• Tidak ada hasil yang ditemukan

AB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA. tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerendegeneesmiddelen Ordonantie yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AB II PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA. tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerendegeneesmiddelen Ordonantie yang"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

AB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

A. Sejarah Tindak Pidana Narkotika

Pertama kali psikotropika diatur dalam Staatsblad 1949 Nomor 419 tanggal 22 Desember 1949 tentang Sterkwerendegeneesmiddelen Ordonantie yang kemudian diterjemahkan dengan Ordonansi Obat Keras. Jadi pertama kali psikotropika tidak diatur sendiri tetapi masih disatukan dengan bahan baku obat atau obat jadi lainnya yang termasuk obat keras (Daftar G). Pada tanggal 2 April 1985 keluar Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 213/Men.Kes/Per/IV/1985 tentang Obat Keras Tertentu. Peraturan Menteri Kesehatan tersebut mencabut Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 983/A/SK/1971 dan Keputusan Menteri RI Nomor 10381/A/SK/1972. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1993 dikeluarkan lagi Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 124/Men.Kes/Per/ II.1993 tentang Obat Keras Tertentu yang merupakan perbaikan serta penambahan Peraturan Menteri Kesehatan RI terdahulu, dalam peraturan tersebut juga dilampiri Lampiran I dan Lampiran II, tetapi belum mencantumkan ketentuan pidana. Baru kemudian pada tanggal 11 Maret 1997, Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika diundangkan. Sebelum kelahiran Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tidak ada ketegasan dari segi hukum pidana mengenai tindak pidana psikotropika.

Ada beberapa revisi terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1997tersebut karena masih ditemukan beberapa kelemahan selama pelaksanaan

(2)

atau penerapannya sehingga undang-undang tersebut diratifikasi pada Tahun 2009 sehingga melahirkan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang mana ada beberapa perbedaan dengan undang- undang sebelumnya. Uraian masing- masing peraturan perundang-undangan tersebut yaitu;

1. Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927).

Pada zaman penjajahan Belanda kebiasaan penyalahgunaan obat bius dan candu, sudah mulai terasa membahayakan masyarakat, pemakainya terutama masyarakat golongan menengah (khususnya keturunan cina) oleh sebab itu, pada zaman tersebut pemerintah Hindai Belanda mengeluarkkan Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927, yaitu peraturan yang mengatur tentang obat bius dan candu.58 Selain itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No. 514). Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan perundang-undangan ini, materi hukumnya hanya mengatur mengenai perdagangan dan penggunaan narkotika, sedangkan tentang pemberian pelayanan kesehatan untuk usaha penyembuhan pecandunya tidak diatur.

Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun, sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan

(3)

Undang-Undang No. 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan Undang-Undangg No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.23

Dengan pemikiran bahwa perbuatan, penyimpanan, pengedaran, dan penggunaan narkotika tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama merupakan kejahatan yang sangat merugikan perorangan dan masyarakat dan merupakan bahaya besar bagi perikehidupan menusia dan kehidupan Negara dibidang politik, keamanan, sosial, budaya, serta ketahanan nasional bangsa Indonesia, maka terbitlah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, yang mengatur cara penyediaan dan penggunaan narkotika untuk keperluan pengobatan dan atau cara ilmu pengetahuan serta untuk mencegah dan menanggulangi bahaya-bahaya yang dapat ditimbulkan akibat sampingan dari 2. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika.

Ketidak puasan akan pelaksanaan kegiatan penanggulangan narkotika dan obat-obat terlarang telah mengakibatkan bangsa Indonesia berpikir untuk menyempurnakan peraturan/regulasi tentang Narkotika karena Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927) dirasa tidak lagi mampu untuk meredam pertumbuhan kejahatan narkotika. Dimana Narkotika merupakan obat yang diperlukan dalam bidang pengobatan dan ilmu pengetahuan, yang diketahui dapat menimbulkan ketergantungan yang dangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pembatasan dan pengawasan yang seksama.

