• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Mawaru-Penguindrum (selanjutnya akan disingkat MP) merupakan salah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Mawaru-Penguindrum (selanjutnya akan disingkat MP) merupakan salah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Mawaru-Penguindrum (selanjutnya akan disingkat MP) merupakan salah satu contoh serial novel fiksi dengan dunia imajinatif dan kisah yang menyentuh. Serial novel ini merupakan karya kolaborasi dari sutradara anime Ikuhara Kunihiko dan novelis Takahashi Kei. MP adalah serial anime orisinal dengan genre surealisme fantasi yang ditayangkan antara bulan Juli hingga Desember tahun 2011. Selain dalam bentuk anime, kisah MP juga dirangkum dalam tiga jilid novel yang diterbitkan oleh Gentosha. Novel jilid pertama (上) terbit berdekatan

dengan dimulainya penayangan versi anime yaitu pada tanggal 10 Juli 2011, jilid kedua (中) diterbitkan pada tanggal 31 Oktober 2011, dan jilid terakhir (下) terbit

29 Februari 2012.

Konsep cerita MP diciptakan oleh Ikuhara Kunihiko, selain itu ia juga menyutradari versi anime MP. Ikuhara Kunihiko mengambil tema utama keluarga dalam serial ini. Ia mengambil gambaran dari berbagai fenomena sosial yang terjadi di Jepang selama beberapa tahun terakhir untuk mendukung tema tersebut. Contohnya adalah serangan teror gas sarin yang dilakukan oleh Aum Shinrikyou tahun 1995, kasus kekerasan terhadap anak, disfungsi keluarga, dan perubahan bentuk maupun arti keluarga dalam masyarakat Jepang modern. Ikuhara Kunihiko dikenal memiliki cara unik untuk mengungkapkan tema dalam setiap karyanya. Ia mencampurkan berbagai metafora, gaya surealisme, dan unsur fantasi sehingga

(2)

terciptalah cerita dengan dunia ajaib khas Ikuhara Kunihiko seperti yang terlihat dalam MP.

Serial novel MP menceritakan petualangan Takakura Shouma dan Takakura Kanba mencari penguindrum demi menyelamatkan Himari, adik kesayangan mereka. Pada awalnya mereka memiliki kehidupan biasa namun semua berubah drastis ketika Himari yang penyakitnya tidak bisa disembuhkan dengan pengobatan apapun, tiba-tiba meninggal. Akan tetapi, Himari bisa hidup kembali karena nyawanya sedikit diperpanjang oleh sosok misterius yang bersemayam dalam topi berbentuk kepala penguin yang dibelikan Shouma di toko oleh-oleh Akuarium Sunshiny Ikebukuro. Sosok Topi Pinguin memerintahkan kedua bersaudara itu untuk mencari suatu benda misterius yang ia sebut sebagai penguindrum sebagai syarat apabila mereka ingin menyelamatkan dan mengubah takdir Himari.Suatu hari, Takakura bersaudara mendapat kiriman paket berisi tiga ekor pinguin hidup yang anehnya hanya bisa terlihat oleh mereka bertiga saja.

Petualangan mencari penguindrum bersama pinguin-pinguin ajaib itu mempertemukan Takakura bersaudara dengan tokoh-tokoh lainnya seperti Oginome Ringo si gadis penguntit yang eksentrik, aktris teater terkenal Tokikago Yuri yang ternyata seorang lesbian, dan Watase Sanetoshi, sosok “hantu” pemuda misterius yang mendirikan Kelompok KIGA untuk menghancurkan dunia lewat serangan teror bom kereta bawah tanah. Takakura bersaudara juga harus berhadapan dengan adik kembar Kanba yaitu Natsume Masako yang ingin menyelamatkan Mario, adiknya sekaligus merebut kembali Kanba dari keluarga Takakura. Ditambah lagi, Kanba dan Himari nyaris celaka akibat perbuatan

(3)

