• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

12

Dalam kajian pustaka ini, akan dibahas tujuh hal pokok, ketujuh hal tersebut, meliputi: (1) pengertian pembelajaran (2) pembelajaran sastra, (3) metode pembelajaran (4) menulis kreatif, (5) jenis-jenis karya sastra, (6) strategi pembelajaran sastra(7) Indikator kemampuan .

A. Kajian Pustaka

1. Pengertian Pembelajaran

Pembelajaran mengandung makna adanya kegiatan mengajar dan belajar, karena pihak yang mengajar adalah guru dan yang belajar adalah murid yang berorientasi pada kegiatan mengajarkan materi yang berorientasi pada pengembangan pengetahuan, sikap, dan keterampilan siswa sebagai sasaran pembelajaran. Dalam proses pembelajaran akan mencakup berbagai komponen lainnya, seperti media, kurikulum, dan fasilitas pembelajaran.

Darsono (2002: 24-25) secara umum menjelaskan pengertian pembelajaran sebagai “suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah kearah yang lebih baik”. Sedangkan secara khusus pembelajaran dapat diartikan sebagai berikut :

1) Teori Behavioristik, mendefinisikan pembelajaran sebagai usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan

(2)

lingkungan (stimulus). Agar terjadi hubungan stimulus dan respons (tingkah laku yang diinginkan) perlu latihan, dan setiap latihan yang berhasil harus diberi hadiah dan atau reinforcement (penguatan). 2) Teori Kognitif, menjelaskan pengertian pembelajaran sebagai cara

guru memberikan kesempatan kepada murid untuk berfikir agar dapat mengenal dan memahami apa yang sedang dipelajari.

3) Teori Gestalt, menguraikan bahwa pembelajaran merupakan usaha guru untuk memberikan materi pembelajaran sedemikian rupa, sehingga murid lebih mudah mengorganisirnya (mengaturnya) menjadi suatu gestalt (pola bermakna).

4) Teori Humanistik, menjelaskan bahwa pembelajaran adalah memberikan kebebasan kepada murid untuk memilih bahan pelajaran dan cara mempelajarinya sesuai dengan minat dan kemampuannya. 5) Arikunto (1993: 12) mengemukakan “pembelajaran adalah suatu

kegiatan yang mengandung terjadinya proses penguasaan pengetahuan, keterampilan dan sikap oleh subjek yang sedang belajar”. Lebih lanjut Arikunto (1993:4) mengemukakan bahwa “pembelajaran adalah bantuan pendidikan kepada anak didik agar mencapai kedewasaan di bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap”.

Sedangkan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa “pembelajaran adalah proses

(3)

interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”.

Dari berbagai pendapat pengertian pembelajaran di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan suatu proses kegiatan yang memungkinkan guru dapat mengajar dan murid dapat menerima materi pelajaran yang diajarkan oleh guru secara sistematik dan saling mempengaruhi dalam kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang diinginkan pada suatu lingkungan belajar.

Proses pembelajaran merupakan proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke penerima pesan. Pesan, sumber pesan, saluran/ media dan penerima pesan adalah komponen-komponen proses komunikasi. Proses yang akan dikomunikasikan adalah isi ajaran ataupun didikan yang ada dalam kurikulum, sumber pesannya bisa guru, murid, orang lain ataupun penulis buku dan media.

Demikian pula kunci pokok pembelajaran ada pada guru (pengajar), tetapi bukan berarti dalam proses pembelajaran hanya guru yang aktif sedangkan murid pasif. Pembelajaran menuntut keaktifan kedua belah pihak yang sama-sama menjadi subjek pembelajaran. Jadi, jika pembelajaran ditandai oleh keaktifan guru sedangkan murid hanya pasif, maka pada hakikatnya kegiatan itu hanya disebut mengajar. Demikian pula bila pembelajaran yang dilakuakn hanya murid yang aktif tanpa melibatkan keaktifan guru untuk mengelolanya secara baik dan terarah,

(4)

maka hanya disebut belajar. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran yang baik menuntut keaktifan guru dan siswa secara bersama-sama. 2. Pembelajaran Sastra

Kegiatan pembinaan apresiasi sastra dalam pembelajaran sastra itu melalui usaha untuk mendekatkan anak kepada sastra yakni, menumbuhkan rasa peka dan rasa cinta anak kepada sastra. Dengan kata lain pembinaan apresiasi sastra akan menimbulkan minat baca siswa terhadap karya sastra. Dengan usaha ini, diharapkan pembelajaran sastra dapat membantu menumbuhkan perkembangan aspek kejiwaan anak sehingga terbentuk suatu kebutuhan pribadi yang utuh. Menurut Hartako (1989) pengertian apresiasi sebagai tingkat terakhir yang dapat dicapai dalam domain afektif pencapaiannya memerlukan waktu yang sangat panjang serta prosesnya berlangsung setelah pendidikan formal berakhir. Terkait dengan pernyataan Dick tersebut, kiranya dapat dipahami bahwa apresiasi sastra yang sempurna sukar dicapai dibangku pendidikan. Oleh karena itu, apresiasi yang dibina di bangku pendidikan dapat dikatakan sebagai proses menuju apresiasi yang sebenarnya.

Pembelajaran sastra bagi siswa sekolah menengah umum bertujuan siswa diharapkan mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, menciptakan estetika dalam berkomunikasi, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Rahmanto (1988:20) mengemukakan bahwa pembelajaran sastra yang

(5)

dilaksanakan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengapresiasi cipta sastra pada prinsipnya mencakup dua segi, yaitu: (1) peningkatan kemampuan menikmati, menghayati, dan memahami karya sastra, dan (2) peningkatan keberanian dan keterampilan kreatif dalam mengungkapakan gagasan, pengalaman, dan perasaan dalam berbagai bentuk karya sastra serta membahas secara lisan atau tertulis karya sastra tersebut. Menurut Wardani (1981:2) pengajaran sastra berfungsi sebagai berikut:

1) Melatih keempat keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis).

2) Menambah pengetahuan tentang pengetahuan hidup manusia seperti adat istiadat, agama, kebudayaan, dan sebagainya.

3) Membantu mengembangkan diri. 4) Membantu membentuk watak.

5) Memberi kenyaman, keamanan, dan kepuasan, melalui kehidupan manusia dan fiksi.

6) Meluaskan dimensi kehidupan dengan pengalaman-pengalaman baru hingga dapat malarikan diri sejenak dari kehidupan yang sebenarnya.

