• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005 mencanangkan strategi Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani hutan, mengurangi pengangguran, membangun ketahanan pangan, membangun perdesaan, dan melestarikan lingkungan (KKBP 2005). Harapan dari kebijakan pemerintah ini adalah menurunkan kemiskinan dari 16,6% (2004) menjadi 8,2% (2009), menurunkan pengangguran terbuka dari 9,7% (2004) menjadi 5,1% (2009), dan swasembada beras secara berkelanjutan. Selain itu telah dicanangkan juga untuk mencapai swasembada beberapa komoditas pertanian seperti jagung (2007), kedelai (2025), gula (2009) dan daging (2010).

RPPK ini perlu mendapat perhatian semua pihak, mengingat sumbangan sektor pertanian yang cukup besar terhadap pendapatan nasional, menurut data BPS peranan sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tahun 2009 sebesar 15,30%. Sektor pertanian berada pada ranking kedua yang memiliki kontribusi terhadap PDB setelah sektor industri pengolahan yaitu sebesar 26,40%. Di tingkat regional Provinsi Bengkulu kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih tinggi dibanding nasional, yaitu sebesar 19,44% (BPS 2009). Hal lain yang perlu dipertimbangkan adalah 88,83% kabupaten/kota berbasis pertanian dan 83% tenaga kerja sektor pertanian. Namun jumlah yang besar ini tidak diikuti tingkat kesejahteraan yang memadai karena angka kemiskinan di perdesaan masih sangat tinggi, jumlah penduduk miskin mencapai 24,6 juta (68,14%) (Pasaribu 2007).

Ketahanan pangan merupakan tantangan utama yang akan dihadapi Bangsa Indonesia, selain itu juga inflasi akibat kenaikan harga pangan dan energi, untuk mengantisipasinya pemerintah menargetkan peningkatan cadangan beras. Hal ini disampaikan Presiden Republik Indonesia pada Rapat Kerja tentang Pelaksanaan Program Pembangunan Tahun 2011. Misi pemerintah pada tahun 2011 yaitu mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, sedangkan sasaran yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 6,4%, inflasi 5,3%, penurunan angka pengangguran menjadi 7%, dan penurunan angka kemiskinan menjadi 11,5-12,5%1.

1

(2)

2

Permasalahan utama pembangunan pertanian di Indonesia adalah a) semakin berkurangnya lahan-lahan pertanian produktif terutama lahan sawah karena dikonversi menjadi lahan pertanian non sawah dan non pertanian, b) penurunan kualitas sumberdaya lahan akibat pengelolaan yang kurang baik, dan c) kompetisi penggunaan dan fragmentasi lahan. Kompetisi penggunaan lahan terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan sarana dan prasarana, serta bahan bakar sedangkan fragmentasi lahan terjadi karena kondisi sosial ekonomi petani, kemiskinan akan memaksa petani melepas sebagian kepemilikan lahannya dan adanya sistem pewarisan yang berdampak pada skala kepemilikan lahan sawah yang semakin kecil (Hidayat 2009).

Perubahan kepemilikan dan fragmentasi lahan menyebabkan peningkatan rumah tangga petani gurem, yaitu rumah tangga pertanian yang menguasai lahan kurang dari 0,5 ha. Berdasarkan data statistik jumlah rumah tangga petani gurem meningkat 2,6% tiap tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003. Persentase rumah tangga petani gurem terhadap rumah tangga pertanian pengguna lahan juga meningkat dari 52,7% menjadi 56,5%. Rumah tangga petani gurem di Jawa tahun 1993 adalah 69,80%, tahu 2003 meningkat menjadi 74,90%. Di luar Jawa, persentase perani gurem meningkat dari 30,60% menjadi 33,9%. Banyaknya rumah tangga pertanian naik dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,4 juta pada tahun 2003, yang berarti meningkat sebesar 2,20%/tahun. Komposisi banyaknya rumah tangga pertanian di Jawa menurut Sensus Pertanian 1993 sebanyak 56,10% rumah tangga pertanian dan sisanya sebesar 43,90% berada di luar Jawa, tahun 2003 komposisinya menjadi 54,90% di Jawa dan 45,10% di luar Jawa2.