Tabuki Keiju, wali kelas Shouma dan Kanba yang diam-diam berambisi untuk balas dendam kepada keluarga Takakura. Seiring perjalanan cerita, terkuaklah rahasia bahwa orang tua Takakura bersaudara ternyata merupakan anggota KIGA dan pelaku serangan teror bom di kereta bawah tanah enam belas tahun lalu. Semua tokoh yang disebutkan di atas memiliki hubungan dengan peristiwa itu meski mereka tidak terlibat secara langsung. Perjalanan cerita mengungkap satu persatu sisi gelap dari para tokoh, lalu pada akhirnya mereka dapat terbebas dari belenggu masa lalu yang diakibatkan oleh teror bom dengan caranya masing-masing.

Ikuhara mencoba menggambarkan betapa berartinya kehidupan sehari-hari yang biasa kita jalani melalui apa yang terjadi pada keluarga Takakura dalam MP. Dari ringkasan cerita di atas kita dapat melihat kehidupan Shouma, Kanba, dan Himari berubah secara mendadak. Mereka mengalami hal-hal yang tidak biasa yang membawa perubahan dalam kehidupan mereka, terutama semenjak kematian Himari. Apa yang ingin ditampilkan oleh Ikuhara itu sejalan dengan istilah kehidupan karnivalis dalam teori dialogis Bakhtin. Kehidupan karnivalis adalah kehidupan yang tidak biasa atau keluar dari jalur umum (down out of its usual rut atau life turned inside out) (Bakhtin, via Suwondo:2001).

Ikuhara juga memasukkan berbagai macam unsur yang membuat kisah MP terlihat semakin dramatis dan menarik untuk diikuti. Unsur-unsur itu mencerminkan perilaku yang dalam teori dialogis Bakhtin disebut dengan perilaku karnival (carnival attitude). Beberapa unsur perilaku karnival yang terlihat dalam MP di antaranya adalah (1) petualangan yang fantastik; (2) manusia

(4)

abnormal, aneh, dan eksentrik; (3) berbagai adegan skandal; (4) unsur komikal; (5) campuran berbagai genre seperti puisi, cerpen, novel, syair lagu, surat, dan lain-lain; dan (6) adanya sifat jurnalistis dan publistis, misalnya disebutkannya nama-nama tokoh populer. Khusus di dalam karya sastra, terutama novel, unsur-unsur yang mencerminkan perilaku karnival tersebut antara lain terdapat di dalam komposisi (struktur) dan situasi-situasi plot.

Bakthin berkeyakinan bahwa karnival merupakan perilaku yang membuka jalan bagi lahirnya genre novel polifonik yang sifat dasarnya dialogis (via Suwondo, 2001:9). Istilah polifonik diambil Bakhtin dari bidang musik yang artinya banyak “suara” (multiple voice), kemudian digunakan untuk menyebut genre karya sastra yaitu novel polifonik. Novel polifonik adalah novel yang memiliki karakteristik antara lain sebagai berikut: (1) bersifat dialogis, (2) menghimpun heteroglosia (berbagai teks, bahasa, genre) ke dalam novel, (3) prinsip dasar konstruksinya bukan evolusi, melainkan koeksistensi (hadir bersama, berdampingan), (4) “suara” para tokoh cenderung bebas dan independen, (5) inti dari novel polifonik adalah konflik antar kekuatan atau “suara”. Dalam novel polifonik, tokoh dan pengarang berada dalam hubungan dialogis. Tokoh-tokoh dan dunianya juga tidak menutup diri satu sama lain, tetapi saling berhubungan dengan berbagai cara. Kebenaran yang muncul dari mereka saling berkonfrontasi secara dialogis sehingga membentuk dialog besar yang disusun oleh pengarang. Gagasan dalam novel polifonik cenderung dialogis, pengarang dan tokoh memiliki jarak tertentu sehingga gagasan lain yang muncul dari tokoh tidak terobjektivikasi oleh pengarang. Jadi, tidak hanya terdapat gagasan tunggal dari

(5)

pengarang tetapi gagasan dari para tokoh juga tetap eksis sebagai gagasan tokoh itu sendiri.

