• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

31 A. Karakteristik Pasien

Karakteristik pasien dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, usia, penyakit penyerta, serta lama rawat inap. Pasien dalam penelitian ini yaitu pasien yang didiagnosa CHF dengan atau tanpa penyakit penyerta yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Januari sampai Mei 2015. Jumlah populasi dalam penelitian ini yaitu sebanyak 42 pasien dengan jumlah sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 20 pasien dan yang tidak memenuhi kriteria inklusi sebanyak 22 pasien yang meliputi 19 pasien diagnosa utamanya bukan CHF, 1 pasien meninggal, serta 2 pasien pulang atas permintaan sendiri (APS).

1. Karakteristik Pasien Berdasarkan Jenis Kelamin

Karakteristik pasien berdasarkan jenis kelamin terbagi dalam 2 kelompok yaitu laki-laki dan perempuan. Persentase CHF dapat dilihat pada gambar 4 pada wanita sebanyak 45% (9 pasien) sedangkan laki-laki 55% (11 pasien) dari total pasien 100% (20 pasien), artinya pada penelitian ini prevalensi CHF pada wanita lebih rendah daripada laki-laki. Mehta dan Cowie (2006) juga memaparkan bahwa prevalensi kejadian CHF lebih rendah pada

(2)

wanita dibandingkan laki-laki pada kisaran usia antara 25-85 tahun keatas. Berdasarkan cohort study di USA, 2-5 dari 1000 orang pertahunnya menderita CHF dan insiden CHF pada laki-laki lebih tinggi daripada wanita (Bui et al., 2011).

Gambar 1. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin 2. Karakteristik Pasien Berdasarkan Usia

Berdasarkan usia, pada penelitian ini sejumlah 20 pasien dikategorikan dalam rentang usia yang bervariasi yaitu pada rentang usia 15-24 tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun, 45-54 tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun dan ≥ 75 tahun. Kategori pengelompokkan usia tersebut diambil berdasarkan data dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (2014) bahwa estimasi penderita penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan stroke pada kelompok usia tahun 2013 diklasifikasikan dalam beberapa rentang usia antara 15-24 tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun, 45-54 tahun, 55-64 tahun, 65-74 tahun dan ≥75 tahun.

55% 45%

Laki-laki Perempuan

(3)

Persentase yang diperoleh berdasarkan gambar 5 pada rentang usia 15-24 tahun 5% (1 pasien), usia 25-34 tahun tidak ada pasien masuk pada rentang usia tersebut, usia 35-44 tahun 5% (1 pasien), usia 45-54 tahun 25% (5 pasien), usia 55-64 tahun 35% (7 pasien), usia 65-74 tahun 25% (5 pasien) dan usia ≥ 75 tahun 5% (1 pasien).

Gambar 2. Karakteristik berdasarkan usia

Hasil tersebut menunjukkan bahwa pasien yang menderita CHF banyak ditemukan pada pasien dengan rentang usia 45-54 tahun, usia 55-64 tahun dan usia 65-74 tahun. Berdasarkan Framingham Heart Study, kejadian gagal jantung lebih tinggi pada

kelompok lanjut usia (Bui et al., 2011). Curtis et al. (2008) melakukan penelitian mengenai prevalensi kejadian gagal jantung pada lanjut usia dari tahun 1994-2003, prevalensi lebih tinggi

terjadi pada rentang usia 65-69 tahun. Tahun 2000-2010, diperkirakan ada 1 juta pasien CHF yang menjalani rawat inap. Sebagian besar dari pasien CHF berada pada kelompok usia 65

0% 5% 10% 15% 20% 25% 30% 35% 15-24 25-34 35-44 45-54 55-64 65-74 ≥75 Per sen tas e (% ) Usia (tahun)

(4)

tahun atau lebih, sementara pada kelompok usia <65 tahun terjadi peningkatan dari 23% menjadi 29% selama periode tersebut (Hall et al., 2012).

