• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Ilmu Kalam Pemikiran Kalam Hasa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Materi Ilmu Kalam Pemikiran Kalam Hasa"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB l PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hasan Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat Indonesia, terutama yang gemar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam pemikirannya ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Fazlur Rahman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al Faruqi, Sayyed Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain.

Hasan Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikir Islam yang lain, pemikirannya lebih mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Dalam golongan intelektual Hasan Hanafi dikategorikan sebagai sosok intelektual yang bersifat kritis. Dalam kebangkitan Islam bagi Hasan Hanafi adalah kebangkitan rasionalisme dan menghidupkan kembali khasanah klasik, melakukan wacana perlawanan terhadap kebudayaan barat dan menganalisis realitis dunia Islam. Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Kiri Islam”.

(2)

merekonstruksi bangunan warisan intelektual klasik guna memberikan sesuatu yang baru bagi zaman modern untuk mencapai kemajuan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi Hassan Hanafi?

2. Bagaimana sejarah munculnya pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi? 3. Apa saja Metodologi pemikiran Hasan Hanafi?

4. Apa saja pemikiran-pemikiran Teologi Revolusioner Hassan Hanafi?

C. Tujuan

1. Mengetahui biografi Hassan Hanafi.

2. Mengetahui sejarah munculnya pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi. 3. Mngetahui Metodologi yang digunakan Hasan Hanafi

4. Mengetahui beberapa pemikiran-pemikiran Teologi Revolusioner Hassan Hanafi.

BAB II PEMBAHASAN

(3)

Hassan Hanafi dilahirkan pada tanggal 13 Pebruari 1935 di Kairo, tepatnya di sekitar tembok Benteng Shalahuddin daerah yang tidak terlalu jauh dari perkampungan Al Azhar, sebagaimana diketahui, kota itu tempat bertemunya para mahasiswa muslim dari seluruh dunia yang ingin belajar khususnya di Al Azhar. Beliau terlahir dari keluarga musisi. Akan tetapi sejak kecil Hanafi dihadapkan pada kenyataan-kenyataan kehidupan yang pahit, karena dominasi kekuasaan penjajah dan pengaruh-pengaruh politik asing yang lain. Ketika beliau berumur 13 tahun, ia pernah mendaftarkan diri sebagai suka relawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Karena dianggap usianya masih muda, ia ditolak oleh gerakan pemuda muslimin. Disamping itu, ia dianggap bukan kelompok mereka. Hanafi kecewa dan sadar di negaranya telah terjadi problem tentang ancaman persatuan umat yang lemah.

Pada tahun 1951, ketika masih duduk dibangku sekolah menengah atas, ia terlibat dalam perang urat saraf dengan Inggris di Terusan Suez. Di sana, ia menyaksikan para Syuhada. Bersama-sama dengan para mahasiswa, ia telah memberanikan diri untuk membantu gerakan revolusi pada akhir 40-an, gerakan revolusi tersebut meletus pada tahun 1952. Pada tahun itu pula ia tertarik untuk masuk ke dalam organisasi Ikhwanul Muslimin, atas saran pemuda muslimin. Akan tetapi, di sana, terjadi perdebatan yang sama dengan sebelumnya. Akhirnya mereka yang bergabung dalam organisasi itu menyarankan Hanafi agar bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Namun, keadaan di dalamnya sama dengan kedua organisasi sebelumnya.

(4)

Pendidikan Hassan Hanafi diawali pada tahun 1948, kemudian dilanjutkan pada Madrasah Tsanawiyah Khalil Agha Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Semasa Tsanawiyah, ia aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwan al-Muslimin. Karena itu, sejak kecil ia telah mengetahui pemikiran-pemikiran yang dikembangkan oleh Ikhwan al-Muslimin dan aktifitas-aktifitas sosialnya. Hassan Hanafi tertarik juga untuk mempelajari pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dan Islam. Sejak itu, ia berkonsentrasi untuk mendalami pemikiran agama, revolusi dan perubahan sosial.

