dapat mempengaruhi cara coping individu terhadap tekanan di tempat kerja (Jex dan Bliese, 1999). Menurut Thornton (dalam Schaufeli dan Buunk, 1996), strategi coping yang dihubungkan denga burnout adalah strategi coping defensif, seperti escaping atau avoidance, yang secara positif berhubungan dengan burnout dan

(21)

merupakan bentuk emotion focusedcoping (Schaufeli dan Buunk, 1996). Menurut Bandura (1997), bentuk coping lari dari masalah dipengaruhi oleh efikasi diri yang rendah.

Konsep efikasi diri dipandang sebagai mekanisme yang dapat membangkitkan kemampuan individu untuk menggerakkan dan mengorganisir kemampuan kognitif, sosial, emosional, dan perilaku yang dimiliki untuk menjalankan tugas tertentu atau mencapai tujuan tertentu (Bandura, 1997).

Efikasi diri menunjukkan besarnya keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk melakukan sesuatu dalam upaya mengendalikan atau mengatasi keadaan yang menekan. Menurut Jes dan Bliese (1999), perasaan mampu mengontrol suatu keadaan dapat mengurangi akibat negatifdari tekanan, sehingga orang yang mempunyai efikasi diri tinggi cenderung mengalami stres yang lebih rendah pada situasi tersebut.

Efikasi diri dapat mempengaruhi besar usaha dan ketahanan individu dalam menghadapi kesulitan (Bandura, 1997). Individu dengan efikasi diri tinggi memandang tugas-tugas sulit sebagai tantangan untuk dihadapi daripada sebagai ancaman untuk dihindari. Mereka memiliki komitmen yang tinggi untuk mencapai

tujuan-tujuannya. Mereka akan

menginvestasikan tingkat usaha yang tinggi dan berpikir strategis untuk mengatasi kegagalan. Individu dengan efikasi diri tinggi cenderung inovatif dan lebih suka melaksanakan tugas yang menantang (Aftab et al., 2012)

Pada saat individu dihadapkan pada situasi yang menimbulkan stres, keyakinan terhadap efikasi diri akan turut mempengaruhi reaksinya terhadap situasi tersebut (Bandura, 1997). Individu yang merasa tidak yakin pada kemampuan dirinya dalam menghadapi situasi, maka akan mudah menyerah pada kondisi stres dan stres akan

(22)

menjadi semakin parah serta dapat berkembang menjadi burnout. Individu dengan efikasi diri rendah akan mudah mengalami kelelahan (exhaustion) (Aftab et al., 2012).

Keyakinan terhadap efikasi diri dapat dijadikan prediktor untuk melihat kerentanan seseorang terhadap burnout. Individu dengan keyakinan efikasi diri tinggi akan berusaha menemukan cara konstruktif untuk menghadapi stresor yang kronis, sedangkan individu dengan efikasi diri rendah cenderung menghindari tekanan masalah. Strategi coping defensif ini justru kemudian dapat meningkatkan ketegangan dan tekanan pada individu. Tekanan atau stres yang bergulir dari waktu ke waktu dan tidak ada habisnya, dapat berkembang menjadi burnout.

Dengan demikian efikasi diri dapat dianggap sebagai sumber potensial dari dalam diri individu (internal buffer) dalam proses coping terhadap stres. Efikasi diri tinggi dapat berpengaruh

positif terhadap performansi kerja, meningkatkan motivasi kerja, rasa percaya diri dalam menghadapi persoalan dan tuntutan pekerjaan, mampu mengontrol tekanan yang terjadi di lingkungan kerja sehingga dapat terhindar dari stres yang berkepanjangan yang beresiko terjadinya burnout. Individu dengan efikasi diri tinggi cenderung dapat bertahan dan terhindar dari burnout.

Dengan demikian usaha-usaha untuk meningkatkan efikasi diri tinggi perlu diupayakan oleh setiap organisasi penyelenggara jasa pelayanan kemanusiaan (human service) agar para individu pekerja jasa pelayanan kemanusiaan dapat terhindar dari burnout. Lebih lanjut, Efikasi diri tinggi dapat berpengaruh positif terhadap performansi kerja, meningkatkan motivasi kerja, rasa percaya diri dalam menghadapi persoalan dan tuntutan pekerjaan, serta mampu mengontrol tekanan yang terjadi di lingkungan kerja.

(23)

DAFTAR RUJUKAN

Aftab,N., Shah,A.A., & Mehmood,R. 2012. Relationship of Self Efficacy and Burnout Among Physicians. Academic Research International, Vol.2, No.2. hal. 539-548.