3. Metode Pembelajaran

Dalam proses belajar-mengajar metode mempunyai peran yang sangat penting. Penggunaan metode / strategi yang tepat akan banyak

(6)

berpengaruh terhadap keberhasilan pengajaran dari tujuan yang telah ditentukan.

Pemilihan metode yang digunakan oleh guru dalam menyampaikan bahan pembelajaran harus berlandaskan pada prinsip tertentu dan sesuai dengan tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Metode adalah suatu alat dan bukan tujuan, oleh karena itu, baik tidaknya alat ini digunakan untuk pelajaran tertentu, sangat ditentukan oleh orang yang menggunakan alat itu, yaitu guru. Untuk itu, guru jangan sampai terbelenggu oleh salah satu metode yang digunakan dalam proses belajar mengajar.

Sehubungan dengan itu, Rahmanto (1988) mengemukakan bahwa pengajaran sastra yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan, mengapresiasi karya sastra pada umumnya dapat ditempuh dengan beberapa metode sebagai berikut:

1) Membacakan

Kebiasaan membacakan perlu ditanamkan kepada siswa karena karya sastra yang berbentuk prosa pada umumnya panjang, maka kegiatan membacakan ini dapat dilakukan dengan mengambil atau memilih bagian-bagian yang menarik dari cerita yang akan dibicarakan. Gaya bacanya tentu saja harus meyakinkan sehingga dapat merangsang minat siswa untuk membaca sendiri seluruh cerita yang telah dibacakan.

(7)

2) Meragakan

Cerita adalah sesuatu yang abstrak. Agar penghayatan siswa terhadap cerita menjadi lebih mantap, dapat dibantu dengan cara meragakan atau menvisualisasikannya. Caranya, dapat dilakukan dengan mendramatisasikan bagian-bagian tertentu dari cerita dan membuat diagram mengenai kejadian tertentu atau merekonstruksi suatu peristiwa yang terjadi dalam cerita. Dengan cara ini siswa akan lebih memahami terutama dalam hal penghayatan cerita tersebut

3) Mengajukan pertanyaan

Suatu pertanyaan diajukan kepada para siswa dengan berbagai tujuan; misalnya, untuk mengetahui atau menguji kemampuan pemahaman siswa terhadap cerita yang dibaca atau disimaknya, untuk menarik dan menumbuhkan minat, memberikan penguatan, untuk membimbing suatu penemuan, untuk memancing diskusi, dan sebagainya. Tanya jawab yang dilakukan dapat memperlihatkan pola interaksi antara guru dengan siswa.

4) Mendiskusikan

Bimbingan apresiasi tidak hanya dapat dilakukan di kelas, tetapi juga dapat dilaksanakan di luar jam tatap muka yaitu, siswa diberikan tugas pekerjaan rumah. Dengan memberikan pekerjaan rumah, siswa lebih giat dan termotivasi untuk selalu belajar.

(8)

Memberikan tugas di rumah merupakan bagian kegiatan belajar-mengajar sastra yang tidak dapat ditinggalkan karena membaca prosa adalah perjalanan yang panjang dan tidak mungkin dapat diselesaikan seluruhnya di kelas. Oleh karena itu, tugas yang diberikan dapat berupa; membaca sebagian atau seluruh cerita (novel atau cerpen); membuat catatan mengenai hal-hal yang telah dibaca, khususnya mengenal unsur-unsur ceritanya; dan mencatat kesan umum mengenai cerita yang bersangkutan.

4. Menulis Kreatif

Menurut Akhadiah (1998:11) menulis adalah menyusun gagasan secara runtut dan sistematis. Enre (1994:2) menyatakan bahwa menulis adalah kemampuan mengungkapkan pikiran dan perasaan dalam tulisan yang efektif. Selanjutnya,Tarigan(1986:21) mengemukakan bahwa menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dapat dipahami oleh seseorang sehinggga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut jika mereka memahami bahasa grafik itu.

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah suatu proses melahirkan pikiran atau perasaan yang dituangkan dalam bentuk tulisan sehingga pembaca dapat menikmatinya.

(9)

Hairston (dalam Budiman, 1992:5) menyatakan bahwa ada beberapa alasan yang menyebabkan keterampilan menulis itu menjadi penting, yaitu:

1) Kegiatan menulis adalah suatu sarana untuk menemukan sesuatu. Dalam hal ini, dengan menulis seseorang dapat

merangsang pemikiran dan kalau itu dilakukan dengan intensif, maka akan membuka penyumbat otak dalam rangka mengangkat ide dan informasi yang ada di alam bawah sadar pemikiran.

2) Kegiatan menulis dapat memunculkan ide baru. Ini terjadi

kalau seseorang membuat hubungan antara ide yang satu dengan yang lain dan melihat keterkaitan secara keseluruhan. 3) Kegiatan menulis dapat melatih kemampuan seseorang untuk

mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep atau ide yang dimilki. Dengan menuliskan berbagai ide itu berari penulis harus dapat mengaturnya ke dalam suatu bentuk tulisan yang padu.

4) Kegiatan menulis dapat membantu seseorang untuk

menyerap dan memproses informasi. Bila seseorng akan menulis sebuah topik, terlebih dahulu yng dilakukan adalah mempelajaritopik itu dengan sebaik-baiknya. Apabila kegiatan itu dilakukan terus-menerus, maka akan mempertajam

(10)

kemampuan seseorang dalam menyerap dan memproses informasi.

5) Kegiatan menulis akan memungkinkan untuk berlatih

memecahkan beberapa masalah sekaligus. Dengan menempatkan unsur-unsur masalah dalam sebuah tulisan berarti akan dapat menguji, dan kalau perlu memanipulasinya. 6) Kegiatan menulis dalam suatu bidang ilmu memungkinkan untuk menjadi aktif dan bukan hanya penerima informasi.

Kegiatan menulis menurut Akhadiah (1998: 2) memiliki banyak keuntungan yaitu sebagai berikut:

1) Dengan menulis seseorang dapat mengenali kemampuan dan potensi dirinya. Ia dapat mengetahui batas pengetahuan yang dilikinya terhadap suatu topik. Untuk mengembangkan topik itu, seseorang harus berpikir, menggali pengetahuan dan pengalaman yang kadang tersimpan di alam bawah sadar.

2) Melalui kegiatan menulis seseorang dapat mengembangkan gagasannya.

3) Kegiatan menulis memaksa seseorang lebih banyak

menyerap, mencari, serta menguasai informasi yang berhubungan dengan topik yang akan ditulis. demikian, kegiatan menulis memperluas wawasan, baik secara teoretis maupun mengenai fakta-fakta yang berhubungan.

(11)

4) Menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat.