Di dunia akademik, Hassan Hanafi aktif memberikan kuliah seperti di Perancis (1969), Belgia (1970), Temple University Philadelphia Amerika Serikat (1971-1975), Universitas Kuwait (1979), Universitas Fez Maroko ( 1982-1984) dan menjadi Guru Besar tamu di Tokyo ( 1984-1985), di Persatuan Emirat Arab (1985). Kemudian, ia diangkat menjadi Penasehat Program pada Universitas PBB di Jepang (1985-1987), dan sekembalinya dari Jepang pada tahun 1988 Hassan Hanafi diserahi jabatan Ketua Jurusan Filsafat di Universitas Kairo. Aktifitas di dunia akademik tersebut ditunjang dengan aktifitasnya di organisasi masyarakat. Tercatat, Hanafi aktif sebagai Sekretaris Umum Persatuan Masyarakat Filsafat Mesir. Ia menjadi anggota Ikatan Penulis Asia-Afrika, anggota Gerakan Solidaritas Asia-Afrika serta menjadi Wakil Presiden Persatuan Masyarakat Filsafat Arab.

Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar Islami. Pemikiran yang terkenal dengan Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara.1

B. Sejarah Munculnya Pemkiran Hassan Hanafi

(5)

Pada tahun 1952-1956 Hanafi duduk di bangku Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat. Tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara gerakan ikhwan dan gerakan revolusi. Ia berada dipihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena yang pertama mempunyai komitmen dan visi keislaman yang jelas. Hanafi mulai optimis setelah Nasser berhasil menasionalisasikan suez dan berubah menjadi pahlawan nasional. Peristiwa demi peristiwa yang dia alami selama dikampus telah membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan revormis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat islam selalu mudah dikalahkan dan mengapa konflik internal dikalangan mereka terus terjadi.

Dalam keprihatinan semacam itu, hanafi beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne, Prancis pada tahun 1956-1966. Keberuntungannya disini bukan karena ia berhasil melarikan diri dari situasi sulit di negerinya, akan tetapi ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus ia mulai merumuskan jawaban-jawaban itu. Sebagaimana ia akui, di Prancis ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atas karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang pemikir reformis katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan analisis kesadaran dari Husserl.

(6)

sebagai seorang pemikir dan cendekiawan, ia sangat peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat.

Pada tahun yang terakhir tersebut, ia terkena suatu permasalahan dengan pemerintah sehingga ia diminta untuk memilih, antara berhenti dari aktifitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua. Sepulang dari Amerika ia berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan pemikiran islam yang telah lama tertunda. Pengalaman itulah antara lain, yang mempertajam pemikirannya dan mendorong dirinya untuk memanfaatkan sisa umurnya untuk menulis dan menyelesaikan problem yang sedang dihadapai oleh dunia Islam. Disini, terlihat bahwa disamping sebagai pemikiran pembaru, ia juga cendekiawan yang mempunyai perhatian besar terhadap persoalan umat, bahkan, ia banyak terlihat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan.2

C. Metodologi Pemikiran Hassan Hanafi

Dalam pembahasan metodologi pemikiran seorang Hanafi, akan dikemukakan terlebih dahulu metodologi yang mempengaruhi pemikirannya secara umum, hal ini dilakukan agar didapatkan gambaran teoritisnya. Hal tersebut mencakup empat hal :

1. Tradisi Pemikiran Filsafat Marxisme melalui Metode Dialektika, 2. Metode Hermeneutika

3. Metode Fenomenologi dan 4. Metode Eklektik.

Metode Dialektika

Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai metode untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dengan bantuan metode

(7)

dialektika historis dari Marx, Hanafi mencoba melihat kembali sejarah perkembangan perjuangan Islam. Dalam artikelnya “Fundamentalisme dan Modernitas”, dia menunjukkan bahwa gerakan Islam zaman sekarang merupakan tahap sejarah yang ketiga dari sejarah kebudayaan Islam, di mana massa harus bangkit atas dasar imannya.

Kemudian Hanafi menggunakan dialektika untuk menggagas teologi sebagai antropologi yang merupakan cara “ilmiah” untuk mengatasi keterasingan teologi itu sendiri. Cara ini dilakukan Karl Marx terhadap filsafat Hegel.

