• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah Secara Teori

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II DASAR TEORI 2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah Secara Teori"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II DASAR TEORI

Pada bab ini akan dijelaskan tentang konsep hubungan manusia dengan tanah, baik secara teori maupun secara hukum di Indonesia, jenis hak atas tanah yang ada di Indonesia termasuk hak-hak atas tanah adat, dijelaskan juga tentang ketentuan pendaftaran tanah dan konversi yang ada dalam UUPA.

2.1 Konsep Hubungan Manusia Dengan Tanah 2.1.1 Secara Teori

Hubungan antara manusia dengan tanah digambarkan dengan cara yang berbeda di setiap Negara. Hubungan ini pada dasarnya menggambarkan masyarakat dan menyatakan pandangannya terhadap tanah di suatu Negara. Dale dan McLaughin (1999) yang dikutip oleh Abdulharis (2006), menyatakan bahwa hubungan antara manusia dengan tanah sebagai bagian pokok yang penting dalam kehidupan masyarakat dan bukti dalam bentuk hak milik. Manusia dan tanah berhubungan satu sama lainnya melalui bentuk hak dan kewajiban. Hubungan manusia dan tanah ditampilkan pada Gambar 2.1.

Manusia akan hidup senang serba berkecukupan jika mereka dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau yang dimilikinya sesuai dengan hukum alam yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tentram dan damai jika mereka dapat menggunakan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam bermasyarakat.

Hukum alam telah menentukan bahwa :

a. Keadaan tanah yang statis itu akan menjadi tempat tumpuan manusia yang tahun demi tahun akan berkembang dengan pesat.

b. Pendayagunaan tanah dan pengaruh-pengaruh alam akan menjadikan instabilitas kemampuan tanah tersebut.

(2)

Gambar 2.1 Hubungan antara manusia dan tanah

Karena tanah itu keadaannya statis maka dalam perkembangan manusia itu sendiri secara hukum alami, manusia harus dapat mengendalikan diri, pengendalian hak untuk berkembang (melahirkan keturunannya) dengan memperhatikan kewajiban-kewajiban untuk mengurus dan menjamin kelangsungan hidupnya. Karena terlalu banyak dan pesatnya kelahiran manusia, maka kemampuan tanah untuk menyediakan prasarana dan sarana kehidupannya akan sangat kurang.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah sebagai sumber utama bagi kehidupan manusia, yang telah dikaruniakan oleh Tuhan YME sebagai tumpuan masa depan kesejahteraan manusia itu sendiri, wajiblah manusia dalam pendayagunaan dan pengelolaannya memperhatikan hukum alam dan hukum masyarakat, agar hak-hak dan kewajiban masyarakat selalu berimbang sehingga kemampuan tanah sebagai sumber utama kehidupan manusia dapat berlangsung terus sepanjang masa.

2.1.2 Menurut Hukum

Hukum mengenai pertanahan telah mengatur hubungan manusia dengan tanah yaitu dengan menentukan hak-hak yang diperoleh dari tanah dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan terhadap tanah. Kewajiban ini pada hakekatnya adalah untuk menjamin keberlangsungan hak-hak tersebut.

Humankind

Right and Obligation

(3)

Hukum yang mempersoalkan masalah pertanahan atau yang terdiri dari sekumpulan norma yang mengatur manusia dalam masalah pertanahan agar tanah tersebut bermanfaat bagi kesejahteraan manusia adalah Hukum Agraria. Hukum Agraria ini meliputi aspek-aspek :

a. Fungsi tanah bagi kelangsungan hidup manusia secara bermasyarakat.

b. Hak-hak dan kewajiban manusia terhadap pemilikan dan pendayagunaan tanah.

c. Politik dan kebijaksanaan pemerintah dalam mengatur pertanahan bagi kepentingan hidup warga negara khususnya dan penduduk di negara yang bersangkutan.

Mengenai hubungan manusia dengan tanah yang dikuasainya UUPA telah mengatur hubungan itu secara jelas pada isi kandungan UUPA. Pada Pasal 1 ayat (3) UUPA disebutkan bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi, yang berarti sepanjang bangsa indonesia masih ada dan wilayah indonesia masih ada, tidak ada kekuasaan apapun yang dapat memutuskan hak bangsa indonesia atas tanah airnya. hubungan ini memungkinkan adanya hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak-hak atas tanah lain yang dapat dipegang oleh perorangan dan badan hukum. Hanya warga negara Indonesia saja yang dapat memiliki hak atas tanah atas dasar hak milik (Pasal 21 ayat (1) UUPA), sedangkan warga negara asing tidak (Pasal 26 ayat (6) UUPA).

Dalam UUPA, asas domein (hak milik mutlak negara atas tanah) dihapuskan dan diganti dengan hak menguasai dari negara, yang digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat (3) UUPA). Negara mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa yang digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur (Pasal 2 UUPA).

(4)

Sebagaimana prinsip dalam hukum adat dan Islam, dalam UUPA juga disebutkan bahwa tanah mengandung fungsi sosial (Pasal 6 UUPA). Menurut Fauzi (1999), prinsip tanah berfungsi sosial ini berarti bahwa setiap hak atas tanah yang ada pada seseorang (kelompok) tidak dibenarkan semata-mata demi kepentingan pribadi (kelompok), apalagi sampai merugikan masyarakat. Dengan kata lain, penggunaannya harus bermanfaat bagi kepentingan umum.

2.2 Hak – Hak Atas Tanah

Macamnya hak atas tanah yang sekarang ada dan yang dahulu pernah ada di Indonesia menurut sejarahnya ditampilkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 menunjukkan bahwa sebelum berlakunya UUPA terdapat dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria barat. Dualisme hukum agraria ini baru berakhir setelah berlakunya UUPA yakni sejak tanggal 24 September 1960 dan sejak itu untuk seluruh wilayah Republik Indonesia hanya ada satu hukum agraria, yaitu hukum agraria berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau UUPA.