5) Melalui tulisan, seseorang dapat meninjau serta menilai gagasannya lebih objektif.

6) Dengan menulis seseorang akan lebih mudah memecahkan permasalahannya, yakni dengan menganalisisnya secara tersurat dalam kontks yang lebih konkret.

7) Kegiatan menulis dapat mendorong orang untuk belajar secara aktif.

8) Kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan seseorang berpikir dan berbahasa secara tertib.

Sebagai puncak kemampuan berbahasa, kegiatan menulis sebenarnya menuntut kemampuan yang kompleks. Kegiatan ini bukan hanyamembutuhkan pensil, kertas, mesin tik atau komputer, melainkan yang lebih penting adalah kemampuan memilih atau menentukan ide atau topik tulisan, mencari fakta, mengorganisasi materi tulisan, menyatukan hingga menjadi suatu tulisan, dan sebagainya. Dengan demikian, seorang penulis yang ingin belajar menulis pun harus tahu bahwa untuk menyelesaikan tugas-tugas menulis yang sederhana pun tetap diperlukan sejumlah kemampuan.

Kegiatan menulis merupakan satu kegiatan tunggal jika yang ditulis hanya sebuah karangan yang sederhana, pendek, dan bahannya sudah siap di kepala. Akan tetapi, sebenarnya kegiatan menulis itu merupakan

(12)

suatu proses, yaitu suatu proses penulisan. Ini berarti bahwa melakukan kegiatan menulis itu dalam beberapa tahap, yakni tahap prapenulisan, tahap penulisan, dan tahap revisi.

Dalam praktiknya, ketiga tahap penulisan ini tidak dapat dipisahkan secara jelas karena sering tumpang tindih. Pada saat membuat rencana, mungkin juga sudah dilakukan revisi di sana sini. Tumpang tindih itu terutama terjadi jika yang ditulis berupa karangan pendek berdasarkan sesuatu yang telah diketahui, misalnya jika harus mengarang di kelas.

5. Jenis-Jenis Karya Sastra

Karya sastra bukan hanya berfungsi sebagai media alternatif yang dapat menghubungkan kehidupan manusia masa lampau, masa kini, dan masa yang akan datang, tetapi dapat juga berfungsi sebagai bahan informasi masa lalu yang berguna dalam upaya merancang peradaban manusia kearah kehidupan yang lebih baik dan bergairah di masa depan. Seniman menyampaikan kebenaran yang sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan sosial. Karya sastra adalah “dokumen karena merupakan monumen” (document because they are monument).

Fiksi adalah kisahan dalam bentuk prosa sebagai hasil dari imajinasi pengarang terhadap objek yang nyata. Karya sastra yang termasuk fiksi adalah: prosa (novel, cerpen, dan roman), dan drama.

(13)

Prosa fiksi adalah kisahan yang diemban oleh pelaku tertentu dengan pemerannya, latar serta tahapan, dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga terjalin suatu cerita. Karya fiksi atau prosa fiksi dibedakan dalam bentuk seperti cerpen, novel, dan roman.

Dalam pernyataan Culler (dalam Semi, 1988), dijelaskan bahwa sekiranya cerita rekaan merupakan suatu sistem, maka subsistem yang terpenting adalah alur (plot), tokoh (penokohan), dan tema. Sehubungan dengan pernyataan Culler, Semi (1988) juga mengemukakan pandangannya secara lebih lengkap bahwa struktur dalam (intrinsik) adalah unsur-unsur yang membentuk karya sastra seperti penokohan, tema, alur (plot), pusat pengisahan, latar (setting), dan gaya bahasa.

Cerpen, novel, dan roman adalah karya sastra dalam bentuk prosa. Prosa fiksi dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinantif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal tersebut berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal ini dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia.Wellek dan Warren (1989) mengemukakan bahwa realitas dalam karya fiksi merupakan ilusi kenyataan dan kesan yang meyakinkan untuk ditampilkan, namun tidak selalu merupakan kenyataan sehari-hari.

(14)

Cerpen dan novel adalah dua jenis karya fiksi yang cukup populer. Istilah novel mencakup pula pengertian roman, sebab roman hanyalah istilah novel untuk zaman sebelum perang dunia kedua di Indonesia. Digunakannya istilah roman waktu itu adalah waiar karena sastrawan Indonesia pada waktu itu berorientasi ke negeri Belanda, yang lazim menggunakan bentuk ini dengan roman. Istilah ini juga dipakai di Perancis dan Rusia, serta sebagian negara-negara Eropa lainnya.Istilah novel dikenal di Indonesia setelah kemerdekaan, setelah sastrawan Indonesia banyak beralih kepada bacaan-bacaan yang berbahasa Inggris.

Ada beberapa pakar teori sastra yang membedakan antara novel dan roman, dengan mengatakan bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan memutuskan kehidupan yang tegas, sedangkan roman dikatakan penggambaran kehidupan yang lebih luas yang biasanya melukiskan peristiwa pada masa kanak-kanak sampai dewasa dan meninggal dunia.

Cerpen dan novel merupakan bentuk kesusastraan yang secara perbandingan adalah baru. Karya ini baru dikenal masyarakat kira-kira setengah abad yang lalu. Novel Indonesia secara resmi muncul setelah terbitnya buku yang berjudul Si Jamin dan Si Johan, tahun 1919 karya Merari Siregar, yang merupakan saduran dari bahasa Belanda. Selanjutnya, pada tahun berikutnya terbit novel Azab dan Sengsara oleh pengarang yang sama. Sejak itu, mulailah berkembang sastra fiksi yang dinamai novel dalam khazanah sastra Indonesia.

(15)

Cerpen pada dasarnya menyajikan perwatakan yang jelas pada tokoh cerita. Sang tokoh merupakan ide sentral dari cerita. Cerita bermula dari sang tokoh dan berakhir pada nasib yang menimpa sang tokoh. Unsur perwatakan lebih dominan dari unsur cerita itu sendiri.

Di dalam karya prosa fiksi, ada dua unsur yang membangun yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik terdiri atas :

1) Tema

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2008) tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (dipercakapkan, dipakai sebagai dasar mengarang, menggubah sajak, dsb.)

Tema merupakan ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Tema adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra.

Kata tema berasal dari bahasa Latin Thema yang berarti pokok pembicaraan, dalam kamus istilah sastra, tema berarti: gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam karya sastra yang terungkap atau tidak.

Tema dalam sebuah karya sastra sangatlah beragam, ada yang tergarap secara mendalam ada pula yang hanya pada bagian atau lapisan pemukaannya. Kualitas karya sastra ditentukan oleh penggarapan tema. Pengarang mengangkat tema berdasarkan pengalaman, pengamatan dan hubungannya dengan lingkungannya. Pemilihan tema dilakukan pengarang secara subjektif.