23Hukumonlinesiboro.Blogspot.Com/2011/12/Faktor-Faktor Lahirnya kebijakan Untuk.html (diakses pada 11 Februari 2015)

(4)

penggunaan dan penyalahgunaan narkotika serta mengatur rehabilitasi terhadap pecandu narkotika.24

1. Pada Pasal 23 ayat (1) Dilarang secara tanpa hak menanam atau memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan atau menguasai tanaman Papaver, tanaman Koka atau tanaman Ganja.

Adapun perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam lingkup tindak pidana penyalahgunaan narkotika dalam undang-undang ini diatur dalam Pasal 23 ayat (1) sampai (7) adalah :

2. Pada Pasal 23 ayat (2) Dilarang secara tanpa hak memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, meracik atau menyediakan narkotika. 3. Pada Pasal 23 ayat (3) Dilarang secara tanpa hak memiliki, menyimpan

untuk memiliki atau untuk persediaan atau menguasai narkotika.

4. Pada Pasal 23 ayat (4) Dilarang secara tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika.

5. Pada Pasal 23 ayat (5) Dilarang secara tanpa hak mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menukar narkotika. 6. Pada Pasal 23 ayat (6) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika

terhadap orang lain atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain.

7. Pada Pasal 23 ayat (7) Dilarang secara tanpa hak menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri.

24 Ibid

(5)

Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime . Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Bahkan dapat melemahkan ketahanan nasional.

Saat ini Indonesia sudah mempunyai Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor: 143), tanggal 12 Oktober 2009, yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Narkotika (lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 67), karena sebagaimana pada bagian menimbang dari Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009 huruf e dikemukakan: bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara, sehingga Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas Tindak Pidana tersebut. Oleh sebab itu, berdasarkan ketentuan 153

(6)

UndangNomor 35 Tahun 2009, bahwa dengan berlakunya Undang-UndangNomor 35 Tahun 2009, maka Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Undang-Undang No 35 Tahun 2009 disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 ini tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-UndangNarkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.25

Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo. 536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997.

25 Totokyuliyanto.wordpress.com/2009/11/10/catatan-terhadap-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika/(diakses Pada Selasa, 10 Februari 2015)

(7)

B. Bentuk-bentuk Tindak Pidana Narkotika

Munculnya berbagai bentuk kejahatan dalam dimensi baru akhir-akhir ini menunjukkan, kejahatan itu selalu berkembang. Demikian juga dengan kejahatan narkotika tidak lepas dari perkembangan tersebut. Kejahatan narkotika (the drug trafficking industri), merupakan bagian dari kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (Activities of Transnational Criminal Organizations) di samping jenis kejahatan lain.

Jenis-jenis kejahatan tersebut sangat memprihatinkan masyarakat internasional, karena apabila dikaitkan dengan ancaman atau akibat yang ditimbulkannya sangat begitu dahsyat (insidious), dan dapat menembus ke berbagai segi atau bidang, baik terhadap keamanan dan stabilitas nasional maupun internasional, dan merupakan ancaman utama (frontal attack) terhadap kekuasaan politik, dan ancaman bagi kewibawaan negara. Adapun tujuan utama dilakukannya jenis kejahatan ini adalah untuk menghasilkan keuntungan baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan tersebut. Dana-dana gelap ini akan digunakan oleh pelaku untuk membiayai kegiatan kejahatan selanjutnya.