(5)

2.2.1 Hak Atas Tanah Menurut UUPA

Dalam kaitannya dengan hak-hak penguasaan atas tanah, menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006), pengertian hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah hak-hak yang masing-masing berisikan kewenangan, tugas kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan bidang tanah yang dihaki. Apa yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat itulah yang membedakan hak atas tanah yang satu dengan yang lainnya. Hak milik atas tanah (Pasal 20 UUPA) merupakan hubungan hukum perdata, sedangkan hak menguasai dari negara (Pasal 2 ayat (2) UUPA) merupakan hubungan publik.

Urutan vertikal mengenai hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional (UUPA) menurut Boedi Harsono yang dikutip oleh Noor (2006) dalam susunan berjenjang yaitu sebagai berikut :

1. Hak bangsa, sebagai yang disebut dalam Pasal 1 UUPA, merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah dalam wilayah negara, yang merupakan tanah bersama. Hak bangsa ini dalam penjelasan Umum Angka II UUPA dinyatakan sebagai hak ulayat yang dingkat pada tingkat yang paling atas, pada tingkat nasional, meliputi semua tanah di seluruh wilayah negara.

2. Hak menguasai dari negara sebagaimana yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan hak penguasaan atas tanah sebagai penugasan pelaksanaan hak bangsa yang termasuk bidang hukum publik, meliputi semua tanah bersama bangsa Indonesia.

Makna dikuasai oleh negara tidak terbatas pada pengaturan, pengurusan, dan pengawasan terhadap pemanfaatan hak-hak perorangan. Akan tetapi negara mempunyai kewajiban untuk turut ambil bagian secara aktif dalam mengusahakan tercapainya kesejahteraan rakyat. Dalam hal dikuasai oleh negara dan untuk mencapai kesejahteraan rakyat menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Warman (2006), Negara Indonesia merdeka adalah negara kesejahteraan sebagaimana termaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Dasar pemikiran lahirnya konsep hak penguasaan negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, merupakan perpaduan antara teori negara hukum kesejahteraan

(6)

dan konsep penguasaan hak ulayat dalam persekutuan hukum adat. Makna penguasaan negara adalah kewenangan negara untuk mengatur (regelen), mengurus (bestuuren), dan mengawasi (tozichthouden) (Abrar, 1993). Substansi dari penguasaan negara adalah dibalik hak, kekuasaan atau kewenangan yang diberikan kepada negara terkandung kewajiban negara untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah sebagai sumber daya ekonomi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

3. Hak ulayat, dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, hak ulayat merupakan hak penguasaan atas tanah bersama masyarakat adat tertentu.

4. Hak perorangan yang memberikan kewenangan untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan, dan atau mengambil manfaat tertentu dari suatu bidang tanah tertentu, yang terdiri dari :

a. Hak atas tanah, berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun, hak sewa, hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan yang ketentuan pokoknya terdapat dalam UUPA, serta hak lain dalam hukum adat setempat, yang merupakan hak penguasaan atas tanah untuk dapat memberikan kewenangan kepada pemegang haknya, agar dapat memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki dalam memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya (Pasal 4, 9, 16, dan BAB II UUPA).

b. Hak atas tanah wakaf, yang merupakan penguasaan atas suatu bidang tanah tertentu, bekas hak milik (wakaf) yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakan selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai ajaran agama islam (Pasal 49 UUPA jo Pasal 1 PP No. 28 tahun 1977).

c. Hak tanggungan, sebagai satu-satunya lembaga jaminan hak atas tanah dalam hukum tanah nasional, merupakan hak penguasaan atas tanah yang memberi kewenangan kepada kreditor tertentu untuk menjual lelang bidang tanah tertentu yang dijadikan jaminan bagi pelunasan piutang tertentu (Pasal 57 UUPA jo Pasal 1 UU No. 4 tahun 1996).

(7)

Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), sistem penguasaan tanah di Indonesia yang merupakan hak perorangan mengakui adanya berbagai hak atas tanah berikut:

a. Hak milik, merupakan hak yang paling penuh dan paling kuat yang bisa dimiliki atas tanah dan yang dapat diwariskan turun temurun yang hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia. Terjadinya dan cara mendapatkan hak milik bisa diakibatkan karena (Sarah, 1978) :

1. Peralihan, beralih atau dialihkan (warisan, jual beli, hibah).

2. Menurut hukum adat, karena penetapan pemerintah, dan undang-undang (konversi). Hak atas tanah menurut hukum adat yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan oleh Kepala BPN setelah mendengar kesaksian dari masyarakat setempat, dikonversi menjadi hak milik.

Karena Undang-undang (Konversi) Penetapan pemerintah (karena pemohonan) Pembukaan hutan dalam Hak

Ulayat (Hukum Adat) Beralih (waris) Dialihkan (jual beli, tukar menukar, hibah)

Hak Milik Atas Tanah

Seorang WNI tunggal Badan Hukum yang memenuhi

ketentuan perundang-undangan

(8)

Karakteristik dari hak milik yaitu hak milik mempunyai kedudukan tertinggi diatas hak lain, tidak ada jangka waktu kepemilikan, dapat dialihkan (jual beli, tukar menukar), dapat beralih (warisan/turun temurun) dan dapat menjadi jaminan. Hak milik dapat dimiliki perorangan, bersama dan badan hukum. Hak milik terjadi karena permohonan, penetapan pemerintah dan uu, dapat hilang karena ketetapan negara dan tanahnya musnah. Penggunaan hak sepenuhnya untuk menguasai tanah.

b. Hak guna usaha, suatu hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikontrol secara langsung oleh negara. Karakteristik dari HGU yaitu mempunyai kedudukan dibawah hak milik, ada jangka waktu kepemilikan (maksimum 25 tahun), suatu HGU hanya dapat diberikan atas tanah seluas minimum 5 ha, dapat dialihkan (jual beli, tukar menukar), dapat beralih (warisan/turun temurun), dapat menjadi jaminan, dimiliki perorangan, bersama dan badan hukum. HGU terjadi karena permohonan, penetapan pemerintah dan UU, dapat hilang karena ketetapan negara, jangka waktunya berakhir dan tanahnya musnah. Penggunaan hak untuk mengolah tanah pertanian (peternakan, perkebunan dan perikanan).