Menurutnya dialektika Hegel berjalan pada kepalanya, artinya; agar dialektika itu bisa dipahami dengan benar, ia harus diletakkan di atas kakinya. Dengan

dialektika materialnya, Marx mengajak untuk menjadi normal lagi, yaitu berjalan dengan kaki. Upaya Hanafi dalam artikelnya “Ideologi dan Pembangunan,” lewat sub-sub judul: dari Tuhan ke bumi, dari ke abadian ke waktu, dari takdir ke kehendak bebas, dari otoritas ke akal, dari teori ke tindakan, dari karisma ke partisipasi massa, dari jiwa ke tubuh, dan dari eskatologi ke futurologi.

Cara yang sama mengenai hal ini juga diarahkan kepada sufisme yang dinilai pasif, yaitu: dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari meditasi (menyendiri) ke tindakan terbuka, dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik, dari nilai pasif ke nilai aktif, dari kondisi-kondisi psikologis ke perjuangan sosial, dari vertikal ke horizontal, dari langkah moral ke periode sejarah, dari dunia lain ke dunia ini, dan dari kesatuan khayal ke

penyatuan nyata.

Metode Hermeneutik

Hermeneutik merupakan salah satu tema penting dalam pemikiran Hanafi. Bahkan ia menjadi bagian integral dari wacana pemikirannya baik dalam filsafat maupun teologi untuk memahami suatu teks.

(8)

Fenomenologi dalah sebuah metode berfikir yang berusaha untuk mencari hakekat sebuat fenomena atau realitas. Untuk sampai pada tingkat tersebut, menurut Husserl (1859-1938) sang penggagas metode ini, peneliti harus melalui --minamal-- dua tahapan penyaringan (reduksi); reduksi fenomenologi dan reduksi eidetis. Pada tahap pertama, atau yang disebut pula dengan metode apoche, peneliti menyaring atau memberi kurung terhadap fenomena-fenomena yang dihadapi. Peneliti mulai menyingkirkan persoalan-persoalan yang dianggap tidak merupakan hakekat dari objek yang dikaji. Tahap kedua, reduksi adetis, peneliti masuk lebih dalam lagi. Tidak hanya menyaring yang fenonemal tetapi menyaring intisarinya.

Hanafi menggunakan metode ini untuk mengalisa, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik ekonomi, realitas khazanah Islam dan realitas tantangan Barat, yang dari sana kemudian dibangun sebuah revolosi. Metode Eklektik

Merupakan Penggabungan berbagai metode (baca: cara berpikir). Metode ini tak dapat dipugkiri ketika kita membaca pikiran Hasan Hanafi, khususnya dalam proyek kiri Islamnya.

D. Pemikiran-pemikiran Teologi Revolusioner Hasan Hanafi. Modernisme

(9)

sedikitnya,untuk mengetahui proses keberlanjutannya dalam kenyataan dan privasi anda, maka anda akan disingkirkan olehnya, atau digusur oleh kenyataan anda sendiri, atau dipinggirkan dan diposisikan di wilayah marginal di luar area masa kini dan area masa yang akan datang, dengan merenungkan masa lampau, atau bahkan menjerumuskan anda ke dalam masa lampau tersebut.

Hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa kita harus menentang tradisi yang telah kita miliki serta menghadirkan diri kita sebagai sebuah totalitas dalam Peradaban Kontemporer, sehingga seolah-olah kita adalah makhluk yang tidak memiliki tradisi. Tentu tidak! Sesungguhnya peletakan dasar-dasar modernism bgi kita dan dalam lingkungan kita dapat dicapai dengan resistemisasi atas tradisi kita dan rekonstruksi hubungan kita dengannya dalam bentuk modern. Modernisme dimulai dengan penguasaan dan kepemilikan terhadap tradisi, karena hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyambung banyak jalur yang terputus dengannya, termasuk untuk mewujudkan proyeksi jauh ke depan menuju formulasi tradisi baru yang kita bentuk, yakni sebuah tradisi baru yang bersifat praktis, berhubungan dengan tradisi masa lampau dari segi identitas dan tipikalitas karakteristiknya, serta terpisah dengan masa lampau itu dari segi totalitas dan universalitasnya.3

Sekularisme dan Islam

Al-‘ilmaniyyah adalah term yang diarabkan dan bukan kata asli dari arab. Kata tersebut menjadi sinonim dari Sekularisme, yang berasal dari bahasa latin ”Saeculum”. Artinya adalah masa (Al-‘ashr). Kata ini berasal dari peradaban barat.4 Yang untuk selanjutnya golongan yang menjunjung sekularisme ini pada

gilirannya adalah menjadi lawan dari golongan yang fundamentalis (memegang pondasi/dasar pemikiran), dimana golongan fundamentalis adalah golongan yang menolak pengaruh dari luar yang datang, baik secara menyeluruh maupun yang dari tingkat yang sangat detail.

(10)

Di Barat, term ini menunjukkan pemisahan antara gereja dan negara atau antara otoritas religius dan otoritas politik. Di Eropa sendiri terjadi pertentangan antara para Pope di Roma, uskup dan para raja. Pertentangan ini semula dimenangkan oleh para Pope tetapi kemudian kemenangan itu berpindah tangan pada para raja setelah terjadinya revolusi prancis “ Asyniqu akhir malik bi am’ai akhir qissis” (Ikatlah raja terakhir itu dengan usus uskup terkhir). Selanjutnya kembali pada sabda Isa Al Masih “ Berikan apa yang menjadi milik raja kepadanya dan apa yang manjadi milik Allah kepadaNya”5, berangkat dari

pernyataan ini maka solusi yang ditawarkan dan sekarang telah terjadi adalah pemisahan antara dua otoritas yang keduanya pernah mengalami kemenangan yaitu gereja untuk urusan agama dan negara untuk dunia (Sekuler).

Dalam peradaban barat, Sekularisme menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari serta ditegakkan diatas undang-undang Eropa. Karena dipisahkan kehidupan agama dan kehidupan dunia maka hukum-hukum yang dibuat pun tidak berlandasaakan pada agama tapi pada pemikiran-pemikiran secara rasional yang dikembangkan oleh yang berwenang membuat hukum-hukum. Karena terpisah pula maka tidak ada agama resmi bagi negara, mereka menganggap semua agama sama jadi tidak perlu ada pendominasian terhadap agama maka agama apapun bebas berkembang tidak peduli agama ataupun kepercayaan, tidak ada persyaratan beragama bagi seorang pemimpin negara sebagai salah satu persyaratan kemimpinan, tidak ada hukum gereja yang mengatur hubungan antara individu, seperti hukum kelurga (Al-Ahwal al-Syakhshiyyah) atau hukum kriminal (Jinayah) sebagai contoh jika ada pencuri yang ketahuan pebuatannya maka sanksi yang diberikan itu tidak mengacu pada hukum-hukum agama dalam artian disini bahwa pihak negara sendiri tanpa campur tangan pihak gereja yang notabene memegang doktrin-doktrin agama gereja, yang selanjutnya produk dari sekukarisme ini adalah tidak ada pengajaran-pengajaran agama di sekolah-sekolah serta tidak ada dakwah keagamaan dalam berbagai media informasi.

(11)

Dengan itu, setelah kerajaan memenangkan otoritas atas gereja (para Pope), maka gereja digunakan untuk kepentingan negara sehingga gereja dimanfaatkan untuk mengantarkan penjajahan dan kolonialisme. Maka, penjajahan itu selalu dihubungkan dengan misionari, demikian juga sebaliknya. Kemenangan pertama bangsa-bangsa non Eropa tercapai dengan kecintaan terhadap barat setelah hilangnya kecintaan mereka terhadap negara sendiri dan timbul perubahan iman terhadap agama barat menjadi kecintaan secara politik.