(16)

Sementara itu, Suyuti, (2000) dalam Azis, (2012: 62) menguraikan bahwa tema dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu tema jasmaniah, yaitu tema yang berkaitan dengan keadaan jiwa seseorang. Tema organik (moral) yang berhubungan dengan moral manusia. Tema sosial yang berhubungan dengan masalah politik, pendidikan, dan propaganda. Tema egoik, berhubungan dengan reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial. Tema ketuhanan yang berhubungan dengan kondisi manusia sebagai makhluk sosial.

Tema dapat ditafsirkan melalui cara-cara berikut:

(1) Penafsir hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang dikedepankan.

(2) Penafsir tema hendaknya tidak bertentangan dengan tiap detil cerita.

(3) Penafsir hendaknya tidak mendasarkan diri pada bukti-bukti yang tidak dinyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung.

(4) Penafsir haruslah mendasarkan pada bukti yang secara langsung ada atau yang disajikan dalam cerita (Suyuti, 2000) 2) Alur/Plot

Alur atau plot adalah jalinan atau rangkaian peristiwa dalam sebuah karya sastra sehingga jalan cerita dari awal sampai akhir tersusun ke dalam satu kesatuan. Alur dalam cerpen atau dalam karya fiksi yang umumnya adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan perist iwa sehingga menjalin suatu cerita. Cerita yang dihadirkan oleh para

(17)

pelaku. Istilah alur dalam hal ini sama dengan istilah plot maupun struktur cerita. Tahapan peristiwa menjalin suatu cerita bisa berbentuk dari berbagai peristiwa.

Alur cerita bisa diibaratkan sebagai gelombang yang berawal dari : eksposisi, komplikasi atau intrik-intrik awal yang akan berkembang, klimaks, dan relefasi atau penyingkapan tabir suatu masalah.

3) Latar / Setting

Latar merupakan penggambaran situasi, tempat, dan waktu serta terjadinya suatu peristiwa dalam cerita. Latar atau setting adalah segala keterangan mengenai waktu, tempat, dan suasana terjadinya peristiwa serta memilki fungsi fisikal dan fungsi psikologis yang dilukiskan dalam suatu cerita atau karya sastra.

4) Tokoh / Karakter

Tokoh adalah pelaaku atau orang yang memerankan suatu cerita. Karakter adaulah sifat atau watak yang dimilki oleh para pelaku baik pelaku protogonis maupun antagonis.

5) Sudut Pandang

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih oleh pengarang untuk mengemukakan gagasan dari ceritanya. Sudut pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya.

(18)

Dalam karya sastra, termasuk cerpen ada amanat atau pesan khusus penulis yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan Khusus yang dimaksud dalam hal ini adalah pesan yang dapat dijadikan pegangan hidup agar lebih arif dalam meniti kehidupan. Seandainya pembaca mengalami dan menghadapi permasalahan yang sama dengan cerita dalam karya itu, maka pesan khusus itulah yang disebut amanat.

Sedangkan unsur ekstrinsik terdiri atas: nilai-nilai dari luar yang dibawa masuk ke dalam cerita untuk membangun sastra itu seperti nilai adat istiadat, budaya, sosial, agama, psikologis.

b. Drama 1) Pengertian

Prosa fiksi dengan drama adalah sebagai teks sastra, yang terdapat perbedaan tetapi memilili banyak kesamaan di antara keduanya. Pada dasarnya, prosa fiksi dan drama memilki bahan baku yang sama yakni cerita. Hanya saja, cara penyampaian keduanya yang berbeda, di mana prosa disusun dengan menempuh cara dekskripsi atau pelukisan sedangkan drama disusun dengan teknik penyampaian dalam bentuk dialog. Karena itu membaca drama akan menguras pikiran-perasaan untuk menafsirkan kembali perkembangan alur dramatik, pemahaman aspek pementasan pelu dimilki pembaca drama ( Effendi, 1967 )

Kata drama berasal dari kata “dramas” dalam bahasa Yunani, yang berarti suatu perbuatan atau kumpulan pertunjukan kehidupan

(19)

seseorang. Dalam bahasa Inggris, kata drama dipadankan dengan kata action atau a thing done sebagai suatu segi kehidupan yang dihidangkan dengan gerak (Tarigan, 2000). Drama adalah ragam bahasa sastra berbentuk dialog yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan di atas pentas, secara khusus bahwa drama lebih menunjuk pada lakon yang mempermasalahkan unsur filsafat dan nilai susila yang agung dan besar dalam masyarakat.

Karya sastra yang berupa teks drama dipandang dari sisi teks sastra, yang terdapat perbedaan antara naskah (script) drama dan lakon (play) drama. Dalam konteks ilmu sastra, teks drama adalah bentuk teks tertulis dari cerita drama. Hal ini dapat dianalogikan dengan kasus dalam dunia music, yaitu meski kita mengenal istilah pertitur, score yaitu suatu bentuk tertulis musik menjadi terwujudkan setelah pertitur. Score dimainkan sehingga terdengarlah alunan getar nada-nada yang disembunyikan dalam ruang dan waktu tertentu. Begitu halnya juga dengan dunia drama, lakon adalah hasil perwujudan naskah yang dimainkan. Ditegaskan pula bahwa sebuah lakon dalam karya drama siapa pun, yang berkali-kali dimainkan ia akan berubah kualitasnya tergantung dari siapa dan di mana dimainkan. Sedangkan naskah drama itu tetap berkualitas.

Istilah teater berasal dari bahasa Yunani yaitu theareon, yang diturunkan dari kata theaoromi, yang berarti takjub melihat atau

(20)

memandang. Tetapi pada akhirnya dalam perjalanan zaman, maka teater mewakili tiga pengertian yakni:

(1) sebagai gedung tempat pertunjukan, panggung sejak zaman sebelum Masehi (471-348), (2) sebagai publik atau auditorium. Pengertian ini dikenal pada zaman Herodotus (480-224), (3) sebagai bentuk karangan tonil (Adhyasmara, 1983).

Drama ada yang panjang dan ada yang pendek. Drama panjang biasanya terdiri atas tiga atau lima babak; mengandung cerita panjang, karakter yang beragam, dan juga setting yang beragam pula. Jumlah tiga atau lima babak disesuaikan dengan tiga atau lima tingkatan plot cerita yakni pengenalan, konflik, klimaks, penguraian masalah, dan penutup. Drama pendek adalah drama yang hanya terdiri atas satu babak, dalam satu babak itulah struktur cerita dan tingkatan plot tadi diselesaikan (Sumardjo dan Saini KM, 1997).