c. Hak guna bangunan, memiliki karakteristik kedudukannya dibawah hak milik, ada jangka waktu kepemilikan (maksimum 30 tahun), dapat dialihkan (jual beli, tukar menukar), dapat beralih (warisan/turun temurun), dapat menjadi jaminan. HGB dimiliki perorangan, bersama, dan badan hukum. HGB terjadi karena permohonan, penetapan pemerintah dan uu, dapat hilang karena ketetapan negara, jangka waktunya berakhir dan tanahnya musnah. Penggunaan hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan diatas tanah pihak lain.

d. Hak pakai, mempunyai kedudukan dibawah hak milik, ada jangka waktu kepemilikan tergantung kesepakatan, dapat dialihkan (jual beli, tukar menukar), dapat beralih (warisan/turun temurun), dapat menjadi jaminan . Hak pakai dimiliki perorangan, bersama, dan badan hukum. HP terjadi karena permohonan, penetapan pemerintah dan uu, dapat hilang karena ketetapan negara, jangka waktunya berakhir dan tanahnya musnah. Penggunaan hak untuk untuk memanfaatkan, dan/atau mengumpulkan hasil dari tanah yang

(9)

secara langsung dikontrol oleh negara atau tanah yang dimiliki oleh pihak lain.

e. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat, adalah hak milik atas suatu bangunan tertentu dari suatu bangunan bertingkat yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah untuk keperluan tertentu dan masing-masing mempunyai sarana penghubung ke jalan umum yang meliputi antara lain suatu bagian tertentu atas suatu bidang tanah bersama. Hak milik atas satuan bangunan bertingkat terdiri dari hak milik atas satuan rumah susun dan hak milik atas bangunan bertingkat lainnya.

f. Hak sewa, suatu badan usaha atau individu memiliki hak sewa atas tanah berhak memanfaatkan tanah yang dimiliki oleh pihak lain untuk pemanfaatan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya. Hak sewa atas tanah dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia, warga negara asing, badan usaha termasuk badan usaha asing. Hak sewa tidak berlaku diatas tanah negara.

g. Hak untuk membuka tanah dan hak untuk memungut hasil hutan, hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan hanya bisa didapatkan oleh warga Negara Indonesia dan diatur oleh Peraturan Pemerintah. Menggunakan suatu hak memungut hasil hutan secara hukum tidaklah serta merta berarti mendapatkan hak milik (right of ownership) atas tanah yang bersangkutan. Hak untuk membuka lahan dan memungut hasil hutan merupakan hak atas tanah yang diatur didalam hukum adat.

h. Hak tanggungan, hak tanggungan tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1996 sehubungan dengan kepastian hak atas tanah dan objek yang berkaitan dengan tanah (Security Title on Land and Land-Related Objects) dalam kasus hipotek.

2.2.2 Hak Atas Tanah Menurut Adat

Bentuk hukum penguasaan tanah pada masyarakat adat dikenal dengan hak atas tanah adat. Ini merupakan istilah yang digunakan secara formal, walaupun sesungguhnya pada setiap etnik maupun suku istilah yang digunakan berbeda-beda.

(10)

Hak atas tanah dalam hukum adat dapat dibagi sebagai berikut (Artawilaga, 1960) :

1. Hak persekutuan hukum, yaitu hak ulayat, termasuk di dalamnya : a. Hak pembukaan tanah

b. Hak untuk mengumpulkan hasil hutan 2. Hak-hak perseorangan, yaitu diantaranya :

a. Hak milik

b. Hak memungut hasil tanah

c. Hak wenang pilih/hak pilih lebih dahulu d. Hak wenang beli

e. Hak pejabat adat

Sedangkan tanah adat dalam hukum adat diklasifikasikan menjadi (Abdulharis, 2007):

1. Kelas tanah ulayat menetap

2. Kelas tanah ulayat berpindah dan semi berpindah 3. Kelas tanah adat milik pribadi

4. Kelas tanah kerajaan

2.2.2.1 Hak Ulayat

Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, disebutkan bahwa “hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun-temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan”.

Menurut Van Vollenhoven, yang dikutip oleh Bushar (1988), ciri-ciri hak ulayat itu adalah sebagai berikut :

a. Tiap anggota dalam persekutuan hukum (enik, sub etnik, atau fam) mempunyai wewenang dengan bebas untuk mengerjakan tanah yang belum

(11)

digarap, misalnya dengan membuka tanah untuk mendirikan tempat tinggal baru.

b. Bagi orang diluar anggota persekutuan hukum, untuk mengerjakan tanah harus dengan izin persekutuan hukum (dewan pimpinan adat).

c. Anggota-anggota persekutuan hukum dalam mengerjakan tanah ulayat itu mempunyai hak yang sama, tapi untuk bukan anggota diwajibkan membayar suatu retribusi (uang adat, sewa lunas, sewa hutang, bunga pasir dan lain-lain) ataupun menyampaikan suatu persembahan (ulutaon, pemohon).

d. Persekutuan hukum sedikit banyak masih mempunyai campur tangan dalam hal tanah yang sudah dibuka dan ditanami oleh seseorang.

e. Persekutuan hukum bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi pada ulayatnya.

f. Persektuan hukum tidak dapat memindahtangankan hak penguasaan kepada orang lain.

g. Hak ulayat menurut hukum adat ada di tangan suku/masyarakat hukum/desa. Hak ulayat memiliki kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar. Yang dimaksud dengan memiliki kekuatan ke dalam adalah (Van Dijk, 1971, yang dikutip oleh Harsono, 1997) :

1. Hak ulayat membolehkan anggota persekutuan dan anggota-anggotanya untuk menarik keuntungan dari tanah dan segala yang tumbuh dan hidup di atas tanah itu, sifatnya hanya untuk keperluan diri sendiri atau keluarga serta tidak memperbolehkan penarikan keuntungan dari tanah secara tidak terbatas.

2. Jika dalam menggunakan hak untuk menarik keuntungan dari tanah itu digunakan dengan mengolah atau mengadakan persiapan untuk mengolahnya, maka timbul hubungan hak perseorangan yang agak tetap antara anggota itu dan tanah tersebut, maka hak-hak perseorangan itu tetap terkekang di dalam hak masyarakat atas tanah itu.