Kejahatan narkotika yang merupakan bagian dari kejahatan terorganisasi, pada dasarnya termasuk salah satu kejahatan terhadap pembangunan dan kejahatan terhadap kesejahteraan sosial yang menjadi pusat perhatian dan keprihatinan nasional dan internasional. Hal itu sangat beralasan, mengingat ruang lingkup dan dimensinya begitu luas, sehingga kegiatannya mengandung ciri-ciri sebagai organized crime, white-collar crime, corporate crime, dan transnational crime. Bahkan, dengan menggunakan sarana teknologi dapat menjadi salah satu

(8)

bentuk dari cyber crime. Berdasarkan karakteristik yang demikian, maka dampak dan korban yang ditimbulkannya juga sangat luas bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

C. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika

Narkotika masuk ke Indonesia diketahui pada tahun 1969 di Jakarta. Pada waktu itu dari sejumlah pasien yang berobat ke Senatorium Kesehatan Jiwa Dharmawangsa oleh psikiater mendapati seorang pasien pengguna narkotika dan sejak itulah disadari bahwa narkotika telah masuk ke Indonesia.26

Pola peredaran narkotika di Indonesia melalui udara terutama di pelabuhan udara yang banyak menerima wisatawan mancanegara. Meskipun diketahui Indonesia telah masuk narkotika tahun 1969 dalam tingkat peredaran Indonesia diketahui sebagai negara transit. Pada tahun 1999 status tersebut telah berubah menjadi negara tujuan pemasaran/pengguna. Perubahan terjadi setelah jumlah korban terus bertambah dan tertangkapnya jenis narkotika oleh petugas Bea Cukai di Bandara Internasional dalam jumlah yang banyak. Di samping itu pula aparat kepolisian berhasil menangkap/membongkar jaringan sindikat pengedar tingkat internasional di Hotel berbintang dan tempat-tempat pemukiman penduduk.Oleh karena pengawasan peredaran narkotika yang semakin ketat sejak tahun 1999

Sejak diketemukan sampai tahun 1972 jumlah pasien penyalahgunaan narkotika terus meningkat dan Senatorium kewalahan menanganinya. Pada tahun 1972 didirikanlah Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati.

26 Zulkarnain Nasution, dkk, Modul Penyuluhan Klasikal, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, GAN Indonesia dan Pusat Informasi Masyarakat Anti Narkoba Sumatera Utara (PIMANSU, Medan, 2004), hlm 46.

(9)

narkotika masuk ke Indonesia tidak hanya lewat pelabuhan udara tetapi melalui jalur laut dan darat dan dimungkinkan telah beredar ke kota-kota besar dan kecil di Indonesia. Di samping itu pula ada jenis-jenis narkotika yang telah diproduksi secara illegal.27

Perkembangannya transaksi narkotika di Jakarta tahun 2000 setiap harinya diperkirakan 1,3 milyar rupiah yang diimpor secara gelap dari manca Negara.28

1. Lewat paket pos yang dikirim dari mancanegara kepada seseorang di negara tujuan dengan menggunakan nama alibi/alias, guna menghindari tertangkapnya si pemesan. Jika barang tersebut lolos dari sensor atau pengawasan aparat, narkotika yang dalam paket sampai ke tangan pengedar/banda.

Sindikat jaringan pengedar sangat dideteksi oleh aparat Bea Cukai. Diperkirakan masuknya narkotika dari mancanegara tidak dapat dituntaskan mengingat adanya negara di Kawasan Asia yang mengandalkan ekspornya dari jenis-jenis narkotika. Di samping itu wilayah Indonesia bertetangga dengan negara Australia yang menjadi negara tujuan pemasaran setelah transit lebih dahulu di bandara internasional di Indonesia, setidaknya waktu transit dimungkinkan pengedar mengupayakan narkotika yang tertinggal.

Berbagai kajian yang dilakukan pemerhati masalah narkotika disimpulkan bahwa pola peredaran narkotika sangat bervariasi yakni

27 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: Gunung Mulia, 1991), hlm 28 28 Ibid. hlm 46

(10)

2. Lewat orang yang diberi gaji/upah dengan membawa secara langsung yang tersimpan dalam kas/koper yang telah dikemas sampai tidak terdeteksi alat sensor di pelabuhan udara.