Suatu karya dapat dikatakan dialogis apabila di dalamnya terdapat berbagai perspektif dan “suara”, setiap tokoh memiliki argumen dan pemikiran masing-masing namun tetap berhubungan dan berinteraksi satu sama lain tanpa terobjektivikasikan oleh “suara” pengarang. Kedialogisan novel polifonik juga ditandai oleh adanya upaya mendialogisasi atau menghimpun heteroglosia (berbagai teks, bahasa, wacana, atau genre) ke dalam dirinya. Hal itu sesuai dengan pernyataan Bakhtin (via Suwondo, 2001:192) bahwa tidak ada tuturan tanpa ada hubungan dengan tuturan-tuturan lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka serial novel MP dapat diasumsikan sebagai novel karnivalis. Akan tetapi, apakah dengan ditemukannya unsur-unsur karnival tersebut dalam novel juga dapat membuktikan bahwa MP merupakan karya polifonik dan dialogis? Untuk mengetahuinya maka perlu dilakukan analisis pada empat aspek yaitu karnivalisasi dan komposisi, hubungan antartokoh, representasi gagasan, dan dialog intertekstual. Hal tersebut melatarbelakangi keinginan penulis untuk meneliti serial novel MP menggunakan teori dialogis Mikhail Bakhtin.

I.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang, serial novel MP diasumsikan sebagai novel karnivalis yang cenderung polifonik dan dialogis. Menurut Suwondo (2001:9), pembahasan unsur karnival, kepolifonikan, dan kedialogisan suatu karya tidak dapat dipisah-pisahkan karena mengacu kepada sebuah tesis yang Bakhtin ajukan

(6)

dalam upaya mendefinisikan ciri-ciri mendasar genre novel polifonik. Oleh karena itu, untuk membuktikan bahwa MP adalah novel karnivalis, polifonik, dan dialogis, maka akan dilakukan analisis pada beberapa aspek novel polifonik menggunakan teori dialogis Bakhtin dengan rumusan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk karnivalisasi dan komposisi novel MP?

2. Bagaimana hubungan antartokoh dalam MP?

3. Bagaimana representasi gagasan (ideologi) pengarang?

4. Seperti apakah hubungan intertekstual dalam MP?

I.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan teoritis dan tujuan praktis. Tujuan teoritis pada penelitian ini adalah untuk mengetahui kekarnivalan, kepolifonikan, dan kedialogisan dalam serial novel MP. Selain itu juga memperkenalkan aplikasi dari teori dialogis Mikhail Bakhtin sebagai salah satu bentuk analisis yang belum banyak dikenal di Indonesia. Tujuan praktisnya adalah untuk memperkenalkan MP sebagai salah satu novel modern Jepang yang ceritanya menarik, penuh makna sekaligus dapat dijadikan objek penelitian sastra.

I.4 Landasan Teori

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di atas, penelitian akan dipusatkan pada analisis kekarnivalan, kepolifonikan, dan kedialogisan serial novel MP dengan menggunakan teori dialogis Bakhtin. Teori dialogis adalah sebuah teori wacana yang dikemukakan oleh seorang filsuf sekaligus ahli linguistik dan sastra Rusia bernama Mikhail Bakhtin pada abad

(7)

ke-20. Pada awalnya dikembangkan berdasarkan hasil pembacaan Bakhtin terhadap novel karya Dostoevsky, yang kemudian dituangkan dalam buku berjudul Problems of Dostoevsky’s Poetics (Suwondo, 2001:36-37).

