• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN DI PESANTREN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN DI PESANTREN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Kondisi mengenai sarana dan prasarana pendidikan di pesantren umumnya dibangun amat sederhana. Sarana dan prasarana kadangkala cukup, namun tidak ditunjang pendayagunaan dan pengorganisasian yang memadai. Adapula yang tidak begitu peduli dengan urusan sarana dan prasarana, yang penting proses pembelajaran dapat dilangsungkan, dan para santri dapat berinteraksi dengan para guru, meskipun dalam situasi yang sederhana. Sarana pendidikan di pesantren semestinya lebih banyak mendapatkan perhatian. Pesantren tidak hanya memerlukan atau menggunakan ruang-ruang belajar saja, tapi juga sarana pendukung lain yang diperlukan oleh peserta didik, seperti asrama, perpustakaan, ruang pertemuan, ruang shalat, dan sarana prasarana lainnya. Manajemen sarana dan prasarana ini termasuk masalah yang urgen karena terkait langsung dengan kegiatan belajar mengajar serta menjadi ruang interaksi antara murid dengan para guru mereka.

Abstract

Condition of educational facilities and infrastructure in Islamic boarding schools (pesantren) is generally built in very simple way. Facilities and infrastructure are sometimes enough, but not supported by adequate utilization and organization. There is also Islamic boarding school that does not care with the affairs of facilities and infrastructure. The important thing is process of learning can take place, and the students (santri) can interact with teachers, even in simple situation. Educational facilities in Islamic boarding schools should get more attention. Islamic boarding school (Pesantren) requires or uses not only learning rooms, but also other supporting facilities required by santri, such as dormitories, library, meeting room, praying room, and other infrastructures. The facility and infrastructure management includes urgent problem because it relates directly to the teaching and learning activities and is to be an interacting room between students (santri) and teachers.

Kata Kunci: manajemen, pesantren, sarana dan prasarana

IMPLEMENTASI MANAJEMEN SARANA DAN PRASARANA

PENDIDIKAN DI PESANTREN

Kemas Abdurrahman

Dosen Universitas Jambi E-mail: kemas.rahman@gmail.com

(2)

A. Pendahuluan

Sistem pendidikan tidak akan menunjukkan kekuatannya bila tidak ada kerjasama antara pemerintah sebagai penentu kebijakan, dengan masyarakat,

atau dalam lingkup yang lebih sederhana, para orang tua murid.1 Oleh karena

itu banyak pendidikan juga dikelola oleh pihak swasta, yang terdiri dari elemen masyarakat, yang bekerjasama dengan pemerintah untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Para orang tua murid juga akhirnya memiliki banyak pilihan dalam menentukan model pendidikan bagi anak-anak mereka.

Usaha peningkatan dan pengembangan pendidikan yang dilakukan oleh pihak swasta, diwakili oleh suatu yayasan atau lembaga penyelenggara pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut sebagian menyelenggarakan pendidikan secara umum dengan menerapkan kurikulum nasional, seperti pada SD, SMP, atau SMU, dan ada pula lembaga pendidikan lainnya yang menambahkan kurikulum nasional itu dengan kurikulum berciri khas keislaman, seperti pada sebuah madrasah atau pesantren.

Lembaga pendidikan dengan corak pesantren, mempunyai kelebihan tertentu tapi juga memiliki kelemahan tersendiri. Kondisi tersebut diungkapkan oleh Yusuf Amir Faisal, yang mengatakan bahwa lembaga pesantren itu masing-masing memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Kekuatan yang dimiliki pesantren menurutnya ada tiga, yaitu: masih diterima sebagai lembaga pendidikan alternatif; kaitan psikologis antara orang tua muslim dengan kelembagaan ini masih kuat, dan; adanya tradisi keagamaan di pesantren yang dipercaya dapat membina keimanan dan ketakwaan peserta didiknya.

Di samping nilai kekuatan tersebut, ia juga memandang bahwa pesantren masih memiliki beberapa kelemahan, di antaranya: pesantren belum mencapai tujuan untuk menyiapkan kader ulama sebagai pemimpin umat; umumnya pesantren tidak memiliki sarana yang memadai; pesantren juga sering dicap sebagai lembaga tradisional yang menghindar dari dunia modern; serta pesantren sering

terlihat eksklusif, dan manajemen pesantren sering terlihat kurang profesional.2

__________________________________

1 James Owain Jones dalam Philip James Hill, Editor, A Dictionary of Education (London :

Routledge & Kegan Paul, 1982), hlm. 12.

