• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara Autonomy dengan Kematangan Karir pada Perempuan Remaja Akhir dari Ibu yang Bekerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hubungan antara Autonomy dengan Kematangan Karir pada Perempuan Remaja Akhir dari Ibu yang Bekerja"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan antara Autonomy dengan Kematangan Karir pada Perempuan

Remaja Akhir dari Ibu yang Bekerja

Sumayyah1, Fenny Hartiani2

1 Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 2

Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

Email: sm.maya28@gmail.com

ABSTRAK

Saat ini, fenomena ibu bekerja di luar rumah sudah menjadi hal yang lumrah di masyarakat Indonesia. Seorang ibu yang bekerja kini memiliki peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai seorang pekerja di bidang kerjanya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, ibu yang bekerja memiliki dampak pada beberapa aspek perkembangan remaja perempuan, diantaranya adalah autonomy dan kematangan karir. Autonomy terdiri dari tiga dimensi yaitu attitudinal autonomy, emotional autonomy, dan functional autonomy., sedangkan kematangan karir terdiri dari dimensi sikap dan dimensi kognitif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara autonomy dan kematangan karir pada perempuan remaja akhir dari ibu yang bekerja. Partisipan penelitian ini terdiri dari 63 mahasiswi Universitas Indonesia dengan rentang usia 18 – 21 tahun. Penelitian kuantitatif ini menggunakan Adolescent Autonomy Questionnaire (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001) untuk mengukur Autonomy pada remaja perempuan, dan Career Development Inventory – Short Form (Creed & Patton, 2004) untuk mengukur kematangan karir. Hubungan korelasi antara autonomy dengan kematangan karir menunjukkan hasil yang signifikan pada beberapa dimensi. Hasil akan didiskusikan lebih lanjut.

Kata Kunci: autonomy; ibu bekerja; kematangan karir; perempuan remaja akhir

The Relationship between Autonomy and Career Maturity among Late Adolescent Girls with Working Mother

ABSTRACT

The phenomenon of working mothers have become a commonplace in today's society. A working mother has a double role as a housewife as well as a worker in the field of work. Based on previous research, mothers who work have an impact on several aspects of child development, especially in adolescent girls, such as autonomy and career maturity. Autonomy is composed of three dimensions, namely attitudinal autonomy, emotional autonomy, and functional autonomy, while the dimensions of career maturity consist of attitudes and cognitive dimensions. This study aimed to determine the correlation between autonomy and career maturity among late adolescent girls with working mother.Participants of this study consisted of 63 female students of University of Indonesia with an age range 18 – 21 years. This quantitative study using the Adolescent Autonomy Questionnaire (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001) to measure Autonomy in adolescent girls, and Career Developmnet Inventory

– Short Form (Creed & Patton, 2004) to measure career maturity. Correlation between autonomy with career

maturity showed significant results in several dimensions. The results will be discussed further.

(2)

Pendahuluan

Dewasa ini, aktivitas bekerja di luar rumah tidak hanya dilakukan oleh laki-laki, tetapi juga banyak digeluti oleh kaum perempuan, terutama pada kota-kota besar di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010, jumlah perempuan yang bekerja, baik yang tinggal di perkotaan dan di pedesaan dari seluruh provinsi di Indonesia tercatat hingga 38.140.102 jiwa, dari jumlah total 84.706.030 perempuan dengan usia produktif 15 tahun ke atas. Dapat dikatakan, banyaknya perempuan yang bekerja adalah sebesar 44.9% dari jumlah perempuan dengan usia produktif di Indonesia.

Fenomena perempuan bekerja di luar rumah, khususnya perempuan yang sudah berkeluarga, menyebabkan terjadinya peran ganda pada perempuan yakni sebagai ibu rumah tangga sekaligus sebagai ibu yang bekerja di bidangnya masing-masing (Rathus, 2014). Definisi ibu bekerja mengacu pada definisi Kestenbaum, (2004), yaitu perempuan yang merupakan seorang ibu dan bekerja di luar rumah untuk mendapatkan penghasilan, ditambah dengan pekerjaan yang mereka lakukan di rumah untuk membesarkan anaknya. Definisi lain dari ibu yang bekerja adalah perempuan yang sedang menjalankan karir di luar rumah. Karir adalah sebagai konsekuensi posisi kerja semasa hidupnya (Hoekstra, 2010).

Maraknya fenomena ibu bekerja di masyarakat memicu dilakukan penelitian ilmiah terhadap dampak ibu bekerja pada anak. Hal ini terjadi karena adanya stereotipe tradisional terhadap perempuan sebagai ibu rumah tangga. Ketika perempuan bekerja, dampak pada anak menjadi perhatian sosial yang besar (Rathus, 2014). Berdasarkan penelitian terhadap negara dengan tingginya jumlah ibu bekerja, menunjukkan adanya pembagian tugas rumah tangga antara suami dan istri (Treas & Tai, 2012). Namun, perawatan anak sepenuhnya tetap menjadi tanggung jawab seorang istri atau ibu walaupun ia bekerja (Weingarten, 1978, dalam Betz & Fitzgerald, 1987). Peran ganda yang dialami oleh ibu yang bekerja memiliki dampak bagi keluarga, termasuk berdampak bagi anak perempuan.