As’ad,M.,dan Soetjipto,H.P. 2000. Hubungan antar Beberapa Aspek Budaya Perusahaan dengan Tingkat Burnout pada Karyawan Bagian Pelayanan Publik.Jurnal Psikologi, No.2. Hal. 101-110. Yogyakarta: Fakultas Psikologi, UGM.

Bandura,A. 1986. Social Foundation of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. New Jersey: Prentice-Hall Inc.

--- 1997. Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: W.H. Freeman and Company.

Etzion, D. 1984. Moderating Effect of Social Support on the Stress-Burnout Relationship. Journal of Applied Psychology, Vol.69, No.4. hal.615-622.

Farhati, F. 1996. Peran Tingkat Karakteristik Pekerjaan dan Dukungan Sosial terhadap Tingkat Burnout Karyawan Radiant Utama Group di Jakarta. Skripsi (tidak diterbitkan).

Greenberg,J. & Baron,R.A. 2000. Behavior in Organizations. 7th Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Gunduz, B. 2012. Self-Efficacy and Burnout in Professional School Counselors. Educational Sciences: Theory and Practice, Vol.12, No.3. hal. 1761-1767.

Halbesleben, J.R.B. & Buckley, M.R. 2004. Burnout in Organizational Life. Journal of Management, Vol.30, No.6. hal. 859-879.

Jackson,S.E., Schwab,R.L., and Schuler,R.S. 1986. Toward an Understanding of the Burnout Phenomenon. Journal of Applied Psychology, Vol.71, No.4. hal.630-640.

Jex,S.M.,& Bliese,P.D. 1999. Efficacy Beliefs as A Moderator of The Impact of Work-Related Stressors: A Multilevel Study. Journal of Applied Psychology, Vol.84, No.3. hal.349-361.

Jex,S.M.,& Gudanowski,D.M. 1992. Efficacy Beliefs and Work Stress: an Expalatory Study. Journal of Organizational Behavior, Vol.13. hal.509-517.

Juwarni. 2001. Peran Efikasi Diri dan Efikasi Kolektif terhadapTingkat Burnout pada Karyawan. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi, UGM.

Lailani, F. 2005. Burnout Pada Perawat Ditinjau Dari Efikasi Diri dan Dukungan Sosial. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Program Pascasarjana, UGM.

Lunenburg, F.C. 2011. Self-Efficacy in the Workplace: Implications for Motivation and Performance. International Journal of Management, Business, and Administration, Vol.14, No.1. hal. 1-6.

Schaufeli,W.B. & Buunk,B.P. 1996. Professional Burnout. Handbook of Work and Health Psychology. Schabracq,M.J., Winnubst,J.A.M., & Cooper, C.L. (editor).

(24)

Chichester: JohnWiley and Sons Ltd.

Schaufeli,W.B. & Janczur,B. 1994. Burnout Among Nurses: A Polish-Dutch Comparison. Journal of Cross-Cultural Psychology,Vol.25, No.1. hal. 95-113.

Schultz,D.P. & Schultz,S.E. 1994. Psychology and Work Today: An Introduction to Industrial and Organizational Psychology. 6th Edition. Nwe York: MacMillan Publishing Company.

Sulistyantini,S.R. 1997. Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Burnout pada Perawat di Rumah Sakit Angkatan Laut Jakarta Pusat. Skripsi (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi, UGM.

Tjondronegoro,P. 2003. Kecenderungan Burnout pada Perawat RS St. Elizabeth Semarang. Tesis (tidak diterbitkan). Yogyakarta: Program Pascasarjana, UGM.

Van Dierendonck,D., Schaufeli,W.B. & Buunk,B.P. 1998. The Evaluation of An Individual Burnout Intervention Program: the Role of Inequity and Social Support. Journal of Applied Psychology, Vol.83, No.3. hal. 392-407.

Vrugt,A. 1996. Perceived Self-Efficacy, Work Motivati and Well-Being. Handbook of Work and Health Psychology. Schabracq,M.J., Winnubst,J.A.M., & Cooper, C.L. (editor). Chichester: JohnWiley and Sons Ltd

Referensi

Dokumen terkait

Jika melihat koefisien pada standardized yang menunjukkan angka -0,562 untuk model korelasi efiksi diri dan stres akademik maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan negatif

Hubungan Kualitas Tidur dengan Tekanan Darah dan Kemampuan Konsentrasi Belajar Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Riau.. Jurnal Online Mahasiswa

Penelitian ini mengacu kepada penelitian sebelumnya, yaitu: Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2013) dengan judul Hubungan Efikasi Diri dan Regulasi Emosi