(3)

B. Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan

1. Manajemen

Secara etimologis, istilah “manajemen” berasal dari bahasa latin manus yang berarti tangan, sedangkan dari bahasa Inggris terdapat kata manage yang berarti memerintah, mengendalikan kuda. Pada bahasa Italia maneggiare berarti melatih kuda dalam menindakkan langkah-langkah (kaki)nya. Pada bahasa Indonesia, istilah manajemen sering diterjemahkan dengan

kepemimpinan, ketatalaksanaan, pembinaan, penguasaan, dan pengurusan.3

Secara umum, rumusan yang sering dikemukakan mengenai manajemen menyebutkan bahwa manajemen adalah suatu pencapaian tujuan organisasi

lewat usaha orang-orang lain.4 Dari rumusan ini, manajemen berarti dapat

diterapkan pada setiap bentuk organisasi, seperti perusahaan, pendidikan, rumah sakit, organisasi politik, dan bahkan sebuah keluarga. Supaya organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya, maka diperlukan manajemen, atau dengan kata lain harus melewati suatu proses kegiatan kepemimpinan. Kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi lewat kepemimpinan itulah yang dapat dinamakan manajemen. Pendapat tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Miftah Thoha, bahwa manajemen adalah sebuah tindakan proses yang khas, yang terdiri dari tindakan perencanaan, pengorganisasian, penggiatan, dan pengawasan, yang dilaksanakan untuk menentukan serta mencapai sasaran yang telah ditetapkan

melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber lainnya. 5

Satu hal lagi yang sangat prinsipil dalam manajemen adalah kepemimpinan, tidak terkecuali dalam tataran dunia pendidikan. Proses administrasi dalam pendidikan menuntut adanya kegiatan pengambilan keputusan, perencanaan,

__________________________________

3 Soekarto Indrafachrudi, Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang Baik (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1993), hlm. 53.

4 Sondang P. Siagian, Fungsi-fungsi Manajerial (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), hal. 2. Lebih

jauh ia mengemukakan bahwa ada empat unsur yang dominan dalam manajemen, yaitu; adanya seni, pelaksana, keterampilan, dan tindakan nyata. Unsur-unsur itu kemudian diejawantahkan dalam fungsi-fungsi organik manajemen yang meliputi: perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan, dan penilaian.

5 Miftah Thoha, Kepemimpinan dalam Manajemen; Suatu Pendekatan Perilaku (Jakarta :

Rajawali Pers, cet. 6, 1995), hal. 8. Lihat juga Sukarna, Kepemimpinan dalam Administrasi (Bandung : Mandar Maju, 1990), hal. 67. Ia berpendapat bahwa kepemimpinan itu memiliki keterkaitan yang erat dengan manajemen, meski ia mengakui kepemimpinan itu lebih luas daripada manajemen, bahkan merupakan jiwa atau penggerak dari fungsi-fungsi manajemen.

(4)

organisasi, komunikasi, koordinasi, pengawasan dan penilaian.6

Kegiatan-kegiatan dalam manajemen tersebut tidak terlepas dari kendali suatu kepemimpinan.

Menurut istilah, yang dimaksud dengan pemimpin adalah seseorang yang memimpin dan menggerakkan orang lain sehingga orang yang dipimpinnya itu

mematuhinya dengan sukarela.7 Setiap bentuk organisasi ataupun lembaga, baik

formal maupun non-formal, biasanya memiliki pimpinan.

Contoh dari lembaga tersebut antara lain adalah dunia pesantren. Sudah menjadi pola umum bahwa proses berdirinya sebuah pesantren itu berpangkal semata-mata pada kiyai yang menjadi pengasuh dan pemimpinnya. Pondok pesantren biasanya dibangun dengan kekayaan pemimpinnya sendiri. Sarana fisik dengan segala isinya, tak lain adalah milik sang kiyai sendiri. Ketika kiyai meninggal, milik dan kepemimpinan pesantren pun diturunkan kepada anaknya. Dari tradisi tersebut timbul anggapan bahwa pesantren tak ubahnya seperti

kerajaan kecil yang berbentuk dinasti.8

Studi yang dilakukan Fiedler, dalam Thaha, menyatakan bahwa terdapat tiga dimensi utama yang digunakan untuk efektifitas gaya kepemimpinan, yaitu: (1). Hubungan pemimpin dengan anggota, merupakan variabel paling penting dalam menentukan situasi yang menyenangkan ; (2). Derajat dari struktur tugas, dimensi ini merupakan masukan yang amat penting kedua setelah butir satu di

atas. (3). Posisi kekuasaan pemimpin yang dicapai lewat otoritas formal.9

Dewasa ini muncul dan berkembang organisasi pesantren yang di-”yayasan”-kan. Tanpa mengurangi peranan kiyai sebagai pemimpin tertingginya, kepemimpinan mengarah pada pola kolektif, sesuai hirarki kepemimpinan sebuah yayasan. Bila sang kiyai pemimpin tertinggi meninggal, kesinambungan kepemimpinan ada pada pemimpin lainnya. Dengan demikian pesantren menjadi salah satu lembaga modern, yakni lembaga legal yang berbadan hukum.

Kalangan pesantren yang telah mengembangkan pola kepemimpinan kolektif,

__________________________________

6 Oteng Sutisna, Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional (Bandung,

Angkasa, 1993).

7 Muchtar Effendi, Manajemen ; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam (Jakarta: Bharata,

1996), hlm. 206.

8 E.Shobirin Nadj dalam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah

(Jakarta: P3M, 1985), hlm.138.

9 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Aplikasinya (Jakarta: Rajawali Pers,

(5)

selanjutnya mengambil penyesuaian pada tata administrasi atau manajemen yang berlaku di pesantren. Demi menjaga kesinambungan pesantren, lembaga ini perlu menerapkan pengelolaan yang rapi dan terencana. Pesantren selanjutnya harus bisa membaca situasi zaman. Kalau misalnya masyarakat cenderung untuk memasukkan anaknya pada lembaga pendidikan umum atau kombinasi antara agama dan umum, maka pesantren dituntut untuk menyesuaikan kurikulumnya.