Salah satu dampak dari ibu bekerja pada anak adalah autonomy. Ibu yang bekerja menghabiskan waktu lebih banyak di tempat kerja sehingga waktu berinteraksi tatap muka dengan anak menjadi berkurang. Selain itu, ibu yang bekerja akan menekankan kemandirian pada anak-anak (Burchinal & Lovell, 1959, dalam Hoffman & Nye, 1984). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja perempuan dari ibu bekerja relatif lebih mandiri,

autonomy, dan aktif daripada remaja dari ibu yang tidak bekerja (Douvan, 1963, dalam

Hoffman & Nye, 1984; Montemayor & Clayton, 1983). Saat ibu mereka bekerja, remaja perempuan dituntut untuk melakukan segala sesuatu sendiri ketika mereka tiba di rumah

(3)

setelah beraktivitas seperti merapikan alat sekolah sendiri, bersih-bersih tanpa diperintah, atau membantu melakukan pekerjaan rumah.

Menurut Noom, Dekovic, & Meeus (2001) autonomy adalah kemampuan untuk memberikan arahan pada kehidupan sendiri, dengan cara menentukan tujuan, merasa kompeten, dan mampu mengatur tindakannya. Perkembangan autonomy pada remaja merupakan proses yang berkelanjutan dan mengalami peningkatan ketika usia remaja. Steinberg (2010) menjelaskan bahwa perkembangan autonomy merupakan isu penting pada remaja yang dipengaruhi oleh perubahan pada aspek perkembangan manusia, seperti kognitif, psikososial, dan fisik. Perubahan pada aspek-aspek tersebut mendorong individu untuk tidak bergantung pada significant-other dan mulai beralih pada kemampuan dirinya sendiri dalam melakukan aktivitas sehari-hari.

Autonomy merupakan sebuah konstruk yang merepresentasikan aspek kognitif, afektif,

dan psikomotor (regulasi) pada perilaku remaja (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001). Dari ketiga aspek tersebut, autonomy terbagi menjadi tiga dimensi yaitu attitudinal autonomy,

emotional autonomy dan functional autonomy. Dalam dimensi attitudinal autonomy, remaja

dituntut untuk mampu menentukan keputusannya sendiri. Dimensi emotional autonomy, remaja dituntut untuk percaya diri, tidak bergantung pada orang lain, dan mampu mengandalkan dirinya sendiri. Sedangkan functional autonomy, remaja dituntut untuk mampu mengatur tingkah laku dan apa yang akan ia lakukan untuk mencapai tujuan hidupmya. Ketika individu sudah membuat target tertentu, ia akan melakukan sesuatu untuk mewujudkan target tersebut. Ketiga dimensi autonomy pada individu akan mengalami peningkatan pada individu selama masa remaja.

Selain autonomy, terdapat dampak lain dari ibu yang bekerja pada anak. Jika dikaitkan dengan rutinitas kerja seorang ibu dalam kehidupan sehari-hari, ibu yang bekerja dapat mempengaruhi aspek perkembangan karir bagi anak, khususnya remaja perempuan. Remaja perempuan dari ibu yang bekerja memiliki orientasi karir, orientasi berprestasi, penetapan target karir, dan kesiapan kerja yang lebih tinggi daripada remaja perempuan dari ibu yang tidak bekerja (Hartley, 1960, dalam Hoffman & Nye, 1984; Almquist & Angrist, 1971, dalam Hoffman & Nye, 1984; Douvan & Roy 1963, dalam Hoffman & Nye, 1984; Nomaguvhi, 2006, dalam Rathus, 2014). Dampak ibu bekerja terhadap perkembangan karir anak perempuan, dimulai sejak anak usia sekolah hingga memasuki usia remaja. Perkembangan karir adalah suatu proses yang berkembang seumur hidup, melibatkan berbagai aspek kehidupan yang saling berinteraksi sehingga mempengaruhi karirnya (Sears, 1982, dalam Isaacson & Brown, 1997).

(4)

Menurut Super (1957, dalam Coertse & Schepers, 2004), dalam rangka membuat perencanaan karir yang tepat, seseorang harus menampilkan tingkat kematangan karir tertentu. Kematangan karir adalah kesiapan individu dalam mencari informasi terhadap dunia kerja, menetapkan keputusan karir yang sesuai dengan usia, dan mengelola tugas-tugas perkembangan karirnya (Savickas, 1984, dalam Creed & Patton, 2004). Kematangan karir memiliki dua dimensi yaitu dimensi sikap dan dimensi kognitif. Dimensi sikap tercermin pada kemampuan dalam melakukan perencanaan dan eksplorasi di dunia karir. Dimensi kognitif tercermin dalam memiliki pengetahuan dan informasi tentang dunia kerja yang berguna bagi pengambilan keputusan karir (Creed & Patton, 2004).

Perkembangan autonomy dan kematangan karir berkembang pesat dan penting pada saat remaja akhir, yaitu pada rentang usia 18 – 21 tahun. Menurut Santrock (2014) tugas perkembangan pada remaja akhir fokus pada ketertarikan dunia karir, hubungan romantis, dan eksplorasi diri. Dalam pencapaian prestasi, individu pada usia remaja akhir cenderung fokus pada pencapaian prestasi pada dunia karir dan kerja (Steinberg, 2010). Selain itu, baik autonomy dan kematangan karir, keduanya tercermin dari kegiatan rutin yang dilakukan pada perempuan remaja akhir, seperti kebebasan berbelanja, orientasi sosial dalam menghabiskan waktu luang, pemilihan mata kuliah, mengikuti kegiatan ekstrakulikuler, bereksplorasi tentang dunia kerja melalui training atau workshop yang ada di lingkungan kampus.