3. Persekutuan dapat menetapkan atau menyediakan tanah itu untuk keperluan umum persekutuan itu. Misalnya untuk tanah pekuburan umum, untuk padang ternak bersama, untuk pekarangan masjid dan sekolah, untuk tanah jabatan (bengkok) sebagai hadiah kepada para pembesar masyarakat itu dan sebagainya.

(12)

Sedangkan yang dimaksud dengan memiliki kekuatan keluar adalah : 1. Larangan terhadap orang luaran untuk menarik keuntungan dari tanah itu,

kecuali dengan izin dan sesudah membayar uang pengakuan (rekognisi). Para warga yang mengumpulkan hasil tanah untuk maksud dagang biasanya diperlakukan sebagai orang luaran.

2. Larangan, pembatasan atau berbagai peraturan yang mengikat terhadap orang-orang untuk mendapatkan hak-hak perseorang-orangan atas tanah pertanian. Untuk berbagai lingkungan hukum dapat disebutkan sebagai pernyataan hak pertuan (sebagai imbangan dari kewajiban hukum).

2.2.2.2 Hak Individu Atas Tanah

Menurut Van Dijk, sebagaimana dikutip oleh Kaban (2004), hak perorangan atas tanah adat merupakan hak milik adat (inland bezitrecht), dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya terus menerus diinvestasikan pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan diakui oleh anggota lainnya. Kekuasaan kaum atau persekutuan semakin menipis sementara kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini dapat dibatalkan bila tidak diusahakan lagi, pemiliknya pergi meninggalkan tanah tersebut, atau karena tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankannya.

Setiap individu dalam suatu masyarakat adat dapat memiliki hak perseorangan atas tanah yang dibatasi oleh hak ulayat. Para warga sebagai anggota kelompok, masing-masing mempunyai hak untuk menguasai dan menggunakan sebagian tanah ulayat guna memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya, dengan hak-hak sementara, sampai dengan hak yang tanpa batas waktu, yang umum disebut dengan hak milik.

Dari hak yang dimiliki tiap individu diatas, maka bisa dikatakan hak perseorangan atas tanah mulai berkembang. Beberapa hak perseorangan atas tanah yang ada yaitu (Artawilaga, 1960) :

a. Hak milik, bahwa seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah dan mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon diatas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu. Warga yang memiliki hak milik atas tanah ini wajib menghormati hak ulayat desanya,

(13)

kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah, dan peraturan-peraturan adat serta kewajiban memberi ijin ternak orang lain masuk dalam tanahnya selama tanah itu tidak dipergunakan dan tidak dipagari.

b. Hak milik terkekang atau terbatas, yaitu bila kekuasaan atas tanah tersebut dibatasi oleh kuat atau tidaknya hak pertuanan desa. Kalau hak pertuanan desa masih kuat, ada daerah yang hak milik itu hanya dimiliki untuk waktu tertentu dan pada akhir waktu tanahnya harus diserahkan kepada anggota lain persekutuan desa. Dan apabila hak pertuanannya lemah, maka hak milik atas tanah setelah pemilik meninggal dunia dengan sendirinya jatuh ke tangan ahli warisnya. Penunjukan tanah-tanah ini dilakukan melalui rapat desa.

c. Hak menggunakan tanah atau memungut hasil tanah, pada umumnya berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang sudah mendapat ijin untuk mengerjakannya serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu seperti membayar mesi (Jawa) atau uang pemasukan (Aceh).

d. Hak wenang pilih, berlaku bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah ataupun yang menempatkan tanda-tanda pelarangan (pagar dan lain sebagainya) pada tanah yang bersangkutan. Hak ini memberikan kesempatan bagi warga yang pertama-tama membuka/menggarap tanah lebih dulu dari warga yang lain

e. Hak wenang beli, yaitu hak membeli tanah pertanian atau kolam-kolam ikan. Hak ini sering kali dijumpai dalam tiga bentuk, yaitu hak anggota keluarga untuk membeli tanah dengan mengesampingkan pembeli bukan anggota keluarga, hak warga persekutuan untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang bukan warga persekutuan, dan hak pemilik tanah yang berbatasan untuk membeli tanah tersebut dengan mengesampingkan pemilik tanah lain yang tidak berbatasan.

f. Hak pejabat adat, yaitu hak atas tanah pertanian yang diberikan oleh persekutuan kepada kepala persekutuan atau pembesar desa lainnya untuk menghidupi keluarganya (tanah bengkok). Hak ini dimiliki semasa memangku jabatannya maupun semasa hidupnya (setelah pensiun). Tanah-tanah jabatan ini banyak dijumpai dengan sebutan berbeda seperti sabana

(14)

bolak (Batak), galung arajang (Sulawesi Selatan), dusun dati raja (Ambon) dan bukti (Bali).

Hak penguasaan yang individual tersebut merupakan hak yang bersifat pribadi, karena tanah yang dikuasainya diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya, bukan untuk pemenuhan kebutuhan kelompok. Akan tetapi, hak individual tersebut bukanlah bersifat pribadi semata, karena tanah yang dikuasai dan digunakan itu adalah bagian dari tanah bersama. Oleh karena itu, dalam penggunaan tanah bekas ulayat tidak boleh hanya berpedoman pada kepentingan pribadi semata, melainkan harus memperhatikan juga kepentingan bersama. Sifat penguasaan yang demikian itu mengandung unsur kebersamaan (Harsono, 1997).

2.3 Pendaftaran Tanah

2.3.1 Teori dan Peraturan Pendaftaran Tanah

Menurut PP No. 24 tahun 1997, pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Sebelum berlakunya UUPA, hanya bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat, misalnya hak eigendom, hak erpacht, hak opstal, dilakukan pendaftaran tanah yang tujuannya untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan kepada pemegangnya diberikan tanda bukti dengan suatu akta yang dibuat oleh Pejabat Balik Nama. Adapun bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat, misalnya tanah yasan dan tanah gogolan tidak dilakukan pendaftaran tanah. Kalaupun dilakukan pendaftaran tanah, tujuannya bukan untuk memberikan jaminan kepastian hukum, akan tetapi untuk menentukan siapa yang wajib membayar pajak atas tanah dan kepada pembayar pajaknya diberikan tanda bukti berupa pipil, girik, atau petuk.