Dengan demikian ada dua fungsi yang dimiliki oleh seorang pimpinan.

Pertama, pemimpin administratif, yakni golongan pemimpin yang menentukan

kebijakan umum, yang biasa disebut sebagai manajer puncak pada eselon tertinggi. Kedua, pemimpin pelaksana, yakni kategori pemimpin yang langsung berhadapan dengan kegiatan organisasi, sekaligus juga menjadi pelaksana dari

kebijakan yang dibuat oleh pemimpin administratif.10

Pada tahap berikutnya, pemimpin melakukan perencanaan menyangkut pengelolaan orang, pembiayaan, dan sarana fisik yang diperlukan. Cara mengelola, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasil semua kegiatan itu, menentukan pembinaan kelangsungan pesantren. Tanpa manajemen, mungkin pesantren akan tersisih dari persaingan dengan lembaga pendidikan lainnya. Pemimpin yang mengasuh pesantren idealnya adalah kiyai yang tahu tugas-tugas manajerial, tahu banyak mengenai ilmu-ilmu keislaman, dan tahu banyak hal ihwal keduniawian sesuai dengan

perkembangan zaman.11

Pesantren termasuk lahan garapan ulama dalam masyarakat. Menurut Hiroko Horikoshi, ada empat lahan pengabdian ulama, yaitu : di masjid,

madrasah, pesantren, dan sekolah dengan sistem kelas.12 Di lingkungan

pesantren, ulama menunjukkan peran sebagai pendidik. Pesantren memberikan pendidikan agama yang sistematis untuk kader ulama untuk mengemban kepemimpinan sosial keagamaan di tengah masyarakat Islam. Seorang figure ulama yang menekuni dunia pendidikan, berarti harus pula memiliki profil sebagai seorang manajer pendidikan Islam.

Senada dengan pendapat di atas, HAR Tilaar menambahkan bahwa profil seorang manajer pendidikan Islam itu antara lain :

__________________________________

10 Muchtar Effendi, Manajemen ; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam,… hlm. 207. 11 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi;… hlm. 285.

(6)

a. Kemampuan sebagai pemimpin, yang meliputi :

1) Mampu mengejawantahkan nilai Islam dalam sistem pendidikan. 2) Mampu pula menguasai nilai ilmu pengetahuan dan teknologi serta

penerapannya sesuai dengan perkembangan zaman.

b. Kemampuan sebagai pengelola, yang menguasai prinsip-prinsip

manajemen.13

2. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana pendidikan adalah segala sesuatu yang meliputi peralatan serta perlengkapan yang langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah. Contoh dari sarana tersebut seperti gedung, ruangan, meja, kursi, alat peraga dan lain-lain. Sedangkan prasarana adalah semua komponen yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses belajar-mengajar di suatu lembaga pendidikan. Contoh dari prasarana pendidikan adalah jalan menuju sekolah,

halaman sekolah, dan tata tertib sekolah.14

Hadari Nawawi membagi sarana dan prasarana pendidikan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Sarana dan prasarana edukatif, yaitu segala sesuatu yang bersifat fisik, yang diperlukan untuk penyelenggaraan proses belajar mengajar secara berdaya guna. Misalnya gedung/lokal, ruang perpustakaan, ruang bimbingan dan penyuluhan, papan tulis, dan alat peraga.

b. Sarana dan prasarana non-edukatif, yakni segala sesuatu yang bersifat fisik, yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan program sekolah, baik yang berhubungan langsung dengan proses belajar-mengajar, maupun tidak.

Misalnya kantin sekolah, koperasi, ruang UKS, mesin tik, dan kertas.15

Pada awalnya pesantren adalah lembaga pendidikan yang populer di tanah jawa. Kata pesantren berasal dari kata santri yang kemudian mendapat imbuhan diawalnya. Istilah santri dapat juga berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Lembaga pesantren dengan demikian mempunyai arti sebagai tempat pendidikan Islam yang unik, yakni tempat untuk memahami, menghayati,

__________________________________

13 HAL.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2000),

hlm. 158-160.

14 Soerjani, dalam Hendyat Soetopo, Administrasi Pendidikan (Malang : IKIP, 1998), hlm.

134-135. Lihat juga Daryanto, Administrasi Pendidikan (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), hlm. 51.

(7)

dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.16 Pada bahasa

Arab, pesantren disebut dengan ma’had, yang juga dapat diartikan sebagai tempat menempuh pendidikan.

Masyarakat pesantren hidup di bawah asuhan, didikan, dan bimbingan seorang kiyai, dengan dibantu oleh beberapa orang guru lainnya. Ada lima elemen dasar yang umum ditemukan dalam dunia pesantren, yaitu ; masjid, santri, kitab kuning, kiyai, dan asrama. Elemen tersebut bisa bertambah sesuai dengan tuntutan zaman, misalnya ada perguruan tinggi atau terdapat program keterampilan. Pesantren juga kadang disebut dengan “pondok” yang berasal dari

bahasa Arab : funduuq, yang berarti asrama.17 Pesantren selain terdapat di

Indonesia, juga banyak dijumpai di negara lain, seperti di timur tengah. Sarana dan prasarana pendidikan perlu mendapatkan penataan yang baik agar dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengguna pendidikan itu. Penataan sarana dan prasarana yang baik itu menjadi tanggung jawab para pengelola lembaga pendidikan, terutama pihak pimpinan atau kepala sekolah. Para pengelola harus mengupayakan agar sarana dan prasarana yang ada di sekolah, sebagai lingkungan pendidikan, dapat dinikmati sepenuhnya oleh segenap peserta pendidikan, terutama bagi para pelajar.