Sebelumnya, penelitian tentang autonomy dan kematangan karir pernah dilakukan oleh Aenea Marella pada tahun 2009 terhadap mahasiswa Universitas Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan dengan rentang usia 18 – 21 tahun. Hasil menunjukkan terdapat hubungan antara autonomy dan kematangan karir. Namun hasil tersebut tidak menampilkan hubungan yang spesifik antara dimensi autonomy dengan dimensi kematangan karir. Penelitian ini bertujuan untuk melengkapi hasil penelitian sebelumnya tentang hubungan

autonomy dan kematangan karir. Jika diteliti berdasarkan konteks di lingkungan sosial

remaja, kondisi keluarga khususnya status kerja seorang ibu memiliki pengaruh pada perkembangan autonomy maupun kematangan karir pada remaja. Oleh karena itu, penelitian ini dilatarbelakangi oleh status kerja ibu dari remaja perempuan. Penelitian ini juga dilakukan untuk meneliti apakah terdapat hubungan antara dimensi attitudinal autonomy, emotional

autonomy, dan functional autonomy dengan dimensi sikap dan dimensi kognitif kematangan

(5)

Tinjauan Teori

Autonomy

Bagi hampir sebagian besar remaja, mengembangkan autonomy merupakan bagian penting untuk menjadi dewasa (Steinberg, 2010). Autonomy adalah kemampuan untuk memberikan arahan pada kehidupan sendiri, dengan cara menentukan tujuan, merasa kompeten, dan mampu mengatur tindakannya (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001). Genuine

autonomy akan jelas terlihat pada usia remaja akhir (Blos, 1962, dalam Steinberg &

Silverberg, 1986). Pada masa remaja akhir, individu akan menerapkan autonomy guna memenuhi kebutuhannya sendiri, bukan hanya karena ingin lepas dari pihak otoritas (seperti orang tua atau orang dewasa lain).

Dimensi Autonomy

Dimensi autonomy terbagi berdasarkan proses perilaku manusia yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor (yang memiliki fungsi regulasi). sehingga autonomy terbagi menjadi tiga dimensi yaitu attitudinal autonomy, emotional autonomy, dan functional autonomy. Ketiga dimensi autonomy tersebut saling terkait namun memiliki aspek yang terpisah pada perkembangan autonomy remaja. Attitudinal autonomy merupakan kemampuan individu dalam membuat spesifikasi pilihan-pilihan, membuat keputusan, dan menetapkan tujuan (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001). Attitudinal autonomy dapat tercapai ketika remaja mampu menetapkan tujuan dan target mereka sendiri. Emotional autonomy adalah keyakinan dan rasa percaya diri individu pada pilihan dan tujuan hidupnya (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001), kemandirian emosional pada remaja terhadap hubungannya dengan orang lain (Steinberg & Silverberg, 1986). Functional autonomy adalah kemampuan dalam mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001).

Perkembangan Karir

Super (1977) mendefinisikan karir sebagai serangkaian pekerjaan yang berbayar ataupun tidak berbayar yang akan dijalani sepanjang hidup (dalam Coertse & Schepers, 2004), hasil dari beragam proses transaksi (transaction process), baik jangka pendek dan jangka panjang, antara faktor personal dan kontekstual (Hoekstra, 2010). Tahap perkembangan karir terdiri atas lima tahap yaitu tahap pertumbuhan (anak-anak hingga usia 15 tahun), tahap eksplorasi (usia 15 – 24 tahun), tahap penetapan (usia 25 – 44 tahun), tahap pemeliharaan (usia 45 – 65 tahun), dan tahap penurunan (usia 65 tahun ke atas). Tahap

(6)

eksplorasi terjadi pada masa remaja akhir khususnya fase specification yang terjadi pada usia 18 – 21 tahun. Pada fase ini individu pada remaja akhir dituntut memiliki kemampuan kognitif yang baik guna melakukan perencanaan karir, analisis informasi, dan pengambilan keputusan karir. Menurut Crites (1981, dalam Coertse & Schepers, 2004), tahap ini merupakan tahapan yang paling penting dalam perkembangan karir karena merupakan prediktor kuat dalam kesuksesan karir mendatang.

Kematangan Karir

Kematangan karir adalah kesiapan dan kemampuan individu untuk menghadapi tugas-tugas yang terkait usia dan pembuatan keputusan karir Super (1990, dalam Creed, Patton, & Prideaux, 2007), kesiapan individu dalam mencari informasi, menetapkan keputusan karir yang sesuai dengan usia, dan mengatur tugas perkembangan karirnya (Savickas, 1984, dalam Creed & Patton, 2004; Powell & Luzzo, 1998). Crites (1978) dan Super (1957) menekankan bahwa orang yang memiliki kematangan karir akan menunjukkan karakteristik seperti mengumpulkan informasi tentang diri sendiri dalam rangka meperoleh wawasan (insight), memiliki kompetensi yang diperlukan untuk membuat keputusan, mengintegrasikan pengetahuan diri dan pengetahuan tentang dunia kerja, dan mengimplementasikan hal-hal tersebut ketika merencanakan karir (dalam Coertse & Schepers, 2004).

Kematangan karir terbagi menjadi dua dimensi, yaitu dimensi sikap dan dimensi kognitif. Dimensi sikap merepresentasikan perilaku individu terhadap proses pengambilan keputusan karir (Powell & Luzzo, 1998). Dimensi sikap terdiri dari perencanaan karir dan eksplorasi karir. Perencanaan karir tergambar dari perencanaan orientasi pencarian informasi tentang dunia kerja. Eksplorasi karir merupakan perilaku yang diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang diri dan lingkungan luar, dalam konteks ini adalah pengetahuan tentang dunia kerja (Blustein, 1992, dalam Zimmer-Gembeck & Mortimer, 2006). Dimensi kognitif melingkupi pengetahuan individu tentang informasi dunia kerja serta memahami informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam keputusan karir. Dimensi kognitif terdiri dari informasi dunia kerja dan pengambilan keputusan (Creed & Patton, 2004).