Salah satu konsep yang diperkenalkan Bakhtin melalui Problems of Dostoevsky’s Poetics adalah polifonik, istilah polifonik diambil dari bidang musik yang artinya banyak suara (multiple voice). Bakhtin (via Suwondo, 2001:37) menyatakan bahwa Dostoevsky telah menciptakan genre sastra baru yaitu novel polifonik. Kepolifonikan yang ditemukan dalam novel Dostoevsky memuat banyak “suara” berbeda, tidak digabungkan dalam satu sudut pandang, dan tidak menjadi subordinat terhadap “suara” pengarang. Dalam novel polifonik, tiap “suara” dari para tokoh memiliki perspektif, keabsahan, dan bobot naratifnya sendiri. “Suara” dalam teori ini dimaknai Bakhtin sebagai sudut pandang terhadap dunia. Jadi, dunia dalam novel tersebut bukanlah satu dunia objektif yang disatukan oleh “suara” pengarang, tetapi justru terdiri dari banyak kesadaran, dan tiap kesadaran itu memiliki dunianya sendiri. Bahkan dalam novel polifonik, plot hanya memiliki fungsi menyatukan berbagai materi dan unsur sehingga novel dapat mempertahankan pluralitas “suara” dan kesadaran, kemudian terbentuklah dunia polifonik dengan cirinya yaitu dialogis.

Melalui teori dialogis, Bakhtin menentang pandangan monologisme yang merupakan karakteristik dari pemikiran dan tulisan tradisional. Monologisme sangat berorientasi hanya pada satu perspektif atau kesadaran saja yang menjadi penyatu seluruh bagian, lalu menyatukan praktik yang menandakan ideologi, nilai-nilai, dan hal lain yang dianggap signifikan. Semua hal yang tidak relevan

(8)

terhadap pandangan ini akan dianggap ada gunanya atau tidak relevan secara umum. Dunia monologis disusun dari objek-objek yang disatukan melalui kesadaran tunggal. Subjek selain pengarang hanya menjadi objek, karena tidak diakui sebagai suatu kesadaran lain. Keberadaan tokoh dalam novel monologis hanya bertujuan untuk menyampaikan ideologi pengarang. Sebaliknya, pandangan dialogisme mengakui berbagai perspektif dan “suara”, setiap tokoh memiliki argumen atau pemikiran masing-masing namun tetap berhubungan dan berinteraksi satu sama lain dengan milik tokoh lain.

Bakhtin memberikan perhatian khusus kepada genre novel dalam teorinya. Menurutnya tuturan genre puisi bersifat monologis karena didominasi “suara” penyair. Sebaliknya dalam genre prosa, terutama novel, kadar intertekstual lebih tinggi dan intens maka lebih banyak ditemukan kombinasi “suara-suara” dari pengarang dan para tokoh, sehingga tuturannya memiliki sifat dialogis. Relasi dialogis kemudian menjadi suatu peristiwa wacana itu sendiri, yaitu menghidupkan dan mendramatisasikannya dari dalam ke seluruh aspeknya (Suwondo, 2001:29). Suwondo (2001:10) berpendapat, kedialogisan novel polifonik ditandai oleh adanya upaya mendialogisasi atau menghimpun heteroglosia (berbagai teks, bahasa, wacana, atau genre) ke dalam dirinya. Oleh karena itu, hubungan interteksualitas berupa keberadaan unsur-unsur berupa teks atau genre lain dalam novel juga menjadi salah satu aspek untuk dianalisis untuk menentukan kedialogisan suatu novel.

(9)

Sebagai pendukung konsep genre novel polifonik, Bakhtin (via Suwondo, 2001:45) menegaskan bahwa pada dasarnya karya sastra hidup di masa kini atau ketika karya sastra itu ditulis, namun juga tetap mengingat masa lalu. Hakikatnya, karya sastra merupakan representasi memori kreatif dari proses pengembangan sastra. Kehadiran novel polifonik sebagai sebuah genre sastra baru juga tidak terlepas dari genre-genre yang mendahuluinya. Terkait dengan hal tersebut, Bakhtin menempatkan apa yang disebut dengan tradisi sastra karnival sebagai sesuatu yang penting di dalam sejarah sastra. Dikatakan penting karena tradisi sastra karnival memberikan pengaruh yang signifikan bagi lahirnya genre novel polifonik, yaitu melalui proses transformasi berbagai unsur, terutama unsur komikal dan perilaku karnival.

