• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI ANALISIS PERBANDINGAN POTENSI DENGAN REALISASI PENERIMAAN PAJAK RESTORAN TAHUN DI KOTA MAKASSAR CYNTHIA UTAMI PITOYO PHIE

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SKRIPSI ANALISIS PERBANDINGAN POTENSI DENGAN REALISASI PENERIMAAN PAJAK RESTORAN TAHUN DI KOTA MAKASSAR CYNTHIA UTAMI PITOYO PHIE"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

ANALISIS PERBANDINGAN POTENSI DENGAN REALISASI

PENERIMAAN PAJAK RESTORAN TAHUN 2010-2014

DI KOTA MAKASSAR

CYNTHIA UTAMI PITOYO PHIE

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

(2)

ii

SKRIPSI

ANALISIS PERBANDINGAN POTENSI DENGAN REALISASI

PENERIMAAN PAJAK RESTORAN TAHUN 2010-2014

DI KOTA MAKASSAR

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

disusun dan diajukan oleh

CYNTHIA UTAMI PITOYO PHIE

A31111285

kepada

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2015

(3)

iii

SKRIPSI

ANALISIS PERBANDINGAN POTENSI DENGAN REALISASI

PENERIMAAN PAJAK RESTORAN TAHUN 2010-2014

DI KOTA MAKASSAR

disusun dan diajukan oleh

CYNTHIA UTAMI PITOYO PHIE A31111285

telah diperiksa dan disetujui untuk diuji

Makassar, 6 Agustus 2015

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Yohanis Rura ,SE., M.SA., Ak., CA Dra. Hj. Nurleni, M.Si., Ak., CA NIP 19611128 198811 1 001 NIP 19590818 198702 2 001

Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Hasanuddin

Dr. Hj. Mediaty, SE, M.Si, Ak., CA NIP 19650925 199002 2 001

(4)

iv

SKRIPSI

ANALISIS PERBANDINGAN POTENSI DENGAN REALISASI

PENERIMAAN PAJAK RESTORAN TAHUN 2010-2014

DI KOTA MAKASSAR

disusun dan diajukan oleh

CYNTHIA UTAMI PITOYO PHIE

A31111285

telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi pada tanggal 20 Agustus 2015 dan dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan

Menyetujui, Panitia Penguji

No. Nama Penguji Jabatan Tanda Tangan 1. Dr. Yohanis Rura, SE., M.SA., Ak., CA. Ketua 1 ... 2. Dra. Hj. Nurleni, M.Si., Ak., CA Sekretaris 2 ... 3. Drs. Rusman Thoeng, M.Com.,BAP., Ak., CA Anggota 3 ... 4. Drs. Haerial, M.Si., Ak., CA Anggota 4 ... 5. Drs. Deng Siraja, M.Si., Ak., CA. Anggota 5 ...

Ketua Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Hasanuddin

Dr. Hj. Mediaty, SE, M.Si, Ak., CA NIP 19650925 199002 2 001

(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

nama : Cynthia Utami Pitoyo Phie

NIM : A31111285

jurusan/program studi : Akuntansi

dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul:

Analisis Perbandingan Potensi dengan Realisasi Penerimaan Pajak Restoran Tahun 2010-2014 di Kota Makassar

adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (UU No.20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Makassar, Agustus 2015

Yang membuat pernyataan,

Cynthia Utami Pitoyo Phie

(6)

vi

PRAKATA

Segala puji syukur peneliti panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus atas berkat, pimpinan dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Perbandingan Potensi dengan Realisasi Penerimaan

Pajak Restoran Tahun 2010-2014 di Kota Makassar. Skripsi ini merupakan

tugas akhir untuk mencapai gelar Sarjana Ekonomi (SE) pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin.

Dalam kesempatan ini juga, peneliti menyampaikan rasa terima kasih yang setulusnya kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, usaha, bimbingan serta dorongan moral sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Dengan ini ucapan terima kasih dan penghargaan peneliti sampaikan kepada :

1. Orangtua tercinta Ronny Pitoyo dan Siu Ling, serta adik-adik peneliti William Utomo Pitoyo dan Winston Dwitomo Pitoyo yang selalu mendampingi dan selalu ikut mendoakan.

2. Bapak Dr. Yohanis Rura,SE., M.SA., Ak., CA selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dra. Hj. Nurleni, M.Si., Ak., CA selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktunya yang sangat berharga untuk membimbing dan mengarahkan peneliti, sejak dari pemilihan judul sampai dengan penyelesaian penulisan skripsi ini.

3. Ibu Dra. Andi Kusumawati, SE., M.Si selaku Penasihat Akademik yang telah memberikan arahan dan nasihat sejak awal kuliah sampai saat peneliti memprogramkan skripsi ini.

4. Seluruh dosen beserta staf/pegawai Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah banyak memberikan bantuan dan arahan kepada peneliti selama perkuliahan.

(7)

vii

5. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar beserta staf atas kesediaannya menerima peneliti untuk melakukan penelitian dan memperoleh data-data di instansi DISPENDA.

6. Teman-teman I11inois, sahabat-sahabat di kampus, sahabat-sahabat sedari SMA, memberi dukungan dan turut mendoakan peneliti hingga penyelesaian skripsi.

7. Teman-teman PMKO dan KMKE.

8. Teman-teman KKN angkatan 87 dan seluruh masyarakat Desa Pebaloran, Kec. Curio, Kab. Enrekang.

9. Serta seluruh pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu.

Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna walaupun telah menerima bantuan dari berbagai pihak. Dan apabila terdapat kesalahan-kesalahan dalam skripsi ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab peneliti dan bukan para pemberi bantuan. Kritik dan saran yang membangun akan lebih menyempurnakan skripsi ini.

Makassar, Juli 2015

(8)

viii

ABSTRAK

Analisis Perbandingan Potensi dengan Realisasi Penerimaan Pajak Restoran Tahun 2010-2014 di Kota Makassar

Analysis of the Comparison of Potency with Realization Restaurant Tax in 2010-2014 at Makassar City

Cynthia Phie Yohanis Rura

Nurleni

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbandingan potensi dan realisasi penerimaan pajak restoran tahun 2010-2014 di Kota Makassar. Data diperoleh dari Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar. Pajak restoran merupakan salah satu sumber penerimaan asli daerah yang digunakan untuk mendukung pembangunan daerah, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang pertumbuhan, besar potensi dan realisasi serta tingkat efektivitas pemungutan pajak restoran. Jenis penelitian adalah deskriptif. Data yang digunakan adalah data sekunder. Hasil analisis menunjukkan rata-rata laju pertumbuhan wajib pajak restoran sebesar 9,31% dan rata-rata laju pertumbuhan penerimaan pajak restoran sebesar 35,64%. Pengelolaan pemungutan pajak restoran Kota Makassar selama periode tahun 2010-2014 telah efektif, dengan rata-rata tingkat efektivitas sebesar 97,74%. Namun terdapat potential loss senilai rata-rata Rp11.120.805.360 tiap tahun. Dari hasil analisis, dapat diperoleh saran yaitu DISPENDA harus lebih bisa menggali potensi penerimaan pajak restoran baik dengan cara ekstensifikasi pajak maupun intensifikasi pajak.

