• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Persepsi

1. Pengertian

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses pengindraan, yaitu proses diterimnya stimulus oleh alat indra, lalu diteruskan ke otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dipersepsikan (Sunaryo, 2004). Sedangkan menurut Rakhmat (2004), persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan melampirkan pesan.

2. Syarat terjadinya persepsi

Syarat timbulnya persepsi yakni, adanya objek, adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk megadakan persepsi, adanya alat indra sebagai reseptor penerima stimulus yakni saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak dan dari otak dibawa melalui saraf motoris sebagai alat untuk mengadakan respons (Sunaryo, 2004).

Secara umum, terdapat beberapa sifat persepsi, antara lain bahwa persepsi timbul secara spontan pada manusia, yaitu ketika seseorang berhadapan dengan dunia yang penuh dengan rangsangan. Persepsi merupakan sifat paling asli yang merupakan titik tolak perubahan. Dalam mempersepsikan tidak selalu dipersepsikan secara keseluruhan, mungkin cukup hanya diingat. Persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi atau bergantung pada konteks dan pengalaman (Baiqhaqi, 2005).

3. Macam-macam Persepsi

Terdapat dua macam persepsi, yaitu External Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar diri individu dan Self Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal dari dalam diri individu. Dalam hal ini

(2)

yang menjadi objek adalah dirinya sendiri. Dengan persepsi, individu dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu (Sunaryo, 2004).

4. Faktor yang mempengaruhi persepsi

Menurut Siagian (1995) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu :

a. Diri orang yang bersangkutan, dalam hal ini orang yang berpengaruh adalah karakteristik individual meliputi dimana sikap, kepentingan, minat, pengalaman dan harapan.

b. Sasaran persepsi, yang menjadi sasaran persepsi dapat berupa orang, benda, peristiwa yang sifat sasaran dari persepsi dapat mempengaruhi persepsi orang yang melihatnya. Hal-hal lain yang ikut mempengaruhi persepsi seseorang adalah gerakan, suara, ukuran, tindak tanduk dan lain-lain dari sasaran persepsi.

c. Faktor situasi, dalam hal ini tinjauan terhadap persepsi harus secara kontekstual artinya perlu dalam situasi yang mana persepsi itu timbul.

Sementara menurut Walgito (2002) dalam persepsi individu mengorganisasikan dan menginterpretasikan stimulus mempunyai arti individu yang bersangkutan dimana stimulus merupakan salah satu faktor yang berperan dalam persepsi. Berkaitan dengan hal itu faktor-faktor yang berperan dalam persepsi yaitu :

a. Adanya objek yang diamati

Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai alat indera (reseptor), dan dapat datang dari dalam yang langsung mengenai syaraf penerima (sensori) yang bekerja sebagai reseptor.

(3)

b. Alat indera atau reseptor

Alat indera (reseptor) merupakan alat untuk menerima stimulus. Disamping itu harus ada syaraf sensori sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat syaraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran. Dan sebagai alat untuk mengadakan respon diperlukan syaraf sensori.

c. Adanya perhatian

Perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam suatu persepsi. Tanpa adanya perhatian tidak akan terbentuk persepsi.

5. Pengukuran Persepsi

Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap terdiri dari metode Self Report dan pengukuran Involuntary Behavior. a. Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan

dapat menjadi indikator sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau sikapnya.

b. Involuntary Behaviour dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap dipengaruhi kerelaan responden (Azzahy, 2010). Jika merujuk pada pernyataan diatas, bahwa mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap, maka skala sikap dapat dipakai atau dimodifikasi untuk mengungkap persepsi sehingga dapat diketahui apakah persepsi seseorang positif, atau negatif terhadap suatu hal atau obyek.

(4)

B. Keteraturan Perawatan dan Pengobatan Penderita Kusta

1. Pengertian

Keteraturan perawatan dan pengobatan yaitu tingkat/derajat di mana penderita suatu penyakit dalam hal ini penyakit kusta mampu melaksanakan cara perawatan dan pengobatan sesuai yang disarankan oleh dokter atau tim kesehatan lainnya, dan merupakan tingkat di mana perilaku seseorang sesuai dengan saran praktisi kesehatan (Smet, 1994). Menurut Taylor dalam Smet (1994), bahwa ketidakpatuhan merupakan salah satu masalah yang berat dalam dunia medis, dan oleh karena itu sejak tahun 1960-an sudah mulai diteliti di negara-negara industri. Secara umum, ketidakpatuhan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan dan dapat berakibat memperpanjang atau memperburuk penyakit yang sedang diderita. Kepatuhan penderita kusta untuk mengonsumsi obat dapat dilihat dari dosis dan batas waktu sampai dinyatakan selesai berobat dan tergantung pada jenis kusta yang dideritanya. Dikatakan teratur, jika penderita kusta sudah minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB, dan dinyatakan tidak teratur, jika penderita kusta belum minum obat sampai 6 bulan untuk tipe PB dan 18 bulan untuk tipe MB (Depkes RI, 2006). 2. Tujuan

Tujuan pengobatan penderita kusta adalah untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita dan mencegah terjadinya kecacatan atau bertambah cacat. Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif sampai akhirnya hilang (Depkes RI, 2006).

Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan hanya dapat mencegah cacat lebih lanjut. Bila penderita tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes RI, 2006).

(5)

Beberapa regimen yang direkomendasikan untuk pengobatan kusta, yaitu Multi Drug Therapy (MDT), yaitu kombinasi dua atau lebih obat anti kusta, yang salah satunya terdiri atas Rifampisin sebagai anti kusta yang sifatnya bakterisid kuat dengan obat anti kusta lain yang bisa bersifat bakteriosttik. Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pengobatan dilakukan oleh petugas kesehatan dengan memonitor tanggal pengambilan obat, jika terlambat petugas harus melacak penderita tersebut, dan melakukan pengamatan pemberian obat untuk TP PB 6 dosi (bilster) dalam jangka waktu 6-9 bulan, dan untuk penderita MB dengan 12 dosis dalam jangka waktu 12-18 bulan dan jika penderita sudah minum obat sesuai anjuran, maka dinyatakan Relase From Treatment tanpa perlu pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2006). 3. Faktor-faktor yang mempengaruhi keteraturan perawatan dan

pengobatan penderita kusta

faktor yang mempengaruhi keteraturan perawatan dan pengobatan penderita kusta antara lain adalah faktor penyakit, obat, motivasi penderita dan petugas.

a. Faktor penyakit

Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. M. leprae terutama menyerang syaraf tepi dan kulit serta organ tubuh lain seperti: mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endothelia, mata, otot, tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat tanpa gejala, namun pada sebagian yang lain memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat.

b. Faktor obat

Pengobatan penyakit kusta sering kali terlambat, hal ini karena gejala awitan yang tidak jelas, dan kesadaran penderita untuk berobat kurang.

(6)

c. Faktor penderita

1) Kebiasaan tidak disiplin dari penderita dalam hal minum obat. 2) Banyak penderita yang tidak mengerti cara pengobatan yang lama

yang harus dijalani sejak awal, sehingga kepatuhan tidak bisa diharapkan.

3) Kebanyakan penderita kusta adalah golongan ekonomi lemah dan pendidikan rendah.

4) Keinginan atau motivasi penderita untuk berobat makin lama semakin menurun.

5) Terdapat sosial stigma penderita kusta tidak disenangi dimasyarakat dan orang-orang menjauhinya sehingga penderita cepat menganggap dirinya sembuh meski baru beberapa waktu berobat.

d. Faktor petugas kesehatan

Kesibukan petugas kesehatan dalam melayani pasien yang banyak, membuat mereka kurang memperhatikan penderita dan tidak sempat memberikan informasi secara jelas, hal ini tidak menunjang terciptanya kepatuhan penderita dalam pengobatan (Muherman, 2003)

C. Perilaku 1. Pengertian

Pengertian perilaku dibatasi sebagai keadaan jiwa (berpendapat, berfikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan responsi terhadap situasi di luar subyek tersebut, yang bersifat pasif (tanpa tindakan) dan dapat juga bersifat aktif (dengan tindakan dan action) (Notoatmodjo, 2003).

(7)

Sebelum seseorang menghadapi perilaku baru dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan sebagai berikut: Awareness Yaitu orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek), Interest Yaitu orang mulai tertarik terhadap stimulus, Evaluation Yaitu menimbang-nimbang terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya, Trial Yaitu orang telah mencoba perilaku baru, Adaption Yaitu orang mulai berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus (Notoadmojo,2003).

2. PerilakuKesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu reaksi seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Respon atau reaksi manusia dapat bersifat pasif (pengetahuan, persepsi dan sikap) serta dapat bersifat aktif (tindakan yang nyata). Menurut Budioro (2000), perilaku kesehatan mencakup:

a. Perilaku seseorang terhadap sakit atau penyakit

Yaitu bagaimana manusia berespon baik secara pasif maupun aktif yang dilakukan sehubungan dengan sakit atau penyakit tersebut. Perilaku terhadap sakit atau penyakit sesuai dengan tingkat-tingkat pencegahan penyakit yang meliputi :

1) Perilaku sehubungan dengan peningkatan kesehatan (health promotion behavior), misalnya makanan bergizi, olah raga, dan sebagainya.

2) Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior)

3) Perilaku sehubungan dengan pencarian pertolongan pengobatan (health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan ke fasilitas pelayanan kesehatan.

4) Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior), yaitu perilaku yang berhubungan dengan pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit.

(8)

b. Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan

Merupakan respon seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan baik terhadap fasilitas pelayanan, cara pelayanan, petugas kesehatan dan obat-obatan yang terwujud dalam pengetahuan, persepsi, sikap, penggunaan fasilitas, petugas dan obat-obatan

c. Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior)

Perilaku ini meliputi pengetahuan, persepsi, sikap dan praktek terhadap makna serta unsur yang terkandung di dalamnya, pengolahan makanan dan sehubungan dengan kebutuhan.

d. Perilaku terhadap lingkungan (environmental health behavior) Merupakan respon seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan kesehatan manusia. Dalam perkembangannya untuk kepentingan pengukuran hasil pendidikan, maka domain tersebut diatas dibedakan menjadi pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan praktek/tindakan (practice/action).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Notoadmodjo (2003), mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (Behavior causes) dan faktor diluar perilaku (Non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a) Faktor predisposisi (predisposing factor)

Yaitu faktor yang mempermudah terjadinya perilaku yang berasal dari dalam diri individu meliputi karakteristik responden, pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai masyarakat.

b) Faktor pendukung (Enabling factor)

Yaitu faktor yang memungkinkan perilaku meliputi ketersediaan sarana kesehatan, ketercapaian sarana, ketrampilan yang berkaitan dengan kesehatan.

(9)

c) Faktor pendorong (Renforcing factor)

Yaitu faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya suatu perilaku meliputi sikap dan praktek petugas kesehatan dalam pemberian pelayanan kesehatan, sikap dan praktek petugas lain (tokoh masyarakat, tokoh agama, keluarga dan guru) (Green, 1995).

1) Dukungan petugas kesehatan

Dukungan petugas sangat membantu, dimana dengan adanya dukungan petugas berpengaruh besar artinya bagi seseorang dalam kataatan melakukan perawatan Kusta, sebab petugas adalah yang merawat dan sering berinteraksi, sehingga pamahaman terhadap kondisi fisik maupun psikis lebih baik, dengan sering berinteraksi akan sangat mempengaruhi rasa percaya dan menerima kehadiran petugas bagi dirinya, serta motivasi atau dukungan yang diberikan petugas sangat besar artinya terhadap ketaatan pasien untuk selalu mengontrol penyakit Kusta tersebut (Friedman, 1998). 2) Dukungan keluarga

Dukungan keluarga sangatlah penting karena keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat dan sebagai penerima asuhan keperawatan. Oleh karena itu keluarga sangat berperan dalam menetukan cara asuhan yang diperlukan oleh anggota keluarga yang sakit, apabila dalam keluarga tersebut salah satu anggota keluarganya ada yang sedang mengalami masalah kesehatan maka sistem dalam keluarga akan terpengaruhi (Friedman, 1998).

4. Perubahanperilaku

Perubahan perilaku merupakan salah satu hasil yang diharapkan dari suatu pendidikan kesehatan, yaitu dari perilaku yang tidak sesuai dengan nilai kesehatan menjadi perilaku yang sesuai dengan

(10)

nilai-nilai kesehatan. Dan perubahan tersebut biasanya dimulai dari tahap kepatuhan, identifikasi, selanjutnya tahap internalisasi (Budioro, 2000).

WHO (2003), menyatakan bahwa perubahan perilaku dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :

a. Perubahan alamiah (natural change), disebabkan oleh kejadian alamiah di masyarakat jika masyarakat sekitarnya terjadi suatu perubahan lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan. b. Perubahan terencana (planned change), yaitu perubahan perilaku

yang terjadi karena memang sudah direncanakan sendiri oleh subyek.

c. Kesediaan untuk berubah (readdiness to change), disebabkan oleh terjadinya suatu inovasi atau program pembangunan di dalam masyarakat sehingga yang sering terjadi adalah adanya sebagian orang yang sangat cepat untuk menerima perubahan dan sebagian lain sangat lambat untuk menerima perubahan. Hal ini disebabkan oleh karena setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah yang berbeda-beda.

D. Keluarga

1. Konsep Keluarga a. Definisi keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatau tempat di bawah satu atap dalam keadan saling ketergantungan (Effendi, 2004).

Keluarga merupakan sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, kelahiran yang bertujuan untuk meningkatkan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota (Sudhiarto, 2007).

(11)

Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih individu yang bergabung karena hubungan darah, perkawinan, atau adopsi, hidup dalam satu rumah tangga, saling berinteraksi satu sama lainnya dalam perannya dan menciptakan dan mempertahankan suatu budaya (Bailon dan Maglaya, 1989 dalam Mubarak 2002).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara umum pengertian keluarga adalah sekumpulan 2 orang atau lebih yang hidup dalam satu rumah mempunyai hubungan darah ataupun perkawinan memiliki keterikatan dalam aturan pendekatan emosional dari setiap anggotanya dan mampu menciptakan kenyamanan untuk semua penghuninya.

b. Struktur keluarga

Menurut Murwani (2007), struktur keluarga terdiri atas: 1) Pola dan proses komunikasi

Pola interaksi keluarga yang berfungsi: (1) bersifat terbuka dan jujur, (2) selalu menyelesaikan konflik keluarga, (3) berpikiran positif, dan (4) tidak mengulang - ulang isu dan pendapat sendiri.

Karakteristik komunikasi keluarga berfungsi untuk : a) Karakteristik pengirim : yakin dalam mengemukakan sesuatu

atau pendapat, apa yang disampaikan jelas dan berkualitas, selalu meminta dan menerima umpan balik.

b) Karakteristik penerima : siap mendengarkan, memberi umpan balik, melakukan validasi.

2) Struktur peran

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi sosial yang diberikan. Yang dimaksud dengan posisi atau status adalah posisi individu dalam masyarakat misalnya sebagai suami, istri, anak dan sebagainya. Tetapi kadang peran ini tidak dapat dijalankan oleh masing-masing individu

(12)

dengan baik. Ada beberapa anak yang terpaksa mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga yang lain sedangkan orang tua mereka entah kemana atau malah berdiam diri dirumah.

3) Struktur kekuatan

Kekuatan merupakan kemampuan (potensial dan aktual) dari individu untuk mengendalikan atau mempengaruhi untuk merubah perilaku orang lain kearah positif.

4) Nilai-nilai keluarga

Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga juga merupakan suatu pedoman bagi perkembangan norma dan peraturan.Norma adalah pola perilaku yang baik, menurut masyarakat berdasarkan sistem nilai dalam keluarga.Budaya adalah kupulan dari pola perilaku yang dapat dipelajari, dibagi, dan ditularkan dengan tujuan untuk menyelesaikan masalah (Murwani, 2007).

c. Tipe atau Bentuk Keluarga

Beberapa tipe atau bentuk keluarga menurut Sudiharto (2007), antara adalah sebagai berikut:

1) Keluarga inti (Nuclear Family)

Keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suam, istri, dan anak-anak, baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.

2) Keluarga besar (Extended Family)

Keluarga inti ditambah keluarga yang lain (karena hubungan darah), misalnya kakek, nenek, bibi, paman, sepupu termasuk keluarga modern, seperti orangtua tunggal, keluarga tanpa anak, serta keluarga pasangan sejanis (guy/lesbian families).

(13)

Keluarga yang terdiri dari suami, istri, anak-anak kandung dan anakanak tiri.

4) Keluarga menurut hukum umum (Common Law Family): Anak-anak yang tinggal bersama.

5) Keluarga orang tua tinggal

Keluarga yang terdiri dari pria atau wanita, mungkin karena telah bercerai, berpisah, ditinggal mati atau mungkin tidak pernah menikah, serta anak-anak mereka yang tinggal bersama.

6) Keluarga Hidup Bersama (Commune Family)

Keluarga yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak yang tinggal bersama berbagi hak dan tanggungjawab, serta memiliki kepercayaan bersama.

7) Keluarga Serial (Serial Family)

Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang telah menikah dan mungkin telah punya anak, tetapi kemudian bercerai dan masing-masing menikah lagi serta memiliki anak-anak dengan pasangannya masing-masing, tetapi semuanya mengganggap sebagai satu keluarga.

8) Keluarga Gabungan (Composite Family)

Keluarga yang terdiri dari suam dengan beberapa istri dan anaknya (poligami) atau istri dengan beberapa suami dan anak-anaknya (poliandri).

9) Hidup bersama dan tinggal bersama (Cohabitation Family)

Keluarga yang terdiri dari pria dan wanita yang hidup bersama tanpa ada ikatan perkawinan yang sah.

d. Fungsi Keluarga

Fungsi keluarga menurut Friedman (1998) dalam Sudiharto, (2007), antara adalah sebagai berikut:

1) Fungsi Afektif (The affective function) : Fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan dengan orang lain, fungsi ini

(14)

dibutuhkan untuk perkembangan individu dan psikososial keluarga.

2) Fungsi Sosialisasi dan penempatan sosial (sosialisation and social placement fungtion) : Fungsi pengembangan dan tempat melatih anak untuk berkehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain di luar rumah.

3) Fungsi Reproduksi (reproductive function): Fungsi untuk mempertahankan generasi menjadi kelangsungan keluarga.

4) Fungsi Ekonomi (the economic function) : Keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

5) Fungsi Perawatan atau pemeliharaan kesehatan (the healty care function): Fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas tinggi. Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.

Menurut Effendi (2004), menyatakan bahwa dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga sebagai berikut :

1) Fungsi biologis

a) Untuk meneruskan keturunan. b) Memelihara dan membesarkan anak. c) Memenuhi kebutuhan gizi keluarga. 2) Fungsi psikologis

a) Memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi keluarga. b) Memberikan perhatian diantara keluarga.

(15)

d) Memberikan identitas keluarga. 3) Fungsi sosialisasi

a) Membina sosialisasi pada anak.

b) Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing.

c) Meneruskan nilai-nilai budaya. 4) Fungsi ekonomi

a. Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

b. Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan keluarga dimasa yang akan dating.

5) Fungsi pendidikan

a. Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya.

b. Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datangdalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa. Mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. 6) Fungsi Perlindungan

Tugas keluarga dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan –tindakan yang tidak baik, sehinnga anggota keluarga merasa terlindung dan nyaman.

7) Fungsi Perasaan

Tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif, merasakan perasaan anak dan anggota keluarga sehingga saling

(16)

pengertian satu dengan yang lain dalam menimbulkan keharmonisan dalam keluarga.

8) Fungsi Religius

Tugas keluarga dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk menanamkan keyakinan bahwa ada kekuatan lain yang mengatur kehidupan dan ada kehidupan ke 2 setelah kehidupan ini berakhir.

9) Fungsi Rekreatif

Tugas keluaraga dalam fungsi rekreatif ini tidak harus selalu pergi ketempat rekreasi, tetapi yang terpenting adalah bagaimana menciptakan suasanan yang nyaman dan menyenangkan dalam keluarga sehingga dapat mencapai keseimbangan kepribadian masing–masing anggota keluarga tersebut.

e. Tugas Kesehatan Keluarga

Dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan, tugas keluarga merupakan faktor utama untuk pengembangan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Tugas kesehatan keluarga menurut Setyowati (2008), adalah sebagai berikut:

1) Mengenal gangguan perkembangan masalah kesehatan setiap anggotanya.

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan kesehatan yang tepat.

3) Memberikan keperawatan kepada anggota keluarganya yang sakit dan yang tidak dapat membantu dirinya sendiri.

4) Mempertahankan suasana di rumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.

(17)

5) Mempertahankan hubungan timabal-balik antara keluarga lembagalembaga kesehatan yang menunjukkan manfaat fasilitas kesehatandengan baik.

E. Dukungan Keluarga

1. Pengertian

Dukungan keluarga merupakan suatu strategi intervensi preventif yang paling baik dalam membantu anggota keluarga mengakses dukungan sosial yang belum digali untuk suatu strategi bantuan yang bertujuan untuk meningkatkan dukungan keluarga yang adekuat. Dukungan keluarga mengacu pada dukungan yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses untuk keluarga misalnya dukungan bisa atau tidak digunakan, tapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan (Friedman, 1998).

Dukungan keluarga telah mengkonseptualisasi dukungan sebagai koping keluarga, baik dukungan keluarga yang eksternal maupun internal. Dukungan dari keluarga bertujuan untuk membagi beban, juga memberi dukungan informasional (Friedman, 1998).

Dukungan keluarga sebagai suatu proses hubungan antar keluarga dengan lingkungan sosialnya, ketiga dimensi interaksi dukungan keluarga tersebut bersifat reproksitas (timbal balik atau sifat dan frekuensi hubungan timbal balik), umpan balik (kualitas dan kualitas komunikasi) dan keterlibatan emosional (kedalaman intimasi dan kepercayaan) dalam hubungan sosial. Baik keluarga inti maupun keluarga besar berfungsi sebagai sistem pendukung bagi anggota keluarganya dan merupakan pelaku aktif dalam memodifikasi dan mengadaptasi komunitas hubungan personal untuk mencapai keadaan berubah (Friedman, 1998).