Lingkungan yang tertata baik memiliki nilai dalam membangun sikap positif, dan menjadi aset berharga untuk proses pembelajaran. DePorter, menawarkan daftar lingkungan fisik dan mental yang harus dikondisikan secara optimal itu antara lain seperti : perabotan kelas, pencahayaan, visual (gambar, poster, papan pengumuman),

temperatur, tanaman, kenyamanan, dan suasana hati secara umum.18

Proses pengelolaan sarana dan prasarana itu akan menyentuh fungsi manajemen administratif dan manajemen kooperatif. Fungsi administratif mengandung makna bahwa pengadaan, pemeliharaan, penggunaan, dan penghapusan tersebut harus direncanakan, diorganisir, dikoordinasikan, diarahkan dan dikontrol. Sedangkan fungsi kooperatifnya memerlukan kegiatan penatausahaan, penyediaan dana/keuangan, dan ditetapkan pelaksananya

__________________________________

16 Soekarno Karya, Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam (Jakarta : Logos, 1998),

hlm.109.

17 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Alternatif Masa Depan (Jakarta : GIP, 1997), hlm.

70, Lihat juga Karel Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah (Jakarta : LP3ES, 1994), dan baca juga Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta : LP3ES, 1994).

18 Bobby DePoter dan Mike Hernacki, Quantum Learning; Membiasakan Belajar nyaman dan Menyenangkan, terjemah (Bandung : Kaifa, 1999), hlm.66-67.

(8)

serta dikomunikasikan.19

Ada beberapa prinsip yang patut diperhatikan dalam mengelola sarana dan prasarana pendidikan, yaitu : 1).Lembaga tersebut memiliki gedung sendiri atau tidak, 2).Penggunaan gedung tersebut bersama-sama dengan lembaga lain atau tidak, 3).Ruangan-ruangan yang diperlukan cukupkah, sedang, atau kurang, 4). Pendidikan berlangsung pagikah, siang, atau malam, 5). Air dan penerangan yang tersedia cukup atau tidak, f). Halaman cukup luas,

sempit, atau tidak ada.20

Selanjutnya agar dapat melaksanakan kegiatan belajar dan proses pendidikan yang baik, lembaga pendidikan diharapkan memiliki sarana dan prasarana yang memadai, seperti : ruang belajar, perpustakaan, laboratorium, ruang keterampilan, ruang kesenian, ruang UKS, ruang bimbingan dan penyuluhan, ruang administrasi, ruang kepala sekolah, ruang guru, serta ruang-ruang lain sesuai kebutuhan, termasuk fasilitas olah raga.

Semua sarana dan prasarana tersebut mempunyai peranan dalam menentukan keberhasilan studi anak didik. Hendyat Soetopo mengemukakan contoh keadaan sekolah yang baik sebagai tempat belajar yang menyenangkan,

menarik, nyaman dan aman.21 Ia menyebutkan syarat-syarat untuk sekolah

tersebut meliputi keadaan tanah dan letak sekolah, kemudian keadaan gedung dan ruangan-ruangan sekolah. Berikutnya menyangkut cara-cara pemeliharaan sarana dan prasarana pendidikan tersebut.

Keadaan tanah sekolah hendaknya menyesuaikan dengan jumlah murid yang ditampung, serta jenis atau program yang dilaksanakan di sekolah tersebut. Mengenai gedung, konstruksi bangunan hendaknya dapat dipertangung-jawabkan, dalam arti harus kuat, tahan lama, memenuhi standar kesehatan dan menjamin keselamatan dan keamanan bagi penghuninya. Keadaan tersebut harus diiringi pemeliharaan dengan memperhatikan kebersihan dan keutuhannya. Begitu pula terhadap ruangan-ruangan yang ada di gedung tersebut.

Kenyamanan ruangan tersebut dapat dipelihara antara lain dengan cara: 1) Dinding ruangan hendaknya berwarna terang.

2) Lantai ruangan hendaknya selalu bersih

__________________________________

19 Hadari Nawawi, Administrasi Sekolah,..hlm. 69.

20 Soerjani, dalam Hendyat Soetopo, Administrasi Pendidikan…, hlm. 134-135

21 Hendyat Soetopo dan Wasty Seomanto, Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan

(9)

3) Perlengkapan-perlengkapan dalam ruangan hendaknya selalu ditata agar nampak teratur dan enak dipandang mata.

4) Ruangan kelas hendaknya tidak berdekatan dengan ruangan kantor atau tata usaha yang dapat menimbulkan suasana berisik.

5) Ruangan kantor atau tata usaha hendaknya mudah dijangkau oleh

setiap warga belajar yang ada di lingkungan sekolah tersebut.22

C. Sarana dan Prasarana Pendidikan di Pesantren

Sejarah perkembangan Islam telah meninggalkan jejak yang menggambarkan perlu tersedianya sarana dan prasarana pendidikan. Seperti madrasah An-Nuriyah Al-Kubra yang didirikan oleh Nuruddin Mahmud Zinki pada tahun 563 H/1167 M di Damaskus, Syiria.

