BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah persediaan merupakan permasalahan yang selalu dihadapi para pengambil keputusan dalam bidang persediaan. Persediaan dibutuhkan karena pada dasarnya pola permintaan tidak beraturan. Persediaan dimaksudkan untuk menjamin adanya kepastian bahwa pada saat dibutuhkan barang-barang tersebut tersedia.
Salah satu masalah dalam persediaan adalah kesulitan dalam menentukan besarnya jumlah persediaan yang harus disediakan dalam memenuhi setiap permintaan. Apabila jumlah persediaan terlalu sedikit, maka dapat mengakibatkan risiko terjadinya kekurangan persediaan (stockout) karena barang tidak dapat didatangkan secara mendadak sesuai permintaan, yang akan menyebabkan terhentinya proses produksi. Selain itu, hal ini dapat menyebabkan konsumen akan beralih ke tempat lain, sehingga dapat mengurangi perolehan laba. Sebaliknya, apabila jumlah persediaan terlalu besar, maka dapat mengakibatkan kerugian akibat dana menganggur yang besar (yang tertanam dalam persediaan), pertambahan biaya penyimpanan barang, biaya penyusutan, pajak, asuransi, dan kerusakan barang.
Pengelolaan persediaan secara tradisional hanya memandang dari satu aspek saja, yaitu pemasok atau pembeli. Hal ini tidak menguntungkan bagi kedua belah pihak karena kebijakan optimal bagi pemasok belum tentu optimal bagi pembeli. Untuk itu dilakukan sistem pengelolaan persediaan yang melibatkan semua pihak agar diperoleh nilai optimal terhadap sistem secara keseluruhan. Sistem pengelolaan tersebut dikenal dengan Manajemen Rantai Pasok.
Manajemen Rantai Pasok merupakan pendekatan untuk pengelolaan persediaan dan distribusi secara terintegrasi antara pemasok, produsen, distributor, dan
pengecer untuk meminimasi ongkos sistem secara keseluruhan. Manajemen Rantai Pasok dapat dibedakan dalam tiga aspek yaitu: aspek pemasok dan pembeli, aspek produksi dan distribusi, dan aspek persediaan dan distribusi. Dalam pengembangan model ini, aspek yang akan dibahas adalah pemasok dan pembeli.
Dalam pengelolaan persediaan, jenis produk juga harus menjadi perhatian dalam menentukan kebijakan optimal. Hal ini disebabkan produk-produk tersebut dapat mengalami kerusakan. Produk yang dapat mengalami kerusakan antara lain susu, minuman segar, sayur-sayuran, daging, bahan makanan, produk pharmasi, dan lain-lain. Kerusakan merupakan hal yang penting karena dapat mengakibatkan kerugian, terutama ketika barang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan mengalami proses kerusakan karena disimpan terlalu lama dalam persediaan. Bentuk kerusakan yang terjadi bermacam-macam, seperti damage, spoilage, atau dryness. Dengan demikian kebijakan pengelolaan persediaan perlu mempertimbangkan faktor kerusakan, dimana umur hidup produk relatif lebih pendek dibanding siklus persediaan.
Pada model persediaan untuk produk yang mengalami kerusakan dengan
shortage yang diijinkan, pembeli melakukan pemesanan kepada pemasok, kemudian
pemasok memproduksi dengan ukuran tertentu dan mengirimkannya dengan beberapa kali pengiriman dengan ukuran yang sama kepada pembeli, dimana kekurangan permintaan akan dipenuhi dengan pengiriman selanjutnya. Ukuran ini biasanya akan menguntungkan salah satu pihak dalam hal ini pembeli, karena ukuran tersebut merupakan ukuran optimal bagi sistem persediaannya, sementara pihak pemasok harus menanggung resiko biaya yang tinggi. Di sini, pihak pemasok dan pembeli dapat bekerja sama dengan menentukan bersama besarnya jumlah pemesanan yang dapat membagi resiko biaya yang harus ditanggung agar menjadi lebih proporsional bagi kedua belah pihak.
Penelitian pengendalian persediaan dengan mempertimbangkan kerusakan telah banyak dilakukan. Chakrabarty dkk (1998) mengembangkan model persediaan untuk produk yang mengalami kerusakan dengan distribusi Weibull, mengijinkan
model persediaan produksi dengan mempertimbangkan laju produksi tergantung
demand dan tingkat persediaan. Bhunia dan Maiti (1998) mengembangkan model
dengan laju produksi tergantung tingkat persediaan. Wee dkk (1999) mengembangkan model persediaan produksi dengan mempertimbangkan nilai waktu dari uang. Wee dan Hui-Ming (1999) mengembangkan model dengan mempertimbangkan quantity
discount, harga dan backorder parsial. Sarker dkk (2000) mengembangkan model
kerusakan produk dengan mempertimbangkan faktor inflasi dan penundaan dalam pembayaran. Model-model yang dikembangkan tersebut hanya memperhatikan satu aspek saja, yaitu pemasok atau pembeli.