2) Jenis-jenis drama

Menurut jenisnya drama dapat dibagi atas lima jenis yaitu: (1) drama tragedi, adalah drama yang berakhir dengan menyedihkan, sekurang-kurangnya satu tokoh yang meninggal, action dan pemikirnya dilakukan dengan amanat seius dan respek pada setiap pribadi, (2) drama komedi ialah suatu drama dalam hal tokoh-tokohnya berada dala situasi humor dan berakhir dengan kebahagiaan, (3) drama tragikomedi adalah yang lakuan berakhir bahagia meskipun alurnya terarah katastrof,

(21)

dikatakan pula bahwa tragikomedi yang khas menggunakan tokoh-tokoh bahasawan yang terlibat dalam situasi yang tidak menentu, (4) melodrama ialah bentuk drama yang masih berhubungan dengan tragedi , hanya kurang unsur tragedinya, dan (5) farce secara umum dapat dikatakan sebagai sebuah drama yang bersifat karikatural, dengan cirri utama:

(a) kejadian dan tokohnya mungkin terjadi atau mungkin ada, (b) menimbulkan kelucuan seenaknya, (c) bersifat episodik, dan (d) segala sesuatu yang terjadi muncul dari situasi, bukan dari tokoh.

Dalam sebuah drama ada beberapa kaidah yang harus dipenuhi menurut Aristoteles, yaitu adanya kesatuan gerak, kesatuan waktu, dan kesatuan tempat. Aristoteles kemudian menambah enam unsur dasar utama drama yaitu, plot, peran, pikiran, dialog, musik, dan tata pentas. Ada beberapa unsur pokok yang perlu diketahui karena hal itu merupakan inti yang fundamental dalam drama yang terdiri atas plot, karakter atau perwatakan, dialog, penempatan ruang dan waktu (setting) serta interpretasi kehidupan.

Menurut Sumardjo, (1984) unsur-unsur yang membentuk drama, yaitu: tema, plot, setting, karakter, dialog, pembagian waktu, efek, dan retorika. Berturut-turut uraiannya sebagai berikut:

(1) Tema Drama

Suatu karya sastra mutlak memiliki tema. Demikian juga dalam sebuah drama. Tema adalah persoalan pokok bagi pengarang, di

(22)

samping persoalan laian yang tidak kalah pentingnya. Tema drama terungkap melalui ucapan-ucapan, pikiran, dan tingkah laku utama terhadap persoalan-persoalan yang dihadapinya dengan tokoh-tokoh yang lain.

Tema dalam drama tidak dinyatakan secara tersurat tetapi dapat ditangkap secara tersirat, setelah pembaca/penikmat mengikuti dengan cermat dan intensif. Jadi tema ialah pokok pemikiran yang mengandung nilai-nilai, yang oleh pengarang dianggap penting untuk disampaiakan kepada pembaca dalam bentuk kalimat.

(2) Plot Drama

Membicarakan plot berarti membicarakan jiwa dan kehidupan suatu drama. Pada dasarnya plot merupakan rangkaian atau susunan dari permulaan ke pertengahan menuju pengakhiran. Di dalam plotlah terjadi konflik-konflik dan pertentangan yang menimbulkan adanya peristiwa yang membentuk drama. Plot ialah hubungan sebab akibat. Pada umumnya pembagian struktur drama yaitu: mula 1. Eksposisi, pengenalan

2. munculnya peristiwa tengah 3. Klimaks, puncak peristiwa akhir 4. Surutnya peristiwa

(23)

(3) Latar / Setting Drama

Suatu drama tidaklah hadir tanpa tempat berpijak. Pengertian latar /setting dalam drama adalah menyangkut tempat, waktu, dan suasana terjadinya cerita drama. Latar drama harus mendukung ide cerita, harus juga menjelaskan karakter tokoh, dan meyakinkan kemungkinan yang terjadi.

Latar menurut Wellek dan Warren (1989) adalah tempat ataukah lingkungan yang dapat berfungsi sebagai metonimia, metafora,

ataukah ekspresi dari tokohnya. Dalam teori naratif dijelaskan bahwa tidak ada satu pun peristiwa yang berlangsung dalam kehampaan, semua tokoh hanya bisa bergerak dalam ruang dan waktu serta suasana tertentu. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai latar / setting sdelalu meliputi tiga aspek, yakni : latar tempat, latar waktu, dan latar atmosfir.

(4) Karakter Tokoh Drama

Untuk mengenal karakter seorang tokoh dalam drama, dapat dilihat dari empat aspek, yaitu: keadaan fisiknya, tingkat sosial, keadaan jiwanya, dan keadaan moralnya. Dan juga dapat diketahui melalui ucapan atau komentar tokoh-tokoh lain dari drama itu. Untuk mengenal tokoh dengan baik, perlu diperhatikan apa yang diucapkannya dan apa yang dilakukannya sepanjang drama itu.

(24)

Karakter atau perwatakan adalah penampilan keseluruhan dari ciri-ciri atau tipe-tipe jiwa seorang tokoh dalam cerita drama. Penggambaran tokoh ditempuh pengarang melalui cara analitik (metode langsung) dan cara dramatis (metode tak langsung). Dengan cara analitik, pengarang langsung menggambarkan watak tokoh, baik secara fisiologis, sosiologi, maupun psikologisnya. Melalui cara dramatis, pengarang tidak secara langsung menceritakan watak tokoh, tetapi melalui penggambaran tempat dan lingkungan tokoh, bentuk lahir seperti bentuk tubuh, dan sebagainya, melalui percakapan, atau melalui perbuatan sang tokoh.

(5) Dialog Drama

Dalam teks drama, pengarang menuliskan pembicaraan yang diucapkan dan harus pantas diucapkan di atas panggung. Oleh karena itu, ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa lisan komunikatif . Tarigan (2000) mengemukakan bahwa dalam drama, dialog haruslah memenuhi dua syarat, yaitu (1) dialog sedapat mungkin mempertinggi nilai gerak; (2) dialog haruslah baik dan bernilai tinggi. Artinya, dialog hendaklah dipergunakan untuk mencerminkan sesuatu yang terjadi selama permainan dan juga harus mencerminkan pikiran dan perasaan para tokoh yang turut berperan dalam drama itu. Selain itu dialog dalam drama

(25)

harus lebih terarah dan lebih teratur daripada percakapan sehari-hari.