Bakhtin (via Suwondo, 2001:52) berpendapat bahwa akar-akar karnival tertanam dalam tatanan dan cara berpikir primordial, berkembang dalam kondisi-kondisi masyarakat kelas, dan keunikannya tidak pernah mati di sepanjang sejarah kultural. Karnival bukan merupakan fenomena sastra, melainkan merupakan bentuk “pertunjukan indah” dari sebuah ciri ritual (syncretic pageant form of a ritual nature). Karnival merupakan sejenis pertunjukan yang bersifat kemasyarakatan, tanpa ada batasan antara penampil dan penonton. Hal ini menciptakan sebuah situasi di mana terdengar “suara-suara” berbeda yang saling berinteraksi dan memungkinkan terbentuknya dialog.

Bakhtin (via Suwondo, 2001:53-54) menyatakan bahwa perilaku karnival (carnival attitude) yang sudah disebutkan di atas dapat dipahami melalui empat kategori berikut. Pertama, adanya pertunjukan indah tanpa panggung, tanpa ada

(10)

pembagian peran sebagai pemain atau penonton. Dalam pertunjukan tersebut setiap orang dapat bergabung dan menjadi peserta aktif. Kedua, di dalam pertunjukan separuh drama itu berkembang modus baru hubungan antarmanusia yang berbeda dengan hubungan manusia dalam kehidupan normal. Dari sini akan muncul eksentrisitas, yaitu perilaku yang terbebas dari segala otoritas dan hierarki. Secara organik perilaku eksentrik berkaitan dengan kategori kontak-kontak familier; dan melalui perilaku eksentrik itu sisi sifat manusia yang mungkin tersembunyi akan dapat diungkapkan. Ketiga, segala perilaku familier (nilai, pemikiran, fenomena, benda-benda, dan sejenisnya yang terisolasi oleh perilaku hierarkis dibawa masuk ke dalam suatu kontak dan kombinasi-kombinasi karnivalistik. Keempat, dari berbagai kontak dan kombinasi karnivalistik tersebut akhirnya terjadilah semacam profanasi (penghujatan karnivalistik) yang berfungsi menerangi atau memperjelas simbol-simbol otoritas yang ada.

Tradisi sastra karnival dipercaya oleh Bakhtin telah memberikan pengaruh signifikan bagi perkembangan karya-karya prosa Eropa yang kemudian disebut sebagai karya sastra dialogis. Sebelum perkembangan itu mencapai puncak, yakni pada novel polifonik karya Dostoevsky, beberapa karakter dialogis terlihat jelas di dalam dua karya sastra genre seriokomik, yakni Socratic Dialogue dan Menippean Satire. Bakhtin (via Suwondo, 2001:47-48) berpendapat novel polifonik Dostoevsky dipengaruhi oleh karakteristik kedua karya tersebut. Oleh karena itu dalam teori dialogis Bakhtin, kombinasi karakteristik dari kedua judul yang berasal dari tradisi karya sastra karnival tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur karnival dalam suatu novel.

(11)

Berikut ini adalah lima karakteristik yang memberikan pengaruh bagi munculnya novel polifonik yang diambil dari Socratic Dialogue karya Plato, Xenophon, dan beberapa penulis lainnya (via Suwondo, 2001:48-49). Pertama, kebenaran dialogis diletakkan sebagai dasar bagi karya sastra. Untuk mencapai kebenaran dialogis tersebut, suatu kebenaran (gagasan) harus dipertentangkan dengan kebenaran lain sehingga lahir kebenaran baru. Kedua, adanya dua perangkat dasar, yaitu sinkrisis dan anakrisis. Sinkrisis dipahami sebagai bentuk penjajaran dramatis berbagai sudut pandang terhadap objek tertentu, dan dalam teknik penjajaran itu berbagai pendapat disesuaikan dengan suatu kepentingan yang lebih besar. Anakrisis dipahami sebagai provokasi, yaitu sarana yang berupa kata, ungkapan, atau situasi yang berfungsi untuk mendesak interlokutor (lawan bicara) agar mengekspresikan pendapat dan pikirannya sehingga kebenaran-kebenaran (baru) dapat ditarik darinya. Sinkrisis dan anakrisis mendialogisasi, membawa keluar, dan mengubah pemikiran menjadi suatu ungkapan di dalam dialog, dan akhirnya mengubah pemikiran-pemikiran itu menjadi hubungan dialogis antarindividu. Ketiga, tokoh-tokoh yang berdialog (tokoh utama dan interlokutornya) adalah para ideolog, yaitu manusia-manusia (pencipta) gagasan. Oleh sebab itu, seluruh peristiwa yang terjadi atau yang direproduksi merupakan peristiwa ideologis pencarian dan pengujian suatu kebenaran. Keempat, sebagai tambahan anakrisis, provokasi-provokasi tersebut berfungsi sebagai pencipta situasi yang luar biasa, sebagai pencair atas otomatisme dan objektivikasi, dan sebagai pendesak pihak lain agar terlibat secara penuh (total). Kelima, gagasan secara organik melekat pada pelukisan seorang pribadi (penyampai). Jadi,

(12)

pengujian dialogis tentang suatu gagasan secara simultan merupakan sebuah pengujian atas pribadi yang mewakilinya.

Selanjutnya ada empat belas karakteristik di dalam Menippean Satire yang ditulis oleh Heracleides Ponticus dan dianggap Bakhtin memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi lahirnya novel polifonik (Bakhtin via Suwondo, 2001:49-52) adalah sebagai berikut:

1. Mengandung unsur komikal (lucu).

2. Walaupun tokoh-tokoh rekaannya berasal dari sejarah dan legenda, mereka tidaklah statis, tetapi mempunyai kebebasan dan fantasi yang luar biasa. 3. Fantasi-fantasi dan petualangan paling berani dan bebas dimotivasi,

dibenarkan, dan dijelaskan secara internal oleh tujuan ideologis dan filosofis yang semuanya digunakan untuk menciptakan situasi yang luar biasa sebagai sarana untuk menguji kebenaran (gagasan filosofis).

4. Adanya kombinasi fantasi dan simbolisme organik yang bebas.

5. Secara berani fantasi digabung dengan universalisme filosofis dan ideologis.

6. Dalam hubungannya dengan universalisme filosofis tampak ada suatu konstruksi tiga tingkat, yaitu sinkrisis tindakan ditransfer dari bumi, lalu ke Olympus, dan akhirnya ke dunia bawah tanah.

7. Terdapat berbagai eksperimen yang fantastik dan aneh.

8. Muncul berbagai eksperimen moral psikologis, misalnya manusia abnormal, pribadi yang terbelah, mimpi di siang hari, atau bunuh diri.

(13)

Dalam hal ini, unsur komikal dan tragikal muncul bersamaan, dan dari proses eksperimen itulah kehidupan lain dapat diungkapkan.

9. Muncul berbagai adegan skandal, perilaku eksentrik, tindakan yang tidak sesuai, pelanggaran yang diterima umum, pemprofanan hal-hal yang sakral, pelanggaran etika, dan sebagainya.

10. Terdapat banyak kontras tajam dan berbagai kombinasi oksimoronik (kaisar-budak, bangsawan-bandit, kaya-miskin), dan kontras-kontras itu muncul secara simultan dan tidak terduga.

11. Ada unsur utopia sosial dalam bentuk mimpi atau perjalanan ke antah-berantah.

12. Banyak digunakan genre atau teks lain (surat, pidato, prosa, puisi, dan sebagainya).

13. Kehadiran karya-karya lain tersebut mengintensifkan kearagaman gaya dan nada; dan dari sini terbentuklah suatu perilaku baru, yaitu perilaku dialogis.

14. Terdapat unsur publisistis atau jurnalistis yang berhubungan dengan berbagai persoalan ideologis yang bersifat kontemporer. Oleh karena itu, banyak ditampilkan tokoh-tokoh publik terkemuka yang telah surut untuk mengungkap berbagai peristiwa besar dan atau perubahan-perubahan baru yang mungkin muncul.

Khusus di dalam karya sastra, terutama novel, unsur-unsur yang mencerminkan perilaku karnival tersebut antara lain terdapat di dalam komposisi (struktur) dan situasi-situasi plot. Unsur-unsur (perilaku karnival) juga

(14)

menentukan familiaritas posisi pengarang dalam kaitannya dengan para tokoh, dan semua itu, akhirnya berpengaruh pula pada gaya verbal karya itu sendiri. Oleh sebab itu, sangat masuk akal apabila peristiwa “karnivalisasi kesusastraan” menjadi bagian dari tradisi sastra yang terus bertahan hidup hingga zaman modern. Hanya saja, sesuai dengan berbagai perubahan yang terus terjadi di dalam suatu kehidupan, peristiwa kernivalisasi kesusastraan di zaman modern ini tentu juga mengalami berbagai perubahan bentuk dan makna (Bakhtin via Suwondo, 2001:55-56).

Berdasarkan uraian mengenai teori dialogis, novel polifonik, dan unsur perilaku karnival di atas, dan terlihatnya beberapa unsur karnival dalam MP karya Ikuhara Kunihiko dan Takahashi Kei, maka dapat diasumsikan novel ini merupakan novel karnivalis (carnivalized literature) dengan kecenderungan polifonik (banyak “suara”, banyak pandangan, banyak gagasan) dan juga bersifat dialogis.

1.5 Tinjauan Pustaka

Sejauh ini penulis belum menemukan penelitan yang menggunakan serial novel MP sebagai obyek material dalam penelitian sastra baik di Universitas Gadjah Mada maupun universitas lain di Indonesia. Penulis menemukan empat penelitian yang menggunakan teori dialogis Mikhail Bakhtin dalam lingkup Universitas Gadjah Mada.

Pertama, tesis berjudul Olenka: Tinjauan Dialogis, ditulis oleh Tirto Suwondo pada tahun 2000. Dari hasil analisis ditemukan bahwa karnivalisasi dalam novel tidak dapat mengalahkan “suara” pengarang yang membatasi

(15)

kepolifonikan dan kedialogisan novel Olenka. Delisma Onny melalui tesis Bednye Ljudi: Sebuah Analisis Dialogis pada tahun 2005, mendapat kesimpulan dari analisisnya yaitu meski hanya melalui kesadaran-kesadaran dua tokoh utama, namun unsur-unsur karnival yang tercermin di dalam cerita dan usaha pengarang untuk memberikan kebebasan berpendapat bagi para tokoh, dapat menunjukkan bahwa Bednye Ljudi dapat disebut novel polifonik dan dialogis meski tak seramai karya-karya Dostoevsky lainnya.

Selanjutnya, ada dua skripsi dari jurusan Sastra Jepang yang menggunakan teori dialogis, yaitu Hubungan Dialogis Dalam Novel Fukai Kawa Karya Endoo Shuusaku: Sebuah Tinjauan berdasarkan Teori Dialogis Mikhail Bakhtin yang ditulis oleh Geoliany Faresta Zuwinda tahun 2005 dan Analisis Dialogis Dalam Novel Saga no Gabai Baachan Karya Shimada Youshichi yang ditulis Nia Rizmayani tahun 2014. Geoliany mendapatkan hasil analisis berupa novel Fukai Kawa terkarnivalisasi baik secara eksternal maupun internal, namun unsur-unsur karnival tersebut tidak menjamin Fukai Kawa sebagai novel yang sepenuhnya polifonik dan dialogis. Hal ini disebabkan karena representasi gagasan dari pengarang lebih kuat daripada gagasan para tokoh dalam novel, sehingga hanya satu “suara” yang terdengar yaitu “suara” pengarang. Nia Rizmayani menyimpulkan bahwa Saga no Gabai Baachan merupakan novel karnivalistis sesuai dengan unsur-unsur karnival yang ditampilkan dalam cerita. Ia tidak menyebutkan secara langsung apakah novel tersebut adalah novel polifonik yang dialogis atau tidak dalam bab kesimpulan.

(16)

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa meskipun ada kesamaan objek formal (teori) dengan empat penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dalam lingkup Universitas Gadjah Mada, namun penelitian sastra dengan objek material serial novel MP belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini memiliki kebaruan dalam hal objek material dan hasil penelitian. 1.6 Metode Penelitian

Metode yang ditempuh dalam penelitian ini dilalui dengan beberapa tahapan. Pertama, penulis menentukan dan membaca teks yang akan dipakai sebagai objek penelitian, yaitu tiga jilid serial novel asli berbahasa Jepang berjudul Mawaru-Penguindrum karya Ikuhara Kunihiko dan Takahashi Kei, yang diterbitkan Gentosha antara tahun 2011 hingga 2012. Kedua, penulis menentukan teori yang akan digunakan sebagai landasan analisis yaitu teori dialogis Mikhail Bakhtin. Selanjutnya, penulis melakukan analisis data dengan mencari dan menjabarkan bentuk karnivalisasi, komposisi, hubungan antartokoh, representasi gagasan, dan hubungan intertekstual dalam novel untuk menjelaskan kekarnivalan, kepolifonikan, dan kedialogisan dari objek penelitian. Terakhir adalah membuat kesimpulan hasil akhir dari penelitian yang telah dilakukan, yaitu mengetahui serial novel MP adalah novel polifonik dan dialogis atau malah sebaliknya, digolongkan sebagai novel monofonik yang tidak dialogis.

1.7 Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab. Bab satu berupa pendahuluan meliputi (1) latar belakang penelitian, (2) rumusan masalah, (3) landasan teori, (4) tujuan penelitian, (5) tinjauan pustaka, (6) metode penelitian,

(17)

dan (7) sistematika penulisan. Bab kedua memuat tentang pengarang dan karyanya. Bab ketiga berisi tinjauan dialogis terhadap serial novel MP menggunakan teori dialogis Bakhtin untuk menjawab pertanyaan yang telah dicantumkan dalam rumusan masalah.Terakhir, bab empat berisi kesimpulan dari hasil penelitian terhadap serial novel MP karya Ikuhara Kunihiko dan Takahashi Kei. 

Referensi

Dokumen terkait

PENDIDIKAN Bantuan Keuangan untuk Program Pendidikan Menengah 07) Pengadaan Alat Laboratorium IPA SMA/SMK Tercukupinya kebutuhan alat praktek pembelajaran SMA/SMK Tercukupinya alat

Pengambilan keputusan adalah sebuah hasil dari pemecahan masalah, jawaban dari suatu pertanyaan sebagai hukum situasi, dan merupakan pemilihan dari salah satu

Untuk mewadahi bebepa lapis ”pemula” dalam proses pembinaan prestasi (khususnya sub- cabor RENANG) yang saat ini ”giat dan aktif” berlatih maka kami bermaksud

(5) Tahapan pembangunan sistem prasarana kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, yang meliputi pelayanan air minum, air limbah, drainase, persampahan,

Berdasarkan hasil konsentrasi logam Pb yang dihasilkan, pada hari ke nol sudah terdapat logam Pb di daging ikan yang diambil dari bak perlakuan dengan rata-rata konsentrasi

Pelapisan menggunakan nikel dengan tebal 40 mm pada aluminium alloy 2024 yang berukuran 50 x 50 mm dengan cara elektroplating dibutuhkan waktu selama 16.25 menit sedangkan

Metode ini digunakan karena penelitian dilakukan di dalam kelas yang sudah tersedia bagaimana adanya tanpa ada manipulasi situasi kelas maupun jadwal pelajaran

Perlu diteliti kembali untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi komitmen afektif karyawan sehingga pihak manajemen rumah sakit mempunyai cara untuk lebih