Beban sektor pertanian makin bertambah, seiring dengan meningkatnya jumlah rumah tangga di Indonesia, banyaknya rumah tangga pertanian juga mengalami peningkatan dari 20,8 juta pada tahun 1993 menjadi 25,6 juta pada tahun 2003, dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 2,10% pertahun. Demikian juga halnya dengan jumlah rumah tangga pertanian pengguna lahan, meningkat 1,7% pertahun, dari 20,5 juta pada tahun 1993 menjadi 24,4 juta rumah tangga pada tahun 20033. Peningkatan rumah tangga pertanian dan rumah tangga pengguna lahan berdampak pada peningkatan tenaga kerja peningkatan

2

Pertumbuhan Rumah Tangga Pertanian di Indonesia. Berita Resmi Statistik No.06/VII/2 Januari 2004 3 Sebaran Rumah Tangga Pertanian dan Rumah Tangga Petani Gurem menurut Propinsi di Indonesia. Berita

(3)

3 tenaga kerja pertanian, tenaga kerja pertanian meningkat sebesar 25,65%, dari 66,52 juta orang pada tahun 1993 menjadi 83,58 juta orang pada tahun 2003. Akibatnya kesejahteraan rata-rata petani menjadi terkendala untuk ditingkatkan. Disamping itu, telah terjadi ketimpangan distribusi penguasaan lahan, yaitu 70% petani menguasai 13% lahan yang ada, sementara yang 30% petani lainnya justru menguasai 87% lahan yang ada. Ketimpangan dalam penguasaan lahan akan semakin memiskinkan petani, memarjinalisasikan petani dan pertanian, dan mengancaman ketahanan pangan yang memerlukan keseriusan berbagai pihak untuk menanganinya (Suhartanto 2008).

Berkaitan dengan aspek ketersediaan bahan pangan, kelangsungan proses produksi pangan dengan pelaku utama petani, memerlukan ketersediaan lahan secara berkelanjutan dalam jumlah dan mutu yang memadai. Lahan pertanian selain sebagai faktor kunci dalam sistem produksi pangan, juga memiliki sifat yang unik karena fungsinya yang tidak dapat tergantikan oleh sumberdaya. Oleh karenanya ketersediaan lahan pertanian yang berkelanjutan merupakan hal yang sangat mendasar untuk menciptakan ketahanan pangan nasional yang lestari dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum.

Konversi lahan sawah yang terjadi pada periode tahun 1981-1999 seluas 90.417 hektar/tahun dan pencetakan sawah baru seluas 178.954 hektar/tahun sehingga terjadi penambahan luas sawah 88.536 hektar/tahun. Kemudian pada tiga tahun berikutnya laju konversi lahan sawah tidak terkendali sehingga pada periode tahun 1999 - 2002 lahan sawah berkurang atau menyusut seluas 141.286 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada periode tersebut mencapai 187.720 hektar/tahun (alih fungsi ke non pertanian seluas 110.164 hektar/tahun dan alih fungsi ke pertanian lainnya seluas 77.556 hektar/tahun), sedangkan pencetakan sawah baru hanya 46.434 hektar/tahun. Konversi lahan sawah pada periode 1999-2002 tersebut sebagian besar (70,3%) terjadi di luar Pulau Jawa dan sisanya (29,7%) di Pulau Jawa. Secara keseluruhan pada periode 1981-2002 tersebut pencetakan sawah baru mencapai 3,4 juta hektar, tetapi kemudian dikonversi lagi sebanyak 2,2, juta hektar atau 65% (Irawan 2007).

Berbagai peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk membatasi konversi lahan sawah, namun upaya ini tidak banyak hasilnya disebabkan karena: (a) kemudahan untuk merubah kondisi fisik lahan sawah; (b) peraturan yang bertujuan untuk mengendalikan konversi lahan secara umum hanya bersifat

(4)

4

himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang jelas; dan (c) ijin konversi merupakan keputusan kolektif sehingga sulit ditelusuri pihak mana yang bertanggung jawab atas pemberian ijin konversi lahan. Menurut Simatupang dan Irawan (2007) Konversi lahan pertanian tidak terhindari antara lain, karena: (1) pembangunan berlangsung pesat dan jumlah penduduk terus meningkat terutama di daerah yang langka lahan, (2) mekanisme pasar disebabkan oleh rente ekonomi lebih rendah pada sektor tanaman pangan dari permintaan di luar tanaman pangan, dan (3) konversi lahan merupakan proses yang menular.

