BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Rel Kereta Api
Rel pada jalan rel mempunyai fungsi sebagai pijakan mengglindingnya roda kereta api dan untuk meneruskan beban dari roda kereta api kebantalan. Rel ditumpu oleh bantalan-bantalan, sehingga rel merupakan batang yang ditumpu oleh penumpu-penumpu. Tipe rel yang digunakan di Indonesia adalah tipe R54, R50, R42, R33, dan R25. Panjang jalan rel yang masih beroprasi di Indonesia adalah 4.360 Km, di Sumatera 1.348 Km, di Jawa 3.012 Km, hampir seluruhnya sudah tua, berusia diatas 50 tahun. Rel yang terbuat dari baja karbon yang dapat aus, mengembang, melengkung, atau patah yang dapat mempengaruhi operasi bahkan mengakibatkan kereta api anjlok atau terguling. Komponen-komponen struktur jalan rel dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu : struktur bagian atas terdiri dari rel, bantalan dan penambat dan struktur bagian bawah yaitu bagian pondasi terdiri dari balas dan tanah dasar (http://id.wikipedia.org/wiki/rel.time:11:31:26.AM.12/13/2011).
.
Gambar 2.1 Rel kereta api Sumber : (http://id.wikipedia.org/wiki/rel).
2.2. Baja Sebagai Bahan Rel Kereta Api
Baja merupakan bahan dasar dari rel kereta api. Menurut Buku Ilmu bahan logam jilid I (1994) mengatakan baja adalah logam paduan antara besi ( Fe ) dan karbon (C), dimana besi sebagai unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon dalam baja berkisar antara 0.2 % hingga 1.7% berat sesuai grade-nya. Dalam proses pembuatan baja akan terdapat unsur-unsur lain selain karbon yang akan tertinggal di dalam baja seperti mangan (Mn), silikon (Si), Kromium (Cr), Vanadium (V), dan unsur lainnya. Dalam hal aplikasi baja sering digunakan sebagai bahan baku untuk alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan rumah tangga dan lain-lain.
2.2.1. Klasifikasi Baja
Menurut ASM handbook vol.1:329 (1993), baja dapat diklasifikasi berdasarkan komposisi kimia seperti kadar karbon dan paduan yang digunakan. Berikut merupakan klasifikasi baja berdasarkan komposisi kimianya. Terutama baja karbon terdiri dari besi dan karbon. Karbon merupakan unsur pengeras besi yang efektif dan murah. Oleh karena itu, pada umumnya sebagian besar baja hanya mengandung karbon dengan sedikit unsur paduan lainnya. Perbedaan persentase kandungan karbon dalam campuran logam baja menjadi salah satu pengklasifikasian baja. Berdasarkan kandungan karbon, baja dibagi ke dalam tiga macam menurut buku Pengetahuan bahan teknik (Surdia dan Saito), (1995) yaitu :
a. Baja Karbon Rendah (Low Carbon Steel)
Baja karbon rendah adalah baja yang mengandung karbon kurang dari 0.32% C. baja karbon rendah merupakan baja yang paling murah diproduksi diantara semua karbon, mudah di quenching dan dilas, serta keuletan dan ketangguhannya sangat tinggi tetapi kekerasan rendah dan tahan aus. Sehingga pada penggunaannya, baja jenis ini dapat digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan komponen body mobil, struktur bangunan, pipa gedung, jembatan, kaleng, pagar, dan lain-lain.
b. Baja Karbon Menengah (Medium Carbon Steel)
Baja karbon menengah adalah baja yang mengandung karbon 0.35% C - 0.55 % C. baja karbon menengah memiliki kelebihan jika dengan baja karbon rendah,
kekuatan terik dan batas renggang yang tinggi, tidak mudah di bentuk oleh mesin, lebih sulit dilakukan untuk pengelasan dan dapat dikeraskan di quenching dengan baik. Baja karbon menengah banyak digunakan untuk poros, roda kereta api, roda ggi, pegas, baut, komponen mesin yang membutuhkan kekuatan tinggi dan lain-lain.
c. Baja Karbon Tinggi (High Carbon Steel)
Baja karbon tinggi adalah yang mengandung kandungan karbon 0,60% C-0,95 % C dan memiliki tahan panas yang tinggi, kekerasan tinggi, namun keuletannya lebih rendah. Baja karbon tinggi mempunyai kuat tarik paling tinggi dan banyak digunakan untuk material perkakas, salah satu aplikasi dari baja ini adalah dalam pembuatan kawat baja dan kabel baja. Berdasarkan jumlah karbon yang terkandung di dalam baja maka baja karbon ini banyak digunakan dalam pembuatan pegas dan alat-alat perkakas seperti palu, gergaji atau pahat potong. Selain itu, baja jenis ini banyak digunakan untuk keperluan industri lain seperti pembuatan kikir, pisau cukur, mata gergaji, rel kereta api dan sebagainya.