Dialog dan gerak merupakan inti karya drama. Dialog mengungkapkan segala sesuatu dalam drama: temanya, peristiwa/kejadian, konflik, watak dan suasana cerita drama. Dialog dalam sebuah drama tidak boleh bertele-tele tetapi harus efektif.

(6) Pembagian Waktu Drama

Pembagian waktu drana berhubungan dengan penulisan plot cerita. Plot cerita terdiri atas tiga bagian yakni: permulaan, tengah, dan akhir. Bagian-bagian tersebut dapat dikembangkan ke dalam tiga babak, yaitu: exposition (pengenalan), komplikasi, dan resolution and conclution/penyelesaian dan tiap babak mengandung beberapa adegan. Penjelasan mengenai waktu kehidupan masa lalu juga tidak kurang pentingnya dalam sebuah drama. Bagian ini berada di luar cerita. Ini juga salah satu tugas penulis drama, biasanya disajikan lewat prolog, epilog, dan dialog. (7) Efek Drama

Yang dimaksud efek dalam sebuah drama adalah pengaruh yang diharapkan oleh pengarang kepada para pembaca atau penontonnya agar dapat mengikuti atau terpengaruh oleh ide yang diyakini yang dikemukakannya itu. Ini dapat dicapai pengarang dengan menciptakan tokoh-tokoh yang simpatik dan baik menjadi

(26)

tokoh utama (protogonis) dan tokoh lawan yang dilkuiskan kurang simpatik dan jahat (antagonis).

(8) Retorika Drama

Retorika adalah pengetahuan dan seni berbicara atau berpidato di depan umum. Hal ini didayagunakan oleh pemain drama di dalam melontarkan dialognya. Kalimat yang baik belum tentu menarik bila tidak menggunakan retorika yang baik, demikian pula sebaliknya, kalimat yang kurang baik tetapi diucapkan dengan retorika yang baik akan menjadi marak.

Drama lahir dari bahasa percakapan atau dialog. Tidak ada narasi sama sekali dan tidak ada deskripsi yang muluk-muluki. Yang utama ialah dialog saja. Karena itu, dilog harus menarik untuk dibaca bahkan harus punya daya tarik ketika diucapkan. Untuk itulah dperlukan pengetahuan seni atau berpidato dari penulis drama. Retorika yang baik tidak hanya penting bagi penulis drama tetapi lebih penting lagi bagi pemeran (pemain). Dialog harus lebih padat dan lebih ekspresif. Seni memang harus ekspresif, tidak meniru begitu saja dari percakapan sehari-hari, tetapi harus memberikan kekuatan dan ketepatan ungkapan pikiran dan perasaan manusia.

6. Strategi Pembelajaran Sastra

Pencapaian tujuan pembelajaran ditandai oleh tingkat penguasaan kemampuan dan pembentukan kepribadian. Proses

(27)

pembelajaran melibatkan berbagai kegiatan dan tindakan yang perlu dilakukan oleh siswa untuk memeroleh hasil belajar yang baik. Kesempatan untuk melakukan kegiatan dan perolehan hasil belajar ditentukan oleh strategi atau pendekatan yang digunakan oleh guru-siswa dalam proses pembelajaran tersebut.Sehubungan dengan hal ini, maka strategi dalam konteks pembelajaran adalah sebagai pola pembelajaran. Strategi pembelajaran adalah rencana atau pola yang dapat digunakan untuk mendesain pembelajaran dalam kelas, dan untuk menyusun bahan-bahan pengajaran.

Suatu prinsip untuk memilih model pembelajaran ialah belajar melalui proses mengalami secara langsung untuk memperoleh hasil belajar yang bermakna (Hamalik, 1994) proses itu dilakasanakan melalui interaksi antarsiswa dengan lingkungannya. Dalam proses ini siswa termotivasi dan senang melakukan kegiatan pembelajaran yang menarik serta bermakna baginya. Hal ini berarti peranan pendekatan belajar mengajar sangat penting dalam kaitannya dengan keberhasilan belajar.

Menurut Wardani (1981) ada tiga strategi yang sudah populer, yaitu : strategi induktif model Taba, strategi Analisis., dan strategi stratta. Uraian dari ketiga strategi tersebut sebagai berikut:

1) Strategi Induktif Model Taba

Stategi ini paling tepat digunakan untuk mengngajarkan sastra yang berkaitan dengan sejarah, teori, atau membandingkan beberapa

(28)

karya sastra. Strategi ini juga memilki tiga tahap, yaitu tahap pembentukan konsep atau generalisasi, tahap penafsiran atau penjelasan data, dan tahap penerapan prinsip.

Pada tahap pembentukan konsep atau generalisasi, siswa mendaftar data, mengklasifikasikannya, dan memberi nama pada data. Pada tahap kedua, yang dilakukan siswa adalah menafsirkan data, menerangkan atau membandingkan, dan memberikan kesimpulan. Sedangkan kegiatan yang dilakukan pada tahap penerapan prinsip adalah menganalisis masalah, membuat hipotesis, menerangkan, dan memeriksa hipotesis.

Strategi ini dapat dimodifikasi oleh guru sesuai dengan kebutuhan dan memilih tahap yang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Model ini pada prinsipnya melibatkan siswa dalam proses berpikir , agar mampu memberikan kesimpulan/ generalisasi dan pengolahan data yang diperolehnya.

2) Strategi Analisis

Strategi ini sudah banyak dikenal dan dilakukan guru. Hanya saja, analisis yang selama ini dilakukan masih terbatas. Artinya belum mengantarkan siswa sampai kepada penghayatan atas cerita yang dianalisis.

Salah satu tujuan analisis adalah mengenal unsur-unsur yang membangun suatu cerita, Unsur-unsur yang dimaksud antara lain:

(29)

(1) memahami makna harfiah teks, (2) memahami sikap pengarang terhadap tulisannya dan pembacanya, dan (3) memahami tujuan yang ingin disampaikan pengarang melalui tulisannya.

Dalam menelaah cerpen, selain unsur-unsur tersebut masih ada unsur lain sebagai bentuk pengembanagan dari unsur di atas. Unsur-unsur itu anatara lain; alur, penokohan, setting, sudut pandang, gaya, dan tema.

Kegiatan analisis dilakukan dengan tiga tahap, yaitu (1) membaca cerita secara keseluruhan agar siswa memperoleh kesan pertama, (2) menganalisis, untuk menimbulkan kesan objektif, dan (3) memberikan pendapat akhir.

Dalam pelaksanaannya, tahap-tahap tersebut tidak berdiri sendiri tetapi saling memengaruhi. Urutan penelaahannya berkembang secara spiral bukan secara garis lurus.

Penerapan strategi analisis dapat dilakukan sebagai berikut: (1) Tahap pertama, siswa dapat membaca keseluruhan cerpen

yang telah ditentukan. Setelah kegiatan membaca itu dilakukan, guru mengarahkan siswa dengan mengajukan pertanyaan, misalnya bagaimana kesan Anda terhadap cerita tersebut? Apakah cerita itu menarik bagi Anda? Senangkah Anda Membaca cerita tersebut? Jawaban siswa atas pertanyaan itu menjadi acuan guru mengarahkan kegiatan penelaahan lebih jauh.

(30)

(2) Tahap kedua, guru membimbing siswa untuk menganalisis unsur-unsur cerita. Kegiatan ini dilaksanakan secara klasikal dengan memanfaatkan pola interaksi antara guru dengan siswa. Siswa dengan guru dan anatara siswa dengan siswa secara maksimal. Urutan penganalisisan dan jenis pertanyaan pembimbing adalah seperti berikut ini (alur), yakni: peristiwa apa yang Anda jumpai pada bagian permulaan?; Apakah peristiwa tersebut merupakan awal atau akhir cerita?; Apakah peristiwa tersebut menyebabkan konflik?; Konflik apa itu, dan siapa yang mengalaminya?; Apakah pertikaian itu mencapai klimaks?; Bagaimana pengarang menyelesaikan ceritanya?; Apakah rangkaian peristiwa itu terasa wajar dan dapat dipercaya?; Apakah terdapat kejutan dalam cerita tersebut? Setelah pertanyaan terakhir itu selesai, guru memberikan tugas kepada siswa untuk membuat suatu kesimpulan tentang alur-alur cerita yang telah dianalisis bersama-sama.(2) Penokohan, yakni: Siapa pelaku utama cerita tersebut, dan bagaimana lukisan tentang tokoh tersebut?; Siapa pelaku lainnya, dan bagaimana lukisan tentang pelaku-pelaku tersebut?; Apakah menurut Anda cirri-ciri tokoh tersebut ada dalam kehidupan nyata?; Apakah tokoh-tokoh tersebut menunjang terjadinya cerita? Setelah , siswa ditugasi membuat kesimpulan dalam

(31)

buku catatannya. (3) sudut pandang, yakni: dari sudut pandang orang ke berapakah pengarang bercerita?; Apakah pengarang bersikap mengetahui pikiran dan perasaan tokoh-tokohnya?; Apakak kedua cara tersebut di atas dipertahankan dari awal sampai akhir? Setelah itu, siswa ditugasi membuat kesimpulan. (4) tema, yakni: setelah unsur-unsur di atas di analisis, dapatkah Anda menyebutkan makna apa yang Anda petik dari cerita tersebut?; Apakah hal tersebut merupakan hal baru dlam cerita?; Apakah hal tersebut memiliki keterkaitan dengan kehidupan saat ini?

(3) Tahap ketiga adalah siswa menyusun pendapatnya mengenai cerita tersebut lengkap dengan alasannya. Kemudian, satu atau dua orang diminta membacakan pendapatnya di depan kelas, kemudian siswa yang lain akan menanggapi dan memberikan saran perbaikan apabila terjadi kekurangan dari pendapat siswa tersebut.

3) Strategi Stratta

Strategi pembelajaran sastra ini dinamakan strategi Stratta, karena idenya diperoleh dari tulisan Leslie Stratta dalam bukunya Pattem of Language. Menurut satrategi ini, dalam mengajarkan sastra ada tiga tahap yang harus dilakukan yaitu tahap penjelajahan, tahap interpretasi, dan tahap re-kreasi. Kegiatan yang dilakukan pada tahap penjelajahan adalah memberikan kesempatan kepada setiap siswa untuk menikmati

(32)

karya sastra dengan cara mereka sendiri. Pada tahap ini, tugas siswa ialah membaca cerpen atau novel yang telah ditentukan dan mencatat kesan-kesan yang diperolehnya dari kegiatan membaca, serta mencatat berbagai unsur yang terdapat di dalam cerpen atau novel yang bersangkutan.

Pada tahap interpretasi, kegiatan yang dilakukan oleh siswa adalah memberikan penafsiran atau pemahaman terhadap cerita yang dibaca, menganalisis unsure-unsur cerita, dan mendiskusikan cerpen atau novel yang telah mereka baca. Kegiatan ini diikuti dengan presentase dari wakil setiap kelompok, melakukan tanya jawab dan diakhiri dengan perbaikan dan pembenaran atau pengukuhan dari guru.

Pada tahap re-kreasi , langkah ini adalah langkah pendalaman. Siswa diminta untuk mengkreasikan kembali apa yang telah dipahaminya, dengan jalan menukar peran pengarang misalnya menuliskan kembali satu bagian tertentu di sudut pandangan salah seorang pelaku, mengubah bentuk cerita ke dalam bentuk drama, menuliskan satu bagian dalam sastra klasik dengan gaya bahasa masa kini dan sebagainya

Cara melaksanakan setiap langkah tergantung dari teknik yang ingin dipergunakan oleh setiap pengajar. Strategi ini memungkinkan guru bekerja sama dengan siswa dalam kelompok-kelompok atau pun secara perseorangan.

Jika dibandingkan dengan ketiga jenis strategi penyampaian yang telah dikemukakan di atas, terdapat perbedaan dan persamaan.

(33)

Perbedaannya terdapat pada cara memberikan kesempatan yang luas kepada siswa untuk mengkreasikan sendiri pendapatnya pada strategi Stratta dibandingkan dengan strategi yang lainnya.

Persamannya yang jelas ialah: (1) ketiganya berawal dengan membaca dan menghayati secara langsung karya sastra; (2) ketiganya mengenal kegiatan analisis dan interpretasi unsur struktur. Sedangkan perbedaannya terdapat pada langkah terakhir. Strategi stratta lebih menekankan kemampuan berpikir kreatif, strategi Taba menekankan pada kemampuan berpikir kritis induktif yang berorientasi pada proses sedangkan strategi analisis menekankan kemampuan berpikir induktif dan kemampuan dalam menghayati karya sastra.

Dari berbagai strategi yang telah dikemukakan di atas, maka pembelajaran apresiasi sastra yang menjadi fokus penelitian ini adalah penggunaan strategi Stratta dan strategi Analisis .

Dalam penelitian ini strategi pembelajaran sastra yang akan digunakan adalah strategi Stratta dan strategi Analisis untuk mengetahui kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sungguminasa Kabupaten Gowa dalam mengubah prosa fiksi (cerpen) ke dalam bentuk drama.