Berdasarkan dari model-model tersebut, penulis mengembangkan suatu model integrasi pemasok-pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan
backorder untuk mendapatkan solusi optimal yang menguntungkan kedua belah
pihak.
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimana model integrasi pemasok-pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan backorder untuk memperoleh total biaya yang minimum bagi pemasok-pembeli.
1.3 Batasan Masalah
Adapun batasan-batasan masalah yang digunakan dalam model persediaan ini yaitu: 1. Tingkat produksi bersifat deterministik dengan laju yang tetap.
2. Laju kerusakan produk adalah konstan.
3. Tingkat permintaan (𝐷) pembeli dan tingkat produksi (𝑃) pemasok adalah tetap dengan 𝑃 > 𝐷.
4. Tidak terjadi lost sale, permintaan yang tidak terpenuhi akan dilakukan
backorder dan dipenuhi dengan pengiriman berikutnya.
6. Biaya transportasi ditanggung oleh pembeli. 7. Pemenuhan untuk backorder diterima sekaligus.
1.4 Tinjauan Pustaka
Herjanto (2004, hal: 219), menyatakan bahwa persediaan dapat diartikan sebagai bahan atau barang yang disimpan yang akan digunakan untuk memenuhi tujuan tertentu, misalnya untuk proses produksi atau perakitan, untuk dijual kembali, dan untuk suku cadang dari suatu peralatan atau mesin.
Ristono (2009, hal: 2), menyatakan bahwa persediaan merupakan suatu model yang umum digunakan untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan usaha pengendalian bahan baku maupun barang jadi dalam suatu aktifitas perusahaan. Ciri khas dari model persediaan adalah solusi optimalnya difokuskan untuk menjamin persediaan dengan biaya yang serendah-rendahnya.
Baroto (2002, hal: 53), menyatakan bahwa timbulnya persediaan disebabkan oleh mekanisme pemenuhan atas permintaan, keinginan untuk meredam permintaan yang bervariasi dan tidak pasti dalam jumlah maupun waktu kedatangan, serta adanya keinginan melakukan spekulasi yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dari kenaikan harga di masa mendatang.
Dua masalah yang dihadapi suatu sistem di dalam mengelola persediaannya (Nasution, 2008, hal: 116) adalah sebagai berikut:
1. Masalah Kuantitaif, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan penentuan kebijaksanaan persediaan, antara lain:
a. Berapa banyak jumlah barang yang akan dipesan/dibuat. b. Kapan pemesanan/pembuatan barang harus dilakukan. c. Berapa jumlah persediaan pengamanannya.
2. Masalah Kualitatif, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan sistem pengoperasian persediaan yang akan menjamin kelancaran pengelolaan sistem persediaan seperti:
a. Jenis barang apa yang dimiliki. b. Di mana barang tersebut berada.
c. Siapa saja yang menjadi pemasok (supplier) masing-masing item.
Tujuan pengendalian persediaan (Assauri, 1998, hal: 177) dapat diartikan sebagai usaha untuk:
1. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga menyebabkan proses produksi terhenti.
2. Menjaga agar penentuan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar sehingga biaya yang berkaitan dengan persediaan dapat ditekan.