Table 2.1 klasifikasi baja karbon dan aplikasinya
Klasifikasi Number Properties Applications
Low Carbon
1006-12 soft and pastic 1015-22 soft and tough 1023-32 medium
Streets, stripping, tubes, welding rivets, screws, wire, structural shapes, pipes, gears, shafts, bars, structural shapes. Medium Carbon 1035-40 1041-50 1052-55
Large, section part : forget parts, shaft, exles, rods, gears, heat treated parts : shafts, axles, gears, spring wire heavy duty mechine parts : gears, forgings
High Carbon
1060-70 shock resistant 1074-80 tough and hard 1084-95
Dies, set screws, shear blades, hammers, wrenches, chisels, cable wire.
cutting tools : dies, milling cutters, drills, taps, etc Sumber : Pengetahuan bahan teknik ( Surdia dan Saito), 1995.
2.2.2. Karakteristik Baja
Sifat-sifat karakteristik yang dimiliki baja karbon tinggi antara lain : 1. Kestabilan dimensi pada saat perlakuan panas.
2. Mempunyai kemampuan diperkeras (hardenability) yang sangat tinggi.
3. Mempunyai tingkat kekerasan yang tinggi setelah pendinginan cepat (quench). 4. Mampu untuk diperkeras melalui pendinginan udara.
5. Ketahanan terhadap tumbukan mekanik yang cukup baik. 6. Permesinan yang cukup mudah pada kondisi lunak.
Sifat mekanis baja juga dipengaruhi oleh cara mengadakan ikatan karbon dengan besi menurut Buku Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material (Vlack), edisi keenam (2001). Terdapat 3 struktur utama kristal saat karbon mengadakan ikatan dengan besi, yaitu:
1. Ferrite, yaitu besi murni (Fe) terletak rapat saling berdekatan tidak teratur, baik bentuk maupun besarnya. Ferrite merupakan bagian baja yang paling lunak, ferrite murni tidak akan cocok digunakan sebagai bahan untuk benda kerja yang menahan beban karena kekuatannya kecil.
2. Karbida besi (Fe3C) suatu senyawa kimia antara besi ( Fe) dengan karbon (C)
sebagai unsur struktur tersendiri dinamakan cementite dan mengandung 6,7 % karbon.
3. Pearlite, merupakan campuran antara ferrit dan sementit dengan kandungan karbon sebesar 0,8%. Struktur pearlite mempunyai kristal ferrite tersendiri dari serpihan cementite halus yang saling berdampingan dalam lapisan tipis.
2.2.3 Sifat Umum Baja
Baja mempunyai sejumlah sifat yang membuatnya menjadi bahan bangunan dan perkakas hingga rel kereta api yang sangat berharga, beberapa sifat baja yang penting adalah : kekuatan,kelenturan, kealotan,kekerasan, dan ketahanan terhadap korosi Menurut Harry dan Chenoweth.( 1991).
a. Kekuatan
Baja mempunyai daya tarik, lengkungdan tekan yang sangat besar. Pada setiap golongan baja, pabrikan baja menandai beberapa besar daya baja kekuatan baja itu. Pabrikan baja misalnya, memasukkan satu golongan baja batangan dan mencantumkan pada baja itu Fe 360. Disini Fe menunjukkan bahwa golongan itu merupakan produk dari besi, sementara angka itu menunjukkan daya kekuatan ( minimum ) tarikan atau daya tarik baja itu. Yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah gaya tarik (N) yang dapat dilakukan baja bergaris tengah 1 mm² sebelum baja itu menjadi patah. Dalam hal ini daya tarik itu adalah 360 N/mm². dahulu kita mencantumkan daya tarik baja itu Fe 37 karena daya tariknya adalah 37 kgf/mm².
karena mengandung sedikit kadar karbon, maka semua jenis baja mempunyai daya tarik yang kuat. Oleh karena daya tarik baja yang kuat, maka baja dapat menahan berbagai tegangan seperti tegangan lentur.
b. Kelenturan
Baja tidak hanya kuat tetapi juga memiliki sifat kelenturan
c. Keuletan
Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa tingkatan, harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending, stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya.
d. Kekerasan
Baja itu sendiri sangat keras sekali sehingga sebagai bahan kontruksi, baja mungkin saja untuk digunakan dalam berbagai tujuan. Apabila untuk produk-produk baja tertentu ada suatu keausan maka bisa saja baja tersebut di keraskan dengan cara dipanaskan agar kekerasannya meningkat.
e. Ketahanan Terhadap Korosi
Tanpa perlindungan baja sangat cepat berkarat, untung saja baja dapat diberikan perlindungan yang efektip dengan berbagai cara salah satunya dengan perlakuan panas :
Perlakuan Panas
Kekerasan yang lebih besar adalah sangat penting untuk benda-benda tertentu yang dibuat dari baja. Yang dimaksud dengan kekerasan dari suatu bahan adalah kemampuan bahan jika menerima beban sulit mengalami deformasi namun jika beban terlalu besar akan cepat patah.
Ada beberapa cara untuk mengeraskan :
a. Mengeraskan secara mendalam : benda dari baja baik bagian luar maupun bagian dalam dibuat menjadi sangat keras.
b. Mengeraskan permukaan : hanya bagian luarnya saja yang sedangkan bagian intinya tidak dapat perlakuan.
a. Pengerasan Yang Mendalam
Pada pengerasan mendalam, benda yang sudah terbentuk, dipanaskan dengan temperatur tinggi kemudian dengan cepat didinginkan tindakan ini disebut
“mengejutkan” baja dilakukan di dalam air, minyak atau di udara. Benda itu menjadi keras bukan hanya bagian luarnya saja tetapi juga intinya menjadi keras benar. Dengan cara ini baja menjadi cepat rapuh, berarti baja itu dapat dengan cepat patah. Beberapa peralatan dikeraskan dengan cara ini. Kita semua paham betapa mudah patahnya ulir mata bor dari baja yang berukuran kecil.
b. Pengerasan Permukaan
Untuk peralatan-peralatan tertentu hanya bagian luarnya saja yang harus diperkeras. Untuk dapat menerima tekanan yang besar, inti benda itu harus tetap lentur. Hal ini dapat dicapai dengan hanya mengeraskan bagian permukaan dari benda tersebut. Pengerasan permukaan dipakai pada poros dan berbagai kopling.
2.3Quench-Hardening
Hardening merupakan salah satu laku panas dalam kondisi non equilibrium. Proses laku panas tersebut bertujuan untuk mengubah struktur mikro logam menjadi martensit. Sedangkan struktur mikro dan kadar karbon merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kekerasan baja.
Quenching dilakukan dengan memanaskan baja hingga temperatur austenit dan ditahan beberapa saat pada temperatur tersebut, kemudian didinginkan dengan cepat. Kekerasan pada proses quenching dipengaruhi oleh beberapa faktor: temperatur austenitising, homogenitas austenit, laju pendinginan, kondisi permukaan dan ukuran benda kerja serta hardenability baja.
2.3.1 Perlakuan Panas (Heat Treatment)
Perlakuan panas didefinisikan sebagai kombinasi dari operasi pemanasan dan pendinginan dengan kecepatan tertentu yang dilakukan terhadap logam atau paduan dalam keadaan padat, sebagai suatu upaya untuk memperoleh sifat-sifat tertentu. Perubahan sifat tersebut terjadi karena ada perubahan struktur mikro selama proses pemanasan dan pendinginan, dimana sifat logam atau paduan sangat dipengaruhi oleh struktur mikronya. Proses perlakuan panas pada dasarnya terdiri dari beberapa tahapan, dimulai dengan proses pemanasan bahan hingga suhu tertentu dan selanjutnya didinginkan dengan cara tertentu pula. Tujuan dari perlakuan panas adalah untuk mendapatkan sifat-sifat mekanik yang lebih baik dan sesuai dengan
yang diinginkan seperti meningkatkan kekuatan dan kekerasan, mengurangi tegangan, melunakkan, mengembalikan pada kondisi normal akibat pengaruh pengerjaan sebelumnya, dan menghaluskan butir kristal yang akan berpengaruh terhadap keuletan bahan.
2.3.2 Diagram Fase Fe-
Dari Gambar 2.2 tampak bahwa diagram fase ini memiliki tiga garis mendatar yang menandakan adanya reaksi yang berlangsung secara isothermal. Pada garis paling atas berlangsung reaksi peritektik, pada garis tengah-tengah berlangsung reaksi eutektik dan pada garis paling bawah berlangsung reaksi eutectoid. Vlack.(2001).
.
Gambar 2.2 diagram fase Fe- C.
Sumber : Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material, Vlack, edisi keenam (2001) Keterangan :
1. Cementite adalah karbida besi , merupakan
senyawa interstisial mengandung 6,67% C.
2. Austenit adalah larutan padat karbon dalam besi
gamma.
3. Ledeburit adalah suatu eutektik mixture dari
4. Ferrit adalah larutan padat karbon dalam besi alpa.Kelarutan karbon maksimum 0,02%C pada 727˚C.
5. Pearlit adalah suatu autectoid mixture dari
simentit dan ferrit, mengandung 0,77%C dan 727˚C.
6. Lower critical temperatur (temperatur kritis
bawah) A1, temperatur eutectoid. Pada diagram Fe – , tampak berupa
garis mendatar, pada temperature 727˚C.
Upper critical temperatur (temperatur kritis atas) A3, temperatur awal terjadinya
perubahan allotropic dari besi gamma (γ) ke alpha (α), pada pendinginan atau akhir perubahan allotropic dari besi alpha (α) ke gamma (γ) pada pemanasan.
Gambar 2.3 Diagram transformasi Temperatur pendinginan terhadap waktu Sumber : Elemen-elemen Ilmu dan Rekayasa Material, Vlack, edisi keenam (2001)
2.3.3 Hardening
Proses pengerasan (hardening) adalah suatu proses perlakuan panas yang dilakukan untuk menghasilkan suatu benda kerja yang keras. Proses ini dilakukan pada suhu tinggi yaitu pada suhu austenisasi yang digunakan untuk melarutkan cementite dalam austenite yang kemudian diquench. Faktor penting yang dapat mempengaruhi proses hardening terhadap kekerasan baja yaitu oksidasi terhadap oksigen. Selain berpengaruh terhadap besi, oksigen udara berpengaruh terhadap karbon yang terikat sebagai cementite atau yang larut dalam austenite. Oleh kaena itu, pada benda kerja dapat berbentuk lapisan oksidasi selama proses hardening. Pencegahan kontak dengan udara selama pemanasan atau hardening dapat dilakukan dengan jalan nemambah suhu yang tinggi karena bahan yang terdapat dalam baja
akan bertambah kuat terhadap oksigen. Jadi, semakin tinggi suhu semakin mudah untuk melindungi besi terhadap oksidasi.
Bila bentuk benda tidak teratur, benda harus dipanaskan perlahan-lahan agar tidak mengalami distorsi atau retak. Makin besar potongan benda, makin lama waktu yang diperlukan untuk memperoleh hasil pemanasan yang merata. Pada perlakuan panas ini. Panas merambat dari luar ke dalam dengan kecepatan tertentu. Bila pemanasan terlalu cepat, bagian luar akan jauh lebih panas dari bagian dalam sehingga dapat diperoleh struktur yang tidak merata. Benda dengan ukuran yang lebih besar pada umumnya menghasilkan permukaan yang kurang keras meskipun kondisi perlakuan panas tetap sama. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya panas yang merambat di permukaan. Oleh karena itu, kekerasan di bagian dalam akan dalam akan lebih rendah daripada bagian luar.
2.3.4 Quenching
Menurut ASM handbook vol.4:160 (1991), quenching merupakan proses perpindahan panas atau pendinginan dengan sangat cepat dari fasa austenite pada umumnya dari suhu diantara 815°C-870°C untuk material baja. Quench (celup cepat) adalah salah satu perlakuan panas dengan laju pendinginan cepat yang dilakukan dalam suatu media pendingin misal air atau oli. Untuk memperoleh sifat mekanik yang lebih keras baja karbon rendah dan baja karbon sedang lazim dilakukan pencelupan dengan air.
Menurut Masyrukan (2006) untuk baja karbon tinggi dan baja paduan biasanya digunakan minyak sebagai media pencelupan, pendinginannya tidak secepat air. Tersedia berbagai jenis minyak, seperti minyak mineral dengan kecepatan pendinginan yang berlainan sehingga dapat diperoleh baja dengan berbagai tingkat kekerasan. Untuk pendinginan yang cepat dapat digunakan air garam atau air yang disemprotkan. Beberapa jenis logam dapatdikeraskan melalui pendinginan udara terlalu lambat. Benda yang agak besar biasanya dicelup dalam minyak. Suhu media celup harus merata agar dapat dicapai pendinginan yang merata pula. Media pendinginan yang digunakan dalam produksi harus dilengkapi dengan perlengkapan pendinginan. Dasar pengujian pengerasan pada bahan baja yaitu suatu proses pemanasan dan pendinginan untuk mendapatkan struktur keras yang disebut martensit. Martensit yaitu fasa larutan padat lewat jenuh dari karbon dalam sel
satuan tetragonal pusat badan atau mempunyai bentuk kristal Body Centered Tetragonal (BCT).
Media pendingin yang biasa digunakan pada proses quench yaitu air, oli, larutan garam, dan udara. Media pendingin yang dilakukan untuk proses quench tergantung dari komposisi kimia baja yang diproses, kekerasan yang ingin dicapai, dan kompleksitas bentuk benda kerja. Jenis baja, ketebalan penampang, dan sifat yang ingin diperoleh dari benda kerja yang diproses menentukan metode atau cara quench menurut (Djafrie, 1995).
Berbagai cara-cara quench adalah sebagai berikut : 1. Quench langsung (Direct quench).
Cara ini dilakukan dengan mengunakan media air atau oli dimana benda kerja ditahan pada temperatur pengerasannya untuk jangka waktu tertentu.
2. Martempering.
Dengan cara ini, benda kerja dipanaskan sampai ke temperatur pengerasannya dengan cara yang biasa, media yang digunakan adalah cairan garam. Benda kerja yang diproses didiamkan dalam cairan garam tersebut sampai temperatur diseluruh bagian benda homogen, tetapi tidak boleh terlalu lama karena bisa mengakibatkan bertransformasi menjadi fasa-fasa yang lebih lunak seperti perlite dan bainite kerja seluruh cairan
3. Austempering.
Proses ini dilakukan dengan cara mengquench baja dari temperatur austenisasinya ke dalam garam cair yang bertemperatur sedikit di atas temperatur normal-nya.
4. Quench yang ditunda (Delay quenching).
Proses ini dilakukan sesuai dengan nama metodenya yaitu benda kerja yang sudah dipanaskan dan dikeluarkan dari tungku pada temperatur pengerasannya dibiarkan beberapa saat sebelum diquench. Cara ini dilakukan agar proses quench terjadi pada temperatur benda kerja yang lebih rendah sehingga memperkecil kemungkinan timbulnya distori. Cara ini lazim digunakan pada HSS, baja hot-worked dan baja-baja yang dikeraskan permukaannya.
Metode ini dilakukan pada baja-baja yang memiliki mampu keras yang rendah yang memerlukan quenching ke dalam air atau pada baja-baja yang memiliki mampu keras yang tinggi tetapi ukuran benda kerjanya besar.
6. Die quench.
Metode ini dilakukan dengan menggunakan media yang mampu menyerap panas. Atas dasar hal tersebut, selama proses quench benda kerja dapat “dipress” sehingga secara mekanik kemungkinan distorsi dapat diperkecil.
Media Pendingin
Tujuan utama dari proses pengerasan adalah agar diperoleh struktur martensit yang keras sekurang-kurangnya dipermukaan baja. Hal ini, hanya dapat dicapai jika mengunakan media yang efektif sehingga baja didinginkan pada suatu laju yang dapat mencegah terbentuknya struktur yang lebih lunak seperti perlite dan bainite. Media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan baja bermacam-macam. Berbagai bahan pendingin yang digunakan dalam proses perlakuan panas antara lain: 1. Air
Pendinginan dengan menggunakan air akan memberikan daya pendinginan yang cepat. Biasanya dalam air tersebut dilarutkan garam dapur sebagai usaha mempercepat turunnya suhu benda kerja dan mengakibatkan bahan menjadi keras. 2. Oli
Oli digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panas sebab dapat memberikan lapisan karbon pada kulit (permukaan) benda kerja yang diolah. Oli digunakan sebagai media pendingin bertujuan untuk mendapatkan struktur martensit, semakin banyak unsur karbon maka semakin struktur martensit yang terbentuk juga akan semakin banyak karena martensit terbentuk dari fasa austenite yang didinginkan secara cepat.
3. Udara
Pendiginan udara dilakukan untuk perlakuan panas yang membutuhkan pendinginan lambat untuk keperluan tersebut udara yang disirkulasi ke dalam ruangan pendingin dibuat dengan kecepatan yang rendah. Udara sebagai pendingin akan memberikan kesempatan kepada logam untuk membentuk kristal-kristal dan kemungkinan mengikat unsur-unsur lain dari udara.
4. Larutan garam
Garam dipakai sebagai bahan pendigin karena mewakili sifat mendinginkan yang teratur dan cepat. Bahan yang didinginkan di dalam cairan garam akan mengakibatkan ikatannya menjadi lebih keras.
2.4 Beban Normal
Sebuah Kereta api terdiri dari lokomotif dan 10 gerbong dengan berat 520 ton, sehingga berat untuk satu gerbong sebesar 52 ton. Satu gerbong menggunakan dua buah bogie ( satu bogie terdiri dari 4 buah roda ).sehingga masing masing roda mendapat beban sebesar 6,5 ton. Menurut Marsahall, (2006) dengan luas bidang kontak yang sangat kecil dari 80 – 120 mm2 maka disetarakan luas kontak yang dipakai 100 mm2
Jadi beban normal yang diterima rel dari roda jika diketahui ; gravitasi 10 m/s2
P = F/A ………(2.1)
Dimana ;
F = gaya yg diterima rel dari roda (N) A = luas bidang kontak (mm2)
2.5 Kontak Mekanik
Pada tipe kontak yang berbentuk dua bidang silinder dengan masing-masing poros parallel yang dibebankan pada kontak sebagai gaya P per satuan panjang dan bidang kontak membuat panjang kontak berputar pada luas bidang 2a dipaksakan paralel ke poros-y. Ini adalah dasar dari dua dimensi permukaan. (lihatlah gambar ini yang memperlihatkan saat kontak dua permukaan silinder)
Gambar 2.4 Mekanisme kontak dua bidang permukaan silinder Sumber : contack mechanic, Johnson, (2005)
Langkah awal sebelum melakukan uji keausan adalah menentukan besar beban kontak yang bekerja pada disc. Besar beban kontak pada disc dapat ditentukan dengan persamaan berikut :
a P p 2 0 ...(2.2) R E a P 4 * 2 ...(2.3)
Dengan mensubtitusi persamaan 2.4 ke persamaan 2.3 maka diperoleh persamaan untuk setengan panjang kontak a sebagai berikut :
* 2 0 E R P a ...(2.4) Dimana : 2 1 1 1 1 R R R ……… (2.5) 2 2 2 1 2 1 1 1 * 1 E v E v E
Dengan jari-jari disc R1 = R2, poison ratio v1=v2 = 0.3, dan Modulus Elastisitas E1 = E2=210Gpa (Johnson,2005) maka R = 0.5R1 = 0.0117m, dan E*=
1.15x1011pascal. Dengan mengasumsikan besar tekanan maksimum yang bekerja pada disc sebesar 1000 MPa, maka setengah panjang kontak dan beban pada disc dapat diprediksi.Setengah panjang kontak a dapat ditentukan sebagai berikut :
mm x x x x a 0,2037 10 15 . 1 0118 . 0 10 1000 2 11 6
Dengan memasukkan nilai a tersebut diatas ke persamaan 2.3, maka diperoleh besar beban persatuan panjang P sebesar :
……… (2.6)
Dengan diketahui lebar disc (silinder) l = 10 mm, maka beban rata-rata yang bekerja pada area kontak disc adalah :
W = P x l
= 319,809 N/mm x 10 mm = 3198,09 N ≈ 3200 N
Untuk menentukan slip-roll ratio dapat ditentukan dengan persamaan (Tyfour, (1996)) :
x100% ... (2.7)
Dimana : sr = slip-roll ratio(%) v1 = kecepatan disc 1
v2 = kecepatan pada disc 2 2.6 Keausan
Keausan umumnya didefinisikan sebagai kehilangan material secara progresif atau pemindahan sejumlah material dari suatu permukaan sebagai suatu hasil pergerakan relatif antara permukaan tersebut dan permukaan lainnya. Keausan telah menjadi perhatian praktis sejak lama, tetapi hingga beberapa saat lamanya masih belum mendapatkan penjelasan ilmiah yang besar sebagaimana halnya pada mekanisme kerusakan akibat pembebanan tarik, impak, puntir atau fatigue. Hal ini disebabkan masih lebih mudah untuk mengganti komponen/part suatu sistem dibandingkan melakukan disain komponen dengan ketahanan atau umur pakai (life cycle) yang lama.
Saat ini, prinsip penggantian dengan mudah seperti itu tidak dapat diberlakukan lebih lanjut karena pertimbangan biaya (cost). Pembahasan mekanisme keausan pada material berhubungan erat dengan gesekan (friction) dan pelumasan (lubrication). Telah mengenai ketiga subyek ini yang dikenal dengan nama ilmu Tribologi.
Keausan bukan merupakan sifat dasar material, melainkan respon material terhadap sistem luar (kontak permukaan).Material apapun dapat mengalami keausan disebabkan mekanisme yang beragam.
Pengujian keausan dapat dilakukan dengan berbagai macam metode dan teknik, yang semuanya bertujuan untuk mensimulasikan kondisi keausan aktual. Salah satunya adalah dengan metode twin disc dimana benda uji memperoleh beban gesek dari cincin yang berputar (revolving disc). Pembebanan gesek ini akan menghasilkan kontak antar permukaan yang berulang-ulang yang pada akhirnya akan mengambil sebagian material pada permukaan benda uji.
Besarnya jejak permukaan dari material tergesek itulah yang dijadikan dasar penentuan tingkat keausan pada material. Semakin besar dan dalam jejak keausan maka semakin tinggi volume material yang terlepas dari benda uji.
Sebagaimana telah disebutkan pada bagian Pengantar, material jenis apapun akan mengalami keausan dengan mekanisme yang beragam, yaitu: keausan adhesive, abrasi, lelah dan oksidasi.
Di bawah ini diberikan penjelasan ringkas dari mekanisme-mekanisme tersebut menurut buku Karakterisasi Material 1: (Destructive Testing) Yuwono dan Ahkmad, (2009) :
1. Keausan adhesive : terjadi bila kontak permukaan dari dua material atau lebih mengakibatkan adanya perlekatan satu sama lain dan pada akhirnya terjadi pelepasan/pengoyakan salah satu material, seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.3.
Gambar : 2.5 Ilustrasi skematik keausan adhesive
2. Keausan abrasive : terjadi bila suatu partikel keras (sperity) dari material tertentu meluncur pada permukaan material lain yang lebih lunak sehingga terjadi penetrasi atau pemotongan material yang lebih lunak, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 2.4. Tingkat keausan pada mekanisme ini ditentukan oleh derajat kebebasan (degree of freedom) partikel keras atau sperity tersebut. Sebagai contoh partikel pasir silica akan menghasilkan keausan yang lebih tinggi ketika diikat pada suatu permukaan seperti pada kertas amplas, dibandingkan bila partikel tersebut berada di dalam sistem slury. Pada kasus pertama partikel tersebut kemungkinan akan tertarik sepanjang permukaan dan mengakibatkan pengoyakan sementara pada kasus terakhir partikel tersebut mungkin hanya berputar (rolling) tanpa efek abrasi.
Gambar : 2.6 Ilustrasi skematik keausan abrasive.
Sumber : Karakterisasi Material 1: Destructive Testing (Yuwono dan Ahkmad), 2009.
3. Keausan lelah : merupakan mekanisme yang relatif berbeda dibandingkan dua mekanisme sebelumnya, yaitu dalam hal interaksi permukaan. Baik keausan adhesive maupun abrasif melibatkan hanya satu interaksi sementara pada keausan lelah dibutuhkan interaksi multi. Gambar 2.5 memberikan skematis mekanisme keausan lelah. Permukaan yang mengalami beban berulang akan mengarah pada pembentukan retak-retak mikro (t1). Retak-retak tersebut pada akhirnya menyatu
(t2) dan menghasilkan pengelupasan material (t3). Tingkat keausan sangat
Gambar : 2.7 Ilustrasi skematik keausan lelah.
Sumber : Karakterisasi Material 1: Destructive Testing (Yuwono dan Ahkmad), 2009.