Faktor-faktor yang menentukan konversi lahan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu faktor ekonomi, faktor sosial, dan peraturan pertanahan yang ada (Ilham et.al. (2005), lebih lanjut Suhartanto (2008) dan Witjaksono (2006), menyatakan alasan ekonomi senantiasa melatar-belakangi dan menjadi faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian antara lain : a) nilai land rent yang diperoleh dari usaha pertanian senantiasa lebih rendah dibanding nilai

land rent untuk sektor non pertanian (perumahan, jasa, industri, infrastrukur

jalan), b) kesejahteraan petani yang masih tertinggal, c) kepentingan pemerintah daerah di era otonomi daerah khususnya terkait penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD), ada anggapan sektor pertanian tidak memberikan keuntungan yang signifikan, dan d) lemahnya fungsi kontrol dan pemberlakuan peraturan oleh lembaga terkait.

Konversi lahan pertanian harus dicegah karena sifatnya yang irreversible dan permanen, artinya ketika lahan pertanian telah berubah fungsi kapanpun sulit untuk dapat berubah kembali ke fungsi pertanian. Alih fungsi lahan pertanian, terutama lahan sawah berdampak sangat buruk bagi bangsa dan rakyat Indonesia, antara lain (1) berpotensi mengancam ketahanan pangan nasional, (2) proses pemiskinan petani karena kehilangan aset pokok untuk sumber mata pencahariannya, (3) pengangguran karena lenyapnya lahan pertanian yang mampu menyerap angkatan kerja sampai 46%, (4) pemubaziran investasi yang telah ditanam pemerintah (terutama irigasi), (5) degradasi budaya masyarakat di perdesaan, dan (6) menurunnya fungsi lingkungan hidup.

Proses konversi lahan sawah pada umumnya berlangsung cepat jika akar penyebabnya terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan sektor ekonomi lain yang menghasilkan surplus ekonomi lahan (land rent) lebih tinggi. Sebaliknya akan berlangsung lambat jika motivasi terkait dengan degradasi fungsi lahan sawah, misalnya akibat kerusakan jaringan irigasi sehingga lahan tersebut tidak

(5)

5 dapat difungsikan lagi sebagai lahan sawah. Teori ekonomi dapat menjelaskan fenomena konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian, yakni melalui analisis rasio persewaan lahan (land rent ratio).

Beberapa hasil kajian empiris memberikan penilaian land rent lahan untuk sawah adalah 1/500 dibanding pemanfaatan lahan untuk industri (Iriadi 1990), 1/622 untuk perumahan (Riyani 1992), 1/14 untuk pariwisata (Kartika 1991), dan 1/2,6 untuk hutan produksi (Lubis 1991), 1/7 untuk bawang merah (Sitorus et.al. 2007). Selanjutnya, menurut Asni (2005) dalam penelitiannya tentang produksi, pendapatan dan alih fungsi lahan diperoleh pendapatan dari usahatani padi Rp 1.387.577/hektar dan kelapa sawir Rp 5.735.203/hektar, artinya pendapatan dari usahatani kelapa sawit 3,70 kali lebih besar daripada padi sawah. Berdasarkan kasus-kasus konversi lahan yang ada dapat dikatakan bahwa faktor penarik konversi lahan sawah adalah nilai manfaat yang lebih besar jika lahan diubah fungsinya menjadi penggunaan lain.

Penilaian yang demikian menyebabkan proses konversi lahan sawah ke penggunaan lain sulit dihindari. Jika alokasi lahan sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar, maka pertumbuhan ekonomi akan selalu menimbulkan konversi lahan sawah yang pada umumnya telah memiliki infrastruktur yang sudah berkembang. Ketersediaan infrastruktur ekonomi yang memadai merupakan faktor positif dominan yang ikut mempengaruhi keputusan pemilik lahan untuk merubah fungsi lahannya, seperti perkebunan kelapa sawit yang sangat membutuhkan infrastruktur jalan untuk pengangkutan bibit, pupuk dan sarana produksi lainnya pada tanaman belum menghasilkan serta pengangkutan hasil panen dan sarana produksi pada tanaman menghasilkan.