Gedung madrasah tersebut terdiri dari beberapa bagian. Ruangan-ruangannya antara lain seperti iwan, yaitu aula tempat kuliah serupa tempat yang biasa digunakan dewasa ini. Kemudian masjid yang berseberangan dengan iwan, yang dibatasi oleh sebuah lapangan. Ada juga tempat istirahat guru yang terletak di sebelah timur masjid, terdiri dari dua bilik kecil yang mempunyai pintu untuk langsung masuk ke masjid. Ada pula tempat tinggal pelajar dan pesuruh madrasah,

di sebelah bilik guru. Bangunan itu dilengkapi pula dengan dapur dan kamar kecil.23

Untuk kondisi pesantren dewasa ini, sarana fisiknya meliputi masjid, yang biasanya terletak di tengah-tengah lingkungan pesantren. Kemudian masjid itu dikelilingi oleh bangunan-bangunan seperti rumah kiyai atau pimpinan pesantren,

perumahan guru, asrama para santri, dan ruang-ruang atau gedung belajar.24

Manfred Ziemek mengutip Geertz, seorang antropolog Amerika, yang menggambarkan suasana di pesantren sebagai suatu kompleks yang dikelilingi tembok. Pusatnya adalah sebuah masjid yang biasanya terletak di lapangan pada ujung suatu desa. Ada Kiyai yang menjadi guru mereka serta sejumlah santri yang mengaji al-Quran dan Bahasa Arab.

Ziemek membagi organisasi pesantren dalam beberapa tipe:

1. Jenis A, yang hanya memiliki masjid sebagai tempat belajar utama. 2. Jenis B, yang ditambah asrama sebagai ruangan tempat tinggal.

__________________________________

22 Hendyat Soetopo dan Wasty Seomanto, Pengantar Operasional Administrasi Pendidikan, …hlm. 203.

23 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta : Hidakarya Agung, 1986), hlm. 76-77. 24 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, terjemah (Jakarta : P3M, 1986), hlm. 101.

(10)

3. Jenis C, yang menambah sarananya dengan komponen menyerupai madrasah disertai kurikulum yang ditambah pengetahuan umum dan sejalan dengan program pendidikan pemerintah. (lihat gambar). 4. Jenis D, melengkapi komponennya dengan kurikulum muatan lokal

berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat, misalnya pelajaran pertanian berikut lahannya, atau keterampilan lainnya.

5. Jenis E, dengan komponen lebih lengkap lagi hingga tersedia beberapa jenjang pendidikan dari tingkat dasar hingga universitas. Ziemek menyebut jenis ini sebagai pondok pesantren “modern” karena turut mengelola lembaga pendidikan sekolah formal.

Sarana dan kelengkapan pesantren tersebut oleh Mastuhu disebut sebagai perangkat keras, yang meliputi : masjid, pondokan, rumah kiyai, rumah ustaz, kantor, gedung sekolah, ruang belajar, perpustakaan, ruang keterampilan, tanah,

fasilitas olah raga, transformasi komunikasi, kesenian, dan laboratorium.25

Misalnya komponen asrama di pondok pesantren. Asrama yang dimaksud adalah pondokan tempat tinggal bagi para santri. Dalam tataran sejarah, asrama merupakan sarana yang amat penting untuk melaksanakan program pendidikan secara totalitas. A.A. Navis mengemukakan contoh pada bangsa Sparta. Bangsa ini pada mulanya bangsa kecil, namun akhirnya berhasil membangun kekuatan besar dengan cara pendekatan pendidikan yang berasrama. Anak-anak yang mulai akil baligh dimasukkan ke asrama agar memperoleh pendidikan militer secara intensif. Dengan waktu singkat, bangsa Sparta kemudian memiliki watak

yang keras dan berubah menjadi bangsa yang perkasa. 26

Pendidikan di asrama bukanlah dimaksudkan untuk meningkatkan kemahiran dalam teknik dan ilmu perang, melainkan untuk membentuk sikap mental seorang militer yang tangguh dengan disiplin baja, serta setia kawan dan gemar bekerja tanpa pamrih. Hasil pendidikan yang berasrama dengan yang tidak berasrama berbeda hasilnya dalam hal sikap mental. Sebagaimana contoh dapat dilihat pada madrasah yang berasrama dengan yang tidak. Santri yang tinggal di asrama rata-rata jauh lebih berhasil menjadi panutan dan teladan dalam lingkungan hidupnya setelah selesai menjalani pendidikan.

__________________________________

25 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren (Jakarta: INIS, 1994), hal. 51. Sementara

yang dimaksudkan Mastuhu dengan perangkat lunak dari lembaga pendidikan pesantren antara lain seperti kurikulum, kepustakaan, tujuan, serta administrasi dan keuangan.

26 A.A. Navis, Filsafat Dan Strategi Pendidikan M.Syafei (Jakarta : Grasindo, 1996), hlm.

(11)

Lembaga pendidikan yang telah dikenal luas menggunakan sistem berasrama adalah pondok pesantren. Hampir tidak dapat disebut sebuah pesantren bila tidak memiliki asrama. Kata asrama dalam bahasa Arabnya adalah funduuq, yang kemudian disebut pondok. Kata itu kemudian menjadi serangkai dengan sebutan pondok pesantren.