3. Karakteristik Pasien Berdasarkan Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta bukan hanya hal yang sering dijumpai pada pasien CHF, tetapi juga merupakan salah satu penyebab peningkatan prevalensi selama dekade terakhir (Wong et al., 2011). Berdasarkan table 4 dapat dilihat bahwa persentase tertinggi pada penyakit penyerta dengan jumlah ≥ 3 penyakit penyerta (50%). Persentase yang tinggi ini menunjukkan bahwa resiko terjadinya komplikasi pada pasien CHF sangat besar. Wong et al. (2011) juga menyebutkan bahwa pasien CHF yang memiliki 5 atau lebih penyakit penyerta dalam keadaan kronis semakin meningkat dari 42% pada tahun 1988-1994 menjadi 58% pada tahun 2003-2008.

Penyakit penyerta yang paling banyak dialami pasien pada penelitian ini adalah Ischemic Heart Disease (IHD) atau nama lainnya Coronary Artery Disease (CAD) dengan jumlah pasien sebanyak 12 dari total 20 pasien (Tabel 4).

(5)

Tabel 1. Karakteristik berdasarkan penyakit penyerta Jumlah

Penyakit Penyerta

Penyakit Penyerta Jumlah

Pasien Persentase 1 penyakit

penyerta Bronkopneumonia 1 5%

2 penyakit penyerta

Hipertensi tipe II,

1

45% obstruksi chest pain

SIRS, hipokalemia 1 Atrial fibrilasis,

bronkhitis akut 1

IHD, atrial fibrilasis 1 IHD, bronkospasme 1 IHD, bronkhitis akut 1 IHD, atrial fibrilasis 1 IHD, gout artritis 1 Kardiomegali, DM tipe II 1

≥3 penyakit penyerta

Hipertensi tipe II,

hipoalbumin, DM tipe II 1

50% IHD, hipertensi, DM 1

IHD, hepatitis A,

hipertensi, DM 1

IHD, vertigo, GERD 1 Kardiomiopati, ca

mammae IV, syok septis, DM tipe II

1 Kardiomegali, ca

mammae IV, candidiasis oral

1 IHD, atrial fibrilasis,

hiperurisemia, GERD 1 IHD, DM tipe II,

obesitas, gagal ginjal ec nefropati, hipertensi tipe II, ulcer

1

IHD, syok kardiogenik,

migrain, candidiasis oral 1 IHD, dilipidemia,

hiperurisemia 1

(6)

New England Journal of Medicine melaporkan bahwa dalam

20 tahun terakhir terdapat sebanyak >43000 pasien dan 65% diantaranya CAD merupakan penyebab yang memicu terjadinya gagal jantung berdasarkan studi 24 multicenter pada terapi gagal jantung (Gheorghiade et al., 2006). Ischemic Heart Disease (IHD) atau Coronary Artery Disease (CAD) merupakan keadaan dimana terjadinya penyempitan pembuluh arteri koroner atau obstruksi yang mengakibatkan kurangnya asupan oksigen serta aliran darah ke miokardium (Dipiro et al., 2015).

Berkurangnya asupan oksigen serta nutrisi yang dibawa oleh darah tidak sesuai dengan kebutuhan, maka hal tersebut akan memicu terjadinya serangan infark pada pembuluh darah jantung yang menyebabkan kerusakan atau kematian sel otot jantung. Kerusakan atau kematian pada sel otot jantung menyebabkan kontraktilitas jantung melemah dan jantung tidak dapat memompa darah sesuai dengan kebutuhan (kardiak output). Kontraktilitas jantung yang melemah serta gangguan pada kardiak output secara alamiah dapat memicu jantung untuk melakukan kompensasi dengan melibatkan beberapa neurohormonal yang berperan sebagai vasokonstriktor seperti Angiotensin II, Arginine Vasopressin (AVP), Nor-Epinephrin, serta Endhotelin-1 sebagai upaya menormalkan kembali kardiak output (Parker et al., 2008). Keadaan ini dapat terulang dan bertambah buruk jika tidak dilakukan kontrol terhadap

(7)

IHD serta faktor resiko penyakit kardiovaskular lainnya seperti hipertensi, atherosklerosis, dan pola hidup yang buruk (Endah, 2014).