(18)

2. Jenis Dukungan Keluarga

Jenis dukungan keluarga terdiri dari empat jenis atau dimensi dukungan menurut Friedman (1998) antara lain :

a. Dukungan emosional

Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi yang meliputi ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap anggota keluarga yang menderita Kusta.

b. Dukungan penghargaan (penilaian)

Keluarga bertindak sebagai bimbingan umpan balik, membimbing dan menengahi pemecahan dan sebagai sumber dan validator identitas anggota. Terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif untuk penderita Kusta, dorongan maju, atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan perbandingan positif penderita Kusta dengan yang lain seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya.

c. Dukungan instrumental

Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit yang mencakup bantuan seperti dalam bentuk uang, peralatan, waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong dengan pekerjaan waktu mengalami stres.

d. Dukungan informatif

Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan diseminator (penyebar) informasi tentang dunia yang mencakup dengan memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, sarana-sarana atau umpan

(19)

balik. Bentuk dukungan yang diberikan oleh keluarga adalah dorongan semangat, pemberian nasehat atau mengawasi tentang pola makan sehari-hari dan pengobatan. Dukungan keluarga juga merupakan perasaan individu yang mendapat perhatian, disenangi, dihargai dan termasuk bagian dari masyarakat (Friedman, 1998). Dukungan keluarga dalam penanganan pengobatan penyakit kusta sangat dibutuhkan untuk memberikan pendampingan dalam proses pengobatan, walaupun peranan para petugas juga sangat besar. Hal utama yang menjadi upaya dalam pendampingan proses pengobatan penyakit kusta bagi keluarga adalah untuk memperkecil kemungkinan kejadian yang tidak diharapkan, seperti tidak mau minum obat, tidak mau mengurus diri sendiri. Hal ini sangat tidak diharapkan karena akan menganggu dalam proses pengobatan penyakit kusta, bahkan bisa terhenti sama sekali. Karena dalam pengobatan atau therapi penyakit kusta sangat membutuhkan waktu yang cukup lama. Dukungan dan partisipasi aktif dari keluarga sangat dibutuhkan.

F. Kusta

1. Pengertian Penyakit Kusta

Penyakit kusta merupakan penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. M. leprae terutama menyerang syaraf tepi dan kulit serta organ tubuh lain seperti: mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikulo endothelia, mata, otot, tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi dapat tanpa gejala, namun pada sebagian yang lain memperlihatkan gejala dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat.

Penyakit kusta memberi stigma yang sangat besar pada penderita dan masyarakat, sehingga penderita kusta tidak hanya menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya terjadi oleh karena kusta

(20)

menyebabkan cacat permanen yang ditimbulkannya (Direktorat Jenderal PPM dan PL, 2007).

Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini, disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, pengertian yang keliru terhadap kusta, serta cacat permanen yang ditimbulkan.

2. Penyebab Penyakit Kusta

Penyakit kusta disebabkan oleh suatu jenis bakteri yaitu Mycobacterium leprae. Kuman penyebab penyakit kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikro, lebar 0,2-0,5 mikro yang tidak mudah diwarnai, namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu. Mycobacterium ini adalah kuman aerob yakni tidak membentuk spora serta bersifat tahan asam (BTA) (Direktorat Jenderal PPM dan PL, 2007)

Menurut Wahyuni (2009), Mycobacterium leprae tidak dapat di kultur dalam media buatan. Bagian tubuh yang dingin merupakan tempat predileksi seperti saluran nafas, testis, ruang anterior mata, kulit terutama cuping telingan dan jari-jari. Masa tunas penyakit kusta rata-rata 2-5 tahun, ini disebabkan oleh karena masa pembelahan kuman kusta membutuhkan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman-kuman lainnya yang memiliki masa tunas kurang lebih 12-21 hari.

Mycobacterium leprae dapat hidup di luar tubuh selama 2-4 hari. Bentuk kuman kusta yang dapat kita lihat dibawah mikroskop adalah bentuk utuh, bentuk pecah-pecah (fragmented), bentuk granular (granulated), bentuk globus dan bentuk clumps. Bentuk utuh, dimana dinding selnya masih utuh, mengambil zat warna merata, dan panjangnya biasanya empat kali lebarnya. Bentuk pecah-pecah, dimana dinding selnya terputus sebagian atau seluruhnya dan pengambilan zat warna tidak merata. Bentuk granular, dimana

(21)

kelihatan seperti titik-titik tersusun seperti garis lurus atau berkelompok. Bentuk globus, dimana beberapa bentuk utuh atau fragmented atau granulated mengandung ikatan atau berkelompok-kelompok.

Kelompok kecil adalah kelompok yang terdiri dari 40-60 BTA sedangkan kelompok besar adalah kelompok yang terdiri dari 200-300 BTA. Bentuk clumps, dimana beberapa bentuk granular membentuk pulau-pulau tersendiri dan biasanya lebih dari 500 BTA (Wahyuni, S. 2009).

3. Cara Penularan Penyakit Kusta

Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya, yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh penderita, yaitu selaput lendir hidung, tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:

a. Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam (2-7 hari).

b. Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun karena anak-anak lebih peka dibanding dengan orang dewasa, keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang.

Kontak lama dan berulang-ulang ini bukanlah merupakan faktor yang penting. Banyak hal-hal yang tidak dapat di terangkan mengenai penularan ini sesuai dengan hukum-hukum penularan seperti halnya penyakit-penyaki infeksi lainnya (Zulkifli, 2003).

Menurut Ditjen PPM dan PL (2007), timbulnya kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak perlu ditakuti, tergantung dari beberapa faktor antara lain :

a. Faktor sumber penularan

Sumber penularan adalah penderita tipe MB. Penderita MB juga tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.

(22)

b. Faktor kuman Kusta

Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1-9 hari tergantung pada suhu atau cuaca, dan diketahui hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan penularan.

c. Faktor daya tahan tubuh

Sebagian besar (95%) manusia kebal terhadap panyakit kusta. Terlihat dari 100 orang yang terpapar, 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa berobat, dan 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.

Menurut Cocrane dalam Daili (Daili, 2005), terlalu sedikit orang yang tertular penyakit kusta secara kontak kulit dengan kasus-kasus lepra terbuka, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yaitu jumlah atau keganasan Mycobacterium leprae dan daya tahan tubuh penderita.

4. Gejala Penyakit Kusta

Menurut Djuanda (2007), gejala penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Gejala yang umum yaitu (Djuanda, 2007) :

a. Adanya bercak tipis seperti panu pada badan atau tubuh manusia. Bercak putih ini pertama hanya sedikit, tetapi lama-lama semakin melebar dan banyak.

b. Adanya penebalan saraf terutama pada saraf ulnaris (tulang hasta), medianus, aulicularis magnus serta peroneus daerah tulang betis). Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat.

c. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit.

d. Alis rambut rontok.

e. Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

(23)

f. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil. g. Anoreksia (berkurangnya selera makan).

h. Nausea (mual), kadang-kadang disertai vomitus (muntah). i. Cephalgia (sakit kepala).

j. Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis (terdapat radang di buah zakar) dan Pleuritis (radang selaput dada).

k. Kadang-kadang disertai dengan nephrosia, nepritis (radang ginjal) dan hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limfa).

l. Neuritis (radang saraf). 5. Reaksi Kusta

Ditjen PPM dan PL (2007) menyatakan Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respons) atau reaksi antigen-antibodi (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita. Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapatkan pengobatan pada saat pengobatan maupun sesudah pengobatan, namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah mulai pengobatan. Adapun jenis reaksi kusta adalah sebagai berikut (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2007): a. Reaksi Tipe I (reaksi reserval, reaksi upgrading, reaksi boderline).

Terjadi pada penderita tipe boderline disebabkan meningkatnya kekebalan seluler secara cepat. Terjadi pergeseran tipe kustanya ke arah PB. Menurut keadaan reaksi, maka dapat dibedakan menjadi reaksi ringan dan reaksi berat dengan perjalan reaksi 6-12 minggu atau lebih. Perbedaan gejala reaksi ringan dan reaksi berat dapat dilihat pada Tabel 2.2. sebagai berikut:

(24)

Tabel 2.1. Perbedaan Reaksi Ringan dan Reaksi Berat pada Reaksi Tipe I

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat Lesi kulit Tambah aktif, menebal

merah, teraba panas dan nyeri tekan. Makula yang menebal dapat sampai membentuk plaq

Lesi membengkak sampai yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan kaki membengkak, sendi- sendi sakit

Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan saraf dan gangguan fungsi

Nyeri tekan atau gangguan fungsi misalnya kelemahan otot

Sumber: Ditjen PPM dan PL, 2007

b. Reaksi Tipe II (reakasi ENL/Erythema Nodusum Leprosum)

Merupakan proses inflamasi yang terjadi karena mekanisme imunitas humoral pada penderita yang menimbulkan peradangan pada kulit, saraf tepi dan organ lain (DKK Brebes, 2008). Terjadi pada penderita tipe MB, biasanya berlangsung sampai 3 minggu atau lebih. Menurut keadaan reaksi, maka dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi berat. Perbedaan gejala-gejala reaksi ringan dan reaksi berat dapat dilihat pada Tabel 2.3. sebagai berikut (Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, 2008) :

Tabel 2.2. Perbedaan Reaksi Ringan dan Reaksi Berat pada Reaksi Tipe II

Gejala Reaksi Ringan Reaksi Berat Lesi kulit Nodul yang nyeri tekan

jumlah sedikit, biasanya hilang sendiri dalam 2-3 hari

Nodul nyeri tekan, ada yang sampai pecah, jumlah banyak, berlangsung lama

Keadaan umum Tidak ada demam atau ringan saja

Demam ringan sampai berat Saraf tepi Tidak ada nyeri tekan saraf

dan gangguan fungsi

Ada nyeri tekan atau gangguan fungsi

Organ tubuh Tidak ada gangguan organ tubuh

Terjadi peradangan pada: Mata

(iridocyclitis), Testis (orchitis),

Ginjal (nephritis), Sendi

(artritis), Kelenjar limfa

(limphadenitis), Gangguan

tulang, hidung dan tenggorokan. Sumber: Ditjen PPM dan PL, 2007

(25)

6. Upaya Pencegahan Kecacatan pada Penderita Kusta a. Pencegahan Penyakit kusta

1) Pencegahan primer

Pencegahan primer dapat dilakukan dengan : a) Penyuluhan kesehatan

Pencegahan primer dilakukan pada kelompok orang sehat yang belum terkena penyakit kusta dan memiliki risiko tertular karena berada di sekitar atau dekat dengan penderita seperti keluarga penderita dan tetangga penderita, yaitu dengan memberikan penyuluhan tentang kusta. Penyuluhan yang diberikan petugas kesehatan tentang penyakit kusta adalah proses peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat yang belum menderita sakit sehingga dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari penyakit kusta. Sasaran penyuluhan penyakit kusta adalah keluarga penderita, tetangga penderita dan masyarakat (Depkes RI, 2005)

b) Pemberian imunisasi

Sampai saat ini belum ditemukan upaya pencegahan primer penyakit kusta seperti pemberian imunisasi (Saisohar,1994). Dari hasil penelitian di Malawi tahun 1996 didapatkan bahwa pemberian vaksinasi BCG satu kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebesar 50%, sedangkan pemberian dua kali dapat memberikan perlindungan terhadap kusta sebanyak 80%, namun demikian penemuan. ini belum menjadi kebijakan program di Indonesia karena penelitian beberapa negara memberikan hasil berbeda pemberian vaksinasi BCG tersebut (Depkes RI, 2005).

(26)

2) Pencegahan sekunder

Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan : a) Pengobatan pada penderita kusta

Pengobatan pada penderita kusta untuk memutuskan mata rantai penularan, menyembuhkan penyakit penderita, mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan. Pemberian Multi drug therapy pada penderita kusta terutama pada tipe Multibaciler karena tipe tersebut merupakan sumber kuman menularkan kepada orang lain (Depkes RI, 2006).

Menurut Ditjen PPM dan PL (2007), tujuan dari pengobatan penderita penyakit kusta yaitu (Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, 2007) :

b) Menyembuhkan penderita penyakit kusta dan mencegah timbulnya cacat.

Penderita kusta tipe PB yang berobat dini dan teratur akan cepat sembuh tanpa menimbulkan cacat, tetapi bagi penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen pengobatan hanya dapat mencegah cacat yang lebih lanjut. Apabila penderita tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan, maka dari itu pengobatan secara dini dan teratur sangatlah penting.

c) Memutuskan mata rantai penularan dari penderita kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain.

Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh, dan tanda-tanda penyakit menjadi berkurang aktif dan akhirnya hilang. Matinya kuman tersebut

(27)

menjadikan sumber penularan dari penderita teruttama tipe MB ke orang lain terputus.

Penderita penyakit kusta dapat terus melakukan aktivitas atau bekerja seperti biasanya selama masa pengobatan. Pengobatan penyakit kusta di Indonesia dilakukan dengan pemberian Dapsone sejak tahun 1952 menunjukkan hasil yang cukup memuaskan, hanya saja pengobatan mono terapi ini sering menimbulkan masalah resistensi yang disebabkan karena:

(1) Dosis rendah dengan pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat reaksi kusta.

(2) Waktu minum obat sangat lama sehingga membosankan, akibatnya penderita mengkonsumsi obat tidak teratur.

Penggunaan Dapsone atau Diamino Diphenyl Sulforine (DDS) bukanlah satu-satunya, pengobatan penderita penyakit kusta dapat menggunakan Lamprene (B663) juga disebut Clofazimine berwarna coklat berbentuk kapsul. Sifat dari obat ini bakterostik (menghambat pertumbuhan dan antireaksi), selain itu ada Rifampicin berbentuk kapsul yang bersifat bakteriosid atau mematikan kuman kusta. Prednison, sulfat feros dan vitamin A ditujukan untuk menyehatkan kulit yang bersisik (Sapto, 2007)

Klasifikasi pengobatan penderita penyakit kusta menurut standar WHO dapat dilihat pada Tabel 2.2. sebagai berikut:

(28)

Tabel 2.3. Klasifikasi Pengobatan Penderita Penyakit Kusta Standar WHO

Klasifikasi Dewasa Anak usia 10-14 tahun

Pengobatan PB

Sebulan sekali, hari pertama

a. 2 kapsul Rifampicin (2x300mg)

b. 1 tablet DDS (100 mg)

Sebulan sekali, hari pertama

a. 2 kapsul Rifampicin (300 mg + 150 mg)

b. 1 tablet DDS (50 mg)

Setiap hari, hari ke 2-28

1 tablet DDS (100 mg)

Setiap hari, hari ke 2-28

1 tablet DDS (50 mg) Dosis lengkap:

6 kemasan Blister

Dosis lengkap: 6 kemasan Blister

Untuk penderita umur, 10 tahun dosis harus disesuaikan dengan berat badan

Pengobatan MB

Sebulan sekali, hari pertama

a. 2 kapsul Rifampicin (2x300mg)

b. 3 kapsul Lampren (3x100 mg)

c. 1 tablet DDS (100 mg)

Sebulan sekali, hari pertama

a. 2 kapsul Rifampicin (300 mg + 150 mg)

b. 3 kapsul Lampren (3x50 mg) c. 1 tablet DDS (50 mg)

Setiap hari, hari ke 2-28

a. 1 kapsul Lampren (50 mg)

b. 1 tablet DDS (100 mg)

Setiap hari, hari ke 2-28

1 tablet DDS (100 mg)

Setiap 2 hari sekali: hari ke 2-28 1 kapsul Lampren (50 mg) Dosis lengkap:

12 kemasan Blister

Dosis lengkap: 12 kemasan Blister

Untuk penderita umur, 10 tahun dosis harus disesuaikan dengan berat badan Sumber: Ditjen PPM dan PL, 2007

Penderita PB yang telah mendapat pengobatan MDT 6 dosis dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT (Release From Treatment), tanpa diharuskan pemeriksaan laboratorium. Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa diharuskan pemeriksaan laboratorium.

(29)

3) Pencegahan tertier

a) Pencegahan cacat kusta

Pencegahan tertier dilakukan untuk pencegahan cacat kusta pada penderita. Upaya pencegahan cacat terdiri atas (Depkes RI, 2006):

(1) Upaya pencegahan cacat primer meliputi penemuan dini penderita sebelum cacat, pengobatan secara teratur dan penanganan reaksi untuk mencegah terjadinya kerusakan fungsi saraf.

(2) Upaya pencegahan cacat sekunder meliputi perawatan diri sendiri untuk mencegah luka dan perawatan mata, tangan atau kaki yang sudah mengalami gangguan fungsi saraf. b) Rehabilitasi kusta

Rehabilitasi merupakan proses pemulihan untuk memperoleh fungsi penyesuaian diri secara maksimal atas usaha untuk mempersiapkan penderita cacat secara fisik, mental, sosial dan kekaryaan untuk suatu kehidupan yang penuh sesuai dengan kemampuan yang ada padanya. Tujuan rehabilitasi adalah penyandang cacat secara umum dapat dikondisikan sehingga memperoleh kesetaraan, kesempatan dan integrasi sosial dalam masyarakat yang akhirnya mempunyai kualitas hidup yang lebih baik (Depkes RI, 2006).

Rehabilitasi terhadap penderita kusta meliputi:

(1) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah terjadinya kontraktur

(2) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak mendapat tekanan yang berlebihan (3) Bedah plastik untuk mengurangi perluasan infeksi

(4) Terapi okupsi ( kegiatan hidup sehari-hari ) dilakukan bila gerakan normal terbatas pada tangan

(30)

(5) Konseling dilakukan untuk mengurangi depresi pada penderita cacat

7. Pencegahan Penularan Penyakit Kusta

Menurut Daili (2005), hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Berdasarkan hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur merupakan salah satu upaya yang memberikan peranan yang penting (Daili, 2005).

Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan menghindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab (Daili, 2005) .

Menurut Daili (2005), ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta, tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Petugas mempunyai peran yang penting dalam memberikan penyuluhan penyakit kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa ( Daili, 2005):

a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta.

b. Sekurang-kurangnya 80% dari semua orang tidak mungkin terkena kusta.

(31)

d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur.

e. Diagnosa dan pengobatan dini dapat mencegah sebagian besar cacat fisik

G. Kerangka Teori

Skema 2.1. Kerangka Teori

Sumber; Lawrence Green (1980) dalam Notoatmodjo (2003)

H. Kerangka Konsep

Variabel independent Variabel dependent

Skema 2.2 kerangka konsep

Persepsi penderita kusta tentang dukungan keluarga

Keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita

kusta Predisposisi 1. Kepercayaan 2. Keyakinan 3. Pengetahuan 4. Sikap 5. Nilai-nilai 6. Tradisi Enabling

1. Sarana dan Prasarana 2. Fasilitas kesehatan 3. Jarak sarana pelayanan

kesehatan Reinforcing 1. Dukungan petugas 2. Dukungan keluarga a. Dukungan emosional b. Dukungan penghargaan c. Dukungan instrumental d. Dukungan informatif

Keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita kusta

(32)

I. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan oleh peneliti ada dua kategori, yaitu : 1. Variabel bebas (independent variable)

Variabel bebas atau independen merupakan suatu variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya suatu variabel dependen (terikat) dan bebas dalam mempengaruhi variabel lain (Hidayat, 2003). Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah persepsi penderita kusta tentang dukungan keluarga pada penderita kusta.

2. Variabel terikat (dependent variable)

Variabel terikat atau dependen merupakan variabel yang dapat dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas. Variabel ini dapat tergantung dari variabel bebas terhadap perubahan (Hidayat, 2003). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita kusta.

J. Hipotesa

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian. Hipotesis dalam penelitian ini yaitu :

1. Ho: Tidak ada hubungan persepsi penderita kusta tentang dukungan keluarga dengan keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita kusta di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes.

2. Ha: Ada hubungan persepsi penderita kusta tentang dukungan keluarga dengan keteraturan perawatan dan pengobatan pada penderita kusta di Kecamatan Banjarharjo Kabupaten Brebes.

Gambar

Tabel  2.1.  Perbedaan  Reaksi  Ringan  dan  Reaksi  Berat  pada  Reaksi  Tipe I
Tabel  2.3.  Klasifikasi  Pengobatan  Penderita  Penyakit  Kusta  Standar WHO

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan data citra satelit Terra dan Aqua MODIS yang divalidasi dengan data in situ air laut dari hasil survei lapangan, diharapkan nantinya dapat

a) Variabel Kepemilikan manajerial pada perusahaan sektor manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2014-2017 yang diukur dengan jumlah

kampung nelayan Tambak Lorok bahwa masih ada kesederhanaan yang tertinggal dan tidak dapat dipungkiri bahwa mereka adalah bagian dari kota Semarang yang berkontribusi dalam

Hal ini dapat dilihat pada Tabel 2, kelimpahan relatif famili Eulophidae, Encyrtidae dan Scelionidae pada lanskap Nyalindung jauh lebih tinggi dari famili lainnya,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan cerita pendek “Le dernier Amour du Prince Genghi” karya marguerite Yourcenar, maka dapat disimpulkan mengenai tiga

Presiden baru Korea Selatan Lee Myung Bak sejak memegang jabatan Februari 2008 lalu telah menyesuaikan kembali kebijakan terhadap Korea Utara dengan menekankan perlunya

Pada pemeriksaan ini dilakukan perhitungan terhadap semua kuman yang tumbuh dari sejumlah contoh air yang diperiksa. Bila koloni kuman yang tumbuh  begitu banyak,

Tetapi, verba dalam konstruksi verba proses dan obyek yang diikuti oleh pelengkap derajat baik pelengkap derajat adjektival maupun pelengkap derajat verbal, atau pelengkap akhir