Kata kunci : Pertumbuhan, Potensi, Realisasi, Efektivitas, Pajak Restoran

This study aimed to analyze the comparison of potential and realization restaurant tax in 2010-2014 restaurant at Makassar City. Data obtained from the Regional Revenue Office of Makassar. Restaurant tax is a source of locally generated revenues that used to support local development, so it is necessary to do research on growth, potential amount and actual effectiveness level of restaurant tax collection. The type of this research is descriptive. The data used is secondary data. The analysis showed an average growth rate of restaurant taxpayer at 9,31% and the average rate of revenue growth of restaurant tax at 35,64%. Management of restaurant tax collection in Makassar during the period 2010-2014 has been effective, with an average effectiveness rate at 97.74%. But there are potential losses worth an average Rp11.120.805.360 each year. The results of the analysis, can be obtained advice that DISPENDA should be able to explore the potential restaurant tax revenue either by way of extensification or intensification tax.

(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv PERNYATAAN KEASLIAN... v PRAKATA ... vi ABSTRAK ... viii DAFTAR ISI ... ix DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 8 1.3 Tujuan Penelitian ... 9 1.4 Kegunaan Penelitian ... 9 1.5 Sistematika Penulisan ... 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 12

2.1 Landasan Teori ... 12

2.1.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah ... 12

2.1.2 Dasar-Dasar Perpajakan... 14

2.1.2.1 Pengertian Pajak ... 14

2.1.2.2 Fungsi Pajak ... 16

2.1.2.3 Pembedaan dan Pembagian Jenis Pajak .... 16

2.1.2.4 Asas-Asas Pemungutan Pajak... 19

2.1.2.5 Syarat Pemungutan Pajak ... 22

2.1.2.6 Sistem Pemungutan Pajak ... 23

2.1.3 Pajak Daerah ... 24

2.1.3.1 Pengertian Pajak Daerah ... 24

2.1.3.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah ... 25

2.1.3.3 Tolok Ukur Penilaian Suatu Pajak Daerah .. 25

2.1.3.4 Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak Daerah 27 2.1.3.5 Target Pendapatan Daerah ... 27

2.1.4 Pajak Restoran ... 28

2.1.4.1 Pengertian Pajak Restoran ... 28

2.1.4.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Restoran 29 2.1.4.3 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Restoran ... 31

2.1.4.4 Masa Pajak, Tahun Pajak, Saat Terutang Pajak, dan Wilayah Pemungutan Pajak Restoran ... 31

2.1.4.5 Penetapan Pajak Restoran ... 33

2.1.4.6 Pembayaran dan Penagihan Pajak Restoran 36 2.1.5 Restoran ... 38

2.1.6 Potensi ... 40

2.1.7 Realisasi ... 41

2.2 Penelitian Terdahulu ... 42

(10)

x

BAB III METODE PENELITIAN ... 45

3.1 Rancangan Penelitian... 45

3.2 Tempat dan Waktu ... 45

3.3 Jenis dan Sumber Data ... 45

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.5 Variabel Penelitian ... 46

3.6 Metode Analisis Data ... 47

BAB VI HASIL PENELITIAN ... 51

4.1 Gambaran Umum Kota Makassar ... 51

4.1.1 Kondisi Geografis ... 51

4.1.2 Luas Wilayah ... 52

4.2 Gambaran Umum Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar ... 52

4.2.1 Sejarah Singkat Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar ... 52

4.2.2 Visi dan Misi Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar ... 53

4.2.3 Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar ... 54

4.2.4 Struktur Organisasi Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar ... 55

4.2.5 Uraian Tugas Jabatan Struktural pada Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar ... 56

4.3 Hasil Penelitian ... 61

4.3.1 Sistem Pemungutan Pajak Restoran di Kota Makassar... 61

4.3.2 Analisis Laju Pertumbuhan Penerimaan Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2010-2014 ... 62

4.3.3 Analisis Realisasi Penerimaan Pajak Restoran Kota Makassar Tahun 2010-2014 ... 64

4.3.4 Analisis Potensi Penerimaan Pajak Restoran bagi PAD Kota Makassar ... 66

4.3.5 Analisis Tingkat Efektivitas Pemungutan Pajak Restoran Tahun 2010-2014 ... 75 BAB V PENUTUP ... 79 5.1 Kesimpulan ... 80 5.2 Saran ... 80 5.3 Keterbatasan Penelitian ... 81 DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN ... 84

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1.1 Realisasi Pajak Restoran Kota Makassar Tahun 2005-2012 ... 6

1.2 Jumlah Wajib Pajak Restoran Tahun di Kota Makassar ... 7

1.3 Target dan Realisasi Pajak Restoran di Kota Makassar... 8

2.1 Penelitian Terdahulu ... 42

4.1 Luas Wilayah dan Pembagian Daerah Administrasi di Kota Makassar ... 52

4.2 Data Wajib Pajak Restoran Tahun 2010-2014 ... 62

4.3 Laju Pertumbuhan Penerimaan Pajak Restoran ... 64

4.4 Jumlah Wajib Pajak Restoran di Kota Makassar ... 67

4.5 Uraian Jumlah Wajib Pajak Restoran di Kota Makassar ... 67

4.6 Perhitungan Potensi Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2010 ... 68

4.7 Perhitungan Potensi Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2011 ... 69

4.8 Perhitungan Potensi Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2012 ... 69

4.9 Perhitungan Potensi Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2013 ... 70

4.10 Perhitungan Potensi Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2014 ... 70

4.11 Potensi Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2010-2014 ... 71

4.12 Perbandingan Target Penerimaan dengan Potensi Penerimaan Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2010-2014 ... 71 4.13 Perbandingan Realisasi Penerimaan dengan Potensi Penerimaan

(13)

xiii

Pajak Restoran di Kota Makassar Tahun 2010-2014 ... 72 4.14 Efektivitas Penerimaan Pajak Restoran Kota Makassar Tahun

2010-2014 ... 75 4.15 Efektivitas Pengelolaan Pajak Restoran Kota Makassar Tahun

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Struktur Organisasi Dinas Pendapatan Daerah ... 85

Lampiran 2 Target dan Realisasi Pajak Restoran 2010 ... 86

Lampiran 3 Target dan Realisasi Pajak Restoran 2011 ... 87

Lampiran 4 Target dan Realisasi Pajak Restoran 2012 ... 88

Lampiran 5 Target dan Realisasi Pajak Restoran 2013 ... 89

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara. Iqbal (2015) menyimpulkan “tidak bisa dipungkiri bahwa pajak menjadi ujung tombak pembangunan di suatu negara, terlebih di Indonesia yang menyumbang hingga 70% dari seluruh pendapatan negara. Pajak memiliki peran yang sangat besar dalam pembangunan”.

Pembangunan infrastruktur, biaya pendidikan, biaya kesehatan, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), pembayaran gaji para pegawai negara, dan pembangunan fasilitas publik sebagian besar dibiayai dari pajak. Semakin banyak pajak yang dipungut maka semakin banyak fasilitas dan infrastruktur yang dapat dibangun.

Sistem pemungutan pajak di Indonesia berlandaskan undang-undang. Dalam rangka untuk melakukan pemerataan pembangunan di seluruh penjuru tanah air, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Penyempurnaan ini disebabkan sejak tahun 1999, pembagian pajak menurut wewenang pemungutan pajak dipisahkan menjadi pajak pusat dan pajak daerah.

Selanjutnya pemerintah memberlakukan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berdampak luas bagi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah memberikan implikasi bagi daerah yakni berupa kewenangan untuk mengelola sumber daya yang dimiliki serta kewajiban untuk melaksanakan kegiatan pemerintahan secara lebih mandiri. Undang-Undang ini

(16)

3

juga mengenai desentralisasi keuangan yakni daerah memiliki konsekuensi untuk mengelola keuangan daerahnya secara mandiri.