1.2. Perumusan Masalah

Pola pemanfaatan lahan petani sangat dipengaruhi oleh kecukupan modal, tenaga kerja keluarga dan adanya kemudahan dalam perawatan dan pemasarannya. Misalnya, petani akan rela mengganti seluruh tanaman yang sudah lama diusahakan (padi) dengan tanaman lain asal menguntungkan (kelapa sawit). Dari keadaan tersebut ada kecenderungan pilihan komoditas yang diusahakan petani yaitu: (a) petani akan berusaha untuk memperoleh uang dan bahan pangan guna keperluan sehari-hari, (b) jika struktur tenaga kerja dalam keluarga tidak mendukung/mencukupi, petani akan berusaha untuk menanam komoditas yang tidak banyak menyita waktu, c) petani akan mengusahakan komoditas prospektif (harga tinggi dan pemasaran mudah) serta

(6)

6

perawatannya mudah dengan kecenderungan pilihan komoditas yaitu kelapa sawit.

Keterbatasan sumberdaya lahan yang dimiliki dan produktivitas lahan sawah yang cenderung melandai (levelling off) mendorong petani untuk merubah fungsi lahannya menjadi kebun kelapa sawit. Disamping faktor internal dari permintaan crude palm oil (CPO) dan karet dunia yang cenderung tinggi ditambah dengan melambungnya harga komoditas sawit dan karet sejak tahun 2007 membuat sektor perkebunan menjadi semakin menggiurkan4. Pasar hasil perkebunan rakyat yang melibatkan banyak petani dan terpencar berhadapan dengan beberapa pedagang (desa sampai kabupaten) dan karena sifat produk perkebunan yang harus diolah berhadapan dengan “kelompok” industri pengolahan.

Struktur pasar yang berkembang cenderung kearah struktur pasar tidak bersaing (oligopsoni). Pengembangan perkebunan rakyat, seperti di daerah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) untuk merubah struktur pasar oligopsoni justru terjebak pada munculnya struktur pasar monopsoni dimana pekebun berhadapan langsung dengan industri pengolahan. Kondisi ini yang kemudian menjadi penghambat berkembangnya sektor perkebunan kelapa sawit rakyat, namun permintaan CPO yang tinggi mendorong perusahaan untuk menghasilkan produk lebih banyak. Untuk berproduksi lebih banyak, tentunya dibutuhkan bahan baku tandan buah segar kelapa sawit lebih banyak pula, kondisi ini yang kemudian menjadi peluang pasar bagi produksi TBS kelapa sawit dari perkebunan rakyat.

Peluang pasar ini dioptimalkan oleh petani yang bekerja pada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang ada di Kecamatan Seluma Selatan dengan membuka perkebunan sendiri. Pada awalnya lahan yang digunakan adalah lahan-lahan sawah yang dianggap kurang subur untuk tanaman padi karena kondisi drainase yang kurang baik. Dalam perkembangnya, melihat pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang cukup baik, pengelolaan tanaman yang lebih mudah, proses panen dan pemasaran yang mudah, serta periode produksi yang relatif cepat menjadi penarik bagi petani sekitar untuk ikut merubah fungsi lahan sawahnya dari tanaman padi menjadi tanaman kelapa sawit.

Selain faktor harga komoditas dan peluang pasar yang cukup terbuka, akumulasi berbagai kendala terkait sarana dan prasarana untuk usahatani padi

4

http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/1D905F41-E66E-4D39-850A-3A848B12F08B/16547/ Boks2HasilLiaisonSektorPertanian.pdf. Diakses tanggal 26 November 2011

(7)

7 seperti ketersediaan air irigasi, ketersediaan pupuk dan keuntungan usahatani yang sebanding dengan biaya dan tenaga yang dicurahkan ikut mendorong petani untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit dengan merubah fungsi lahan sawah yang dimiliki. Ketersediaan air irigasi merupakan kunci awal keberhasilan usahatani karena berhubungan dengan tahap persiapan lahan, pengolahan lahan, tanam dan pertanaman. Tanaman padi membutuhan kondisi lahan yang jenuh air (tergenang) dalam periode pertumbuhannya untuk memperoleh produksi yang tinggi, namun perubahan tata kelola irigasi yang terjadi menyebabkan distribusi air irigasi tidak merata sehingga banyak lahan sawah yang tidak bisa ditanami padi. Lahan-lahan ini kemudian diindikasikan sebagai lahan terlantar dan dijadikan kebun kelapa sawit.

Faktor lain yang ikut berperan dalam konversi lahan adalah ketersediaan pupuk bersubsidi pemerintah. Dalam pelaksanaan pengaturan distribusi pupuk secara tertutup sekarang ini, Pemerintah telah mengeluarkan Permentan, Permendag yang bertujuan untuk mengatur pendistribusian pupuk bersubsidi secara tertutup yang akan diberlakukan pada tahun 2009, yaitu: Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2008, tentang Penetapan Pupuk bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan; Permendag No. 21/M-DAG/Per 16/2008 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian; Permentan No. 42 Tahun 2008 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk bersubsidi Untuk Sektor Pertanian Tahun 20095. Kenyataannya, pupuk bersubsidi sering tidak diterima petani karena kelompok tani tidak memiliki dana untuk menebus nilai pupuk yang diajukan. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oknum pedagang pengecer untuk membantu menebus pengajuan pupuk kelompok tani tersebut, disini pupuk bersubsidi berubah menjadi barang publik sehingga bisa didapatkan oleh siapa saja yang membutuhkan. Akibatnya distribusi pupuk menjadi menjadi terganggu, terutama dari aspek jumlah, waktu dan jenis pupuk.

Pemupukan secara berimbang utamanya keseimbangan antara unsur Nitrogen (Pupuk Urea) Phospor (SP-36) dan Kalium (KCI) yang harus diberikan tergantung pada keadaan tanah. Ketiga unsur ini mempunyai peran yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman, dimana ketiga unsur ini saling berinteraksi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan tanaman.

5

Pemberdayaan Gapoktan dalam Sistem Distribusi Pupuk Bersubsidi Secara Tertutup http://www.sinartani.com/opini/agriwacana/704.html

(8)

8

Seperti halnya air irigasi, ketersediaan pupuk tidak hanya mempengaruhi produksi secara langsung tetapi juga berpengaruh pada musim tanam. Perubahan musim tanam akan memperbesar resiko usahatani yang dihadapi, terutama disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman. Kebutuhan yang tinggi dan kurang tersedianya pupuk ditingkat petani pada saat musim tanam menjadi salah satu pembenaran bagi petani untuk konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.

Sektor pemerintahan juga ikut berperan dalam konversi lahan sawah ke penggunaan lain, terutama pada daerah-daerah pemekaran. Pemekaran wilayah akan membentuk sistem pemerintahan baru, seterusnya juga membutuhkan pembangunan infrastruktur baru, dalam beberapa kasus pembangunan dilakukan pada lahan-lahan pertanian yang produktif. Kondisi ini diperburuk oleh pola pengelolaan sumberdaya alam yang hanya berorientasi untuk peningkatan pendapatan asli daerah tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan. Hal seperti ini tentunya sangat menghawatirkan, disaat pemerintah sedang mengkampanyekan pentingnya ketahanan pangan, namun proses konversi lahan pangan menjadi perkebunan terus terjadi.

Peningkatan harga komoditas perkebunan, kemudahan dalam pengelolaan dan pemasaran produk perkebunan, masalah irigasi, pupuk, dan kebijakan pemerintah merupakan pemicu penyusutan luas lahan sawah di Provinsi Bengkulu sebesar 12,74 % dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan data statistik luas lahan sawah tahun 2006 sebesar 121.470 hektar turun menjadi 106 ribu hektar pada tahun 2011. Menurut Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi (BKPP) Bengkulu (H. Muslih) penyusutan tersebut disebabkan penciutan atau alih fungsi menjadi perkebunan sebesar 50% serta infrastruktur dan 50% lainnya disebabkan bencana alam seperti longsor dan abrasi untuk kawasan pesisir. penyusutan sawah juga diakibatkan banyaknya perusahaan perkebunan skala besar beroperasi akibat pemberian izin yang mudah dilakukan. Lebih lanjut Kepala BKPP menegaskan, bahwa tidak mungkin ketahanan pangan tercapai bila lahan untuk pertanian tanaman pangan beralih fungsi menjadi kebun karet dan sawit atau pemukiman baru, seperti yang terjadi di Kabupaten Mukomuko, Bengkulu Selatan, Bengkulu Utara, dan Seluma6.

6

http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/09/14/64766/Sawah-Bengkulu-Susut-20-Persen-Tiap-tahun-. diakses tanggal 6 desember 2011

(9)

9 Luas lahan sawah di Kabupaten Seluma tahun 2005 mencapai 23.936 ha, selanjutnya pada tahun 2006 turun menjadi 21.002 hektar atau terjadi penurunan seluas 2.934 hektar. Pada tahun 2007 kembali terjadi penurunan seluas 927 hektar, perubahan luas lahan sawah ini sebagian besar akibat dikonversi menjadi lahan perkebunan karet dan kelapa sawit serta penggunaan non pertanian. Kondisi ini terlihat dari perkembangan luas tanam komoditas kelapa sawit, dalam kurun waktu lima tahun (2005 – 2010) luas tanam kelapa sawit meningkat sekitar 89,41%, tahun 2005 tercatat luas tanam mencapai 15.312 hektar dan tahun 2010 bertambah menjadi 29.002 hektar atau rata-rata meningkat sebesar 3.422,50 hektar/ tahun. Demikian juga dengan komoditas karet, luas tanam meningkat sebesar 5,42% dari luas tanam 25.199 hektar menjadi 26.482 hektar pada tahun 2010 (BPS 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, 2010).

Keputusan menanam kelapa sawit yang ditempuh dengan jalan mengkonversi lahan sawah merupakan suatu keputusan revolusioner yang ditempuh petani. Usahatani ini bukannya tanpa resiko, sebagai bidang usaha baru kesalahan dalam pengelolaan seperti pemilihan bibit, teknologi budidaya bukannya memberikan keuntungan lebih tinggi tapi tidak menghasilkan apa-apa karena tanaman kelapa sawit mereka produktivitasnya rendah bahkan tidak berproduksi sama sekali. Namun dengan pengalaman yang cukup lama dalam usahatani padi dengan berbagai kendala yang dihadapi, mungkin resiko yang dihadapi lebih rendah pada usahatani kelapa sawit.

Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan-pertanyaan yang kemudian menjadi permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, berkaitan dengan usaha-usaha untuk pengendalian konversi lahan sawah irigasi menjadi kebun kelapa sawit, yaitu:

1. Bagaimana perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma?

2. Benarkah land rent dari usahatani kelapa sawit lebih tinggi dari usahatani padi sawah?

3. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi petani untuk mengkonversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit?.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisa fenomena konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit yang terjadi di Kecamatan Seluma Selatan Kabupaten Seluma secara ekonomi, sehingga diperoleh nilai manfaat (land rent)

(10)

10

yang optimal dari pengelolaan komoditas pada lahan tersebut. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengestimasi perkembangan laju konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit di Kabupaten Seluma.

2. Mengestimasi nilai land rent dari tanaman pangan selama periode satu tahun dan nilai land rent rata-rata komoditas kelapa sawit selama periode satu tahun serta memproyeksikan nilai land rent dalam Present Value Net Return

land rent.

3. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi petani mengkonversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit.

1.4. Manfaat Penelitian

Informasi dari penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengelolaan dan perlindungan lahan pertanian terutama lahan sawah, sebagai tempat diproduksinya bahan pangan. Ketersediaan lahan pertanian yang memadai dan menjaga stabilitas ketahanan pangan Provinsi Bengkulu dalam rangka mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan untuk mengendalikan konversi lahan sawah serta upaya perbaikan pengelolaan sumberdaya lahan pertanian dalam rangka meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat di Kabupaten Seluma terutama yang bekerja disektor pertanian.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mencegah virus Covid-19 adalah dengan menerapkan perilaku Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di mana dalam penerapannya

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan bakunya... Stabilitas

Berdasarkan hasil statistik yang telah dilakukan serta hasil uraian pembahasan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu variabel pertumbuhan kredit dan

Cuplikan percakapan berikut sebagai contoh adanya penggunaan kode yang berwujud bahasa asing dalam percakapan novel Ney Dawai Cinta Biola karya Hadi S.. Arifin

kot ke pelaku pasar (Identifikasi Persoalan) Pembentukan lembaga khusus Penataan Terpadu Kawasan Arjuna sbd perwakilan stakeholder Persiapan Penilaian (Tahap Perencanaan)

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan yaitu data analog gelombang otak dapat digunakan sebagai perintah untuk menghidupkan atau

Hubungannya sementara itu dalam Pasal 37A khususnya ayat (3), menjelaskan bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal pembuktian tentang sumber

1) Mengembangkan kurikulum mata pelajaran IPS. a) Menelaah prinsip-prinsip pengembangan kurikulum IPS. b) Memilih pengalaman belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran IPS.