Penentuan suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan pidana haruslah melewati tahap kriminalisasi, yaitu “proses untuk menjadikan suatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi tindak pidana”.29 Teori-teori criminali sering yang mengemukakan tentang proses penentuan dapat dipidananya suatu perbuatan, dan yang berusaha menjelaskan tentang faktor -faktor determinan yang mempengaruhi proses-proses ini, ternyata terbatas sekali. Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem30

Dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam suatu sistem pembangunan harus dilihat dalam tiga kerangka, yaitu struktur, substansi, dan kultur. Struktur adalah mekanisme yang terkait dengan kelembagaan. Substansi adalah landasan-landasan, aturan-aturan, dan tatanan-tatanan yang mendasari

29

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hlm. 255.

30 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, (Jakarta: Aksara Baru, 2001) hlm. 55

(11)

sistem itu. Kemudian Kultur adalah konsistensi terhadap pandangan sikap filosofis yang mendasari sistem.31

Hal itu penting agar pihak berwenang sebagai pengambil keputusan jangan sampai terjebak kebijakan yang bersifat pragmatis, yaitu suatu kebijakan yang didasarkan pada kebutuhan sesaat (jangka pendek) sehingga tidak dapat bertahan untuk jangka panjang. Akibatnya justru akan merugikan masyarakat itu sendiri. Syarat pertama untuk menindak terhadap suatu perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam undang-undang pidana yang merumuskan perbuatan tercela itu dan memberikan suatu sanksi terhadapnya, ini disebut legalitas dalam hukum pidana.32

Dalam hal ini negara memiliki kewenangan untuk menentukan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang perlu dilindungi, terutama intervensi pihak lain. Dengan demikian tampak lebih jelas bahwa antara norma perilaku dan hukum pidana (permusan delik) mempunyai hubngan yang saling mengait. Perumusan delik ini diperlukan asas legalitas, dan karena salah satu tugas hukum pidana adalah melayani tegaknya terti hukum dalam suatu Negara.33

Proses kriminalisasi diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan Diana perbuatan tersebut diancam dengan suatu sanksi berupa pidana (tahap formulasi). Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk

31

Teguh Prasetyo dan Abdul Hlmim Bakatullah,Politik Hukum Pidana, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005. hlm. 14

32 Ibid., hlm 5 33 Ibid.

(12)

diterapkan oleh hakim (tahap aplikasi) dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (tahap eksekusi).34

Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto berpendapat, dalam menghadapi masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut:35

1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat; mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;

2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki,” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan/atau spiritual) atas warga masyarakat;

3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost benefit principle);

34 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2010), hlm 32 35 Ibid., hlm 48

(13)

4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overblasting)

Berangkat dari permasalahan di atas maka dalam Undang-Undang Narkotika sendiri perlulah memiliki suatu kebijakan tertulis mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan narkotika itu sendiri. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, Ketentuan Pidana di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pada Bab XV Ketentuan Pidana yaitu pada Pasal 111 sampai Pasal 148.

Kriminalisasi penyalahgunaan Narkotika telah diatur pada kebijakan Pidana dan Pemidanaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, yaitu: a. Tindak pidana yang berkaitan dengan penggolongan narkotika, dan precursor

narkotika, meliputi

1) Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dan narkotika golongan II bukan tanaman;

2) Pengadaan dan peredaran narkotika golongan I, II, dan golongan III, yang tidak menaati ketentuan perundang-undang yang berlaku, seperti:

a) memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;

b) menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;

(14)

c) membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransit narkotika golongan I, narkotika golongan II, narkotika golongan III;

d) menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain, atau memberikan narkotika untuk digunakan orang lain, narkotika golongan I, golongan II, narkotika golongan II setiap penyalahguna narkotika golongan I, golongan II, dan golongan III bagi diri sendiri;

b. Orang tua atau wali dari pecandu yang belum cukup umur yang sengaja tidak melapor atau setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 129;

c. Dalam hal tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan 126, dan Pasal 129 yang dilakukan oleh korporasi, atau dilakukan secara terorganisasi;

d. Membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129 undang-undang ini; e. Pecandu narkotika yang sudah cukup umur dan dengan sengaja tidak

melaporkan diri atau keluarga dari pecandu narkotika yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut;

f. Tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh para pejabat yang berkaitan dengan narkotika, meliputi:

1) Pengurus industri farmasi yang tidak melaksanakan kewajiban dalam Pasal 45;

2) pimpinan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang

(15)

mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;

3) pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

4) pimpinan industri farmasi tertentu yang memproduksi narkotika golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau

5) Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan I yaitu bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, atau; 6) mengedarkan narkotika golongan II dan III, bukan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;

7) nahkoda atau kapten penerbang yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 27 atau Pasal 28;

8) Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 88 dan Pasal 89;

9) Penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 92 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4);

10) Kepala Kejaksaan Negeri yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana penjara dan pidana denda;

(16)

11) Petugas Laboratorium yang memalsukan hasil pengujian atau secara melawan hukum tidak melaksanakan kewajiban melaporkan hasil pengujiannya kepada penyidik atau penuntut umum, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda;

g. Ketentuan lain dalam rangka pemeriksaan terhadap tindak pidana Narkotika, meliputi:

1) Percobaan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126 dan Pasal 129

2) Pemberatan pidana tersebut tidak berlaku bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun;

3) Menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana precursor narkotika di muka sidang pengadilan;

4) Narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika, baik berupa asset dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud serta barang-barang atau peralatan yang diguakan untuk melakukan tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika dirampas untuk negara.

(17)

5) saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika di muka pengadilan dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda;

6) apabila pidana denda tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika dan tindak pidana prekursor narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama dua tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar;

7) setiap orang yang dalam jangka waktu tiga tahun melakukan pengulangan tindak pidana narkotika dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 129 pidana maksimumnya ditambah dengan sepertiga.

Melakukan kejahatan money Laundering, yang diduga ada kaitannya dengan tindak pidana narkotika, meliputi:

a. menempatkan, membayarkan, atau membelanjakan, menitipkan, menukarkan, menyembunyikan, atau menyamarkan, menginvestasikan, menyimpan, menghibahkan, mewariskan, dan/atau mentrasfer uang, harta, dan benda, atau asset baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika;

b. Menerima penempatan, pembayaran, atau pembelanjaan, penitipan, penukaran, penyembunyian, atau penyamaran investasi, simpanan, atau transfer, hibah, waris, harta atau uang, benda atau aset, baik dalam bentuk benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, yang

(18)

diketahuinya berasal dari tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika;

Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor Narkotika dan telah menjalani pidananya, dilakukan pengusiran ke luar wilayah Negara Republik Indonesia, dan setelah Warga negara Asing yang telah diusir dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia. Demikian pula, Warga Negara Asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika dan/atau tindak pidana prekursor narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Republik Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Guru memindahkan skor murid ke dalam Borang Profil Psikometrik (Profil Individu dan Profil Umum).  Borang

Hasil analisa menunjukan bahwa nilai optimum kekasaran permukaan pada proses pembubutan paduan Magnesium AZ31 menggunakan Responce Surface Methode Box-Behnken Design

In this paper, we define the implementation capacity of ISCoffee as the capacity of stakeholders (farmers, different government levels, businesses etc.) to implement the

Sedangkan pengertian mengenai kebudayaan sendiri yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Konsep dasar Pelayanan Publik yaitu bagaimana meningkatkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dan/atau pemerintahan daerah menjalankan fungsi pelayanan, dari segi

dan nilai Anti-image Correlation variabel- variabel yang diuji diatas 0,5. Pada analisis selanjutnya dari variabel- variabel preferensi konsumen dalam memilih buah durian,

Lebih lanjut, Permendagri ini menyatakan bahwa ada mixed- approach sebagai pengejawantahan prinsip-prinsip tersebut, “Orientasi Proses Pendekatan Perencanaan Politik (penjabaran