(15)

Tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri menurut Pasal 3 PP No. 24 tahun 1997, yaitu :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.

3. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Pendaftaran tanah yang diharapkan sebagaimana digambarkan oleh Douglas J. Willem yang dikutip oleh Yamin (2006), merupakan pekerjaan yang kontinu dan konsisten atas hak-hak seseorang sehingga memberikan informasi dan data administrasi atas bagian-bagian tanah yang didaftarkan. Lengkapnya disebutkan: “The register consists of the individual grant, certificates of folios contained whitin it at anygiven time. Added to these are documents that may bedeemed to be embodied in the register upon registration. Together these indicated the parcel of land in a particular title, the person entitle to interests there in and the nature and extent of these interests. There are also ancillary register wich assist in the orderly administration of the system such as a parcel index, a nominal index losting registered proprietors and a day book in wich documents are entered pending final registration”.

Kepastian hukum atas kepemilikan tanah akan memberikan kesempurnaan hak bagi pemilik tanah tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut:

a. Adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security);

b. Mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari pendaftaran tersebut (simplity);

c. Adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan (accuracy); d. Mudah dilaksanakan (expedition);

(16)

e. Dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendak mendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suitable).

2.3.2 Pelaksanaan Pendaftaran Tanah

Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Pendaftaran tanah untuk pertama kali ialah kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 atau berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi : a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik;

b. Pembuktian hak dan pembukuannya; c. Penerbitan sertipikat;

d. Penyajian data fisik dan data yuridis; e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi : a. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya. b. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;

Pengumpulan dan Pengolahan Data Fisik

Kegiatan yang dilakukan sebagai proses dari pengumpulan dan pengolahan fisik yaitu :

1. Pengukuran dan pemetaan

2. Pembuatan peta dasar pendaftaran tanah 3. Penetapan batas bidang tanah

4. Pengukuran dan pemetaan bidang tanah (persil) dan pembuatan peta pendaftaran tanah

5. Pembuatan daftar tanah 6. Pembuatan surat ukur

(17)

Pembuktian Hak dan Pembukuannya a. Pembuktian Hak Baru

1. Hak atas tanah yang baru dibuktikan dengan :

 Penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah negara atau tanah hak pengelolaan;

 Akta asli yang dibuat oleh PPAT yang memuat pemberian hak dari Pejabat yang berwenang memberikan hak yang bersangkutan menurut ketentuan yang berlaku apabila pemberian hak tersebut berasal dari tanah Negara atau tanah hak pengelolaan;

2. Hak pengelolaan dibuktikan dengan penetapan pemberian hak pengelolaan oleh Pejabat yang berwenang.

3. Tanah wakaf dibuktikan dengan akta ikrar wakaf.

4. Hak milik atas satuan rumah susun dibuktikan dengan akta pemisahan. 5. Pemberian hak tanggungan dibuktikan.

b. Pembuktian Hak Lama

1. Hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup.

2. Berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya, dengan itikad baik, dan tidak dipemasalahkan oleh hukum adat atau desa.

3. Dilakukan pengumpulan dan penelitian data yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan.

(18)

5. Hasil tersebut diumumkan selama 30 hari (pendaftaran tanah sistematik) atau 60 hari (untuk pendaftaran tanah sporadik) untuk memberikan kesempatan mengajukan kebenaran.

6. Setelah berakhirnya masa pengumuman daftar tersebut disahkan dalam berita acara, yang menjadi dasar bagi :

a. Pembukuan hak

b. Pembukuan hak atas tanah c. Pemberian hak atas tanah c. Pembukuan

1. Hak-hak atas tanah didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah yang memuat data yuridis dan data fisik bidang tanah yang dimaksud. 2. Pembukuan dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur

merupakan bukti bahwa hak tersebut beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam buku tanah telah terdaftar.

3. Jika data fisik dan data yuridis belum lengkap, maka dilakukan pembukuan yang disertai dengan catatan yang mengenai hal-hal yang belum lengkap.

4. Data fisik dan data yuridis yang disengketakan tetapi tidak diajukan ke pengadilan dilakukan pembukuan dalam buku tanah disertai catatan mengenai adanya sengketa.

5. Data fisik dan data yuridis yang disengketakan dan diajukan ke pengadilan, tetapi tidak ada perintah untuk status quo dan perintah penyitaan oleh pengadilan dilakukan pembukuan dalam buku tanah disertai catatan mengenai adanya sengketa serta hal-hal yang disengketakan.

6. Data fisik dan data yuridis yang disengketakan dan diajukan ke pengadilan serta ada perintah untuk status quo dan perintah penyitaan oleh pengadilan dilakukan pembukuan dalam buku tanah dengan pengosongan pada nama pemegang haknya disertai catatan mengenai adanya sitaan atau perintah status quo.

(19)

Sertipikat Tanah

Sertipikat tanah diterbitkan untuk kepentingan pemegang hak yang bersangkutan. Sertipikat tanah merupakan alat pembuktian yang kuat menyangkut data fisik dan data yuridis yang tercantum didalamnya sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam buku tanah dan surat ukur.

Setelah diterbitkannya sertipikat tanah, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak tidak dapat menuntut pelaksanaan haknya jika selama lima tahun setelah diterbitkannya sertipikat tidak mengajukan bukti, keberatan ataupun tidak mengajukan gugatan melalui pengadilan.

Penyajian Data Fisik dan Data Yuridis

Untuk menyajikan data fisik dan data yuridis, Kantor Pertanahan melakukan tata usaha pendaftaran tanah dalam daftar umum yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama.

Daftar itu terbuka bagi setiap orang yang berkepentingan, tetapi hanya terbuka bagi instansi pemerintah tertentu untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.

Penyimpanan Daftar Umum dan Dokumen

Dokumen yang merupakan alat pembuktian yang digunakan sebagai dasar pendaftaran tanah disimpan di Kantor Pertanahan, tetapi orang yang berkepentingan dapat meminta salinan dari dokumen tersebut dengan izin pejabat tersebut.

2.4 Konversi Hak Atas Tanah

Imam Soetiknjo (1994: 85) yang dikutip oleh Warman (2006), mengatakan bahwa adanya ketentuan konversi, termasuk ketentuan peralihan, merupakan konsekuensi dari lahirnya sebuah undang-undang baru. Karena sebelumnya ada dualisme hukum pertanahan yaitu hukum adat yang bertentangan dengan asas persatuan serta peraturan pelaksana Agrariche Wet 1870 (hukum barat), yang dinyatakan tidak berlaku lagi, tetapi tidak segera diganti dengan peraturan pelaksana UUPA yang masih harus dibuat, maka UUPA mengatur pula ketentuan peralihan dan ketentuan konversi. Hak-hak barat dan hak-hak adat yang ada pada

(20)

mulai berlakunya UUPA perlu dikonversi menjadi hak-hak atas tanah, seperti yang disebutkan dalam Pasal 16 UUPA.

Menurut Harsono (1968 : 140) konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut UUPA. Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama yaitu sebelum berlakunya UUPA menjadi status yang baru, sebagaimana diatur oleh UUPA. Adapun yang dimaksud dengan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan tunduk pada hukum adat dan hukum Barat (BW).

Harsono (1992), selanjutnya menyatakan bahwa hak-hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak yang lama merupakan salah satu dari hak-hak atas tanah yang didaftarkan untuk pertama kali disamping hak pemberian baru. Oleh karena itu, penekanan harus diberikan pada tingkat akurasi data yang tinggi, baik data fisik maupun data yuridis yang akan disajikan bagi masyarakat umum sebagai dasar dalam melakukan perbuatan hukum mengenai tanah tersebut.

Terhadap pelaksanaan konversi itu sendiri Parlindungan (1990), memberikan komentar sebagai berikut :

“Bahwa pelaksanaan konversi itu sendiri merupakan sesuatu yang boleh dikatakan sangat drastis, oleh karena sekaligus ingin diciptakan berkembangnya suatu unifikasi hukum keagrariaan di tanah air kita, sunggupun harus diakui persiapan dan peralatan, perangkat hukum maupun tenaga trampil belumlah ada sebelumnya”.

Menurut Perangin (1994: 147-148) yang dikutip oleh Warman (2006), konversi hak atas tanah pada dasarnya bisa terjadi karena hukum (van rechtswege) dan yang terjadi tidak karena hukum. Konversi yang terjadi karena hukum, ada yang terjadi dengan sendirinya tanpa memerlukan suatu tindakan dari instansi tertentu, baik berupa konstitutif maupun deklaratoir, ada pula konversi yang juga terjadi karena hukum tetapi, karena disertai syarat-syarat tertentu berdasarkan status pemilik tanah dan sifat penggunaan tanah, maka diperlukan suatu tindakan penegasan yang bersifat deklaratoir. Sebagai contoh, konversi hak eigendom

(21)

menjadi hak milik harus memenuhi syarat bahwa pemegang haknya pada tanggal 24 September 1960 memenuhi syarat sebagai pemegang hak milik.

Ada pula konversi yang terjadi tidak karena hukum, melainkan memerlukan suatu tindakan khusus yang bersifat konstitutif. Hal ini terdapat pada konversi hak konsesi dan sewa untuk perusahaan kebun besar menjadi hak guna usaha (HGU). Dengan demikian, HGU hasil konversi tersebut diperoleh dengan suatu ketetapan (besluit) yang bersifat konstitutif.

2.4.1 Landasan Hukum Konversi

Sejalan dengan tidak dicabutnya ketentuan-ketentuan mengenai hak atas tanah yang diatur dalam :

1. Agrarische Wet (S. 1870-55) sebagai yang termuat dalam Pasal 51 “wet op de Staatsinrichting van Netderlands Indie”(S. 1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari Pasal itu;

2. a. “Domeinverlaring” tersebut dalam Pasal 1 “Agrarisch Besluit”(S.1870-118);

b. “Algemene Domeinverklaring” tersebut dalam S. 1875-119a;

c. “Domeinverklaring untuk sumatra” tersebut dalam Pasal 1 dari S. 1874-94f; d. “Domeinverklaring untuk keresidenan Menado” tersebut dalam Pasal 1 dari

S. 1877-55;

e. “Domeinverklaring untuk Residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo” tersebut dalam Pasal 1 dari S. 1888-58;

3. Koninklijk Belsuit tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872-177) dan peraturan pelaksanaannya;

4. Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, keuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini; dan diberlakukannya konsepsi hak-hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, maka dalam bagian Kedua Menetapkan Undang-Undang Pokok Agraria diberikan Ketentuan-ketentuan Konversi (Lampiran 3)

(22)

Ketentuan konversi mengadakan perombakan total terhadap sistem hak atas tanah yang berlaku sebelumnya. Usaha ini merupakan suatu amanah yang besar dan berat untuk dilaksanakan, karena itu terlihat betapa banyak dan rumitnya ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang telah dikeluarkan selama ini. Harsono (1994: 76164) telah menghimpun lebih dari 20 peraturan pelaksanaan ketentuan konversi, itu pun masih yang penting-penting saja. Berikut dikemukakan beberapa peraturan penting sebagai dasar hukum yang mengatur tentang pelaksanaan konversi hak atas tanah di Indonesia (Warman, 2006) :

1. PMA No. tahun 1961 tentang Pelaksanaan Konversi Hak-hak Concessie dan Sewa untuk Perusahaan Kebun Besar.

2. PMA No. 13 tahun 1961 tentang Konversi Hak-hak Eigendom dan Lain-lainnya yang Aktanya belum diganti.

3. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria (PMPA) No. 2 tahun 1962 tentang Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-hak Indonesia atas Tanah, yang dijelaskan lagi dengan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK. 26/DDA/1970.