Interaksi Ibu yang Bekerja dengan Remaja Perempuan

Pada tahun 1959, Burchinal & Lovell melakukan penelitian pada interaksi ibu bekerja dengan anaknya. Hasilnya menyebutkan bahwa ibu bekerja dengan anak usia sekolah lebih menekankan kemandirian pada anak daripada ibu yang tidak bekerja (1959, dalam Hoffman & Nye, 1984). Selain itu, Shanahan, dkk., (1996, dalam Zimmer-Gembeck & Mortimer,

(7)

2006), dalam penelitian terhadap remaja yang bekerja menunjukkan bahwa remaja yang memiliki kualitas pengalaman kerja yang tinggi cenderung mencari banyak nasihat dari orangtua dan memiliki ikatan emosional yang positif dengan orangtua. Beberapa hal tersebut menunjukkan terdapat perbedaan sikap dan bentuk interaksi pada ibu bekerja dengan anak-anaknya, sehingga akan berdampak pada aspek perkembangan anak. Hubungan orang tua – anak memiliki pengaruh perkembangan kemampuan sosial anak, termasuk dalam perkembangan autonomy dan kematangan karir anak.

Metode Penelitian

Partisipan

Perempuan remaja akhir dengan rentang usia 18 – 21 tahun sebanyak 63 orang dalam penelitian kuantitatif ini. Partisipan merupakan mahasiswi di perguruan tinggi Universitas Indonesia. Pengambilan sampel menggunakan metode accidental sampling.

Variabel Penelitian

Autonomy adalah kemampuan untuk memberikan arahan pada kehidupan sendiri,

dengan menentukan tujuan, merasa kompeten, dan mampu mengatur tindakannya sendiri (dalam Noom, Dekovic, & Meeus, 2001). Autonomy terbagi menjadi tiga dimensi, berikut ini adalah definisi pada tiap dimensi; Attitudinal Autonomy adalah kemampuan individu dalam menspesifikasi pilihan-pilihan, membuat keputusan, serta menetapkan tujuan melalui berbagai peluang dan keinginan; Emotional Autonomy adalah keyakinan dan rasa percaya diri individu pada pilihan dan tujuan hidupnya serta kemandirian emosional pada remaja terhadap hubungannya dengan orang lain; Functional Autonomy adalah kemampuan individu dalam mengembangkan strategi, keyakinan diri serta nilai-nilai pribadi melalui tindakan untuk mencapai tujuan tertentu.

Kematangan karir adalah kesiapan dan kemampuan individu dalam mencari informasi tentang dunia kerja, mengidentifikasi, membuat perencanaan karir, serta menampilkan perilaku yang mendukung proses pengambilan keputusan karir tersebut. Kematangan karir terdiri dari dua dimensi; Dimensi Sikap adalah perilaku dan keyakinan individu terhadap proses pengambilan keputusan karir, yang ditandai dengan perencanaan dan eksplorasi dunia karir; Dimensi Kognitif merupakan pengetahuan individu tentang informasi dunia kerja serta memahami informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam keputusan karir.

(8)

Alat Ukur Penelitian

Autonomy diukur menggunakan Adolescent Autonomy Questionnaire (AAQ) dari

Noom, Dekovic, & Meeus (2001) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia. Kuesioner AAQ terdiri dari 15 item yang mengukur tiga dimensi, yaitu attitudinal autonomy,

emotional autonomy, dan functional autonomy. Tiap item memiliki 5-point Likert scale, 1

(sangat tidak sesuai/STS), 2 (tidak sesuai/TS), 3 (netral/N), 4 (sesuai/S), 5 (sangat sesuai/SS). Berdasarkan uji coba pada 31 partisipan, diketahui koefisien reliabilitas pada dimensi AAQ: 0.753 (attitudinal autonomy), 0.771 (emotional autonomy), 0.774 (functional autonomy).

Kematangan karir diukur menggunakan Career Development Inventory-Short Form (CDI-SF) dari Creed & Patton (2004) yang telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Aenea Marella (2009). Alat ukur ini berbentuk kuesioner dan terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi 18 item dengan 5-point Likert scale, 1 (sangat tidak setuju/STS), 2 (tidak setuju/TS), 3 (netral/N), 4 (setuju/S), 5 (sangat setuju/SS). Bagian kedua berisi 15 item yang merupakan maximum performance test, dengan skoring benar (bernilai ‘1’), dan salah (bernilai ‘0’). Diketahui koefisien reliabilitas pada dimensi kematangan karir: 0.857 (sikap), 0.783 (kognitif).

Teknik pengambilan data menggunakan kuesioner self-report. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pearson Correlation untuk menjawab pertanyaan penelitian hubungan autonomy dan kematangan karir.

Hasil Penelitian

Gambaran Partisipan

Dalam penelitian ini, partisipan terdiri dari 63 perempuan remaja akhir dari ibu yang bekerja dengan status sebagai mahasiswi Universitas Indonesia dan rentang usia 18 – 21 tahun. Berdasarkan usia, partisipan terbanyak berasal dari mahasiswi usia 19 dan 21 tahun yaitu sebesar 28.6% dari total keseluruhan sampel. Selain itu, tingkat pendidikan subyek berada pada semester 2 – 8 di Universitas Indonesia, dengan jumlah terbanyak berasal dari mahasiswi semester 6 sebesar 33.3% dari total keseluruhan sampel. Subyek partisipan dalam penelitian ini berasal dari sembilan fakultas di UI dan jumlah terbanyak berasal dari Fakultas MIPA sebanyak 25.4% dari total keseluruhan sampel. Jika dilihat berdasarkan rumpun ilmu fakultas, partisipan dari rumpun ilmu sains lebih banyak dengan selisih yang tipis yaitu dengan persentase 50.8% dari total keseluruhan sampel.