Latar belakang kebutuhan sebuah pondok atau asrama adalah karena terdapat para santri yang berasal dari tempat jauh hingga menyulitkan mereka untuk datang-pergi dari rumah ke lokasi pesantren. Sebagai santri mereka harus berada dalam lingkungan pesantren karena tanggung jawab untuk pendidikan para santri hanya dapat dilakukan apabila kegiatan yang menjadi aktifitas santri sehari-hari diorganisasikan di bawah pengendalian kiyai atau pengasuh pondok pesantren.

Keadaan asrama ada yang berbentuk sangat sederhana. Satu ruangan dapat menampung hingga delapan santri yang tidur di atas tikar. Pada pesantren yang lebih besar, tersedia banyak ruangan dalam suatu kompleks. Masing masing dengan sarana sanitasi, kebersihan, tempat mencuci, sumur, tempat makan dan dapur bersama. Adapula kios yang menjual berbagai kebutuhan santri yang lazim disebut koperasi. Tersedia pula perpustakaan dan sarana permainan atau olah raga, serta adapula kompleks lain dengan kegunaan tertentu yang terpisah

dari asrama.27

Asrama yang terpisah-pisah itu masing-masing mempunyai tugas atau jabatan sebagai ketua asrama atau wakil ketua asrama. Petugas yang ditunjuk untuk jabatan ini bisa saja dari pihak santri yang senior atau dari pihak guru/

ustaz yang ditunjuk oleh kiyai28

Adanya pondok sebagai tempat tinggal bersama antara kiyai dengan para santri, dipergunakan dalam rangka bekerja sama dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Hal ini merupakan aspek yang membedakan pesantren dari lembaga pendidikan lainnya. Pondok juga menjadi penampung bagi santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk bermukim. Pada mulanya pondok berdiri bukan semata-mata dimaksudkan untuk tempat tinggal atau asrama santri yang dapat mengikuti pelajaran dari kiyai, tapi juga sebagai tempat latihan bagi santri agar kelak dapat hidup mandiri di tengah masyarakat.

Para santri di bawah bimbingan kiyai bekerja untuk memenuhi kebutuhan

__________________________________

27 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, … hlm. 115-118.

(12)

hidup sehari-hari dalam situasi kekeluargaan dan gotong-royong sesama warga pesantren. Pada tahap perkembangan selanjutnya, pondok di masa sekarang lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama, dan setiap santri dikenakan sewa atau semacam iuran untuk pemeliharaan pondok tersebut.29

D. Implementasi Manajemen Sarana dan Prasarana Pendidikan di Pesantren

Pada ruangan kelas, suasana nyaman di pesantren dapat diwujudkan dengan menata perabotan kelas seperti meja-kursi, papan tulis, tempat sampah, dan alat-alat pelajaran lainnya hingga nampak teratur dan enak dipandang. Juga menata hiasan-hiasan dinding dari hasil karya para siswa, atau gambar pahlawan dan lukisan kaligrafi, hingga menambah keindahan. Penerapan manajemen sarana itu juga membawa dampak positif pada ruangan asrama. Ruangan demi ruangan yang teratur, serta jumlah santri yang sesuai dengan ukuran kamar-kamar itu, dapat menghindari suasana berdesak-desakan dan bahkan pula menambah kenyamanan.

Manajemen penataan dan pemeliharaan itu hanya salah satu saja dari berbagai aspek kegiatan dalam manajemen sarana dan prasarana pendidikan. Setiap langkah manajemen itu hendaknya tidak saja diterapkan untuk ruangan kelas, akan tetapi juga terhadap sarana dan prasarana pendidikan yang ada. Penerapan manajemen yang menimbulkan kenyamanan itu akan membawa dampak positif bagi siswa, terutama mampu menumbuhkan gelora dan semangat belajar pada santri. Manajemen pemeliharaan, ataupun kegiatan manajemen lainnya terhadap sarana dan prasarana pendidikan akan berdampak pula pada kenyamanan proses pembelajaran di lingkungan pesantren.

Di antara program itu ada beberapa program yang disusun untuk pemberdayaan sarana dan prasarana pendidikan di pesantren, namun kemudian program itu jalan di tempat sehingga turut mempengaruhi jalannya manajemen. Seperti program untuk memberdayakan sarana asrama. Menurut Wahyoetomo, agar asrama dapat menemukan bentuknya yang ideal, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan;

1. Asrama tersebut semestinya diasuh oleh seorang ustaz atau kiyai

__________________________________

29 Hasbullah, Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada,

(13)

yang berwawasan keagamaan dan memiliki kesadaran religius sebagaimana mestinya. Ia tidak hanya sebagai pemimpin, tapi juga sebagai teladan, pembimbing dan pengarah para santri.

2. Model kegiatan yang dilaksanakan harus mampu menumbuhkan dan menguatkan rasa keagamaan pada diri santri, sehingga mampu menciptakan pribadi-pribadi muslim yang tangguh. Misalnya dengan kegiatan salat berjamaah dan salat-salat sunnah.