Konsepsi peradaban barat itu mulai tersebar diantara kita dan membuat kita mengerti diri kita dan membuat kita mengerti diri kita. Seperti sekularisme dan liberalisme sehingga keduanya tersebar begitu mendarah dadging diantara kita serta menjadi salah satu factor penyebab terjadinya modernisme di Barat. Tetapi ketika modernisme, bangsa-bangsa di seluruh dunia dan perputaran sejarah itu menjadi satu, maka tida diragukan lagi banyak penolakan dan pembelaan yang mewujudkan kemajuan masyarakat tanpa memperhatikan beragam karakteristik bangsa serta perputaran sejarah yang dilewati oleh masyarakat tidak ada satu ideal menuju modernitas tersebut. Dan hal ini merupakan kelemahan kita dalam menciptakan beragam cara untuk maju dari inspirasi religius, rasional, tradisi bangsa dan khazanah historisnya.

(12)

Maka kesalahan pertama adalah transformasi model sekularisme barat, dan sedikitnya reaksi yang munsul atas slogan Supremasi hukum Allah sebagai kesalahan kedua. Menyatunya kedua kesalahan ini tidak menghadirkan solusi yang tepat. Hambatannya bagi kita adalah bagaimana cara mewujudkan tujuan-tujuan kelompok sekuler berupa kebebasan dan kemajuan yang diinginkan oleh masyarakat disaat yang sama islam berusaha melaksanakan syariat islam sebagai upaya untuk menghindari pemikiran dualistik antara dunia dan agama, amal dan iman, atau antara syariah dan akidah?.

Syariat islam adalah syariat positif ditegakkan berdasarkan kemashlahatan umum yang dilihat dari dimensi primer (Dlaluriyyat), sekunder (Hajiyat), tersier (Tahsinat). Dimensi primer ada lima macam yaitu menjaga agama, kehidupan, akal, kehormatan diri dan harta benda. Semua dasar-dasar kehidupan.7. Agama

adalah hakikat obyektif yang bebas dari segala nafsu manusia, kehidupan manusia dilihat sebagai system nilai bagi dirinya sendiri, akal dipandang sebagai sarana taklif dan pengendali indra, kemuliaan adalah sarana bag manusia untuk mencapai derajat kemanusiaan dan harta benda adalah alat untuk memenuhi kebutuhan manusia serta menjamin keberlanjutan dan berlangsungnya hidup mereka. Kelima kelompok primer ini dibela oleh para sekularis namun mereka mengadopsi dari peradaban barat dan tidak bersumber pada syariat islam. Para sekulerisme ini tidak menghiraukan sistem sanksi yang terdapat dalam undang-undang kriminal yang sangat dibela dan dipertahankan oleh para pemuka muslim sebagai reaksi untuk menolak para sekularisme yang pada hakikatnya adalah sebuah prasangka sebagai hasil dari terpecah-pecahnya konsep nasionalisme dan peperangan dengan saudara dan musuh-musuh sebagai akibat dari pengkafiran terhadap berbagai golongan yang menjerumuskan kesadaran nasional.

Adapun dispensasi pelaksanaan syariah yang kapasitasnya digugat oleh sekularisme merupakan sikap emosinal akibat tidak memahami ruh syariah. Hal itu dilakukan hanya untuk melarang, mengebiri dan mengharamkan saja dan tidak memandang dimensi kemanusiaan dan sensifitasnya terhadap fenomena aam

(13)

semesta. Hukum-hukum syariat yang berjumlah lima macam yakni, wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah hanyalah mendiskripsikan stratifikasi perbuatan alamiah manusia, sebagaimana ditempatkan oleh para sekuler di luar wilayah halal dan haram yang terbentuk dan adopsi dari luar.