3. Menjaga agar pembelian bahan baku secara kecil-kecilan dapat dihindari.
Jonrinaldi dan Suprayogi (2006), menyatakan bahwa pada model integrasi antara pemasok dan pembeli untuk produk yang mengalami kerusakan dengan
backorder, total biaya persediaan (𝑇𝐶) merupakan gabungan antara total biaya
pemasok dan total biaya pembeli, yang dapat dirumuskan sebagai:
𝑇𝐶 = total biaya pemasok + total biaya pembeli 1. Total Biaya Pemasok
Total biaya pemasok diperoleh dengan menggabungkan biaya pembuatan (setup cost), biaya penyimpanan (holding cost), dan biaya deteriorasi yang dapat dirumuskan sebagai:
𝑇𝐶𝑠 = biaya pembuatan + biaya penyimpanan Jika diketahui: Biaya pembuatan = 𝐶 𝑇 Biaya penyimpanan = 𝐻𝑠𝑆𝑠 𝑇
+
𝐶𝑑𝜃𝑆𝑠 𝑇Maka 𝑇𝐶𝑠 dapat dirumuskan sebagai:
𝑇𝐶𝑠 =𝐶𝑇 +𝐻𝑠𝑇 +𝑆𝑠 𝐶𝑑𝑇𝜃𝑆𝑠 2. Total Biaya Pembeli
Total biaya pembeli diperoleh dengan menggabungkan biaya pemesanan (ordering cost), biaya penyimpanan (holding cost), dan biaya kekurangan persediaan (shortage cost) yang dapat dirumuskan sebagai:
𝑇𝐶𝑏 = biaya pemesanan + biaya penyimpanan + biaya shortage Jika diketahui: Biaya pemesanan = 𝐴+𝑁𝐹+𝑉𝑁𝑞𝐶 𝑇 Biaya penyimpanan = 𝑋𝑏(𝐻𝑏+ 𝐶𝑑𝜃) Biaya shortage = 𝐾.𝐽 2 2𝑞 Maka 𝑇𝐶𝑏 dapat dirumuskan sebagai:
𝑇𝐶𝑏 = 1𝑇(𝐴 + 𝑁𝐹 + 𝑉𝑁𝑞) + 𝑋𝑏(𝐻𝑏+ 𝐶𝑑𝜃) + 𝐾.𝐽
2 2𝑞 Dengan demikian 𝑇𝐶 dapat dirumuskan sebagai:
𝑇𝐶 = 𝑇𝐶𝑠 + 𝑇𝐶𝑏
𝑇𝐶 = �𝑇 +𝐶 𝐻𝑠𝑇 +𝑆𝑠 𝐶𝑑𝑇 � + �𝜃𝑆𝑠 𝑇1(𝐴 + 𝑁𝐹 + 𝑉𝑁𝑞) + 𝑋𝑏(𝐻𝑏+ 𝐶𝑑𝜃) + 𝐾. 𝐽 2 2𝑞� Dimana:
1. Untuk Sistem Rantai Pasok
𝑁 = jumlah pengiriman per siklus produksi 𝑄 = ukuran produksi per batch produksi (unit) 𝑇 = total waktu siklus (tahun)
𝑞 = ukuran pengiriman (unit)
𝜃 = laju kerusakan terhadap tingkat persediaan per tahun 𝐶𝑑 = biaya kerusakan (Rp/unit)
2. Untuk Pemasok
𝑃 = laju produksi (unit/tahun)
𝐶 = biaya setup per siklus batch pruduksi (Rp/setup) 𝐻𝑠 = biaya penyimpanan persediaan (Rp/unit/tahun) 𝑆𝑠 = luasan di bawah kurva persediaan pemasok 3. Untuk Pembeli
𝐷 = laju permintaan (unit/tahun) 𝐴 = biaya pemesanan (Rp/pesan)
𝐻𝑏= biaya penyimpanan persediaan (Rp/unit/tahun) 𝐹 = biaya tetap transportasi (Rp/kirim)
𝑉 = biaya variabel transportasi (Rp/unit) 𝑆𝑏 = luasan di bawah kurva persediaan pembeli 𝐽 = ukuran stockout (unit)
𝐾 = biaya backorder (Rp/unit/tahun)
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah diperolehnya model integrasi antara pemasok dan pembeli dengan adanya kebijakan backorder untuk produk yang mengalami kerusakan, untuk memperoleh total biaya persediaan yang minimum.
1.6 Kontribusi Penelitian
Adapun kontribusi dari penelitian ini adalah:
1. Membantu para pemasok dan pembeli untuk mengetahui total biaya persediaan yang minimum untuk produk yang mengalami kerusakan dengan adanya kebijakan backorder.
2. Menambah referensi yang berhubungan dengan masalah persediaan untuk model persediaan dengan backorder yang diharapkan dapat membantu para
pengambil keputusan dalam mengatasi permasalahan mengenai persediaan barang.
1.7 Metodologi Penelitian
Penelitian ini bersifat literatur yang disusun berdasarkan rujukan pustaka, dengan pendekatan sebagai berikut:
1. Mengumpulkan dan mempelajari buku-buku dan jurnal-jurnal penelitian yang berhubungan dengan penelitian.
2. Mempelajari landasan teori yang mendukung penelitian. 3. Merancang model integrasi pemasok-pembeli.
4. Mengimplementasikan model. 5. Menarik kesimpulan.