(9)

Tabel 1. Gambaran Karakteristik Partisipan Karakteristik N % Karakteristik N % Usia: Fakultas: 18 11 17.5 Ekonomi 11 17.5 19 18 28.6 Ilmu Budaya 8 12.7 20 16 25.4 FISIP 5 7.9 21 18 28.6 FKM 7 11.1 Semester: Hukum 6 9.5 2 18 28.6 Ilmu Komputer 8 12.7 4 19 30.2 MIPA 16 25.4 6 21 33.3 Psikologi 1 1.6 8 5 7.9 FIK 1 0.7

Rumpun Ilmu Total 63 100

Sains 32 50.8

Sosial 31 49.2

Total 63 100

Hubungan antara Autonomy dengan Kematangan Karir pada Perempuan Remaja Akhir dari

Ibu yang Bekerja

Hubungan antara autonomy pada remaja perempuan dari ibu yang bekerja dengan kematangan karir terbagi menjadi enam bagian yaitu hubungan antara dimensi attitudinal

autonomy, emotional autonomy, functional autonomy terhadap dimensi sikap dan dimensi

kognitif kematangan karir.

Hasil penghitungan menunjukkan adanya hubungan positif dan signifikan antara dimensi attitudinal autonomy dengan dimensi sikap kematangan karir; r(62) = 0.374, p< 0.01, namun tidak memiliki hubungan yang positif dan signifikan pada dimensi kognitif kematangan karir; r(62) = 0.163, p> 0.01. Hasil penghitungan berikutnya menunjukkan

Tabel 2. Hubungan antara autonomy dengan kematangan karir pada remaja perempuan dari ibu yang bekerja

Autonomy

Kematangan Karir

Dimensi Sikap Dimensi Kognitif

r Sign (2-tailed) r Sign (2-tailed)

Attitudinal .374** .002 .163 .202

Emotional .373** .003 .304* .016

Functional .273* .031 .020 .879

**

. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

*.

(10)

adanya hubungan yang positif dan signifikan antara dimensi emotional autonomy dengan dimensi sikap kematangan karir; r(62) = 0.373, p< 0.01, dan dimensi kognitif kematangan karir; r(62) = 0.304, p< 0.05. Pada uji korelasi antara dimensi functional autonomy ditemukan korelasi positif dan signifikan dengan dengan dimensi sikap kematangan karir; r(62) = 0.273,

p< 0.05, namun tidak memiliki hubungan yang positif dan signifikan pada dimensi kognitif

kematangan karir; r(62) = 0.020, p> 0.01.

Pembahasan

Penelitian ini menjabarkan hubungan antara variabel autonomy dan variabel kematangan karir secara multidimensional. Hasil pengujian korelasional yang diperoleh dalam penelitian ini cukup beragam, berdasarkan hubungan masing-masing dimensi. Secara umum, hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Marella (2009) tentang hubungan autonomy dan kematangan karir. Marella (2009) menjelaskan bahwa remaja yang memiliki tingkat autonomy yang tinggi cenderung memiliki sikap dan kognitif kematangan karir yang tinggi pula. Selain itu, dijelaskan pula bahwa dimensi sikap dari kematangan karir memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap autonomy remaja daripada dimensi kognitif kematangan karir.

Autonomy memiliki korelasi yang signifikan positif dengan sikap kematangan karir.

Artinya remaja perempuan dari ibu yang bekerja memiliki autonomy yang tinggi maka ia juga memiliki sikap kematangan karir yang tinggi. Dalam penelitian ini, kelompok remaja perempuan dari ibu yang bekerja memiliki tingkat attitudinal autonomy, emotional autonomy, dan functional autonomy yang tinggi, dipastikan pula mereka memiliki tingkat kematangan karir yang tinggi dari segi sikap. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan autonom yang baik pada remaja perempuan dalam proses pengambilan keputusan, hubungan relasional, maupun dalam bertindak akan mendorong remaja perempuan dalam meningkatkan perencanaan dan eksplorasi karirnya.

Attitudinal autonomy dapat tercapai ketika individu mampu menetapkan tujuan dan

target hidup mereka sendiri. Dimensi ini berhubungan secara positif dengan kematangan karir pada aspek sikap, dimana remaja dituntut untuk membuat perencanaan dan eksplorasi dunia karir. Begitu pula dengan dimensi functional autonomy. Autonomy pada dimensi ini dapat tercapai ketika individu melakukan tindakan dan beragam strategi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Hal ini terkait dengan dimensi sikap dari kematangan karir, dimana remaja

(11)

juga dituntut untuk melakukan eksplorasi karir, baik dengan mencari informasi melalui media massa, melalui orang-orang ahli dalam bidangnya, ataupun mengikuti kegiatan yang berkaitan dengan karir tertentu. Dapat disimpulkan, tingginya hubungan antara attitudinal autonomy dan functional autonomy dengan dimensi sikap kematangan karir terkait dengan perencanaan dan pelaksanaan dalam aktivitas dunia karir pada perempuan remaja akhir.