Syari’ah juga menentukan prinsip-prinsip umum dan menyimpulkan disiplin fiqh. Prinsip-prinssip itu bersifat tetap sedangkan fiqh senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan. Hukum fiqh baru sebagai jawaban atas segala persoalan terhadap kondisi jaman, sebagai jawaban atas kemaslahatan yang selalu berubah dari generasi ke generasi. Yang membedakan Islam dengan sistem lainnya adalah sistem kependetaan, otoritas religius, berbagai pandangan, emosi, iklim, hukum kriminal, dan sistem sanksi sehingga hal itu menghancurkan manusia dan membuat manusia berpaling pada sekulerisme model barat yang mencakup madzhab Rasionalisme, Liberalisme, Kebebasan, demokrasi, dan Modernisme. Maka aib itu ada dalam diri kita dan bukan pada orang lain, yakni dalam peniruan yang dilakukan terhadap orang lain dan bukan pada kreatifitas orisinil.

Fundamentalisme

Istiah fundamentalisme berasal dari bahasa inggris fundament yang dapat di artikan dasar dari sesuatu atau sesuatu yang asasi. Selanjutnya, kata fundamentalisme biasa diartikan idea atau gerakan yang mendasarkan diri pada suatu gerakan yang mendasarkan diri pada suatu ajaran atau doktrin yang diyakini paling dasar dan benar, seperti kitab suci bagi pemeluk suatu agama atau dasar Negara (ideologi) bagi suatu bangsa.

(14)

islamiyah (fundamentalisme islam) sebagai judul buku, karena pertimbangan kalangan pembaca akademis di seluruh dunia.

Lebih lanjut, hanafi mendefinisikkan fundamentalisme dalam islam sebagai suatu gerakan yang berusaha menegakkan dan merealisasikan syariat islam serta membangun system yang islami dengan menolak system non-islam yang sedang berlaku. Gerakan tersebut berusaha mendasarkan realitas kehidupan pada dasar islam, sebab dasar-dasar yang lain dianggap tidak sah. Karena itu, jika ia di pergunakan sebagai dasar maka realitas menjadi rusak seperti yang sedang berjalan saat ini.

Pengikut gerakan itu meyakini bahwa berbagai masalah yang timbul dewasa ini di sebabkan manusia tidak menerapkan syariat Allah dengan sebenar-benarnya. Maka, jika ingin masalah-masalah itu hilang, satu-satunya cara adalah dengan menerapkan syariat Allah, meskipun realitas menolak. Bagi hanafi, gerakan itu membuat analisis persoalan berdasarkan syariat yang bersifat ideal, bukan pada realitas. Mereka menghendaki realitas mengikuti ideal syariat, bukan syariat memperturutkan realitas. Di sinilah, letak gerakan semacam itu disebut fundamentalisme.8

Liberalisme

Liberalisme adalah sistem terpanjang yang masuk ke dalam kehidupan kita, khususnya di Mesir selama fajar kebangkitan Arab Modern setelah gerakan Islam. Pelopornya adalah Al Tanththawi di Mesir dan Khairuddin Al Tunisi di Tunisia. Mereka berkeinginan untuk mendirikan Negara modern seperti yang diinginkan oleh filsafat pencerahan di Barat, seperti yang diungkapkan oleh La Charte dalam revolusi Perancis. Untuk itu, Al Thahtawi menerjemahkannya sebagai penegas ultimatum bagi Negara Nasionalis Modern. Liberalisme tidaklah menuntut penghapusan system kerajaan dan kekhilafahan, namun menuntut system kerajaan yang terikat pada undang-undang dan system parlemen yang dibangun di atas multi-partai. Kebebasan Pers, urgensi ajaran nasional yang bebas

(15)

dan independen, tanggung jawab departemen di depan para wakil rakyat, kebebasan berpendapat, berkumpul dan bekerja serta kebebasan berfikir dan menganut sebuah kepercayaan.

Liberalisme telah memimpin sejumlah peperangan untuk membangun Negara modern, sejumlah selokan dan saluran air, jembatan dan bendungan, pendirian sekolah-sekolah dan universitas-universitas, penyebaran pengajaran tanpa pembedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, serta pembentukan semangat nasionalisme, yang independen. Maka meletuslah beberapa revolusi nasional, seperti revolusi tahun 1919 di Mesir yang mengatas namakan Liberalisme.9

Pemikiran kalam Hassan Hanafi

A) Kritik Terhadap Teologi Tradisional

Dalam gagasan Hassan hanafi tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan,yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya. Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern.10

Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh di persoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah

(16)

ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis.11 Secara praxis, teologi tradisional gagal

menjadi semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabakan oleh sikap para penysun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisnya di kalangan umat.

B) Rekonstruksi Teologi

Melihat kelemahan dari teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teologi dengan tujuan menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia.12

Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya di latar belakangi oleh tiga hal berikut :

1. Kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi.

2. Pentingnya teologi baru ini bukan semata-mata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim.

3. Kepentingan teologi yang bersifat praktis (amaliyah fi’liyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia

11 A.H. Ridwan,1998: hlm 45

(17)

islam. Hanafi menghendaki adanya ”teologi dunia” yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam di bawah satu orde.13

Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi salah satu cara yang mesti di tempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang konkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-pertama untuk mentransformasikan teologi menuju antropolgi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif, maupun kesejarahan.

Tiga pemikiran penting Hanafi yang berhubungan dengan tema-tema kalam; zat Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan soal tauhid.

(18)

pelajaran dan ‘harapan’ Tuhan pada manusia, agar mereka sadar akan dirinya sendiri dan sadar akan lingkungannya.

Disini terlihat Hanafi berusaha mengubah term-term keagamaan dari yang spiritual dan sakral menjadi sekedar material, dari yang teologis menjadi antropologis. Hanafi melakukan ini dalam rangka untuk mengalihkan perhatian dan pandangan umat Islam yang cenderung metafisik menuju sikap yang lebih berorentasi pada realitas empirik. Lebih jelas tentang penafsiran Hanafi mengenani sifat-sifat (aushâf) Tuhan yang enam; wujûd, qidâm, baqa’, mukhalafah li al-hawâdits, qiyâm binafsih dan wahdaniyah, menafsirkan sebagai berikut.

1. Wujûd, Wujud disini tidak menjelaskan wujud Tuhan, karena sekali lagi Tuhan tidak memerlukan pengakuan. Tanpa manusia, Tuhan tetap wujud. Wujud disini berarti tajribah wujûdiyah pada manusia, tuntutan pada umat manusia untuk mampu menunjukkan eksistensi dirinya. Inilah yang dimaksud dalam sebuah syair, kematian bukanlah ketiadaan nyawa, kematian adalah ketidakmampun untuk menunjukkan eksistensi diri.

2. Qidâm (dahulu), berarti pengalaman kesejarahan yang mengacu pada akar-akar keberadaan manusia didalam sejarah. Qidam adalah modal pengalaman dan pengetahuan kesejarahan untuk digunakan dalam melihat realitas dan masa depan, sehingga tidak akan lagi terjatuh dalam kesesatan, taqlid dan kesalahan.

(19)

senantiasa kelestarian lingkungan dan alam, juga ajaran agar manusia mampu meninggalkan karya-karya besar yang bersifat monumental.

4. Mukhâlafah li al-hawâdits (berbeda dengan yang lain) dan qiyâm binafsih (berdiri sendiri), keduanya tuntunan agar umat manusia mampu menunjukkan eksistensinya secara mandiri dan berani tampil beda, tidak mengekor atau taqlid pada pemikiran dan budaya orang lain. Qiyam binafsih adalah deskripsi tentang titik pijak dan gerakan yang dilakukan secara terencana dan dengan penuh kesadaran untuk mencapai sebuah tujuan akhir, sesuai dengan segala potensi dan kemampuan diri.

5. Wahdaniyah (keesaan), bukan merujuk pada keesaan Tuhan, pensucian Tuhan dari kegandaan (syirk) yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih mengarah eksperimentasi kemanusiaan. Wahdaniah adalah pengalaman umum kemanusiaan tentang kesatuan; kesatauan tujuan, kesatuan kelas, kesatuan nasib, kesatuan tanah air, kesatuan kebudayaan dan kesatuan kemanusiaan.

Dengan penafsiran-penafsiran kalam yang serba materi dan mendunia ini, maka apa yang dimaksud dengan istilah tauhid, dalam pandangan Hanafi bukan konsep yang menegaskan tentang keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, tetapi lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik seperti hipokrit, kemunafikan ataupun perilaku oportunistik.

(20)

tanpa direalisakan dalam kehidupan kongkrit. Perealisasian nafi (pengingkaran) adalah dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya dan ilmu pengetahuan yang membuat manusia sangat tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak sesuai dengan idiologi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki dan dipujanya. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.

Dengan demikian, dalam konteks kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial masyarakat tanpa kelas, kaya atau miskin. Distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi ras, tanpa perbedaan ekonomi, tanpa perbedaan masyarakat maju dan berkembang

(21)

A. Kesimpulan

Dari keseluruhan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Hassan Hanafi adalah seorang pemikir muslim modernis dari Mesir dan guru besar pada fakultas filsafat Universitas Kairo. Dan pemikiran Hanafi meliputi bidang filsafat atau pemikiran islam, kalaupun bicara masalah lain, seperti ekonomi dan politik, itu hanya karena ia ingin menjelaskan persoalan yang sedang dihadapi oleh umat islam, tetapi tetap berada dalam kerangka bidang filsafat.

Pemikiran Hassan Hanafi tersebar di dunia Arab sampai ke Eropa. Pada tahun 1981, ia memprakarsai dan sekaligus sebagai pimpinan redaksi penerbitan jurnal ilmiah Al-Yasar Islami. Pemikiran yang terkenal dengan Yasar al-Islami sempat mendapat reaksi dari penguasa Mesir, Anwar Sadat, yang memasukkannya ke dalam penjara. Pemikiran-pemikiran Hassan Hanafi meliputi berbagai aspek, yaitu :

 Modernisme

 Fundamentalisme

 Sekularisme

 Liberalisme, dan

(22)

B. Saran

Mungkin sekiranya di dalam penyusunan Makalah kami ini memiliki banyak kekurangan, Maka dari itu, Kritik dan Saran dari pembaca sangat kami butuhkan. Agar, kedepannya kami dapat memperbaiki kekurangan yang ada. Sehingga dalam penyusunannya di kemudian lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Hanafi, Hassan. Membunuh Setan Dunia, IRCiSoD: Yogyakarta. 2003 Prasetyo, Eko. Islam Kiri, Pustaka Pelajar Offsett: Yogyakarta. 2002

Nurhakim, Moh. Islam Tradisi dan Reformasi, Bayumedia Publishing: Jatim. 2003

Rozak, Abdul dan Rosihon,Anwar. Ilmu kalam.1998

Ridwan, A. H. Reformasi Intelektual Islam: Pemikiran Hassan Hanafi tentang Reaktualisasi Tradisi Keilmuan. Ittaqa Press : Yogyakarta. 1998

Referensi

Dokumen terkait

Jika harga satuan ditulis nol atau tidak dicantumkan maka pekerjaan dalam mata pembayaran tersebut dianggap telah termasuk dalam harga satuan pekerjaan

Gambaran pendugaan pola penyabaran sumber lumpur bawah permukaan tanah dari hasil pengolahan data menggunakan software Res2DInv untuk lintasan 1, 2, dan 3 adalah

Tujuan dari pelaksanaan kegiatan ini adalah untuk melestarikan kesenian yang ada di daerah Seyegan melalui website sebagai sarana informasi dan promosi

Skema ini mengacu pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 161 Tahun 2015 Tentang Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia

pakaian dengan keunikan dan kekhasan pulau Lombok yang memiliki daya tarik. Suvenir pakaian yang berkembang saat ini memiliki tema dan karakteristik desain yang

Dinas daerah merupakan unsur pelaksana otonomi daerah yang terdapat di setiap daerah contohnya ialah dinas Pendapatan daerah, sedangkan lembaga teknis daerah merupakan unsur

Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat menjadi masukan bagi peneliti selanjutnya untuk memperoleh informasi mengenai kontribusi Implementasi Pendidikan Lingkungan

The word dorm in the dialogue belongs to colloquial expression in the form of clipped word. However, dorm in the dialogue is translated into ” siswi di