4. Keausan oksidasi : seringkali disebut sebagai keausan korosif. Pada prinsipnya mekanisme ini dimulai dengan adanya perubahan kimiawi material di bagian permukaan oleh faktor lingkungan. Kontak dengan lingkungan ini akan menghasilkan pembentukan lapisan pada permukaan dengan sifat yang berbeda dengan material induk. Sebagai konsekuensinya, material pada lapisan permukaan akan mengalami keausan yang berbeda. Hal ini selanjutnya mengarah kepada perpatahan interface antara lapisan permukaan dan material induk dan akhirnya seluruh lapisan permukaan itu akan tercabut. Gambar 2.6 memperlihatkan skematis mekanisme keausan oksidasi/korosi ini.
Gambar : 2.8 Ilustrasi skematik keausan oksidasi.
Sumber : Karakterisasi Material 1: Destructive Testing (Yuwono dan Ahkmad), 2009.
Penyebab keausan antara lain :
1. Pergesekan antara dua material yang solid secara terus menerus hingga menyebabkan material tersebut mengalami perubahan bentuk dan mengurangi masa pemakaian.
2. Kurangnya pelumasan secara teratur pada material yang bergerak dan bersentuhan.
3. Pengerasan pada permukaan disc yang bergesekan tidak dilakukan secara sempurna hingga timbul crack pada permukaan disc hingga terjadi kegagalan pada material tersebut.
4. Beban yang diberikan pada material tersebut terlalu besar yang menyebabkan koefisien gesek lebih tinggi,dll.
2.7 Regangan geser
Suatu gaya geser yang besar dapat menyebabkan suatu material yang mendapatkan gaya tersebut akan menunjukkan suatu perubahan bentuk. Regangan geser didefinisikan sebagai rasio perbandingan perubahan bentuk awal hingga puncak perubahan bentuk (regangan geser kritis) atau kegagalan material. Untuk mengetahui keadaan regangan geser yang dialami material setelah pengujian keausan hanya dapat diamati melalui microscope. Yang dapat mempengaruhi material mengalami regangan geser adalah tekanan kontak maksimum (MPa), slip roll-ratio (%), jumlah pembebanan cycle dan gesekan satu arah permukaan dalam uji keausan twin disc mechine.
Untuk penghitungan regangan geser adalah sebagai tan . Dalam kasus adalah penghitungan sudut struktur perubahan bentuk pada 0.05 mm yang telah mengalami kontak permukaan dapat dilihat pada gambar 2.7 sebagai ilustrasi.
Gambar 2.9 Ilustrasi penghitungan regangan yang terlihat dibawah microscope Sumber : Deterionatoin Of Rolling Contack Fatigue Life Of Pearlitic Rail Steel Due To
Setelah melihat strukur regangan geser akan terlihat deformasi plastis pada material. Untuk menghitung besar regangan geser dan regangan geser kritisnya dapat dilakukan dengan perhitungan Menurut Journal Tyfour, dkk,(1996) :
Regangan geser (
) = tan Dimana :tan
=
………...………..(2.8)
Sedangkan untuk regangan geser kritisnya juga dengan penambahan pembebanan gelinding geser (cycle). 1 ternyata tidak ada perubahan atau pembesaran sudut
deformasi regangan geser maka adalah 2 nilai kritis geser material juga bisa
dengan formula sebagai berikut :
Jika i = i+1, ………...(2.9)
maka,
i =c
(regangan geser kritis)………(2.10)Dimana :
i = jumlah putaran gelinding geser yaitu sebanyak 1000 cycles, 5000 cycles dan 10.000 cycles.
= regangan geser
x = jarak deformasi dr titik awal (µm)
y = ketebalan deformasi yang terjadi dari permukaan (µm)
Menurut Tyfour dan rekan-rekannya (1996), material rel kereta api yang mengalami proses pengerasan dan pelumasan dalam uji keausan akan aus atau wear setelah 26.119 cycles dengan beban kontak maksimum sebesar 1200 MPa. Regangan geser kritis pada material dapat diketahui jika sudut deformasi tidak mengalami perubahan namun akan mengalami keretakan dan wear setelah beberapa ribu cycles. Regangan geser kritis pada material akan terjadi kegagalan material atau awal terjadinya keretakan pada permukaan karena regangan geser dibawah telah mencapai batas regangan geser kritis.