Pasien CHF dengan penyakit penyerta yang termasuk kejadian khusus pada penelitian ini adalah pasien dengan penyakit penyerta karsinoma mammae (ca mammae) stage IV. Dugaan adanya CHF pada pasien dengan karsinoma mammae adalah kejadian yang tidak diinginkan dari penggunaan agen kemoterapi untuk terapi HER2 positif. Choueiri et al. (2011) memaparkan bahwa penggunaan bevacizumab pada pasien kanker payudara (karsinoma mammae) secara signifikan dapat meningkatkan resiko terjadinya CHF. Sebanyak 27% pasien yang mendapatkan terapi transtuzumab dan agen kemoterapi lainnya menunjukkan gejala gagal jantung atau asimptomatik gangguan fungsi jantung (kardiotoksisitas), serta pada studi RCT insiden timbulnya gejala CHF berada pada rentang 0,6%-4,1% dan pada kardiomiopati antara 3%-19% (Francis et al., 2014).

4. Karakteristik Pasien Berdasarkan Lama Rawat Inap (Length of Stay) Karakteristik pasien berdasarkan Length of Stay (LOS) atau lama rawat inap dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi 2 yaitu LOS < 6 hari serta LOS ≥ 6 hari. Length of Stay yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lama waktu yang diperlukan untuk menjalani perawatan di instalasi rawat inap RSUD Panembahan

(8)

Senopati Bantul, terhitung dari pasien masuk rumah sakit hingga pasien pulang.

Tabel 2. Karakteristik lama rawat inap (Length of Stay)

Length of Stay Jumlah Persentase

< 6 hari 11 55%

≥ 6 hari 9 45%

TOTAL 20 100%

Persentase pasien dengan lama rawat inap < 6 hari lebih tinggi (55%) dibandingkan pada pasien dengan lama rawat inap ≥ 6 hari (45%) (Tabel 5). Bueno et al. (2010) memaparkan bahwa selama tahun 2006 sekitar 493.554 pasien yang menjalani rawat inap dengan diagnosa gagal jantung telah dianalisa, rata-rata lama rawat inap (LOS) selama 6.33 hari. Lama waktu rawat inap yang singkat dapat mengurangi resiko timbulnya kejadian yang tidak diinginkan selama waktu rawat inap (Bueno et al., 2010). Kriteria yang mempengaruhi lama rawat inap pasien dalam penelitian sangat bervariasi, dan yang utama diantaranya adalah berkurang atau hilangnya gejala dyspnea.

B. Identifikasi Drug Related Problems (DRPs)

Identifikasi Drug Related Problems (DRP) dalam penelitian ini dilakukan pada sejumlah 20 pasien yang memenuhi kriteria inklusi berdasarkan data yang telah dikumpulkan sebelumnya. Klasifikasi DRP yang digunakan mengikuti 5 klasifikasi dari PCNE (2006), meliputi

(9)

Adverse Drug Reaction (ADR) atau kejadian yang tidak diinginkan,

Drug choice problem atau masalah dalam pemilihan obat, Dosing

problem atau masalah dalam pemberian dosis, Drug use problem atau

masalah dalam penggunaan obat, Drug interaction atau interaksi obat. Tabel 3. Identifikasi Drug Related Problems pada pasien CHF di Instalasi

Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Januari sampai Mei 2015 Klasifikasi DRPs Uraian Jumlah kejadian Persentase Adverse drug reaction (ADR) atau reaksi yang tidak diharapkan

Efek samping yang dialami dan tidak diinginkan (alergi atau non alergi)

Efek toksik yang dialami

1 2.38%

Drug choice problem atau masalah dalam pemilihan obat

Obat yang tidak sesuai dengan indikasi

Sediaan obat yang tidak sesuai Adanya duplikasi pada kelompok terapi atau pada bahan aktif

Obat yang dikontraindikasikan (pada ibu hamil dan menyusui) Indikasi tidak diterapi

26 61.90%

Dosing problem atau masalah dalam

pemberian dosis

Dosis obat kurang atau tidak sesuai dengan regimen dosis Dosis obat terlalu tinggi atau pemberian obat sering

Durasi pengobatan dapat berjalan lambat atau cepat

- -

Drug use problem atau masalah dalam penggunaan obat

Kesalahan dalam pemberian

obat 1 2.38%

Drug interaction atau interaksi obat

Interaksi potensial maupun

aktual 14 33.33%

(10)

Berdasarkan tabel 6, DRPs drug choice problem atau masalah dalam pemilihan obat berada pada urutan pertama dengan persentase sebanyak 61.90% (26 kejadian). Drug interaction atau interaksi obat berada pada urutan kedua dengan persentase sebanyak 33.33% (14 kejadian). Artinya dalam penelitian ini terdapat lebih dari satu kejadian DRPs pada setiap pasien CHF.

1. Adverse Drug Reaction (ADR) atau Reaksi Yang Tidak Diharapkan Adverse drug reaction (ADR) atau reaksi yang tidak

diharapkan ditemukan pada pasien 2. Reaksi yang tidak diharapkan (ADR) pada pasien 2 yaitu pasien mendapatkan kaptopril dan mengeluhkan batuk. Batuk yang dialami pasien 2 diduga merupakan salah satu efek samping dari penggunaan kaptopril. Kaptopril termasuk salah satu obat golongan ACEI yang dapat mengurangi remodeling jantung. American College of Chest Physicians (ACCP) melaporkan bahwa angka kejadian batuk berada pada kisaran 5-35% pasien yang mendapatkan terapi ACEI (Dicpinigaitis, 2006). Insidensi batuk secara signifikan terjadi pada pasien selama penggunaan ACEI (Bangalore et al., 2010).

Angiotensin Converting Enzym Inhibitors (ACEI) adalah

salah satu golongan obat yang bekerja pada jalur Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) dengan menghambat pembentukan Angiotensin I

menjadi Angiotensin II melalui mekanisme inhibisi Angiotensin Converting Enzym (ACE). Inhibisi ACE selain mempengaruhi jalur

(11)

RAA juga berpengaruh pada jalur inaktivasi bradikinin (Ceconi et al., 2007). Inaktivasi bradikinin dihambat bersamaan dengan

dihambatnya ACE oleh ACEI. Penghambatan tersebut menyebabkan akumulasi bradikinin yang merangsang kemoreseptor pada saluran pernafasan, akibatnya timbul rasa tergelitik dan gatal yang berujung batuk sebagai respon (Golias et al., 2007).

2. Drug Choice Problem atau Masalah Dalam Pemilihan Obat

Kejadian DRPs pada Drug choice problem atau masalah dalam pemilihan obat ditemukan pada keseluruhan pasien yang ada dalam penelitian ini dan masing-masing kategori drug choice problem ditemukan pada pasien yang sama (Tabel 7).

Tabel 4. Angka kejadian DRPs pada drug choice problem Drug Choice Problem Uraian Nomor Pasien Jumlah Kejadian Obat tidak sesuai indikasi Alloprinol, Furosemid 3 11 Allopurinol, Ranitidin 8 , 19 Allopurinol, Candistatin 13 Furosemid, Ranitidin 12, 20 Ranitidin, Cisplatin 18 Allopurinol 9 Furosemid 5 , 6 Ranitidin 16 Indikasi tidak diterapi

Tidak adanya pemberian digoksin 1, 2, 3, 6, 11, 13, 18, 19, 20 14

Demam dan nyeri 4

DM dan ca mammae stage IV 7

Batuk berdahak 8, 12

Hiperurisemia dan syok

kardiogenik 14

Adanya

(12)

Berdasarkan tabel 7, temuan drug choice problem pada 20 pasien dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa kategori, diantaranya :

a. Obat yang tidak sesuai indikasi

Temuan obat yang tidak sesuai indikasi dalam penelitian ini yaitu pada penggunaan allopurinol, ranitidin injeksi, furosemid injeksi, candistatin, dan cisplatin. Allopurinol diindikasikan untuk pasien yang mengalami gout serta pada kondisi hiperurisemia yang berat melalui mekanisme inhibisi xantin oksidase (Pacher et al., 2006). Pacher et al. (2006) juga

memaparkan bahwa efek samping yang paling sering terjadi pada pasien yang diterapi dengan allopurinol yaitu gangguan GI, reaksi hipersensitivitas dan ruam kulit.

Beberapa pasien diberikan allopurinol (Tabel 7), baik dari hasil laboratorium maupun diagnosa dokter menunjukkan pasien tidak mengalami hiperurisemia ataupun gout. Pasien yang mengalami hiperurisemia dapat mengalami peningkatan afterload yang disebabkan karena pelepasan renin yang berlebihan yang dipicu oleh kadar asam urat yang tinggi (Thanassoulis et al., 2010).

Furosemid termasuk dalam golongan diuretik lengkungan (loop diuretic) yang bekerja pada lengkung Henle melalui mekanisme penghambatan reabsorpsi natrium dan

(13)

klorida pada sisi spesifik di tubulus ginjal. Furosemid diberikan pada pasien dengan CHF jika terdapat keluhan edema pada sebagian ataupun seluruh tubuh (Hunts et al., 2009). Artinya pemberian furosemid ini tidak sesuai dengan indikasi dan menjadi salah satu pencetus adanya reaksi yang tidak diharapkan. Pasien 3 adalah salah satu pasien yang kadar Na rendah (<135 mEq/l) karena pemberian furosemid tanpa indikasi edema. Kadar natrium <135 mEq/l merupakan penyebab paling umum gangguan keseimbangan elektrolit pada pasien yang menjalani rawat inap, akibatnya dapat memperpanjang lama rawat inap (length of stay) serta meningkatkan mortalitas (Verbrugge et al., 2015). Hiponatremia teridentifikasi sebagai salah satu faktor resiko terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pada pasien CHF serta dapat menyebabkan kekacauan sistem neurologi yang sangat berat (Oren, 2005).

Berdasarkan tabel 7 temuan penggunaan ranitidin tidak sesuai indikasi sebanyak 3 pasien (12, 16 dan 20), ketiga pasien tersebut tidak terdapat keluhan mual dan muntah. Ranitidin sebagai antagonis reseptor histamin H2 dapat menurunkan produksi asam lambung, sehingga ranitidin diindikasikan untuk pasien yang mengalami peptic ulcer disease (PUD) atau gastroesofageal reflux disease (GERD) (Ciccone, 2014).

(14)

perdarahan akut pada duodenum, acute gastric ulcer, keadaan hipersekresi seperti pada Zollinger-Ellison syndrome serta digunakan untuk mengobati mual-muntah (Santoso et al., 2015). Mual-muntah pada pasien gagal jantung kongestif diduga sebagai respon penekanan saluran cerna karena adanya hepatomegali akibat adanya retensi cairan berlebih terutama pada pasien gagal jantung kanan (Alvarez dan Debabrata, 2011). Candistatin (nistatin) juga merupakan obat yang tidak sesuai dengan indikasi pada pasien 13 (Tabel 7). Data dari Alpha Diagnostic International (2011) menyebutkan bahwa candistatin

merupakan antifungal yang efektif terhadap kandidiasis, dari diagnosis pasien tidak terdapat kandidiasis ataupun infeksi jamur yang lain.

Cisplatin adalah agen kemoterapi dengan mekanisme yang tidak terbatas hanya pada saat siklus sel terjadi tetapi juga pada saat siklus sel dalam keadaan istirahat (Dasari dan Bernard, 2014). Penggunaan cisplatin pada pasien 18 tidak sesuai dengan indikasi karena pasien tidak terdiagnosa kanker.

b. Indikasi tidak diterapi

Beberapa pasien diantaranya pasien 1, 2, 3, 6, 11, 13, 18, 19, 20 tidak diberikan terapi digoksin seperti yang tercantum dalam SPM RS sebagai terapi lini pertama serta pada klasifikasi NYHA untuk CHF terapi yang digunakan yaitu ACEI/ARB

(15)

ditambah dengan terapi beta bloker, antagonis aldosteron, diuretik, serta digoksin.

Temuan indikasi tidak diterapi lainnya pada pasien 4 yang masih mengeluh demam dimana pada hari sebelumnya pasien diberikan parasetamol dan pada saat terjadi keluhan demam lagi pemberian parasetamol dihentikan. Pasien 4 juga mengeluhkan nyeri dan belum diterapi. Gejala yang dialami oleh pasien dengan CHF selain dyspnea dan edema, sebagian besar pasien juga mengeluhkan nyeri yang membutuhkan terapi paliatif (Adler et al., 2009). Adler et al. (2009) juga memaparkan bahwa obat-obat golongan opiod merupakan terapi lini pertama untuk pasien yang mengalami nyeri yang berat, dan tidak disarankan penggunaan NSAID yang dapat memicu perdarahan saluran cerna, gagal ginjal, serta peningkatan retensi cairan.

Temuan indikasi tidak diterapi selanjutnya yaitu pada pasien 7 yang memiliki penyakit penyerta DM dan ca mammae stage IV serta pasien 8, 12 yang mengeluhkan batuk berdahak. Temuan indikasi tidak diterapi lainnya pada pasien 14 yang mengalami hiperurisemia dan syok kardiogenik. Hiperurisemia berhubungan dengan stres oksidatif yang merupakan penanda adanya perburukan prognosis pada setiap individu yang mengalami gagal jantung (Krishnan, 2009). Larina et al. (2011)

(16)

juga memaparkan bahwa sebanyak 60% pasien CHF yang menjalani rawat inap mengalami hiperurisemia sebagai akibat dari adanya dekompensasi jantung. Terapi pada pasien dengan hiperurisemia sebagai lini pertama adalah obat-obat golongan xantin oxidase inhibitors seperti allopurinol (Khanna et al,

2012).

Berdasarkan National Heart Lung and Blood Institute, syok kardiogenik adalah suatu keadaan dimana secara tiba-tiba kontraksi jantung melemah dan ketidakmampuan jantung untuk memompa darah sesuai dengan yang dibutuhkan oleh tubuh. c. Adanya duplikasi pada kelompok terapi atau pada bahan aktif

Temuan adanya duplikasi pada kelompok terapi yaitu pada pasien 2 dan mendapatkan terapi valsartan dan captopril. Valsartan merupakan obat golongan ARB yang bekerja dengan menghambat Angiotensin II pada reseptor Angiotensin I (AT1). Reseptor Angiotensin I (AT1) berperan dalam retensi Na, vasokontriksi, aktivasi saraf simpatetik serta pertumbuhan sel (Bissessor dan White, 2007). Jumlah kalium pada keadaan normal tinggi pada ekstrasel serta natrium tinggi pada intrasel, adanya pemberian valsartan dapat meningkatkan jumlah kalium di intrasel dan berakibat terjadinya hiperkalemia. Kaptopril sebagai salahsatu obat golongan ACEI jika diberikan bersamaan

(17)

dengan valsartan mampu meningkatkan resiko hiperkalemia serta hipotensi (Tatro, 2010).

3. Drug Use Problem atau Masalah Dalam Penggunaan Obat

Pemberian ceftriaxon di kontraindikasikan untuk pasien yang diberikan terapi CaCO3 dan kalitake (pasien 13). Adanya

kemungkinan toksisitas pada organ yang disebabkan oleh adanya pengendapan kalsium serta adanya kemungkinan timbulnya kejadian embolik pada pasien yang mendapatkan ceftriaxon, CaCO3 dan

kalitake (Steadman, 2010).

4. Drug Interaction atau Interaksi Obat

Berdasarkan tabel 8 terdapat 7 temuan interaksi obat pada 20 pasien dalam penelitian ini. Tingkat signifikansi pada masing-masing temuan interaksi obat berbeda-beda, berdasarkan Tatro (2010) tingkat signifikansi meliputi :

a. Signifikansi 1 menunjukkan bahwa tingkat interaksi berat. b. Signifikansi 2 menunjukkan bahwa tingkat interaksi sedang

sampai berat.

c. Signifikansi 3 menunjukkan bahwa tingkat interaksi ringan sampai berat.

d. Signifikansi 4 menunjukkan bahwa tingkat interaksi berat, dokumentasi terbatas dan beberapa belum terbukti secara klinis.

(18)

Tabel 5. Temuan drug interaction atau interaksi obat Drug Interaction Nomor

Pasien Keterangan

Spironolakton+Valsartan 1

Signifikansi: 1

Onset interaksi lambat Tingkat keparahan: mayor Spironolakton+KSR 1

Signifikansi: 1

Onset interaksi lambat Tingkat keparahan: mayor

Captopril+KSR 2

Signifikansi: 4

Onset interaksi lambat, Tingkat keparahan: moderate Gentamisin+Furosemid 4

Signifikansi: 1 Onset interaksi cepat Tingkat keparahan:mayor Allopurinol+Captopril 8, 9, 10, 15, 18, 19 Signifikansi: 4

Onset interaksi lambat Tingkat keparahan: mayor Warfarin+Ceftriakson 9

Signifikansi: 2

Onset interaksi lambat, Tingkat keparahan: moderate Digoksin+Omeprazol 10

Signifikansi: 4

Onset interaksi lambat, Tingkat keparahan: moderate Aspirin+Clopidogrel 17

Signifikansi: 1

Onset interaksi lambat Tingkat keparahan: mayor Warfarin+Allopurinol 10

Signifikansi: 4

Onset interaksi lambat, Tingkat keparahan: moderate

Temuan interaksi obat yang pertama yaitu pada pasien 1 yang mendapatkan terapi spironolakton, valsartan dan KSR (kalium klorida). Berdasarkan Drug Interaction Facts (Tatro, 2010) terdapat dua interaksi yaitu antara spironolakton dan valsartan, spironolakton dan KSR. Pemberian spironolakton mampu meningkatkan kadar serum kalium dengan mekanisme kerja sebagai non selektif antagonis aldosteron. Aldosteron dapat mengikat reseptor

(19)

mineralokortikoid di ginjal, akibatnya terjadi reabsorpsi natrium dan air serta ekskresi kalium secara bersamaan (Maron dan Leopold, 2010). Oleh karena itu pemberian spironolakton dan KSR (kalium klorida) secara bersamaan mampu meningkatkan resiko hiperkalemia sebagai akibat adanya retensi kalium. Resiko hiperkalemia juga ditingkatkan dengan adanya penggunaan valsartan.

Interaksi obat lainnya ditemukan pada pasien 4 yang mendapatkan terapi furosemid dan gentamisin (Tabel 8). Sharma et al. (2014) memaparkan bahwa persentase kejadian interaksi antara

gentamisin dan furosemid pada pasien yang menjalani rawat inap sebanyak 6,3%. Xia (2013) juga memaparkan bahwa sebanyak 17 ekor tikus percobaan setelah pemberian kombinasi gentamisin dan furosemid mengalami gangguan fungsi pendengaran, serta hanya 16 ekor yang dapat bertahan. Friedrich C. Luft dalam buku berjudul Nephrotoxic Mechanisms and Environmental Toxins (2013)

memaparkan bahwa penggunaan gentamisin dan furosemid mampu meningkatkan resiko nefrotoksik, oleh karena itu perlu kehati-hatian pada pasien yang mengalami gagal ginjal akut terhadap perburukan penyakitnya.

Interaksi obat juga ditemukan pada pasien 8, 9, 10, 15, 18 dan 19 yang mendapatkan terapi allopurinol dan kaptopril (tabel 8). Tatro (2010) dalam buku Drug Interaction Facts memaparkan

(20)

bahwa interkasi antara allopurinol dan kaptopril, perlu dilakukan monitoring terhadap reaksi hipersensitifitas pada pasien tetapi belum diketahui secara pasti mengenai mekanisme interaksinya.

Pasien 9 berdasarkan tabel 8 mendapatkan terapi ceftriakson dan simarc (warfarin). Baillargeon et al. (2012) memaparkan bahwa pemberian antibiotik salahsatunya antibiotik golongan sefalosforin dapat meningkatkan resiko perdarahan pada sebagian besar pasien yang juga mendapatkan terapi warfarin. Interaksi antara warfarin dengan obat lain juga ditemukan pada pasien 10, dimana pasien mendapatkan simarc (warfarin) dan allopurinol. Berdasarkan Anticoagulation Europe (2012), interaksi potensial terjadi pada

penggunaan warfarin dan allopurinol dimana allopurinol dapat meningkatkan efek antikoagulan dari warfarin. Gavronski et al. (2012) memaparkan bahwa interaksi yang paling sering terjadi antara warfarin dengan NSAID sebanyak 14%, simvastatin sebanyak 9%, amiodaron sebanyak 7%, propafenon sebanyak 5%, allopurinol dan amitriptilin sebanyak 4%. Jika dilihat dari persentase interaksi antara warfarin dengan allopurinol seperti yang dipaparkan oleh Gavronski et al. (2012) hanya sebesar 4%, tetap perlu dilakukan monitoring terhadap adanya resiko perdarahan.

Pasien 10 juga mendapatkan terapi digoksin dan omeprazol (Tabel 8). Omeprazol merupakan obat golongan penghambat pompa proton yang dapat berikatan secara kovalen dengan H+ dan K+

(21)

-ATPase yang dapat mengaktivasi pompa proton (Shin dan Kim, 2013). Aktivasi pompa proton dapat memicu sekresi asam secara berlebihan, oleh karena itu pemberian omeprazol sebagai penghambat pompa proton mampu menekan sekresi asam dan meningkatkan pH lambung serta melindungi mukosa saluran cerna. Penggunaan digoksin bersamaan dengan omeprazol dapat meningkatkan absorpsi dari digoksin sendiri yang disebabkan karena mekanisme kerja dari omeprazol sebagai penghambat pompa proton (Lahner et al., 2009).

Interaksi obat selanjutnya pada pasien 17 yang mendapatkan aspirin dan clopidogrel (Tabel 8). Aspirin dalam dosis rendah dapat digunakan untuk terapi pada pasien dengan riwayat penyakit jantung melalui aktivitas antiplatelet yang juga mempunyai efek pada mukosa saluran cerna (McQuaid dan Laine, 2006). McQuaid dan Laine (2006) berdasarkan studi meta analisys juga memaparkan bahwa resiko perdarahan saluran cerna meningkat pada pemberian aspirin dosis rendah dan clopidogrel secara bersamaan.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu keterbatasan pada waktu, periode, metode pengambilan data secara retrospektif serta identifikasi DRPs yang dilakukan hanya berdasarkan data rekam medik pasien sehingga tidak dapat melakukan pemantauan langsung konfirmasi langsung kepada pasien, dokter, maupun perawat.

Gambar

Gambar 1. Karakteristik berdasarkan jenis kelamin
Gambar 2. Karakteristik berdasarkan usia
Tabel 1. Karakteristik berdasarkan penyakit penyerta  Jumlah
Tabel 2. Karakteristik lama rawat inap (Length of Stay)
+4

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan hasil penelitian ini mendukung peran sitokin IL-31 pada patogenesis DA, walaupun terdapat beberapa kelemahan antara lain desain penelitian yang

Perseroan mengajukan usul kepada RUPST untuk menyetujui Laporan Tahunan Perseroan Tahun 2020 termasuk didalamnya Laporan Pengawasan Dewan Komisaris, Laporan Direksi mengenai

Era globalisasi merupakan sebuah era yang bergantung pada kemajuan teknologi akibat dari adanya perkembangan zaman (Pebriana et al., 2018). Perkembangan teknologi

adalah data yang berkaitan dengan penanaman nilai-nilai Pancasila berdasarkan bunyi sila ke lima dalam kehidupan sehari-hari anak sekolah dasar, dan bagaimana peran

Elemen penyusun lanskap yang ada pada setting yang berlandaskan teori lanskap yang membagi elemen lanskap menjadi 3 (Burton, 1995) yaitu bentang alam, vegetasi

Berdasarkan koefisien korelasi setiap butir pernyataan terhadap skor totalnya, maka dapat disimpulkan bahwa semua butir pernyataan adalah valid untuk dijadikan alat

Perusahaan menganggap bahwa promosi merupakan bagian penting dari pemasaran, karena pihak perusahaan berharap dengan promosi yang dilaksanakan secara efektif dapat