4. PMPA No. 7 tahun 1963 Tentang Pelaksanaan Konversi Izin Pakai Tanah di Kebayoran Baru (Jakarta).

5. Surat Menteri Agraria tanggal 1 Maret 1962, No. Ka 3/1/1, perihal Status Tanah Kotapraja/Kabupaten yang Dimiliki Berdasarkan UUPA, yang ditindaklanjuti dengan SK. MPA No. SK. 12/KA/1963 tentang Konversi Hak Opstal dan Erfacht di atas Tanah Eigendom Kotapraja.

6. PMA No. 7 tahun 1965 tentang Pedoman Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom tersebut dalam ayat (3) jo ayat (5) Pasal I Ketentuan Konversi UUPA yang Dibebani dengan Hak Opstal atau Erfacht untuk Perumahan. 7. PMA No. 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak Penguasaan atas

Tanah Negara dan Ketentuan-ketentuan Kebijaksanaan selanjutnya.

8. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 2 tahun 1970 tentang Penyeslesaian Konversi Hak-hak Barat menjadi Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.

9. Keputusan Presiden (Keppres) No. 32 tahun 1979 tentang Pokok-pokok Kebijaksanaan dalam rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Konversi Hak

(23)

Barat, yang ditindaklanjuti dengan PMDN No. 3 tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru atas Tanah Konversi Hak-hak Barat.

Khusus mengenai PMPA No. 2 tahun 1962 dan SK. Mendagri No. SK. 26/DDA/1970, telah dicabut dengan keluarnya Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (PMA/KBPN) No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

2.4.2 Objek Konversi

2.4.2.1 Konversi Tanah-Tanah Hak Barat

Dengan keluarnya Keppres No. 32 tahun 1979, maka penyelesaian pelaksanaan konversi untuk tanah-tanah hak barat (eks. BW) telah selesai. Keppres tersebut menyatakan bahwa tanah-tanah hak barat telah berakhir masa konversinya. Oleh karena itu, tanah-tanah yang tidak atau belum diselesaikan haknya akan kembali menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP) yang berasal dari konversi hak barat yang masa berlakunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, dan akan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara. Bagi pemilik lama yang memenuhi syarat, mengusahakan/menggunakan tanah/bangunannya sendiri, akan diberikan hak baru atas tanah tersebut dengan catatan apabila tanah-tanah itu tidak diperlukan untuk proyek pembangunan.

Berikut dikemukakan jenis-jenis hak barat yang harus dikonversi (Warman, 2006) :

a. Hak eigendom b. Hak erfpacht c. Hak consessie d. Hak opstal

(24)

2.4.2.2 Konversi Tanah-Tanah Hak Adat

Berbeda dengan konversi tanah-tanah hak barat yang berakhir pada tanggal 24 September 1980, konversi terhadap tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat tidak ada batas waktunya. Hal ini ditegaskan secara implisit dalam SK. Mendagri No. SK. 26/DDA/1970 tentang Penegasan dan Pendaftaran Hak-hak Indonesia atas Tanah, sebagai tindak lanjut dari PMPA No. 2 tahun 1962. Walaupun secara tegas kedua peraturan tersebut telah dicabut dengan PMA/KBPN No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, namun konversi atas tanah-tanah hak Indonesia tetap diperkenankan.

Ketentuan konversi UUPA telah menegaskan beberapa jenis hak-hak atas tanah adat berikut dengan konversinya (Warman, 2006) :

1. Hak agrarisch egeidom (hak milik adat yang ditundukkan kepada hukum barat), milik, yasan, anderbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant sultan, landerijenbezitrecht, altijddurendeefpracht, hak guna usaha atas tanah pertikelir dan hak-hak lainnya yang mirip dengan hak milik (menurut menteri agraria), dikonversi menjadi hak milik.

2. Hak ganggam bauntuik (gangam bauntuak), anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas dan lain-lain hak yang mirip dengan hak pakai (menurut menteri agraria), dikonversi menjadi hak pakai. Khusus terhadap hak anggaduh, walaupun dinyatakan konversinya menjadi hak pakai, namun dengan SK. Menteri Agraria No. SK. 272/Ka/61, maka hak anggaduh yang turun temurun (ngango run temurun) dapat dikonversi menjadi hak milik bukan menjadi hak pakai. Hak serupa ini dapat ditemui di Surakarta dan Mangkunegara yang memang isi haknya mirip dengan hak milik.

3. Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap dikonversi menjadi hak milik, sedangkan hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak tetap, dikonversi menjadi hak pakai. Berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agraria dan Mendagri No. 30/depag/65, No. 11/DDN/1965 dan Surat Edaran Menteri Agraria tanggal 18 Mei 1965 No. DHK/27/24, hak gogolan tidak tetap pun dapat dikonversi menjadi hak milik dengan syarat sampai

(25)

tanggal 4 Mei 1965, saat dikeluarkannya SKB tersebut, bekas gogol pemegang hak pakai tersebut masih menguasai/menggarap tanah itu.

Secara khusus, konversi hak-hak atas tanah adat diatur oleh PMPA No.2 tahun 1962. Peraturan ini menegaskan hak-hak adat Indonesia seperti dalam Pasal II dan VI Ketentuan Konversi (KK).

2.4.3 Tujuan Konversi

Dengan lahirnya UUPA maka terciptalah kesatuan hukum mengenai hak-hak atas tanah di Indonesia. Pasal 4 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan- badan hukum.

Lebih lanjut, Pasal 16 ayat (1) UUPA menegaskan, bahwa hak-hak atas tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (1) adalah: (a) hak milik; (b) hak guna usaha; (c) hak guna bangunan; (d) hak pakai; (e) hak sewa; (f) hak membuka tanah; (g) hak memungut hasil hutan; (h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Khusus tentang hak-hak yang sifatnya sementara, yaitu hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian, kurang memiliki arti penting dalam upaya unifikasi hak-hak atas tanah karena menurut Pasal 53 UUPA hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat.

Dalam rangka mewujudkan tertib hukum di bidang pertanahan, maka unifikasi mengenai hak-hak atas tanah seperti yang dicantumkan dalam UUPA tersebut, harus dilaksanakan sesegera mungkin realisasinya dan ketentuan konversi merupakan kebijaksanaan terpenting dalam upaya mewujudkan unifikasi hak-hak atas tanah di Indonesia. Dengan demikian, tujuan pelaksanaan konversi hak-hak atas tanah adat kepada hak-hak atas tanah menurut sistem UUPA, di samping untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam UUPA dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan

(26)

agar hak-hak atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur (Erna, 2004).