Secara umum. autonomy dapat tercapai ketika remaja mampu menetapkan tujuan pribadi, memiliki kepercayaan diri, serta mampu mengembangkan strategi sendiri dalam meraih tujuan tersebut (Noom, Dekovic, & Meeus, 2001). Ketika remaja mampu mengembangkan kemampuan autonomy, maka ia akan mampu membuat perencanaan karir dan melakukan eksplorasi karir dengan kemampuan dirinya sendiri. Dalam dimensi sikap kematangan karir, menurut Creed & Patton (2004), remaja dituntut untuk menyadari sumber daya yang dapat membantunya untuk meningkatkan pengetahuan tentang dunia kerja, serta menggunakan sumber daya tersebut dengan optimal. Pada penelitian ini, ketika remaja perempuan dari ibu yang bekerja memiliki sikap kematangan karir yang tinggi, maka ia menyadari dan menggunakan sumber daya yang dimiliki, salah satunya adalah menggunakan kemampuan autonomy dalam mengeksplorasi diri untuk mendukung perkembangan karirnya.

Selain itu, adanya hubungan yang signifikan antara autonomy dengan dimensi sikap kematangan karir pada remaja perempuan dari ibu yang bekerja, salah satunya dipengaruhi oleh interaksi antara orang tua dengan anak. Ibu yang bekerja cenderung lebih menunjukkan pola interaksi yang menekankan kemandirian pada anak mereka (Burchinal & Lovell, 1959, dalam Hoffman & Nye, 1984). Ketika remaja terbiasa untuk mandiri, maka kemandirian tersebut akan berdampak pada sikap kematangan karir, yang tercermin dalam pembuatan rencana karir dan eksplorasi karir dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri. Kematangan karir pun meningkat secara pesat ketika remaja perempuan memasuki usia remaja akhir yang ditandai dengan kebutuhan mengeksplorasi dunia karir dan melakukan perencanaan untuk masa depannya.

Selain aspek autonomy, remaja perempuan dari ibu yang bekerja cenderung melihat ibu mereka sebagai role model dalam menentukan perencanaan karirnya (Hoffman & Nye, 1984). Remaja perempuan yang menjadikan ibu mereka sebagai role model, maka remaja cenderung membuat perencanaan karir berdasarkan pengalamannya terhadap ibu mereka. Sehingga, dalam membuat perencanaan karirnya, remaja perempuan tidak lepas dari kemampuan autonomy mereka dalam beraktivitas.

Selain dimensi sikap, emotional autonomy juga berkorelasi secara signifikan positif dengan dimensi kognitif kematangan karir pada remaja perempuan dari ibu yang bekerja.

(12)

Artinya jika remaja perempuan dari ibu yang bekerja memiliki emotional autonomy yang tinggi, maka ia akan memiliki kematangan karir yang tinggi pula dalam dimensi kognitif. Remaja yang mandiri secara emosional dari orang tua ataupun teman sebaya, dapat dikatakan ia memiliki sikap yang positif dalam mencari informasi dunia kerja dan memahami informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan karir. Hal ini memperkuat argumen dari Shanahan, dkk., (1996, dalam Zimmer-Gembeck & Mortimer, 20060), bahwa remaja yang memiliki kualitas pengalaman kerja yang baik cenderung mencari banyak nasihat dari orang tua dan memiliki ikatan emosional yang positif dengan orang tua.

Hasil lain dari penelitian ini adalah tidak ada korelasi antara dimensi attitudinal

autonomy dan functional autonomy dengan dimensi kognitif kematangan karir pada remaja

perempuan dari ibu yang bekerja. Tidak adanya hubungan antara dimensi attitudinal

autonomy dan functional autonomy dengan dimensi kognitif kematangan karir mungkin

terjadi karena beberapa hal. Pertama, menurut Kim (2002, dalam Brandley, 2008) remaja yang menggeluti dunia pendidikan di perguruan tinggi memiliki kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan potensi tertentu pada dirinya, dan nilai kehidupan untuk dirinya. Hal ini mungkin saja mempengaruhi perkembangan karir pada dimensi kognitif pada remaja perempuan dalam subyek penelitian.

Bluestein (2001, dalam Hoekstra, 2010) mengatakan bahwa pengaruh lingkungan dan kondisi kultural dapat menghambat atau memperluas pilihan seseorang dalam kepentingan karirnya. Meskipun ada kemungkinan jurusan pendidikan yang dipelajari belum sesuai dengan keinginannya, namun remaja perempuan pada penelitian ini memiliki kesempatan lebih besar dalam mengeksplorasi informasi tentang dunia kerja, terutama bidang kerja yang sedang dipelajarinya saat ini. Lingkungan pendidikan dari remaja perempuan dalam penelitian ini yakni di Universitas Indonesia mendukung para remaja perempuan dalam mencari, mengelola informasi tentang dunia kerja yang dibutuhkan untuk membuat keputusan karir. Hal ini terlihat dari kegiatan-kegiatan sejenis Career Expo yang rutin diadakan di dalam kampus. Dukungan yang diberikan oleh pihak kampus bagi remaja perempuan dari ibu yang bekerja, mereka memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh informasi dunia kerja.

Kedua, faktor lingkungan sosial di sekitar remaja. Faktor teman sebaya di lingkungannya mempengaruhi perkembangan karir pada remaja, karena remaja cenderung memilih teman sesuai dengan level pendidikan yang setara dengannya (Vandareck & Porfeli, 2003, dalam Santrock, 2012). Remaja dalam dunia pendidikan di perguruan tinggi memiliki kesempatan bersosialisasi dengan beragam kegiatan dan berinteraksi dengan orang lain sehingga remaja perempuan sebagai subyek penelitian ini lebih banyak memiliki kesempatan

(13)

untuk belajar dari pengalaman serta memiliki akses informasi teentang dunia kerja dari dosen, rekan, senior, atau mentor di kampusnya. Selain itu, ketika remaja memiliki teman dengan standar karir yang tinggi, maka mereka akan mengejar status karir yang tinggi pula, meskipun mereka berasal dari keluarga berpendapatan rendah (Simpson, 1962, dalam Santrock, 2012). Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor interaksi dengan orang lain, termasuk dengan teman sebaya, memiliki pengaruh terhadap kematangan karir pada remaja, termasuk pada remaja perempuan yang sedang menjalani pendidikan di perguruan tinggi.

Secara umum, hubungan korelasi yang signifikan antara autonomy dengan kematangan karir pada remaja perempuan akhir juga menguatkan teori psikoanalitik tentang

genuine autonomy dan teori perkembangan karir Super. Pada teori psikoanalitik, autonomy

akan jelas terlihat ketika individu memasuki remaja akhir (Steinberg, 2010). Ketertarikan pada dunia karir juga meningkat ketika individu memasuki masa remaja akhir. Fase eksplorasi dalam kematangan karir disebut merupakan fase penting dalam perkembangan karir individu juga terjadi pada masa remaja akhir. Dari hasil penghitungan statistika, dua variabel tersebut saling berinteraksi pada masa remaja akhir dan memiliki hubungan yang signifikan positif pada beberapa dimensi tertentu.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan pada pertanyaan penelitian, dapat disimpulkan bahwa:

1. Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara attitudinal autonomy, emotional

autonomy, dan functional autonomy dengan dimensi sikap kematangan karir.

2. Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara emotional autonomy dengan dimensi kognitif kematangan karir.

3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan positif antara dimensi attitudinal autonomy dan functional autonomy dengan dimensi kognitif kematangan karir.

Dari hasil yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat keberagaman hubungan korelasional antara tiga dimensi autonomy dengan dua dimensi kematangan karir pada perempuan remaja akhir dari ibu yang bekerja. Selain itu, dimensi-dimensi autonomy lebih banyak berhubungan dengan dimensi sikap kematangan karir daripada dengan dimensi kognitif kematangan karir.

(14)

Saran

Saran yang ingin penulis sampaikan meliputi: 1) kemungkinan penelitian di masa depan, 2) proses pengambilan data, 3) saran praktis. Berikut adalah penjabarannya:

Pertama, penelitian ini menggunakan alat ukur dengan bentuk kuesioner sehingga tidak dapat mengukur kedalaman tingkat autonomy dan kematangan karir pada remaja. Oleh karena itu, perlu dilakukan metode kualitatif seperti wawancara untuk mengetahui seberapa jauh tingkat autonomy dan kematangan karir remaja pada kondisi tertentu. Selain itu, penelitian ini tidak menggunakan alat ukur yang dapat mengukur seberapa jauh keterlibatan ibu terhadap perkembangan autonomy dan kematangan karir pada remaja perempuan, sehingga dapat dilakukan penelitian tentang pengaruh keterlibatan ibu dalam perkembangan

autonomy maupun kematangan karir anak. Penelitian ini memiliki keterbatasan karena tidak

menguji secara statistika perbandingan tingkat autonomy atau tingkat kematangan karir pada perempuan remaja akhir berdasarkan jenis pekerjaan ibu partisipan. Untuk penelitian selanjutnya, dapat dilakukan pengujian perbandingan kematangan karir berdasarkan jenis pekerjaan ibu dapat dilakukan untuk mencari perbedaan pada kelompok remaja tersebut.

Dari segi waktu pelaksanaan, sebaiknya disiapkan ‘Plan B’ jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan ‘Plan A’. Hal tersebut dapat mengurangi kecemasan dan mampu bergerak cepat untuk menanggulangi kondisi yang tidak diinginkan tersebut. Selain itu, waktu penyebaran kuesioner pada fakultas-fakultas yang dituju sebaiknya disebarkan pada waktu yang bersamaan dan diberi batasan hari agar penggunaan waktu selama penelitian tidak habis oleh pengambilan data. Dengan adanya beberapa kuesioner dan data kontrol yang tidak terisi dengan lengkap, maka diperlukan ketelitian yang lebih tinggi agar data tersebut tidak terlewat begitu diperiksa kembali. Adapun cara yang dapat dilakukan pada penelitian berikutnya adalah melakukan koordinasi dengan teman-teman yang membantu menyebarkan agar memeriksa kembali saat kuesioner telah dikembalikan pada teman yang menyebarkan di fakultas masing-masing.

Adapun saran praktis yang diberikan peneliti dalam penelitian ini terutama pada remaja perempuan dari ibu yang bekerja adalah melakukan perencanaan karir sedini mungkin. Perencanaan karir tersebut dapat dilakukan secara mandiri ataupun dengan bantuan orang dewasa, seperti orang tua, dosen, rekan sebaya ataupun konselor pendidikan. Selain itu, remaja perempuan juga harus melakukan eksplorasi dunia kerja seluas-luasnya, baik bersumber dari media massa, media online, atau dengan orang lain agar dapat meningkatkan

(15)

kematangan karir yang berguna bagi proses persiapan memasuki dunia kerja pasca kampus. Selain itu, bagi pihak orang tua maupun pihak yang terlibat dalam perkembangan remaja dapat mendorong aspek autonomy remaja ataupun aspek perkembangan karir dengan cara memberikan akses seluas-luasnya. Disisi lain, orang tua harus tetap mengawasi perkembangan remaja dalam melakukan perencanaan dan mengeksplorasi dunia kerja sehingga remaja mampu menentukan secara mandiri perjalanan karir mereka ke depan. Remaja perempuan sebaiknya meningkatkan kemampuan autonomy dalam hal pengambilan keputusan dan bertindak karena kemampuan tersebut dapat mendorong sikap yang positif dalam perencanaan dan eksplorasi karir.