3. Kajian keagamaan di samping membahas masalah syariat, hendaknya juga mengkaji tentang bahasan yang bersifat filosofis atau tasauf. Maksudnya agar tumbuh dalam kepribadian mereka kesadaran sebagai khalifah dan hamba ilahi yang membaktikan semua amalnya hanya

untuk Allah semata.30

Semua kegiatan itu sepenuhnya dapat dilaksanakan di pesantren. Hanya saja, tidak semua santri dapat menerima program tersebut karena tidak semuanya tinggal menetap di asrama. Sebagian santri yang tidak kebagian tempat di asrama, lantas mencari tempat tinggal berupa rumah kos di sekitar pesantren. Sayangnya santri yang kos di luar tidak mengikuti program kurikulum pondok yang belajar hingga malam hari, melainkan hanya mengikuti program madrasah yang berlangsung hanya dari pagi hingga tengah hari.

Kondisi tersebut tentu membuat program di asrama belum berlaku menyeluruh untuk segenap santri. Padahal banyak manfaat yang bisa dicapai apabila santri dapat tinggal bersama dalam satu lingkungan pesdantren, berkumpul bersama antara santri dan ustaz pengasuhnya dalam proses pembelajaran yang terus-menerus. Sebagaimana yang diungkap oleh A.A. Navis bahwa Pendidikan di asrama dimaksudkan untuk membentuk sikap mental yang

tangguh dengan disiplin baja, serta setia kawan dan gemar bekerja tanpa pamrih.31

Hasil pendidikan yang berasrama dengan yang tidak berasrama berbeda hasilnya dalam hal sikap mental. Sebagaimana contoh dapat dilihat pada madrasah yang berasrama dengan yang tidak. Santri yang tinggal di asrama rata-rata jauh lebih berhasil menjadi panutan dan teladan dalam lingkungan hidupnya setelah selesai menjalani pendidikan.

Dengan demikian, program unggulan yang diterapkan pihak pesantren

__________________________________

30 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren (Jakarta: GIP, 1997), hlm. 108-109.

31 A. A. Navis, Filsafat Dan Strategi Pendidikan M. Syafei (Jakarta: Grasindo, 1996), hlm.

(14)

hanya dapat diterima oleh para santri yang mukim di asrama, sedangkan mereka yang tidak tinggal di asrama, tidak ubahnya seperti siswa pada sekolah lain pada umumnya. Asrama yang belum dipergunakan secara maksimal dapat turut mempengaruhi optimalitas manajemen sarana dan prasarana pendidikan. Sementara itu, sebagai figur pimpinan sebuah pondok pesantren, ada tiga syarat yang harus dipenuhi, yakni tahu tugas-tugas manajerial, tahu banyak mengenai ilmu-ilmu keislaman, dan tahu banyak hal ihwal

keduniawian sesuai dengan perkembangan zaman.32 Sebagai pemimpin, ada

dua fungsi kepemimpinan yang seharusnya diperlihatkan, yakni fungsi administratif dan fungsi pelaksanana. Fungsi administratif, yakni golongan pemimpin yang menentukan kebijakan umum, yang biasa disebut sebagai manajer puncak pada eselon tertinggi. Sedangkan fungsi pelaksana, yakni kategori pemimpin yang langsung berhadapan dengan kegiatan organisasi, sekaligus juga menjadi pelaksana dari kebijakan yang dibuat dalam fungsi

administratif.33

E. Simpulan

Proses manajemen sarana dan prasarana pendidikan yang berjalan baik akan menjadi salah satu upaya mengatasi kelemahan yang umumnya melanda dunia pesantren. Di antara kelemahan yang masih terlihat di pesantren seperti : pesantren belum mencapai tujuan untuk menyiapkan kader ulama sebagai pemimpin umat ; umumnya pesantren tidak memiliki sarana yang memadai ; pesantren juga sering dicap sebagai lembaga pendidikan tradisional yang menghindar dari dunia modern ; serta pesantren sering terlihat eksklusif, dan

manajemen pesantren sering terlihat kurang profesional.34

Kelemahan yang lain adalah administrasinya, kemudian tenaga pimpinan yang memiliki kecakapan menyeluruh masih langka, tenaga pengajar yang berkualitas tinggi masih sedikit, kurangnya sumber-sumber keuangan, dan tidak menentunya pola hubungan kerjasama terhadap dunia luar. Perkembangan pesantren di masa depan mungkin akan ditentukan oleh kemampuan untuk

__________________________________

32 Miftah Thoha, Perilaku Organisasi ; Konsep Dasar dan Aplikasinya (Jakarta: Rajawali Pers,

1992), hlm. 285.

33 Muchtar Effendi, Manajemen ; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam (Jakarta: Bharata,

1996), hlm. 207.

(15)

menghalau kelemahan-kelemahan tersebut.35 Bertolak pada

kelemahan-kelemahan tersebut, maka dunia pesantren harus mulai berbenah. Di antara kelemahan itu adalah sarana dan prasarana pendidikan yang dianggap kurang memadai, tenaga pimpinan yang memiliki kecakapan menyeluruh masih langka, dan manajemen pesantren sering terlihat kurang profesional.