2.4.4 Proses Konversi

Pelaksanaan konversi diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan dengan disertai tanda bukti haknya (kalau ada disertakan pula surat ukurnya), tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak yang menyatakan kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960 dan keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian. Lebih lanjut ketentuan-ketentuan tentang konversi dalam UUPA ditegaskan lagi dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962. Dalam peraturan ini dijelaskan beberapa ketentuan pelaksanaan konversi hak atas tanah.

Pasal 3 PMPA No. 2 tahun 1962 :

Pasal ini mengatur tentang hak-hak yang tidak diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah, maka oleh yang bersangkutan diajukan :

a. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding Indonesia atau bukti surat pemberian hak oleh Instansi yang berwenang (kalau ada disertakan pula surat ukurnya).

b. Surat keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana (Camat) yang :

1. Membenarkan surat atau surat bukti hak itu.

2. Menerangkan apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah pertanian.

3. Menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan surat-surat jual beli tanahnya.

c. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak.

Dari ketentuan Pasal 3 ini, maka khusus untuk tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat tetapi tidak terdaftar dalam ketentuan konversi sebagai tanah yang dapat dikonversikan kepada sesuatu hak atas tanah menurut ketentuan UUPA, tetapi diakui tanah tersebut sebagai hak adat, maka ditempuhlah dengan upaya “Penegasan Hak” yang diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah

(27)

setempat dikuti dengan bukti pendahuluan seperti bukti pajak, surat jual-beli yang dilakukan sebelum berlakunya UUPA dan surat membenarkan tentang hak seseorang dan menerangkan juga tanah itu untuk perumahan atau untuk pertanian serta keterangan kewarganegaraan orang yang bersangkutan.

Pasal 7 PMPA No. 2 tahun 1962 :

Dalam Pasal ini diatur lembaga konversi lain dinamakan “Pengakuan Hak”, yang perlakuan atas tanah-tanah yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda bukti haknya, maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat, permohonan tersebut diumumkan 2 bulan berturut-turut di Kantor Pendaftaran Tanah dan Kantor Kecamatan, jika tidak diterima keberatan mereka membuat pernyataan tersebut kepada Kantor BPN dan kemudian mengirimkannya kepada Kepala Kantor Wilayah Pertanahan setempat, penerbitan pengakuan hak diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN, dari SK pengakuan hak tersebut sekaligus mempertegaskan hak apa yang diberikan/padanan pada permohonan tersebut, bisa saja hak milik, hak guna usaha, atau hak guna bangunan atau hak pakai (Parlindungan, 1990 : 42).

Sedangkan pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No. Sk 26/DDA. 1970 sebagai penjelasan dari peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No. 2 tahun 1962 dalam diktum pertamanya menegaskan bahwa yang dianggap sebagai “tanda bukti hak” dalam Pasal 3 huruf a PMPA No. 2 tahun 1962 adalah :

a. Didaerah-daerah dimana sebelum tanggal 24 September 1960 sudah dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.

1. Surat pajak (hasil) bumi atau verponding Indonesia yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960, jika antara tanggal 24 September 1960 dan saat mulai diselenggarakan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 terjadi pemindahan hak (jual-beli, hibah atau tukar-menukar) maka selain surat pajak yang dikeluarkan sebelum tanggal 24 September 1960 tersebut di atas wajib disertakan juga surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukarnya yang sah (dibuat di hadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/adat yang bersangkutan).

(28)

2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.

b. Di daerah-daerah dimana sampai tanggal 24 September 1960 belum dipungut pajak (hasil) bumi (landrente) atau verponding Indonesia.

1. Surat-surat asli jual-beli, hibah atau tukar menukar yang dibuat dihadapan dan disaksikan oleh Kepala Desa/Adat yang bersangkutan sebelum diselenggarakannya pendaftaran tanah menurut peraturan pemerintah No. 10 tahun 1961 di daerah tersebut.

2. Surat Keputusan pemberian hak oleh Instansi yang berwenang, disertai tanda-tanda buktinya bahwa kewajiban-kewajiban yang disebutkan di dalam surat keputusan itu telah dipenuhi oleh yang menerima hak.

Gambar

Gambar 2.1 Hubungan antara manusia dan tanah
Gambar  2.2  menunjukkan  bahwa  sebelum  berlakunya  UUPA  terdapat  dualisme hukum agraria di Indonesia yakni hukum agraria adat dan hukum agraria  barat
Gambar 2.3 Terjadinya hak milik

Referensi

Dokumen terkait

Pada bab ini memuat literatur atau pustaka pendukung terhadap karya akhir. Tinjauan pustaka merupakan sebuah tinjauan komprehensif dan kritis terhadap pustaka

THC pada ganja akan bereaksi apabila berikatan dengan reseptornya sehingga ketika THC berikatan dengan reseptornya yang berada pada kelenjar submandibula selama stimulasi

Tinggi pada fase vegetatif tanaman diukur dari permukaan tanah hingga titik tumbuh, sedangkan pada fase generatif tinggi tanamn diukur sampai ruas teratas kedudukan bunga

pengaruh kenaikan atau penurunan harga barang terhadap perubahan jumlah permintaan atau penawaran barang tersebut. Penggunaan elastisitas harga ini tentu saja

Ide  dapat  menjadi  peluang,  apabila  wirausaha  bersedia  melakukan  evaluasi   terhadap  peluang  yang  ada  secara  terus-­‐menerus,  melalui  proses

Gunakan nilai p untuk mengevaluasi kekuatan bukti yang diberikan dari data sampel yang menentang hipotesis nol, mendukung hipotesis alternatif yang dibuat oleh para murid

Kedua; hubungan agama dan negara menyatu dalam satu koridor yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, bagi Natsir Islam telah menyediakan perangkat dasar yang

A különböző légköri paraméterek fi zi- ológiás és patofi ziológiás hatásainak szélesebb körű feltá- rása egyre nagyobb jelentőséggel bír, mivel minor