Daftar Referensi

Betz, N. E., & Fitzgerald, L. F. (1987). The Career Psychology of Women. Florida: Academic Press, Inc.

Brandley, C. S. (2008). Cognitive Autonomy, Identity, Hope, and Educational Aspirations.

(Master’s thesis). Via Proquest. Diakses pada hari Selasa, 13 Mei 2014, Pukul 16:46

Coertse, S., & Schepers, J. M. (2004). Some Personality and Cognitive Correlates of Career Maturity. Journal of Industrial Psychology, 30 (2) , 56-73. Diakses pada hari Minggu,

16 Maret 2014, pukul 13:57, dari:

http://www.sajip.co.za/index.php/sajip/article/viewFile/150/146

Creed, P. A., Patton, W., & Prideaux, L. A. (2007). Predicting Change Over Time in Career Planning and Career Exploration for High School Students. Journal of Adolescence, 30 , 377 – 392. Diakses pada hari Senin, 24 Maret 2014, dari Sciencedirect.com

Creed, P., & Patton, W. (2004). The Development and Validation of a Short Form of the Australian Version of the Career Development Inventory. Australian Journal of

Guidance and Counselling, 14(2) , 125-138.

Hoekstra, H. A. (2010). A Career Roles Model of Career Development. Journal of Vocational

Behavior, 78 , 159 – 173.

Hoffman, L. W., & Nye, F. I. (1984). Working Mothers. California: Jossey-Bass Inc., Publishers.

Isaacson, L. E., & Brown, D. (1997). Career Information, Career Counseling, and Career

Development (6th Edition). USA: Allyn & Bacon, Inc.

Kestenbaum, C. J. (2004). Having It All: The Professional Mother's Dilemma. Journal of the

American Academy of Psychoanalysis and Dynamic Psychiatry, 32 , 117–24.

Marella, A. (2009). Hubungan antara Kematangan Karir dengan Autonomy pada Remaja

Akhir. Skripsi, Program Sarjana Universitas Indonesia, Depok.

Montemayor, R., & Clayton, M. D. (1983). Maternal Employment and Adolescence Development. Theory Into Practice Vol 22, (2) , 112-118.

(16)

Noom, M. J., Dekovic, M., & Meeus, W. (2001). Conceptual Analysis and Measurement of Adolescent Autonomy. Journal of Youth and Adolescence. 30 (5) , 577 – 595. Diakses

pada hari Selasa, 01 April 2014, 00:50. Dari:

http://search.proquest.com/docview/204644234/fulltextPDF/14156EC5DD994143PQ/1 1?accountid=17242

Powell, D. F., & Luzzo, D. A. (1998). Evaluating Factors Associated with the Career Maturity iof High School Students. The Career Development Quarterly, 47 (2) , 145. Diakses pada hari Sabtu, 12 April 2014, dari Proquest.com

Rathus, S. A. (2014). Childhood & Adolescence Voyages in Development (5th Edition). USA: Wadsworth, Cengage Learning.

Santrock, J. W. (2012). Adolescence (14th Edition). New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Santrock, J. W. (2014). Adolescence (15th Edition). New York: McGraw-Hill Education. Steinberg, L. (2010). Adolescence (9th Edition). New York: The McGraw-Hill Companies,

Inc.

Steinberg, L., & Silverberg, S. B. (1986). The Vicissitudes of Autonomy in Early Adolescence. Child Development, 57 , 841-851.

Treas, J., & Tai, T.-o. (2012). Apron Strings of Working Mothers: Maternal Employment and Housework in Cross National Prospective. Social Science Research , 833-842.

Zimmer-Gembeck, M. J., & Mortimer, J. T. (2006). Adolescent Work, Vocational Development, and Education. Review of Educational Research, 76 (4) , 537 – 566. Diakses pada hari Jumat, 09 Mei 2014, 06:43, dari Jstor.com

Gambar

Tabel 2. Hubungan antara autonomy  dengan kematangan karir pada remaja perempuan dari ibu  yang bekerja

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil temuan penelitian yang telah dikemukakan pada Bab IV dapat diketahui bahwa dalam mengemban tugas menjadi kepala sekolah pada lembaga pendidikan,

- Tuhan telah menyediakan Keselamatan untuk semua orang baik yang dipilih- Nya ataupun bukan (Yohanes 3:16 “Allah sangat mengasihi orang didunia ini sehingga Dia memberikan

Hasil penelitian menjelaskan bahwa terdapat ketidakseragaman bentuk penerapan International Financial Reporting Standard (IFRS) sehingga terdapat 4 (empat) kelompok

Jika intervensi Iontophoresis dengan xylocaine 2% dikombinasikan dengan tehnik myofascial release maka akan memberikan efek yang lebih baik terhadap disabilitas leher yang

Sasaran tindakan pada penelitian yang berjudul “ Penggunaan Media Papan Angka Dalam Meningkatkan Kemampuan Mengurutkan Bilangan Asli Sampai 100 Pada Anak Tunarungu Kelas

Untuk menganalisis perkembangan kemampuan keuangan daerah di Kota Blitar pada tahun 2008-2012 dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah dilihat dari rasio

Apakah terdapat pengaruh Capital Adequacy Ratio, Non Performing Loan, Return On Asset baik secara parsial maupun bersama-sama Terhadap Penyaluran Kredit Pada

janganlah tergila-gila karena uang. Dan janganlah sia-siakan waktu untuk keluarga dan orang lain karena mencari uang. sebuah sapaan yang khas dari seorang ustadz