Untuk mencoba mengatasinya, upaya yang dapat ditempuh antara lain dengan mengelola sarana dan prasarana pendidikan yang ada secara manajerial. Sarana dan prasarana yang telah ada dikelola secara efektif, sementara yang belum ada diupayakan dengan menggalang bantuan, baik dari pemerintah maupun dari kalangan dermawan. Langkah lainnya dengan mengaktifkan fungsi-fungsi kepemimpinan hingga dapat berjalan efektif. Selanjutnya, meningkatkan kinerja manajemen profesional pada semua pihak di pesantren, baik mudir, kepala madrasah, guru, karyawan, maupun santri.

Upaya untuk mulai memperbaiki kinerja, terutama dalam mengelola sarana dan prasarana pendidikan, diharapkan dapat membenahi pondok pesantren dan memberikan kontribusi bagi proses pembelajaran yang optimal. Pesantren yang diharapkan dewasa ini adalah pesantren yang diarahkan untuk mencetak tenaga-tenaga yang terampil dan religius, yang mempersiapkan santri menjadi calon

community leader dan calon religious intellectual.

Daftar Pustaka

Anonim. (1971). Al-Quran dan Terjemahnya. Departemen Agama RI. DePorter, Bobby, dan Mike Hernacki. (1999). Quantum Learning; Membiasakan

Belajar Nyaman dan Menyenangkan. (Terjemah). Bandung: Kaifa.

Effendi, Muchtar. (1996). Manajemen; Suatu Pendekatan Berdasarkan Ajaran Islam. Jakarta : Bharata.

Faisal, Yusuf Amir. (1995). Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: GIP

Gazalba, Sindi. (1991). Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi. Jakarta: Depdikbud. Hasbullah. (1996). Kapita Selekta Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:

RajaGrafindo Persada.

Hasbullah. (1999). Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Horikoshi, Hiroko.(1987). Kyai Dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.

__________________________________

35 Sudirman Tebba mengutip Abdurrahman Wahid dalam Dawam Rahardjo (Editor), Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari Bawah (Jakarta : P3M, 1985), hlm. 275.

(16)

Hills, Philip James. (1982). A Dictionary of Education (Ed.). London: Routledge & Kegan Paul.

Indrafachrudi, Soekarto. (1993). Mengantar Bagaimana Memimpin Sekolah yang

Baik. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Karya, Soekarno. (1998). Ensiklopedi Mini Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Logos

Mastuhu. (1994). Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. Navis, A.A.(1996). Filsafat Dan Strategi Pendidikan M.Syafei. Jakarta: Grasindo. Nawawi,Hadari,dkk.(1986). Administrasi Sekolah. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nawawi, Hadari, dan Martini Hadari. (2000). Kepemimpinan yang Efektif.

Yogyakarta: Gajah Mada University.

Rahardjo, M. Dawam (ed).(1985). Pergulatan Dunia Pesantren; Membangun dari

Bawah. Jakarta: P3M.

Siagian,Sondang P. (1989). Fungsi-fungsi Manajerial. Jakarta: Bina Aksara. Soetopo, Hendyat. (1998). Administrasi Pendidikan. Malang: IKIP.

Soetopo, Hendyat, dan Wasty Soemanto.(tt). Pengantar Operasional Administrasi

Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Sukarna. (1990). Kepemimpinan dalam Administrasi. Bandung: Mandar Maju. Sutisna, Oteng. (1993). Administrasi Pendidikan; Dasar Teoritis untuk Praktek

Profesional. Bandung; Angkasa.

Thoha, Miftah. (1995). Kepemimpinan dalam Manajemen, Suatu Pendekatan

Perilaku. Jakarta: Rajawali Pers.

Thoha, Miftah. (1992). Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : Rajawali Pers.

Tilaar, H.A.R. (1998). Manajemen Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Wahjoetomo. (1997). Perguruan Tinggi Pesantren Alternatif Masa Depan. Jakarta: GIP.

Yunus, Mahmud. (1986). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung. Ziemek, Manfred. (1986). Pesantren dalam Perubahan Sosial (Terjemah). Jakarta:

Referensi

Dokumen terkait

Sistem media server ini bekerja untuk pengaksesan file-file multimedia seperti gambar, audio, dan video yang akan dibagikan ke client secara streaming melalui

Berdasarkan data hasil penelitian dan hasil analisis tentang “Pengaruh Persepsi Peserta Didik pada Guru PPL dalam Mengelola Kelas terhadap Motivasi Belajar Pendidikan

Hal tersebut berdasarkan dari data pengeboran dan carbon dating pada endapan-endapan disekitar cekungan Limboto yang dilakukan oleh BWS Sulawesi II (2018a), serta di

Implementasi stopwords removing pada intinya dibuat untuk mencocokan kata hasil dari proses tokenization dengan kata-kata yang terdapat dalam kamus stopwords yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan setiap jenis burung bervariasi mulai dari kurang dari satu individu burung sampai 17 individu setiap hektar;

Berdasarkan tabel diatas, kenaikan laju infiltrasi terbesar terjadi pada minggu ke-2 sebesar 6,40 mm/menit. Penurunan laju infiltrasi terjadi pada minggu ke-3 sebesar

9 Tahun 1975 yang mewajibkan pendaftaran nikah di Kantor Urusan Agama (KUA), tidak serta merta menghapuskan kebiasaan praktek nikah sirri tersebut. Kebiasaan ni- kah

Hukum Internasional Publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang