• Tidak ada hasil yang ditemukan

TUGAS TERSTRUKTUR. Hukum Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TUGAS TERSTRUKTUR. Hukum Adat"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

“Pengakuan Hukum Adat dalam Hukum Positif di

Indonesia”

Disusun Oleh :

NAMA : DAHLIA ANDRIANI

NIM : E1A012131 Kelas : A

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JENDRAL SOEDIRMAN

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI PURWOKERTO

(2)

BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara di dunia yang dapat dikatakan kaya, baik dilihat dari kekayaan Sumber Daya Alam maupun dari banyaknya suku – suku yang ada disetiap daerah. Setiap suku di Indonesia memiliki norma dan nilai yang berbeda – beda yang hidup di dalam lingkungan masyarakatnya. Dimana nilai dan norma yang diterapkan tersebut telah melekat dan ditaati oleh masyarakat itu sendiri. Karena norma – norma merupakan aturan tingkah laku manusia yang bentuknya tidak tertulis sehingga masyarakat tidak menyadari bahwa norma tersebutlah yang disebut hukum adat. Meskipun tidak tertulis akan tetapi masyarakat sangat menaati norma – norma tersebut.

Taatnya masyarakat dengan aturan tidak tertulis ini menunjukan bahwa hukum adat itu ada sebelum hukum positif berada ditengah masyarakat, hukum adat sendiri berfungsi untuk mengatur kehidupan masyarakat. Istilah Hukum Adat pertama kali dikemukakan oleh Prof. Snouck Hurgrounje seorang ahli sastra dalam timur di Belanda (1894). Sebelum istilah hukum adat berkembang, dulu dikenal dengan istilah Adat Recht.

Hukum adat adalah hukum yang berkembang dalam masyarakat sehingga sifatnya dinamis karena mengikuti perkembangan zaman dan mengikuti kebutuhan masyarakat yang setiap saat dapat berubah. Bentuk dari hukum adalah tidak dikodifikikasikan (disusun secara sistematis, bulat, tuntas dan tuntas). Sehingga tidak mempunyai asas legalitas.

Dalam perjalanan sejarahnya Indonesia adalah Negara yang pernah dijajah oleh bangsa – bangsa Eropa, termasuk Negara Belanda yang cukup lama menjajah Indonesia. Selama masa penjajahan atau Indonesia dijajah Belanda, terdapat pengingkaran terhadap eksistensi hukum adat sebagai hukum yang digunakan untuk mengintegrasi organisasi kehidupan berskala antarlokal. Hal ini terlihat dengan adanya asas konkordasi (menginduk) yang diberlakukan di Indonesia

(3)

yang mengharuskan hukum yang digunakan adalah hukum Negara penjajah. Hukum Negara penjajah pada waktu itu lebih ditunjukan sebagai hukum yang tertulis yang berlaku sebagai hukum positif. Hukum yang berlaku pada masa ini lah yang menyebabkan masyarakat Indonesia dibagi menjadi 3 Golongan.

Namun ketika Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang merdeka dan bebas dari penjajahan melalui sebuah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. Maka dapat diartikan kemerdekaan tersebut merupakan lahirnya negara Indonesia yang berbentuk republik, lahirnya tata pemerintahan Indonesia, lahirnya tata hukum Indonesia serta lahirnya sistem hukum di Indonesia. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk mengatur dirinya sendiri. Hal tersebut dilakukan dengan cara pembentukan suatu sistem hukum, hukum tersebut berisi tentang peraturan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan tata hukum tersebut harus bersumber dan berdasar atas pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain bahwa Tata Hukum Hindia Belanda tidak berlaku lagi di Indonesia sehingga digantikan oleh Tata Hukum Republik Indonesia.

Pembentukan sistem hukum di Indonesia itu harus didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Akan tetapi, sebelum adanya hukum positif yang bersifat unifikasi, yaitu suatu sistem hukum yang secara nasional dan berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Maka hukum yang diterapkan adalah hukum yang bersumber pada nilai – nilai yang berlaku dimasyarakat itu sendiri. Hukum tersebut merupakan hukum kebiasaan pada masyarakat setempat yang sangat melekat dalam kebudayaan masyarakat itu. Hukum ini bentuknya tidak tertulis tetapi sangat megikat dan ditaati. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas menegenai Pengakuan Hukum Adat dalam Hukum Positif di Indonesia.

(4)

II. Rumusan Masalah

Apakah perbedaan antara hukum adat dan hukum positif?

Bagaimanakah pengakuan hukum adat sebagai hukum positif di Indonesia?

III. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:

1. Mengetahui perbedaan antara hukum adat dan hukum positif.

(5)

BAB III PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Sistem Hukum di Indonesia

1) Perkembangan Hukum di Indonesia pada Zaman Penundukan Belanda dan Jepang

Hukum di Indonesia merupakan campuran dari hukum Eropa, hukum adat dan hukum Islam. Hukum di Indonesia baik pidana maupun perdata yang berbasis pada sistem hukum Eropa Continental karena dari aspek sejarahnya Indonesia pernah dijajah diantaranya oleh Belanda. Sistem Hukum Eropa continental dianut oleh negara, Spayol, Portugis dan lain- lain. Sistem hukum Eropa Continental ini sumbernya berasal dari Romawi Kuno yang banyak berkembang di benua Eropa. Sedangkan Hukum Indonesia dipengaruhi oleh hukum adat karena hukum adat itu hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia sendiri yang sudah lama ada. Hukum adat sendiri diserap kedalam yuriprudensi atau perundangan-perundangan yang merupakan penerus aturan-aturan dan budaya masyarakat setempat. Karena sepanjang sejarah Indonesia sendiri telah dijajah oleh negara seperti Belanda, Jepang, dan Inggris. Dimana setiap negara penjajah berusaha untuk menanamkan nilai-nilai dan tata hukum diwilayah jajahannya. Sedangkan wilayah jajahannya sendiri telah memiliki tata nilai dan sistem hukum sendiri. Sehingga hukum Indonesia menganut hukum adat. Kemudian Hukum di Indonesia juga menganut hukum Islam karena sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam.

Ketika Indonesia dikuasai oleh pemerintah Belanda, pada saat itu pemerintah Hindia Belanda mulai memberlakukan peraturan Perundang-undangan baik yang sudah dikodifikasikan seperti Wvk, BW, Wvs dan yang belum dikodifikasikan seperti RV dan HIR. Namun Pemerintah Hindia Belanda masih memberlakukan hukum adat dan hukum lain bagi orang asing lain yang ada di Indonesia. Pada tahun 1917 dengan adanya staatsblaad 1917 No. 21 memungkin penduduk non Eropa untuk tunduk pada hukum Perdata dan hukum dagang tersebut. Dan didalam peratutaran tersebut terdapat penundukkan diri yaitu:

(6)

1. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;

2. Penundukan pada sebagian hukum Perdata Eropa, yakni hanya pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tiong Hoa;

3. Penundukan secara diam-diam, yang mengandung maksud jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal didalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada hukum Eropa.

Dengan demikian terdapat pluralisme hukum dan tidak ada unifikasi hukum saat itu. Tetapi tidak dengan Wvs ( KUH Pidana) yang berlaku untuk semua golongan. Sedangkan untuk badan peradilannya tidak untuk semua golongan tetapi setiap golongan memiliki peradilannya sendiri. Pluralisme sendiri memiliki definisi yaitu sebagai suatu kondisi yang terdapat lebih dari satu sistem hukum dalam suatu lingkungan kehidupan sosial. Pluralisme sendiri merupakan suatu kenyataan dalam kehidupan masyarakat karena setiap masyarakat memiliki sistem tata hukum sendiri yang berbeda satu lain seperti dalam keluarga, komunitas dan lain sebagainya. Pluralisme sendiri menyebabkan suatu konflik karena akan menyebabkan kebingungan, hukum manakah yang akan digunakan untuk menyelesaikan konflik tersebut dan bagaimana seseorang mengetahui bagaimana menentukan hukum yang berlaku padanya. Pengertian pluralisme sendiri memiliki pengertian yang berbeda dari masa ke masa yang memiliki koeksistensi dan interelasi dengan berbagai agama seperti hukum adat, agama dan hukum negara. Dan semakin komplek karena adanya globalisasi karena terkait dengan perkembangan hukum internasional.

Pada tahun 1942 Indonesia dikuasai oleh pemerintah Jepang. Peraturan penting yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang adalah peraturan mengenai hukum pidana dan peraturan Osamu Sirei No 1 Tahun 1942 yang salah satu pasalnya mengatur tentang lembaga pemerintahan dan hukum yang telah ada sebelumnya tetap berlaku asalkan tidak bertentangan dengan hukum pemeritah Jepang. Hal itu bertujuan untuk menghindari adanya kekosongan hukum di Indonesia. Pemerintah Jepang membagi wilayah Indonesia menjadi 3 bagian yaitu

(7)

Jawa, Madura, Sumatera serta Indonesia bagian timur. DI Jawa dan Madura berlaku peraturan Osamu Sirei yang mengatur mengenai wewenang badan pemerintahan dan peraturan yang selama ini masih berlaku dinyatakan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Jepang. Dan untuk wilayah lainnya diberlakukan aturan yang sama. Kontribusi Jepang yang penting juga adalah tentang penghapusan dualisme peradilan sehingga Indonesia memiliki hanya satu Peradilan. Sebagaimana halnya dengan badan Peradilan, Jepang juga mengunifikasikan badan kejaksaan dengan membentuk Kenzatsu Kyoku, yang diorganisasikan menurut 3 tingkatan Pengadilan. Reorganisasi badan Peradilan dan Kejaksaan itu bertujuan untuk meniadakan kesan khusus bagi orang-orang Eropa dihadapan Orang Asia.

Dalam situasi yang lebih mementingkan kepentingan berperang, Jepang tidak banyak merubah ketentuan berlaku pada masa itu hanya merubah sebagian ketentuan yang perlu diubah. Untuk Menjalankan roda pemerintahan dan penegakan tata tertib hukum pemerintah Jepang mengangkat pejabat- pejabat yang berasal dari orang-orang Indonesia untuk menjalankan hal tersebut. Namun setelah Indonesia merdeka maka banyak peraturan Jepang yang dinyatakan tidak berlaku.

2) Perkembangan Hukum di Indonesia Pasca Merdeka

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 sering disebut sebagai masa awal kemerdekaan. Pada awal kemerdekaan ini merupakan salah satu perkembangan hukum Indonesia untuk memiliki tata hukum sendiri. Tetapi Tata Hukum Pemerintahan Hindia Belanda menurut Indische Staatsblad yang terdiri dari hukum barat, hukum agama dan hukum adat dinyatakan berlaku dalam Tata Hukum Republik Indonesia berdasar pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Sebab pada waktu memproklamirkan kemerdekaan, Indonesia baru hanya memiliki norma dasar yaitu proklamasi. Maka dari itu untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia sehingga adanya kepastian hukum, Tata Hukum Hindia Belanda diberlakukan sementara sebelum terbentuknya Hukum Nasional yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945.Sejalan dengan beriringannya waktu

(8)

lembaga – lembaga Negara terutama lembaga legislatif telah berfungsi dan telah membuat peraturan perundang-undangan yang disebut sebagai Hukum Nasional.Maka sedikit demi sedikit untuk menggantikan tata hukum yang bersumber dari Hindia Belanda dilakukan pembangunan hukum nasional yang nantinya bersifat unifikasi.Unifikasi itu adalah sistem hukum yang berlaku secara nasional dan berlaku untuk seluruh rakyat Republik Indonesia.

Berdasar asas konkordansi tata hukum Republik Indonesia mengikuti model hukum Eropa Kontinental yaitu model hukum legisme, adanya kodifikasi dan berbentuk undang-undang. Hal ini terbukti bahwa bangsa Indonesia lebih mengutamakan atau lebih dominan mengenai undang-undang daripada hukum kebiasaan.Oleh karena itu hukum kebiasaaan memiliki fungsi sebagai pelengkap hukum undang-undang.

B. Perbedaan Hukum Adat dan Hukum Positif 1. Pengertian Hukum Adat

Hukum adat terdiri dari dua kata yaitu hukum dan adat. Hukum berasal dari bahasa belanda yaitu recht , sedangkan Adat berasal dari bahasa arab yang artinya kebiasaan. Sedangkan istilah hukum adat itu berasal dari terjemahan bahasa Belanda yaitu Adat-recht, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan pernah dipakai oleh Van Vollenhoven dalam menulis buku-bukunya yang mengenai hukum adat. Hukum adat itu merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut hukum yang berlaku bagi masyarakat asli Indonesia.

Walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaannya hukum adat, tetapi masyarakat Indonesia asli belum mengetahui seperti apa berlakunya hukum adat tersebut. Sehingga dalam penyebutannya dalam peraturan perundang-undangan masih banyak digunakan istilah yang berbeda-beda.Seperti :

1. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving= Ketentuan-ketentuan Umum Perundang-undangan) pasal 11 dipakai istilah : “ Godsdienstige Wetten, Volksinstellingen en Gebruiken “. (Peraturan-

(9)

peraturan Keagamaan, Lembaga –lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).

2. Dalam R. R 1854 pasal 75 ayat 3 :“Godsdienstige Wetten, Instellingen En Gebruiken” (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan Kebiasaan).

3. Dalam L. S (Indische Staatsregeling = Peraturan Hukum Negara Belanda semacam Undang-Undang Dasar Bagi Hindia Belanda) pasal 128 ayat 4: “Instellingen des Volks” (Lembag-lembaga dari Rakyat).

4. Dalam I. S pasal 131 ayat 2, sub B :” Met Hunne Godsdiensten en Gowoonten Samenhangende Rechts Regeleen” (Aturan-aturan Hukum yang Berhubungan dengan Agama-agama dan Kebiasaan-kebiasaan Mereka).

5. Dalam R. R 1854 pasal 78 ayat 2 : “ Godsdientige Wetten en OudeHerkomsten” (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Naluri-naluri). 6. S. 1929 No. 221 jo. No.487 :“Adat- Recht” (Hukum Adat). (Iman

Sudiyat, 1981 :1 – 2).1

Dalam arti sempit hukum adat adalah hukum asli yang tidak tertulis yang hidup dalam kebiasaan masyarakat asli Indonesia dan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara orang yang satu dengan yang lainnya.Disamping yang tidak tertulis ada juga yang tertulis seperti piagam, prasasti, perintah-perintah raja. Dibawah ini beberapa definisi hukum adat menurut para sarjana :

1. Van Vollenhoven

1 Iman Sudiyat, Asas – Asas Hukum Adat Bekal Pengantar (Cet. 5 ; Yogyakarta: Liberty, 2010),

(10)

Menurut Van Vollenhoven Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (oleh karena itu “ hukum”) dan di pihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan (oleh karena itu :”Adat”) 2

Jadi dapat diambil sebuah uraian yang jelas dari definisi tersebut bahwa, hukum adat merupakan tingkah laku yang berdasarkan hukum yang berlaku disini dan kini serta apabila melanggar akan ada sanksi sebagai reaksi dari pelanggaran terebut namun tidak dibukukan secara tersusun seperti undang-undang.

2. Supomo

Menurut Supomo di dalam “Beberapa catatan mengenai Kedudukan Hukum Adat” menulis antara lain:

Dalam tata hukum baru Indonesia baik kiranya guna menghindarkan salah pengertian, istilah Hukum Adat dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatief (non-statutory law); hukum yang hidup sebagai konvensi di badan badan hukum Negara (parlemen, dewan – dewan Propinsi dan sebagainya); hukum yang timbul karena putusan – putusan hakim (Judgemade Law); hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik dikota kota maupun di desa desa (Customary law); semua merupakan Adat atau hukum yang tidak tertulis yang disebut oleh pasal 32 UUDS Tahun 1950.3

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut Supomo hukum adat bukan hanya yang berkaitan dengan hukum yang hidup didalam masyarakat yang dijadikan kebiasaan akan tetapi memahamkan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis dalam arti hukum kebiasaan.

3. Sukanto

2 Ibid, h. 5.

(11)

Menurut Sukanto dalam bukunya “ Meninjau Hukum Adat Indonesia” mengatakan bahwa “ kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dibukukan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan (dwang), mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg) kompleks ini disebut Hukum Adat. 4

Jadi Hukum Adat merupakaan aturan adat yang tidak tertulis dan tidak dikodifikasikan yang hidup dalam kebiasaan, kebudayaan, ketertiban masyarakat dan apabila melanggar ada akibat hokum yang bersifat memaksa.

4. Ter Haar

Ter Haar adalah seorang sarjana hukum yang bekerja sebagai hakim Landraad di Jawa. Sesuai dengan profesinya sebagai hakim maka Ter Haar akan memandang hukum adat dari sudut pandang hakim. Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukan pendapatnya tentang hukum adat yaitu :

a. Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan – keputusan ; keputusan para warga masyrakat hukum, terutama keputusan berwibawa dari kepala - kepala rakyat yang membantu pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum ; atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para Hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan – keputusan itu karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senapas seirama dengan kesadaran tersebut, diterima/ diakui atau setidak-tidaknya ditoleransikan olehnya.

b. Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian – bagiannya yang tertulis yang terdiri dari peraturan – peraturan desa, surat – surat perintah raja adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan – keputusan para Fungsionaris Hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (Macht, Authority) serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya berlaku seta merta (spontan) dan

4 Ibid, h. 9.

(12)

dipatuhi dengan sepenuh hati. (Fungsionaris disini terbatas pada dua kekuasaan yaitu : Eksekutif dan Yudikatif). Dengan demikian Hukum Adat yang berlaku itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan – keputusan para fungsionaris hukum itu ; bukan saja hakim tetapi juga Kepala Adat , rapat desa , wali tanah, petugas- petugas dan lapangan Agama, petugas – petugas desa lainnya. Keputusan itu bukan saja keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi, tetapi juga diluar itu berdasarkan kerukunan (musyawarah). Keputusan- keputusan itu diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rokhnai dan hidup kemasyarakatan anggota- anggota persekutuan itu. Dalam perumusan ter Haar ini tersimpul ajaran : Beslissingenleer (Ajaran Keputusan). 5

Dari uraian diatas terlihat bahwa Ter Haar benar-benar melihat hukum adat dari sudut pandang hakim, karena hakim ketika mengambil keputusan harus melihat dari adat yang hidup di masyarakat. Tidak boleh bertentangan dengan apa yang menjadi keyakinan hukum rakyat harus diambil dari nilai – nilai yang sesuai dengan rokhani, kepercayaan serta kebudayaan masyarakat tersebut.

Dapat diambil kesimpulan dari pendapat tiga sarjana diatas mengenai hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang hidup dalam masyarakat asli Indonesia, yang diambil dari nilai – nilai rokhani, kepercayaan serta kebudayaan yang ada dalam masayarakat dan apabila melanggar ada sanksi sebagai reaksi dari pelanggaran tesebut yang bersifat memaksa.

Corak hukum adat menurut Soepomo adalah :

 Mempunyai sifat kebersamaan yang kuat ; artinya manusia menurut hukum adat, merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, rasa kebersamaan mana meliputi sebuah lapangan hukum ;

5 Ibid, h. 7.

(13)

 Mempunyai corak magish- religi, yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia;

 Sistem hukum itu diliputi oleh pikiran serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya hubungan yang kongkrit tadi dalam pengatur pergaulan hidup;

 Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya hubungan-hubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat ( atau tanda yang tampak ).

Pengertian Hukum Positif

Hukum positif merupakan hukum yang berlaku pada suatu wilayah dan tempat tertentu. Setiap hukum positif pada tiap negara tentuanya berbeda-beda dan beraneka ragam, termasuk di Indonesia. Hukum positif yang berlaku di Indonesia terbagi menjadi dua bagian, hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum positif yang tertulis adalah hukum yang sumbernya di atur berdasarkan peraturan perundang-undangan seperti kitab undang-undang hukum perdata maupun kitab undang-undang hukum pidana. Namun sumber hukum tertulis yang paling fundamental dan yang menjadi dasar peraturan perundang-undangan lainnya adalah Undang-undang Dasar 1945. Sementara hukum tidak tertulis di Indonesia bersumber pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dan diterapkan secara turun temurun dan manjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat atau suku-suku tertentu di Indonesia. Kebiasaan yang seperti itu di namakan adat istiadat. Indonesia yang masyarakatnya tergolong menjadi masyarakat majemuk memiliki masyarakat yang adat dan budayanya beraneka ragam, mulai dari sabang sampai merauke. Adat dan kebiasaannya pun berbeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Hukum adat merupakan kekayaan untuk membangun hukum nasional tetapi bukan berarti hukum adat dipertahankan dalam segi keutuhannya didalam hukum nasional. Hal ini pada gilirannya akan muncul hukum nasional Indonesia

(14)

sebagai miliknya sendiri6. Agar penerapan hukum positif di Indonesia dapat

berjalan efektif maka perlu adanya kerjasama dari masyarakat untuk mematuhi hukum positif di Indonesia secara seksama, namun bukan berarti menghilangkan unsur-unsur hukum adat pula yang ada dan sudah lama tumbuk dalam masyarakat adat di Indonesia. Sebab hukum adat juga berperan penting dalam membangun dan menciptakan hukum positif di Indonesia.

Menurut Prof. Djojodigoeno hukum adalah suatu karya masyarakat tertentu yang bertujuan tata yang adil dalam tingkah laku dan perbuatan orang dalam perhubungan pamrihnya serta kesejahteraan masyarakat itu sendiri yang menjadi substratumnya (dasarnya/alasannya). Menurutnya Hukum positif itu merupakan ius constituendum karena hukum itu adanya untuk dilaksanakan, sedangkan pelakasannanya masih diharapkan dan apabila sudah dilaksanakan maka hukum akan ditinggal begitu saja hanya menjadi bekas7. Sedangkan menurut pendapat

yang lazim Hukum positif atau bisa dikenal dengan istilah Ius Constitutum, adalah hukum yang berlaku sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu "Tata Hukum".Tata hukum sendiri berasal dari bahasa belanda. "recht orde" yaitu susunan hukum, artinya memberikan tempat yang sebenarnya kepada hukum.Maksud dari memberikan tempat sebenarnya adalah menyusun dan membuat aturan – aturan hukum dengan baik dan teratur sehingga aturan tersebut dapat digunakan secepat dan sebaik mungkin apabila menghadapi peristiwa hukum.

Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus untuk masyaraktnya dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia.

Beberapa unsur yang terkandung dalam pengertian hukum, antara lain :

 Hukum sebagai himpunan peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan bermasyarakat, maksudnya adalah bahwa hukum itu dibuat

6http://sophost,blogspot.com/2011/08/makalah-hukum-adat-sebagai-hukum.html (diakses pada

hari rabu, 25 Maret 2015 pukul 07.00 wib)

(15)

secara tertulis dan terdiri dari kaidah yang mengatur berbagai kepentingan.

 Hukum dibuat oleh lembaga yang berwenang adalah bahwa hukum merupakan produk dari lembaga yang telah diberi amanah untuk membuat hukum.

 Hukum bersifat memaksa, yakni penegakan hukum dilaksanakan oleh aparat yang memiliki kewenangan tertentu yang dapat memaksa orang untuk mematuhi hukum.

 Hukum berisi perintah dan larangan adalah bahwa hukum memuat perintah-perintah yang harus dilaksanakan dan larangan-larangan yang harus ditinggalkan atau tidak boleh dilaksanakan.

 Hukum memberikan sanksi adalah apabila hukum tersebut dilanggar maka pelanggar akan dikenakan sanksi dimana pemberian sanksi terhadap pelanggar melalui sebuah proses yang juga diatur dalam hukum.

Pengertian hukum yang diberikan diatas adalah pengertian hukum yang bersifat positivisme dalam artian hukum positif, yakni hukum yang berlaku dalam suatu negara yang dibentuk atas dasar kesepakatan bersama.

3) Pengakuan Hukum Adat dalam Hukum Positif di Indonesia

Hukum Adat merupakan hukum yang bersifat melengkapi hukum positif sebagaimana yang diatur dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum diamandemen yang menyebutkan bahwa, segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang – Undang Dasar ini. Dan disini segala peraturan yang sedang berlaku tersebut merupakan hukum yang ada dalam masyarakat yaitu hukum adat. Hukum positif adalah hukum tertulis yang salah satu sumber hukumnya adalah nilai – nilai yang ada dalam masyarakat, sehingga hukum adat merupakan sumber hukum positif.

(16)

Konstitusi kita sebelum diamandemen belum menunjukkan adanya pengakuan dan penggunaan istilah hukum adat. Namun apabila ditelaah maka rumusan-rumusan dalam UUD 1945 sendiri itu mengandung nilai luhur dan Jiwa bangsa Indonesia yang terdapat dalam hukum adat. Pembukaan UUD 1945 sendiri mencerminkan kepribadian bangsa Indonesia yang hidup dalam nilai-nilai dan pola pikir hukum adat. Hal itu dapat dilihat dari pasal yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu pasal 29 (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Manusia, pasal 33 (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.

Namun setelah diamandemen hukum adat diakui sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 yaitu pasal 18 B ayat 2 yaitu : Negara menagkui dan menghormati kesatuan–kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Uundang-undang. Dalam memberikan tafsiran terhaddap ketentuan tersebut Jimly Ashiddiqie menyatakan perlu diperhatikan bahwa pengakuan ini diberikan oleh Negara:

1. Kepada eksistensi suatu masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional yang dimilikinya;

2. Eksistensi yang diakui adalah eksistensi kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat. Artinya pengakuan diberikan kepada satu persatu dari kesatuan-kesatuan tersebut dan karenanya masyarakat hukum adat itu haruslah tertentu;

3. Masyarakat hukum adat itu memang hidup ( masih hidup )

4. Dalam lingkungannya yang tertentu pula;

5. Pengakuan dan penghormatan itu diberikan tanpa mengabaikan ukuran-ukuran kelayakan bagi kemanusiaan sesuai dengan tingkat perkembangan keberadaaan bangsa. Misalnya tradisi-tradisi tertentu yang memang tidak layak lagi dipertahankan tidak boleh dibiarkan tidak mengikuti arus kemajuan peradaban hanya karena alasan sentimentil;

(17)

6. Pengakuan dan penghormatan itu tidak boleh mengurangi makna Indonesia sebagai suatu negara yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Memahami rumusan pasal 18 B UUD 1945 tersebut maka:

1. Konstitusi menjamin kesatuan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya;

2. Jaminan Konstitusi sepanjang hukum adat itu masih hidup;

3. Sesuai dengan perkembangan masyarakat,dan;

4. Sesuai dengan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia;

5. Diatur dalam undang-undang

Dengan demikian konstitusi ini, memberikan jaminan pengakuan dan penghormatan hukum adat apabila memenuhi syarat :

1. 1.Syarat realitas, yaitu hukum adat masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat.

2. Syarat idealitas,yaitu sesuai dengan prinsip negara Kesatuan Republik Indonesia dan keberlakuan diatur dalam UU.

Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “ identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Sebagaimana penjelasan UU No 39 Tahun 1999 ( TLN No. 3886) pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa hak adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan penegakan hak asasi Manusia dalam masyarakat bersangkutan dalam memperhatikan hukum dan peraturan Per Undang-undangan. Selanjutnya penjelasan, pasal 6 ayat 2 menyatakan dalam rangka penegakan Hak Asasi Manusia, identitas budaya nasional masyarakat hukum adat yang masih secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat, tetap dihormati dan dilindungi sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas Negara Hukum yang berintikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam ketentuan tersebut, bahwa hak adat termasuk hak atas tanah adat dalam artian harus dihormati dan

(18)

dilindungi sesuai dengan perkembangan zaman, ditegaskan bahwa pengakuan itu dilakukan terhadap hak adat yang secara nyata dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat setempat.

C. Contoh Pengakuan Adat oleh Hukum Positif Di Indonesia

Berbicara persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat mendasar karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupakan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus salah satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut.. Dalam penjatuhan pidana oleh salah satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.

Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.

(19)

Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi

 Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)

 Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).

 Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)8

Pengakuan hukum Adat dalam hukum positif di Indonesia juga terlihat dalam hukum adat perkawinan, dimana perkawinan yang dilakukan oleh kedua pihak mempelai biasanya atas dasar perjodohan yang ditentukan oleh orang tua dari masing-masing anak. Perkawinan semacam ini sudah dilakukan oleh para pendahulu turun temurun sampai sekarang (dibeberapa tempat yang masih kuat hukum adatnya). Filosofinya adalah perkawinan tersebut tidak hanya menghubungkan dua manusia saja, akan tetapi persatuan dua keluarga dan mengeratkan hubungan.

Namun, fakta membuktikan adanya benturan-benturan hukum yang terjadi antara masalah perkawinan adat yang memperbolehkan melakukan perkawinan di usia baligh walaupun si laki-laki belum mencapai usia 19 tahun dan si wanita usia 16 tahun, dengan hukum positif yang diatur oleh UU No. 1 Tahun 1974 yang menentukan batasan umur minimal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Sehingga dari pasal tersebut bisa kita lihat bahwa hukum positif tidak memperbolehkan perkawinan di bawah umur minimal. Hukum positif mengatur hal tersebut mengharapkan agar orang yang akan menikah sudah memiliki kematangan dalam menghadapi kehidupan, sehingga tidak terjadi penyesalan di akhir kemudian seperti perceraian.

8http://hukum-islam-hukum-adat-dan-hukum-barat.html diakses pada tanggal 28 maret pukul

(20)

Akan tetapi, perkawinan adat tetap bisa dijalankan meskipun terpaksa karena UU No. 1 Tahun 1974 masih memungkinkan akan terjadi penyimpangan. Melihat pada saat ini cara pikir masyarakat Indonesia yang melakukan penyimpangan-penyimpangan karena salah mengadopsi pemikiran-pemikiran yang glamour. Maka dari itu dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, bagi yang ingin melakukan perkawinan (adat) dibawah umur pengadilan memberikan dispensasi.

Adat seperti ini akan banyak kita temui saat ini di daerah pedalaman-pedalaman yang masih belum tersentuh modernisasi. Dan dapat dilihat hasilnya, minim pengetahuan namun memiliki kekuatan budaya yang kuat sehingga kehidupan yang dijalani tidak seperti orang modern yang cerai-cerai semakin marak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang ada sebenarnya adalah demi kemaslahatan langgengnya sebuah perkawinan, artinya pengkondisian yang ada di hukum adat merupakan dasar-dasar yang meminimkan masalah yang akan timbul di kemudian hari. Jadi, hukum Adat pun menjadi salah satu pertimbangan dalam pembuatan Hukum poisitif di Indonesia.

(21)

IV. PENUTUP KESIMPULAN

Hukum adat merupkan hukum yang telah ada dan telah hidup lama dan mendarah daging di dalam masyarakat adat. Hukum adat merupakan sekumpulan kebiasaan masyarakat adat yang telah di patuhi secara turun-temurun dan mempunyai sanksi tersendiri berupa sanksi moral bagi masyarakat adat yang hidup dan tinggal di wilayah tertentu. Kebanyakan pengaturan hukum adat tersebut tidak dikodifikasikan.

Ketika Indonesia merdeka, maka disitulah wujud dari adanya suatu negara baru dengan sistem pemerintahan yang baru. Dari sinilah makan muncul pemikiran untuk menyatukan beberapa aturan hukum adat menjadi satu kesatuan hukum yaitu dengan unifikasi hukum dengan cara membentuk hukum positif. Tujuan di bentuknya suatu unifikasi hukum ini adalah untuk menghindari pluralisme hukum sehingga ketika terjadi suatu konflik maka hukum yang di gunakan adalah hukum positif.

Ketika adanya suatu hukum positif di Indonesia sebenarnya posisi hukum adat itu masih di akui oleh masing-masing daerah, hanya saja hukum adat yang berlaku tersebut merupakan hukum pelengkap (unfullen recht). Hal itu dapat di lihat dalam Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18 B dan yang tercantum di UUPA.

(22)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1978, Kedudukan Hukum Adat dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung : Alumni.

Afrizal, Dika. Makalah Hukum Adat sebagai Hukum Positif.

http://sophost.blogspot.com/2011/08/makalah-hukum-adat-sebagai-hukum.html, diakses pada 25 Maret 2015

Patricia, Hukum Islam Hukum Adat dan Hukum Barat, http://patricia-seohyerim.blogspot.com/2011/05/hukum-islam-hukum-adat-dan-hukum-barat.html , diakses pada 23 Maret 2015

Soekanto, Soerjono. 2012, Hukum Adat Indonesia, Jakarta : Rajawali Pers.

Sudiyat, Iman. 2010, Asas – Asas Hukum Adat Bekal Pengantar, Yogyakarta : Liberty.

Subekti, Trusto. 2013, Hukum Adat, Bahan Pembelajaran, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian wawancara tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam pemberian izin SPA di Makassar cukup optimal dalam meminimalisir tempat-tempat yang di

Prosiding Seminar Nasional Perhepi Pengelolaan Agribisnis Pangan Pola Korporasi Pada Lahan Sub Optimal ISBN:

Hasil estimasi menunjukkan bahwa PDRB Perkapita dan pertumbuhan ekonomi berpengaruh dan signifikan terhadap pendapatan asli daerah di Provinsi Jambi tahun 2000-2014.Hasil uji

Kondisi otot punggung yang kokoh dan kuat ini membantu Badak sumatra dalam aktifitas menggerakkan tubuh pada saat berkubang dalam lumpur dan juga menyokong rigiditas

Berdasarkan hasil penelitian dapat disim- pulkan bahwa meski belum menunjukkan penca- paian kemampuan reflective judgment yang mak- simal, pembelajaran materi ekosistem berbasis

1) Sebaiknya pihak Lembaga PGSD dan Pusat Pengembangan PPL UNNES menjelaskan secara detail dan jelas tentang rangkaian pelaksanaan kegiatan PPL dan kriteria

Dari data prosentase kemandirian belajar mahasiswa pada tabel 6 dalam penerapan metode pembelajaran e -learning pada siklus II mahasiswa yang memiliki kemandirian dan

Penilaian keterampilan dilakukan guru dengan melihat kemampuan peserta didik dalam mengkomunikasikan hasil analisis sistem pemerintahan demokrasi berdasarkan