7. Indikator Kemampuan Mengubah Prosa ke Drama

Dalam mengukur perbedaan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sungguminasa Kabupaten Gowa dalam mengubah prosa ke

(34)

drama dengan menggunakan strategi Stratta dan strategi Analisis dalam penelitian ini yaitu hasil belajar.

Hasil belajar adalah hasil yang dicapai oleh siswa yang telahmengikuti proses belajar mengajar. Hasil pada dasarnya merupakan sesuatu yang diperoleh dari suatu aktivitas, sedangkan belajar merupakan suatu proses yang mengakibatkan perubahan pada individu, yakni perubahan tingkah laku, baik aspek pengetahuannya, keterampilannya, maupun aspek sikapnya. Misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dari ragu-ragu menjadi yakin, dari tidak sopan menjadi sopan. Jika perubahan tingkah laku adalah tujuan yang ingin dicapai dari aktivitas belajar, maka perubahan tingkah laku itulah yang menjadi salah satu indikator yang dijadikan untuk mengetahui kemajuan individu (siswa) yang telah diperoleh di sekolah. Hasil belajar yang dicapai siswa dapat menjadi indikator tentang batas kemampuan, kesanggupan, penguasaan siswa tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai yang dimiliki oleh siswa dalam suatu pembelajaran.

Untuk memperoleh gambaran tentang hasil belajar siswa, maka harus dilakukan evaluasi belajar atau penilaian. Penilaian merupakan salah satu unsur paling penting dalam rangkaian proses pembelajaran, maka dengan penilaian seorang guru dapat mengetahui sejauh mana penguasaan materi yang diperoleh siswa yang ditujukan dengan hasil belajar setelah diberikan tes.

(35)

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa: “Hasil belajar bahasa Indonesia adalah tingkat keberhasilan penguasaan pelajaran bahasa Indonesia yang dicapai murid setalah melalui proses belajar bahasa Indonesia yang diukur dengan menggunakan tes hasil belajar bahasa Indonesia dan diperlihatkan dengan skor penilaian”

Hasil belajar siswa dalam penelitian ini diperoleh dari tes unjuk kerja atau pekerjaan siswa dari kegiatan mengubah karya prosa fiksi (cerpen) ke dalam bentuk drama.Terutama hasil belajar siswa dari post test atau tes akhir.

Dengan mengacu pada petunjuk teknis penilaian, yaitu dikatakan mampu atau tuntas apabila hasil belajar siswa mencapai nilai Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) 75 ke atas untuk ketuntasan individual dan ketuntasan klasikal apabila 85% siswa mencapai nilai 75 ke atas

B. Kerangka Pikir

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat quasi eksperimen dalam bidang pengajaran sastra, yang dilakukan pada apresiasi pengajaran sastra dengan menggunakan strategi Stratta dan strategi Analisis dalam pembelajaran pada siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sungguminasa Kabupaten Gowa. Guru, siswa dan materi dalam kurikulum merupakan faktor penting dalam penelitian ini, karena ketiga komponen tersebut memilki keterkaitan yang sangat penting dalam proses pembelajaran.

(36)

Proses pembelajaran sastra dalam mengapresiasi karya sastra siswa akan diajar dengan menggunakan strategi Stratta yang terdiri atas tiga tahap: pertama penjelajahan yakni memberikan kesempatan kepada siswa untuk menikmati karya sastra dengan cara mereka sendiri; kedua, interpretasi yakni dengan memberikan penafsiran atau pemahaman terhadap cerita yang dbaca, menganalisis unsur-unsur cerita dan mendiskusikan cerpen yang telah mereka baca; dan ketiga tahap re-kreasi adalah langkah pendalaman. Siswa diminta mengre-kreasikan kembali apa yang telah dipahaminya, dengan jalan membuat karya sastra dalam bentuk lain.

Kegiatan siswa dalam mengapresiasi karya sastra dengan strategi Stratta dan strategi Analisis menjadi kajian utama dalam penelitian ini, yang pada akhirnya akan mengetahui perbedaan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sungguminasa Kabupaten Gowa dalam mengubah prosa (cerpen) ke drama.

Perbedaan kemampuan siswa dalam penelitian ini akan dilihat dari hasil tes kedua kelas eksperimen yaitu kelas XI IPA 7 yang diajar dengan menggunakan strategi Stratta dan kelas XI IPA 4 yang diajar dengan menggunakan strategi Analisis. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan siswa dapat dilihat dari nilai rata-rata perolehan hasil tes awal dan tes akhir kedua kelompok kelas eksperimen tersebut, serta kemampuan individu siswa yang dapat dilihat dari tingkat persentase nilai ketuntasan belajar minimal..

(37)

Oleh karena itu, berikut akan disajikan dalam bentuk bagan tentang kerangka pikir dalam penelitian ini.

Bagan Kerangka Pikir

Gambar 1. Kerangka Pikir C. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan kajian pustaka yang telah dikemukakan, maka sebagai anggapan dasar dalam rancangan penelitian ini yaitu “ Ada perbedaan kemampuan siswa kelas XI SMA Negeri 1 Sungguminasa Kabupaten Gowa mengubah prosa ke drama dengan menggunakan strategi Stratta dan strategi Analisis”.

Pembelajaran Sastra Strategi Analisis Prosa Drama Strategi Stratta Analisis Temuan

Referensi

Dokumen terkait

Model pengajaran dan pelatihan strategi kognitif disingkat model P2SK yang mengembangkan kemampuan berpikir kritis terdiri dari beberapa komponen, yaitu: sintaks,

Negosiasi adalah proses perundingan dua belah pihak atau lebih yang masing-masing memiliki sesuatu yang dibutuhkan oleh pihak lainnya untuk mencapai kesepakatan yang

IBM mengatakan akan berinvestasi dalam teknologi untuk memprediksi bencana alam seperti banjir dan topan di India, sebagai bagian dari program global senilai 30 juta dolar AS

World Food India 2017, yang diselenggarakan pada tanggal 3 November 2017 di New Delhi, diikuti oleh lebih dari 2.000 peserta, lebih dari 200 perusahaan dari 30 negara, 18 delegasi

Sementasyon derinliğini artıran tuzlar (yüksek sementasyon sıcaklığında çalışılan tuzlar). Bu durumda ise tuz banyosundaki siyanür miktarı %10’dur ve kullanılan

Setelah data dianalisis dalam dis- tribusi persentase sederhana, maka didapat hasil dari penelitian ini, dan dapat disimpulkan mengenai Peranan Objek Wisata Kimal

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa terdapat satu sampel yaitu pada pedagang 1 dengan pengambilan sampel pukul 14.00 WIB dinyatakan tidak layak