Dalam usaha menopang eksistensi ekonomi daerah yang sejahtera, mandiri, maju, dan berkeadilan, suatu daerah dihadapkan pada suatu tantangan dalam mempersiapkan strategi dalam perencanaan pembangunan yang akan diambil. Diberlakukannya undang-undang otonomi daerah memberi peluang yang lebih besar bagi daerah untuk menggali potensi sumber-sumber penerimaan daerah dibanding peraturan-peraturan sebelumnya yang lebih banyak memberi keleluasaan pada pemerintah pusat.

Indikasi terhadap peningkatan pembiayaan ditujukan kepada realisasi pendapatan daerah agar dapat membiayai belanja rutin dan belanja pembangunan yang merupakan kewenangan daerah. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya agar pemerintah daerah dapat meningkatkan pendapatannya. Hal tersebut dapat dicapai dengan perencanaan yang terintegrasi serta pemanfaatan potensi daerah yang ada. Salah satu potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) yakni melalui pemungutan pajak daerah.

Untuk mendukung optimalisasi PAD diperlukan usaha-usaha untuk meningkatkan kemampuan keuangan sendiri yakni dengan upaya peningkatan penerimaan PAD baik dengan meningkatkan penerimaan sumber PAD yang sudah ada maupun dengan penggalian sumber PAD yang baru sesuai dengan ketentuan yang ada serta memperhatikan kondisi dan potensi ekonomi masyarakat.

Namun demikian, usaha untuk menggali sumber-sumber pendapatan daerah mengalami berbagai kendala baik dari segi keterbatasan sumber dana itu sendiri maupun dari segi kemampuan, dan sistem pengelolaan serta pengadministrasiannya. Kondisi dan permasalahan yang ditemui dalam pengelolaan keuangan dan pendapatan daerah pada masing-masing daerah

(17)

tidak sama karena menyangkut tersedianya sumber daya alam, tingkat kemajuan suatu daerah, dan kemampuan sumber daya manusia yang ada.

Riady (2010:20) menyimpulkan “pajak sebagai salah satu sumber pendapatan daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah daerah”. Secara umum pajak merupakan komponen penerimaan negara yang paling besar dan sangat menentukan terutama dalam membiayai pembangunan. Hal ini dikarenakan pajak dapat dikenakan dan bahkan dipaksakan kepada semua warga negara yang telah memenuhi ketentuan yang berlaku sesuai undang-undang. Sedangkan bagi daerah, pajak merupakan bukti nyata peran aktif masyarakat dalam membiayai roda pemerintahan dan pembangunan daerahnya. Pemungutan ini juga harus dapat dipahami oleh masyarakat sebagai sumber penerimaan yang dibutuhkan oleh daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Berdasarkan uraian di atas maka suatu daerah sangat membutuhkan keuangan daerah guna membiayai penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah terkait dana pembangunan daerah yang dituangkan dalam APBD setiap tahunnya.

Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2000, pemerintah pusat secara tegas telah membagi atau mengklasifikasikan kewenangan memungut pajak yakni Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Khusus untuk pajak daerah, Pemerintah Pusat membagi lagi menjadi dua, yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Setiap tingkatan pemerintah hanya dapat memungut pajak yang ditetapkan menjadi kewenangannya, dan tidak boleh memungut pajak yang bukan kewenangannya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya tumpang tindih (perebutan kewenangan) dalam pemungutan pajak terhadap masyarakat.

Mengenai hal tersebut, pemerintah pusat telah menuangkannya dalam bentuk undang-undang yaitu UU Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009

(18)

5

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam pasal 2 disebutkan bahwa Pajak Daerah dibagi menjadi dua jenis yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.

Pajak provinsi terdiri dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak air permukaan, dan pajak rokok. Pajak kabupaten/kota terdiri dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, dan bea berolehan hak atas tanah dan bangunan.

Jenis wewenang dalam memungut pajak pusat dilakukan oleh Departemen Keuangan yang dalam hal ini adalah Direktorat Jendral Pajak, sedangkan kewenangan dalam memungut pajak daerah diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing yang dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Pendapatan Kota/Daerah.

Terkait dengan sumber daya ekonomi bagi masing-masing daerah, terbitlah UU Nomor 28 Tahun 2009 yang mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Namun pajak daerah tersebut tidak semua terlaksana secara baik dan efisien. Hal ini dikarenakan di beberapa pemerintah daerah, penerimaan yang potensial hanya bersumber dari beberapa jenis pajak saja, misalnya Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan atau Pajak Reklame saja.

Salah satu jenis pajak yang potensinya semakin berkembang seiring dengan meningkatnya bisnis rekreasi atau pariwisata dan makin diperhatikannya komponen pendukung yaitu sektor jasa dan pariwisata dalam kebijakan pembangunan daerah yakni Pajak Restoran. Pada awalnya menurut UU Nomor 18 Tahun 1997, Pajak Hotel disamakan dengan Pajak Restoran dengan nama Pajak Hotel dan Restoran. Namun dengan adanya perubahan undang-undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi, dikeluarkannya UU Nomor 34 Tahun 2000

(19)

dan sekarang telah disempurnakan dengan UU Nomor 28 Tahun 2009, Pajak Hotel dan Pajak Restoran dipisahkan menjadi jenis pajak yang berdiri sendiri yang mengindikasikan besarnya potensi akan keberadaan kedua pajak ini dalam pembangunan suatu daerah. Berdasarkan undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa pajak restoran adalah pajak atas pelayanan restoran.

Pajak Restoran di Kota Makassar diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2010. Disebutkan dalam Perda tersebut, restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering.

Kota Makassar adalah ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan kota terbesar di kawasan Indonesia Timur dan wilayah metropolitan terbesar kedua di luar Pulau Jawa, setelah Kota Medan. Hal ini menunjukan bahwa Kota Makassar merupakan daerah yang strategis untuk menanamkan modal dan membuka usaha.

Sektor perdagangan dan pariwisata merupakan salah satu sektor potensial di Kota Makassar, sehingga diharapkan kontribusi yang diberikan oleh sektor perdagangan khususnya restoran dapat memacu pembangunan ekonomi di Kota Makassar yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, Kota Makassar juga memiliki cukup banyak spot pariwisata dan potensi alam yang cukup besar yang dapat dikembangkan untuk menambah jumlah penerimaan daerah.

Pajak Restoran kemudian menjadi salah satu sumber penerimaan daerah terbesar dalam pajak daerah. Berdasarkan data dari DISPENDA Kota Makassar, penerimaan Pajak Restoran terus mengalami peningkatan tiap tahunnya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.1 di bawah ini.

(20)

7

Tabel 1.1

Realisasi Pajak Restoran Kota Makassar Tahun 2005-2012

No. Tahun Realisasi (Rp) Keterangan

1 2005 14.663.142.255 Pajak Hotel dan Restoran 2 2006 16.853.973.302 Pajak Hotel dan Restoran 3 2007 19.164.944.764 Pajak Hotel dan Restoran 4 2008 23.272.052.899 Pajak Hotel dan Restoran 5 2009 27.484.304.000 Pajak Hotel dan Restoran 6 2010 31.064.747.328 Pajak Restoran 7 2011 36.014.223.069 Pajak Restoran 8 2012 42.965.891.390 Pajak Restoran

Sumber : data sekunder, diolah Januari 2015

Juga tercatat dari tahun 2010 hingga tahun 2012, usaha restoran di Makassar terus mengalami peningkatan dan jumlahnya sudah ratusan. Pada tahun 2010, jumlah restoran di Kota Makassar yang masuk dalam data DISPENDA Kota Makassar mencapai 651 restoran. Kemudian bertambah di tahun 2011 menjadi 675 restoran. Dan pada tahun 2012 bertambah menjadi 721 restoran. Agar lebih jelas, penulis merincikannya dalam Tabel 1.2 berikut ini.

(21)

Tabel 1.2

Jumlah Wajib Pajak Restoran Tahun di Kota Makassar No. Uraian Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012

1 Restoran 102 97 103 2 Rumah Makan 165 168 183 3 Cafe 138 140 154 4 Catering 7 6 5 5 Bar 12 10 12 6 Warung Nasi 35 36 35 7 Coto/Sop 36 34 34 8 Karaoke 41 43 41 9 Mie 67 69 74 10 Rumah Kopi 65 66 75 11 Minuman Dingin 6 6 6 12 Kaki Lima - - - Total 674 675 723

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar

Lahan-lahan yang awalnya kurang produktif dimanfaatkan menjadi sebuah usaha yang berpenghasilan dan memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Kota Makassar. Terlebih memiliki manfaat dalam pembangunan kota yang terlihat dari peningkatan pemasukan pajak yang berasal dari penggunaan transaksi pelayanan restoran.

Khusus untuk wajib Pajak Restoran yang berasal dari Pedagang Kaki Lima (PKL) tidak dimasukkan ke dalam data wajib pajak karena sudah dilakukan penagihan setiap hari. Batas untuk tidak kena pajak, nilai penjualannya tidak melebihi Rp.250.000,- perhari baik restoran harian maupun retribusi harian. Pajak Restoran harian menggunakan benda berharga/karcis. Adapun target dan realisasi pajak restoran ditunjukkan pada Tabel 1.3 di bawah ini.

(22)

9

Tabel 1.3

Target dan Realisasi Pajak Restoran di Kota Makassar

Tahun Target Realisasi Persentase 2010 33.817.110.000 29.226.983.069 86,42 2011 36.317.109.996 36.014.223.069 99,16 2012 44.697.366.000 42.964.316.389 96,12 Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar

Hasil pengamatan awal di lapangan diketahui bahwa telah terjadi perkembangan jumlah restoran yang signifikan dari tahun ke tahun. Sementara itu, persentase target dan realisasi penerimaan Pajak Restoran dari tahun ke tahun juga mengalami fluktuasi. Oleh sebab itu, sangat dimungkinkan terjadinya

potential loss dari sisi penetapan target tahunan Pajak Restoran dan hal tersebut

tentu saja akan berdampak pada realisasi serta efektivitas penerimaan Pajak Restoran dari tahun ke tahun.

Berangkat dari penjelasan yang ada, merupakan suatu hal menarik untuk mengkaji lebih jauh dan mengangkat judul penelitian “Analisis

Perbandingan Potensi dan Realisasi Pajak Restoran Tahun 2010-2014 di

Kota Makassar”.

1.2 Rumusan Masalah

Besarnya penerimaan pajak daerah tergantung pada potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, dengan adanya kebijakan otonomi, maka masing-masing daerah harus berupaya untuk menggali potensi yang dimiliki. Kota Makassar sebagai salah satu kota terbesar di Indonesia dan merupakan pintu masuk utama ke kawasan Indonesia Timur, membuat Kota Makassar memiliki salah satu dampak perkembangan perekonomian yang cukup pesat dan dinilai tepat untuk meningkatkan penerimaan dari sisi pajak daerah, sehingga dapat meningkatkan sumber pembiayaan pembangunan daerah.

(23)

Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu telah terjadi perkembangan jumlah restoran yang signifikan dari tahun ke tahun. Sementara itu, target dan realisasi penerimaan Pajak Restoran mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Gambaran ini mengindikasikan sangat dimungkinkan terjadinya potential loss dari sisi penetapan target tahunan Pajak Restoran dan hal tersebut tentu saja akan berdampak pada realisasi serta efektivitas penerimaan Pajak Restoran dari tahun ke tahun.

Berdasarkan masalah tersebut dapat disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut.

1. Bagaimana pertumbuhan penerimaan Pajak Restoran di Kota Makassar tahun 2010-2014?

2. Seberapa besar potensi dan realisasi penerimaan Pajak Restoran bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Makassar?

3. Bagaimana tingkat efektivitas pemungutan Pajak Restoran di Kota Makassar tahun 2010-2014?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis pertumbuhan penerimaan Pajak Restoran di Kota Makassar tahun 2010-2014.

2. Menganalisis besar potensi dan realisasi penerimaan Pajak Restoran bagi PAD Kota Makassar.

3. Menganalisis tingkat efektivitas pemungutan Pajak Restoran yang dilakukan oleh DISPENDA Kota Makassar tahun anggaran 2010-2014.

1.4 Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoretis

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.

(24)

11

2. Kegunaan Praktis

Diharapkan dapat memberikan informasi tentang potensi, efektivitas serta sejauh mana Pemerintah Daerah Kota Makassar dalam pelaksanaan pemungutan Pajak Restoran.

3. Kegunaan Kebijakan

Bagi pembuat kebijakan, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan dasar pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan mengenai pajak daerah dalam rangka meningkatkan penerimaan daerah khususnya melalui pengembangan potensi restoran.

1.5 Sistematika Penulisan

Dalam laporan penelitian ini, sistematika pembahasan terdiri atas tiga

bab, masing-masing uraian yang secara garis besar dapat diterangkan sebagai berikut.

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan landasan teori yang berkaitan dengan pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD), pajak secara umum, pajak daerah, pajak restoran, potensi, realisasi, dan juga mengenai penelitian terdahulu serta kerangka pikir.

BAB III : METODE PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai rancangan penelitian, tempat dan waktu penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta metode analisis data.

(25)

BAB IV : HASIL PENELITIAN

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai metode penelitian yang memuat gambaran umum lokasi penelitian, analisis deskripsif dan hasil pengelolaan data dalam penelitian.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai kesimpulan penelitian, saran dan keterbatasan dalam penelitian.

(26)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Pengertian Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode anggaran tertentu (UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pendapatan daerah berasal dari penerimaan dana perimbangan pusat dan daerah, juga yang berasal dari daerah itu sendiri yaitu pendapatan asli daerah serta lain-lain pendapatan yang sah.

Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah adalah sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan (UU Nomor 32 Tahun 2004).

Pengertian Pendapatan Asli Daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yaitu sumber keuangan daerah yang digali dari wilayah daerah yang bersangkutan yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dikategorikan pendapatan rutin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pendapatan Asli Daerah merupakan suatu pendapatan yang menunjukkan suatu kemampuan daerah menghimpun sumber-sumber dana untuk membiayai kegiatan rutin maupun pembangunan. Jadi pengertian dari Pendapatan Asli Daerah dapat dikatakan

(27)

sebagai pendapatan rutin dari usaha-usaha pemerintah daerah dalam memanfaatkan potensi sumber keuangan daerahnya untuk membiayai tugas dan tanggung jawabnya.

Menurut Kusuma dan Solihin (2002:171) mengemukakan bahwa “PAD adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.“

PAD adalah pendapatan daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi (Kamaluddin, 2000 dalam Trywilda, 2011:9).

Sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah dan lain-lain Penerimaan yang sah. PAD merupakan sumber keuangan daerah yang digali dalam wilayah daerah yang bersangkutan, yang terdiri dari sebagai berikut. a. Pajak Daerah

Pajak Daerah ialah pungutan daerah menurut peraturan daerah yang digunakan untuk membiayai urusan rumah tangga daerah sebagai badan hukum publik.

b. Retribusi Daerah

Retribusi Daerah ialah pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa atau pekerjaan atau pelayanan pemerintah daerah dan jasa usaha milik daerah bagi yang berkepentingan atas jasa yang diberikan oleh daerah baik langsung maupun tidak langsung.

(28)

14

Bagian Laba Badan Usaha Milik Daerah ialah bagian keuntungan atau laba bersih dari perusahaan daerah atas badan lain yang merupakan badan usaha milik daerah.

d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah

Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah ialah penerimaan selain yang disebutkan di atas tetapi sah. Penerimaan ini mencakup sewa rumah dinas daerah, sewa gedung dan tanah milik daerah, jasa giro, hasil penjualan barang-barang bekas milik daerah dan penerimaan lain yang sah menurut undang-undang.

2.1.2 Dasar-Dasar Perpajakan 2.1.2.1 Pengertian Pajak

Pembangunan nasional adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik materiil maupun spiritual. Dalam suatu negara pastilah terdapat pemerintahan yang berperan mengatur kepentingan masyarakat dan dalam menjalankan roda pemerintahan diperlukan biaya yang jumlahnya sangat besar untuk memperlancar jalannya pemerintahan tersebut. Biaya itu berasal dari pendapatan-pendapatan pemerintah, yang salah satunya bersumber dari pajak.

Pajak adalah iuran kepada kas negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (Adriani, 1991 dalam Putra, 2013:19).

Pajak adalah pungutan wajib, biasanya berupa uang yang harus dibayar oleh penduduk sebagai sumbangan wajib kepada negara atau pemerintah

(29)

sehubungan dengan pendapatan, pemilikan, harga beli barang, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008:658).

Soemitro mengatakan pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir kepada sektor pemerintahan) berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dan dapat ditunjuk untuk membiayai pengeluaran umum (Soemitro, 1990 dalam Waluyo 2008:3).

Secara politik, pajak merupakan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dan pertahanan menuju masyarakat yang berkeadilan. Oleh karena itu, pajak merupakan alat yang paling efektif dari kebijakan fiskal untuk menggerakkan partisipasi rakyat kepada negara. Dari sudut pandang ekonomi, pajak merupakan alat untuk menggerakkan ekonomi yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari sudut pandang hukum, pajak adalah masalah keuangan negara, sehingga diperlukan peraturan-peraturan pemerintah untuk mengatur permasalahan keuangan negara.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak sebagai berikut.

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan karena mempunyai kekuatan hukum.

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah, di mana swasta atau pihak lain tidak boleh memungut.

3. Pajak dipungut oleh negara, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukan masih terdapat surplus, diperuntukan untuk membiayai public

(30)

16

2.1.2.2 Fungsi Pajak

Terdapat 2 (dua) fungsi pajak, yaitu fungsi penerimaan dan fungsi mengatur (Waluyo, 2008:6).

1. Fungsi Penerimaan (Budgetary)

Pajak mempunyai fungsi budgetary artinya pajak merupakan salah satu sumber penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukkan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut ditempuh dengan cara ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak.

2. Fungsi Mengatur (Regulatory)

Pajak mempunyai fungsi mengatur artinya pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, dan mencapai tujuan-tujuan di luar bidang keuangan. Sebagai fungsi

regulatory, yaitu mengatur perekonomian guna menuju pertumbuhan ekonomi

yang lebih cepat, mengadakan distribusi pendapatan serta stabilitas ekonomi.

2.1.2.3 Pembedaan dan Pembagian Jenis Pajak

Terdapat berbagai macam jenis pajak yang dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pengelompokkan menurut golongan, menurut sifatnya, dan menurut lembaga pemungutnya (Waluyo, 2008:12).

1. Menurut Golongan a. Pajak Langsung

Dalam pengertian ekonomis, pajak langsung adalah pajak yang harus dipikul dan ditanggung oleh wajib pajak dan tidak bisa dibebankan kepada pihak lain. Dalam pengertian administratif, pajak langsung adalah pajak yang dipungut

(31)

secara berkala. Contoh: Pajak Penghasilan. Pajak Penghasilan dibayar atau ditanggung oleh pihak-pihak tertentu yang memperoleh penghasilan tersebut. b. Pajak Tidak Langsung

Dalam pengertian ekonomis, pajak tidak langsung adalah pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Sedangkan dalam pengertian administratif, pajak tidak langsung terjadi jika terjadi suatu kegiatan, peristiwa, perbuatan yang menyebabkan terutangnya pajak, misal terjadi penyerahan barang atau jasa.

Contoh: Pajak Pertambahan Nilai, Bea Materai, Bea Balik Nama.

Untuk menentukan apakah sesuatu termasuk pajak langsung atau pajak tidak langsung dalam arti ekonomis, dilakukan dengan melihat ketiga unsur yang terdapat dalam kewajiban pemenuhan perpajakannya. Ketiga unsur tersebut terdiri atas:

a. Penanggung jawab pajak, adalah orang yang secara formal yuridis diharuskan melunasi pajak.

b. Penanggung pajak, adalah orang yang dalam faktanya memikul dulu beban pajaknya.

c. Pemikul pajak, adalah orang yang menurut maksud pembuat undang-undang harus dibebani pajak.

Jika ketiga unsur tersebut ditemukan pada seseorang maka pajaknya disebut pajak langsung, sebaliknya jika unsur tersebut terpisah atau terdapat pada lebih dari satu orang, maka pajaknya disebut pajak tidak langsung.

2. Menurut Sifatnya a. Pajak Subyektif

Pajak Subjektif adalah pajak yang memperhatikan pertama-tama keadaan pribadi wajib pajak untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan

(32)

18

alasan-alasan yang objektif yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya, yaitu yang disebut gaya pikul. Contoh: Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif

Pajak Objektif pertama-tama melihat kepada objeknya baik itu berupa benda, dapat pula berupa keadaan, perbuatan atau peristiwa yang mengakibatkan timbulnya kewajiban membayar, kemudian barulah dicari subjeknya (orang atau badan hukum) yang bersangkutan langsung, dengan tidak mempersoalkan apakah subjek pajak ini berdomisili di Indonesia ataupun tidak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. 3. Menurut Lembaga Pemungut

a. Pajak Negara (Pajak Pusat)

Pajak Negara atau Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh departemen keuangan dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara.

1) Pajak yang dipungut oleh Dirjen Pajak a) Pajak Penghasilan

b) Pajak Bumi dan Bangunan c) Bea Materai

2) Pajak yang dipungut Bea Cukai (Dirjen Bea Cukai) a) Barang impor dari luar negeri

b) Bea Cukai dikenakan juga atas hasil tembakau dan minuman beralkohol b. Pajak Daerah

Pajak Daerah yaitu pajak-pajak yang dipungut oleh daerah seperti propinsi, kabupaten maupun kota berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasilnya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah masing-masing. Pajak Daerah terdiri dari:

(33)

Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok.

2) Pajak Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota)

Contoh: Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan perkotaan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

2.1.2.4 Asas-Asas Pemungutan Pajak

Dalam proses pemungutan pajak baik yang dikelola pemerintah pusat maupun pemerintah daerah selalu berpedoman pada asas-asas pemungutan pajak (Waluyo, 2008:16) yaitu:

1. Asas Domisili (Tempat Tinggal)

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan. Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik yang berasal dari dalam negeri maupun berasal dari luar negeri. Setiap wajib pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia.

2. Asas Kebangsaan

Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Suatu negara akan memungut pajak kepada setiap orang yang mempunyai hubungan kebangsaan atas suatu negara yang bersangkutan tanpa memandang apakah bertempat tinggal di dalam negeri atau di luar negeri.

(34)

20

3. Asas Sumber

Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan wilayah tempat tinggal wajib pajak.

Dalam pencapaian tujuan negara, pemerintah perlu memegang asas-asas pemungutan dalam memilih alternatif pemungutannya sehingga diperoleh keserasian dalam pemungutan pajak dengan tujuan dan asas yang masih diperlukan. Waluyo (2008:13) menjelaskan beberapa syarat yang penting untuk diperhatikan dalam mendesain sistem pemungutan pajak, diantaranya yaitu: 1. Asas Equity

Suatu sistem perpajakan dapat berhasil apabila masyarakatnya merasa yakin bahwa pajak-pajak dipungut pemerintah telah dikenakan secara adil dan setiap orang membayar sesuai dengan bagiannya.

2. Asas Revenue Productivity

Asas ini merupakan asas yang terfokus pada pemerintah. Dalam hal pajak sebagai penghimpun dana dari masyarakat untuk membiayai pembangunan, maka dalam pemungutannya harus selalu memegang teguh asas produktivitas penerimaan.

3. Asas Ease of Administration

Asas ini sangat penting baik untuk petugas pajak maupun wajib pajak. Prosedur pemungutan pajak yang rumit dapat menyebabkan wajib pajak enggan membayar pajak dan bagi petugas pajak, akan menyulitkan dalam menyawasi pelaksanaan kewajiban wajib pajak.

4. Asas Certainty

Asas Certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat.

(35)

Yang dalam hal ini, wajib pajak harus mengetahui secara jelas dan pasti besarnya pajak terutang, kapan harus dibayar, serta batas waktu pembayaran. 5. Asas Convenience

Asas Convenience (kemudahan/kenyamanan) menyatakan bahwa saat pembayaran, pajak hendaklah memudahkan wajib pajak, misalnya pada saat menerima gaji atau penghasilan lain. Asas ini juga bisa dilakukan dengan cara membayar terlebih dahulu pajak yang terutang selama satu tahun pajak secara berangsur-angsur setiap bulan.

6. Asas Efficiency

Asas efisiensi dapat dilihat dari dua sisi yaitu dari sisi petugas pajak pemungutan, di mana pajak dikatakan efisien jika biaya pemungutan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak (antara lain dalam rangka pengawasan kewajiban wajib pajak) lebih kecil daripada jumlah pajak yang berhasil dikumpulkan. Dari sisi wajib pajak, sistem pemungutan pajak dikatakan efisien ketika biaya yang dikeluarkan wajib pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya bisa seminimal mungkin.

7. Asas Simplicity

Pada umumnya peraturan yang sederhana akan lebih pasti, jelas dan mudah dimengerti oleh wajib pajak. Oleh karena itu, dalam menyusun suatu undang-undang perpajakan, harus diperhatikan juga asas kesederhanaan. 8. Asas Neutrality

Asas neutrality mengatakan bahwa pajak harus bebas dari distorsi— baik distorsi terhadap konsumsi maupun distorsi terhadap produksi serta faktor-faktor ekonomi lainnya.

(36)

22

2.1.2.5 Syarat Pemungutan Pajak

Dalam pembayaran pajak agar tidak menimbulkan hambatan, maka harus memenuhi beberapa syarat (Brotodihardjo, 2003 dalam Maulana, 2013:24), yaitu:

1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan).

2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis). 3. Tidak menggangu perekonomian (syarat ekonomis).

4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial). 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana.

Pemungutan pajak dibenarkan hukum karena adanya hubungan kausalitas dari pajak itu sendiri. Secara umum dapat dikatakan bahwa pajak yang dipungut secara langsung ataupun tidak langsung akan kembali digunakan oleh masyarakat dalam bentuk infrastruktur dan pelayanan. Beberapa landasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak adalah:

1. Teori Asuransi

Pajak diasumsikan sebagai premi asuransi yang harus dibayar oleh masyarakat (tertanggung) kepada negara (penanggung). Kelemahan teori ini, jika rakyat mengalami kerugian seharusnya ada penggantian dari negara kenyataannya tidak ada. Selain itu, besarnya pajak yang dibayar dan jasa yang diberikan tidak ada hubungan langsung.

2. Teori Kepentingan

Pajak dibebankan atas dasar kepentingan (manfaat) bagi masing-masing orang. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat baginya), termasuk perlindungan atas jiwa orang-orang beserta harta bendanya. Teori ini dikenal sebagai Benefit Approach Theory.

(37)

3. Teori Gaya Pikul

Teori ini menekankan pada asas keadilan, bahwa pajak haruslah sama besarnya untuk setiap orang. Gaya pikul seseorang dapat diukur berdasar besarnya penghasilan dengan memperhitungkan besarnya pengeluaran atau pembelanjaan seseorang.

4. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak)

Teori ini memandang dari sudut pandang rakyat, membayar pajak kepada negara merupakan bukti rasa baktinya rakyat/warga kepada negaranya.

5. Teori Asas Daya Beli

Teori ini tidak mempersoalkan asal mula negara memungut pajak, melainkan hanya melihat pada efeknya dan memandang efek yang baik ini sebagai dasar keadilannya. Penyelenggaraan kepentingan masyarakat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak, bukan kepentingan individu dan bukan pula untuk kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya.

2.1.2.6 Sistem Pemungutan Pajak

Sistem pemungutan pajak menurut kewenangan pungut dan menetapkan besarnya penetapan pajak (Waluyo, 2008:17), dibagi atas:

1. Official Assesment system

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta memungut pajak sepenuhnya di tangan aparatur perpajakan. Wajib pajak mengetahui besarnya pajak yang harus dibayar setelah menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP). Dengan demikian berhasil atau tidaknya pelaksanaan pemungutan pajak banyak bergantung pada aparatur perpajakan.

(38)

24

2. Self Assesment System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak (WP) untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif dan kegiatan menghitung serta memungut pajak sepenuhnya ditangan WP. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami peraturan perpajakan yang berlaku, mempunyai kejujuran, serta menyadari pentingnya membayar pajak. Disini petugas pajak hanya bertugas memberikan penerangan dan pengawasan.

3. With Holding System

Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku.

2.1.3 Pajak Daerah

2.1.3.1 Pengertian Pajak Daerah

Pengertian pajak daerah berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 yakni bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dimana hasilnya digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.

Sementara menurut Siahaan (2008:10) mengemukakan bahwa pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh

(39)

pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.

2.1.3.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah

Setiap kegiatan Pemerintah Daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan penerimaan PAD harus dilandaskan pada dasar hukum yang telah ada. Landasan hukum tersebut merupakan dasar dari kebijaksanaan daerah. Dasar hukum sebagai landasan untuk memungut pajak daerah sebagai berikut.

a. UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah b. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

c. UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

d. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001

e. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang sistem dan prosedur Administrasi Pajak Daerah dan Penerimaan Pendapatan Lain-lain

f. Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Dalam Negeri, Keputusan Menteri Keuangan, peraturan daerah provinsi, dan peraturan daerah kabupaten/kota di bidang pajak daerah.

2.1.3.3 Tolok Ukur Penilaian Suatu Pajak Daerah

Pajak daerah yang dilaksanakan dapat dinilai dengan menggabungkan ukuran-ukuran, antara lain:

1. Hasil (Yield)

Memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan elastisitas hasil pajak terhadap

(40)

26

inflasi, pertumbuhan penduduk dan perbandingan hasil pajak dengan biaya pemungutan.

2. Keadilan (Equity)

Pajak harus adil secara horizontal, artinya beban pajak haruslah sama antar berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama. Harus adil secara vertikal, artinya kelompok yang memiliki sumber daya ekonomi yang lebih besar memberi sumbangan yang lebih besar dari pada kelompok yang lebih sedikit memiliki sumber daya ekonomi.

3. Daya Guna Ekonomi (Economic Eficiency)

Pajak hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai dilihat konsumen dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung dan memperkecil beban lebih dari pajak. 4. Kecocokan sebagai Sumber Penerimaan Daerah (Suitability as a Revenue

Source).

Dalam hal ini, berarti harus jelas kepada daerah mana suatu pajak haruslah dibayarkan dan tempat pemungutan pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak. Pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan antar daerah dari segi ekonomi masing-masing, dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.

5. Kemampuan melaksanakan (Ability to Implement)

Hasil dari adanya kemampuan melaksanakan administrasi ini seharusnya dapat terlihat dalam hubungan antara potensi dan realisasi penerimaan pungutan daerah. Semakin tinggi realisasi penerimaan pungutan daerah dibandingkan dengan potensi penerimaannya,

(41)

menunjukkan bahwa daerah memiliki kemampuan untuk melaksanakan suatu pungutan.

2.1.3.4 Intensifikasi dan Ekstensifikasi Pajak Daerah

Menurut Soemitro (1990), peningkatan pajak daerah dapat dilakukan melalui dua cara yaitu:

1. Intensifikasi Pajak

Intensifikasi pajak yaitu peningkatan intensitas pungutan terhadap suatu subjek dan objek pajak yang potensial namun belum terjaring pajak serta memperbaiki kinerja pemungutan agar dapat mengurangi kebocoran. Upaya intensifikasi dapat ditempuh melalui cara penyempurnaan administrasi pajak, peningkatan mutu petugas pemungut, dan penyempurnaan UU perpajakan.

2. Ekstensifikasi Pajak

Ekstensifikasi pajak yaitu upaya memperluas subjek dan objek pajak serta penyesuaian tarif. Ekstensifikasi pajak antara lain dapat ditempuh melalui cara perluasan wajib pajak, penyempurnaan tarif, dan perluasan objek pajak.

2.1.3.5 Target Pendapatan Daerah

Agar perkiraan pendapatan daerah dapat dipertanggungjawabkan dalam penyusunannya, diperlukan adanya perhitungan terhadap faktor-faktor yaitu: 1. Realisasi penerimaan pendapatan daerah dari tahun anggaran yang lalu

dengan memperlihatkan faktor pendukung yang menyebabkan tercapainya realisasi tersebut dan faktor-faktor yang menghambatnya.

2. Kemungkinan pencairan jumlah tunggakan tahun sebelumnya yang diperkirakan dapat ditagih minimal 35%.

(42)

28

3. Data potensi objek pajak dan estimasi perkembangan perkiraan penerimaan dari penetapan tahun berjalan minimal 80% dari yang telah ditetapkan.

4. Kemungkinan adanya perubahan atau penyempurnaan sistem pemungutan. 5. Keadaan sosial ekonomi dan tingkat kesadaran masyarakat selaku wajib

pajak.

6. Perkembangan tersedianya sarana dan prasarana serta biaya pungutan.

2.1.4 Pajak Restoran

2.1.4.1 Pengertian Pajak Restoran

Pengenaan Pajak Restoran tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota. Oleh karena itu, untuk dapat dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah harus terlebih dahulu menerbitkan peraturan daerah tentang Pajak Restoran yang akan menjadi landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan pengenaan dan pemungutan Pajak Restoran di daerah kabupaten atau kota yang bersangkutan.

Dalam pemungutan Pajak Restoran terdapat beberapa terminologi, antara lain: a. Restoran adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang

disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga/catering.

b. Pengusaha restoran adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun, yang dalam lingkungan pekerjaannya melakukan usaha di bidang rumah makan.

c. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan barang atau pelayanan, sebagai pembayaran kepada pemilik rumah makan.

(43)

d. Bon penjualan (bill) adalah bukti pembayaran, sekaligus sebagai bukti pungutan pajak, yang dibuat oleh wajib pajak saat mengajukan pembayaran atas pembelian makanan dan minuman kepada subjek pajak.

Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan restoran. Pemungutan Pajak Restoran di Indonesia saat ini didasarkan pada UU Nomor 28 Tahun 2009. Semula menurut UU Nomor 18 Tahun 1997 Pajak atas Hotel disamakan dengan Restoran dengan nama Pajak Hotel dan Restoran. Akan tetapi, berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 jenis pajak tersebut dipisahkan menjadi dua jenis pajak yang berdiri sendiri, yaitu Pajak Hotel dan Pajak Restoran.

2.1.4.2 Dasar Hukum Pemungutan Pajak Restoran

Pemungutan Pajak Restoran di Indonesia saat ini didasarkan pada dasar hukum yang jelas dan kuat sehingga harus dipatuhi oleh masyarakat dan pihak yang terkait. Dasar hukum pemungutan Pajak Restoran pada suatu kabupaten atau kota adalah sebagaimana di bawah ini.

1. UU Nomor 34 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 3. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur tentang Pajak

Restoran.

4. Keputusan bupati/walikota yang mengatur tentang Pajak Restoran sebagai aturan pelaksanaan peraturan daerah tentang Pajak Restoran pada kabupaten/kota dimaksud.

Keberadaan Pajak Restoran sebagai salah satu jenis pajak kabupaten/kota diatur juga dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 dan Perda Kota Makassar Nomor 3 Tahun 2010. Berdasarkan Perda Kota Makassar Nomor 3

(44)

30

Tahun 2010 tentang Pajak Restoran dijelaskan mengenai nama, objek, dan subjek Pajak Restoran.

1. Pajak dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

2. Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran. 3. Pelayanan sebagaimana dimaksud meliputi pelayanan penjualan

makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun di tempat lain.

4. Tidak termasuk objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dalam 1 (satu) hari.

5. Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/ atau minuman dari Restoran.

6. Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran

Dalam melakukan pungutan atas Pajak Restoran, terdapat Subjek Pajak, Wajib Pajak, dan Objek Pajak Restoran. Pada Pajak Restoran, yang menjadi Wajib Pajak adalah pengusaha restoran, yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha di bidang rumah makan.

Sementara itu yang menjadi Subjek Pajak adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang diberikan oleh pengusaha restoran. Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran. Termasuk dalam Objek Pajak Restoran adalah pelayanan di restoran/rumah makan meliputi penjualan makanan dan atau minuman di restoran/ rumah makan, termasuk penyediaan penjualan makanan/minuman yang diantar/dibawa pulang.

(45)

2.1.4.3 Dasar Pengenaan, Tarif, dan Cara Perhitungan Pajak Restoran

Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang dilakukan kepada restoran. Pembayaran adalah jumlah uang yang harus dibayar oleh subjek pajak kepada wajib pajak untuk harga jual baik jumlah uang yang dibayarkan maupun penggantian yang seharusnya diminta wajib pajak sebagai penukaran atas pembelian makanan dan atau minuman, termasuk pula semua tambahan dengan nama apa pun juga dilakukan berkaitan dengan usaha restoran.

Tarif Pajak Restoran ditetapkan paling tinggi sebesar sepuluh persen dan ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk menetapkan tarif pajak yang dipandang sesuai dengan kondisi masing-masing daerah. Dengan demikian, setiap daerah kabupaten/kota diberikan kewenangan untuk menetapkan besarnya tarif pajak yang mungkin berbeda dengan kabupaten/kota lainnya, asalkan tidak lebih dari sepuluh persen. Besarnya pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak. Secara umum perhitungan Pajak Restoran adalah sesuai dengan rumus berikut:

Pajak Terutang = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

= Tarif Pajak x Jumlah Pembayaran yang Dilakukan Kepada Restoran

2.1.4.4 Masa Pajak, Tahun Pajak, Saat Terutang Pajak, dan Wilayah Pemungutan Pajak Restoran

Pada Pajak Restoran, masa pajak merupakan jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota. Dalam pengertian masa pajak bagian dari

(46)

32

bulan dihitung satu bulan penuh. Tahun pajak adalah jangka waktu yang lamanya satu tahun takwim, kecuali wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.

Pajak yang terutang merupakan Pajak Restoran yang harus dibayar oleh wajib pajak pada suatu saat, dalam masa pajak, atau dalam tahun pajak menurut ketentuan peraturan daerah tentang Pajak Restoran. Saat pajak terutang dalam masa pajak ditentukan menurut keadaan, yaitu pada saat terjadi pelayanan di restoran atau rumah makan.

Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah kabupaten/kota tempat restoran berlokasi. Hal ini terkait dengan kewenangan pemerintah kabupaten/kota yang hanya terbatas atas setiap restoran yang berlokasi dan terdaftar dalam lingkup wilayah administrasinya.

Adapun tata cara penggunaan bon penjualan telah diatur dalam Perda No. 3 Tahun 2010 sebagai berikut,

Pasal 16

1. Setiap Wajib Pajak Restoran wajib menggunakan bon penjualan (bill) untuk setiap transaksi pelayanan restoran, kecuali ditetapkan lain dengan

keputusan Walikota.

2. Tata cara penggunaan bon penjualan (bill) sebagaimana dimaksud ayat (1), ditetapkan dengan keputusan Walikota.

Pasal 17

1. Wajib Pajak Restoran wajib melegalisasi/ perporasi bon penjualan (bill) kepada Kepala Dinas Pendapatan Daerah, kecuali ditetapkan lain oleh Kepala Dinas Pendapatan Daerah.

2. Bagi Wajib Pajak Restoran yang dikecualikan melegalisasi bon penjualan

(bill), Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala

Dinas Pendapatan Daerah.

Bon penjualan harus diserahkan kepada subjek pajak sebagai bukti pemungutan pajak pada saat wajib pajak mengajukan jumlah yang harus dibayar oleh subjek pajak. Kewajiban wajib pajak untuk menerbitkan dan menyerahkan bon penjualan kepada subjek pajak, selain untuk kepentingan pengawasan terhadap peredaran usaha wajib pajak juga dimaksudkan sebagai bagian untuk memasyarakatkan kesadaran tentang Pajak Restoran kepada masyarakat.

(47)

Salinan nota pesanan yang sudah digunakan harus disimpan oleh wajib pajak dalam jangka waktu tertentu sesuai peraturan daerah, misalnya dalam waktu setahun, sebagai bukti dalam pembuatan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.

2.1.4.5 Penetapan Pajak Restoran

Seluruh proses kegiatan pemungutan Pajak Restoran tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Walaupun demikian, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada wajib pajak, atau penghimpunan data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.

Setiap pengusaha restoran (yang menjadi wajib pajak) wajib menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri Pajak Restoran yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Ketentuan ini menunjukkan sistem pemungutan Pajak Restoran pada dasarnya merupakan sistem self assessment, yaitu wajib pajak diberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang. Dengan pelaksanaan sistem pemungutan ini petugas Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota, yang ditunjuk oleh bupati/walikota menjadi fiskus, hanya bertugas mengawasi pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak oleh wajib pajak.

Pada beberapa daerah, penetapan pajak tidak diserahkan sepenuhnya kepada wajib pajak, tetapi ditetapkan oleh kepala daerah. Terhadap wajib pajak yang pajaknya ditetapkan oleh bupati/walikota, jumlah pajak terutang ditetapkan dengan menerbitkan SKPD. Wajib pajak tetap memasukkan SPTPD, tetapi tanpa

(48)

34

perhitungan pajak. Umumnya, SPTPD dimasukkan bersamaan dengan pendataan yang dilakukan oleh petugas Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota.

Berdasarkan SPTPD yang disampaikan oleh wajib pajak dan pendataan yang dilakukan oleh petugas DISPENDA, bupati/walikota atau pejabat yang ditunjuk oleh bupati/walikota menetapkan Pajak Restoran yang terutang dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD). SKPD harus dilunasi oleh wajib pajak paling lama tiga puluh hari sejak diterimanya SKPD oleh wajib pajak atau jangka waktu lain yang ditetapkan oleh walikota. Apabila setelah lewat waktu yang ditentukan wajib pajak tidak atau kurang membayar pajak terutang dalam SKPD, wajib pajak dikenakan sanksi adminstrasi berupa bunga sebesar dua persen sebulan dan ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD).

Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, bupati/walikota dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT), dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN). Surat ketetapan pajak diterbitkan berdasarkan pemeriksaan atas SPTPD yang disampaikan oleh wajib pajak. Penerbitan surat ketetapan pajak ini untuk memberikan kepastian hukum apakah perhitungan dan pembayaran pajak yang dilaporkan oleh wajib pajak dalam SPTPD telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan pajak daerah atau tidak. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada wajib pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak.

Selain terhadap wajib pajak yang dikenakan Pajak Restoran dengan sistem self assessment, penerbitan SKPDKB dan SKPDKBT juga dapat

Gambar

TABEL 2.1  PENELITIAN TERDAHULU  Judul dan  Penulis  Variabel  Penelitian
GAMBAR 2.1  KERANGKA PEMIKIRAN     Pajak Restoran  Pertumbuhan Jumlah Restoran  Realisasi Penerimaan  Pajak Restoran  Potential Loss  Efektivitas Pemungutan  Pajak Restoran Potensi Pajak Restoran
Tabel 4.2 Data Wajib Pajak Restoran Tahun 2010-2014
Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Penerimaan Pajak Restoran  Tahun  Realisasi  Penerimaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan aplikasi sistem informasi geografis manajemen aset wakaf di Kota Semarang yang dapat digunakan untuk menyimpan,

Dalam berkomunikasi, bahasa merupakan alat yang penting bagi setiap orang. Gangguan bahasa dan berbicara adalah salah satu penyebab gangguan perkembangan yang

Adapun isi dari kontrak kinerja tersebut mencakup enam point yaitu target sampel penyidikan dan pengujian penyakit hewan sebanyak 34.400 sampel, jumlah bimbingan teknis

Penyusunan bahan pelaksanaan pendataan dan penilaian objek pajak hiburan, hotel dan restoran melalui Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) dan formulir

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa Kemandirian anak bungsu di Kelompok B Paud Permatasari Kecamatan Sipatana Kota Gorontalo dapat dideskripsikan melalui

Penulis dalam mengambil judul Analisis Kontribusi Pajak Hotel dan Restoran Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Makassar adalah untuk menjelaskan kontribusi penerimaan

Kegiatan Pendanaan Startup adalah program yang diberikan kepada startup melalui lembaga inkubator bisnis untuk menjalankan proses inkubasi terhadap perusahaan pemula/startup

Fasa 2 dengan konsep Do-it-Yourself (DIY). • Setiap pasukan akan dibimbing oleh seorang mentor yang terdiri daripada pensyarah Universiti Malaya yang akan ditentukan